Ahmad Zaini *
http://sastra-indonesia.com/
Sewaktu pagi belum sempurna memasuki hari, tangan-tangan kekar para perempuan kereta menjinjing keranjang yang penuh dengan telur asin. Mereka berjalan menembus pagi buta yang dipenuhi kabut penghalang mata. Langkah mereka laksana langkah laki-laki yang kokoh menyangga beban yang berat. Ya, itulah pekerjaan sehari-hari dari perempuan-perempuan kereta yang mencari nafkah ke kota demi menyambung hidup di dunia.
Parmi, salah satu dari perempuan-perempuan itu, rela setiap hari pulang pergi ke Surabaya. Dia mempunyai keinginan yang kuat memperjuangkan pendidikan anak-anaknya. Parmi mempunyai lima orang anak. Anak pertama dan anak kedua sudah tamat sarjana S1, sedangkan yang tiga masing-masing masih duduk di bangku SD, SMP, dan SMA. Dari jerih payahnya setiap hari berjualan telur, ia berusaha membiayai kuliah dan sekolah anak-anaknya hingga tamat.
Namun apa hendak dikata. Waktu terus berlalu, dan Parmi juga merasakan itu, yakni usia yang bertambah udzur. Otot-otot tangan Parmi tak sekekar dulu. Kini usianya kurang lebih setengah abad. Di usia setua itu Parmi masih tekun berangkat bersama perempuan-perempuan yang lain ke kota mengais rizki. Setiap pagi ia harus duduk satu hingga satu setengah jam menunggu kedatangan kereta. Mata lelap karena pengaruh kantuk ia lawan dengan mengobrol atau bergurau dengan sesama calon penumpang kereta di stasiun tua. Sampai-sampai karena terlena dengan gurauannya ia tidak tahu kalau kereta sudah mau berhenti di stasiun itu.
Suara petugas stasiun memberi aba-aba jika kereta jurusan Surabaya berhenti di jalur 2. Sedangkan jalur pertama akan dilewati kereta Argo Bromo jurusan Jakarta-Surabaya. Kereta ekonomi yang biasa ditumpangi perempuan-perempuan itu berhenti menunggu Argo Bromo lewat sudah hampir setengah jam. Mereka ada yang memasrahkan diri pada awak kereta, ada juga yang menggerutu karena kereta Argo Bromo yang ditunggu tak kunjung lewat. Ya, memang jadi rakyat kecil harus sabar. Denan menggunakan kereta ekonomi atau biasanya mereka menyebut KRD (Kereta Diesel) dengan biaya dua ribu rupiah untuk sampai Stasiun Turi Surabaya, ya, harus mengalah pada kereta eksekutif tumpangan orang-orang berduit yang tentunya harga tiketnya lebih mahal.
“Waduh, nasib, nasib!” keluh Parmin penjual kipas dari anyaman bambu.
Suasana gelisah menghinggapi para penumpang kereta tapi tidak bagi Parmi. Dia sudah hapal dengan yang seperti itu. Menunggu dua, tiga jam pernah ia rasakan. Ia malah nyenyak dalam tidurnya setelah semalaman kurang tidur. Maklum di rumah ia bekerja sendiri. Mulai dari membersihkan telur yang selama seminggu direndam dengan air garam hingga menggodok kemudian memberi stempel pada permukaan telur asin tersebut satu persatu. Terkadang Parmi harus begadang hingga pukul 23.00 WIB. Pada pukul 03.15 dini hari Parmi harus sudah bangun untuk mempersiapkan sarapan anak-anaknya sebelum mereka berangkat ke sekolah. Waduh, perempuan yang satu ini memang luar biasa.
Hentakan pertama kereta yang akan berangkat sedikit mengganggu tidur Parmi. Ia terbangun lalu melihat kursi-kursi kereta yang sudah penuh sesak dengan penumpang. Ia kemudian menyandarkan kepalanya ke dinding kereta. Dalam sekejap ia pun tertidur lagi. Kereta melaju kencang melintasi rel-rel yang tak berujung dengan mengeluarkan suara yang gemuruh. Lintasan-lintasan yang tak rata membuat gerbong kereta bergoyang-goyang. Pedagang asongan yang berkeliling menjajakan barang dagangannya jika tidak ingin jatuh harus berpegangan pada pundak-pundak penumpang yang duduk di kursi sebelah kanan-kiri mereka. Wow, begitu mengasyikkan.
“Mi, Parmi, bangun! Kita sudah sampai,” seorang pedagang telur asin membangunkan Parmi yang terlelap dalam tidur. Dengan serta merta Parmi lantas mengangkat dua buah keranjang yang sejak tadi diletakkan di depannya. Tangan yang sudah mulai keriput namun masih tetap kuat mengangkat keranjang yang sarat dengan telur.
“Sri, tolong ini!” pintanya pada rekannya.
Dua keranjag telur ia keluarkan dari kereta lantas diterima oleh Sri yang lebih dulu turun dari atas kereta.
“Matur suwun, Sri!” ucapnya dengan logat Jawa.
Kuli langganannya lantas mengangkut dua keranjang telur untuk di bawa ke tempat biasa Parmi berjualan. Parmi duduk dengan beralas jarik yang dibawa dari rumah. Ia menawarkan telur-telurnya kepada setiap orang yang melintas di depannya. Selama setengah hari parmi duduk dibelakang telur melayani pelanggannya membeli telur-telur yang bercap “Barokah” buatannya.
Sinar matahari sudah mulai terasa menyengat kulit kepala Parmi. Dengan gendongan ia menutupi kepalanya yang sudah dipenuhi rambut putih atau uban. Di dalam keranjang masih tersisa sekitar lima butir telur. Sementara orang yang melintas di depannya sudah mulai jarang. Ia kemudian mengemasi barang-barangnya untuk dibawa ke musholla stasiun. Ia istirahat sebentar kemudian melaksanakn ibadah shalat dzuhur.
Menurut cerita rekan-rekannya, Parmi ini adalah sosok perempuan yang bisa dijadikan anutan. Di samping dia itu ulet dalam bekerja, Parmi termasuk orang yang jujur dan taat beribadah. Walaupun setiap hari ia selalu dalam keadaan berpergian untuk berjualan namun ia tidak pernah meninggalkan kewajibannya melaksanakan shalat lima waktu. Sehingga setiap orang yang bergaul dengan Parmi akan merasa senang dan nyaman. Hingga para petugas di stasiun itu sudah terlalu hapal dengan sosok Parmi yang jujur dan pandai bergaul di usianya yang semakin senja.
Sabar dan teguh pendirian adalah kunci bekerja yang dipegang oleh Parmi. Setiap hari dengan membawa dua keranjang telur asin ia hanya mendapatkan laba sekitar dua puluh lima ribu rupiah. Jumlah yang sangat sedikit jika dibandingkan dengan rencana pengeluaran untuk biaya sekolah anak-anaknya. Hanya satu yang ada dalam benak Parmi. Yakni, anak-anaknya kelak jangan sampai hidup sengsara seperti yang ia alami saat ini. Buktinya, dua anaknya setelah lulus S1, sekarang sudah bekerja pada instansi pemerintah walaupun masih berstatus sebagai tenaga honorer.
“Yang penting anak saya tidak sebagai penghuni kereta seperti ibunya,” yang kemudian ditertawakan oleh teman-temannya di atas kereta.
Beberapa tahun Parmi bekerja sebagai penjual telur asin. Beberapa tahun pula ia mengenyam pahit manisnya kehidupan. Dari pengalamannya itulah dia berpesan kepada anak-anaknya agar mementingkan kehidupan mereka di masa yang akan datang. Orang tua tidak akan hidup selamanya. Suatu saat pasti akan mati. Jika ditinggal mati oleh kedua orang tuanya paling tidak anak-anak sudah bisa hidup mandiri dengan bekal yang diperoleh sebelumnya.
Klakson kereta meraung memecah gemuruh suara roda kereta yang berputar di atas rel-rel besi. Jalannya tidak stabil tersendat-sendat oleh rem yang semakin kuat menjepit. Masinis kereta perlahan mengurangi kecepatan laju kereta. Sesaat kemudian percikan-percikan api akibat gesekan rem dengan roda kereta semakin meningkat. Kini kereta benar-benar berhenti di stasiun tua.
Hari sudah tampak gelap. Rel-rel kereta dengan bantalan kayu besi tak terlihat dengan jelas. Dengan perasaan mereka, perempuan-perempuan kereta berjalan menapaki satu demi satu bantalan rel kereta. Langkah gontai tanda kelelahan tampak dari cara mereka berjalan.
“Aduh, kakiku!”
“Kenapa, Mi?”
“Kakiku tersandung kayu ini,” jawabnya dengan menunjuk ibu jari kaki kanannya yang tidak jelas karena hari sudah malam.
Parmi berjalan terpincang-pincang menahan rasa sakit yang agak lumayan.
Di perempatan jalan yang terang oleh sinaran lampu jalan, Parmi berhenti memeriksa ibu jari kaki kanannya. Ternyata darah mengalir dari jari kakinya itu. Kontan perempuan-perempuan yang lain membantu mengobatinya. Ada yang mencarikan obat merah, ada pula yang mencarikan kain kasa untuk membalut luka.
“Obat merahnya habis,” kata Karti setelah dari toko yang berada di pinggir jalan.
“Kain kasanya juga,” sahut Ti’ah yang berlari-lari menyusul Karti.
“Sudah tidak apa-apa. Saya masih kuat,” kata Parmi lantas ia berjalan melanjutkan perjalanan pulang.
Udara malam tak mampu mengeringkan peluh yang bercucuran di dahi Parmi dan kawan-kawan. Tangan-tangan kekar sibuk menyeka keringat-keringat yang mengalir di wajah mereka. Sinar lampu penerang jalan desa menerpa muka-muka lusuh terkena debu kota. Namun mereka tetap tegar dengan secercah senyum di bibir merekah. Perempuan-perempuan bukan lagi orang yang hanya menerima uang dari hasil kerja suaminya kemudian pergi ke pasar untuk membelanjakannya untuk kebutuhan hidup keluarga mereka. Perempuan-perempuan dengan keterbatasannya juga mampu mencari nafkah untuk memenuhi kebutuhan keluarga. Bahkan agak terbilang lebih ekstrim. Jika lelaki yang berkerja di kota, misalnya sebagai tukang becak, mereka menginap di kota hingga seminggu kemudian baru pulang. Sedangkan perempuan-perempuan ini setiap hari berangkat pagi kemudian pulang sore, terkadang malam hanya dengan menumpang kereta ekonomi yang sangat ekonomis.
Di halaman rumah, anak-anak Parmi berdiri menunggu kedatangan ibunda tercinta. Berjam-jam mereka gelisah karena hari ini ibunya datang agak malam. Biasanya ketika adzan maghrib berkumandang, ibunya sudah berada di rumah. Ibu yang berusia senja yang ditunggu-tunggu datang berjalan dengan terpincang-pincang. Anak-anaknya segera menghampirinya kemudian memapah ibunya dan membawakan dua keranjang telur yang dijinjingnya.
“Di keranjang masih tersisa lima butir telur. Ambillah sebagai lauk makan malam kalian. Ibu tidak membeli ikan karena uangnya pas-pasan untuk membayar sekolah kalian besok,” katanya kemudian dengan suara parau.
_____________________
*) Cerpenis lahir di Lamongan, 7 Mei 1976. Karya-karyanya pernah dimuat di beberapa media cetak seperti Tabloid Telunjuk, Majalah MPA dan Radar Bojonegoro. Beberapa puisinya juga dimuat dalam Antologi Puisi Bersama seperti Bulan Merayap (DKL, 2004), Lanskap Telunjuk (DKL, 2004), Absurditas Rindu (SastraNesia Lamongan, 2006), Khianat Waktu, Antologi Penyair Jawa Timur (DKL, 2006). Selain menulis, juga sebagai tanaga edukatif di SMA Raudlatul Muta’allimin Babat Lamongan. Sekarang beralamat di Sanggar Sastra ”Telaga Biru”, Wanar, Pucuk, Lamongan. e-mail: ilazen@yahoo.co.id.
Wahyaning wahyu tumelung, tulus tan kena tinegor (wirid hidayat jati, R.Ng. Ronggowarsito)
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
A Musthafa
A Rodhi Murtadho
A Wahyu Kristianto
A. Mustofa Bisri
A. Qorib Hidayatullah
A. Zakky Zulhazmi
A.J. Susmana
A.S. Laksana
Aang Fatihul Islam
Abdul Azis Sukarno
Abdul Aziz Rasjid
Abdul Hadi W. M.
Abdul Kadir Ibrahim
Abdul Malik
Abdul Wachid BS
Abdullah al-Mustofa
Abdullah Khusairi
Abdurrahman Wahid
Abidah El Khalieqy
Abimanyu
Abimardha Kurniawan
Abroorza A. Yusra
Acep Iwan Saidi
Acep Zamzam Noor
Achmad Maulani
Adek Alwi
Adhi Pandoyo
Adrian Ramdani
Ady Amar
Afrizal Malna
Agnes Rita Sulistyawati
Aguk Irawan Mn
Agus R. Sarjono
Agus Riadi
Agus Subiyakto
Agus Sulton
Aguslia Hidayah
Ahda Imran
Ahm Soleh
Ahmad Farid Tuasikal
Ahmad Farid Yahya
Ahmad Fatoni
Ahmad Kekal Hamdani
Ahmad Luthfi
Ahmad Muchlish Amrin
Ahmad Nurhasim
Ahmad Sahidah
Ahmad Syauqi Sumbawi
Ahmad Yulden Erwin
Ahmad Zaini
Ahmadie Thaha
Ahmadun Yosi Herfanda
Ainur Rasyid
AJ Susmana
Ajip Rosidi
Akhiriyati Sundari
Akhmad Muhaimin Azzet
Akhmad Sekhu
Alan Woods
Alex R. Nainggolan
Alexander Aur
Alexander G.B.
Alfian Dippahatang
Ali Audah
Ali Rif’an
Aliela
Alimuddin
Alit S. Rini
Alunk Estohank
Ami Herman
Amich Alhumami
Amien Wangsitalaja
Aming Aminoedhin
Aminudin TH Siregar
Ammilya Rostika Sari
An. Ismanto
Anaz
Andaru Ratnasari
Andhi Setyo Wibowo
Andhika Prayoga
Andong Buku #3
Andrenaline Katarsis
Andri Cahyadi
Angela
Anies Baswedan
Anindita S Thayf
Anjrah Lelono Broto
Anton Kurnia
Anton Sudibyo
Anton Wahyudi
Anwar Holid
Anwar Siswadi
Aprinus Salam
Arie MP Tamba
Arif Hidayat
Arif Zulkifli
Arti Bumi Intaran
Asarpin
Asep Sambodja
Asvi Warman Adam
Awalludin GD Mualif
Ayu Utami
Azyumardi Azra
Babe Derwan
Bagja Hidayat
Balada
Bandung Mawardi
Bayu Agustari Adha
Beni Setia
Benni Setiawan
Benny Benke
Bentara Budaya Yogyakarta
Berita
Bernadette Lilia Nova
Bernando J. Sujibto
Berthold Damshäuser
Bhakti Hariani
Binhad Nurrohmat
Bokor Hutasuhut
Bonari Nabonenar
Brunel University London
Budaya
Budhi Setyawan
Budi Darma
Budi Hutasuhut
Budi P. Hatees
Budi Winarto
Buku Kritik Sastra
Buldanul Khuri
Bustan Basir Maras
Camelia Mafaza
Capres dan Cawapres 2019
Catatan
Cecep Syamsul Hari
Cerpen
Chairil Anwar
Chamim Kohari
Choirul Rikzqa
D. Dudu A.R
D. Dudu AR
D. Zawawi Imron
Dahono Fitrianto
Dahta Gautama
Damanhuri
Damar Juniarto
Damhuri Muhammad
Damiri Mahmud
Dantje S Moeis
Darju Prasetya
Darma Putra
Darman Moenir
Darmanto Jatman
Dedy Tri Riyadi
Delvi Yandra
Denny JA
Denny Mizhar
Dewi Anggraeni
Dian Basuki
Dian Hartati
Dian Sukarno
Dian Yanuardy
Diana AV Sasa
Dinar Rahayu
Djenar Maesa Ayu
Djoko Pitono
Djoko Saryono
Doddi Ahmad Fauji
Dody Kristianto
Donny Anggoro
Donny Syofyan
Dorothea Rosa Herliany
Dwi Cipta
Dwi Fitria
Dwi Pranoto
Dwi S. Wibowo
Dwicipta
Edeng Syamsul Ma’arif
Edi Warsidi
Edy Firmansyah
EH Kartanegara
Eka Alam Sari
Eka Budianta
Eka Kurniawan
Eko Darmoko
Ellyn Novellin
Elnisya Mahendra
Emha Ainun Nadjib
Emil Amir
Engkos Kosnadi
Esai
Esha Tegar Putra
Evan Ys
F. Budi Hardiman
Fadly Rahman
Fahmi
Fahrudin Nasrulloh
Faisal Kamandobat
Fani Ayudea
Fariz al-Nizar
Faruk HT
Fatah Anshori
Fatah Yasin Noor
Fatkhul Anas
Fatkhul Aziz
Felix K. Nesi
Film
Fitri Yani
Franditya Utomo
Fuska Sani Evani
Gabriel Garcia Marquez
Gandra Gupta
Garna Raditya
Gde Artawan
Geger Riyanto
Gendhotwukir
George Soedarsono Esthu
Gerakan Surah Buku (GSB)
Goenawan Mohamad
Grathia Pitaloka
Gunawan Budi Susanto
Gunawan Tri Atmojo
H. Supriono Muslich
H.B. Jassin
Hadi Napster
Halim H.D.
Hamberan Syahbana
Hamidah Abdurrachman
Han Gagas
Hardi Hamzah
Haris del Hakim
Haris Priyatna
Hasan Aspahani
Hasan Gauk
Hasan Junus
Hasnan Bachtiar
Helvy Tiana Rosa
Helwatin Najwa
Hendra Junaedi
Hendra Makmur
Hendriyo Widi Ismanto
Hepi Andi Bastoni
Heri Latief
Heri Listianto
Herry Firyansyah
Heru Untung Leksono
Hikmat Darmawan
Hilal Ahmad
Hilyatul Auliya
Holy Adib
Hudan Hidayat
Hudan Nur
Husnun N Djuraid
I Nyoman Suaka
Ibnu Rizal
Ibnu Rusydi
Ibnu Wahyudi
IGK Tribana
Ignas Kleden
Ignatius Haryanto
Iksan Basoeky
Ilenk Rembulan
Ilham khoiri
Imam Jazuli
Imam Nawawi
Imamuddin SA
Iman Budhi Santosa
Iman Budi Santosa
Imelda
Imron Arlado
Imron Tohari
Indiar Manggara
Indira Margareta
Indra Darmawan
Indra Tjahyadi
Indra Tranggono
Indrian Koto
Ingki Rinaldi
Insaf Albert Tarigan
Intan Hs
Isbedy Stiawan ZS
Ismail Amin
Ismi Wahid
Ivan Haris
Iwan Gunadi
Jacob Sumardjo
Jafar Fakhrurozi
Jajang R Kawentar
Janual Aidi
Javed Paul Syatha
Jean-Marie Gustave Le Clezio
JJ. Kusni
Joko Pinurbo
Joko Sandur
Joko Widodo
Joni Ariadinata
Jual Buku Paket Hemat
Julika Hasanah
Julizar Kasiri
Jumari HS
Junaidi
Jusuf AN
Kadir Ruslan
Kartika Candra
Kasnadi
Katrin Bandel
Kenedi Nurhan
Ketut Yuliarsa
KH. Ma'ruf Amin
Khaerudin
Khalil Zuhdy Lawna
Kholilul Rohman Ahmad
Komunitas Deo Gratias
Komunitas Teater Sekolah Kabupaten Gresik (KOTA SEGER)
Korrie Layun Rampan
Krisandi Dewi
Kritik Sastra
Kucing Oren
Kuswinarto
Langgeng Widodo
Lathifa Akmaliyah
Latief S. Nugraha
Leila S. Chudori
Lenah Susianty
Leon Agusta
Lina Kelana
Linda Sarmili
Liston P. Siregar
Liza Wahyuninto
M Shoim Anwar
M. Arman A.Z.
M. Fadjroel Rachman
M. Faizi
M. Harya Ramdhoni
M. Kasim
M. Latief
M. Wildan Habibi
M. Yoesoef
M.D. Atmaja
Mahdi Idris
Mahmud Jauhari Ali
Mahwi Air Tawar
Malkan Junaidi
Maman S. Mahayana
Mardi Luhung
Marhalim Zaini
Maria hartiningsih
Maria Serenada Sinurat
Mario F. Lawi
Maroeli Simbolon S. Sn
Marsus Banjarbarat
Marwanto
Mas Ruscitadewi
Masdharmadji
Mashuri
Masriadi
Mawar Kusuma Wulan
Max Arifin
Melani Budianta
Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia
Mezra E. Pellondou
Micky Hidayat
Mihar Harahap
Misbahus Surur
Moh Samsul Arifin
Moh. Syafari Firdaus
Mohamad Asrori Mulky
Mohammad Afifuddin
Mohammad Fadlul Rahman
Muh Kholid A.S.
Muh. Muhlisin
Muhajir Arifin
Muhamad Sulhanudin
Muhammad Al-Fayyadl
Muhammad Amin
Muhammad Azka Fahriza
Muhammad Rain
Muhammad Subhan
Muhammad Yasir
Muhammad Zuriat Fadil
Muhammadun A.S
Muhidin M. Dahlan
Musa Ismail
Musfi Efrizal
Mustafa Ismail
Nafi’ah Al-Ma’rab
Naskah Teater
Nezar Patria
Nina Setyawati
Nirwan Ahmad Arsuka
Nirwan Dewanto
Noor H. Dee
Noval Maliki
Nunuy Nurhayati
Nur Haryanto
Nurani Soyomukti
Nurel Javissyarqi
Nurhadi BW
Nurudin
Octavio Paz
Oliviaks
Orasi Budaya Akhir Tahun 2018
Pablo Neruda
Pamusuk Eneste
Panda MT Siallagan
Pandu Jakasurya
PDS H.B. Jassin
Philipus Parera
Pradewi Tri Chatami
Pramoedya Ananta Toer
Pramono
Pranita Dewi
Pringadi AS
Prosa
Puisi
Puisi Menolak Korupsi
PuJa
Puji Santosa
Puput Amiranti N
Purnawan Andra
PUstaka puJAngga
Putri Utami
Putu Fajar Arcana
Putu Wijaya
Qaris Tajudin
R Sutandya Yudha Khaidar
R. Sugiarti
R. Timur Budi Raja
R.N. Bayu Aji
Rachmad Djoko Pradopo
Radhar Panca Dahana
Rahmadi Usman
Rahmat Sudirman
Rahmat Sularso Nh
Rahmat Sutandya Yudhanto
Raihul Fadjri
Rainer Maria Rilke
Raja Ali Haji
Rakai Lukman
Rakhmat Giryadi
Raudal Tanjung Banua
Reiny Dwinanda
Remy Sylado
Resensi
Revolusi
Riadi Ngasiran
Ribut Wijoto
Ridha al Qadri
Ridwan Munawwar
Rikobidik
Riri
Riris K. Toha-Sarumpaet
Risang Anom Pujayanto
Rizky Andriati Pohan
Robert Frost
Robin Al Kautsar
Robin Dos Santos Soares
Rodli TL
Rofiqi Hasan
Rohman Budijanto
Romi Febriyanto Saputro
Rosihan Anwar
RR Miranda
Rudy Policarpus
Rukardi
S Yoga
S. Jai
S.I. Poeradisastra
S.W. Teofani
Sabam Siagian
Sabrank Suparno
Saiful Amin Ghofur
Sainul Hermawan
Sajak
Sakinah Annisa Mariz
Salamet Wahedi
Salman Rusydie Anwar
Samsudin Adlawi
Sapardi Djoko Damono
Sartika Dian Nuraini
Sastra
Sastra Gerilyawan
Sastri Sunarti
Satmoko Budi Santoso
Saut Situmorang
Sejarah
Sekolah Literasi Gratis (SLG)
SelaSastra
SelaSastra ke #24
Selasih
Seno Gumira Ajidarma
Seno Joko Suyono
Sergi Sutanto
Shadiqin Sudirman
Shiny.ane el’poesya
Sidik Nugroho
Sigit Susanto
Sihar Ramses Simatupang
Simo Sungelebak Karanggeneng Lamongan
Siti Sa’adah
Sitok Srengenge
Siwi Dwi Saputro
Sjifa Amori
Sofyan RH. Zaid
Soni Farid Maulana
Sony Prasetyotomo
Sosiawan Leak
Sri Wintala Achmad
Sri Wulan Rujiati Mulyadi
Subhan SD
Suci Ayu Latifah
Sulaiman Djaya
Sulistiyo Suparno
Sunaryo Broto
Sunaryono Basuki Ks
Sungatno
Sunlie Thomas Alexander
Sunudyantoro
Suriali Andi Kustomo
Suryadi
Suryansyah
Suryanto Sastroatmodjo
Susi Ivvaty
Susianna
Susilowati
Sutardji Calzoum Bachri
Sutejo
Suwardi Endraswara
Syaifuddin Gani
Syaiful Bahri
Syam Sdp
Syarif Hidayatullah
Tajuddin Noor Ganie
Tammalele
Tan Malaka
Taufik Ikram Jamil
Taufiq Ismail
Taufiq Wr. Hidayat
Teguh Trianton
Tengsoe Tjahjono
Th Pudjo Widijanto
Thayeb Loh Angen
Theresia Purbandini
Tia Setiadi
Tito Sianipar
Tiya Hapitiawati
Tjahjono Widarmanto
Tjahjono Widijanto
Toko Buku Murah PUstaka puJAngga
Tosa Poetra
Tri Joko Susilo
Triyanto Triwikromo
Tu-ngang Iskandar
Udo Z. Karzi
Uly Giznawati
Umar Fauzi
Umar Kayam
Undri
Uniawati
Universitas Indonesia
UU Hamidy
Vyan Tashwirul Afkar
W Haryanto
W.S. Rendra
Wahyudin
Wannofri Samry
Warung Boenga Ketjil
Waskiti G Sasongko
Wawan Eko Yulianto
Wawancara
Web Warouw
Wijang Wharek
Wiko Antoni
Wina Bojonegoro
Wira Apri Pratiwi
Wiratmo Soekito
Wishnubroto Widarso
Wiwik Hastuti
Wiwik Hidayati
Wong Wing King
WS Rendra
Xu Xi (Sussy Komala)
Y. Thendra BP
Y. Wibowo
Yani Arifin Sholikin
Yesi Devisa
Yohanes Sehandi
Yona Primadesi
Yosi M. Giri
Yusi Avianto Pareanom
Yusri Fajar
Yusrizal KW
Yuval Noah Harari
Yuyu AN Krisna
Zaki Zubaidi
Zalfeni Wimra
Zawawi Se
Zehan Zareez
Zen Hae
Zhaenal Fanani
Zuarman Ahmad
Zulfikar Akbar
Zulhasril Nasir
Tidak ada komentar:
Posting Komentar