Senin, 19 September 2011

Arsenal Utama yang Terlupa

Radhar Panca Dahana*
Kompas,19 Mei 2007

SEMBILAN tahun reformasi berlalu dan Orde Baru tumbang ternyata masih meninggalkan banyak pesimisme di berbagai kalangan. Kritik dan keluhan banyak dilontarkan pada merosotnya kemampuan produksi, daya saing, kreativitas, dan kualitas produk-produk unggulan negeri ini.

Biar tercatat sedikit kemajuan, ia tidak cukup signifikan untuk mengangkat standar hidup, terutama di kalangan rakyat kecil, ke tingkatan yang sama dengan negara-negara tetangga, bahkan pada level yang pernah dicapai pemerintahan Soeharto. Apa yang kini menjadi bahan keributan utama justru urusan-urusan politik, atau segala macam persoalan yang dipandang dari kepentingan politis.

Hal itu tak hanya membuat kita menderita mental “kalahan”, sampai tak mampu berbuat apa-apa ketika beberapa potensi utama bangsa ini “dirampok” atau dipatenkan oleh pihak asing, di mana mereka mengomersialkannya secara global tanpa sisa keuntungan sedikit pun untuk kita.

Dominasi kepentingan politis itu membuat kita lupa pada satu kekuatan utama, yang—dalam sejarah panjang negeri ini—justru membuat bangsa mana pun respek, bahkan mengapresiasinya dengan kekaguman. Di kala semua komoditas ekonomi, sosial, dan politik kita mengalami inflasi di tingkat global, potensi inilah satu-satunya yang dapat mempertahankan nilai dan mutunya.

Mesti diakui, potensi dan produk yang satu ini pula yang selama ini berhasil menjaga wibawa, meningkatkan “harga”, bahkan mendukung—langsung dan tak langsung—sukses diplomasi kita. Potensi itu tidak lain adalah karya kreatif, artistik pada khususnya. Kita menyebutnya karya seni dan kesenian.

Bahkan, sebelum negeri ini secara modern terbentuk dan diakui, kesenian negeri kepulauan ini telah sukses. Tak hanya menerima aplaus, tetapi juga menanam pengaruh yang tajam di beberapa seniman legendaris dunia. Sejak dari masa Raden Saleh, kekaguman Rabindranath Tagore (yang menolak menyatakan Borobudur adalah karya seni derivatif dari India), hingga Claude Debussy, Antonin Artaud, atau Peter Gabriel—antara lain—yang konsep-konsep jenial mereka “meminjam” atau dipengaruhi oleh kekaguman dan studi mereka pada kesenian di kepulauan ini.

Dan itu berlaku hingga hari ini.

Senjata budaya

Betapa pun, dahulu Soekarno—sebagai presiden pertama Indonesia—memiliki perhatian begitu besar pada kesenian. Begitu pun KH Abdurrahman Wahid, presiden keempat, memiliki keterlibatan kental dengan hidup kesenian. Akan tetapi, tetap saja seni sebagai sebagai “kekuatan”—kultural, ekonomis, juga politis—belum diperhitungkan dalam strategi besar kita dalam bernegara.

Berbagai kebijakan perihal kesenian hingga di kabinet “SBY”, sebagaimana tertuang dalam kebijakannya di Departemen Kebudayaan dan Pariwisata, masih tetap melihat peran kesenian secara minor, jika tidak termarjinalisasi, dibandingkan sektor-sektor lainnya. Pemahaman akan kesenian lebih didominasi oleh pertimbangan ekonomis: sebagai salah satu sektor penghasil keuntungan finansial.

Pandangan tersebut tidak seluruhnya keliru. Namun, tentu, ia tidak harus menafikan potensi kesenian dalam menciptakan fungsi dan peran yang jauh lebih kuat dan lebih luas dari itu. Dibandingkan dengan nama-nama besar dalam dunia politik dan diplomasi kita, mulai dari Soekarno, Agus Salim, hingga Adam Malik, Soeharto hingga Gus Dur, dan presiden incumbent kita sekarang ini, banyak nama dalam kesenian Indonesia yang memperoleh penghargaan dan kehormatan setara di dunia internasional.

Katakanlah nama Pramoedya Ananta Toer, Chairil Anwar (yang masuk dalam ensiklopedia resmi Perancis dan Rusia, misalnya), Mochtar Lubis, Rendra, Putu Wijaya, Sardono W Kusumo hingga belakangan Rahayu Supanggah, Garin Nugroho, dan masih banyak nama lagi. Penghargaan internasional banyak diraih tokoh-tokoh kesenian, bahkan di saat citra Indonesia—secara sosial, politik, dan ekonomi—terpuruk.

Itu pun belum memperhitungkan karya-karya kreatif lain yang bersifat kolektif dan anonim, baik yang modern, tradisional, maupun yang primitif. Dibandingkan dengan sektor-sektor hidup lain, bukti dan potensi ini sesungguhnya dapat menjadi kekuatan pendamping, bahkan senjata utama, dalam usaha diplomasi atau penegakan posisi tawar Indonesia di mata dunia.

Sayangnya, masih banyak pengambil kebijakan yang memandangnya sebelah mata. Itu karena mereka tak mengenalnya dengan baik atau telanjur terkena stigma negatif akibat latar historis seni yang buruk atau perilaku yang kadang terpandang “eks-sentris”, urakan bahkan asosial.

Potensi raksasa

Satu hal lagi yang terlupa dari potensi kesenian sebagai produk budaya adalah kemampuannya dalam mendongkrak pertumbuhan ekonomi secara sangat signifikan. Hal ini terbukti di Inggris, negeri yang pada tahun 1990-an awal disebut sebagai “negara ketiga Eropa” secara ekonomis karena kekalahannya dalam industri berat, terutama setelah ekspansi macan-macan Asia, seperti China, Jepang, Korea Selatan, dan India belakangan.

Tahun 1998, Pemerintah Inggris melakukan pemetaan yang komprehensif mengenai potensi ekonominya. Mereka menemukan ternyata sektor (industri) kreatif, termasuk musik—yang sampai 1997 dipandang sebelah mata—telah memberi sumbangan sangat signifikan dan pertumbuhan ekonomi mereka. Data itu membuat para pengambil kebijakan memberi fokus yang lebih kuat pada industri budaya tersebut.

Hasilnya, industri kreatif Inggris—seperti kriya, desain, busana, film, televisi, musik, seni pertunjukan, iklan, arsitektur—menciptakan pertumbuhan rata-rata 9 persen per tahun, tiga kali lebih pertumbuhan ekonomi nasionalnya yang hanya 2,8 persen. Tahun 2003 ia menyumbang 8 persen dari PDB Inggris (121,6 miliar pound) dan 15 persen dari nilai ekspornya. Ia menjadi sumber penghasilan kedua setelah jasa perbankan, dan merekrut tidak kurang dari dua juta tenaga kerja.

Di bagian lain dunia, kita tahu, bisnis serupa merupakan penghasil uang terbanyak di Amerika Serikat, setelah bisnis senjata. Di Singapura ia menyumbang 5 persen dari PDB dengan pertumbuhan annual 10 persen. Di Kolombia, 4 persen PDB dan jauh lebih tinggi dari produk unggulan mereka: kopi.

Di Indonesia, potensi itu begitu meraksasa. Bukan hanya karena pengenalan dunia pada kreativitas seniman kita yang tinggi dan penuh ide, tetapi juga fakta-fakta kecil, seperti 1.500 gerai pakaian independen (“distro”) di Jakarta, Bandung, Yogya, Medan atau Surabaya, yang memberi penghasilan pada pengusaha muda hingga 75.000-100.000 dollar AS tiap bulannya.

Belum lagi kreativitas seniman muda kita dalam semangat DIY (Do It Yourself)-nya, yang juga mampu menembus pasar internasional di bidang game dan animasi. Bahkan, dalam permebelan global muncul merek Chamdani, perusahaan lokal yang semula bernama Alam Calamus.

Raksasa tidur

Contoh kecil di atas masih tak bisa menutupi kenyataan bagaimana sentra-sentra industri kreatif, kota-kota atau komunitas dengan kekayaan artistik dan produk budayanya, seperti batik, lukisan, patung, musik, seni pertunjukan, furnitur, hingga arsitektur, masihlah kembang kempis hidupnya, sebagaimana UKM pada umumnya.

Karya-karya mereka begitu kaya dan unik, tetapi selalu gagal pada tahap komersialisasi atau industrinya. Banyak yang kemudian menjadi korban pembajakan dan “perampokan” potensi ekonominya. Posisi mereka begitu lemah bahkan subordinat di antara kapital besar. Sementara bukan hanya birokrasi pemerintah, para elite, melainkan juga pihak swasta (perbankan antara lain) tak berhasil memandang kekuatan gigantik dari raksasa tidur itu.

Pihak kreator dan senimannya sendiri kerap bereaksi secara pasif dan defensif, seperti Putu Wijaya yang pernah menyatakan, “Biarlah mereka merampok satu-dua, bahkan sepuluh-dua puluh ide kita, karena kita masih menyimpan seribu dalam kepala.” Sikap ini memang mengundang decak kekaguman walau juga menyiratkan kenaifan dan semacam kepasrahan.

Padahal, Putu sendiri, dengan gaya teatrikal eksperimental tahun 70-annya saja, masih mampu meraih penghargaan tertinggi dalam festival teater eksperimental internasional di Cairo, tahun lalu. Dan masih banyak putu-putu lain, yang tak cukup menyadari, betapa mereka sesungguhnya adalah panglima besar yang dapat menjadi loko bagi perkembangan bangsa ini di semua lini.

Karena, mereka memiliki satu hal yang khas: karya kreatif. Sebuah arsenal yang begitu utama, tetapi kita melupakannya. Maka, siapa pun jenderal dan prajurit negeri ini pasti menderita rugi bila mereka lupa diri dan tenggelam melulu dalam statistik serta indikator politik-ekonomi, yang sebenarnya sudah bisu dan basi.

* Radhar Panca Dahana, Sastrawan Tinggal di Tangerang
Dijumput dari: http://cabiklunik.blogspot.com/2007/05/esai-arsenal-utama-yang-terlupa.html

Tidak ada komentar:

A Musthafa A Rodhi Murtadho A Wahyu Kristianto A. Mustofa Bisri A. Qorib Hidayatullah A. Zakky Zulhazmi A.J. Susmana A.S. Laksana Aang Fatihul Islam Abdul Azis Sukarno Abdul Aziz Rasjid Abdul Hadi W. M. Abdul Kadir Ibrahim Abdul Malik Abdul Wachid BS Abdullah al-Mustofa Abdullah Khusairi Abdurrahman Wahid Abidah El Khalieqy Abimanyu Abimardha Kurniawan Abroorza A. Yusra Acep Iwan Saidi Acep Zamzam Noor Achmad Maulani Adek Alwi Adhi Pandoyo Adrian Ramdani Ady Amar Afrizal Malna Agnes Rita Sulistyawati Aguk Irawan Mn Agus R. Sarjono Agus Riadi Agus Subiyakto Agus Sulton Aguslia Hidayah Ahda Imran Ahm Soleh Ahmad Farid Tuasikal Ahmad Farid Yahya Ahmad Fatoni Ahmad Kekal Hamdani Ahmad Luthfi Ahmad Muchlish Amrin Ahmad Nurhasim Ahmad Sahidah Ahmad Syauqi Sumbawi Ahmad Yulden Erwin Ahmad Zaini Ahmadie Thaha Ahmadun Yosi Herfanda Ainur Rasyid AJ Susmana Ajip Rosidi Akhiriyati Sundari Akhmad Muhaimin Azzet Akhmad Sekhu Alan Woods Alex R. Nainggolan Alexander Aur Alexander G.B. Alfian Dippahatang Ali Audah Ali Rif’an Aliela Alimuddin Alit S. Rini Alunk Estohank Ami Herman Amich Alhumami Amien Wangsitalaja Aming Aminoedhin Aminudin TH Siregar Ammilya Rostika Sari An. Ismanto Anaz Andaru Ratnasari Andhi Setyo Wibowo Andhika Prayoga Andong Buku #3 Andrenaline Katarsis Andri Cahyadi Angela Anies Baswedan Anindita S Thayf Anjrah Lelono Broto Anton Kurnia Anton Sudibyo Anton Wahyudi Anwar Holid Anwar Siswadi Aprinus Salam Arie MP Tamba Arif Hidayat Arif Zulkifli Arti Bumi Intaran Asarpin Asep Sambodja Asvi Warman Adam Awalludin GD Mualif Ayu Utami Azyumardi Azra Babe Derwan Bagja Hidayat Balada Bandung Mawardi Bayu Agustari Adha Beni Setia Benni Setiawan Benny Benke Bentara Budaya Yogyakarta Berita Bernadette Lilia Nova Bernando J. Sujibto Berthold Damshäuser Bhakti Hariani Binhad Nurrohmat Bokor Hutasuhut Bonari Nabonenar Brunel University London Budaya Budhi Setyawan Budi Darma Budi Hutasuhut Budi P. Hatees Budi Winarto Buku Kritik Sastra Buldanul Khuri Bustan Basir Maras Camelia Mafaza Capres dan Cawapres 2019 Catatan Cecep Syamsul Hari Cerpen Chairil Anwar Chamim Kohari Choirul Rikzqa D. Dudu A.R D. Dudu AR D. Zawawi Imron Dahono Fitrianto Dahta Gautama Damanhuri Damar Juniarto Damhuri Muhammad Damiri Mahmud Dantje S Moeis Darju Prasetya Darma Putra Darman Moenir Darmanto Jatman Dedy Tri Riyadi Delvi Yandra Denny JA Denny Mizhar Dewi Anggraeni Dian Basuki Dian Hartati Dian Sukarno Dian Yanuardy Diana AV Sasa Dinar Rahayu Djenar Maesa Ayu Djoko Pitono Djoko Saryono Doddi Ahmad Fauji Dody Kristianto Donny Anggoro Donny Syofyan Dorothea Rosa Herliany Dwi Cipta Dwi Fitria Dwi Pranoto Dwi S. Wibowo Dwicipta Edeng Syamsul Ma’arif Edi Warsidi Edy Firmansyah EH Kartanegara Eka Alam Sari Eka Budianta Eka Kurniawan Eko Darmoko Ellyn Novellin Elnisya Mahendra Emha Ainun Nadjib Emil Amir Engkos Kosnadi Esai Esha Tegar Putra Evan Ys F. Budi Hardiman Fadly Rahman Fahmi Fahrudin Nasrulloh Faisal Kamandobat Fani Ayudea Fariz al-Nizar Faruk HT Fatah Anshori Fatah Yasin Noor Fatkhul Anas Fatkhul Aziz Felix K. Nesi Film Fitri Yani Franditya Utomo Fuska Sani Evani Gabriel Garcia Marquez Gandra Gupta Garna Raditya Gde Artawan Geger Riyanto Gendhotwukir George Soedarsono Esthu Gerakan Surah Buku (GSB) Goenawan Mohamad Grathia Pitaloka Gunawan Budi Susanto Gunawan Tri Atmojo H. Supriono Muslich H.B. Jassin Hadi Napster Halim H.D. Hamberan Syahbana Hamidah Abdurrachman Han Gagas Hardi Hamzah Haris del Hakim Haris Priyatna Hasan Aspahani Hasan Gauk Hasan Junus Hasnan Bachtiar Helvy Tiana Rosa Helwatin Najwa Hendra Junaedi Hendra Makmur Hendriyo Widi Ismanto Hepi Andi Bastoni Heri Latief Heri Listianto Herry Firyansyah Heru Untung Leksono Hikmat Darmawan Hilal Ahmad Hilyatul Auliya Holy Adib Hudan Hidayat Hudan Nur Husnun N Djuraid I Nyoman Suaka Ibnu Rizal Ibnu Rusydi Ibnu Wahyudi IGK Tribana Ignas Kleden Ignatius Haryanto Iksan Basoeky Ilenk Rembulan Ilham khoiri Imam Jazuli Imam Nawawi Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Iman Budi Santosa Imelda Imron Arlado Imron Tohari Indiar Manggara Indira Margareta Indra Darmawan Indra Tjahyadi Indra Tranggono Indrian Koto Ingki Rinaldi Insaf Albert Tarigan Intan Hs Isbedy Stiawan ZS Ismail Amin Ismi Wahid Ivan Haris Iwan Gunadi Jacob Sumardjo Jafar Fakhrurozi Jajang R Kawentar Janual Aidi Javed Paul Syatha Jean-Marie Gustave Le Clezio JJ. Kusni Joko Pinurbo Joko Sandur Joko Widodo Joni Ariadinata Jual Buku Paket Hemat Julika Hasanah Julizar Kasiri Jumari HS Junaidi Jusuf AN Kadir Ruslan Kartika Candra Kasnadi Katrin Bandel Kenedi Nurhan Ketut Yuliarsa KH. Ma'ruf Amin Khaerudin Khalil Zuhdy Lawna Kholilul Rohman Ahmad Komunitas Deo Gratias Komunitas Teater Sekolah Kabupaten Gresik (KOTA SEGER) Korrie Layun Rampan Krisandi Dewi Kritik Sastra Kucing Oren Kuswinarto Langgeng Widodo Lathifa Akmaliyah Latief S. Nugraha Leila S. Chudori Lenah Susianty Leon Agusta Lina Kelana Linda Sarmili Liston P. Siregar Liza Wahyuninto M Shoim Anwar M. Arman A.Z. M. Fadjroel Rachman M. Faizi M. Harya Ramdhoni M. Kasim M. Latief M. Wildan Habibi M. Yoesoef M.D. Atmaja Mahdi Idris Mahmud Jauhari Ali Mahwi Air Tawar Malkan Junaidi Maman S. Mahayana Mardi Luhung Marhalim Zaini Maria hartiningsih Maria Serenada Sinurat Mario F. Lawi Maroeli Simbolon S. Sn Marsus Banjarbarat Marwanto Mas Ruscitadewi Masdharmadji Mashuri Masriadi Mawar Kusuma Wulan Max Arifin Melani Budianta Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia Mezra E. Pellondou Micky Hidayat Mihar Harahap Misbahus Surur Moh Samsul Arifin Moh. Syafari Firdaus Mohamad Asrori Mulky Mohammad Afifuddin Mohammad Fadlul Rahman Muh Kholid A.S. Muh. Muhlisin Muhajir Arifin Muhamad Sulhanudin Muhammad Al-Fayyadl Muhammad Amin Muhammad Azka Fahriza Muhammad Rain Muhammad Subhan Muhammad Yasir Muhammad Zuriat Fadil Muhammadun A.S Muhidin M. Dahlan Musa Ismail Musfi Efrizal Mustafa Ismail Nafi’ah Al-Ma’rab Naskah Teater Nezar Patria Nina Setyawati Nirwan Ahmad Arsuka Nirwan Dewanto Noor H. Dee Noval Maliki Nunuy Nurhayati Nur Haryanto Nurani Soyomukti Nurel Javissyarqi Nurhadi BW Nurudin Octavio Paz Oliviaks Orasi Budaya Akhir Tahun 2018 Pablo Neruda Pamusuk Eneste Panda MT Siallagan Pandu Jakasurya PDS H.B. Jassin Philipus Parera Pradewi Tri Chatami Pramoedya Ananta Toer Pramono Pranita Dewi Pringadi AS Prosa Puisi Puisi Menolak Korupsi PuJa Puji Santosa Puput Amiranti N Purnawan Andra PUstaka puJAngga Putri Utami Putu Fajar Arcana Putu Wijaya Qaris Tajudin R Sutandya Yudha Khaidar R. Sugiarti R. Timur Budi Raja R.N. Bayu Aji Rachmad Djoko Pradopo Radhar Panca Dahana Rahmadi Usman Rahmat Sudirman Rahmat Sularso Nh Rahmat Sutandya Yudhanto Raihul Fadjri Rainer Maria Rilke Raja Ali Haji Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Raudal Tanjung Banua Reiny Dwinanda Remy Sylado Resensi Revolusi Riadi Ngasiran Ribut Wijoto Ridha al Qadri Ridwan Munawwar Rikobidik Riri Riris K. Toha-Sarumpaet Risang Anom Pujayanto Rizky Andriati Pohan Robert Frost Robin Al Kautsar Robin Dos Santos Soares Rodli TL Rofiqi Hasan Rohman Budijanto Romi Febriyanto Saputro Rosihan Anwar RR Miranda Rudy Policarpus Rukardi S Yoga S. Jai S.I. Poeradisastra S.W. Teofani Sabam Siagian Sabrank Suparno Saiful Amin Ghofur Sainul Hermawan Sajak Sakinah Annisa Mariz Salamet Wahedi Salman Rusydie Anwar Samsudin Adlawi Sapardi Djoko Damono Sartika Dian Nuraini Sastra Sastra Gerilyawan Sastri Sunarti Satmoko Budi Santoso Saut Situmorang Sejarah Sekolah Literasi Gratis (SLG) SelaSastra SelaSastra ke #24 Selasih Seno Gumira Ajidarma Seno Joko Suyono Sergi Sutanto Shadiqin Sudirman Shiny.ane el’poesya Sidik Nugroho Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Simo Sungelebak Karanggeneng Lamongan Siti Sa’adah Sitok Srengenge Siwi Dwi Saputro Sjifa Amori Sofyan RH. Zaid Soni Farid Maulana Sony Prasetyotomo Sosiawan Leak Sri Wintala Achmad Sri Wulan Rujiati Mulyadi Subhan SD Suci Ayu Latifah Sulaiman Djaya Sulistiyo Suparno Sunaryo Broto Sunaryono Basuki Ks Sungatno Sunlie Thomas Alexander Sunudyantoro Suriali Andi Kustomo Suryadi Suryansyah Suryanto Sastroatmodjo Susi Ivvaty Susianna Susilowati Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Suwardi Endraswara Syaifuddin Gani Syaiful Bahri Syam Sdp Syarif Hidayatullah Tajuddin Noor Ganie Tammalele Tan Malaka Taufik Ikram Jamil Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat Teguh Trianton Tengsoe Tjahjono Th Pudjo Widijanto Thayeb Loh Angen Theresia Purbandini Tia Setiadi Tito Sianipar Tiya Hapitiawati Tjahjono Widarmanto Tjahjono Widijanto Toko Buku Murah PUstaka puJAngga Tosa Poetra Tri Joko Susilo Triyanto Triwikromo Tu-ngang Iskandar Udo Z. Karzi Uly Giznawati Umar Fauzi Umar Kayam Undri Uniawati Universitas Indonesia UU Hamidy Vyan Tashwirul Afkar W Haryanto W.S. Rendra Wahyudin Wannofri Samry Warung Boenga Ketjil Waskiti G Sasongko Wawan Eko Yulianto Wawancara Web Warouw Wijang Wharek Wiko Antoni Wina Bojonegoro Wira Apri Pratiwi Wiratmo Soekito Wishnubroto Widarso Wiwik Hastuti Wiwik Hidayati Wong Wing King WS Rendra Xu Xi (Sussy Komala) Y. Thendra BP Y. Wibowo Yani Arifin Sholikin Yesi Devisa Yohanes Sehandi Yona Primadesi Yosi M. Giri Yusi Avianto Pareanom Yusri Fajar Yusrizal KW Yuval Noah Harari Yuyu AN Krisna Zaki Zubaidi Zalfeni Wimra Zawawi Se Zehan Zareez Zen Hae Zhaenal Fanani Zuarman Ahmad Zulfikar Akbar Zulhasril Nasir