Jumat, 21 Oktober 2011

Perempuan-Perempuan Kereta

Ahmad Zaini *
http://sastra-indonesia.com/

Sewaktu pagi belum sempurna memasuki hari, tangan-tangan kekar para perempuan kereta menjinjing keranjang yang penuh dengan telur asin. Mereka berjalan menembus pagi buta yang dipenuhi kabut penghalang mata. Langkah mereka laksana langkah laki-laki yang kokoh menyangga beban yang berat. Ya, itulah pekerjaan sehari-hari dari perempuan-perempuan kereta yang mencari nafkah ke kota demi menyambung hidup di dunia.

Parmi, salah satu dari perempuan-perempuan itu, rela setiap hari pulang pergi ke Surabaya. Dia mempunyai keinginan yang kuat memperjuangkan pendidikan anak-anaknya. Parmi mempunyai lima orang anak. Anak pertama dan anak kedua sudah tamat sarjana S1, sedangkan yang tiga masing-masing masih duduk di bangku SD, SMP, dan SMA. Dari jerih payahnya setiap hari berjualan telur, ia berusaha membiayai kuliah dan sekolah anak-anaknya hingga tamat.

Namun apa hendak dikata. Waktu terus berlalu, dan Parmi juga merasakan itu, yakni usia yang bertambah udzur. Otot-otot tangan Parmi tak sekekar dulu. Kini usianya kurang lebih setengah abad. Di usia setua itu Parmi masih tekun berangkat bersama perempuan-perempuan yang lain ke kota mengais rizki. Setiap pagi ia harus duduk satu hingga satu setengah jam menunggu kedatangan kereta. Mata lelap karena pengaruh kantuk ia lawan dengan mengobrol atau bergurau dengan sesama calon penumpang kereta di stasiun tua. Sampai-sampai karena terlena dengan gurauannya ia tidak tahu kalau kereta sudah mau berhenti di stasiun itu.

Suara petugas stasiun memberi aba-aba jika kereta jurusan Surabaya berhenti di jalur 2. Sedangkan jalur pertama akan dilewati kereta Argo Bromo jurusan Jakarta-Surabaya. Kereta ekonomi yang biasa ditumpangi perempuan-perempuan itu berhenti menunggu Argo Bromo lewat sudah hampir setengah jam. Mereka ada yang memasrahkan diri pada awak kereta, ada juga yang menggerutu karena kereta Argo Bromo yang ditunggu tak kunjung lewat. Ya, memang jadi rakyat kecil harus sabar. Denan menggunakan kereta ekonomi atau biasanya mereka menyebut KRD (Kereta Diesel) dengan biaya dua ribu rupiah untuk sampai Stasiun Turi Surabaya, ya, harus mengalah pada kereta eksekutif tumpangan orang-orang berduit yang tentunya harga tiketnya lebih mahal.

“Waduh, nasib, nasib!” keluh Parmin penjual kipas dari anyaman bambu.

Suasana gelisah menghinggapi para penumpang kereta tapi tidak bagi Parmi. Dia sudah hapal dengan yang seperti itu. Menunggu dua, tiga jam pernah ia rasakan. Ia malah nyenyak dalam tidurnya setelah semalaman kurang tidur. Maklum di rumah ia bekerja sendiri. Mulai dari membersihkan telur yang selama seminggu direndam dengan air garam hingga menggodok kemudian memberi stempel pada permukaan telur asin tersebut satu persatu. Terkadang Parmi harus begadang hingga pukul 23.00 WIB. Pada pukul 03.15 dini hari Parmi harus sudah bangun untuk mempersiapkan sarapan anak-anaknya sebelum mereka berangkat ke sekolah. Waduh, perempuan yang satu ini memang luar biasa.

Hentakan pertama kereta yang akan berangkat sedikit mengganggu tidur Parmi. Ia terbangun lalu melihat kursi-kursi kereta yang sudah penuh sesak dengan penumpang. Ia kemudian menyandarkan kepalanya ke dinding kereta. Dalam sekejap ia pun tertidur lagi. Kereta melaju kencang melintasi rel-rel yang tak berujung dengan mengeluarkan suara yang gemuruh. Lintasan-lintasan yang tak rata membuat gerbong kereta bergoyang-goyang. Pedagang asongan yang berkeliling menjajakan barang dagangannya jika tidak ingin jatuh harus berpegangan pada pundak-pundak penumpang yang duduk di kursi sebelah kanan-kiri mereka. Wow, begitu mengasyikkan.

“Mi, Parmi, bangun! Kita sudah sampai,” seorang pedagang telur asin membangunkan Parmi yang terlelap dalam tidur. Dengan serta merta Parmi lantas mengangkat dua buah keranjang yang sejak tadi diletakkan di depannya. Tangan yang sudah mulai keriput namun masih tetap kuat mengangkat keranjang yang sarat dengan telur.

“Sri, tolong ini!” pintanya pada rekannya.

Dua keranjag telur ia keluarkan dari kereta lantas diterima oleh Sri yang lebih dulu turun dari atas kereta.

“Matur suwun, Sri!” ucapnya dengan logat Jawa.

Kuli langganannya lantas mengangkut dua keranjang telur untuk di bawa ke tempat biasa Parmi berjualan. Parmi duduk dengan beralas jarik yang dibawa dari rumah. Ia menawarkan telur-telurnya kepada setiap orang yang melintas di depannya. Selama setengah hari parmi duduk dibelakang telur melayani pelanggannya membeli telur-telur yang bercap “Barokah” buatannya.

Sinar matahari sudah mulai terasa menyengat kulit kepala Parmi. Dengan gendongan ia menutupi kepalanya yang sudah dipenuhi rambut putih atau uban. Di dalam keranjang masih tersisa sekitar lima butir telur. Sementara orang yang melintas di depannya sudah mulai jarang. Ia kemudian mengemasi barang-barangnya untuk dibawa ke musholla stasiun. Ia istirahat sebentar kemudian melaksanakn ibadah shalat dzuhur.

Menurut cerita rekan-rekannya, Parmi ini adalah sosok perempuan yang bisa dijadikan anutan. Di samping dia itu ulet dalam bekerja, Parmi termasuk orang yang jujur dan taat beribadah. Walaupun setiap hari ia selalu dalam keadaan berpergian untuk berjualan namun ia tidak pernah meninggalkan kewajibannya melaksanakan shalat lima waktu. Sehingga setiap orang yang bergaul dengan Parmi akan merasa senang dan nyaman. Hingga para petugas di stasiun itu sudah terlalu hapal dengan sosok Parmi yang jujur dan pandai bergaul di usianya yang semakin senja.

Sabar dan teguh pendirian adalah kunci bekerja yang dipegang oleh Parmi. Setiap hari dengan membawa dua keranjang telur asin ia hanya mendapatkan laba sekitar dua puluh lima ribu rupiah. Jumlah yang sangat sedikit jika dibandingkan dengan rencana pengeluaran untuk biaya sekolah anak-anaknya. Hanya satu yang ada dalam benak Parmi. Yakni, anak-anaknya kelak jangan sampai hidup sengsara seperti yang ia alami saat ini. Buktinya, dua anaknya setelah lulus S1, sekarang sudah bekerja pada instansi pemerintah walaupun masih berstatus sebagai tenaga honorer.

“Yang penting anak saya tidak sebagai penghuni kereta seperti ibunya,” yang kemudian ditertawakan oleh teman-temannya di atas kereta.

Beberapa tahun Parmi bekerja sebagai penjual telur asin. Beberapa tahun pula ia mengenyam pahit manisnya kehidupan. Dari pengalamannya itulah dia berpesan kepada anak-anaknya agar mementingkan kehidupan mereka di masa yang akan datang. Orang tua tidak akan hidup selamanya. Suatu saat pasti akan mati. Jika ditinggal mati oleh kedua orang tuanya paling tidak anak-anak sudah bisa hidup mandiri dengan bekal yang diperoleh sebelumnya.

Klakson kereta meraung memecah gemuruh suara roda kereta yang berputar di atas rel-rel besi. Jalannya tidak stabil tersendat-sendat oleh rem yang semakin kuat menjepit. Masinis kereta perlahan mengurangi kecepatan laju kereta. Sesaat kemudian percikan-percikan api akibat gesekan rem dengan roda kereta semakin meningkat. Kini kereta benar-benar berhenti di stasiun tua.

Hari sudah tampak gelap. Rel-rel kereta dengan bantalan kayu besi tak terlihat dengan jelas. Dengan perasaan mereka, perempuan-perempuan kereta berjalan menapaki satu demi satu bantalan rel kereta. Langkah gontai tanda kelelahan tampak dari cara mereka berjalan.

“Aduh, kakiku!”

“Kenapa, Mi?”

“Kakiku tersandung kayu ini,” jawabnya dengan menunjuk ibu jari kaki kanannya yang tidak jelas karena hari sudah malam.

Parmi berjalan terpincang-pincang menahan rasa sakit yang agak lumayan.

Di perempatan jalan yang terang oleh sinaran lampu jalan, Parmi berhenti memeriksa ibu jari kaki kanannya. Ternyata darah mengalir dari jari kakinya itu. Kontan perempuan-perempuan yang lain membantu mengobatinya. Ada yang mencarikan obat merah, ada pula yang mencarikan kain kasa untuk membalut luka.

“Obat merahnya habis,” kata Karti setelah dari toko yang berada di pinggir jalan.

“Kain kasanya juga,” sahut Ti’ah yang berlari-lari menyusul Karti.

“Sudah tidak apa-apa. Saya masih kuat,” kata Parmi lantas ia berjalan melanjutkan perjalanan pulang.

Udara malam tak mampu mengeringkan peluh yang bercucuran di dahi Parmi dan kawan-kawan. Tangan-tangan kekar sibuk menyeka keringat-keringat yang mengalir di wajah mereka. Sinar lampu penerang jalan desa menerpa muka-muka lusuh terkena debu kota. Namun mereka tetap tegar dengan secercah senyum di bibir merekah. Perempuan-perempuan bukan lagi orang yang hanya menerima uang dari hasil kerja suaminya kemudian pergi ke pasar untuk membelanjakannya untuk kebutuhan hidup keluarga mereka. Perempuan-perempuan dengan keterbatasannya juga mampu mencari nafkah untuk memenuhi kebutuhan keluarga. Bahkan agak terbilang lebih ekstrim. Jika lelaki yang berkerja di kota, misalnya sebagai tukang becak, mereka menginap di kota hingga seminggu kemudian baru pulang. Sedangkan perempuan-perempuan ini setiap hari berangkat pagi kemudian pulang sore, terkadang malam hanya dengan menumpang kereta ekonomi yang sangat ekonomis.

Di halaman rumah, anak-anak Parmi berdiri menunggu kedatangan ibunda tercinta. Berjam-jam mereka gelisah karena hari ini ibunya datang agak malam. Biasanya ketika adzan maghrib berkumandang, ibunya sudah berada di rumah. Ibu yang berusia senja yang ditunggu-tunggu datang berjalan dengan terpincang-pincang. Anak-anaknya segera menghampirinya kemudian memapah ibunya dan membawakan dua keranjang telur yang dijinjingnya.

“Di keranjang masih tersisa lima butir telur. Ambillah sebagai lauk makan malam kalian. Ibu tidak membeli ikan karena uangnya pas-pasan untuk membayar sekolah kalian besok,” katanya kemudian dengan suara parau.
_____________________
*) Cerpenis lahir di Lamongan, 7 Mei 1976. Karya-karyanya pernah dimuat di beberapa media cetak seperti Tabloid Telunjuk, Majalah MPA dan Radar Bojonegoro. Beberapa puisinya juga dimuat dalam Antologi Puisi Bersama seperti Bulan Merayap (DKL, 2004), Lanskap Telunjuk (DKL, 2004), Absurditas Rindu (SastraNesia Lamongan, 2006), Khianat Waktu, Antologi Penyair Jawa Timur (DKL, 2006). Selain menulis, juga sebagai tanaga edukatif di SMA Raudlatul Muta’allimin Babat Lamongan. Sekarang beralamat di Sanggar Sastra ”Telaga Biru”, Wanar, Pucuk, Lamongan. e-mail: ilazen@yahoo.co.id.

Tidak ada komentar:

A Musthafa A Rodhi Murtadho A Wahyu Kristianto A. Mustofa Bisri A. Qorib Hidayatullah A. Zakky Zulhazmi A.J. Susmana A.S. Laksana Aang Fatihul Islam Abdul Azis Sukarno Abdul Aziz Rasjid Abdul Hadi W. M. Abdul Kadir Ibrahim Abdul Malik Abdul Wachid BS Abdullah al-Mustofa Abdullah Khusairi Abdurrahman Wahid Abidah El Khalieqy Abimanyu Abimardha Kurniawan Abroorza A. Yusra Acep Iwan Saidi Acep Zamzam Noor Achmad Maulani Adek Alwi Adhi Pandoyo Adrian Ramdani Ady Amar Afrizal Malna Agnes Rita Sulistyawati Aguk Irawan Mn Agus R. Sarjono Agus Riadi Agus Subiyakto Agus Sulton Aguslia Hidayah Ahda Imran Ahm Soleh Ahmad Farid Tuasikal Ahmad Farid Yahya Ahmad Fatoni Ahmad Kekal Hamdani Ahmad Luthfi Ahmad Muchlish Amrin Ahmad Nurhasim Ahmad Sahidah Ahmad Syauqi Sumbawi Ahmad Yulden Erwin Ahmad Zaini Ahmadie Thaha Ahmadun Yosi Herfanda Ainur Rasyid AJ Susmana Ajip Rosidi Akhiriyati Sundari Akhmad Muhaimin Azzet Akhmad Sekhu Alan Woods Alex R. Nainggolan Alexander Aur Alexander G.B. Alfian Dippahatang Ali Audah Ali Rif’an Aliela Alimuddin Alit S. Rini Alunk Estohank Ami Herman Amich Alhumami Amien Wangsitalaja Aming Aminoedhin Aminudin TH Siregar Ammilya Rostika Sari An. Ismanto Anaz Andaru Ratnasari Andhi Setyo Wibowo Andhika Prayoga Andong Buku #3 Andrenaline Katarsis Andri Cahyadi Angela Anies Baswedan Anindita S Thayf Anjrah Lelono Broto Anton Kurnia Anton Sudibyo Anton Wahyudi Anwar Holid Anwar Siswadi Aprinus Salam Arie MP Tamba Arif Hidayat Arif Zulkifli Arti Bumi Intaran Asarpin Asep Sambodja Asvi Warman Adam Awalludin GD Mualif Ayu Utami Azyumardi Azra Babe Derwan Bagja Hidayat Balada Bandung Mawardi Bayu Agustari Adha Beni Setia Benni Setiawan Benny Benke Bentara Budaya Yogyakarta Berita Bernadette Lilia Nova Bernando J. Sujibto Berthold Damshäuser Bhakti Hariani Binhad Nurrohmat Bokor Hutasuhut Bonari Nabonenar Brunel University London Budaya Budhi Setyawan Budi Darma Budi Hutasuhut Budi P. Hatees Budi Winarto Buku Kritik Sastra Buldanul Khuri Bustan Basir Maras Camelia Mafaza Capres dan Cawapres 2019 Catatan Cecep Syamsul Hari Cerpen Chairil Anwar Chamim Kohari Choirul Rikzqa D. Dudu A.R D. Dudu AR D. Zawawi Imron Dahono Fitrianto Dahta Gautama Damanhuri Damar Juniarto Damhuri Muhammad Damiri Mahmud Dantje S Moeis Darju Prasetya Darma Putra Darman Moenir Darmanto Jatman Dedy Tri Riyadi Delvi Yandra Denny JA Denny Mizhar Dewi Anggraeni Dian Basuki Dian Hartati Dian Sukarno Dian Yanuardy Diana AV Sasa Dinar Rahayu Djenar Maesa Ayu Djoko Pitono Djoko Saryono Doddi Ahmad Fauji Dody Kristianto Donny Anggoro Donny Syofyan Dorothea Rosa Herliany Dwi Cipta Dwi Fitria Dwi Pranoto Dwi S. Wibowo Dwicipta Edeng Syamsul Ma’arif Edi Warsidi Edy Firmansyah EH Kartanegara Eka Alam Sari Eka Budianta Eka Kurniawan Eko Darmoko Ellyn Novellin Elnisya Mahendra Emha Ainun Nadjib Emil Amir Engkos Kosnadi Esai Esha Tegar Putra Evan Ys F. Budi Hardiman Fadly Rahman Fahmi Fahrudin Nasrulloh Faisal Kamandobat Fani Ayudea Fariz al-Nizar Faruk HT Fatah Anshori Fatah Yasin Noor Fatkhul Anas Fatkhul Aziz Felix K. Nesi Film Fitri Yani Franditya Utomo Fuska Sani Evani Gabriel Garcia Marquez Gandra Gupta Garna Raditya Gde Artawan Geger Riyanto Gendhotwukir George Soedarsono Esthu Gerakan Surah Buku (GSB) Goenawan Mohamad Grathia Pitaloka Gunawan Budi Susanto Gunawan Tri Atmojo H. Supriono Muslich H.B. Jassin Hadi Napster Halim H.D. Hamberan Syahbana Hamidah Abdurrachman Han Gagas Hardi Hamzah Haris del Hakim Haris Priyatna Hasan Aspahani Hasan Gauk Hasan Junus Hasnan Bachtiar Helvy Tiana Rosa Helwatin Najwa Hendra Junaedi Hendra Makmur Hendriyo Widi Ismanto Hepi Andi Bastoni Heri Latief Heri Listianto Herry Firyansyah Heru Untung Leksono Hikmat Darmawan Hilal Ahmad Hilyatul Auliya Holy Adib Hudan Hidayat Hudan Nur Husnun N Djuraid I Nyoman Suaka Ibnu Rizal Ibnu Rusydi Ibnu Wahyudi IGK Tribana Ignas Kleden Ignatius Haryanto Iksan Basoeky Ilenk Rembulan Ilham khoiri Imam Jazuli Imam Nawawi Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Iman Budi Santosa Imelda Imron Arlado Imron Tohari Indiar Manggara Indira Margareta Indra Darmawan Indra Tjahyadi Indra Tranggono Indrian Koto Ingki Rinaldi Insaf Albert Tarigan Intan Hs Isbedy Stiawan ZS Ismail Amin Ismi Wahid Ivan Haris Iwan Gunadi Jacob Sumardjo Jafar Fakhrurozi Jajang R Kawentar Janual Aidi Javed Paul Syatha Jean-Marie Gustave Le Clezio JJ. Kusni Joko Pinurbo Joko Sandur Joko Widodo Joni Ariadinata Jual Buku Paket Hemat Julika Hasanah Julizar Kasiri Jumari HS Junaidi Jusuf AN Kadir Ruslan Kartika Candra Kasnadi Katrin Bandel Kenedi Nurhan Ketut Yuliarsa KH. Ma'ruf Amin Khaerudin Khalil Zuhdy Lawna Kholilul Rohman Ahmad Komunitas Deo Gratias Komunitas Teater Sekolah Kabupaten Gresik (KOTA SEGER) Korrie Layun Rampan Krisandi Dewi Kritik Sastra Kucing Oren Kuswinarto Langgeng Widodo Lathifa Akmaliyah Latief S. Nugraha Leila S. Chudori Lenah Susianty Leon Agusta Lina Kelana Linda Sarmili Liston P. Siregar Liza Wahyuninto M Shoim Anwar M. Arman A.Z. M. Fadjroel Rachman M. Faizi M. Harya Ramdhoni M. Kasim M. Latief M. Wildan Habibi M. Yoesoef M.D. Atmaja Mahdi Idris Mahmud Jauhari Ali Mahwi Air Tawar Malkan Junaidi Maman S. Mahayana Mardi Luhung Marhalim Zaini Maria hartiningsih Maria Serenada Sinurat Mario F. Lawi Maroeli Simbolon S. Sn Marsus Banjarbarat Marwanto Mas Ruscitadewi Masdharmadji Mashuri Masriadi Mawar Kusuma Wulan Max Arifin Melani Budianta Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia Mezra E. Pellondou Micky Hidayat Mihar Harahap Misbahus Surur Moh Samsul Arifin Moh. Syafari Firdaus Mohamad Asrori Mulky Mohammad Afifuddin Mohammad Fadlul Rahman Muh Kholid A.S. Muh. Muhlisin Muhajir Arifin Muhamad Sulhanudin Muhammad Al-Fayyadl Muhammad Amin Muhammad Azka Fahriza Muhammad Rain Muhammad Subhan Muhammad Yasir Muhammad Zuriat Fadil Muhammadun A.S Muhidin M. Dahlan Musa Ismail Musfi Efrizal Mustafa Ismail Nafi’ah Al-Ma’rab Naskah Teater Nezar Patria Nina Setyawati Nirwan Ahmad Arsuka Nirwan Dewanto Noor H. Dee Noval Maliki Nunuy Nurhayati Nur Haryanto Nurani Soyomukti Nurel Javissyarqi Nurhadi BW Nurudin Octavio Paz Oliviaks Orasi Budaya Akhir Tahun 2018 Pablo Neruda Pamusuk Eneste Panda MT Siallagan Pandu Jakasurya PDS H.B. Jassin Philipus Parera Pradewi Tri Chatami Pramoedya Ananta Toer Pramono Pranita Dewi Pringadi AS Prosa Puisi Puisi Menolak Korupsi PuJa Puji Santosa Puput Amiranti N Purnawan Andra PUstaka puJAngga Putri Utami Putu Fajar Arcana Putu Wijaya Qaris Tajudin R Sutandya Yudha Khaidar R. Sugiarti R. Timur Budi Raja R.N. Bayu Aji Rachmad Djoko Pradopo Radhar Panca Dahana Rahmadi Usman Rahmat Sudirman Rahmat Sularso Nh Rahmat Sutandya Yudhanto Raihul Fadjri Rainer Maria Rilke Raja Ali Haji Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Raudal Tanjung Banua Reiny Dwinanda Remy Sylado Resensi Revolusi Riadi Ngasiran Ribut Wijoto Ridha al Qadri Ridwan Munawwar Rikobidik Riri Riris K. Toha-Sarumpaet Risang Anom Pujayanto Rizky Andriati Pohan Robert Frost Robin Al Kautsar Robin Dos Santos Soares Rodli TL Rofiqi Hasan Rohman Budijanto Romi Febriyanto Saputro Rosihan Anwar RR Miranda Rudy Policarpus Rukardi S Yoga S. Jai S.I. Poeradisastra S.W. Teofani Sabam Siagian Sabrank Suparno Saiful Amin Ghofur Sainul Hermawan Sajak Sakinah Annisa Mariz Salamet Wahedi Salman Rusydie Anwar Samsudin Adlawi Sapardi Djoko Damono Sartika Dian Nuraini Sastra Sastra Gerilyawan Sastri Sunarti Satmoko Budi Santoso Saut Situmorang Sejarah Sekolah Literasi Gratis (SLG) SelaSastra SelaSastra ke #24 Selasih Seno Gumira Ajidarma Seno Joko Suyono Sergi Sutanto Shadiqin Sudirman Shiny.ane el’poesya Sidik Nugroho Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Simo Sungelebak Karanggeneng Lamongan Siti Sa’adah Sitok Srengenge Siwi Dwi Saputro Sjifa Amori Sofyan RH. Zaid Soni Farid Maulana Sony Prasetyotomo Sosiawan Leak Sri Wintala Achmad Sri Wulan Rujiati Mulyadi Subhan SD Suci Ayu Latifah Sulaiman Djaya Sulistiyo Suparno Sunaryo Broto Sunaryono Basuki Ks Sungatno Sunlie Thomas Alexander Sunudyantoro Suriali Andi Kustomo Suryadi Suryansyah Suryanto Sastroatmodjo Susi Ivvaty Susianna Susilowati Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Suwardi Endraswara Syaifuddin Gani Syaiful Bahri Syam Sdp Syarif Hidayatullah Tajuddin Noor Ganie Tammalele Tan Malaka Taufik Ikram Jamil Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat Teguh Trianton Tengsoe Tjahjono Th Pudjo Widijanto Thayeb Loh Angen Theresia Purbandini Tia Setiadi Tito Sianipar Tiya Hapitiawati Tjahjono Widarmanto Tjahjono Widijanto Toko Buku Murah PUstaka puJAngga Tosa Poetra Tri Joko Susilo Triyanto Triwikromo Tu-ngang Iskandar Udo Z. Karzi Uly Giznawati Umar Fauzi Umar Kayam Undri Uniawati Universitas Indonesia UU Hamidy Vyan Tashwirul Afkar W Haryanto W.S. Rendra Wahyudin Wannofri Samry Warung Boenga Ketjil Waskiti G Sasongko Wawan Eko Yulianto Wawancara Web Warouw Wijang Wharek Wiko Antoni Wina Bojonegoro Wira Apri Pratiwi Wiratmo Soekito Wishnubroto Widarso Wiwik Hastuti Wiwik Hidayati Wong Wing King WS Rendra Xu Xi (Sussy Komala) Y. Thendra BP Y. Wibowo Yani Arifin Sholikin Yesi Devisa Yohanes Sehandi Yona Primadesi Yosi M. Giri Yusi Avianto Pareanom Yusri Fajar Yusrizal KW Yuval Noah Harari Yuyu AN Krisna Zaki Zubaidi Zalfeni Wimra Zawawi Se Zehan Zareez Zen Hae Zhaenal Fanani Zuarman Ahmad Zulfikar Akbar Zulhasril Nasir