S. Jai
Tabloid Memo, Minggu III Juni 2010
SETIAP hari Jauhar mencari penjual ginjal, setelah dokter memvonis kedua buah ginjalnya tak berguna. Dia telah dibuat mengerti, bahwa itu satu-satunya jalan untuk mengakhiri rutinitas cuci darah di laboratorium Rumah Sakit di Gresik dua kali saban seminggu. Meski ia tahu hal itu juga salah satu jalan kemungkinan untuk mengakhiri hidupnya. Pada saat demikian, dia benar-benar ada di garis batas berjuang memberi arti antara gairah untuk hidup dan gairah untuk mati.
Saya menjadi lebih sedikit mengerti bahtera di rumah majikan saya itu. Hanya karena saya sering diserahi pekerjaan beres-beres rumah Jauhar, mengecat kusen, menambal tembok, memasang kran, mengantar istrinya belanja, menjemput anaknya dari sekolah atau apa saja.
Di rumah itu saya hanyalah orang lain. Dia majikan dan saya pekerja serabutan.
Memang pada selanjutnya, saya mengerti banyak keadaan rumah tangga Jauhar sekeluarga. Semula ini saya nilai kejadian biasa, sebagaimana banyak terjadi bahwa seorang pembantu tentu lebih tahu ketimbang tuan rumahnya. Boleh dikata, pembantulah sebetulnya penguasa dalam sebuah rumah tangga kaya. Sementara majikan hanya anak-anak manja yang bergantung banyak padanya.
Ternyata, pengertian saya ini malah berkembang luar biasa. Saya malah merasa sedikit saja tahu tentang diri saya, selanjutnya tersedot oleh apa yang dimiliki majikan saya—penderitaan Jauhar sekeluarga. Saya memahaminya pada Jauhar ada gairah hidupnya yang sungguh tak pernah padam. Yaitu gairah untuk menuliskan kisah hidupnya dalam sebuah karangan entah fiksi, biografi ataukah sekadar catatan perjalanan.
“Dia tak pernah takut menghadapi hidup atau mati tetapi ia bakal kehabisan nyali bila suatu saat tak punya materi untuk dia karang dalam kertas-kertas kerjanya,” isi pikiran saya ini masih saya simpan untuk saya sendiri.
Lagipula, Jauhar telah sanggup melunasi jalan kehidupannya—kebutuhan hidupnya, kenikmatan dari itu semua ia peroleh dari jerih payah setiap alenia hasil tulisannya. Dia masih muda. Rumah ia punya, istri punya, anak ada, mobil tersedia. Apalagi hanya kulkas, kompor gas, piring, semuanya telah dia punya.
Ia hanya merasa tidak punya dua buah ginjal.
Sama halnya dengan saya, Jauhar terlihat getir melihat begitu marak orang bunuh diri dari kabar koran-koran dan layar televisi. Tidak satupun diantara mereka diduga oleh sebab memiliki cacat fisik, apalagi karena tak berfungsinya bagian dalam tubuhnya. Tidak pernah ada. Hampir pasti, semua terjadi karena kelainan jiwa. Mereka mencari jiwa di plasa-plasa, mal, tiang listrik, tower pencakar langit. Baru kemudian mereka meyakini bakal menemukan diri sesudah meremukan tubuhnya.
Jauhar hanya mencari sebutir saja ginjal sebelum menjemput ajal.
Kegetiran boleh jadi rasanya sama, tetapi apa yang dipikirkan seorang majikan dengan babunya, sudah barang tentu berbeda. Saya berpikir, satu hal lagi yang belakangan dipunyai majikan saya, yaitu penderitaannya. Selain kesusahannya sendiri oleh karena tubuhnya yang tiba-tiba saja beringsut seperti timun kisut, ibundanya, Nyonya Mening, sekarang pun betul-betul nelangsa melihat puteranya sedang berduka.
Kembali saya teringat pada kisah hidup Jauhar. Saya bayangkan bila ia menuliskannya dalam sebuah karangan, tentu jadinya serupa parade para penyandang cacat jiwa oleh karena derita. Toh, hal itu tetap ia lakukan karena ia seorang penulis meskipun bukan berarti ia seroang pemuja penderitaan. Ia tidak mengundang penderitaan itu, melainkan memang musibah datang beruntun berulang seperti gempa menghajar tanah ini. Lebih misterius dari datang tak diundang, pergi tak diantar. Lebih ngeri dari datang tanpa pesan, pergi tak permisi.
Mula mula, Lukman—kakak tertua Jauhar yang masih pengantin baru karena telat menikah—terpelanting jatuh dari ranting pohon mangga. Ketika itu Lukman bermaksud memetik buah mangga muda untuk kekasihnya yang konon sedang hamil muda. Naas, ia terjatuh setelah rantingnya pepes dan tengkuknya menghantam persis moncong sebutir batu bata. Ia pun seketika tak bisa menggerakkan sekujur tubuhnya, meskipun ia lancar bicara.
Semula kami sekeluarga menduga ia mengalami kelumpuhan saja. Oleh karena itu segera Lukman dilarikan ke Rumah Sakit Orthopedi Dr Soeharso di Solo. Setelah menjalani pemeriksaan, pihak rumah sakit angkat tangan dan dirujuk untuk cepat dibawa ke Rumah Sakit Dr Soetomo Surabaya.
Di Surabaya, pria pengantin baru itu langsung dibawa ke bagian bedah syarat. Di sana, Lukman dirawat selama beberapa hari dan yang paling sabar mendampingi di pintu kamar rumah sakit adalah ibunda Mening dan istrinya, Rukmini. Sementara saudaranya yang lain mencari dana dan beberapa saudara jauh diantaranya meminta jampi-jampi dari kiai untuk diminumka demi pemulihan pria naas itu. Lukman saudara tertua dari empat bersaudara Jauhar. Seorang lagi menjadi tentara dan satunya lagi kerja di perusahaan Semen Gresik di Tuban.
Ya, memang pada akhirnya Lukman meninggal dunia dalam hitungan yang sama persis dari pengakuan seorang dokter waktu masih dirawat di Solo. Bahwa paling lama ia akan bertahan hidup selama empat hari. Pengakuan yang terbungkus rapat baru terungkap beberapa saat sesudah kematiannya. Ah, tetapi barangkali ini tidak penting untuk diceritakan. Teka-teki bukan. Rahasia pun juga bukan lagi. Sekarang suara itu sekadar kembang di taman yang layu lupa tersiram.
Ibunda Mening sangat terpukul saat melihat salah seorang putranya mati di dekatnya. Terlebih, ia menghembuskan nafas terakhir tatkala ibunda Mening sejenak pergi ke kamar mandi guna menggosok gigi sehabis sarapan pagi.
Terus terang saya tidak bisa menggambarkan duka Ibunda Mening karena saya juga tak sampai hati mengisahkannya. Sempat saat itu, saya menikmati Ibunda Mening justru terlihat seperti anak kecil merengek berada di samping jenazah puteranya. Selanjutnya, dibutuhkan beberapa orang untuk menjauhkannya dari tubuh jenazah Lukman yang masih panas tubuhnya terasa di jari saya yang sengaja menyentuhnya. Saya hanya bisa menuliskan mahadukanya tatkala mencermati gurat-gurat keriput raut paras Ibunda Mening, mata sembab merahnya, lemah tubuhnya seolah luluh lantak karena kelelahan fisik dan digempur tangis jiwanya.
Pada sosok Ibunda Lukman tampak segalanya meredup seperti lampu senter yang kehabisan tenaga. Terlebih lagi, saya suntuk menyaksikan panorama itu semua saat beberapa saat keluarga mengurus jenazah Lukman di kamar mayat. Birokrasinya berbelit-belit dan entah mengapa sepotong mayat pun pantas untuk dikasihani, rupanya. Apalagi bagi yang hidup. Namun itu semua tidak terjadi.
Ditambah lagi ulah para calo sopir ambulan yang bersimaharajalela, benar-benar menjadi raja tega melempar-lempar keluarga jenazah Lukman dengan seenak udel memasang harga selangit. Sungguh, saya melihat kekejaman dari sorot mata mereka. Saat yang bersama-sama, saya bisa menangkap penderitaan dan kekejaman orang lain. Entah dari yang hidup atau yang mati. Ingatan saya pun terbang ke arah beberapa tahun silam di tempat ini, saat koran-koran memberitakan penjaga kamar mayat rajin menyetubuhi jenazah-jenazah perempuan manis berbetis kilau cahaya birahi.1)
“Wahai, kamar mayat di bawah atapmu saya tersekap riwayat kebiadabanmu!”
Semenjak Jauhar divonis gagal ginjal dan perlu donor ginjal, rasa sesal Ibunda Mening makin berlipat. Ibunda Mening menyayangkan mengapa kerusakan ginjal puteranya tidak terdeteksi sejak lama. Setidaknya semenjak beberapa bulan sebelum Lukman terjatuh dari pohon mangga. Tentu bila takdir Tuhan menghendaki sesuai kemauan pikiran Ibunda Mening, sekarang putranya tak perlu mencari penjual ginjal. Bukankah tinggal mengangkat dua buah ginjal saudaranya sebelum meninggal?
Kenyataannya, Tuhan berkehendak lain dan manusia hanya bisa mengarang cerita.2)
Lagi-lagi pikiran saya tidak jatuh pada rasa sesal Ibunda Mening, melainkan justru pada kekuatannya menghadapi sekian banyak gempuran petaka. Ia rajin merawat putranya, tanpa perlu tunjukkan pada orang lain apakah itu pertanda bakal kehilangan lagi anaknya, ataukah bukan. Yang ia pertontonkan hanya keterkejutannya melihat putranya digerogoti penyakit yang demikian mendadak sontak. Atau lebih tepatnya berjuang menghadapi kekurangpercayaannya atas garis hidup Jauhar yang baru belakangan hari diketahui ada cacat yang tersimpan di tubuhnya.
Suatu petang, sepulang dari peluncuran buku kumpulan cerita pendeknya di Jogjakarta, tanpa sebab yang jelas Jauhar muntah-muntah dan suhu badannya panas sekali. Setelah direkomendasi dokter untuk diperiksa di laboratorium, terdeteksi ada butiran darah pada air seninya meskipun hal itu tak tertangkap dalam pandangan mata biasa.
Setelah sekian kali pemeriksaan berulang, di hari yang berbeda, didapat keterangan kandungan protein dalam darahnya memuncak. Meski demikian, badannya tetap kekar, perawakannya tampak segar. Begitu seterusnya ia pun tetap melakukan aktivitasnya seperti biasa—juga sudah barangtentu menulis cerita dan membuat catatan perjalanannya. Sampai suatu ketika dalam perbincangan dengan Rukmini, istrinya, karena dari diagnosa dokter penyakitnya tak kunjung reda, ia gemar pergi keluar kota mencari pengobatan alternatif: dukun, kiai dan sebagainya.
Setiap informasi yang dia terima, Jauhar dan Rukmini dengan membawa serta putrinya, Aini, cepat membuktikan ke tempat tujuan. Ke pelosok pun mereka kunjungi, ke bukit pun mereka cari. Ke pesisir pun mereka datangi. Tulungagung, Banyuwangi, Surabaya, Solo, Sampang, Sumenep dan kota-kota lainnya. Semua tertuang dalam catatan perjalanannya yang bagi saya lebih mirip pakansi ketimbang berburu keajaiban. Anehnya, keseluruhan dari “orang-orang pintar” itu menyatakan seragam bahwa Jauhar diguna-gunai semenjak lama. “Sudah lebih lima tahun, Mas Jauhar,” sebuah catatannya. “Karena itu agak berat untuk mencari obat. Tapi harus dicoba. Yang enteng-enteng sudah saya bereskan,” dalam sebuah catatannya yang lain. “Saya bantu doa dari jauh, Mas. Insyaallah,” tulis lainnya lagi. Selebihnya Jauhar diberi minuman air mineral yang sudah dimantrai, selain juga kadang-kadang disuruh buat jamu Jawa terbuat dari rempah-rempah tanaman obat. Terakhir kali Jauhar dipersilakan menggelar selamatan dengan ingkung dua ekor ayam jago berbulu putih, serta minum air laut yang mengalir masuk kapal laut atau sampan nelayan. Ia pun pergi ke pantai Tuban.
Semua itu dilakukannya tidak gratis alias keluar uang. Namun Jauhar tak pernah keberatan untuk itu semua. Baru belakangan hari saya tangkap itu semua sebagai apa yang saya sebut “gairah untuk hidup” dan “bukan gairah untuk mati.” Itu berlangsung beberapa bulan bahkan bertahun-tahun. Sampai suatu ketika Jauhar yang belum genap berkepala empat itu, kembali muntah-muntah dan suhu badanya naik dengan cepat. Tidak ada alasan lain kecuali segera dilarikan ke Rumah Sakit. Saat itulah, untuk kali pertama, diketahui dokter bahwa Jauhar mengindikasi penyakit ginjal dan telah dalam stadium lima alias kronis.
“Dua buah ginjalnya sudah tidak berguna. Pilihannya hanya dua cuci darah atau operasi cangkok ginjal,” kata dokter pada Rukmini, istrinya.
“Berapa biayanya, dokter?” Rukmini tanpa berpikir panjang.
Dokter menyebut angka bila operasi cangkok ginjal biayanya mencapai Rp. 500 juta. Sementara jika cuci darah berlangsung dua kali dalam seminggu. Sekali cuci darah menghabiskan dana Rp 800 ribu dan dirujuk ke Rumah Sakit Umum di Gresik.
Saya sudah lupa hingga hari ini, cuci darahnya telah berlangsung berapa lama. Yang saya ingat, semenjak seminggu lalu Jauhar menyatakan pada saya sudah tak bisa konsentrasi untuk menulis cerita karena waktunya telah lebih banyak ia habiskan mencari penjual ginjal di situs-situs internet. Waktu itu ia memanggil saya untuk menuliskan cerita buatnya, demi menumbuhkan semangatnya, menggelorakan gairah hidupnya; mencatat peristiwa demi peristiwa, apa yang dia pikirkan, rasakan dan lakukan. Saya pun diizinkan untuk mengembangkannya sepanjang tidak mengubah muatan kisahnya.
Semula saya ragu karena saya bukan penulis cerita apalagi yang mahir berbahasa. Sebab itu, sungguh tidak bisa saya mengerti permintaan majikan saya itu. Hanya saja saya tidak bisa melakukan hal lain kecuali itu. Saya pikir, di bawah keraguan saya, mana mungkin saya bisa menggantikan gairah hidupnya dengan menggantikannya sebagai pencerita dunia batinnya. Setelah semula saya menipu diri saya sendiri, baru kemudian setelah lancar bercerita, saya mulai sedikit mengerti.
Cerita ini juga saya tulis atas permintaannya, karena Jauhar sudah benar-benar tak sanggup melakukannya. Sampai suatu ketika saya betul-betul menemukan kejujuran saya kembali. Perihal kejujuran saya yang kembali ini tidak saya tulis dalam cerita permintaannya, karena memang bukanlah bagian dari permintaannya. Jadi sejujurnya cerita ini belum selesai dan mungkin tak akan pernah selesai, meski juga bisa berarti telah tamat dengan sendirinya.
Saya kemudian dibuat mengerti, bahkan sampai suatu saat tidak sampai hati saya untuk memahami lebih dalam. Sesuatu tumbuh dalam diri saya. Saya sampai hati untuk bermaksud mendonorkan sebelah ginjal saya kepadanya. Mungkin juga hal ini saya tempuh usai merasakan kembali kegetiran atas orang-orang yang meremukkan tubuhnya di lantai atau aspal di bawah plasa-plasa.
Tapi apa lacur? Sayang, segalanya terlambat baginya. Beberapa jam lalu Jauhar telah dipanggil yang kuasa. Sementara bagi saya, saya kian mengerti mengapa semenjak kini saya memilih hidup baru menjadi pengarang.
Alenia paling buncit ini, saya tulis tanpa sepengetahuan dia dan memang bukan atas permintaan dia.
“Sejujurnya sulit saya menuliskan gairah untuk hidup dan gairah untuk matimu, Juragan.”
Surabaya, 17 Desember 2009
Catatan:
1). Tampaknya peristiwa inilah yang mengilhami Sony Karsono, menulis cerita pendek “Sentimentalisme Calon Mayat” lebih sepuluh tahun lalu dan di muat harian Kompas. Sony Karsono sekarang menempuh program doctor di Universitas Michigan Amerika Serikat.
2). Hasrat tokoh saya yang dipaksa menulis cerita, dan karena itu ia mau belajar karenanya, kurang lebih serupa dengan tokoh Julian Barnes dalam Tiga Cerita Sederhana pada novel Sejarah Dunia Dalam 10 ½ Bab, terj Arif B Prasetyo dan diterbitkan KPG Maret 2009. “Jika kita tidak membahas Tuhan sebagai Protagonis dan preman moral, tapi sebagai pengarang cerita, kita harus meneropongnya lewat plot, motivasi, kejutan dan penokohan,” tulis Barnes.
Wahyaning wahyu tumelung, tulus tan kena tinegor (wirid hidayat jati, R.Ng. Ronggowarsito)
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
A Musthafa
A Rodhi Murtadho
A Wahyu Kristianto
A. Mustofa Bisri
A. Qorib Hidayatullah
A. Zakky Zulhazmi
A.J. Susmana
A.S. Laksana
Aang Fatihul Islam
Abdul Azis Sukarno
Abdul Aziz Rasjid
Abdul Hadi W. M.
Abdul Kadir Ibrahim
Abdul Malik
Abdul Wachid BS
Abdullah al-Mustofa
Abdullah Khusairi
Abdurrahman Wahid
Abidah El Khalieqy
Abimanyu
Abimardha Kurniawan
Abroorza A. Yusra
Acep Iwan Saidi
Acep Zamzam Noor
Achmad Maulani
Adek Alwi
Adhi Pandoyo
Adrian Ramdani
Ady Amar
Afrizal Malna
Agnes Rita Sulistyawati
Aguk Irawan Mn
Agus R. Sarjono
Agus Riadi
Agus Subiyakto
Agus Sulton
Aguslia Hidayah
Ahda Imran
Ahm Soleh
Ahmad Farid Tuasikal
Ahmad Farid Yahya
Ahmad Fatoni
Ahmad Kekal Hamdani
Ahmad Luthfi
Ahmad Muchlish Amrin
Ahmad Nurhasim
Ahmad Sahidah
Ahmad Syauqi Sumbawi
Ahmad Yulden Erwin
Ahmad Zaini
Ahmadie Thaha
Ahmadun Yosi Herfanda
Ainur Rasyid
AJ Susmana
Ajip Rosidi
Akhiriyati Sundari
Akhmad Muhaimin Azzet
Akhmad Sekhu
Alan Woods
Alex R. Nainggolan
Alexander Aur
Alexander G.B.
Alfian Dippahatang
Ali Audah
Ali Rif’an
Aliela
Alimuddin
Alit S. Rini
Alunk Estohank
Ami Herman
Amich Alhumami
Amien Wangsitalaja
Aming Aminoedhin
Aminudin TH Siregar
Ammilya Rostika Sari
An. Ismanto
Anaz
Andaru Ratnasari
Andhi Setyo Wibowo
Andhika Prayoga
Andong Buku #3
Andrenaline Katarsis
Andri Cahyadi
Angela
Anies Baswedan
Anindita S Thayf
Anjrah Lelono Broto
Anton Kurnia
Anton Sudibyo
Anton Wahyudi
Anwar Holid
Anwar Siswadi
Aprinus Salam
Arie MP Tamba
Arif Hidayat
Arif Zulkifli
Arti Bumi Intaran
Asarpin
Asep Sambodja
Asvi Warman Adam
Awalludin GD Mualif
Ayu Utami
Azyumardi Azra
Babe Derwan
Bagja Hidayat
Balada
Bandung Mawardi
Bayu Agustari Adha
Beni Setia
Benni Setiawan
Benny Benke
Bentara Budaya Yogyakarta
Berita
Bernadette Lilia Nova
Bernando J. Sujibto
Berthold Damshäuser
Bhakti Hariani
Binhad Nurrohmat
Bokor Hutasuhut
Bonari Nabonenar
Brunel University London
Budaya
Budhi Setyawan
Budi Darma
Budi Hutasuhut
Budi P. Hatees
Budi Winarto
Buku Kritik Sastra
Buldanul Khuri
Bustan Basir Maras
Camelia Mafaza
Capres dan Cawapres 2019
Catatan
Cecep Syamsul Hari
Cerpen
Chairil Anwar
Chamim Kohari
Choirul Rikzqa
D. Dudu A.R
D. Dudu AR
D. Zawawi Imron
Dahono Fitrianto
Dahta Gautama
Damanhuri
Damar Juniarto
Damhuri Muhammad
Damiri Mahmud
Dantje S Moeis
Darju Prasetya
Darma Putra
Darman Moenir
Darmanto Jatman
Dedy Tri Riyadi
Delvi Yandra
Denny JA
Denny Mizhar
Dewi Anggraeni
Dian Basuki
Dian Hartati
Dian Sukarno
Dian Yanuardy
Diana AV Sasa
Dinar Rahayu
Djenar Maesa Ayu
Djoko Pitono
Djoko Saryono
Doddi Ahmad Fauji
Dody Kristianto
Donny Anggoro
Donny Syofyan
Dorothea Rosa Herliany
Dwi Cipta
Dwi Fitria
Dwi Pranoto
Dwi S. Wibowo
Dwicipta
Edeng Syamsul Ma’arif
Edi Warsidi
Edy Firmansyah
EH Kartanegara
Eka Alam Sari
Eka Budianta
Eka Kurniawan
Eko Darmoko
Ellyn Novellin
Elnisya Mahendra
Emha Ainun Nadjib
Emil Amir
Engkos Kosnadi
Esai
Esha Tegar Putra
Evan Ys
F. Budi Hardiman
Fadly Rahman
Fahmi
Fahrudin Nasrulloh
Faisal Kamandobat
Fani Ayudea
Fariz al-Nizar
Faruk HT
Fatah Anshori
Fatah Yasin Noor
Fatkhul Anas
Fatkhul Aziz
Felix K. Nesi
Film
Fitri Yani
Franditya Utomo
Fuska Sani Evani
Gabriel Garcia Marquez
Gandra Gupta
Garna Raditya
Gde Artawan
Geger Riyanto
Gendhotwukir
George Soedarsono Esthu
Gerakan Surah Buku (GSB)
Goenawan Mohamad
Grathia Pitaloka
Gunawan Budi Susanto
Gunawan Tri Atmojo
H. Supriono Muslich
H.B. Jassin
Hadi Napster
Halim H.D.
Hamberan Syahbana
Hamidah Abdurrachman
Han Gagas
Hardi Hamzah
Haris del Hakim
Haris Priyatna
Hasan Aspahani
Hasan Gauk
Hasan Junus
Hasnan Bachtiar
Helvy Tiana Rosa
Helwatin Najwa
Hendra Junaedi
Hendra Makmur
Hendriyo Widi Ismanto
Hepi Andi Bastoni
Heri Latief
Heri Listianto
Herry Firyansyah
Heru Untung Leksono
Hikmat Darmawan
Hilal Ahmad
Hilyatul Auliya
Holy Adib
Hudan Hidayat
Hudan Nur
Husnun N Djuraid
I Nyoman Suaka
Ibnu Rizal
Ibnu Rusydi
Ibnu Wahyudi
IGK Tribana
Ignas Kleden
Ignatius Haryanto
Iksan Basoeky
Ilenk Rembulan
Ilham khoiri
Imam Jazuli
Imam Nawawi
Imamuddin SA
Iman Budhi Santosa
Iman Budi Santosa
Imelda
Imron Arlado
Imron Tohari
Indiar Manggara
Indira Margareta
Indra Darmawan
Indra Tjahyadi
Indra Tranggono
Indrian Koto
Ingki Rinaldi
Insaf Albert Tarigan
Intan Hs
Isbedy Stiawan ZS
Ismail Amin
Ismi Wahid
Ivan Haris
Iwan Gunadi
Jacob Sumardjo
Jafar Fakhrurozi
Jajang R Kawentar
Janual Aidi
Javed Paul Syatha
Jean-Marie Gustave Le Clezio
JJ. Kusni
Joko Pinurbo
Joko Sandur
Joko Widodo
Joni Ariadinata
Jual Buku Paket Hemat
Julika Hasanah
Julizar Kasiri
Jumari HS
Junaidi
Jusuf AN
Kadir Ruslan
Kartika Candra
Kasnadi
Katrin Bandel
Kenedi Nurhan
Ketut Yuliarsa
KH. Ma'ruf Amin
Khaerudin
Khalil Zuhdy Lawna
Kholilul Rohman Ahmad
Komunitas Deo Gratias
Komunitas Teater Sekolah Kabupaten Gresik (KOTA SEGER)
Korrie Layun Rampan
Krisandi Dewi
Kritik Sastra
Kucing Oren
Kuswinarto
Langgeng Widodo
Lathifa Akmaliyah
Latief S. Nugraha
Leila S. Chudori
Lenah Susianty
Leon Agusta
Lina Kelana
Linda Sarmili
Liston P. Siregar
Liza Wahyuninto
M Shoim Anwar
M. Arman A.Z.
M. Fadjroel Rachman
M. Faizi
M. Harya Ramdhoni
M. Kasim
M. Latief
M. Wildan Habibi
M. Yoesoef
M.D. Atmaja
Mahdi Idris
Mahmud Jauhari Ali
Mahwi Air Tawar
Malkan Junaidi
Maman S. Mahayana
Mardi Luhung
Marhalim Zaini
Maria hartiningsih
Maria Serenada Sinurat
Mario F. Lawi
Maroeli Simbolon S. Sn
Marsus Banjarbarat
Marwanto
Mas Ruscitadewi
Masdharmadji
Mashuri
Masriadi
Mawar Kusuma Wulan
Max Arifin
Melani Budianta
Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia
Mezra E. Pellondou
Micky Hidayat
Mihar Harahap
Misbahus Surur
Moh Samsul Arifin
Moh. Syafari Firdaus
Mohamad Asrori Mulky
Mohammad Afifuddin
Mohammad Fadlul Rahman
Muh Kholid A.S.
Muh. Muhlisin
Muhajir Arifin
Muhamad Sulhanudin
Muhammad Al-Fayyadl
Muhammad Amin
Muhammad Azka Fahriza
Muhammad Rain
Muhammad Subhan
Muhammad Yasir
Muhammad Zuriat Fadil
Muhammadun A.S
Muhidin M. Dahlan
Musa Ismail
Musfi Efrizal
Mustafa Ismail
Nafi’ah Al-Ma’rab
Naskah Teater
Nezar Patria
Nina Setyawati
Nirwan Ahmad Arsuka
Nirwan Dewanto
Noor H. Dee
Noval Maliki
Nunuy Nurhayati
Nur Haryanto
Nurani Soyomukti
Nurel Javissyarqi
Nurhadi BW
Nurudin
Octavio Paz
Oliviaks
Orasi Budaya Akhir Tahun 2018
Pablo Neruda
Pamusuk Eneste
Panda MT Siallagan
Pandu Jakasurya
PDS H.B. Jassin
Philipus Parera
Pradewi Tri Chatami
Pramoedya Ananta Toer
Pramono
Pranita Dewi
Pringadi AS
Prosa
Puisi
Puisi Menolak Korupsi
PuJa
Puji Santosa
Puput Amiranti N
Purnawan Andra
PUstaka puJAngga
Putri Utami
Putu Fajar Arcana
Putu Wijaya
Qaris Tajudin
R Sutandya Yudha Khaidar
R. Sugiarti
R. Timur Budi Raja
R.N. Bayu Aji
Rachmad Djoko Pradopo
Radhar Panca Dahana
Rahmadi Usman
Rahmat Sudirman
Rahmat Sularso Nh
Rahmat Sutandya Yudhanto
Raihul Fadjri
Rainer Maria Rilke
Raja Ali Haji
Rakai Lukman
Rakhmat Giryadi
Raudal Tanjung Banua
Reiny Dwinanda
Remy Sylado
Resensi
Revolusi
Riadi Ngasiran
Ribut Wijoto
Ridha al Qadri
Ridwan Munawwar
Rikobidik
Riri
Riris K. Toha-Sarumpaet
Risang Anom Pujayanto
Rizky Andriati Pohan
Robert Frost
Robin Al Kautsar
Robin Dos Santos Soares
Rodli TL
Rofiqi Hasan
Rohman Budijanto
Romi Febriyanto Saputro
Rosihan Anwar
RR Miranda
Rudy Policarpus
Rukardi
S Yoga
S. Jai
S.I. Poeradisastra
S.W. Teofani
Sabam Siagian
Sabrank Suparno
Saiful Amin Ghofur
Sainul Hermawan
Sajak
Sakinah Annisa Mariz
Salamet Wahedi
Salman Rusydie Anwar
Samsudin Adlawi
Sapardi Djoko Damono
Sartika Dian Nuraini
Sastra
Sastra Gerilyawan
Sastri Sunarti
Satmoko Budi Santoso
Saut Situmorang
Sejarah
Sekolah Literasi Gratis (SLG)
SelaSastra
SelaSastra ke #24
Selasih
Seno Gumira Ajidarma
Seno Joko Suyono
Sergi Sutanto
Shadiqin Sudirman
Shiny.ane el’poesya
Sidik Nugroho
Sigit Susanto
Sihar Ramses Simatupang
Simo Sungelebak Karanggeneng Lamongan
Siti Sa’adah
Sitok Srengenge
Siwi Dwi Saputro
Sjifa Amori
Sofyan RH. Zaid
Soni Farid Maulana
Sony Prasetyotomo
Sosiawan Leak
Sri Wintala Achmad
Sri Wulan Rujiati Mulyadi
Subhan SD
Suci Ayu Latifah
Sulaiman Djaya
Sulistiyo Suparno
Sunaryo Broto
Sunaryono Basuki Ks
Sungatno
Sunlie Thomas Alexander
Sunudyantoro
Suriali Andi Kustomo
Suryadi
Suryansyah
Suryanto Sastroatmodjo
Susi Ivvaty
Susianna
Susilowati
Sutardji Calzoum Bachri
Sutejo
Suwardi Endraswara
Syaifuddin Gani
Syaiful Bahri
Syam Sdp
Syarif Hidayatullah
Tajuddin Noor Ganie
Tammalele
Tan Malaka
Taufik Ikram Jamil
Taufiq Ismail
Taufiq Wr. Hidayat
Teguh Trianton
Tengsoe Tjahjono
Th Pudjo Widijanto
Thayeb Loh Angen
Theresia Purbandini
Tia Setiadi
Tito Sianipar
Tiya Hapitiawati
Tjahjono Widarmanto
Tjahjono Widijanto
Toko Buku Murah PUstaka puJAngga
Tosa Poetra
Tri Joko Susilo
Triyanto Triwikromo
Tu-ngang Iskandar
Udo Z. Karzi
Uly Giznawati
Umar Fauzi
Umar Kayam
Undri
Uniawati
Universitas Indonesia
UU Hamidy
Vyan Tashwirul Afkar
W Haryanto
W.S. Rendra
Wahyudin
Wannofri Samry
Warung Boenga Ketjil
Waskiti G Sasongko
Wawan Eko Yulianto
Wawancara
Web Warouw
Wijang Wharek
Wiko Antoni
Wina Bojonegoro
Wira Apri Pratiwi
Wiratmo Soekito
Wishnubroto Widarso
Wiwik Hastuti
Wiwik Hidayati
Wong Wing King
WS Rendra
Xu Xi (Sussy Komala)
Y. Thendra BP
Y. Wibowo
Yani Arifin Sholikin
Yesi Devisa
Yohanes Sehandi
Yona Primadesi
Yosi M. Giri
Yusi Avianto Pareanom
Yusri Fajar
Yusrizal KW
Yuval Noah Harari
Yuyu AN Krisna
Zaki Zubaidi
Zalfeni Wimra
Zawawi Se
Zehan Zareez
Zen Hae
Zhaenal Fanani
Zuarman Ahmad
Zulfikar Akbar
Zulhasril Nasir
Tidak ada komentar:
Posting Komentar