Selasa, 19 Juli 2011

Selayang Pandang Tentang TKW di Hong Kong: Dari Terbitkan Buku Hingga Kuliah S2!

Uly Giznawati
http://www.kompasiana.com/www.ulygiznawati-ar.com

Tenaga kerja wanita atau buruh migran adalah jutaan manusia yang mencoba mengadu nasib dengan bekerja di luar negeri, meninggalkan keluarga, saudara dan kampung halaman. Demi tercapainya kesejahteraan bagi individu, keluarga, komunitas dan negara. Seperti di Hong Kong (HK), jumlah buruh migran tiap tahunnya selalu bertambah. Dan saat ini tercatat 124.000 buruh migran yang bekerja di HK. Sebagian besar dari mereka (99 persen) bekerja disektor rumah tangga.

Salah satu faktor yang paling utama adalah para BMI di HK memiliki hak dan kewajiban yang sama dan standar kontrak kerja yang telah diatur sedemikian rupa oleh pemerintah HK, salah satunya hak untuk libur.

Jatah libur satu hari dalam seminggu, memberikan ruang pada teman teman BMI untuk melakukan banyak aktifitas. Sehingga tidak heran jika lapangan Viktoria Park mendadak berubah menjadi ”Kampung Jawa”, pada hari minggu.

Pada hari minggu, bermacam macam aktifitas dipusatkan di ”Kampung Jawa” tersebut. Ada yang hanya duduk duduk sekedar melepas lelah, makan bareng dan bersantai dengan teman teman yang biasanya satu daerah. Tapi banyak pula yang melakukan aktifitas yang sangat produktif dan kreatif, seperti melakukan aktifitas seni dan budaya, keagamaan, olahraga, kursus dan sekolah lagi, bahkan berorganisasi. Aktifitas seni dan budaya sendiri sangat beragam, ada yang menekuni tarian, seni suara juga karya sastra.

Sastra Seni di Kalangan BMI

Aktifitas sastra BMI, juga perlu mendapat apresiasi khusus. Kerena minat teman teman BMI menulis sangat tinggi. Lahirnya organisasi-organisasi buruh migran berbagai yang melakukan kerjasama dengan sesama buruh migran dan dengan organisasi buruh setempat. Demikian juga munculnya komunitas-komunitas sastra-seni di kalangan buruh migran Indonesia seperti Forum Lingkar Pena (FLP), Kopernus (Komunitas Perantau Nusantara), dan Café de Costa. Di tambah kehadiran koran lokal HK yang berbahas Indonesia seperti Suara, Berita Indonesia, Tabloid Dwi Mingguan Apa Kabar, Peduli, Ekspresi, Intermezo, Rosemawar, Indonews, Indoswara. Yang mana ikut menyuburkan minat sekaligus memberikan ruang bagi para BMI ini untuk menulis.

Tercatat beberapa nama BMI yang sudah melintang di dunia tulis menulis, yang mana nama mereka sudah tidak asing lagi di kalangan BMI. Mereka menulis artikel ke media lokal (HK) dan Nasional (Indonesia). Seperti :

Mega Vristian
(pernah meraih Esso Wenni Award, untuk sebuah karya puisinya di tahun 2005).Karya tulisannya, baik berupa puisi, cerpen, artikel lepas sering dimuat diberbagai media di Indonesia, juga di Koran SUARA dan Tabloid APAKABAR di Hong Kong. Beberapa cerpennya juga telah diterbitkan dan dibukukan, antara lain:
-Antologi Puisi-Cerpen Esai Sastra Pembebasan [2004]
-Puisi Trilogy Dian Sastro For President-On/Off Book [2005]
-Antology Puisi untuk Munir berjudul Nubuat Labirin Luka-Sayap
-Kumpulan Cerpen ‘’Nyanyian Migran’’, Dragon Family Publisher [2006]
-Kumpulan Cerita Mini, Selasar Kenangan, AKOER [2006]
-Antology puisi 5 Kelopak Mata Bauhina [2008], bersama Kristina Dian Safitri, Tarini Sorita, Tanti, Adepunk.

Etik Juwita
(penerima anugrah Pena Kencana 2008 dengan cerpennya yang berjudul ”Bukan Yem”).
Etik Juwita, lahir di Blitar, 14 April 1982. Bekerja sebagai pembantu rumah tangga di Hong Kong sejak tahun 2003. Tulisannya berupa opini dan cerpen pernah diterbitkan oleh SUARA, Intermezo, Apakabar, Srikandi (tabloid dan majalah yang terbit di Hong Kong), Jawa Pos, Sinar Harapan dan Harian Surya. Satu cerpennya termasuk dalam buku kumcer (kumpulan cerpen) Nyanyian Imigran terbitan DF Publishing (2006). Tergabung di komunitas menulis BMI (Buruh Migran Indonesia) di Hong Kong, Kopernus (Komunitas Perantau Nusantara) dan Kafe de Costa.

Tarini Sorita
BMI asal Cirebon, selain bekerja ikut orang. Ia pun dikenal sebagai penulis puisi, juga cerpenis. Beberapa cerpennya telah dibukukan dalam ”Penari Naga Kecil” [2006]. Tarini juga beberapa kali menjuarai lomba penulisan essai , puisi dan cerpen yang digelar di HK. Beberapa karyanya pun sering muncul di media cetak.

Kristina DS
Tulisannya baik berupa cerpen, artikel sering dimuat di media baik di Indonesia mau pun di HK. Dan tentunya masih banyak lagi.

Sastrawan Ahmad Tohari, akhirnya mengubah persepsinya tentang perempuan, khususnya para BMI, yang mungkin selama ini di pandang sebelah mata, ketika sudah membaca karya sastra BMI yang dinilainya sangat bagus baik dari segi kalimat ataupun gramatikalnya [Nabonenar,2007].

Kisah Sukses Mantan BMI

Menjadi tenaga kerja Indonesia di luar negeri, bagi sebagian orang barangkalii sebagai langkah keterpaksaan. Namun bagi sebagian yang lain adalah sebuah pilihan, karena tergiur tawaran gaji yang lumayan tinggi, dan para tenaga kerja wanita ini bisa menabung dan merencanakan masa depan sesuai obsesi yang sempat terpendam.

Diantara sejumlah cerita sedih para BMI (Buruh Migran Indonesia), ada juga cerita sukses, sebagian dari mereka berhasil menjadikan hasil jerih payahnya selama bekerja di HK untuk kegiatan investasi, sehingga menghasikan nilai tambah yang berkelanjutan. Ini memang tak lepas dari terbukanya wawasan dan cara berpikir BMI. Mereka di HK tidak hanya sekedar bekerja, namun juga belajar tentang banyak hal. Itulah sebabnya, para BMI di HK terlihat lebih menonjol/berbeda, jika dibandingkan BMI yang ada di negara lain (Malaysia, Singapura, Timur Tengah).

Dan ada beberapa mantan BMI yang telah membuktikannya sepulang dari Hong Kong, seperti :

Maria Bo Niok
Dan sebuah nama yang tidak asing lagi bagi kalangan buruh migrant indonesia di HK, yaitu Maria Bo Niok, asal desa Lipursari Leksono, Wonosobo. Maria Bo Niok mantan seorang BMI yang pernah bekerja di Taiwan dan di HK ini , namanya cukup dikenal , karena ia aktif dalam dunia tulis menuis, ia juga aktif mempopulerkan karya sastra Pembantu Rumah Tangga (PRT) , kesejumlah kota seperti di Jogjakarta, Surabaya dan Wonosobo bersama Komunitas Sastra Terminal Tiga. Maria Bo Niok juga telah menghasilkan 5 buku berupa novel. cerpen, kumpulan puisi dan buku pedoman menjadi BMI yg aman, dan semuanya telah diterbitkan. Karya karya Maria Bo Niok yg cukup populer diantaranya ada : Geliat Sang Kungyan, Ranting Sakura, Putri Kelana, Jejak Cinta Perempuan Gila dan Serpihan Cinta diatas Sejadah. Bahkan Maria Bo Niok dengan sesama mantan BMI asal Wonosobo juga membentuk organisasi koperasi ”Koperasi Srikandi” yg memberdayakan anggota dan lingkungan dan masyarakat sekitar. Merka punya kegiatan produktif seperti pemancingan, warung serba ada, ternak bebek dan kini tengah merintis kursus bahasa inggris.

Dina Nuriyati
Mantan BMI HK asal Malang, Jawa Timur, dan juga mantan seorang aktivis IMWU yg kini sedang menempuh studi S2 di Iniversitas Kassel Jerman mengaambil jurusan International Labour Organisation (ILO).

Romlah
Mantan seorang BMI HK asal Wonosobo, yang sepulang dari HK berhasil menjadi Kepala Desa di Garung- Wonosobo, Jateng.

Eko Indriatin
Mantan BMI HK asal Cianjur, Jawa Barat dan juga mantan aktivitas IMWU sepulang dari HK ia menggunakan hasil jerih payahnya untuk kuliah di fakultas hukum dan kini ia bekerja di sebuah bank swasta di Jakarta.

Juga masih ada Mei dan Narsidah, mantan BMI HK asal Purwokerto, Jawa Tengah. Yang sepulang dari HK kini aktif mengajar di sebuah SD di Karang Salam, dan juga bersama teman teman mantan BMI yang lainnya mereka membuat sebuah paguyuban untuk BMI di daerah setempat.

Tentu, masih banyak lagi BMI yang sukses yang belum terjangkau dan terekam. Namun, yang penting pengalaman para mantan BMI diatas bisa membuka cakrawala pandang BMI yang kini masih bekerja di HK untuk menyiapkan bekal sebanyak banyaknya. Karena ini serba mungkin karena di HK kemungkinan dan fasilitas itu tersedia dan kemudahan dalam meningkatkan kualitas diri.

Tunjukan bahwa kita bukan perempuan biasa.Sehingga tidak pantas diposisikan hanya sebagai”mantan babu” semata. Hidup BMI !

Terpublikasi di Tabloid Memorandum- Surabaya
Uly Giz
hongkong 13 June 2010

Surat Berdarah dari Hong Kong untuk Presiden SBY

Insaf Albert Tarigan
http://news.okezone.com/

Cerita mengenai kepiluan yang menimpa Buruh Migran Indonesia (BMI) yang mengadu nasib di luar negeri sudah kerap kali menghiasi pemberitaan media massa dalam negeri.

Pemerkosaan, penyiksaan, pelecehan seksual hingga pembunuhan sadis seolah-olah bukan lagi “berita” karena nyaris terjadi setiap tahun. Mulai dari Malaysia, Arab Saudi, hingga Hong Kong.

Adakah cerita lain yang minimal memberikan gambaran “lain” dari para BMI di negeri asing itu tanpa melupakan penderitaan dan advokasi terhadap mereka?

Pertanyaan inilah yang coba dijawab Nadia Cahyani dan kawan-kawan BMI di Hong Kong melalui cerita-cerita pendek yang dibukukan dengan judul “Surat Berdarah untuk Presiden, Suara Hati BMI di Hongkong” terbitan Jendela.

Buku setebal 400 halaman ini adalah sebuah fragmen dari roman kehidupan para buruh yang disampaikan dengan kejujuran dan di banyak sudut terdengar blak-blakan. Dia seperti perjalanan hidup yang tak melulu berisi tragedi tapi juga bukan monoton indah.

Ada kisah cinta buruh dengan pria dari negara lain, hedonisme, romansa sesama jenis di antara para BMI, pelacuran, pergulatan iman dan tentu saja derita mereka akibat agen-agen penyalur nakal yang tak bisa ditumpas pemerintah.

Buruh migran Indonesia di Hong Kong selama ini memang terkenal dengan kreatifitas dan kiprah mereka dalam dunia tulis-menulis baik cerpen maupun novel. Jika diletakkan dalam peta buruh migran kita secara keseluruhan, sekitar 135 ribu buruh di Hong Kong agaknya lebih menonjol dibanding dengan rekan-rekan mereka misalnya dari Timur Tengah.

Sesuai dengan judulnya, buku ini secara garis besar berisi harapan, seruan, kritik dan masukan yang disampaikan kepada pemerintah melalui pemimpin tertinggi, Presiden. Salah satu penulis, Afkar Fauziyatorrohmah, misalnya menulis begini:

Cintaku, Presidenku,

Aku sangat sayang kamu, aku tidak peduli orang bilang ini dan itu, yang aku takutkan; jika salah satu, dua, tiga, ratusan, ribuan, jutaan yang kecewa dengan kepemimpinanmu. Sehingga mereka bersatu, kemudian mendoakanmu yang tidak baik, maka kemungkinan doa itu akan dikabulkan Allah.

Sungguh, kuminta kepadamu, cintaku, Presidenku. Sebelum terlanjur, bertindaklah, berbuatlah sesuatu untuk kami!

Penerbitan resmi buku ini dilakukan di Hotel Sofyan Betawi, Cikini, Selasa (18/1/2011) siang, berbarengan dengan deklarasi pendirian Migrant Institute yang berbasis di Hong Kong.

Migrant Institute adalah lembaga swadaya masyarakat yang lahir dari program kegiatan Dompet Dhuafa. Selain mengadvokasi BMI yang terjerat problem hukum, mereka juga melakukan pelatihan menulis yang hasilnya kemudian dibukukan.

Buku ini tak hanya cocok untuk mereka yang fokus terhadap persoalan buruh, tapi juga masyarakat umum dan mahasiswa serta penikmat sastra. Namun, yang paling utama sebenarnya, buku ini sesuai judulnya, seharusnya diberikan kepada Presiden dan pembantunya yang bertanggung jawab secara konstitusional untuk melindungi BMI di luar negeri.(teb)

18 Januari 2011
Sumber: http://news.okezone.com/read/2011/01/18/337/415230/surat-berdarah-dari-hong-kong-untuk-presiden-sby

Geliat Sastra Migran di Negeri Jiran

Anaz
http://www.kompasiana.com/anazkia

“Katakan Cinta, Dengan Aksara” begitulah, tema seminar kepenulisan yang diadakan di KBRI tiga hari lalu, sabtu 9 april 2011. Dengan pembicaranya adalah, Teh Pipiet Senja, serta dimoderatori oleh Pak Alwi Alatas. Acara yang dilaksanakan oleh FLP Malaysia, bekerja sama dengan KBRI dan SIK (Sekolah Indonesia Kuala Lumpur) berjalan sangat meriah. Dihadiri oleh ratusan peserta, baik dari kalangan mahasiswa, ibu rumah tangga, para siswa SIK juga sebagian di antaranya adalah para tenaga kerja, baik TKI maupun TKW.

Melihat lebih jauh tentang sepak terjang Teh Pipiet, terutama tentang kepedualiannya kepada para buruh migrant terutama ketika di Hongkong tahun lalu membuatku berharap, kalau kehdairannya mampu membius kami, para buruh migrant di negeri jiran untuk lebih giat lagi dalam menulis. Tak hanya menulis, tapi juga menerbitkan buku. Ketika acara seminar bermula dan Teh Pipiet satu demi satu membeberkan rahasia kepenulisannya sebagian di antara kami mulai serius mendengarkan. Pun ketika tanya jawab, antusiasme dari penanya datang silih berganti. Mulai dari Ibu rumah tangga, mahasiswa dan tenaga kerja.

Makalah yang diberikan Teh Pipiet tentang “Menulis Yoook” Tak menjadikan di antara kami puas begitu saja. Diskusi berjalan santai, dimoderatori langsung oleh Pak Alwi, mantan ketua FLP Malaysia, sekaligus mahasiswa PhD di salah satu Universitas Islam UIAM (Universitas Islam Antar Bangsa Malaysia)

Menulis, menuliiiissss… Mengalir, mengaliiiiir!

Begitulah kata Teh Pipiet dalam makalahnya. Sayangnya, buat kita-kita yang masih belajar teori menulis dan menulis justru menjadi beban. Seolah hilang kendali, saat kita baru memulai untuk menulis. Lanjut Teh Pipiet, untuk lebih memudahkan supaya ide terus mengalir, ketika menulis kita harus sudah mempunyai gambaran, tentang apa dan bagaimana tulisan yang akan kita buat. Empati yang tinggi kepada lingkungan sangat dibutuhkan untuk menjadi seorang penulis. Karena tak hanya melihat, tapi juga membaca dengan apa yang kita lihat. Kalau melihat anak kecil sebagai pengamen, jangan cuma merasa kasihan, tapi galilah cerita di balik kehidupan pengamen cilik itu. Apa dan kenapa sebab pengamen kecil itu berada di pinggir jalan, bukan pada bangku sekolahan yang semestinya itulah yang harus digali.

Obsesi itu penting

Selain menulis, menulis dan menulis, dalam prakteknya, kita juga membutuhkan obsesi, kata teh Pipiet, inilah modal utama bagi seorang penulis. Menulis dari hal-hal kecil, yang terdekat dengan diri kita, ada kalanya lebih mudah. Tak harus menulis hal-hal yang njlimet dan nyastra yang kita sendiri tak tahu artinya. Pun untuk sekedar menulis untuk surat pembaca. karena menurut teh Pipiet, beliau mengawali tulisan-tulisannya pada rubrik surat pembaca di surat kabar.

Tiga jam bersama Teh Pipiet, sepertinya begitu cepat. ketika sesi door prize digelar, Teh Pipiet pergi ke bawah untuk mengunjungi shelter yang berada di belakang kantor KBRI. Melihat para TKW bermasalah yang ada di sana. Duh, teh Pipiet, selalu peduli dengan keadaan para tenaga kerja.

Teringat dengan tantangan Teh Pipiet, saat-saat sesi terakhir, tantangan untuk kami mengirimkan tulisan-tulisannya ke beliau, kemudian siap dibukukan. Berharap, akan ada karya-karya dari para buruh migrant di negeri jiran. Ketika selama ini kita mendengar karya buruh migrant didominasi oleh para pekerja Hongkong, Taiwan dan Singapura, semoga para buruh migrant di Malaysia dapat mengikuti jejak-jejak para buruh migrant di negara lainnya.

12 April 2011

Ketika Para Buruh Menulis Sastra

Bonari Nabonenar
Jawa Pos, 10 Juli 2005,

Minggu, 10 Juli ini, di Hongkong University, Kowloon, dua cerpenis Jawa Timur, Bonari Nabonenar dan Kuswinarto, diundang menjadi pembicara pada acara workshop penulisan bagi buruh mingran Indonesia (BMI) di Hongkong. Workshop yang diadakan komunitas sastra BMI Caf? br> de Kosta itu diikuti lebih dari 200 pekerja di Tiongkok itu.
***

Belakangan ini dalam dunia sastra Indonesia muncul istilah yang tampaknya akan semakin sering disebut-sebut: sastra buruh migran (Indonesia). Fenomena itu ditandai dengan lahirnya karya-karya sastra dari "rahim" para pekerja wanita kita di luar negeri, yang diam-diam sudah lama "mengandung" benih-benih potensi yang luar biasa.

Terus terang, saya sempat dikagetkan oleh kehadiran Rini Widyawati, yang tahun lalu baru pulang dari Hongkong. Selama dua tahun Rini memang bertaruh jiwa dan raga menjadi domestic helper (pembantu rumah tangga) di negara bagian Tiongkok itu. Nah, ketika pulang ke kampung halaman itulah, Rini membawa oleh-oleh sebuah catatan harian yang, oleh beberapa kalangan, dinilai sangat nyastra. Tak lama kemudian, oleh-oleh itu telah terbit menjadi buku dengan judul: Catatan Harian Seorang Pramuwisma (JP-Books, Mei 2005). Rini boleh jadi termasuk salah satu TKW kita yang istimewa. Secara akademis, dia hanya sempat mengenyam pendidikan formal di sekolah dasar. Karena setelah itu, dia harus mencari penghidupan sendiri keluar dari kemiskinan keluarganya di desa. Untungnya, begitu sampai di kota (Malang), dia bertemu dengan seorang pengarang wanita hebat:Ratna Indraswari Ibrahim. Maka, sambil membantu membereskan pekerjaan rumah, Rini mendapat "pelajaran" secara khusus bagaimana "menulis sastra" dari Mbak Ratna. Berhari-hari, berbulan-bulan, bahkan bertahun-tahun, hingga Rini menginjak dewasa. Hingga Rini kemudian memutuskan untuk pergi menjadi TKW di Hongkong.

Saya benar-benar terperanjat ketika menerima naskah Rini (saat itu saya menjadi editor di JP-Books) yang menurut saya benar-benar luar biasa. Dari pengalaman menyunting buku Rini itulah saya lalu berkenalan (atas bantuan cerpenis Lan Fang) dengan wartawati Berita Indonesia (salah satu koran berbahasa Indonesia yang beredar di Hongkong). Dia bernama Ida Permatasari yang lebih senang memakai nama Arsusi Ahmad Sama'in dalam tulisan-tulisannya (kebanyakan berupa cerpen). Perempuan asal Blitar itu yang sangat bersemangat memprovokasi perempuan buruh migran asal Indonesia di Hongkong untuk: menulis, menulis, dan menulis! Untuk mewadahi para penulis BMI itu, Ida lalu membentuk komunitas penulis BMId untuk saling asah dan asuh demi meningkatkan kualitas tulisan-tulisan mereka.

Kekaguman saya makin menjadi-jadi tatkala memasuki milis-group mereka. Banyak mutiara terpendam di sana. Jika saja kita tekun dan sedikit sabar memolesnya, pastilah mutiara-mutiara itu bakal berkilauan, menyemarakkan Taman Sastra Indonesia.

Bagi para aktivis BMI, menulis ibarat pedang bermata banyak. Dengan memanfaatkan waktu luang dan waktu libur untuk menulis, mereka akan terhindar dari godaan-godaan yang bisa menjerumuskan ke jurang kenistaan panjang di perantauan.

Dengan menulis, para BMI juga bisa melakukan semacam terapi diri, menyalurkan "hawa buruk" berupa rasa rendah diri, frustrasi karena majikan terlalu cerewet, bahkan mungkin juga kasar, jahat, dan lain-lain, ke dalam tulisan. Apa saja bentuknya.

Dengan menulis, mereka juga bisa menyuarakan aspirasi, menentang secara cerdas tindakan-tindakan pihak lain: birokrasi, majikan, dan pemerintah, yang tidak adil terhadap mereka. Dalam kata lain, dengan menulis para BMI menolak untuk sekadar dicatat sebagai salah satu sumber devisa negara. Sebab dengan menulis mereka menjadi subjek yang berkuasa penuh atas apa yang hendak mereka goreskan.

Dengan menulis, para BMI yang oleh masyarakat awam dipandang golongan "hina", babu, budak; melompat ke dalam "kasta" paling tinggi yang bisa dicapai seorang manusia.

Pertumbuhan dunia sastra di kalangan BMI itu diikuti oleh munculnya komunitas-komunitas sastra yang mewadahi mereka. Di Hongkong, menurut Ida, saat ini sedikitnya ada tiga komunitas BMI yang aktif di bidang penulisan. Yakni Forum Lingkar Pena (FLP), Kopernus (Komunitas Perantau Nusantara), dan Caf?de Kosta yang dikomandani Ida Permatasari. Mereka telah membuktikan diri dengan bersaing secara bebas dengan penulis-penulis lain dari berbagai kalangan. Karya-karya mereka mulai bermunculan di media-media cetak, di dalam maupun luar negeri.

Selain Ida, beberapa penulis BMI juga sudah saatnya diperhitungkan namanya di jagat persilatan Sastra Indonesia. Sebut saja, misalnya, Lik Kismawati asal Surabaya, Wina Karnie dan Etik Juwita (Blitar), Tania Roos dan Mega Vristian (Malang), Hartanti (Ponorogo), Dian Litasari (Banyuwangi), Tarini Sorrita (Cirebon), Suci Hanggraini (Madiun), dan Atik Sugihati (Kediri). Karya mereka sudah bertebaran di banyak media.

Sekarang, apakah Anda tidak merasakan kejutan indah oleh berita ini: Seorang pramuwisma asal Cirebon yang kini bekerja di Hongkong telah menerbitkan buku kumpulan tulisan reflektifnya berjudul Big Question, Don't Look Dawn at Domestic Helper. Tarini Sorrita, begitulah nama pena pramuwisma ini, langsung menulis dengan bahasa Inggris, dan atas bantuan temannya yang berkebangsaan Swiss, buku itu berhasil diterbitkan. Sayangnya tidak di Indonesia.

Pemerintah dan instansi terkait sudah selayaknya merasa bangga dengan kiprah para BMI itu. Jangan malah memandang mereka dengan mata curiga, karena dianggap: tidak selayaknya seorang babu mempunyai keahlian sebagai penulis. ***

*) Bonari Nabonenar, ketua Paguyuban Pengarang Sastra Jawa Surabaya, bersama Kuswinarto akan menjadi narasumber pada Workshop Penulisan bagi BMI-H (, 10 Juli 2005).

Foto TKI Hongkong Dipamerkan di Jatim

Surabaya (ANTARA News)
http://www.antaranews.com/print/1183544636

Penggerak sastra buruh migran Indonesia (BMI) di Hongkong, Bonari Nabonenar dan kawan-kawan, menggagas kegiatan untuk memamerkan secara keliling foto-foto para Tenaga Kerja Indonesia (TKI) yang kini bekerja di Hongkong, China.

"Saya berharap gagasan ini mendapat dukungan dari para TKI Hongkong untuk mengirimkan foto-foto yang layak pamer, baik foto-foto saat berada di penampungan di Indonesia, saat berangkat, saat bekerja di Hongkong maupun saat berlibur," kata Bonari kepada ANTARA News di Surabaya, Rabu.

Namun, ia mengingatkan bahwa pameran ini bukan ajangnya fotografer, melainkan betul-betul pameran foto yang mementingkan aspek momentum saat foto diambil dan bukan semata-mata pada kualitas secara fotografi.

Ketua Paguyuban Pengarang Sastra Jawa (PPSJS) yang pernah menggelar Festival Sastra Buruh di Blitar, Jatim, 30 April- 1 Mei 2007 lalu itu mengemukakan bahwa pameran ini akan memiliki makna tidak hanya bagi TKI yang bersangkutan.

"Pameran ini terutama dipersembahkan kepada para keluarga TKI, para tetangga mereka, juga para calon tenaga kerja yang sedang menimbang-nimbang untuk memilih negara mana yang hendak dituju kelak," kata lulusan Unesa itu.

Diharapkannya, melalui pameran foto itu nantinya bisa mengurangi "shock culture" (keterkejutan budaya) bagi para TKI yang baru menginjakkan kaki di negeri Hongkong.

"Kita bisa membantu memberi gambaran bagaimana keadaan di Hongkong, baik gambaran geografis maupun gambaran kulturalnya, wilayahnya, jalan-jalannya, angkutan umumnya, gedung-gedung pencakar langitnya, taman-taman yang biasa jadi jujugan para TKI di hari libur, dan lain-lainnya," katanya.

Dengan mengurangi keterkejutan budaya itu, maka nantinya kemungkinan terjadinya stres akibat tekanan kerja maupun lingkungan yang berbeda juga bisa diredam,.

Mengenai dana, ia optimistis gagasan itu akan terlaksana, apalagi jika ada sponsor yang bisa membantu dalam hal pendanaan. Jika tidak ada sponsor, maka pihaknya tetap bertekad menggelar pameran itu dengan mengharap dukungan para TKI Hongkong.

Untuk foto-foto yang akan dipamerkan, para TKI Hongkong yang sangat "melek" Internet itu bisa mengirimkan ke alamat kenang_lanang@yahoo.com atau di bonarine@yahoo.com.

Mengenai fasilitas untuk tempat pameran, ia sudah menjajaki kerjasama dengan Dewan Kesenian Ponorogo dan aktivis di Trenggalek. (*)

Jurnal Kembang Kemuning: Menumbuh-Kembangkan Sastra Buruh Migran

JJ. Kusni
http://groups.yahoo.com/

Komunitas Perantau Nusantara [KPN] Hong Kong, yang kalau tidak salah, anggota-anggotanya terutama terdiri dari Tenaga Kerja Wanita [TKW] dalam surat siarannya di milis buruh-migran@yahoogroups.com [05 Maret 2005] dalam rangka memperingati Hari Kartini 21 April mendatang bermaksud menyelenggarakan lomba menulis puisi di kalangan buruh migran Indonesia. Surat siaran KPN itu menunjukkan bahwa "Tujuan utama yang hendak dicapai melalui lomba ini adalah :1) mengupayakan lahirnya penulis puisi dari kalangan pekerja migran Indonesia.2) memacu semangat para Pekerja Migran Indonesia di Hong Kong dalam kecintaan mereka terhadap sastra". Lebih lanjut disebutkan bahwa "Lomba ini dimaksudkan sebagai wahana untuk menjaring para Pekerja Migran Indonesia di Hong Kong yang mempunyai interest pada puisi dan dunia sastra pada umumnya. Peserta lomba boleh menulis puisi dalam bahasa Indonesia atau bahasa Inggris". Kemudian "Dari seluruh peserta lomba akan dipilih 20 puisi yang terbaik (10 puisi berbahasa Indonesia dan 10 puisi berbahasa Inggris).Keduapuluh puisi tersebut akan diterbitkan dalam bentuk buletin dan pemenang akan memperoleh sertifikat dan hadiah berupa buku kumpulan puisi karya penyair Indonesia". "Top ten" [peringkat 10 terbaik] pemenang lomba ini akan diumumkan pada 17 April 2005, di acara peringatan hari Kartini yang akan diadakan oleh IMWU dan KOTHIHO di lapangan Victoria Park V Hong Kong, sedangkan sanjak yang menduduki nilai peringkat pertama akan dibacakan di acara tsb. Untuk bisa mengikuti lomba menulis puisi ini ditetapkan ketentuan-ketentuan sebagai berikut:

"1) Pekerja Migran Indonesia tanpa batas usia, lelaki dan perempuan.
2) Menuliskan Biodata disertai No ID HK dan nomor telpon.
3) mengirimkan satu buah puisi (berbahasa Indonesia atau Inggris) sebelum tanggal 3 April 2005.
4) tema puisi adalah "Mari Mengumpat"¨ Sebuah tema yang dipilih untuk mengungkapkan keluh-kesah, perasaan dan segala macam fenomena yang terjadi dan dialami oleh Pekerja Migran Indonesia di Hongkong. Puisi dikirimkan ke perantau_nusantara@... Atau via post(boleh ditulis tangan) dialamatkan: Komunitas Perantau Nusantara. 406 Rear blok 13/F .Desvoex Road West V HK".

Yang menarik, karena sangat langka terjadi di negeri kita, bahwa Deputi Bidang Peranserta Masyarakat Kementerian Pemberdayaan Perempuan secara khusus menulis kata sambutan yang ditandatangani oleh Abdul Azis Hoesein, terhadap kegiatan yang diorganisasi oleh KPN ini. "[...] sepanjang sejarah yang saya ketahui baru kali ini ada lomba menulis puisi yang pesertanya dikhususkan bagi para pekerja migran Indonesia", ujar Abdul Azis Hoesein dalam Surat Sambutannya tertanda Jakarta 7 Maret 2005, yang selanjutnya juga menulis:

"Saya sangat menghargai gagasan menyelenggarakan lomba menulis puisi ini karena selain mengupayakan lahirnya penulis puisi dari kalangan pekerja migran Indonesia, juga memacu semangat para pekerja migran Indonesia di Hongkong dalam kecintaan mereka terhadap sastra.

Saya sudah membaca sajak-sajak yang dibuat oleh salah seorang buruh migran di Hongkong yang sangat menyentuh, menggambarkan bukan hanya kekangenan kepada keluarganya di tanah air, tetapi juga semangat perlawanan kepada ketidak adilan dan solidaritasnya yang tinggi kepada sesama pekerja migran yang menderita dan bermasalah.

Puisi yang bagus membangkitkan kekaguman, pengertian, solidaritas, dan dukungan kepada penulisnya. Sehingga dalam kasus buruh migran Indonesia, puisi yang bagus dapat membentuk opini dan keberpihakan yang jujur kepada buruh migran kita.

Saya mengucapkan selamat atas diselenggarakannya Lomba ini dan berharap segenap buruh migran Indonesia di Hongkong memanfaatkan kesempatan baik ini untuk menunjukkan eksistensinya dan kemampuannya dalam menulis puisi".

dan sekaligus menyampaikan "apresiasi yang tinggi" kepada "Komunitas Perantau Nusantara yang menjadi organizer lomba ini".

Apresiasi dan sambutan hangat dari Abdul Azis Hoesein atas nama Deputi Bidang Peranserta Masyarakat Kementerian Pemberdayaan Perempuan ini barangkali akan lebih nyata dan bermanfaat lagi apabila pihak Kementerian Pemberdayaan Perempuan mengambil prakarsa untuk menerbitkan antologi puisi karya-karya buruh migran ini. Tentu saja akan lebih baik jika yang diterbitkan itu, jika pihak "Kementerian" sepakat dengan usul ini, bukan hanya karya-karya hasil lomba, tetapi juga termasuk karya-karya buruh migran yang selama ini tersebar dalam berbagai milis seperti "sastra_tki", "buruh-migran", penerbitan-penerbitan seperti yang ada di Hong Kong, Taiwan, Korea Selatan atau pun Jepang, dan lain-lain.... Hasil lomba bisa dijadikan bagian tersendiri pada antologi tersebut. Dengan demikian, maka melalui antologi tersebut, relatif tercermin berbagai segi permasalahan, keadaan dan harapan para buruh migran kita. Apabila usul ini diterima maka sejarah akan mencatat bahwa pihak "Kementerian" turut menumbuhkembangkan sastra di kalangan buruh migran, menampilkan penulis-penulis dari kalangan buruh migran, turut memperluas konsumen dan kreator sastra.

Metode begini sebenarnya telah diterapkan oleh Jean-Malourie,antropolog Perancis ahli tentang komunitas-komunitas di Kutub Utara melalui Edisi Terre Humaine-nya yang sangat dihargai oleh para ilmuwan sosial dan masyarakat Perancis. Edisi Terre Humaine yang luks ini, ditulis sendiri oleh yang terkait dan tentu saja kemudian diedit oleh pihak editor Terre Humaine sebelum diterbitkan. Buruh menulis pengalaman mereka sendiri memang pernah didorong oleh organisasi buruh SOBSI dan Sarbupri pada zaman pemerintahan Soekarno, dan untuk kalangan tani di Jawa Tengah pernah dikembangkan oleh Lekra. Sayangnya usaha ini terpotong oleh meletusnya Tragedi Nasional September 1965.

Jika pihak "Kementerian" sepakat dengan usul ini, maka pihak "Kementerian" secara langsung menarik perhatian pihak-pihak lebih luas kepada penumbuhkembangan sastra TKI yang hanya menambah ragam warna dan kekayaan sastra nasional. Tentu saja sastra TKI untuk bisa disebut sebagai "genre" atau arus tersendiri masih perlu menapak jalan panjang. Yang ada sekarang masih pada tingkat janin atau embrio. Tapi mengapa janin ini tidak dipelihara dan dikembangtumbuhkan? Lomba penulisan puisi yang diorganisasi oleh KPN hanyalah salah satu cara menumbuhkembangkan janin ini dan banyak cara lain, antara lain uluran tangan dari pihak "Kementerian".

Hal lain yang ingin pula saya catat di sini adalah tema yang dipilih oleh KPN dalam lomba penulisan yaitu "Mari Mengumpat". Kalau pemahaman saya benar "Mengumpat" dalam bahasa Indonesia berarti padanan dari kata "memaki". Mengapa mengajak orang memaki-maki. Apakah "mengumpat" merupakan suatu budaya yang ingin dikembangkan oleh KPN? Saya sulit memahami alasan untuk membudayakan umpatan karena saya lebih cenderung bagaimana kita bertarung memanusiawikan diri, kehidupan dan masyarakat. Kaum buruh memang mempunyai dasar sosial dan ekonomi srta politik untuk bertarung gigih tapi saya kira akan kurang kena jika memadankan kekerasan dan keteguhan bertarung dengan umpatan. Saya sendiri tidak memandang mengumpat dan atau memaki-maki sebagai kekuatan. Seperti kata Lu Sin, pengarang Tiongkok pada tahun 1930an, maki-maki bukan tanda kekuatan tapi justru bukti kelemahan. Dalam kelemahan ini termasuk frustasi, kebuntuan mencari jalan keluar, dan kekosongan wacana.

Pendapat-pendapat ini saya tuliskan sebagai tanda penghargaan saya atas prakarsa KPN yang berniat menumbuhkembangkan sastra di kalangan buruh migran Indonesia.

Paris, Maret 2005.
Sumber: http://groups.yahoo.com/group/Komunitas_Papua/message/3126

Nessa Kartika, Penulis Antologi Sastra-Berjuang

Untuk Kaum Buruh Migran Indonesia di Luar Negeri
28th Desember 2010
http://berita21.com/

Nessa Kartika, seniman yang juga aktivis Buruh Migran Indonesia (BMI) terus berjuang memberikan kesadaran kepada kaumnya, melalui antologi tulisan-tulisan kritisnya yang ia buat sampai saat ini dan dia sekarang ini bermukim di Singapura, untuk terus berkarya bersama sahabat penanya Karin Malulana meretas jalan kebahagiaan bagi kehidupan TKI di luar negeri.Nessa Kartika, seniman yang juga aktivis Buruh Migran Indonesia (BMI) terus berjuang memberikan kesadaran kepada kaumnya, melalui antologi tulisan-tulisan kritisnya yang ia buat sampai saat ini dan dia sekarang ini bermukim di Singapura, untuk terus berkarya bersama sahabat penanya Karin Malulana meretas jalan kebahagiaan bagi kehidupan TKI di luar negeri.

Terlahir dengan nama Anissa Hanifa, 27 Mei 1983 di Kota Wonosobo, Jawa Tengah. Putri sulung dari pasangan M. Hatru, dan Siti Mariam ini, sedari kecil telah ditinggalkan oleh kedua orang tuanya karena bercerai. Saat dirinya menginjak sekolah lanjutan pertama, dan kini ibunya menjalankan bisnis kuliner ‘UD MARI’ di Wonosobo.

Saat ia bersekolah di Madrasah Ibtidaiyah Muhammadiyah 1 Wonosobo, dan SLTP Muhammadiyah 1 Wonosobo selalu terpilih untuk mewakili sekolah dalam lomba-lomba mengarang dan beberapa kali berhasil meraih juara. Dia pun pernah masuk Pondok Pesantren Modern Assalam Temanggung namun terpaksa ‘DO’ (drop out). Saat itu, ia mengalami kecelakaan lalu lintas saat berboncengan motor dengan seorang kawannya di Jalan. S. Parman, Wonosobo. Ketika dalam perjalanan pulang dari Wonosobo kembali ke Asrama PPMA Assalam Temanggung, Jawa Tengah, yang membuat tangannya cedera patah.

Setahun berikutnya, 1999, ia masuk SMK Negeri 1 Wonosobo. Yang kemudian jatuh cinta pada kakak kelasnya, yang kemudian menjadi inspirasi dalam tulis menulis. Karya-karyanya, kemudian sering dimuat di beberapa media. Ia menjadi penulis cerpen tetap untuk majalah sekolah. Selain aktif di dunia sastra, ia pun aktif sebagai penggiat lingkungan dan kecintaan nya dengan alam bersama sahabat-sahabtnya di Bhajiro Kosongloro.

Selanjutnya selepas sekolah, ia sempat berkerja di Pabrik Garmen di Bandung, Jawa Barat hingga ia memutuskan untuk berkerja ke Hongkong. Nessa memberanikan diri berkerja ke luar negeri menjadi TKI (Tenaga Kerja Indonesia) ke Hongkong. Namun di Hongkong, ia tak bernasib baik. Justru dia menjadi korban kekerasan dari majikannya, yang kerap kali memukul dan memberi beban kerja yang terlampau berat, untuk ukurannya sebagai seorang wanita. Beruntung ia berhasil kabur ke agensi dan pulang ke tanah air dengan selamat.

Meski sempat tertahan di Terminal Tiga Bandara Soekarno-Hatta, Jakarta selama sehari semalam. Karena dianggap sebagai BMI atau TKI bermasalah. Oleh sebab, dia tidak memiliki dokumen kepulangan maupun penjemputan.

Sehingga dia tidak tahu bagaimana caranya menghubungi PJTKI, perusahaan yang telah mengirimkannya menjadi TKI ke Hongkong saat dia berada di Jakarta. Dengan terpaksa, Nessa pun memanggil bapak kandungnya, M. Hatru, yang kebetulan tinggal di Jakarta.

Anehnya, ketidak miripan wajahnya dengan M. Hatru, Bapak Kandungnya ini juga, yang menjadi alasan petugas bandara untuk menahan Nessa di Terminal 3 Soekarno-Hatta. Berkat negoisiasi yang sangat alot antara bapak kandungnya dengan salah seorang oknum petugas di bandara. Akhirnya proses dokumen dan ijin pulang bisa dikeluarkan oleh pihak Bandara Soekarno-Hatta. Dan, Nessa berhasil keluar dari penjara Terminal 3, dan dibawa pulang ke kota asalnya.

Sejak itu, tidak lama berselang diambilnya kesempatan berkerja di sebuah stasiun radio swasta di tempat asalnya di Wonosobo, Kantor Radio Nawa Kartika FM di bagian administrasi. Dengan nama udaranya yang baru, Nessa Kartika. Nama yang dipakainya hingga sekarang. Tahun 2004, ia menikahi Wahidun dan tahun berikutnya melahirkan seorang putra, bernama Muhammad Axl Satriaji Wahid.

Lalu kembali memutuskan untuk berkerja ke luar negeri, kali ini ia ke Singapura. Di Singapura, inilah dia berkerja untuk Keluarga Ang dan Keluarga Lim, yang mendukungnya berkreasi di dunia maya. Hingga tahun 2010, salah satu puisinya terpilih dan masuk dalam ‘Antologi Puasa Pengembara Migran Indonesia’ berupa kumpulan satu buku oleh beberapa penulis yang dia bukukan sekaligus sebagai ruang media komunikasi, antara dirinya dengan para Buruh Migran Indonesia di luar negeri.

Tulisan-tulisan yang pernah dibukukannya, diantaranya adalah buku kumpulan pengalaman saat berpuasa oleh para imigran asal Indonesia di Hong Kong, Korea, Taiwan, Singapura, Malaysia, USA, Belanda, dan Finlandia.

Sahabat penanya dia kenal di dunia maya, Karin Maulana. Karin, salah seorang Buruh Migran Indonesia asal Blitar, Jawa Timur ini, di Hongkong yang dikenal Nessa, melalui situs jejaring sosial, Facebook. Mereka berdua bercita-cita untuk berjuang membuka kesadaran para buruh migran di perantauan hingga kini.

Adapun buku-buku karya Nessa Kartika, diantaranya :

1. LUKA TANAH PRIOK (Dragon Family Publisher, Hongkong. 2010). Buku pertama yang memuat karya Nessa Kartika. Buku ini merupakan kumpulan puisi persembahan untuk BMI (Buruh Migran Indonesia) di Hongkong, Taiwan, dan Singapura untuk Tragedi Priok, Koja, Jakarta Utara, Kamis, 15 April 2010. Karya Nessa, berupa sebuah puisi berjudul “Ada Apa”.

2. 30 HARI DALAM CINTA-NYA, (Dragon Family Publisher, Hongkong. 2010). Buku ini, menyajikan berbagai pengalaman Warga Negara Indonesia (WNI) beragama Islam yang melewatkan bulan suci Ramadhan di luar negeri, yakni Hong Kong, Korea, Taiwan, Malaysia, Singapura, Jepang, Belanda, USA, dan Finlandia. Ada yang berada di luar negeri karena studi, ada pula yang menjadi Tenaga Kerja Indonesia (TKI) atau Buruh Migran Indonesia (BMI). Karya Nessa berjudul, “Ramadhan Ke Empat Ku di Negeri Singa”.

3. KARENINA : SINGA BAUHINIA, (Dragon Family Publisher, Hongkong. 2010). Buku ini adalah buku kumpulan cerita pendek dan puisi tentang kisah-kisah wanita Buruh Migran Indonesia di Hongkong dan Singapura. Buku ini adalah proyek bersama Nessa Kartika dengan sahabat penanya di dunia maya, Karin Maulana. Seluruhnya berisi 13 buah cerita pendek, diantaranya 6 cerpen dan 3 puisi karya Nessa Kartika, serta sebuah novellet, yang merupakan karya bersama kolaborasi Karin Maulana dan Nessa.

Kisah Cinta, Kekejaman, Kekerasan, Kisah Suka dan Duka, serta beberapa kisah lainnya yang terjadi di seputar kehidupan Buruh Migran Indonesia, yang selalu terjadi di sekitar kita. Buku ini mendapat pujian dari pengamat sastra dan pemerhati BMI, Sakban Rosidi, Dosen Filsafat Program Paska Sarjana, IKIP Budi Utomo Malang, Jawa Timur, Indonesia. Sebagai sebuah karya yang “Meretas Jalan Kebangkitan Genre Baru Sastra Remaja”.

4. TIGABIRUSEGI, (HASFA Publisher, 2010). Buku Antologi Puisi Kasih: Tanah, Air, Udara oleh 50 orang penulis. Sebagai antologi, keberagaman menjadi dimensi yang menguatkan buku ini, yang didedikasikan sepenuhnya untuk bencana yang tidak hanya sampai pada simpati. Tetapi ingin menjadi saksi, bahwa puisi menjadi kasih yang nyata, dalam kata dan tindakan. Karya Nessa, berupa puisi religi berjudul “Hidup Tak Terbatas Disini”.

5. BICARALAH PEREMPUAN!!! (Leutika Prio Publisher. 2010). Bicaralah Perempuan, merupakan sebuah ajang untuk menyuarakan berbagai Kekerasan terhadap Perempuan. Buku ini, meski banyak berbicara soal Luka, Penghiatanan, dan Air Mata. Tetapi tidak hendak mengajak anda berlarut-larut dalam duka. Berharap ini akan menjadi halilintar, yang membangunkan banyak orang dari mimpi panjang. Kekerasan terhadap Perempuan begitu nyata, sangat dekat, dan menuntut partisipasi tanpa harus berfikir lambat.
Dalam semangat itulah, buku ini hendak dilahirkan. Dari rahim Gerakan Serikat Buruh di Serang, Banten. Dalam spirit dan bagian tidak terpisahkan dari ‘Kampanye 16 Hari Anti Kekerasan terhadap Perempuan’ yang sudah dilaksanakan bersama-sama Komnas Perempuan. Dalam sebuah diskusi di Hotel Le Dian, Serang.

Bahkan buku ini, diharapkan akan menjadi tonggak kebangkitan Kaum Perempuan Indonesia; untuk lebih peduli, berbagi daya, dan bergandengan tangan dalam hangatnya kebersamaan. Ini adalah murni proyek sosial. Sebuah lentera, untuk berbagi cahaya.

Hasil penjualan buku ini, nantinya akan disumbangkan untuk kegiatan-kegiatan Biro Perempuan Forum Solidaritas Buruh Serang (FSBS) untuk melakukan penguatan dan advokasi kepada para perempuan korban kekerasan.

Karya Nessa berjudul ‘Bicaralah Perempuan’ terangkum menjadi satu bersama 15 orang penulis lainnya.

Sumber: http://berita21.com/2010/12/28/penulis-antologi-sastra-berjuang-untuk-kaum-buruh-migran-indonesia-di-luar-negeri/

Buruh Migran Hong Kong Terbitkan Buku Puisi

http://nasional.kompas.com/

Sebanyak lima buruh migran Indonesia (BMI) yang bekerja di Hong Kong menerbitkan buku kumpulan puisi berjudul 5 Kelopak Mata Buhinia.

"Buku berisi sekitar 50 puisi itu sudah diterbitkan akhir 2008 lalu dan diluncurkan di Hong Kong," kata penggerak sastra buruh migran, Bonari Nabonenar di Surabaya, Kamis.

Kelima buruh migran yang selama ini aktif menulis karya sastra itu adalah, Mega Vristian asal Malang, Tarini Sorita (Cirebon), Kristina Dian Safitri (Malang), Tanti (Ponorogo) dan Ade Punk (Malang).

"Puisi-puisi mereka bercerita tentang Hong Kong dan tema-tema umum, seperti kerinduan akan kampung halaman, cinta dan lainnya. Judul buku itu diambil dari bunga khas Hong Kong bernama Buhinia," kata Ketua Paguyuban Pengarang Sastra Jawa Surabaya (PPSJS) itu.

Pria asal Trenggalek itu mengemukakan, penerbitan kumpulan puisi ini merupakan kelanjutan dari proses kreatif para BMI di Hong Kong yang telah menghasilkan puluhan buku kumpulan cerpen, puisi maupun karya novel.

Ia menjelaskan, Tarini Sorita pernah menerbitkan kumpulan cerpen berjudul "Penari Naga Kecil" yang diluncurkan di Surabaya beberapa tahun lalu. Mega Vristian pernah menerbitkan kumpulan cerpen berjudul "Nyanyian Imigran", "Nu Buat Labirin Luka" dan "Yogya 5,9 SR".

Bonari mengemukakan, saat ini perkembangan sastra buruh migran Indonesia di Hong Kong semakin marak. Mereka sering mengadakan kegiatan yang berkaitan dengan pengembangan sastra termasuk mendirikan organisasi.

"Ada Sekar Bumi yang merupakan kependekan dari Seni Karya Buruh Migran dan Forum Lingkar Pena (FLP) Hong Kong dan lainnya. Mereka semua cukup mewarnai kegiatan pengembangan sastra," katanya.

Mengenai buruh migran yang sudah kembali ke Indonesia, Bonari menjelaskan, mereka juga masih aktif berkarya di daerahnya masing-masing. Misalnya Mario Boneok asal Wonosobo, Jateng yang sebentar lagi akan menerbitkan novel. (ant) 23 Januari 2009

Sumber: http://nasional.kompas.com/read/2009/01/23/01382532/buruh.migran.hong.kong.terbitkan.buku.puisi

Telah Terbit Lagi Karya Sastra di Balik Tangan Buruh Migran

Indira Margareta
http://www.kompasiana.com/indrimargareta.multiply.com

Kemarin aku membaca status teman juga pesan berantai di FB, bahwa telah terbit lagi buku karya Buruh Migran Indonesia di Hong Kong. Hebat!!!, tentu aku akan bilang seperti itu. Bagaimana tidak? Mereka yang bekerja berada di bawah naungan tuntutan sang juragan masih sempat menulis. Padahal waktu mereka adalah dua puluh empat jam sehari dalam enam hari, bahkan ada yang tujuh hari karena tidak mendapatkan hak libur. Tapi mereka menunjukan betapa mereka sangat menghargai waktu yang ada.

Mereka rela waktu tidur mereka berkurang karena hanya ingin menyelesaikan tulisan agar cepat selesai tepat waktu, meskipun tulisan mereka masih dalam tahap belajar tapi aku salut pada Buruh Migran Indonesia, kadang aku menyebut mereka Pahlawan Sastra Migran bukan lagi Buruh Migran. Wajarkan?

Di setiap hari libur aku melihat betapa para kartini bangsa itu dengan semangat membara menuju tempat-tempat meraih ilmu, mengunjungi workshop kepenulisan, pelatihan kepenulisan, diskusi karya juga mengikui lomba-lomba yang berkaitan dengan tulis menulis juga rajin mengirim naskah ke koran atau majalah. Padahal di sekitar mereka dunia gemerlap selalu menggoda melambai-lambai. namun mereka tak mundur. Bagi mereka mumpung masih ada waktu lebih baik di pakai untuk belajar ibarat pepatah bilang “Sekali dayung dua pulau terlampaui”. Ya bekerja ya mecari ilmu. Kayau!

Dengan banyaknya buku yang hadir di antara keterbatasan waktu mereka sudah menjadi bukti bahwa mereka cukup serius dalam hal ini. saya berharap sastra migran semakin mampu berkibar menenggelamkan buruk sangka yang selama ini melekat pada tenaga kerja wanita yang bekerja di Hong Kong. Amin.

29 July 2010

Bohong

Linda Sarmili
suarakarya-online.com/29 Jan 2011

Bohong. Tak terasa sudah sebulan saya merasakan nikmatnya berpuasa sunah Senin-Kamis. Soalnya, tiba-tiba saja saya merasakan semua orang menjadi baik kepada saya. Itu saya rasakan ketika saya melunasi kredit saya di sebuah bank. Pejabat kepala bagian kredit bank itu mengatakan kredit saya telah lunas. Tetapi saya ngotot bertahan bahwa sisa kredit saya masih Rp 50 juta lagi. Jadi belum lunas. Itulah yang ingin saya lunasi.

Ternyata, meski sudah tiga kali saya mengatakan kredit saya belum lunas, pejabat kepala bagian kredit itu sama ngototnya dengan saya. Ia tetap berpendapat dan menegaskan, kredit saya telah lunas. “Jadi tak perlu lagi setoran Rp 50 juta itu,” katanya seraya memperlihatkan kepada saya print out komputer yang membuktikan bahwa kredit saya memang benar-benar telah lunas. Lalu saya meninggalkan bank itu dengan perasaan kecewa.

Bersamaan dengan itu saya juga sebenarnya sangat gembira. Betapa tidak, saya mendapat uang Rp 50 juta. Uang yang seharusnya lenyap dari tangan saya, tetapi kini malah menjadi milik saya. Nah, ketika itulah timbul pemikiran untuk menggunakan uang yang menjadi milik saya itu untuk membeli rumah cicilan, rumah RSS, rumah sangat sederhana. Kebetulan hingga kini saya memang belum punya rumah. Kalaupun sekarang saya bisa tenang di rumah yang lumayan bagus, lengkap dengan garasi, taman dan kolam ikan, itu karena kebaikan keluarga yang minta saya mengisi secara gratis rumahnya yang kosong sejak lama.

Saya pun segera berurusan dengan sebuah perusahaan pengembang RSS. Diluar dugaan direktur perusahaan pengembang itu dengan sukarela memberikan sebuah rumah RSS kepada saya tanpa bayar. Ini benar-benar edan. Tidak masuk akal. Setelah mendengar penjelasan direktur perusahaan pengembang RSS itu barulah saya paham mengapa saya bisa mendapat bonus seperti itu. RSS yang jumlahnya ratusan itu dibangun perusahaan pengembang itu khusus untuk karyawannya.

Mencari untung tidak menjadi tujuan. Kalaupun untung jumlahnya kecil sekali, tidak ada artinya buat perusahaan pengembang raksasa itu. Perusahaan itu mencari untung hanya dari rumah-rumah sangat mewah yang dibangunnya. Rumah-rumah mewah itu sebagian besar dibeli oleh para pemilik “uang panas” yang sangat banyak jumlahnya di republik ini. Setelah dibeli, rumah-rumah itu mereka jadikan “rumah hantu” karena tidak dihuni dan diserahkan penghuninya kepada “makhluk-makhluk halus” yang merasa bersyukur karena mendapat rumah gratis.

Nah, karena pengembang masih memiliki rasa keadilan sosial yang tinggi, dibangunlah rumah-rumah sangat sederhana, untuk para karyawannya, agar mereka memiliki rumah dan tidak mengeluarkan biaya transportasi lagi untuk pergi bekerja. Maklumlah, kompleks RSS yang saya sebutkan itu hanya dua ratus meter jaraknya dari rumah-rumah mewah yang sebagian besar telah menjadi “rumah hantu”.

Selain sepi dan bila malam tampak gelap, rumah-rumah mewah itu dikelilingi rumput liar yang tumbuh subur di halaman depan, belakang dan samping kiri-kanan. Lalu mengapa kepada saya diberikan rumah – walaupun dengan embel-embel sangat sederhana – secara cuma-cuma?

Direktur perusahaan pengembang itu, dengan senyumnya yang menawan menjawab: “Kebetulan hanya RSS yang diberikan kepada Anda itu yang belum terjual. Selebihnya telah menjadi milik karyawan kami. Rupanya yang kami bangun berlebih satu. Karena kami lihat Anda sangat membutuhkan rumah sedangkan kami tidak tahu kepada siapa akan menjual rumah itu, dengan senang hati kami memberikan rumah tersebut kepada Anda. Yang penting rumah itu dihuni orang yang benar-benar sangat membutuhkannya.” Saya kagum pada rasa sosial Direktur perusahaan pengembang itu. Terbantahlah sinisme saya bahwa kehidupan modern di kota besar telah membunuh kepedulian manusia terhadap sesamanya. Buktinya, Direktur yang baik itu. Dia sadar betul bahwa orang-orang yang hidupnya sedikit di atas garis kemiskinan seperti saya harus dibantu. Keberpihakannya juga jelas. RSS harus dihuni karena memang banyak yang membutuhkannya. Tetapi rumah-rumah mewah? Silakan saja mau dijadikan apa, terserah.

* * *

Mungkin ada di antara Anda yang menganggap saya berlebihan dalam berdusta. Masak dengan uang Rp 50 juta di zaman seperti sekarang ini masih sanggup mengatakan bahwa saya hidup sedikit di atas garis kemiskinan?

Agar prasangka Anda tidak berkelanjutan saya berkewajiban memberikan penjelasan. Tahun lalu, ketika terbongkar bahwa saya melakukan praktek korupsi kecil-kecilan, saya dipecat dari pekerjaan saya di sebuah kantor swasta. Saya terperosok dalam kebingungan. Istri sudah mendesak agar kami keluar dari rumah keluarga dan mengontrak kamar. Tetapi di dompet saya tak pernah tersimpan sisa gaji. Hasil jerih payah bulanan saya selalu ludes hanya untuk urusan dapur. Belum lagi anak saya yang tertua akan melanjutkan pendidikannya ke perguruan tinggi. Pasti butuh uang yang tidak sedikit.

Sementara itu impian saya untuk membuka warung yang hasilnya bisa melancarkan perekonomian keluarga hanya sebatas mimpi saja sejak lama. Keinginan berwiraswasta hanya tinggal impian lebih karena saya kesulitan mencari modal. Saya malu meminjam uang untuk modal dagang kepada keluarga saya. Saya takut kelak di kemudian hari tidak lancar mencicil lalu jadi omongan. Akhirnya saya memberanikan diri meminjam uang di bank. Untuk itu saya melampirkan data-data palsu pada surat permohonan mendapatkan kredit.

Setelah menunggu satu minggu permohonan saya dikabulkan. Jadi terbantah lagi bahwa orang kecil seperti saya sukar mendapat kredit dari bank. Terbantah pula bahwa untuk memperoleh kredit dibutuhkan agunan yang nilainya jauh lebih besar dari pinjaman. Juga terbantahkan bahwa untuk mendapat kredit perlu uang pelicin. Perlu uang sogokan yang tidak kecil untuk sejumlah pejabat di bank.

Dengan uang itulah saya bisa berbuat banyak sebagai seorang kepala rumah tangga di rumah saya. Saya bisa membayar uang kuliah anak saya. Bisa membelikan motor bekas untuk anak saya kuliah. Bisa membelikan komputer murahan dan sisanya saya gunakan untuk modal berjualan makanan di kaki lima. Modal saya tentu akan lebih besar seandainya anak saya diterima di perguruan tinggi negeri yang diimpikannya sejak kelas dua SMA. Tetapi, untuk lulus dari jaringan UMPTN (ujian masuk perguruan tinggi negeri) kan tidak mudah.

Menurut cerita anak saya, UMPTN itu tidak ubahnya undian berhadiah. Beralasan sekali kalau sejak mula saya sangat tidak yakin anak saya – yang kemampuannya sangat pas-pasan di SMA – bisa menembus dan lulus dari blokade sulitnya masuk ujian perguruan tinggi negeri.

Betapa tidak, jumlah mahasiswa yang diterima total hanya 2.500 orang, tetapi yang mendaftarkan menjadi calon mahasiswa mencapai 22 ribu orang. “Saya tidak yakin kamu bisa lulus, Nak. Sulit sekali memasuki perguruan tinggi terkenal itu…” demikian kata hati saya kepada anak saya suatu hari setelah mendengar anak saya ikut testing masuk Ujian masuk perguruan tinggi. Dan ternyata benar. Beberapa hari kemudian dalam daftar pengumuman calon mahasiawa yang lulus, yang dimuat di beberapa koran terbitan ibukota, nama anak saya tidak tercantum.

Anak saya tidak lulus. Karena itu anak saya, saya masukkan ke perguruan tinggi swasta yang tidak terkenal. Pertimbangan saya memasukkannya ke perguruan tinggi tidak terkenal, terus terang saja, lebih karena biaya masuknya yang jauh lebih murah ketimbang biaya di perguruan tinggi yang telah terkenal. Apakah anak saya akan berhasil dan apakah gelar kesarjanaannya nanti ada artinya untuk mendapatkan pekerjaan, nanti sajalah dipikirkan. Berpikir pragmatiskan lebih baik daripada membayangkan kesulitan yang akan dihadapi.

* * *

Jualan makanan di kaki lima janganlah dianggap enteng. Pendapatannya dalam sebulan bisa mengalahkan pendapatan sebulan seorang Direktur Jenderal yang jujur disebuah departemen pemerintah. Karena itu, cicilan pembayaran kredit saya kepada bank dapat berjalan lancar. Dan, tahukah Anda, bulan ini keuntungan bersih saya benar-benar di luar dugaan sehingga saya ingin lekas-lekas melunasi sisa utang saya kepada bank. Itulah yang ditolak kepala bagian kredit bank saya ketika saya datang untuk melunasi utang itu.

Selama saya masih tinggal di RSS yang ukuran bangunannya hanya 21 meter dan luas tanahnya hanya 60 meter persegi dan saya masih tetap berjualan di kaki lima, apakah saya tidak boleh menyebut diri saya berada sedikit di atas garis kemiskinan? Anda benar. Anda tidak salah. Saya ternyata telah berbohong secara berlebihan. Bukankah saya sendiri yang mengatakan, pendapatan seorang pedagang kaki lima sebulan bisa melebihi pendapatan sebulan seorang berpangkat Dirjen yang jujur?

Saya mohon maaf. Sekaligus ingin mengutarakan pendapat saya bahwa mayoritas Dirjen, bahkan mungkin semua Dirjen di berbagai departemen yang banyak itu adalah orang-orang jujur. Kita tidak boleh berprasangka buruk. Mencurigai boleh-boleh saja, asal kecurigaan itu jangan disebarluaskan. Tetapi, menuduh terutama sekali menuduh orang tidak jujur adalah perbuatan yang sangat tercela dan sangat tidak sesuai dengan kepribadian bangsa.

* * *

Surat yang baru saya terima membuat saya kebingungan. Bayangkan saja, saya diminta datang ke universitas tempat anak saya kuliah untuk mengambil semua uang yang telah saya setorkan. Apa kesalahan anak saya yang telah menjalani Ospek dengan susah-payah itu? Dengan debaran jantung yang tidak menentu saya menemui kepala bagian penerimaan mahasiswa baru.

Dengan ramah ia menyambut saya dan memberikan keterangan yang saya perlukan sebelum saya minta. “Bapak Rektor menyuruh saya mengembalikan uang yang telah Bapak setorkan beberapa hari lalu,” “Mengapa?” saya bertanya dengan rasa ingin tahu yang menggelegak. “Ini kebiasaan Pak Rektor. Setiap tahun ada saja mahasiswa baru yang ketiban rezeki seperti ini.

Jumlahnya memang tidak lebih dari satu orang. Dasar pertimbangannya apa, saya benar-benar tidak tahu. Pokoknya, Pak Rektor mengambil secara acak sebuah nama dari daftar mahasiswa baru dan membebaskan mahasiswa itu dari kewajiban membayar uang kuliah”. Rezeki memang tak perlu dikejar. Dia akan datang dengan sendirinya kalau memang sudah ditentukan untuk kita. Tak perlu sikut-sikutan untuk mendapatkan rezeki. Agama manapun di dunia ini memang melarang praktek seperti itu, sikut-sikutan memburu rezeki.

“Jadi kita pun nggak perlu ikut-ikutan dengan tetangga seberang rumah yang doyan sikut-sikutan mendapatkan uang,” kata saya kepada, Mimin, istri saya.

* * *

Kejadian membingungkan yang atang beruntun akhirnya mengantarkan saya kepada pertanyaan yang tidak pernah dapat saya jawab. Apakah saya masih hidup di bumi atau di planet lain? Apakah ini suatu keinginan atau sebuah realita? Apakah ini hanya sebuah fiksi yang hidup dan berkembang di kepala saya atau kejadian, yang benar-benar kongkret?

Cobalah Anda bayangkan. Setelah rezeki-rezeki terdahulu itu kini menyusul rezeki baru yang juga tidak pernah saya harapkan kedatangannya. Saya mendapat panggilan dari bekas kantor saya yang lama. Saya diminta kembali bekerja dengan tawaran gaji yang lebih baik. Dalam surat yang dikirimkan kepada saya, dua kalimat tercetak dengan huruf-huruf tebal.

“Korupsi kecil-kecilan Anda kami anggap tidak ada, karena telah kami maafkan. Korupsi kecil-kecilan adalah wajar dan sah-sah saja untuk mempertahankan hidup”. “Gila,” saya berteriak. Surat yang ditandatangani Direktur Utama itu saya baca berulang-ulang. Huruf-huruf tebal itu masih bertengger dengan gagah di sana. Ini keterlaluan. Saya harus berbuat sesuatu. Sebagai orang kota yang terbiasa dengan gerak cepat malam harinya saya membuat kejutan kepada banyak orang, umumnya para pelanggan warung makan saya di kaki lima. Semua pelanggan yang makan di warung saya, saya minta untuk tidak membayar semua yang telah mereka santap dan minum. Besoknya, saya juga berbuat begitu. Besoknya lagi demikian juga setelah modal saya tinggal untuk satu hari jualan lagi, baru “servis” itu saya hentikan. Kepada Mimin, istri saya, saya berbisik: “Kejadian-kejadian gila, harus disambut dan diimbangi dengan perbuatan sinting.” Mendengar ucaoan itu, istri saya pun tertawa terbahak-bahak. “Aku setuju, bang… aku setuju …” ujar Mimin. Tapi, bagaimana menurut Anda? Asal tahu saja, saya berkepentingan melakukan semua itu, karena dengan demikian faktor keseimbangan dapat terpelihara. Tapi apakah benar pandangan saya itu? ***

Kabut Sepanjang Jalan ke Arah Rumah

Alexander G.B.
http://www.lampungpost.com/

Empat jam dari Bakauheni sampailah aku di Terminal Rajabasa. Sengaja tak banyak barang bawaan, hanya beberapa helai baju dalam tas ransel hitam yang terlanjur berubah abu-abu. Debu berterbangan, beberapa di antaranya hinggap ke sepatu, baju, dan paru-paru. Rencana kepulanganku tak akan lebih dari seminggu. Aku menduga pasti tak akan kerasan di rumah. Aku tidak tahu mengapa perasaan tidak nyaman semacam ini bermekaran di kepala.

Aku tertarik dengan kesibukan orang-orang di terminal, ada yang merasa asing melangkah ragu-ragu. Tampak raut cemas dan lelah begitu lekat sebagian besar pengunjung, menunggu keberangkatan untuk pulang dan pergi. Tetapi sebagian—yang menganggap terminal sebagai rumah—tampak santai, kerap matanya berubah seperti mata serigala melihat mangsa. Mereka selalu tahu siapa yang sering bepergian dan yang tidak. Ketenanganku membuat mereka tak hendak mengusik atau mengganggu. Aku bersyukur atas itu.

Ya, sementara aku selamat, aku pantas lega karena mereka tak melakukan hal yang sama dengan pengunjung terminal lain yang menyeret ke sana kemari. Kudengar seorang lelaki berteriak Talangpadang—Kotaagung beberapa kali. Maka lekas kupilih bus menuju kota kecilku. Kupilih bangku di dekat jendela, dengan harapan jalan-jalan yang dulu kerap kulalui kembali hidup dalam ingatan. Lima belas tahun tak kusapa dan begitu banyak perubahan di sepanjang jalan menuju rumah. Aku turut bahagia dengan itu. Sepanjang jalan berbagai kendaraan menyesaki jalan. Semakin ramai rupanya. Dua jam kutempuh perjalanan dari Rajabasa menuju Talangpadang.

“Jangan lupa, jika sudah sampai di Talangpadang segera panggil becak, karena tukang ojek sering kali meminta ongkos yang terlalu tinggi dan tidak masuk akal,” ujar kakak perempuan yang kerap terlampau khawatir,

“Tetapi bukankah aku bisa menolaknya?”

“Mereka akan memaksa. Dan jika kamu tidak mau mereka akan terus mengikuti. Jadi untuk lebih amannya, sebaiknya kamu panggil becak.”

Aku teringat beberapa kisah menjelang Lebaran, ketika ramai orang-orang kampung mengadu nasib di Tangerang, Serang, Jakarta, atau ke luar negeri menjadi TKI di Taiwan, Malaysia, Hong Kong, Arab Saudi, dan sebagainya. Maklum tanah di kampung kian gersang. Hutan penyangga yang sempat dilarang untuk disentuh sudah lama berubah menjadi kebun kopi, cengkeh, lada, dan sebagainya.

Mengenang perjalananku, mengingatkan saat mudik Lebaran. Ketika para perantau dari kampung hendak merayakan Lebaran di kampung. Jika mereka selamat di Rajabasa, tukang ojek akan siap menghadang di Talangpadang. Kabarnya kita sudah merdeka. Beberapa di antara mereka diminta ongkos beratus kali lipat dari ongkos yang sewajarnya. Jika hari-hari biasa Rp25 ribu—Rp30 ribu, tetapi menjelang Lebaran terkadang mesti mengeluarkan Rp50 ribu sampai tak terhingga. Ada yang harus membayar Rp100 ribu, bahkan sampai Rp300 ribu. Keinginan menjumpai keluarga demikian besar sehingga mereka tetap memaksa diri untuk menempuh bahaya semacam itu, terkadang harus merelakan jerih payahnya diambil paksa oleh orang lain.

Lantas aku teringat sajak Saijah dan Adinda karya W.S. Rendra: “Orang-orang miskin menghabisi orang-orang miskin.” Aku menundukkan kepala. Saat ini semakin banyak teman dan saudara keluar dari kampung mengadu nasib di negeri orang, berharap mendapatkan pekerjaan dan sedikit uang tambahan, ada yang jadi pembantu rumah tangga, buruh pabrik, berjualan keliling, sales, dan lain sebagainya. Gaji mereka pasti di bawah UMR. Jadi ketika tukang ojek itu meminta ongkos yang tidak masuk akal, mendung segera bergelayut di wajah-wajah lelah yang rindu kampung halaman itu, yang sekadar ingin merayakan dua hari Lebaran bersama keluarganya.

Ketika memasuki Talangpadang, kucium aroma yang nyaris sama 10 tahun lalu. Amis ikan, jalanan berlubang, genangan air di mana-mana, ratusan tukang ojek yang mangkal di setiap gang dan sisi pasar. Aku menikmati keriuhan dan kesemrawutan ini. Menikmati mata-mata jalang yang mengamati laju becak yang kutumpangi.

Kucari warung nasi untuk mengisi perut yang mulai keroncongan. Tiga jam menunggu, dua gelas kopi kuhabiskan, tapi kendaraan yang kutunggu tak menampakkan batang hidungnya. Terik dan penat kuabaikan. Aku menunggu mobil yang bisa mengantarku ke rumah. Kendaraan sederhana yang biasa digunakan untuk mengangkut sayuran atau barang belanjaan para pedagang. Tak ada kendaraan khusus untuk penumpang. Mengenang hal tersebut aku jadi tersenyum kecut. Lebih 50 tahun merdeka, ilmu pengetahuan dan teknologi komunikasi berkembang pesat, tetapi tidak bagi Ulubelu dan sekitarnya. Aku percaya kampungku masih Indonesia.

Sudah hampir pukul dua sore. Mobil yang kutunggu tak kunjung menampakkan batang hidungya.

“Naek ojek saja. Tapi cari mereka yang mangkal di dekat pos penjaga dekat Alfamart. Jangan yang di tempat lain.”

Aku mengangguk. Lalu melangkah menuju tempat seperti yang disarankan kakak perempuanku. Mengabaikan mata-mata beringas yang sesekali menawarkan jasanya. Oia, beberapa tahun terakhir kampungku sudah ramai dengan telepon seluler. Tak ada telepon rumah karena tempatnya memang sulit dijangkau.

***

Segera kubayangkan jalanan berkelok yang harus kutempuh. Satu jam perjalanan. Tidak terlalu jauh. Hawa dingin sudah mulai membayang dalam ingatan. Pohon-pohon rimbun di sisi kiri dan kanan jalan, sungai dari mata air Gunung Rendingan yang dipenuhi batu-batu hitam yang berjajar rapi. Kabut yang turun sejak pukul emapt sore. Uap belerang, hamparan kebun kopi, sawah, dan teman-teman lama.

Rumah tampak sepi, hanya ada Rani, kakak perempuanku yang sedang menjahit pakaian pelanggannya. Tak tampak ayah. Mungkin masih di pasar, atau sedang berkebun seperti biasanya. Tiba-tiba aku merindukan ayah. Sosok yang sejak dulu kuhindari. Bahkan kepergianku ke Jawa adalah usaha menjauh darinya. Aku tidak tahu mengapa aku demikian membenci ayah. Bahkan, setelah 10 tahun pergi dari rumah, perasaan semacam itu masih tampak begitu kuat. Sempat ada keraguan ketika hendak membuka pintu. Tampak sepi. Hanya ada Rani yang langsung memelukku begitu aku membuka pintu.

***

“Sudah lama ayah menunggumu. Ia bangga kamu sudah semakin hebat sekarang. Kabarmu selalu ia ikuti. Ia selalu bertanya tentang dirimu. Berkali-kali ia memandangi foto-fotomu dari album yang kamu kirimkan. Ia begitu bangga, hingga hampir setiap hari ia ceritakan tentang dirimu kepada para tetangga dan keluarga lainnya. Banyak yang iri dengan dirimu.”

Aku terdiam. Benarkah apa yang diucapkan wanita yang dulu selalu melindungiku dari kemarahan ayah. Jika menilik matanya tak ada kesan untuk membohongi atau menipuku. Sungguh, hanya dialah aku percaya. Selama ini aku hanya memberi kabar padanya. Tentang ibu, ia meninggal ketika kami masih duduk di sekolah dasar. Sejak kematian ibu, aku membenci ayah. Ayah di mataku seperti serigala. Barangkali kebencianku bermula dari Ibu yang sering bercerita tentang keburukan ayah. Kata ibu, ayah tak pernah sungguh-sungguh menafkahi keluarga. Ayah pemarah dan mau menang sendiri. Kesimpulan masa kecilku.

Tak bisa kupungkiri, aku begitu dekat dengan sosok yang biasa kupanggil ibu. Sikap ayah pun kasar kepadaku. Perlakuannya membuat aku semakin yakin cerita ibu bahwa ayah bukan seorang yang baik. Matanya yang menyala tampak seperti menyimpan dendam atau kebencian pada ibu. Wanita yang kemudian melahirkan adikku yang ketiga dari hubungannya dengan lelaki lain. Kabarnya ibu lakukan itu sebagai balasan atas perlakuan ayah. Kakak perempuanku yang berkisah. Ia pasti bisa dipercaya. Rani juga menyayangi ibu, ia juga tidak menyukai ayah, tetapi kebenciannya tidak sebesar kebencianku.

Tak lama sejak kematian ibu, ayah menikah lagi. Aku kian membencinya. Setelah menyelesaikan SMA, aku melanjutkan kuliah atas usaha Rani agar hidupku bisa berubah lebih baik. Akhirnya jauh dari kampung. Akhirnya lepas juga rumah yang tak beda dengan penjara. Aku juga tidak tahu apa yang mendorong ayah mengikuti saran Rani. Ia hanya seorang pedagang kecil dengan sepetak tanah yang ditanami kopi dan palawija.

***

Setelah sesaat diam. Duduk dan meneguk segelas kopi yang dihidangkan Rani, kutatap langit sore. Kulihat wajah Rani yang tampak kelelahan, meski ia mencoba menyembunyikan di balik senyumnya yang sejak dulu indah. Aku menukasi senyum Rani. Rani bercerita sudah lama berpisah dari suaminya. Aku mengangguk. Pantas saja ia tampak lebih tua dari yang semestinya, mungkin karena harus menanggung biaya hidup dan sekolah anaknya yang baru saja masuk SMP tahun kemarin. Begitu banyak hal terjadi, dan aku tak tahu. Lebih tepatnya aku tak ingin tahu. Aku meninggalkan rumah dengan perasaan benci kepada ayah, kepada rumah, kepada hidupku. Bahkan, aku tak pernah bangga dengan apa yang sudah aku lakukan meski bertahun-tahun bergelut dengan dunia ideal yang banyak diimpikan orang.

Hawa dingin mulai merasuk. Sudah lama tak kurasakan dingin seperti ini.

“Besok aku mau ke kebun. Aku mau mandi di sungai. Kebun dan sawah kita masih ada kan?”

“Tidak, semuanya sudah dijual untuk membiayai kuliahmu. Meski banyak keluarga yang menentang, ayah tetap menjualnya. Iya tidak ingin kamu berhenti kuliah karena putus biaya. Ia merasa kamu satu-satunya yang pantas dibanggakan. Aku sendiri gagal membangun rumah tanggaku. Sementara Dani meninggal karena berkelahi waktu ada keramaian di kampung tetangga. Kamu satu-satunya harapan keluarga. Dan ia selalu membanggakanmu.”

Ada sebersit rasa yang aneh. Aku tidak tahu apa yang terjadi dengan perasaanku.

“Ayah di mana sekarang? Kenapa sudah lewat magrib tidak pulang juga.”

Rani diam. Beberapa kali menghela napas.

“Ia meninggal setahun yang lalu. Kamu masih ingatkan, waktu aku kasih kabar ayah sakit kepadamu?”

Aku mengangguk.

“Kamu bilang tak bisa pulang karena sedang ada pementasan di Makassar. Ayah melarangku untuk menghubungi lagi. Takut kegiatanmu terganggu. Tak lama dari situ ia meninggal. Tetapi ia tersenyum. Sebelum meninggal ia berpesan agar aku menjagamu. Ia minta maaf karena tak bisa menunggumu pulang.”

Kepalaku terasa berat sekali. Bagaimana jika Rani dan ayah tahu aku tidak selesai kuliah? Bagaimana jika mereka tahu pengorbanannya sia-sia? Hampir setiap hari aku dan teman-teman berbincang tentang hati nurani, estetika, filsafat, kemanusiaan, tentang masyarakat yang sakit. Seolah-olah kami yang paling sehat, karena masih punya cita-cita dan idealisme. Tetapi ayah dan Dani meninggal. Aku tidak sempat berterima kasih dan meminta maaf kepadanya.

Gelas yang kugenggam terlepas. Suara pecahannya mengejutkan Rani. Lantas gelap. Gelap sekali.

April—Mei 2011

Sastra TKI dan Ciri-cirinya

JJ. Kusni
http://wachyu.depsos.org/

Mengikuti kehidupan perpuisian di dunia maya dan media cetak tanahair, sampai sekarang nampak bahwa sanjak cinta tetap merupakan arus kuat dan gelombang besar yang menggemuruh dan berdebur. Yang saya maksudkan dengan sanjak cinta, tidak lain daripada sanjak-sanjak yang mengambil cinta sebagai tema olahan. Barangkali keadaan demikian berkaitan dengan usia relatif muda para penulis karya-karya puisi tersebut, di samping asal strata sosial mereka yang bisa dikelompokkan pada lapisan kelas menengah, lulusan “tiga pintu” [pintu keluarga, sekolah dan kantor] dan masih asing dari badai topan perjuangan mayoritas penduduk yang bersifat hidup-mati serta kalah-menang. Bersumber dari basis sosial-ekonomi demikian maka sastra-seni yang dilahirkan pun mencerminkan keadaan lapisan kelas-menengah dari mana para pendukungnya berasal. Wajah sastra-seni yang agak kelimis, wangi parfum dan salon yang asyik dengan keasyikan dunia tersendiri di mana tidak jarang soal-soal buruh, tani, politik dilirik sekilas atau dipandang dengan menyipitkan mata keheranan seperti orang tercengang ketika tiba-tiba berhadapan dengan seekor kijang tersesat ke halaman rumah pusat kota. Apalagi selama hampir tiga dasawarsa, rezim Orde Baru Soeharto melakukan depolitisasi yang sangat sistematik.Di tengah-tengah syarat politik, sosial-ekonomi dan budaya dominan yang demikian, maka munculnya manusia penyair yang sekaligus sebagai aktivis gerakan demokratisasi seperti Wiji Thukul yang berasal dari lapisan bawah masyarakat, tidaklah merupakan hal yang jamak. Sekalipun memang dari sisi lain juga bisa dilihat bahwa Wiji Thukul dengan begitu dilahirkan oleh zamannya seperti halnya Mas Marco atau Cak Durasim dilahirkan oleh zaman masing-masing. Perbedaan asal strata-sosial serta jauh dekatnya, terlibat tidaknya para penyair dengan kehidupan mayoritas dan gerakan sosial-politik, memperlihatkan diri kembali pada karya, pada sikap para seniman [dalam hal ini, penyair] ketika menempatkan puisi di tengah kehidupan dan masyarakat. Bahkan pada di mana mereka menempatkan diri sendiri dalam kehidupan dan masyarakat yang tentu saja bersesuaian dengan pandangan hidup yang banyak ditentukan oleh kondisi sosial.

Hal lain yang menarik perhatian saya adalah gejala yang diperlihatkan oleh warga masyarakat Tenaga Kerja Indonesia [TKI], yaitu orang-orang Indonesia yang mencari pekerjaan dan bekerja di luarnegeri. Seperti umum diketahui bahwa jumlah TKI tidaklah kecil dan mereka tersebar di lima benua, mulai dari Amerika melalui Eropa, Afrika dan Asia sampai ke Australia. Gejala yang saya maksudkan adalah terutama gejala yang berkaitan dengan bidang sastra-seni. Walaupun masih dalam jumlah yang belum menonjol agaknya warga masyarakat TKI sudah mulai mengungkapkan diri, menuturkan pahit-getir serta permasalahan mereka dalam bentuk karya sastra-seni seperti: puisi, laporan, esai, cerpen, lukisan dan drama. Dalam bidang puisi, misalnya nama Mega Vristian [Hong Kong] nampak paling menonjol, sedangkan bidang esai mulai menampilkan dua nama: Jelitheng [Eropa Barat] dan Erine Endri [Beijing], lalu di bidang reportase atau laporan telah muncul nama Suraiya Kamaruzzaman [Hong Kong]. Karya-karya mereka muncul dan disiarkan selain melalui internet juga disiarkan di penerbitan-penerbitan buruh migran di luar negeri serta majalah dan suratkabar di Indonesia.

Karya-karya mereka memperlihatkan ciri yang berbeda dari karya-karya dominan atau arus umum dalam sastra-seni yang berkembang di Indonesia dewasa ini. Sekalipun para penulisnya hidup di luarnegeri mereka tidak mengesankan tenggelam oleh glamour konsumerisme, tidak silau oleh kemerlap kehidupan negeri orang. Melalui tulisan-tulisan mereka yang tidak lain dari warga masyarakat TKI itu sendiri atau aktivis organisasi buruh migran, kita mengenal pahit-getir, persoalan dan harapan para TKI. Keberpihakan kepada pihak yang lemah, tuntutan akan keadilan dan kemanusiaan merupakan ciri utama karya-karya warga masyarakat TKI ini. Sastra-seni bagi warga masyarakat TKI seperti halnya Wiji Thukul dengan puisi-puisinya, merupakan alat memanusiawikan diri dan kehidupan. Sikap ini nampak jelas dari sanjak-sanjak Mega yang belakangan disiarkan seperti: “Megatruh Purwanti”, “Satiyem: Ibu Indonesia”, “Amien Fahlan”, “Elegi TKW”, “Dari Taman Victoria”, “Mariska”, dan lain-lain… bahkan pada sanjak tiga barisnya berikut:

“MALAM MINGGU”

malam mingu
cuma kuintip dari jendela kamar
ada darah menetes di wajah rembulan

Hong Kong, 27 Maret 2004.”

“Darah [yang] menetes di wajah rembulan” itu adalah darah buruh migran, terutama di Hong Kong di mana Mega hidup dan bekerja sebagai TKI. Mengapa fisik dan jiwa warga masyarakat TKI di Hong Kong sampai berdarah? Penyair memancing dan mengundang kritikus dan pembaca untuk mengenal permasalahan lebih jauh.

Melalui sanjak-sanjaknya yang belakangan, nampak Mega sudah memasuki tahap baru dalam berpuisi. Keberpihakannya makin nyata dan jelas. Mega sudah meninggalkan tema cinta dan memasuki wilayah perjuangan politik, sosial dan ekonomi, hak azasi, keadilan. Mega, seperti halnya juga Erine Endri, Jelitheng dan Suraiya menempatkan karya-karya mereka dalam kontek perjuangan TKI dan kemanusiaan. Keberpihakan dan di mana puisi serta karya-karya ditempatkan oleh para penulis warga masyarakat TKI, diungkapkan dengan tandas oleh Mega dalam sepucuk suratnya [29 Maret 2004] kepada Mawi, penyair yang tinggal di Amsterdam, di mana antara lain dikatakannya:

“Entah abang apakah masih menyediakan waktu untuk membaca puisi saya, yang ada di beberapa milis sastra.Dari situ abang bisa memahami betapa hati dan nurani saya merasa terbantai melihat penderitaan, penindasan dan ketidak adilan yang di alami beberapa rekan TKI lainnya.

Saya ingin melakukan sesuatu untuk mereka, walaupun mungkin apa yang saya lakukan belum bisa menolong banyak terhadap mereka. Lewat puisi, saya berbicara pada dunia, lewat puisi saya mengurai penderitaan mereka pada bunda pertiwi, karena mereka adalah anak negeri yang perlu perhatian, belai sayang dan pertolongan dari bunda pertiwi. Entah apakah bunda pertiwi akan tega membiarkan lima anaknya saat ini meregang takut menanti keputusan hukuman mati dari pemerintah Singapura?”

Keberpihakan para penulis TKI ini tidak berhenti pada kata-kata, tapi mereka ujudkan ke dalam kenyataan dengan terjun langsung sebagai aktivis. Mega dan Suraiya misalnya aktif di Indonesia Migrant Worker Union [IMWU], Jelitheng aktif dalam berbagai kegiatan humaniter di Eropa Barat, Erine yang tadinya di Xiamen melanjutkan kegiatan serupa di Beijing. Kata dan praktek disatukan oleh para penulis TKI karena kata dan praktek adalah kehidupan mereka sendiri. Dituntut oleh kehidupan sebagai TKI, karya, juga puisi di tangan mereka bukan menjadi lagu ninabobok tapi untuk memanusiawikan diri dan kehidupan. Kehidupan jugalah yang mendesak mereka untuk menjadi penyair, menjadi penulis tapi sekaligus sebagai aktivis praktis yang menerjuni langsung kancah pertarungan yang membuat “rembulan” pun terpercik “darah”. Di kancah pertarungan berdarah [yang jauh dari wangi salon dan kelimis wajah fisik dan kekenesan jiwa kelas menengah] inilah mereka menempa, mengobah dan mematangkan diri dan karya-karya mereka. Dengan latarbelakang kehidupan begini maka tokoh yang lahir dari karya-karya penulis TKI bukanlah noni-noni dan sinyo kota serta salon yang suka bingung dan stress.

Dua jenis sastra-seni lahir dari dua sastra sosial berbeda. Keduanya lahir dan hidup di dunia sastra Indonesia sekalipun sastra dan karya yang ditulis diciptakan oleh lapisan bawah sering tidak dipandang sebelah mata, dipandang tidak bernilai seni, kurang bobot universal dan penuh demagogi oleh penulis dan seniman salon. Sikap beginipun memperlihatkan bahwa di dunia sastra-seni terdapat paling tidak dua standar dan norma. Standar salon dan standar populer di kalangan bawah.Yang menggelikan bahwa kehidupan sering mempertontonkan pertunjukan dimainkan para seniman dan manusia salon yang bicara tentang universalisme, tentang kemanusiaan, demokratisasi atau keadilan, sementara pada detik yang sama tindakan mereka menyangkal ucapan mereka sendiri. Sehingga kita dipaksa merenung apakah universalisme tidakkah sama dengan kepentingan kelompok dan golongan; kemanusiaan sinonim dari perbudakan, demokratisasi sama dengan otokorasi dan diktatur; sedangkan keadilan berupa penindasan terhadap yang lain.

Jika demikian, apakah tidak perlu sejarah sastra ditulis kembali atau sejarah sastra lapisan bawah yang tidak dindahkan atau kurang diperhatikan, memang sudah selayaknya ditulis? Jika kelak ia ditulis, saya kira sastra TKI, sastra bawah tanah, sastra-eksil, karya-karya di tahanan dan penjara serta yang selama ini tidak diperhatikan, akan mendapat tempat yang patut.

Catatan belajar ini hanyalah suatu usaha awal memahami ciri-ciri sastra-seni TKI yang sekarang memperlihatkan tanda-tanda keberadaannya di dunia sastra Indonesia. Pernahkah gejala ini sejenak berkelebat di mata perhatian para pengamat sastra dan kalangan akademisi negeri kita? Ataukah karya yang dihasilkan warga TKI akan senasib dengan TKI itu sendiri di kalangan bangsanya. Boleh jadi begini: Warga TKI dan penulis-penulis TKI pertama-tama dan terlebih dahulu, layak pandai dan bisa menghargai serta menghormati diri sendiri. Dalam hal ini organisasi buruh migran seperti IMWU bisa memainkan peranan penting. Siapapun tidak akan menghormati dan menghargai diri kita kalau kita tidak pertama-tama menghormati dan menghargai diri sendiri. Mengapa tidak misalnya ILWU menerbitkan karya-karya tentang TKI dalam dua bahasa: Inggris dan Indonesia? Saya melihat bahwa sastra TKI mempunyai ciri dan watak tersendiri yang hanya membuatmenambah pelangi sastra tanahair bertambah warna.

“Pengorbanan berat membulatkan tekad
yang kuasa menempa surya dan candra
bercahya di cakrawala baru”

demikian seorang penyair Tiongkok menulis ketika Tiongkok menghadapi kesulitan demi kesulitan beruntun. Barangkali kata-kata penyair Tiongkok inipun bisa diterapkan dalam usaha warga TKI termasuk para penulisnya, guna menghormati dan menghargai diri sendiri. Banyak yang bisa dilakukan ketika prakarsa tersulut dan marak.

Paris, Maret 2004.
—————–
sumber:
1) http://groups.yahoo.com/group/ppiindia/message/10935
2) http://wachyu.depsos.org/2010/06/02/sastra-tki-dan-ciri-cirinya/

Nasionalisme TKW Hong Kong dalam Cerpen

Kuswinarto*
http://www.lampungpost.com/

Membicarakan nasionalisme di kalangan tenaga kerja wanita (TKW) kita di luar negeri sangat menarik. Sebab, bagi TKW (dalam asumsi saya), Indonesia yang menjadi Tanah Air mereka, tempat mereka lahir dan besar, bukanlah sebuah negeri yang bersahabat. Bagi mereka (masih dalam asumsi saya), Indonesia tak berpihak kepada rakyat kecil seperti mereka.

Betapa tidak? Indonesia memaksa sebagian besar dari mereka putus sekolah atau tidak melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi karena Indonesia hanya mampu memberikan sebuah kemiskinan yang mengenaskan bagi keluarga mereka sehingga tak mampu menyekolahkan mereka. Itu masih ditambah kenyataan bahwa biaya pendidikan mahal dan itu terjadi di tengah maraknya kasus korupsi terhadap uang negara (baca: uang rakyat).

Karena orang tua miskin, para TKW terpaksa mengubur cita-citanya. Padahal bukan tidak mungkin jika terus menempuh pendidikan formal, sebagian dari mereka akan menjadi para pembaharu yang akan mengangkat Indonesia dari keterpurukan. Di Hong Kong, misalnya, ada juga TKW yang sebelumnya sudah berhasil masuk sebuah perguruan tinggi ternama di Indonesia, dari SD hingga SMA dia selalu mendapat juara kelas dan beasiswa. Tapi, ia tak jadi kuliah karena orang tua tak mampu dan terpaksa jadi TKW di Hong Kong sebagai babu. Tragis!

Lantas, meskipun negaranya tak berpihak kepada mereka, apakah para TKW luntur kecintaannya terhadap Indonesia? Ternyata tidak! Setidaknya, itu yang saya tangkap dalam sebagian cerpen karya para TKW Hong Kong. Meskipun masa depan mereka entah seperti apa jika tak berinisiatif sendiri “lari” ke luar negeri sebagai TKW, rasa nasionalisme mereka tetap tinggi. Cerpen berjudul Pertama dalam antologi cerpen Hong Kong Negeri Elok nan Keras di Mana Kami Berjuang (2002) karya Denok Kanthi Rokhmatika adalah buktinya.

Berikut kutipannya:

Lapis legit yang masih tiga perempat itu mendarat mulus di keranjang sampah, di depanku. Aku kaget. Tiba-tiba saja aku merasa harga kemanusiaan dan sekaligus kebangsaanku, manusia Indonesia, disejajarkan dengan sekerat kue yang pantas dimasukkan ke dalam keranjang sampah! Mengapa dia harus menanyaiku dulu sebelum membuangnya? Kan bisa saja dia langsung membuangnya, jika tak bermaksud menghinaku?

Terasa sekali Denok K. Rokhmatika, TKW Hong Kong asal Malang, Jawa Timur, lewat tokoh Aku mengungkapkan rasa terhinanya karena kue asli Indonesia dilecehkan bangsa lain, padahal dia bangga kue itu terkenal di luar negeri. Dia tetap cinta Indonesia, tetapi saat itu tidak bisa berbuat apa-apa, selain merasakan perih di dada. Itu karena yang melakukan penghinaan adalah orang yang baru saja akan mempekerjakannya sebagai pembantu rumah tangga.

Rasa cinta Tanah Air juga ditunjukkan Syifa Aulia lewat cerpen Hong Kong Topan ke-8 dalam antologi berjudul sama (2006). Dalam cerpen itu, TKW Hong Kong asal Kendal, Jawa Tengah, itu mengisahkan tokoh Aku, TKW yang juga aktivis HAM dan berteman dengan aktivis HAM lain dari beberapa negara di Hong Kong. Di kalangan aktivis HAM berbagai negara itu, Indonesia (pejabat dan masyarakatnya) terkenal dengan berbagai tradisi buruk. Salah satunya, orang Indonesia terkenal paling tidak menghargai waktu, suka ngaret kalau berjanji. Ini juga terjadi pada aktivis HAM dari Indonesia di Hong Kong, sedangkan aktivis HAM lain sangat menghargai waktu. Meskipun kesibukan seabrek, mereka selalu menepati janji, tak pernah terlambat menghadiri meeting, bahkan sering hadir 20 atau 15 menit lebih awal. Kalau yang dari Indonesia (kecuali tokoh Aku), terlambat dua jam itu sudah biasa.

Tokoh Aku malu tiap rekan sebangsanya terlambat menghadiri meeting, apalagi yang dari negara lain akan meledek habis-habisan. Aku malu bangsanya punya trade mark buruk soal waktu dan janji. Aku berontak jiwanya Indonesia dicap buruk, tetapi ia tak bisa berbuat banyak karena itu kenyataan. Yang bisa dilakukan Aku hanyalah berusaha agar dirinya selalu tepat waktu kalau berejanji atau meeting.

Dalam cerpen Hong Kong Topan ke-8 itu, Syifa Aulia juga mengemukakan bahwa Indonesia merupakan negeri korup, sangat bertolak belakang dengan Hong Kong yang merupakan negeri bersih dan antikorupsi. Tentang ini, Syifa Aulia menulis: Ah, andai saja negeriku itu (Indonesia, Kus) bisa seperti itu (antikorupsi, Kus). Tentunya tak ada lagi anak-anak jalanan yang telantar, tak banyak lagi perempuan dan ibu muda yang terpisah dari keluarga, merantau dan berserak di negeri orang ini (Hong Kong, Kus).

Bahwa Indonesia terkenal sebagai negeri korup di luar negeri, ini juga diungkap Aliyah Purwati dalam cerpen Laki-laki Afrika Selatan dalam Antologi Yam Cha (2010). Dalam cerpen itu, TKW Hong Kong asal Rembang, Jawa Tengah, tersebut menyampaikan rasa prihatinnya terhadap korupsi di negerinya melalui tokoh Adam, lelaki asal Afrika Selatan. Berikut kutipannya:

“Setahuku Indonesia adalah negara miskin yang sangat rawan dengan yang namanya korupsi. Siapa yang tidak kenal dengan Soeharto? Seorang presiden yang telah memimpin negaramu selama 32 tahun dengan sejuta kebusukannya,” katanya (-nya = Adam, laki-laki asal Afrika Selatan) panjang lebar sambil tersenyum agak sinis.

“Tuan, bagaimana mungkin Anda tahu banyak tentang negaraku sampai sedetail itu?” tanyaku (-ku = Zando, TKW di Hong Kong) sembari mengerutkan dahi saking herannya.

Rasa bangga jadi orang Indonesia ditunjukkan Tarini Sorrita di cerpen Batal dalam kumplan cerpennya, Penari Naga Kecil (2006). Bangga karena meskipun berbeda-beda agamanya, orang Indonesia rukun dan mengedepankan silaturahmi. Ini beda dengan orang luar negeri, semisal, di Hong Kong. Dalam cerpen Batal, TKW Hong Kong asal Cirebon, Jawa Barat, ini menulis:

Turun ke bawah ada Lan Fang, yang berkomentar tentang menyambut bulan suci Ramadan. Kalau bulan suci umat Islam ini datang, bukan hanya umat Islam-nya yang menyambut, semua penganut yang lain pun ikut sibuk.

Apalagi, nanti kalau Lebaran tiba, semua umat, terutama umat Islam berbahagia dan menyambutnya.

Aku teringat sama Mbak Ariani G.A. “Maria, kalau puasa kaya gini saya penginnya pulang ke Jakarta,” curhatnya.

Di Hong Kong, dengan kemampuannya berbahasa Kantonis dan Inggris, Tarini Sorrita memang banyak bergaul dengan banyak warga negara lain, tak hanya warga Hong Kong dan warga Indonesia. Sehingga, Tarini tahu keunggulan orang Indonesia dibandingkan orang dari bangsa lain dan itu membuatnya bangga menjadi orang Indonesia.

Tania Roos lain lagi cara mengekspresikan nasionalismenya di dalam cerpen. Dalam cerpen Suara Tembakan Waktu Subuh (dimuat di Berita Indonesia, Oktober 2003), Tania Roos mengangkat kisah bagaimana para perjuang Indonesia dulu dalam mempertahankan kemerdekaan yang baru saja diproklamasikan dari serangan Belanda yang hendak kembali menguasai Indonesia. Dalam cerpen tersebut, TKW Hong Kong asal Malang tersebut memperlihatkan betapa berat perjuangan para pahlawan kita semasa hidupnya. Tentu cerpen ini mengingatkan bangsa Indonesia bahwa kemerdekaan negeri ini tidak didapatkan dengan mudah, bernyawa-nyawa pun jadi korbannya.

Mungkin ada yang bertanya, apakah cerpen-cerpen demikian memang merupakan perwujudkan nasionalisme penulisnya atau bukan. Apakah itu bisa dijadikan ukuran kadar nasionalisme para pengarangnya? Mungkin ada kesangsian. Jika sangsi, setidaknya kita bisa mempertimbangkan apa yang dikemukakan salah seorang penulis Inggris, Samuel Butler (1835—1902): Every man’s work, whether it be literature or music or pictures or architecture or anything else, is always a portrait of himself. Jadi, kalau kita bertanya kepada Samuel Butler, jawabnya jelas. Cerpen-cerpen itu merupakan potret nasionalisme dari diri pengarangnya sendiri.

*) Kuswinarto, penikmat sastra

Sabtu, 02 Juli 2011

BENGKEL SASTRA DI KOTABARU

Helwatin Najwa
www.radarbanjarmasin.com/

Berawal dari jalan-jalan ke Balai Bahasa Banjarmasin menonton pelatihan Bengkel Drama pada tahun 2007 lalu, saya mengetahui ternyata ada juga program lain yaitu Bengkel Sastra. Untuk mendapat bantuan dan perhatian yang lebih maksimal dalam membina siswa SSSI Kotabaru, saya berkirim surat kepada Balai Bahasa agar Kotabaru mendapat jatah untuk program Bengkel Sastra. Tanggapan yang saya terima positif, akan tetapi rogram yang semula akan dilaksanakan tahun 2008 itu tertunda karena adanya kendala teknis dari Balai Bahasa Banjarmasin. Sehingga baru tahun ini kegiatan Bengkel Sastra di Kotabaru berlangsung, yaitu mulai tanggal 16 s.d. 21 Maret 2009.

Kegiatan Bengkel Sastra di Kotabaru yang dibuka oleh Asisten 1 dan ditutup oleh Wakil Bupati Kotabaru ini, diikuti oleh 30 orang siswa setingkat SLTA (SMA,SMK, dan MA). Para pembimbing adalah Agus Yulianto, Ali Syamsudin Arsi, Eko Suryadi WS dan Helwatin Najwa ditambah dengan pengarahan sastrawan/seniman, Sulaiman Najam dan Syukri Munas.

Apa itu Bengkel Sastra?

Bengkel Sastra adalah salah satu model classroom action (tindakan kelas), untuk meningkatkan daya apresiasi subyek didik terhadap karya sastra. Model pengajaran Bengkel Sastra diharapkan dapat merombak situasi kritis pengajaran sastra yang selama ini sering hanya sekedar pengajaran tentang teori dan informasi judul-judul karya sastra berserta nama penulisnya. Model ini masih merupakan hal yang baru dalam pengajaran sastra, karenanya masih perlu gerilya dan perjuangan yang tak kenal lelah untuk merombak model lama yang telah lama melekat pada para pengajar sastra. Paling tidak, melalui Bengkel Sastra, baik guru maupun siswa akan terusik dan tergoda untuk selalu berkenalan dengan karya sastra, menyenangi, menggemari, dan semakin akrab dengan karya sastra. Guru dan siswa (pembaca) akan sama-sama aktif untuk berolah sastra, menemukan informasi, mendialogkan, dan mencari pengalaman sastra. Tentu saja hal ini tidak semudah membalik telapak tangan. Bengkel Sastra adalah sebuah permulaan untuk menuju proses yang lebih jauh. Perlu komitmen keras antara guru dan siswa agar saling terlibat dalam menggauli dan mengapresiasi karya sastra.

Melalui Bengkel sastra, komunitas yang berolah sastra memang akan sampai pada tataran proses kretif yang “liar” atau “tidak jinak”. Untuk mencapai tingkatan proses kreativitas ini, diperlukan pengajar sastra (guru/dosen) yang professional. Professionalitas pengajar sastra dalam menangani Bengkel Sastra akan membuat pengajaran sastra menjadi “lebih hidup” dan dinamis. Pengajaran sastra menjadi tidak “kering” lagi, melainkan akan menjauhkan asumsi-asumsi sebagai legalisasi dan justifikasi statemen : keterasingan kesusastraan (Suwardi, 2008).

Adakah Gemuruhnya Sastra di Sekolah?

Kata pengantar Taufik Ismail dalam buku Mengantar Sastra ke Tengah Siswa, isinya sangat menggugah saya selaku guru bahasa Indonesia, karena memang menggambarkan bagaimana keberadaan sastra di sekolah. Para sastrawan bisa saja mencipta dan mencetak berpuluh bahkan ratusan buku, kemudian membagi secara gratis atau menaruhnya dengan bangga pada rak-rak toko buku menunggu pembeli. Ada yang laku tapi ada pula yang berdebu di sudut toko. Lahirnya banyak sastrawan tidak diimbangi dengan lahirnya pembaca sastra yang sepadan. Sastra sering hanya beredar di kalangan segelintir sastrawan dan para pemerhati sastra. Ibarat air, ia menggenang tidak mengalir ke mana-mana, yang mungkin suatu saat air itu akan menjadi kotor karena diobok-obok sendiri. Untuk mengalirkan sastra, maka lahan yang paling potensial adalah generasi muda.

Perkembangan remaja dimulai dengan masa puber, yaitu umur kurang lebih antara 12-16 tahun. Masa puber adalah suatu masa saat perkembangan fisik dan intelektual berkembang sangat cepat. Anak usia SMA berkisar antara 14-19 tahun. Tahap perkembangan ini oleh Ki Hajar Dewantara disebut sebagai masa menuju dewasa. Menurut Piaget, masa remaja merupakan masa transisi dari penggunaan berpikir kongkret secara operasional ke berpikir formal secara operasional. Remaja akhir yang kira-kira berumur 18-20 tahun ditandai dengan transisi untuk mulai bertanggung jawab, membuat pilihan dan berkesempatan untuk menjadi dewasa (Djiwandono, 2006).Dalam perjalanan siswa menuju kedewasaan, mereka membawa serta disiplin moral yang berkembang perlahan-lahan – jiwa mereka – yang sekarang tertanam jauh di dalam keberadaan diri mereka.

Mengajarkan atau memperkenalkan sesuatu ke tengah siswa yang sedang berproses ini memang memerlukan teknik dan metode tersendiri. Oleh sebab itu pengajaran (sastra) perlu membina pola berpikir, keterampilan dan kebiasaan yang terbuka dan tanggap yang mampu menyesuaikan diri secara manusiawi kepada perubahan. Dengan kata lain pengajaran ingin memekarkan kemampuan berpikir dan kemampuan bertindak peserta didik (siswa), sehingga menghadapi keadaan apa pun, ia cukup sanggup mengamati keadaan, menilai keadaan, dan menentukan sikap serta tindakannya dalam keadaan tersebut.

Menggairahkan minat siswa terhadap sastra memang sedikit sulit ditengah hingar bingar iptek dan modernisasi. Membuat mereka membaca buku sastra selama setengah jam saja sudah merupakan hal yang luar biasa. Bagi mereka pengalaman-pengalaman konkret jauh lebih berkesan dibanding pengalaman abstrak. Di tengah situasi perpustakaan sekolah yang umumnya minim buku dan peluang untuk menghadiri acara sastra tidak begitu besar, maka proses pembelajaran yang alamiah itu perlu dipercepat dengan stimulator.

Cara paling efektif meningkatkan minat siswa terhadap musik dengan mendatangkan grup musik atau penyanyinya ke tengah siswa. Begitu juga dengan sastra, ada intermezzo (yang kemudian menjadi stimulator) bila sastra hadir dalam bentuk-bentuk lain. Melalui bengkel sastra siswa dibawa dalam suasana pengalaman kongkret. Mengenal karya sastra, mengenal sastrawan, berproses dan berkreasi bersama-sama. Bengkel sastra di Kotabaru mengetengahkan musikalisasi puisi. Hasilnya lahir 4 kelompok musikalisasi puisi terbentuk dengan karya dan gaya yang sangat berbeda.

Apakah Siswa Akan Menjadi Sastrawan?

Kalau pun itu terjadi, betapa bangganya saya, bila satu saja diantara ratusan siswa yang saya bina itu kelak menjadi sastrawan. Namun pada saat mereka berproses saya tidak berani berharap. Sebagai ajang berekspresi beberapa karya mereka (puisi) sudah saya sebar dan terbit di media massa Radar Banjarmasin dan buku-buku kumpulan puisi. Terakhir pada bulan Desember 2008 setelah penantian selama tujuh bulan (dari sekitar 25 puisi yang saya kirim) ada lima puisi yang terbit di majalah Horison. Hal yang luput dari perhatian saya dan redaktur majalah Horison, ternyata dapat ditemukan oleh M. Nahdiansyah Abdi (MNA) dalam pengamatannya yang tajam. Ternyata dua diantara karya mereka adalah karya plagiat. Saya selaku guru mereka telah membuat surat permintaan maaf dan konfirmasi dengan majalah Horison pada bulan Januari lalu untuk puisi Gugur karya WS. Rendra, sedangkan puisi Kasidah Kemerdekaan baru ini saja dikonfirmasi oleh MNA dengan saya. Kebetulan siswa ybs sudah pindah sekolah. Saya anggap melalui tulisannya itu sekaligus klarifikasi untuk Eza Tabri Husano (ETH). Positifnya adalah saya akhirnya tahu bahwa siswa memiliki karya Rendra dan ETH yang kebetulan belum ada dalam koleksi perpustakaan kami. Barangkali dengan adanya kasus ini, suatu saat Rendra atau Eza Thabry Husano berkenan bertemu dengan kami di Kotabaru.

Terdapatnya Kaki langit pada majalah sastra Horison adalah sisipan khusus siswa SLTA sederajat, berisi pilihan karya sastrawan Indonesia terkemuka, ulasan karya tersebut, proses kreatif dan biografi sastrawan. Kali langit juga memuat karya sastra siswa (puisi, cerpen, dan esai), disertai ulasan oleh redaktur kali langit. Dalam penerbitannya setiap bulan sejak November 1996 menurut redaktur Horison, kerap ditemukan karya siswa yang menurut istilah MNA adalah plagiat. Ada syair-syair lagu dan puisi-puisi sastrawan terkenal maupun tidak, yang diambil siswa dalam karyanya. Tapi seorang guru tidak akan langsung menggebuki siswa yang ketahuan mencuri (plagiat), apalagi kemudian berhenti membina mereka. Menurut saya siswa yang seperti ini bukanlah hasil manifestasi kepribadian narsistik. Justru sebaliknya, siswa tersebut mengalami krisis kepercayaan diri sehingga tidak berani menunjukkan hasil karyanya sendiri. Terapi yang baik adalah dengan meningkatkan sedikit kadar narsisnya, supaya dia percaya diri dan berani berkarya tidak perduli hasilnya jelek ataupun bagus.

Bila kita amati jagad sastra yang luas ini, banyak kasus kemiripan karya atau bahkan plagiat terjadi. Jangankan siswa yang masih berproses, mereka yang katanya sudah berlabel sastrawan saja bisa terjebak dalam masalah ini, disengaja maupun tidak disengaja. Terima kasih atas perhatian dan kepedulian MNA dalam pembinaan siswa khususnya di Kotabaru. Saya sangat menghargainya. Saya ingin sekali bermitra dengan Anda tapi sayang sekali subyek kita jauh berbeda. Yang saya hadapi adalah siswa sedang berada dalam gejolak jiwa bukan sakit jiwa. Terakhir saya cuplik sebait puisi musikalitas karya Novita Arifah alumni peserta bengsas Kotabaru 2009.

Maafkan aku,
bila ku tak mampu
Berikan apa yang kau minta

Guru SMKN 1 Kotabaru, berdomisili di Kotabaru
Sumber: http://helwatinnajwa.multiply.com/reviews/item/4
Terkait: http://sastra-indonesia.com/2010/02/publikasi-sastra-surat-kabar-tabloid-laman-dan-majalah/

Sastra Ular di Mangkuk Nabi

Bernadette Lilia Nova
Seputar Indonesia, 6 Des 2009

KARYA sastra terlahir karena kreativitas yang tinggi para pengarangnya, dibutuhkan juga inspirasi untuk mampu merangkai kata menjadi sebuah kalimat yang indah dan memiliki makna.

Untuk mendapatkan inspirasi dalam menghasilkan karya sastra berkualitas, penulis kawakan Indonesia, Triyanto Triwikromo menjelajahi empat benua untuk menghasilkan sebuah kumpulan cerpen bertajuk Ular di Mangkuk Nabi. Karya sastra yang dibedah di Galeri Nasional tersebut dihadiri oleh para penulis,pengamat sastra dan juga para pembaca karya sastra berkualitas. Hadir sebagai pembicara dalam bedah buku tersebut adalah Pencetus Anugrah Sastra, Richard Oh, Guru Besar Emeritus (linguistik, analisis wacana, semiotik) Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia,Benny H Hoed dan penulis terkemuka Indonesia,Seno Gumira Ajidarma.

Dalam bedah Ular Di Mangkuk Nabi tersebut terungkap bahwa kumpulan cerpen tersebut dibuat setelah sang penulis melakukan perjalanan di empat benua,yaitu Amerika, Asia, Eropa, dan Australia. Di Amerika penulis yang biasa disapa dengan panggilan Tri tersebut melakukan survei di kota Los Angeles, Las Vegas, dan San Fransisko. Di Australia penulis yang telah menerbitkan enam buku sastra tersebut melakukan penelitian di kota-kota, seperti Sidney, Melborn, dan Darwin.

Di Eropa penulis tersebut melakukan perjalanan di lima negara,yaitu Swiss, Belgia, Prancis, Jerman, dan Belanda. Sedangkan di Asia, Triyanto Triwikromo melakukan survei di Malaysia, Filipina, dan Arab Saudi. Walaupun tidak semua negara yang dikunjungi Tri bisa menghasilkan karya sastra, namun rata-rata sang penulis menghasilkan karya-karya sastra yang unik di kota yang bisa memberinya inspirasi. Saat berada di Prancis, misalnya ia menulis sebuah cerpen dengan judul Iblis Paris. “Iblis Paris adalah sebuah cerpen saya yang terlahir ketika saya tidak menemukan sisi romantisme sebuah kota yang dianggap paling romantis di dunia.

Di sana saya menemukan banyak juga sisi kelam kota tersebut, ”kata Triyanto Triwikromo ditemui usai acara. Iblis Paris sendiri bercerita tentang kisah seorang gadis asal Bangladesh bernama Zita yang memiliki sebuah hotel sederhana di Paris. Kesan negatif tentang Paris sangat terasa dalam cerita pendek tersebut,seperti pada awal tulisannya,Tri menggambarkan terjadinya konflik dengan kalimat,“Ya, jika pada malam yang liar dan panas, kekasihmu tiba-tiba menusukkan moncong pistol ke lambungmu,sebaiknya dengarlah kisah brengsekku ini. Segalanya begitu cepat berubah setelah Khun Sa meninggal.

Aku,boneka kencana Raja Opium Segitiga Emas yang disembunyikan dan kelak kau kenal sebagai Zita, memang tidak mungkin mengikuti upacara kremasi bersama-sama gerilyawan Shan,”tulisnya. Bukan hanya itu saja,kekelaman Prancis juga digambarkan Tri dalam cerpennya dengan kalimat-kalimat, seperti ”Paris adalah neraka. Iblis manis akan membunuhmu jika kau bermimpi tinggal di kota brengsek itu. Ketahuilah, Zita, sejak salah seorang kepercayaanku mengetahui aku mencintaimu, saat itu pula ia berniat membunuhmu. Kau dianggap akan melemahkan perjuangan.

Karena itu,begitu tahu kau akan berimigrasi ke Prancis, saat itu pula ia mengirim pembunuh mu ke Prancis,”tulisnya lagi dalam cerpennya itu. Hal yang sama juga ditemukan Tri ketika berkunjung dan melakukan survei di Kuala Lumpur, sehingga lahirlah kalimat Lumpur Kuala Lumpur. “Di masing-masing kota yang saya singgahi, saya tinggal di hotel-hotel murah, di sana saya menemukan banyak sisi lain dari kehidupan manusia dan banyak sisi negatif.

Semua nama tokoh dalam cerpen saya adalah nama tokoh yang benar-benar ada di kota masing-masing, ”katanya menerangkan. Tercatat dalam Ular Di Mangkuk Nabi, Triyanto menulis 15 cerita pendek yang kemudian mendapat tanggapan beragam dari kalangan pembaca juga pengamat, seperti yang diungkapkan Benny H Hoed.Menurutnya karya Triyanto merupakan karya sastra dengan cerita fantastik, yang tidak saja membuat takjub karena sifatnya yang ekstra natural, namun lebih dari itu cerita tersebut sanggup memberikan keraguan pada pembacanya tentang apakah cerita di dalamnya nyata atau tidak.

“Ceritanya mampu membawa kita ke peristiwa yang mungkin bisa terjadi di tempat yang kita kenal,” kata Benny H Hoed. Berbeda dengan Benny H Hoed,Richard Oh mengatakan bahwa karya Triyanto memiliki karakter-karakter, seperti insan tragedi komik dalam drama Beckett,You Must Go Onjuga I Can’t Go On. Mereka bukanlah subjek-subjek tertanda sebuah pencerahan, tapi bayang-bayang berkelebatan yang berenang bagaikan ikan hiu yang mengitari sebuah putaran,” paparnya. Ditambahkannya cerpen Triyanto adalah sebuah manifestasi kehebatan bahasa dalam mencipta mitos-mitos baru dari serpihan realita ataupun secuil sejarah.

“Triyanto sama sekali tidak membiarkan secercah cahaya menyusup ke dalam lubang lumpurnya. Kita hanya bisa mereka-reka,” katanya. Sementara itu, Seno Gumira Ajidarma lebih menilai karya-karya Triyanto sebagai sebuah cerpen, tetapi lebih cenderung dengan bahasa puisi yang sulit dimengerti. “Butuh kerja keras untuk bisa memahami karya-karya Triyanto. Bagi saya karya Ular Di Mangkuk Nabi lebih cocok disebut sebagai puisi,”kata Seno.

Sumber: http://cabiklunik.blogspot.com/2009/12/sastra-ular-di-mangkuk-nabi.html

A Musthafa A Rodhi Murtadho A Wahyu Kristianto A. Mustofa Bisri A. Qorib Hidayatullah A. Zakky Zulhazmi A.J. Susmana A.S. Laksana Aang Fatihul Islam Abdul Azis Sukarno Abdul Aziz Rasjid Abdul Hadi W. M. Abdul Kadir Ibrahim Abdul Malik Abdul Wachid BS Abdullah al-Mustofa Abdullah Khusairi Abdurrahman Wahid Abidah El Khalieqy Abimanyu Abimardha Kurniawan Abroorza A. Yusra Acep Iwan Saidi Acep Zamzam Noor Achmad Maulani Adek Alwi Adhi Pandoyo Adrian Ramdani Ady Amar Afrizal Malna Agnes Rita Sulistyawati Aguk Irawan Mn Agus R. Sarjono Agus Riadi Agus Subiyakto Agus Sulton Aguslia Hidayah Ahda Imran Ahm Soleh Ahmad Farid Tuasikal Ahmad Farid Yahya Ahmad Fatoni Ahmad Kekal Hamdani Ahmad Luthfi Ahmad Muchlish Amrin Ahmad Nurhasim Ahmad Sahidah Ahmad Syauqi Sumbawi Ahmad Yulden Erwin Ahmad Zaini Ahmadie Thaha Ahmadun Yosi Herfanda Ainur Rasyid AJ Susmana Ajip Rosidi Akhiriyati Sundari Akhmad Muhaimin Azzet Akhmad Sekhu Alan Woods Alex R. Nainggolan Alexander Aur Alexander G.B. Alfian Dippahatang Ali Audah Ali Rif’an Aliela Alimuddin Alit S. Rini Alunk Estohank Ami Herman Amich Alhumami Amien Wangsitalaja Aming Aminoedhin Aminudin TH Siregar Ammilya Rostika Sari An. Ismanto Anaz Andaru Ratnasari Andhi Setyo Wibowo Andhika Prayoga Andong Buku #3 Andrenaline Katarsis Andri Cahyadi Angela Anies Baswedan Anindita S Thayf Anjrah Lelono Broto Anton Kurnia Anton Sudibyo Anton Wahyudi Anwar Holid Anwar Siswadi Aprinus Salam Arie MP Tamba Arif Hidayat Arif Zulkifli Arti Bumi Intaran Asarpin Asep Sambodja Asvi Warman Adam Awalludin GD Mualif Ayu Utami Azyumardi Azra Babe Derwan Bagja Hidayat Balada Bandung Mawardi Bayu Agustari Adha Beni Setia Benni Setiawan Benny Benke Bentara Budaya Yogyakarta Berita Bernadette Lilia Nova Bernando J. Sujibto Berthold Damshäuser Bhakti Hariani Binhad Nurrohmat Bokor Hutasuhut Bonari Nabonenar Brunel University London Budaya Budhi Setyawan Budi Darma Budi Hutasuhut Budi P. Hatees Budi Winarto Buku Kritik Sastra Buldanul Khuri Bustan Basir Maras Camelia Mafaza Capres dan Cawapres 2019 Catatan Cecep Syamsul Hari Cerpen Chairil Anwar Chamim Kohari Choirul Rikzqa D. Dudu A.R D. Dudu AR D. Zawawi Imron Dahono Fitrianto Dahta Gautama Damanhuri Damar Juniarto Damhuri Muhammad Damiri Mahmud Dantje S Moeis Darju Prasetya Darma Putra Darman Moenir Darmanto Jatman Dedy Tri Riyadi Delvi Yandra Denny JA Denny Mizhar Dewi Anggraeni Dian Basuki Dian Hartati Dian Sukarno Dian Yanuardy Diana AV Sasa Dinar Rahayu Djenar Maesa Ayu Djoko Pitono Djoko Saryono Doddi Ahmad Fauji Dody Kristianto Donny Anggoro Donny Syofyan Dorothea Rosa Herliany Dwi Cipta Dwi Fitria Dwi Pranoto Dwi S. Wibowo Dwicipta Edeng Syamsul Ma’arif Edi Warsidi Edy Firmansyah EH Kartanegara Eka Alam Sari Eka Budianta Eka Kurniawan Eko Darmoko Ellyn Novellin Elnisya Mahendra Emha Ainun Nadjib Emil Amir Engkos Kosnadi Esai Esha Tegar Putra Evan Ys F. Budi Hardiman Fadly Rahman Fahmi Fahrudin Nasrulloh Faisal Kamandobat Fani Ayudea Fariz al-Nizar Faruk HT Fatah Anshori Fatah Yasin Noor Fatkhul Anas Fatkhul Aziz Felix K. Nesi Film Fitri Yani Franditya Utomo Fuska Sani Evani Gabriel Garcia Marquez Gandra Gupta Garna Raditya Gde Artawan Geger Riyanto Gendhotwukir George Soedarsono Esthu Gerakan Surah Buku (GSB) Goenawan Mohamad Grathia Pitaloka Gunawan Budi Susanto Gunawan Tri Atmojo H. Supriono Muslich H.B. Jassin Hadi Napster Halim H.D. Hamberan Syahbana Hamidah Abdurrachman Han Gagas Hardi Hamzah Haris del Hakim Haris Priyatna Hasan Aspahani Hasan Gauk Hasan Junus Hasnan Bachtiar Helvy Tiana Rosa Helwatin Najwa Hendra Junaedi Hendra Makmur Hendriyo Widi Ismanto Hepi Andi Bastoni Heri Latief Heri Listianto Herry Firyansyah Heru Untung Leksono Hikmat Darmawan Hilal Ahmad Hilyatul Auliya Holy Adib Hudan Hidayat Hudan Nur Husnun N Djuraid I Nyoman Suaka Ibnu Rizal Ibnu Rusydi Ibnu Wahyudi IGK Tribana Ignas Kleden Ignatius Haryanto Iksan Basoeky Ilenk Rembulan Ilham khoiri Imam Jazuli Imam Nawawi Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Iman Budi Santosa Imelda Imron Arlado Imron Tohari Indiar Manggara Indira Margareta Indra Darmawan Indra Tjahyadi Indra Tranggono Indrian Koto Ingki Rinaldi Insaf Albert Tarigan Intan Hs Isbedy Stiawan ZS Ismail Amin Ismi Wahid Ivan Haris Iwan Gunadi Jacob Sumardjo Jafar Fakhrurozi Jajang R Kawentar Janual Aidi Javed Paul Syatha Jean-Marie Gustave Le Clezio JJ. Kusni Joko Pinurbo Joko Sandur Joko Widodo Joni Ariadinata Jual Buku Paket Hemat Julika Hasanah Julizar Kasiri Jumari HS Junaidi Jusuf AN Kadir Ruslan Kartika Candra Kasnadi Katrin Bandel Kenedi Nurhan Ketut Yuliarsa KH. Ma'ruf Amin Khaerudin Khalil Zuhdy Lawna Kholilul Rohman Ahmad Komunitas Deo Gratias Komunitas Teater Sekolah Kabupaten Gresik (KOTA SEGER) Korrie Layun Rampan Krisandi Dewi Kritik Sastra Kucing Oren Kuswinarto Langgeng Widodo Lathifa Akmaliyah Latief S. Nugraha Leila S. Chudori Lenah Susianty Leon Agusta Lina Kelana Linda Sarmili Liston P. Siregar Liza Wahyuninto M Shoim Anwar M. Arman A.Z. M. Fadjroel Rachman M. Faizi M. Harya Ramdhoni M. Kasim M. Latief M. Wildan Habibi M. Yoesoef M.D. Atmaja Mahdi Idris Mahmud Jauhari Ali Mahwi Air Tawar Malkan Junaidi Maman S. Mahayana Mardi Luhung Marhalim Zaini Maria hartiningsih Maria Serenada Sinurat Mario F. Lawi Maroeli Simbolon S. Sn Marsus Banjarbarat Marwanto Mas Ruscitadewi Masdharmadji Mashuri Masriadi Mawar Kusuma Wulan Max Arifin Melani Budianta Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia Mezra E. Pellondou Micky Hidayat Mihar Harahap Misbahus Surur Moh Samsul Arifin Moh. Syafari Firdaus Mohamad Asrori Mulky Mohammad Afifuddin Mohammad Fadlul Rahman Muh Kholid A.S. Muh. Muhlisin Muhajir Arifin Muhamad Sulhanudin Muhammad Al-Fayyadl Muhammad Amin Muhammad Azka Fahriza Muhammad Rain Muhammad Subhan Muhammad Yasir Muhammad Zuriat Fadil Muhammadun A.S Muhidin M. Dahlan Musa Ismail Musfi Efrizal Mustafa Ismail Nafi’ah Al-Ma’rab Naskah Teater Nezar Patria Nina Setyawati Nirwan Ahmad Arsuka Nirwan Dewanto Noor H. Dee Noval Maliki Nunuy Nurhayati Nur Haryanto Nurani Soyomukti Nurel Javissyarqi Nurhadi BW Nurudin Octavio Paz Oliviaks Orasi Budaya Akhir Tahun 2018 Pablo Neruda Pamusuk Eneste Panda MT Siallagan Pandu Jakasurya PDS H.B. Jassin Philipus Parera Pradewi Tri Chatami Pramoedya Ananta Toer Pramono Pranita Dewi Pringadi AS Prosa Puisi Puisi Menolak Korupsi PuJa Puji Santosa Puput Amiranti N Purnawan Andra PUstaka puJAngga Putri Utami Putu Fajar Arcana Putu Wijaya Qaris Tajudin R Sutandya Yudha Khaidar R. Sugiarti R. Timur Budi Raja R.N. Bayu Aji Rachmad Djoko Pradopo Radhar Panca Dahana Rahmadi Usman Rahmat Sudirman Rahmat Sularso Nh Rahmat Sutandya Yudhanto Raihul Fadjri Rainer Maria Rilke Raja Ali Haji Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Raudal Tanjung Banua Reiny Dwinanda Remy Sylado Resensi Revolusi Riadi Ngasiran Ribut Wijoto Ridha al Qadri Ridwan Munawwar Rikobidik Riri Riris K. Toha-Sarumpaet Risang Anom Pujayanto Rizky Andriati Pohan Robert Frost Robin Al Kautsar Robin Dos Santos Soares Rodli TL Rofiqi Hasan Rohman Budijanto Romi Febriyanto Saputro Rosihan Anwar RR Miranda Rudy Policarpus Rukardi S Yoga S. Jai S.I. Poeradisastra S.W. Teofani Sabam Siagian Sabrank Suparno Saiful Amin Ghofur Sainul Hermawan Sajak Sakinah Annisa Mariz Salamet Wahedi Salman Rusydie Anwar Samsudin Adlawi Sapardi Djoko Damono Sartika Dian Nuraini Sastra Sastra Gerilyawan Sastri Sunarti Satmoko Budi Santoso Saut Situmorang Sejarah Sekolah Literasi Gratis (SLG) SelaSastra SelaSastra ke #24 Selasih Seno Gumira Ajidarma Seno Joko Suyono Sergi Sutanto Shadiqin Sudirman Shiny.ane el’poesya Sidik Nugroho Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Simo Sungelebak Karanggeneng Lamongan Siti Sa’adah Sitok Srengenge Siwi Dwi Saputro Sjifa Amori Sofyan RH. Zaid Soni Farid Maulana Sony Prasetyotomo Sosiawan Leak Sri Wintala Achmad Sri Wulan Rujiati Mulyadi Subhan SD Suci Ayu Latifah Sulaiman Djaya Sulistiyo Suparno Sunaryo Broto Sunaryono Basuki Ks Sungatno Sunlie Thomas Alexander Sunudyantoro Suriali Andi Kustomo Suryadi Suryansyah Suryanto Sastroatmodjo Susi Ivvaty Susianna Susilowati Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Suwardi Endraswara Syaifuddin Gani Syaiful Bahri Syam Sdp Syarif Hidayatullah Tajuddin Noor Ganie Tammalele Tan Malaka Taufik Ikram Jamil Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat Teguh Trianton Tengsoe Tjahjono Th Pudjo Widijanto Thayeb Loh Angen Theresia Purbandini Tia Setiadi Tito Sianipar Tiya Hapitiawati Tjahjono Widarmanto Tjahjono Widijanto Toko Buku Murah PUstaka puJAngga Tosa Poetra Tri Joko Susilo Triyanto Triwikromo Tu-ngang Iskandar Udo Z. Karzi Uly Giznawati Umar Fauzi Umar Kayam Undri Uniawati Universitas Indonesia UU Hamidy Vyan Tashwirul Afkar W Haryanto W.S. Rendra Wahyudin Wannofri Samry Warung Boenga Ketjil Waskiti G Sasongko Wawan Eko Yulianto Wawancara Web Warouw Wijang Wharek Wiko Antoni Wina Bojonegoro Wira Apri Pratiwi Wiratmo Soekito Wishnubroto Widarso Wiwik Hastuti Wiwik Hidayati Wong Wing King WS Rendra Xu Xi (Sussy Komala) Y. Thendra BP Y. Wibowo Yani Arifin Sholikin Yesi Devisa Yohanes Sehandi Yona Primadesi Yosi M. Giri Yusi Avianto Pareanom Yusri Fajar Yusrizal KW Yuval Noah Harari Yuyu AN Krisna Zaki Zubaidi Zalfeni Wimra Zawawi Se Zehan Zareez Zen Hae Zhaenal Fanani Zuarman Ahmad Zulfikar Akbar Zulhasril Nasir