Alexander G.B.
http://www.lampungpost.com/
Empat jam dari Bakauheni sampailah aku di Terminal Rajabasa. Sengaja tak banyak barang bawaan, hanya beberapa helai baju dalam tas ransel hitam yang terlanjur berubah abu-abu. Debu berterbangan, beberapa di antaranya hinggap ke sepatu, baju, dan paru-paru. Rencana kepulanganku tak akan lebih dari seminggu. Aku menduga pasti tak akan kerasan di rumah. Aku tidak tahu mengapa perasaan tidak nyaman semacam ini bermekaran di kepala.
Aku tertarik dengan kesibukan orang-orang di terminal, ada yang merasa asing melangkah ragu-ragu. Tampak raut cemas dan lelah begitu lekat sebagian besar pengunjung, menunggu keberangkatan untuk pulang dan pergi. Tetapi sebagian—yang menganggap terminal sebagai rumah—tampak santai, kerap matanya berubah seperti mata serigala melihat mangsa. Mereka selalu tahu siapa yang sering bepergian dan yang tidak. Ketenanganku membuat mereka tak hendak mengusik atau mengganggu. Aku bersyukur atas itu.
Ya, sementara aku selamat, aku pantas lega karena mereka tak melakukan hal yang sama dengan pengunjung terminal lain yang menyeret ke sana kemari. Kudengar seorang lelaki berteriak Talangpadang—Kotaagung beberapa kali. Maka lekas kupilih bus menuju kota kecilku. Kupilih bangku di dekat jendela, dengan harapan jalan-jalan yang dulu kerap kulalui kembali hidup dalam ingatan. Lima belas tahun tak kusapa dan begitu banyak perubahan di sepanjang jalan menuju rumah. Aku turut bahagia dengan itu. Sepanjang jalan berbagai kendaraan menyesaki jalan. Semakin ramai rupanya. Dua jam kutempuh perjalanan dari Rajabasa menuju Talangpadang.
“Jangan lupa, jika sudah sampai di Talangpadang segera panggil becak, karena tukang ojek sering kali meminta ongkos yang terlalu tinggi dan tidak masuk akal,” ujar kakak perempuan yang kerap terlampau khawatir,
“Tetapi bukankah aku bisa menolaknya?”
“Mereka akan memaksa. Dan jika kamu tidak mau mereka akan terus mengikuti. Jadi untuk lebih amannya, sebaiknya kamu panggil becak.”
Aku teringat beberapa kisah menjelang Lebaran, ketika ramai orang-orang kampung mengadu nasib di Tangerang, Serang, Jakarta, atau ke luar negeri menjadi TKI di Taiwan, Malaysia, Hong Kong, Arab Saudi, dan sebagainya. Maklum tanah di kampung kian gersang. Hutan penyangga yang sempat dilarang untuk disentuh sudah lama berubah menjadi kebun kopi, cengkeh, lada, dan sebagainya.
Mengenang perjalananku, mengingatkan saat mudik Lebaran. Ketika para perantau dari kampung hendak merayakan Lebaran di kampung. Jika mereka selamat di Rajabasa, tukang ojek akan siap menghadang di Talangpadang. Kabarnya kita sudah merdeka. Beberapa di antara mereka diminta ongkos beratus kali lipat dari ongkos yang sewajarnya. Jika hari-hari biasa Rp25 ribu—Rp30 ribu, tetapi menjelang Lebaran terkadang mesti mengeluarkan Rp50 ribu sampai tak terhingga. Ada yang harus membayar Rp100 ribu, bahkan sampai Rp300 ribu. Keinginan menjumpai keluarga demikian besar sehingga mereka tetap memaksa diri untuk menempuh bahaya semacam itu, terkadang harus merelakan jerih payahnya diambil paksa oleh orang lain.
Lantas aku teringat sajak Saijah dan Adinda karya W.S. Rendra: “Orang-orang miskin menghabisi orang-orang miskin.” Aku menundukkan kepala. Saat ini semakin banyak teman dan saudara keluar dari kampung mengadu nasib di negeri orang, berharap mendapatkan pekerjaan dan sedikit uang tambahan, ada yang jadi pembantu rumah tangga, buruh pabrik, berjualan keliling, sales, dan lain sebagainya. Gaji mereka pasti di bawah UMR. Jadi ketika tukang ojek itu meminta ongkos yang tidak masuk akal, mendung segera bergelayut di wajah-wajah lelah yang rindu kampung halaman itu, yang sekadar ingin merayakan dua hari Lebaran bersama keluarganya.
Ketika memasuki Talangpadang, kucium aroma yang nyaris sama 10 tahun lalu. Amis ikan, jalanan berlubang, genangan air di mana-mana, ratusan tukang ojek yang mangkal di setiap gang dan sisi pasar. Aku menikmati keriuhan dan kesemrawutan ini. Menikmati mata-mata jalang yang mengamati laju becak yang kutumpangi.
Kucari warung nasi untuk mengisi perut yang mulai keroncongan. Tiga jam menunggu, dua gelas kopi kuhabiskan, tapi kendaraan yang kutunggu tak menampakkan batang hidungnya. Terik dan penat kuabaikan. Aku menunggu mobil yang bisa mengantarku ke rumah. Kendaraan sederhana yang biasa digunakan untuk mengangkut sayuran atau barang belanjaan para pedagang. Tak ada kendaraan khusus untuk penumpang. Mengenang hal tersebut aku jadi tersenyum kecut. Lebih 50 tahun merdeka, ilmu pengetahuan dan teknologi komunikasi berkembang pesat, tetapi tidak bagi Ulubelu dan sekitarnya. Aku percaya kampungku masih Indonesia.
Sudah hampir pukul dua sore. Mobil yang kutunggu tak kunjung menampakkan batang hidungya.
“Naek ojek saja. Tapi cari mereka yang mangkal di dekat pos penjaga dekat Alfamart. Jangan yang di tempat lain.”
Aku mengangguk. Lalu melangkah menuju tempat seperti yang disarankan kakak perempuanku. Mengabaikan mata-mata beringas yang sesekali menawarkan jasanya. Oia, beberapa tahun terakhir kampungku sudah ramai dengan telepon seluler. Tak ada telepon rumah karena tempatnya memang sulit dijangkau.
***
Segera kubayangkan jalanan berkelok yang harus kutempuh. Satu jam perjalanan. Tidak terlalu jauh. Hawa dingin sudah mulai membayang dalam ingatan. Pohon-pohon rimbun di sisi kiri dan kanan jalan, sungai dari mata air Gunung Rendingan yang dipenuhi batu-batu hitam yang berjajar rapi. Kabut yang turun sejak pukul emapt sore. Uap belerang, hamparan kebun kopi, sawah, dan teman-teman lama.
Rumah tampak sepi, hanya ada Rani, kakak perempuanku yang sedang menjahit pakaian pelanggannya. Tak tampak ayah. Mungkin masih di pasar, atau sedang berkebun seperti biasanya. Tiba-tiba aku merindukan ayah. Sosok yang sejak dulu kuhindari. Bahkan kepergianku ke Jawa adalah usaha menjauh darinya. Aku tidak tahu mengapa aku demikian membenci ayah. Bahkan, setelah 10 tahun pergi dari rumah, perasaan semacam itu masih tampak begitu kuat. Sempat ada keraguan ketika hendak membuka pintu. Tampak sepi. Hanya ada Rani yang langsung memelukku begitu aku membuka pintu.
***
“Sudah lama ayah menunggumu. Ia bangga kamu sudah semakin hebat sekarang. Kabarmu selalu ia ikuti. Ia selalu bertanya tentang dirimu. Berkali-kali ia memandangi foto-fotomu dari album yang kamu kirimkan. Ia begitu bangga, hingga hampir setiap hari ia ceritakan tentang dirimu kepada para tetangga dan keluarga lainnya. Banyak yang iri dengan dirimu.”
Aku terdiam. Benarkah apa yang diucapkan wanita yang dulu selalu melindungiku dari kemarahan ayah. Jika menilik matanya tak ada kesan untuk membohongi atau menipuku. Sungguh, hanya dialah aku percaya. Selama ini aku hanya memberi kabar padanya. Tentang ibu, ia meninggal ketika kami masih duduk di sekolah dasar. Sejak kematian ibu, aku membenci ayah. Ayah di mataku seperti serigala. Barangkali kebencianku bermula dari Ibu yang sering bercerita tentang keburukan ayah. Kata ibu, ayah tak pernah sungguh-sungguh menafkahi keluarga. Ayah pemarah dan mau menang sendiri. Kesimpulan masa kecilku.
Tak bisa kupungkiri, aku begitu dekat dengan sosok yang biasa kupanggil ibu. Sikap ayah pun kasar kepadaku. Perlakuannya membuat aku semakin yakin cerita ibu bahwa ayah bukan seorang yang baik. Matanya yang menyala tampak seperti menyimpan dendam atau kebencian pada ibu. Wanita yang kemudian melahirkan adikku yang ketiga dari hubungannya dengan lelaki lain. Kabarnya ibu lakukan itu sebagai balasan atas perlakuan ayah. Kakak perempuanku yang berkisah. Ia pasti bisa dipercaya. Rani juga menyayangi ibu, ia juga tidak menyukai ayah, tetapi kebenciannya tidak sebesar kebencianku.
Tak lama sejak kematian ibu, ayah menikah lagi. Aku kian membencinya. Setelah menyelesaikan SMA, aku melanjutkan kuliah atas usaha Rani agar hidupku bisa berubah lebih baik. Akhirnya jauh dari kampung. Akhirnya lepas juga rumah yang tak beda dengan penjara. Aku juga tidak tahu apa yang mendorong ayah mengikuti saran Rani. Ia hanya seorang pedagang kecil dengan sepetak tanah yang ditanami kopi dan palawija.
***
Setelah sesaat diam. Duduk dan meneguk segelas kopi yang dihidangkan Rani, kutatap langit sore. Kulihat wajah Rani yang tampak kelelahan, meski ia mencoba menyembunyikan di balik senyumnya yang sejak dulu indah. Aku menukasi senyum Rani. Rani bercerita sudah lama berpisah dari suaminya. Aku mengangguk. Pantas saja ia tampak lebih tua dari yang semestinya, mungkin karena harus menanggung biaya hidup dan sekolah anaknya yang baru saja masuk SMP tahun kemarin. Begitu banyak hal terjadi, dan aku tak tahu. Lebih tepatnya aku tak ingin tahu. Aku meninggalkan rumah dengan perasaan benci kepada ayah, kepada rumah, kepada hidupku. Bahkan, aku tak pernah bangga dengan apa yang sudah aku lakukan meski bertahun-tahun bergelut dengan dunia ideal yang banyak diimpikan orang.
Hawa dingin mulai merasuk. Sudah lama tak kurasakan dingin seperti ini.
“Besok aku mau ke kebun. Aku mau mandi di sungai. Kebun dan sawah kita masih ada kan?”
“Tidak, semuanya sudah dijual untuk membiayai kuliahmu. Meski banyak keluarga yang menentang, ayah tetap menjualnya. Iya tidak ingin kamu berhenti kuliah karena putus biaya. Ia merasa kamu satu-satunya yang pantas dibanggakan. Aku sendiri gagal membangun rumah tanggaku. Sementara Dani meninggal karena berkelahi waktu ada keramaian di kampung tetangga. Kamu satu-satunya harapan keluarga. Dan ia selalu membanggakanmu.”
Ada sebersit rasa yang aneh. Aku tidak tahu apa yang terjadi dengan perasaanku.
“Ayah di mana sekarang? Kenapa sudah lewat magrib tidak pulang juga.”
Rani diam. Beberapa kali menghela napas.
“Ia meninggal setahun yang lalu. Kamu masih ingatkan, waktu aku kasih kabar ayah sakit kepadamu?”
Aku mengangguk.
“Kamu bilang tak bisa pulang karena sedang ada pementasan di Makassar. Ayah melarangku untuk menghubungi lagi. Takut kegiatanmu terganggu. Tak lama dari situ ia meninggal. Tetapi ia tersenyum. Sebelum meninggal ia berpesan agar aku menjagamu. Ia minta maaf karena tak bisa menunggumu pulang.”
Kepalaku terasa berat sekali. Bagaimana jika Rani dan ayah tahu aku tidak selesai kuliah? Bagaimana jika mereka tahu pengorbanannya sia-sia? Hampir setiap hari aku dan teman-teman berbincang tentang hati nurani, estetika, filsafat, kemanusiaan, tentang masyarakat yang sakit. Seolah-olah kami yang paling sehat, karena masih punya cita-cita dan idealisme. Tetapi ayah dan Dani meninggal. Aku tidak sempat berterima kasih dan meminta maaf kepadanya.
Gelas yang kugenggam terlepas. Suara pecahannya mengejutkan Rani. Lantas gelap. Gelap sekali.
April—Mei 2011
Wahyaning wahyu tumelung, tulus tan kena tinegor (wirid hidayat jati, R.Ng. Ronggowarsito)
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
A Musthafa
A Rodhi Murtadho
A Wahyu Kristianto
A. Mustofa Bisri
A. Qorib Hidayatullah
A. Zakky Zulhazmi
A.J. Susmana
A.S. Laksana
Aang Fatihul Islam
Abdul Azis Sukarno
Abdul Aziz Rasjid
Abdul Hadi W. M.
Abdul Kadir Ibrahim
Abdul Malik
Abdul Wachid BS
Abdullah al-Mustofa
Abdullah Khusairi
Abdurrahman Wahid
Abidah El Khalieqy
Abimanyu
Abimardha Kurniawan
Abroorza A. Yusra
Acep Iwan Saidi
Acep Zamzam Noor
Achmad Maulani
Adek Alwi
Adhi Pandoyo
Adrian Ramdani
Ady Amar
Afrizal Malna
Agnes Rita Sulistyawati
Aguk Irawan Mn
Agus R. Sarjono
Agus Riadi
Agus Subiyakto
Agus Sulton
Aguslia Hidayah
Ahda Imran
Ahm Soleh
Ahmad Farid Tuasikal
Ahmad Farid Yahya
Ahmad Fatoni
Ahmad Kekal Hamdani
Ahmad Luthfi
Ahmad Muchlish Amrin
Ahmad Nurhasim
Ahmad Sahidah
Ahmad Syauqi Sumbawi
Ahmad Yulden Erwin
Ahmad Zaini
Ahmadie Thaha
Ahmadun Yosi Herfanda
Ainur Rasyid
AJ Susmana
Ajip Rosidi
Akhiriyati Sundari
Akhmad Muhaimin Azzet
Akhmad Sekhu
Alan Woods
Alex R. Nainggolan
Alexander Aur
Alexander G.B.
Alfian Dippahatang
Ali Audah
Ali Rif’an
Aliela
Alimuddin
Alit S. Rini
Alunk Estohank
Ami Herman
Amich Alhumami
Amien Wangsitalaja
Aming Aminoedhin
Aminudin TH Siregar
Ammilya Rostika Sari
An. Ismanto
Anaz
Andaru Ratnasari
Andhi Setyo Wibowo
Andhika Prayoga
Andong Buku #3
Andrenaline Katarsis
Andri Cahyadi
Angela
Anies Baswedan
Anindita S Thayf
Anjrah Lelono Broto
Anton Kurnia
Anton Sudibyo
Anton Wahyudi
Anwar Holid
Anwar Siswadi
Aprinus Salam
Arie MP Tamba
Arif Hidayat
Arif Zulkifli
Arti Bumi Intaran
Asarpin
Asep Sambodja
Asvi Warman Adam
Awalludin GD Mualif
Ayu Utami
Azyumardi Azra
Babe Derwan
Bagja Hidayat
Balada
Bandung Mawardi
Bayu Agustari Adha
Beni Setia
Benni Setiawan
Benny Benke
Bentara Budaya Yogyakarta
Berita
Bernadette Lilia Nova
Bernando J. Sujibto
Berthold Damshäuser
Bhakti Hariani
Binhad Nurrohmat
Bokor Hutasuhut
Bonari Nabonenar
Brunel University London
Budaya
Budhi Setyawan
Budi Darma
Budi Hutasuhut
Budi P. Hatees
Budi Winarto
Buku Kritik Sastra
Buldanul Khuri
Bustan Basir Maras
Camelia Mafaza
Capres dan Cawapres 2019
Catatan
Cecep Syamsul Hari
Cerpen
Chairil Anwar
Chamim Kohari
Choirul Rikzqa
D. Dudu A.R
D. Dudu AR
D. Zawawi Imron
Dahono Fitrianto
Dahta Gautama
Damanhuri
Damar Juniarto
Damhuri Muhammad
Damiri Mahmud
Dantje S Moeis
Darju Prasetya
Darma Putra
Darman Moenir
Darmanto Jatman
Dedy Tri Riyadi
Delvi Yandra
Denny JA
Denny Mizhar
Dewi Anggraeni
Dian Basuki
Dian Hartati
Dian Sukarno
Dian Yanuardy
Diana AV Sasa
Dinar Rahayu
Djenar Maesa Ayu
Djoko Pitono
Djoko Saryono
Doddi Ahmad Fauji
Dody Kristianto
Donny Anggoro
Donny Syofyan
Dorothea Rosa Herliany
Dwi Cipta
Dwi Fitria
Dwi Pranoto
Dwi S. Wibowo
Dwicipta
Edeng Syamsul Ma’arif
Edi Warsidi
Edy Firmansyah
EH Kartanegara
Eka Alam Sari
Eka Budianta
Eka Kurniawan
Eko Darmoko
Ellyn Novellin
Elnisya Mahendra
Emha Ainun Nadjib
Emil Amir
Engkos Kosnadi
Esai
Esha Tegar Putra
Evan Ys
F. Budi Hardiman
Fadly Rahman
Fahmi
Fahrudin Nasrulloh
Faisal Kamandobat
Fani Ayudea
Fariz al-Nizar
Faruk HT
Fatah Anshori
Fatah Yasin Noor
Fatkhul Anas
Fatkhul Aziz
Felix K. Nesi
Film
Fitri Yani
Franditya Utomo
Fuska Sani Evani
Gabriel Garcia Marquez
Gandra Gupta
Garna Raditya
Gde Artawan
Geger Riyanto
Gendhotwukir
George Soedarsono Esthu
Gerakan Surah Buku (GSB)
Goenawan Mohamad
Grathia Pitaloka
Gunawan Budi Susanto
Gunawan Tri Atmojo
H. Supriono Muslich
H.B. Jassin
Hadi Napster
Halim H.D.
Hamberan Syahbana
Hamidah Abdurrachman
Han Gagas
Hardi Hamzah
Haris del Hakim
Haris Priyatna
Hasan Aspahani
Hasan Gauk
Hasan Junus
Hasnan Bachtiar
Helvy Tiana Rosa
Helwatin Najwa
Hendra Junaedi
Hendra Makmur
Hendriyo Widi Ismanto
Hepi Andi Bastoni
Heri Latief
Heri Listianto
Herry Firyansyah
Heru Untung Leksono
Hikmat Darmawan
Hilal Ahmad
Hilyatul Auliya
Holy Adib
Hudan Hidayat
Hudan Nur
Husnun N Djuraid
I Nyoman Suaka
Ibnu Rizal
Ibnu Rusydi
Ibnu Wahyudi
IGK Tribana
Ignas Kleden
Ignatius Haryanto
Iksan Basoeky
Ilenk Rembulan
Ilham khoiri
Imam Jazuli
Imam Nawawi
Imamuddin SA
Iman Budhi Santosa
Iman Budi Santosa
Imelda
Imron Arlado
Imron Tohari
Indiar Manggara
Indira Margareta
Indra Darmawan
Indra Tjahyadi
Indra Tranggono
Indrian Koto
Ingki Rinaldi
Insaf Albert Tarigan
Intan Hs
Isbedy Stiawan ZS
Ismail Amin
Ismi Wahid
Ivan Haris
Iwan Gunadi
Jacob Sumardjo
Jafar Fakhrurozi
Jajang R Kawentar
Janual Aidi
Javed Paul Syatha
Jean-Marie Gustave Le Clezio
JJ. Kusni
Joko Pinurbo
Joko Sandur
Joko Widodo
Joni Ariadinata
Jual Buku Paket Hemat
Julika Hasanah
Julizar Kasiri
Jumari HS
Junaidi
Jusuf AN
Kadir Ruslan
Kartika Candra
Kasnadi
Katrin Bandel
Kenedi Nurhan
Ketut Yuliarsa
KH. Ma'ruf Amin
Khaerudin
Khalil Zuhdy Lawna
Kholilul Rohman Ahmad
Komunitas Deo Gratias
Komunitas Teater Sekolah Kabupaten Gresik (KOTA SEGER)
Korrie Layun Rampan
Krisandi Dewi
Kritik Sastra
Kucing Oren
Kuswinarto
Langgeng Widodo
Lathifa Akmaliyah
Latief S. Nugraha
Leila S. Chudori
Lenah Susianty
Leon Agusta
Lina Kelana
Linda Sarmili
Liston P. Siregar
Liza Wahyuninto
M Shoim Anwar
M. Arman A.Z.
M. Fadjroel Rachman
M. Faizi
M. Harya Ramdhoni
M. Kasim
M. Latief
M. Wildan Habibi
M. Yoesoef
M.D. Atmaja
Mahdi Idris
Mahmud Jauhari Ali
Mahwi Air Tawar
Malkan Junaidi
Maman S. Mahayana
Mardi Luhung
Marhalim Zaini
Maria hartiningsih
Maria Serenada Sinurat
Mario F. Lawi
Maroeli Simbolon S. Sn
Marsus Banjarbarat
Marwanto
Mas Ruscitadewi
Masdharmadji
Mashuri
Masriadi
Mawar Kusuma Wulan
Max Arifin
Melani Budianta
Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia
Mezra E. Pellondou
Micky Hidayat
Mihar Harahap
Misbahus Surur
Moh Samsul Arifin
Moh. Syafari Firdaus
Mohamad Asrori Mulky
Mohammad Afifuddin
Mohammad Fadlul Rahman
Muh Kholid A.S.
Muh. Muhlisin
Muhajir Arifin
Muhamad Sulhanudin
Muhammad Al-Fayyadl
Muhammad Amin
Muhammad Azka Fahriza
Muhammad Rain
Muhammad Subhan
Muhammad Yasir
Muhammad Zuriat Fadil
Muhammadun A.S
Muhidin M. Dahlan
Musa Ismail
Musfi Efrizal
Mustafa Ismail
Nafi’ah Al-Ma’rab
Naskah Teater
Nezar Patria
Nina Setyawati
Nirwan Ahmad Arsuka
Nirwan Dewanto
Noor H. Dee
Noval Maliki
Nunuy Nurhayati
Nur Haryanto
Nurani Soyomukti
Nurel Javissyarqi
Nurhadi BW
Nurudin
Octavio Paz
Oliviaks
Orasi Budaya Akhir Tahun 2018
Pablo Neruda
Pamusuk Eneste
Panda MT Siallagan
Pandu Jakasurya
PDS H.B. Jassin
Philipus Parera
Pradewi Tri Chatami
Pramoedya Ananta Toer
Pramono
Pranita Dewi
Pringadi AS
Prosa
Puisi
Puisi Menolak Korupsi
PuJa
Puji Santosa
Puput Amiranti N
Purnawan Andra
PUstaka puJAngga
Putri Utami
Putu Fajar Arcana
Putu Wijaya
Qaris Tajudin
R Sutandya Yudha Khaidar
R. Sugiarti
R. Timur Budi Raja
R.N. Bayu Aji
Rachmad Djoko Pradopo
Radhar Panca Dahana
Rahmadi Usman
Rahmat Sudirman
Rahmat Sularso Nh
Rahmat Sutandya Yudhanto
Raihul Fadjri
Rainer Maria Rilke
Raja Ali Haji
Rakai Lukman
Rakhmat Giryadi
Raudal Tanjung Banua
Reiny Dwinanda
Remy Sylado
Resensi
Revolusi
Riadi Ngasiran
Ribut Wijoto
Ridha al Qadri
Ridwan Munawwar
Rikobidik
Riri
Riris K. Toha-Sarumpaet
Risang Anom Pujayanto
Rizky Andriati Pohan
Robert Frost
Robin Al Kautsar
Robin Dos Santos Soares
Rodli TL
Rofiqi Hasan
Rohman Budijanto
Romi Febriyanto Saputro
Rosihan Anwar
RR Miranda
Rudy Policarpus
Rukardi
S Yoga
S. Jai
S.I. Poeradisastra
S.W. Teofani
Sabam Siagian
Sabrank Suparno
Saiful Amin Ghofur
Sainul Hermawan
Sajak
Sakinah Annisa Mariz
Salamet Wahedi
Salman Rusydie Anwar
Samsudin Adlawi
Sapardi Djoko Damono
Sartika Dian Nuraini
Sastra
Sastra Gerilyawan
Sastri Sunarti
Satmoko Budi Santoso
Saut Situmorang
Sejarah
Sekolah Literasi Gratis (SLG)
SelaSastra
SelaSastra ke #24
Selasih
Seno Gumira Ajidarma
Seno Joko Suyono
Sergi Sutanto
Shadiqin Sudirman
Shiny.ane el’poesya
Sidik Nugroho
Sigit Susanto
Sihar Ramses Simatupang
Simo Sungelebak Karanggeneng Lamongan
Siti Sa’adah
Sitok Srengenge
Siwi Dwi Saputro
Sjifa Amori
Sofyan RH. Zaid
Soni Farid Maulana
Sony Prasetyotomo
Sosiawan Leak
Sri Wintala Achmad
Sri Wulan Rujiati Mulyadi
Subhan SD
Suci Ayu Latifah
Sulaiman Djaya
Sulistiyo Suparno
Sunaryo Broto
Sunaryono Basuki Ks
Sungatno
Sunlie Thomas Alexander
Sunudyantoro
Suriali Andi Kustomo
Suryadi
Suryansyah
Suryanto Sastroatmodjo
Susi Ivvaty
Susianna
Susilowati
Sutardji Calzoum Bachri
Sutejo
Suwardi Endraswara
Syaifuddin Gani
Syaiful Bahri
Syam Sdp
Syarif Hidayatullah
Tajuddin Noor Ganie
Tammalele
Tan Malaka
Taufik Ikram Jamil
Taufiq Ismail
Taufiq Wr. Hidayat
Teguh Trianton
Tengsoe Tjahjono
Th Pudjo Widijanto
Thayeb Loh Angen
Theresia Purbandini
Tia Setiadi
Tito Sianipar
Tiya Hapitiawati
Tjahjono Widarmanto
Tjahjono Widijanto
Toko Buku Murah PUstaka puJAngga
Tosa Poetra
Tri Joko Susilo
Triyanto Triwikromo
Tu-ngang Iskandar
Udo Z. Karzi
Uly Giznawati
Umar Fauzi
Umar Kayam
Undri
Uniawati
Universitas Indonesia
UU Hamidy
Vyan Tashwirul Afkar
W Haryanto
W.S. Rendra
Wahyudin
Wannofri Samry
Warung Boenga Ketjil
Waskiti G Sasongko
Wawan Eko Yulianto
Wawancara
Web Warouw
Wijang Wharek
Wiko Antoni
Wina Bojonegoro
Wira Apri Pratiwi
Wiratmo Soekito
Wishnubroto Widarso
Wiwik Hastuti
Wiwik Hidayati
Wong Wing King
WS Rendra
Xu Xi (Sussy Komala)
Y. Thendra BP
Y. Wibowo
Yani Arifin Sholikin
Yesi Devisa
Yohanes Sehandi
Yona Primadesi
Yosi M. Giri
Yusi Avianto Pareanom
Yusri Fajar
Yusrizal KW
Yuval Noah Harari
Yuyu AN Krisna
Zaki Zubaidi
Zalfeni Wimra
Zawawi Se
Zehan Zareez
Zen Hae
Zhaenal Fanani
Zuarman Ahmad
Zulfikar Akbar
Zulhasril Nasir
Tidak ada komentar:
Posting Komentar