Rabu, 20 April 2011

KORUPSI, MUSUH BESAR REVOLUSI

Nurel Javissyarqi
http://sastra-indonesia.com/

Ini kata-kata terkepal padat kan menumpas kejahiliaan, memotong lengan busuk, membakar sampah bertumpuk demi damai perjuangan. Musik yang didengungkan bangsa berkeniscayaan memberkah kemenjadian -sentausa.

Di sini tiada impian, itu hanya pemilik bersuka angan kemalasan, lalu uang licik melicinkan hasutan. Selera manipulasi pengetahuan di atas kepicikan. Mereka mengorbitkan kacungnya berpropaganda pembodohan dan sebagian kita riang mengikuti tariannya, padahal selepas itu ribuan siksa mendera.

Plakat kemayu menghisap seluruh daya di televisi, di jalan-jalan menyayati pepohonan dipakunya gambar kaum koruptor. Betapa mudah kita memberi hak suara yang belum jelas pejuangannya, rupa pemanis buatan dipastikan mencipta kepedihan lama.

Tarian itu kampanye menyenangkan sesaat, kemudian kekayaan negeri dikeruknya habis tuntas. Yang terpampang menyediakan kabar seimbang, padahal segenap kasus tiada diselesaikannya becut.

Atas matangnya perhitungan, para jahanam seenaknya mendapati remisi dengan alasan tidak berakal, setelah menghabisi perbendaharaan lewat pangkat jabatan. Sementara maling-maling kelas teri, meringkuk di tahanan pengab tak ber-prikemanusiaan.

Kata-kata tegak ini terhimpun sehitam kesumat atas semua kelas tidak membiak, tambah ambruk ke jurang kebinasaan. Olehnya aku kumpulkan keseluruhan jejiwa kepadanya, aku salurkan melalai jari-jemari mengeras.

Inilah lesatan sehabis menyusuri lorong gemerlap keangkuhan; tiada mata lembut memandang para pengemis, pengamen, anak-anak terlantar di kota-kota terutama Ibukota, yang tersisikan dianggap kotoran tak dimanusiakan.

Tidakkah nyanyian kenyang mereka berasal jumlah gaji tak masuk nalar. Sedang di sana-sini kelaparan melanda, mengguncangkan iman, dan penyakit menderai warga miskin yang tidak dipedulikan pemerintah.

Mereka kencangkan dasi, kaca-kaca mobilnya tertutup rapat melewati pemukiman kumuh. Ini kudu dipercepat pemberangkatannya, membocorkan kerakusan dunia dengan menarik simpati suci, mengoreksian langkah, guna tidak keblusuk kembali.

Kita cukupkan dagelannya keluar masuk bui, tetapi masih dihormati bak pahlawan kesiangan. Kalau kita sedikit saja menahan letih, akan sanggup memurnikan tanah air pertiwi, menjebol waduk-waduk kurang berfungsi.

Penderitaan bertumpuk, kemanjaan sebahan menunggui kaki kesemutan. Melangkahlah, santuni yang benar butuh. Tak guna menyokong keluyuran, menghabisi gaji sekadar ugal-ugalan. Sementara di tempat sidang terlelap atau memandang sebelah mata ketimpangan, njomplang.

Sudah cukup kekumprungan para petinggi, seolah lelangkahnya demi kepentingan bangsa; pengawalan ketat, jalan-jalan disteril mempermudah laluan. Tapi selepas di kantor ongkang-ongkang kaki, terbukti banyak hal mendesak malah diabaikan.

Penggusuran tidak manusiawi, tiada lahan pengganti pemerataan. Kian berlomba mengeruk untung bagi perutnya buncin meledak, atau digerus cacing-cacing busuk seperti fikiran jahatnya.

Menimbun kekayaan tidak abadi, mencipta kebijakan yang meresahkan rakyat, bebahan tambang dikeruk bangsa asing. Atau dijual untuk tampang menterang yang sejatinya keropos, demi muka kejayaan segelintir ialah para pemilik hasrat serakah.

Ini suara-suara dibawah sadar membaca, mawas bercermin tidak mudah tertipu warna bendera. Tak terhanyut laguan iming-iming janji muluk keluarnya gedebus.

Mulut-mulut bungkam membuktikan ketakpercayaan, perdagangkan ilmu untuk nikmat sesaat. Bencana oleh ulah pakolah bejat, serupa begejil menghisap darah anak-anaknya, maka mari menerbangkan ini.

Ini nafas batu, tiada embun selain hati nurani yang setiap pagi memaafkan. Namun bebatu ditimpa siang terik keangkuhan, menggiring perasaan senjakala mematikan.

Tiada niatan memakmurkan bangsa berpengetahuan di atas kekayaan termiliki, tetapi semakin melindasi batu-batu oleh kendaraan berlesatan, tiadanya andap ashor sopan santun sesama.

Dan bebatuan di tangan tertindas menjelma awan, kelak menutupi cahaya kebangsaan. Kan gelap jalanan kesibukan menggila mencari kedudukan benda. Mendung menyebar di ubun-ubun, hujan batu ke mulut tamak, kepala lunak dimanja ketakutan hari depan. Pada hari ditentukan gelap semuanya, tak ada yang melintasi jalan-jalan raya.

Yang takut hujan deras, orang-orang di panggung bersegala kelicikan menyembunyikan kepemilikan. Yang bernasib pekat mengalami kesulitan gulita; betapa terang memandang para begundal terbirit ke selokan hukum-hukum turunan, penjajahan.

Ingatlah gerhana matahari tak datang setiap waktu, manfaatkan menumpas para pesolek menjerumuskan wewatak pembodohan berulang. Tengok buku “Doktrin Revolusi Indonesia” disusun S. Soedarman dan R.S. Jitno, penerbit Narsih Surabaya, Djalan Pasarkembang no 5, Djanuari 1963, pada Lampiran:

Keputusan Dewan Pertimbangan Agung tentang Perintjian Persoalan-persoalan pokok dan Program umum Revolusi Indonesia jang diambil dari Manifesto Politik Republik Indonesia, tanggal 17 Agustus 1959, pada bagian 5 halaman 95, yang menyoal: Tentang Musuh-Musuh Revolusi Indonesia, sebagaimana kupetik di bawah ini dengan ejaan sekarang:

“Mengenai musuh-musuh yang sebenarnya dari Revolusi Indonesia adalah sangat penting, agar jangan sampai musuh dijadikan teman dan teman dijadikan lawan dalam revolusi. Semangat daripada Manifesto Politik ialah semangat melawan imperialisme disemua lapangan. Jadi tidak disangsikan lagi, bahwa musuh Revolusi Indonesia adalah imperialisme.”

Lanjut: “Jadi imperialis mana saja yang mencoba-coba memperdayakan Republik, yang membantu kontra-revolusi atau menjalankan sabotase-sabotese ekonomi adalah musuh-musuh Rakyat Indonesia.”

Dan srigala imperialisme kini membungkus tubuh-tubuhnya berbulu domba menujukkan gigi-gigi runcing cemerlangan di podium politik. Mencuci bersih bentuk korupsi saat kampanye, tatkala menduduki jabatan, sabotase-sabotase dilakukan;

membakar pasar-pasar tradisional, mengusir pedagang kaki lima tidak memberikan tempat layak, menggusur rumah-rumah penduduk serta pekuburan bersejarah. Menumbangkan bangunan peninggalan perjuangan, diganti gedung menjulang tak menyisakan uang sepeser pun bagi rakyatnya terjepit kelaparan.

Keangkuhan kian hari meraksasa. Imperialis tak hanya dari asing, juga bangsa sendiri berwatak sinting. Berhasrat mengeruk untung tak peduli sesamanya, mereka memperdayai republik menjadi kelinci percobaan, di atas konsep perekonomian yang tak bernafas kerakyatan.

Lamongan, Lampung, Jogja, februari 2011

CAHAYA DI UFUK KEJUANGAN

Suryanto Sastroatmodjo
http://sastra-indonesia.com/

1.
Sebelum mengakhiri buku pengembaraan panjangnya di Bali, K’tut Tantri dalam “Revolt in Paradise” (Revolusi di Nusa Damai) menulis sebagai berikut : “Di atas kota, bintang-bintang memancarkan cahayanya yang gemerlapan, dan aku teringat akan sebuah kisah di masa bocah, yang mengatakan : Mereka yang ingin memperoleh ketenangan, haruslah berani meninggalkan kesenangan dan harta dunia, dan pergi berkelana mencari tempat bintang suci. Kalau pencarian itu berakhir, maka bintang suci itu akan muncul dengan sendirinya di atas kepala. Tetapi yang dapat melihatnya hanyalah mereka yang telah banyak merelakan pengorbanan. Aku telah mengunjungi berbagai negeri untuk mencari bintang suci itu, tetapi tak pernah menemukannya. Bintang-bintang di atas kota New York bersinar dengan sejuk dan tenang. Adakah diantaranya terdapat bintang suci itu? Dan apakah dia akan muncul dengan sendirinya di hadapan mataku? Aku menyelidikinya dengan penuh harapan..”

2.
Cahaya berbinar mengikuti ufuk-induknya. Jikalau manusia mengejar seberkas sinar, dan bukan sekedar bayang-bayang di kesemestaan, sepatutnya dia mengejar juga nilai yang diwedarkan oleh sendratari agung semesta nan rampa-rancak itu. Kita misalnya memulai sebuah episode kehidupan dengan lantunan nurani sendiri—karena memang begitulah fitrahnya. Kesejatian pribadi, ibarat tembang yang bergema di angkasa, mengatasi warna-warna yang berpencaran. Dan di kala kita berusaha untuk merekamnya dalam indera kita yang terbaik, kita sudah mulai dengan langkah lugas. Cahaya bintang yang berada di atas diadem yang terbuat dari logam dan batu mulia, mungkin hanya terjadi, lantaran ada diejawantahkan oleh pengorbanan diri kita sendiri. Kehidupan terasa utuh, karena kita mau “basah kuyup” dan “jungkir balik” untuk menyelamatkan oranglain yang terinjak atau tersungkur.

3.
Kehidupan tak bisa ditakik-takik seperti perca atau karet cair. Namun demikian, manakala kita mengambil pelbagai perumpamaan seputar hidup, maka pertama-tama yang nampak adalah sebagai berikut : pertama, adakah manusia mengenal bentuk kesenggangan yang lain artinya daripada santai biasa, yang antara niat untuk menikmati saat-saat kosong itu bukan untuk sebuah hajat badaniah, melainkan sesuatu yang bermakna bakti. Kedua, tatkala seorang manusia menciptakan andalan-andalan dalam upaya mencapai prestasi gemilang, dia justru membentuk impian khusus yang bersifat dedikatif, bukan ambisi-ambisi kosong. Ketiga, kita memiliki “diri kita sendiri”, sebagai keabsahan nan tak tak terganggu oleh sifat-sifat sementara yang naïf. Manakala pembicaraan tentang martabat ini menjadi serangkum kepribadian, maka kitapun bisa mengaitkannya dengan krida yang lebih langgeng, lebih berkualitas.

4.
Kenalkah pada seseorang seperti Mahatma Gandhi dan Sri Ramakhrisna Paramahamsa yang pernah mewarnai alam pikiran India selama setengah abad berselang, dan membuat tiap mata menatap benua tersebut dengan rasa kagum bercampur khidmat? Pada Gandhi, kita melihagt bagaimana wajah politik sebagai kancah-juang dikawinkan dengan manis pada “olah brata” yang kita kenal di sini sebagai lampah kebatinan ini. Kombinasi yang tepat antara kedua unsur itu ternyata membuahkan kelompok-kelompok pendukung yang merasakan, bahwa Gandhi bukan hanya seorang yang memiliki sikap akurat, melainkan juga seorang yang lugas. Artinya, jikalau dia mencintai manusia, maka sebagai konsekuensi logisnya kudu membenci kebatilan-kedurjanaan, yang merupakan musuh kemanusiaan nomor wahid. Sedangkan pada Sri Ramakhrisna, kita temukan alam pertapaan India—seperti halnya dunia Timur pada zaman penuh kegelisahan—di mana tokoh ini memisahkan pemikiran pandangan, bagaimana kita perlu mempersembahkan kehidupan sama sekali pada Yang Maha Pengasih, tanpa alas pijak politik manapun, kecuali rasa agamawi nan terlembut. Cara begini, boleh jadi cocok dengan abad ke-19 yang lebih meminta kepasrahan sebagai totalitas, tanpa laternatif apapun. Sedangkan Gandhi, kreasi politiknya mengantar manusia pada perjuangan kongkrit, dengan mempergunakan senjata-senjata modern yang dimungkinkan, bahkan kalau perlu dengan kompromi pada system penjajahan. Tetapi, wujud juang Gandhi juga sudah kedaluwarsa.bkarena kita yang berada di abad ini, rupanya lebih suka mengorbankan hal-hal prinsipil, apalagi kemudahan dan kemungkinan hidup yang mengacu pada comforbalitydan enjoyment jadi lidah nan menderi-deru.

5.
Perjalanan gelombang tekad para Pandawa sendiri, tatkala memperebutkan Indra prastha dengan pihak Kurawa, bukan hanya lewat potensi pengerahan sesuatu nan putih belaka, kita lihat bagaimana diperlukan juga strategi juang yang meminta ketangguhan, sikap bijak, dan terkadang disertai sedikit agak keras. Dengan langkah seperti ini diinginkan agar masyarakat menjadi sesuatu yang komplit. Masalahnya, apakah kita perlu menggugat (kalau ada, dan perlu digugat : lembaga yang memiliki wibawa, ataukah sebuah guyub biasa?). atau, kudu menembus kebekuan-kebekuan yang dianggpa jadi perinta ng (kalau pikiran orang sudah sampai pada kegersangan yang membuat kita memandang oranglai sebagai lawan)—dan justru karena itu, tendensi kepahlawanan menjadi teramat lengkap, bahkan menguyupkan diri sendiri.

6.
Sarana yang dikehendaki oleh Abad Pemikiran Sekarang, lebih ditekankan pada sesuatu yang nampak, tergeyong-geyong, kendatipun banyak di antaranya adalah justru batu sanding bagi hidup yang tentram. Salah satu faktor penyebab, kenapa manusia mengalami goncangan, keretakan, dan kebimbangan yang berlebih-lebihan, adalah ini : tiadanya lagi rasa kepemimpinan murni. Boleh jadi, ungkapan begini tak enak untuk didengar. Namun demikian, saya pikir, tiap kelompok yang hadir di tengah gumelarnya kebudayaan, niscaya kepingin menam,pilkan sang pemimpin(dengan kadar yang paling positif menurut wawasan kelompok). Sampai-sampai ada yang dicetuskan sekolah bagi calon pemimpin bangsa (yang sebenarnya susah dirumuskan, apakah hal begini sifatnya yang luar biasa!). tatkala kita mendengar bahwa saran-saran yang tertuju kepada pembangunan watak angkatan muda, harus lebih banyak mendengarkan uluran tangan angkatan tua, terasa sedikit ganjalan (karena angkatan muda lantas hanyasebagai epigon yang tanpa inisiatif dan idealism sendiri)—dan dengan cara ini, kita merasa, betapa impian wangi yang musti diimpikan, juga impian wangi seluruh generasi.

7.
Bincang-bincang tentang mencapai harmoni, adalah ibaratnya bincang-bincang tentang keindahan rembulan di langit, sementara para bocah dolan yang dolanan di pelataran itu hanya menciptakan beberapa gambaran ideal tentang langit, makhluk langit, suasana langit, dan bukan tentang bagaimana menurunkan butir-butir bintang itu ke bumi, supaya hangatnya kulit meteor ruang angkasa itu dapat pula dirasakan oleh warga dunia yang banyak ingin tahu ini. Bincang-bincang tentang mencapai kebahagiaan yang selaras dengan alam yang “lebih tua”, agaknya tidak terbatas kepada siapa pemeluknya, siapa pencetusnya, siapa penggugah senandungnya. Masyarakat adalah produk dari sebuah kurun sejarah yang panjang, di mana di dalamnya terkandung berbagai sentra ketegaran peradaban. Masyarakat adalah sebuah hamparan amat kompleks, di mana satu sama lain anggotanya mencari kesetimbangan dalam geraknya (dan karena itu, rujukan yang tepat senantiasa dicari sepanjang masa)—dan dalam tilikan demikian, tidak dipersoalkan benar-salahnya. Adalah wajar, bahwasanya kembang dari hayat ini adalah tokoh yang mengabstrakkan kuntum falsafah melalui medium-medium yang diyakini. Walaupun beberapa di antaranya seperti pletik-pletik lintang terakhir di kumparan galaxy yang semayup pada nilakandi terjauh!

8.
Primanya kekuatan setiap bangsa adalah bagaimana dia ditelentang-telengkupkan menurut sendi-dasarnya sendiri. Mungkin juga, dalam istilah ini : menurut nada dan Pathet yang dimiliki oleh tiap metrum. Setiap budayawan, yang bukan hanya sibuk menuju bukit pertapaan, melainkan juga sibuk membangun kanal, bendungan, jembatan dan bengkel kerja bagi anak rakyat, barangkali lebih tepat dikatakan bukan hanya sibuk menjual asset bumi warisan ini sebagai atraksi bagi mata dan telinga orang luar, tetapi ikut ngopeni, nyengkuyung, mengayomi dan membela mati-matian khasanah kultural yang diemban negrinya ini, agar lebih awet-sejahtera. Kalau itu yang jadi soal, maka kita bisa dengan sadar mengatakan, bahwa ada saatnya sosok Gandhi yang realistis-fanatik bertemu dengan sosok Sri Ramakhrisna yang altrustik-religius dapat mengembalikan teduhnya suasana pagi-baru, walau tanpa rasa teduh yag panjang.

* Tanggungjawab posting atas PuJa [PUstaka puJAngga]

Misteri Abad Pertengahan Mediterania

Nurhadi BW *
Kompas, 3 April 2011
Judul: Foucault’s Pendulum
Pengarang: Umberto Eco
Penerjemah: Nin Bakdi Soemanto
Penerbit: Bentang
Tahun : I, November 2010
Tebal : xi + 691 halaman
ISBN : 978-602-8811-02-6

UMBERTO Eco bukannya tidak memiliki skenario dengan novel ini. Melalui tiga tokoh utama, dia mengisahkan rentang sejarah abad pertengahan dengan sentral Laut Tengah, khususnya terkait dengan kelompok-kelompok yang berperan dalam pergolakan sejarah.

Foucault’s Pendulum (Italia: Il Pendolo di Foucault) terbit pertama kali tahun 1988. Nama Foucault mengingatkan kepada tokoh filsafat kontemporer, Michel Foucault. Padahal, Foucault pada judul novel ini adalah nama penemu pendulum, yaitu Leon Foucault.

Nama Umberto Eco sendiri di Indonesia tidak kalah populer dibandingkan dengan Michel Foucault. Selain ahli bidang semiotik, sejarah abad pertengahan, dan kajian budaya kontemporer, Eco juga seorang novelis. Pria kelahiran Italia tahun 1932 ini telah menulis enam novel. Dua di antaranya telah diterjemahkan dalam bahasa Indonesia, The Name of the Rose dan Boudolino.

Foucault’s Pendulum adalah novel kedua setelah The Name of the Rose (1980). Novel-novel Eco bukanlah novel yang linier menyajikan sebuah narasi seperti novel umumnya. Karya-karyanya berupa intertekstualitas, khususnya tentang sejarah abad pertengahan, sebuah rentang waktu dan wilayah yang tidak mudah dipahami, bahkan oleh orang-orang Eropa sendiri. Misal, untuk memahami novel The Name of the Rose perlu sebuah buku panduan tersendiri. Tampaknya, hal yang sama juga berlaku untuk Foucault’s Pendulum.

Knight Templar

Novel ini sebenarnya memiliki latar cerita pada akhir 1960-an di sekitar Milan, Paris, dan Brasil. Akan tetapi, paparan kisahnya merentang dalam waktu yang cukup panjang, mulai dari abad ke-11 hingga abad ke-20. Fokusnya adalah sepak terjang Knight Templar, ordo ksatria yang muncul pada masa perang salib di Jerusalem. Riwayat Knight Templar bukanlah kisah sederhana. Awalnya, kelompok pengawal para peziarah Eropa yang pergi ke Jerusalem hanyalah sebuah kelompok yang didirikan oleh sembilan orang. Lalu menjadi ordo yang kuat dan kaya, namun berseberangan dengan Vatikan. Akibatnya, diberangus. Setelah itu, muncul sebagai kelompok yang disebut dengan Iluminati atau Freemasonry. Kelompok ini sering dikaitkan dengan kekuatan rahasia yang menguasai dunia dan juga Teori Konspirasi.

Knight Templar tentu saja menjadi pilar utama yang menjadi jalinan kisah novel ini. Di Indonesia, kelompok ini mulai dikenal, antara lain, melalui The Da Vinci Code karya Dan Brown. Novel Brown yang diterbitkan pada tahun 2003 ini membahas tentang sejarah kehidupan Maria Magdalena dan kelompok Priory of Sion, nama lain Knight Templar.

Foucault’s Pendulum bukanlah novel yang menyajikan sebuah romansa tokoh-tokohnya ataupun sekadar novel detektif tentang sebuah pembunuhan dan dalangnya. Novel ini bersifat cerita berbingkai. Novel Eco mirip dengan yang dilakukan Brown pada karya-karyanya, termasuk The Da Vinci Code, meski dilihat dari tahun penerbitannya, novel Eco muncul jauh sebelum Brown. Novel Eco pun kaya dengan berbagai referensi sejarah abad pertengahan dan dipenuhi kutipan berbagai bahasa. Selain itu, juga bersifat simbolik; menggambarkan titik balik arah pergerakan sebuah pendulum, titik balik kekuasaan sejarah dunia.

Novel ini berpusar pada tiga tokoh yang mempelajari keberadaan dan sejarah sepak terjang Knight Templar. Ketiganya adalah Casaubon, Belbo, dan Diotallevi. Casaubon, narator, awalnya mempelajari Knight Templar guna menyelesaikan disertasinya pada akhir 1960-an. Sementara dua temannya, Belbo dan Diotallevi, adalah editor penerbit Garamond yang mendapatkan naskah tentang Knight Templar dari seorang kolonel bernama Ardenti.

Hampir sebagian besar novel berupa pengungkapan sepak terjang Knight Templar. Mulai dari pendiriannya oleh Huges de Payens dan Godfrey de Saint-Omer di Palestina pada 1119 hingga peristiwa pemberangusan dan pelarangan oleh Paus Clement V dan oleh Raja Perancis, Philip IV, pada 1312. Pimpinan Knight Templar kala itu, Jacques de Mollay, ditangkap dan dieksekusi di penjara Bastile. Revolusi Perancis (1879) yang berawal dari penjara Bastile konon sering dikaitkan sebagai bentuk balas dendam kelompok ini kepada Raja Perancis yang telah mengeksekusi De Mollay.

Dengan menuliskan sejumlah peristiwa yang terkait dengan Knight Templar sebagai benang merah dalam bentuk novel, Eco mengangkat tema tersebut menjadi sebuah diskursus. Tidak sedikit kritikus sastra yang meyakini sejumlah informasi yang diangkat Eco ini sebagai sebuah kebenaran sejarah, meski sejarah Knight Templar hingga Masonry sering kali gelap karena sifat kerahasiaan keanggotaan mereka. Fakta historis semacam ini juga dipergunakan oleh Dan Brown dalam trilogi novelnya (Angels and Demons, The Da Vinci Code, dan The Lost Symbol).

Tanpa mengetahui atau mengenali permasalahan yang terkait dengan Knight Templar, rasanya sulit untuk membaca novel ini. Untuk menjadi pembaca novel-novel semacam ini diperlukan pengetahuan yang mendasarinya. Eco memperlakukan calon pembacanya sebagai orang yang bukan awam terhadap informasi abad pertengahan di wilayah Mediterania itu.

*) Dosen FBS UNY, Lulus Program S-3 Sastra UGM, Yogyakarta
Sumber: http://cabiklunik.blogspot.com/2011/04/buku-misteri-abad-pertengahan.html

Kesederhanaan Saut Poltak Tambunan Yang Menyimpan Luka Bahagia

Judul Buku : Sengkarut Meja Makan
Penulis : Saut Poltak Tambunan
Penerbit : Selasar Pena Talenta – Jakarta Timur
Cetakan : I, Maret 2011
Harga : Rp. 44.000, 00
ISBN : 978-602-97300-1-2
Peresensi : Lina Kelana
http://sastra-indonesia.com/

Apa yang kita tangkap dari suatu kesederhanaan bukan hal yang sekedar “cukup” untuk dimaknai dengan sederhana terhadap sesuatu yang lumrah/lazim. Tetapi ternyata lebih dari sekedar batasan biasa dan tak biasa. Dari sinilah kita (bisa) “ter”mahfumi untuk memaknai sebuah kesederhanaan dengan sempurna.

Dalam “cerita” klise kepenulisan_sastra; gaya bahasa, metafora, diksi, dansebagainya mungkin menjadi hal yang patut mendapat “perhatian” yang lebih cermat dan seksama dalam penyampaian sebuah karya. Perkara nanti di”lontar”kan dalam “logat” yang “santun” maupun sebaliknya, “kasar”, itu menjadi hal yang dipertimbangkan selanjutnya. Namun yang menjadi inti permasalahan adalah “sampai tidak”nya pesan-pesan yang hendak dibagi kepada oranglain_pembaca. Bagaimana pembaca mampu masuk ataupun dimasuki atas ruh sebuah karya. Diksi dan pelbaagai “hiasan” bahasa kemudian menjadi luruh manakala yang kita pahami hanya serentetan kata yang membentuk kalimat-kalimat menjadi paragraph-paragraf tanpa makna. Kalau bisa dipermisalkan, hal ini semacam banyak harta, tetapi banyak hutang. (He..he..he)

Lepas dari bagaimana teori menilai atau mengklasifikasikan suatu karya ke dalam satu golongan tertentu, tak perlu kiranya hal tersebut diperdebatkan. Bagaimana pembaca “menuduh” penulis masuk atau menganut/mendukung manisterm tertentu atau tidak, karya akan menentukan jalan hidupnya sendiri. Bahkan, beberapa penulis kemudian_tanpa disadari_ “belajar” lebih arif memaknai hidupnya justru dari karya yang dibuatnya sendiri. Hal ini tentunya membawa pengaruh positif bagi kebaikan, termasuk pada pembacanya.

Jika Kahlil Gibran menyampaikan karyanya dalam bentuk sebuah narasi surat puisi, Imam Budi santosa yang mematahkan “penilaian” masyarakat dengan “gugatan”nya terhadap mitos Jawa, Pringadi Abdi Surya dengan “ketakwarasan”nya, dan Bamby Cahyadi dengan “kelembutan”nya, maka Saut Poltak Tambunan memiliki keunikan dengan “kesederhanaan”nya yang meng”kamera” ironisme kehidupan dengan renyah. Di mana di dalamnya terangkum manis, asam, asin, pahit, dan getirnya “nasib” manusia dalam kisah laku hidup yang beragam. Kejadian-kejadian yang kerap kita abaikan dari “penglihatan” (entah sengaja atau tidak). Dan ini dipoles sedemikian hingga ada kenikmatan tersendiri di dalamnya. SPT berhasil mengunggah kesempurnaan dari kesederhanaan yang dimilikinya.

“ Setiap hari deru mesin traktor menggaruk-garuk keperkasaannya di tanah sekeliling. Puluhan traktor dan ratusa truk pengangkut tanah menyulap seketika dan meratakan tanah berbukit-bukit….” ( hal 38)

“ Menurut Kiman, dokumen-dokumen temuannya itu membuat anak-anaknya makan bagai berpesta. Bu Kiman mengolah kertas sertifikat jadi bubur. Naskah kontrak bisnis dibuat bakso. Nota-nota rahasia dirajang jadi pecel. Menurut Kirman, nota pinjaman luar negri lebih nikmat dari dokumen-dokumen lainnya” (hal 76).

SPT dengan detil dan cekatan membuka luka-luka dengan birahi yang manis. Sesekali dentuman dan ledakan dicetuskan di beberapa bagian kisah. Pembaca seperti diajak untuk “bertengkar” atau “menciptakan pertengkaran” dengan diri sendiri. Sebuah kontradiksi yang berdiri di atas impian, harapan, keinginan, kesadaran, kekecewaan, juga penderitaan. Yang kesemuanya adalah segmen-segmen yang ada dalam luka-luka yang entah bisa sembuh ataukah tidak. Hal yang paling dekat dilakukan untuk memaknai hakekat hidup dan “eksistensi” diri dan ke”diri”an dalam kehidupan.

Maret 2011

Cermin yang Membuat Kita Meringis

Dewi Anggraeni
http://majalah.tempointeraktif.com/
The Politics of Indonesia, second edition
Penulis/penyunting: Damien Kingsbury
Penerbit : Oxford University Press, 2002
Tebal : Paperback, 330 halaman

Betapapun carut-marutnya wajah Indonesia belakangan ini, toh kita berupaya agar tampak menyenangkan. Kita butuh cermin, dan itulah yang kita dapat ketika membaca The Politics of Indonesia, tulisan Damien Kingsbury, seorang akademisi senior dari Universitas Deakin di Melbourne yang telah meneliti situasi politik di Indonesia lebih dari sepuluh tahun.

Memang, sudah ada sejumlah buku tentang Indonesia yang ditulis pakar luar negeri. A History of Modern Indonesia since c. 1200, oleh sejarawan kawakan Merle Ricklefs, misalnya, walau jujur dan penuh data, tidak membuat kita merasa sama sekali ditelanjangi. Mungkin karena Ricklefs mulai penuturan sejarahnya dari era jauh sebelum terbentuknya negara kesatuan Indonesia, sehingga carut-marut di wajah Indonesia tidak begitu menonjol di samping wajah seram para penguasa kolonial.

Sedangkan Kingsbury, setelah memberi sekadar latar belakang dalam pasal pertamanya, segera masuk dalam bahasan terbuka dan gamblang tentang negara Indonesia sejak masa kemerdekaan. Kingsbury tampaknya tidak gentar memasuki pojok-pojok peka dalam perjalanan eksplorasinya, dan dia pun berani memberikan analisis yang merupakan pendapatnya sendiri, tentunya setelah menyimak dan menilai berbagai pendapat pakar lain.

Kingsbury tidak luput dari gejala yang tampak pada tulisan dan telaah banyak peneliti politik dan budaya Indonesia, yaitu menempatkan Jawa sebagai pusat segala perilaku politik Indonesia. Bahkan Kingsbury menggambarkannya sebagai pusaran, menggunakan imaji Hindu-Buddha mandala dengan Jawa sebagai pusatnya. Ini tidak berarti penulis serampangan dalam analisisnya, tapi mungkin karena memang konsep “pusat kekuasaan” itu sendiri masih menjadi bahan perdebatan bagi orang Indonesia sendiri.

Walau resminya tidak ada oposisi dalam pemerintahan Indonesia, buku ini membeberkan oposisi politik, mulai dari rasa tidak puas kepada partai yang berkuasa selama 32 tahun, Golkar, yang tertuang dalam berbagai kelompok, oposisi dari berbagai golongan Islam, sampai berbagai upaya perlawanan implisit dari badan-badan non-pemerintah. Semua ini ditelusuri dengan rinci.

Dalam penyajian lahan hukum dan lahan ekonomi, Kingsbury tidak tanggung-tanggung membuka borok para penguasa dan para kroninya, dan dia tidak berhenti pada masa awal reformasi. Bahkan dia mempertanyakan apa sebenarnya yang sudah dicapai reformasi. Pertanyaan dan observasi ini sering beredar di antara orang Indonesia sendiri. Tapi, begitu datang dari orang luar, pertanyaan ini sering membuat kita meringis.

Dan yang tidak kurang membuat perih ialah bagian yang membeberkan luasnya dan dalamnya akar korupsi di negara ini, padahal kita mengetahui data-data yang dipasang di sini didapat dari congkelan-congkelan yang seharusnya kita lakukan sendiri. Tapi, seperti yang juga dipaparkan dalam buku ini, kalaupun congkelan sudah dikerjakan sendiri, otot hukum yang sontoloyo membuat upaya mencongkel itu mubazir.

Yang paling enak dibaca adalah bagian akhirnya saat Kingsbury menuturkan permainan kekuasaan dalam tubuh angkatan bersenjata, yang kini bernama TNI, terutama dalam Angkatan Darat. Mungkin karena, pada saat kita sampai pada bagian ini, badan dan muka kita sudah penuh memar dan coreng-moreng sehingga tamparan-tamparan yang datang tidak lagi terasa begitu hebat.

Tidak seorang jenderal pun yang tampil bersih dari cipratan lumpur. Yang relatif masih bersih mungkin alm. Agus Wirahadikusumah, yang dalam penilaian Kingsbury berani melawan arus. Ulasannya tentang Abdurrahman Wahid pun tidak memberi ampun. Dia mengakui aspek-aspek positif mantan presiden ini dan kontribusinya pada pengembangan gerakan liberal-demokratis di Indonesia. Namun, dia juga menyayangkan kecenderungan eratik tokoh muslim yang tidak konvensional ini.

Malang bagi Kingsbury, walau dia selalu berusaha menjaga jarak dalam bahasannya, dia toh sempat tergelincir. Dia menanyakan sendiri kepada Gus Dur, makna kata “Gus” dalam panggilannya. Kingsbury, yang mengaku dia percaya waktu mendapat jawaban bahwa “Gus” adalah singkatan dari “Gusti”, rupanya tidak sadar bahwa dia sedang “dikerjain”.

The Politics of Indonesia mengandung informasi yang sangat penting bagi orang luar yang ingin belajar tentang Indonesia ataupun bagi orang Indonesia sendiri yang berani berkaca dan mengakui bahwa apa yang dilihat adalah yang bisa dilihat orang lain. Sebab, wajah itu, walau ada segi manisnya, juga perlu pertolongan bedah plastik.

21 Oktober 2002

Mengungkap Kajian Budaya Multidisipliner

Judul Buku : Metodologi Penelitian Kajian Budaya dan Ilmu Sosial Humaniora Pada Umumnya
Penulis : Prof.Dr. Nyoman Kutha Ratna, SU.
Penerbit : Pustaka Pelajar
Cetakan : Oktober 2010
Tebal : xv+539 halaman
Peresensi : Iksan Basoeky*)
http://sastra-indonesia.com/

Sebagai khazanah keilmuan, kajian budaya merupakan sebuah studi yang bersifat multisipliner serta telah memiliki kedudukan yang sah, baik secara formal mupun informal, baik secara teoritis, mupun praktis.

Kedudukan secara formal tercatata sebagai salah satu bidang studi di Departemen Pendidikan Tinggi (DPT) sekaligus memperoleh pengakuan dari masyarakat secara umum. Sedangkan secara teoritis kajian budaya telah mampu mengungkap berbagai aspek kebudayaan, khususnya dalam karya tulis dalam bentuk karangan (tesis) dan disertasi yang telah dirasakan manfaatnya oleh sekian banyak orang.

Walaupun demikin, terkadang masih ada permasalahan yang muncul terutama bagi seorang peneliti yang kesulitan dalam nenentukan batas-batas wilayah kajian budaya secara khas dan komprehensif. Hal itu disebabkan karena ada kekaburan dalam menentukan batas-batas antara dirinya dengan subyek-subyek yang lain.

Maka dari itu, kajian budaya sangat membutuhkan keseriusan yang mendalam guna dapat menguraikan kajian budaya yang multidisiplinir, apalagi dalam menentukan wilayah pokok penyelidikan intelektual dan argumen-argumen utamanya.

Persoalan inilah yang kemudian dicoba dipecahkan oleh Prof.Dr. Nyoman Kutha Ratna, SU, lewat bukunya yang berjudul “Metodologi Penelitian Kajian Budaya dan Ilmu Sosial Humaniora Pada Umumnya “. Ia ingin menguraikan secara komprehensif tentang motodologi kajian budaya dan ilmu sosial yang diperoleh dari berbagai sumber.

Bagi penulis menguraikan kajian budaya secara tepat berarti harus melakukan rekontruksi ulang terhadap kajian budaya. Melakukan rekonstruksi dalam hal ini dimaknai mereproduksi dan mengkaji hal-hal yang berkaitan dengan kajian budaya, baik berupa teks-teks klasik tentang kajian budaya, peristiwa-peristiwa hidup, kebijakan budaya, maupun dengan metode-metode penelitian kajian budaya.

Dalam menguraikan kajian budaya, penulis menggunakan beberapa metode penelitian kajian budaya sesuai dengan versinya. Yaitu menentukan dan mengkaji dasar-dasar kajian budaya, perubahan kontek kajian budaya dan situs-situs kajian budaya. Kajian Budaya menurutnya menganalisis aspek permukaan tetapi tetap dengan cara mendalam sesuai dengan hakikat ilmu pengetahuan (hal.4o6).

Sedangkan dalam ranah praktiknya penelitian kajian budaya menggunakan beberapa metodologi tekstual, dan resepsi yang eklektis dengan berkutat pada ide-ide kunci seperti praktik pemaknaan, wacana, kekuasaan, artikulasi, teks dan sebagainya. Dengan mengadopsi berbagai teori baik yang layak disebut sebagai kajian budaya maupun yang berpengaruh terhadap kajian budaya seperti strukturalisme, kulturalisme dan psikoanalisis.

Namun, sederhananya kajian budaya yang demikian dapat menganalisis objek apa saja yang menjadi orientasinya. Sebab kebudayaan adalah seluruh aktivitas manusia. Sesuai dengan ciri-cirinya maka yang dinalisis adalah masalah yang terpinggirkan dan berada pada struktur permukaan. Kuncinya adalah manifestasi, representasi, artikulasi, konstruksi, yang secara keseluruhan diakhiri dengan signifikan (hal. 407).

Selain dari pada itu, identitas juga menjadi konsep kunci dalam kajian budaya, dengan identitas kajian budaya berusaha mengeksplorasi diri kita kini, bagaimana diproduksi sebagai subjek, dengan melakukan panilaian baik bersifat fisik maupun yang lain seperti melalui ras, usia mapun warna kulit.

Dan masih banyak konsep-konsep teoritis lainnya seperti permainan bahasa, politik, posisionalitas, formasi sosial dan sebagainya yang semua itu digunakan dalam kajian budaya untuk menjelajahi dan mengintervensi dunia sosial humaniora.

Di samping itu, Kajian budaya juga mengambil pelajaran berharga dari keberhasilan kapitalisme, transformasi, dan ekspansinya yang diraih atas kemenangannya dalam pertarungan kesadaran dalam ranah kebudayaan. Sementara strukturalisme dan kulturalisme dipakai dalam kajian budaya untuk meneropong pertanyaan-pertanyaan mengenai budaya, ideologi, hegemoni, termasuk yang berhubungan dengan k0ndisi masyarakat.

Meski demikian, hal dominan dari kajian budaya tidak ditinggalkan oleh penulis, misalnya melibatkan analisis wacana sebab yang dianalisis adalah wacana itu sendiri, demikian juga analisi bentuk, fungsi, dan makna, analisis intrinsik, dan ekstrinsik, analis emek dan etik dan sebagainya.

Secara eksplisit dapat kita ketahui bahwa penulis buku ini telah berusaha dengan keras memaparkan konsep-konsep kunci dan metode penelitian dalam kajian budaya secara tuntas dan tepat sesuai dengan sifatnya yang multidisipliner.

Setidaknya dengan kehadiran buku ini, pembaca akan diperkenalkan dengan berbagai pengetahuan, metode penelitian, bahkan semuanya yang berkaitan dengan kajian budaya, termasuk ilmu sosial humaniora.

Buku ini paling tidak bisa bermanfaat bagi para guru dan dosen dalam bidang ilmu sosial humaniora, termasuk masyarakat pada umumnya yang berminat terhadap masalah-masalah kebudayaan.

*) Pemerhati pendidikan dan sosial-budaya tinggal di Yogyakarta.

BUKAN SEKADAR FILM PERANG

Ibnu Rusydi
http://www.korantempo.com/

Meski berangkat dari kisah nonfiksi, jalinan cerita Merah Putih difiksikan.

Sudah lama kita tak melihat film nasional bertema perang ditayangkan di bioskop domestik. Tapi, sebentar lagi, mulai 13 Agustus, layar lebar bakal dihias kisah pejuang-pejuang Indonesia dalam merebut kemerdekaan. Merah Putih judul film itu.

Film ini berfokus pada lima kadet yang mengikuti latihan kemiliteran di Jawa Tengah. Latar belakang kelimanya beragam suku dan agama. Suatu saat, tentara Belanda menyerang pusat latihan itu. Semua dibunuh, kecuali kelimanya yang berhasil meloloskan diri. Mereka lalu bergabung dengan gerilyawan yang dipimpin Jenderal Soedirman.

Skenario film ini berangkat dari cerita Margono Djojohadikusumo, ketua Dewan Pertimbangan Agung pertama republik ini. Dia pernah melanjutkan perjuangan Partai Nasionalis Indonesia, saat tokoh-tokoh partai itu ditangkap dan dibuang. Margono juga merupakan kakek pengusaha Hasjim Djojohadikusumo, produser eksekutif Merah Putih.

Cerita itu lalu diolah oleh Connor Allyn, warga Amerika Serikat yang baru pertama kali ini mengolah skenario. Dia adalah putra Rob Allyn, yang juga tercatat sebagai pembuat skenario Merah Putih. Rob Allyn adalah konsultan politik asal Texas, pernah menjadi penasihat presiden George W. Bush. Sebagai penulis, sejumlah bukunya sudah diterbitkan.

Meski berangkat dari kisah nonfiksi, sutradara Yadi Sugandi memutuskan memfiksikan jalinan cerita. “Kalau tidak difiksikan, saya harus bersandar pada sejarah. Kalau begitu, saya angkat tangan karena harus ada riset yang sangat teliti. Dengan fiksi, saya bisa melanggar beberapa hal. Saya lebih bebas,” kata Yadi kemarin.

Contoh “pelanggaran legal” yang dilakukan dalam film ini misalnya soal ledakan. “Itu memang kita eksploitasi. Pada 1947, saya belum lahir. Jadi saya tak tahu ledakan zaman dulu itu seperti apa,” kata Yadi mencontohkan. Hal-hal lain juga difiksikan seperti moda transportasi, segala macam aksesori, mode pakaian, tanda kepangkatan, juga gaya memotong kumis dan cambang yang berlaku pada tempo yang dikisahkan dalam film.

Begitu pula konstruksi latar belakang sosial masyarakat. Tim film ini membuat sendiri latarnya, seperti properti, kondisi dusun, dan tingkat kemiskinan masyarakat saat itu. “Tapi semua sebisa mungkin didasari data otentik,” kata Yadi.

Yadi memang baru pertama kali ini menyutradarai film. Dia lebih dikenal sebagai penata gambar yang andal. Tadinya film ini akan disutradarai orang asing. Namun, pihak produser menunjuk Yadi, yang dinilai mengikuti sejak awal proses persiapan pembuatan film. Tadinya ia sempat ingin menolak. Namun, setelah mengetahui skenario yang dinilai sangat nasionalis, sinematografer itu menyanggupi permintaan menjadi sutradara. “Kalau hanya drama, saya tolak,” kata Yadi.

Tokoh-tokoh sejarah, seperti Soedirman, juga digambarkan selintas. “Takut salah juga. Kami mengeksploitasi pemain kami sendiri,” ujarnya. Dalam perjalanan para tokoh, yang bergerilya dari Jawa Tengah ke Jawa Barat, mereka diceritakan sempat bersinggungan dengan tentara Darul Islam. Terjadi kontak senjata. Tapi, kedua pihak ternyata punya tujuan sama: membela Republik Indonesia. Sikap itu diambil sebagai pengingat, bahwa kita yang berkonflik pun punya tujuan mulia yang sama.

Film ini didukung Lukman Sardi (Amir), Donny Alamsyah (Tomas), Teuku Rifnu Wikana (Dayan), Darius Sinathrya (Marius), Zumi Zola (Soerono), Astri Nurdin (Melati, istri Amir) dan pendatang baru Rahayu Saraswati (Senja). Mereka melakoni skenario yang menonjolkan persahabatan dan percintaan dalam masa revolusi fisik. Tapi aspek yang paling mengemuka adalah rasa nasionalisme.

Yang menarik, senjata-senjata yang digunakan dalam film ini adalah asli. Tak ada imitasi. Sebagian properti itu dipinjamkan TNI–meski banyak yang tak lagi berfungsi. Untung ada ahli senjata yang bisa menghidupkan kembali semua peninggalan lawas itu. “Kami tak bisa pakai senjata bohongan,” kata Yadi. Itu untuk mengejar nuansa keaslian. “Seperti suara selongsong jatuh dari senjata, ada dentingnya. Senjata palsu kan tak mengeluarkan selongsong.”

Merah Putih adalah bagian pertama dari Trilogi Kemerdekaan. Sekuel dan bagian terakhirnya akan menyusul. Tiga film itu, kata Yadi, sudah selesai diambil gambarnya dalam tiga bulan yang padat. Untuk sekuel dan lanjutannya tengah dalam proses pascaproduksi. “Sekitar 20 persen lagi selesai,” ujarnya.

Ketiga film itu menghabiskan biaya Rp 60 miliar termasuk promosi. Menurut Yadi, itu adalah biaya yang tak berlebihan dan tim tak boros dalam penggunaannya. Dana itu membiayai pemakaian tenaga ahli kelas dunia, pembuatan replika kendaraan, hingga pembelian peluru beneran. IBNU RUSYDI

Disokong Ahli Kelas Dunia

Kita tentu ingat film The Dark Knight. Tata rias dan visual efeknya dahsyat. Atau berbagai senjata di film The Matrix, saat Morpheus dan Neo bertemu denganAgen Smith dan kawan-kawan. Nah, di film Merah Putih, sejumlah tenaga ahli yang pernah terlibat film-film Hollywood ikut pula bekerja sama.

Sebut saja Robert Trenton alias Rob Trenton. Dialah yang dulu bertanggung jawab terhadap tata rias The Joker–diperankan mendiang Heath Ledger. Keahlian khususnya adalah make-up prostetik, yaitu bahan pengganti artifisial anggota tubuh. Keahliannya itu pernah juga dipakai di film Star Wars Episode III: Revenge of the Sith.

Koordinator efek khusus untuk Merah Putih adalah Adam Howarth, pria Inggris yang sudah wira-wiri sebagai desainer dan penasihat efek khusus. Dialah yang memoles film Saving Private Ryan dan Black Hawk Down, juga dua film Harry Potter (2001 dan 2002). Keahliannya adalah membuat model yang simulasi gerakannya diatur di komputer, menyerupai gerakan binatang atau manusia.

Ahli persenjataan di film ini adalah John Bowring, yang juga dipakai di film The Matrix, film Australia Crocodile Dundee II, The Thin Red Line, Australia, juga X-Men Origins: Wolverine. Salah satu perannya di Merah Putih adalah memperbaiki berbagai persenjataan pinjaman TNI yang sudah tak berfungsi.

Dia bahkan mengimpor suku-suku cadang senjata lawas itu. “Ada satu jenis senjata yang dulu biasa dipakai di jip, yang kini pelurunya tak lagi diproduksi. Oleh Bowring, kalibernya dikecilkan sehingga bisa memakai peluru lain,” kata Yadi Sugandi.

Selain itu, masih ada Rocky McDonald, koordinator pemeran pengganti (stunts) pada adegan-adegan berbahaya. Dia pernah mengkoordinasi adegan-adegan berbahaya pada film Mission Impossible II, juga di film kebanggaan Negeri Kanguru, Australia. Sejak 1980-an, dia memang kerap menjadi stunt man di berbagai tayangan televisi hingga layar lebar.

Masih ada Mark Knight sebagai asisten sutradara. Posisi sama pernah ia lakoni pada Beautiful (2009) dan December Boys (2007).

Sederet nama-nama kelas dunia itu memang ikut mendongkrak biaya produksi. Tapi, kata Yadi, semuanya profesional. “Selama tiga bulan pengambilan gambar, mereka merekrut staf-staf lokal. Semua diajari banyak hal. Ada proses alih teknologi selama pembuatan Merah Putih,” ujarnya.

Dibalik Kesederhanaan Surti

Benny Benke
http://suaramerdeka.com/

Setelah bermain sebagai Hamengkubuwono VII dalam film Sang Pencerah arahan Hanung Bramantyo, Sitok Srengenge kembali ke dunia asalnya dengan menyutradari lakon teater berjudul Surti dan Tiga Sawunggaling. “Surti…,” sebagaimana dikatakan Sitok di sesela latihannya di Jakarta kemarin, berangkat dari naskah yang ditulis prosais dan budayawan Goenawan Mohammad (GM) dari naskah berjudul sama yang ditulisnya pada 2008.

Naskah Surti dan Tiga Sawunggaling bernarasi tentang tokoh Surti, seorang janda pejuang, yang mendiang suaminya gugur sebagai komandan gerilya ketika bertempur melawan tentara pendudukan Belanda. Semasa agresi militer Belanda I pada tahun 1947 dengan latar pesisir kota Batang, ketika Belanda berhasil melakukan pendudukan di Karasidenan Pekalongan.

Untuk mengisi kekosongan hari dan hatinya sepeninggal gugurnya suami tercinta, Surti memadatkan hari dengan kegiatan membatik. Dan motif batik Surti tidak lain dan tidak bukan bermotif burung Sawunggaling. Burung Sawunggaling itu, sebagaimana ditulis GM, berasal dari benua yang terbelah, yang dari sana mengalir lahar panas, yang akhirnya akan mendingin dengan sendirinya. Dari lahar yang akhirnya mendingin itulah, menjelma burung Sawunggaling yang akhirnya malihrupa menjadi sebuah cermin.

“Inti cerita Surti dan Tiga Sawunggaling, tak ubahnya sebuah cermin. Apabila kita memandangnya, maka wajah dan perkataan kita akan dipantulkan kembali olehnya,” kata Sitok. Melalui burung Sawunggaling itulah, Surti mengenang suaminya yang gugur sebagai komandan gerilya. Dengan berbagai kenangan lain yang menyertainya, seperti munculnya perlawanan politik, hubungan antargerilyawan serta kisah kecemburuan.

Cerita Surti dan Tiga Sawunggaling berangkat dari sejarah resmi atau kejadian aktual, teristimewa semasa pendudukan Belanda semasa agresi militer I di wilayah Karesidenan Pekalongan, pada tahun 1947 di pesisir kota Batang.

Surealis

Yang menarik dari lakon ini, bagi Sitok sebagai sutradara, karena Surti secara cerita sangat sederhana. “Tapi dibalik kesederhanaan tokoh Surti banyak hal yang tidak biasa,” katanya. Seperti plot yang tidak linear, alias maju mundur. Serta tokoh yang kongkrit atau nyata hanya tokoh Surti. Tokoh lainnya imajiner, termasuk kelindan peristiwa-peristiwa yang membangun cerita di dalamnya.

Sehingga naskah surealis itu, dianggap menantang Sitok yang lama bergelut di dunia teater dari masa ‘ngangsu ilmu’ bersama mendiang dramawan WS. Rendra dan Bengkel Teaternya. Yang paling menantang dalam naskah ini, imbuh Sitok, menejermahkan hal-hal yang subtansial dari peristiwa-peristiwa yang imajinatif. “Tapi sebisa mungkin diakomodatifkan dalam sebuah adegan”.

Sedangkan permasalahan utamanya adalah sebisa mungkin menghasilkan elemen-elemen panggung atau artistisk agar tetap dapat mewakilkan wilayah imajinatif, sebagaimana versi asli naskahnya. Untuk mewujudkan proyek terbarunya itu, aktris, dan pemain teater Inne Febrianti dipercaya melakonkan tokoh Surti.

Dari proses latihan yang digulirkan sejak dua bulan lalu, mulai proses reading naskah, hingga pendalaman karakter yang dipusatkan di rumah Inne di Jl, Sadar Raya no 77, Jagarkasa, Jaksel, Sitok sudah mendapatkan gambaran lakonnya akan berbentuk seperti apa.

Oleh karena itu, karena dia menilai naskah GM itu bagus sebagai teks, namun tidak pada plot, maka pensiasatannya harus diciptakan dinamika panggung seefisien mungkin. Untuk, lakon ini didukung orang-orang terdepan dalam bidangnya, diluar nama Inne Febrianti. Seperti nama Hartati (koreografer tari), Clink Sugiarto (tata cahaya), Jevar Lumban Gaol, dan Mogan Pasaribu (musis director), Avinati Arman (set, dan protperti), Seno Joko Suyono (dramaturgi), dan Sitok sendiri sebagai sutradara dan artisitik.

Kain Pile

Sitok melanjutkan, bidang tata cahaya akan menjadi sangat penting, karena seluruh panggng, termasuk langit-langit, kostum dan benda yang ada di dalam panggung semua berwarna putih, “Kemudian akan diwarnai dengan efek pencahayaan, sebagai betuk penggambaran ketakterbatasn ruang.

Konsep ini, klaim Sitok, adalah konsep artistik yang belum pernah ada di Indonesia. Plus keberadaan kaca dibelakang panggung dengan ukuran 6X12 meter. Sedangkan sisi panggung kanan kiri, atas bawah diblok kain putih. Dan untuk menggambarkan keadaan relaisme dibentangkan kain Pile, atau klambu transparan di depan panggung.

Sebagai sebuah lakon teater berbentuk monolog, Surti dan Tiga Sawunggaling menurut rencana akan dipentaskan di pada 12-13 November di Teater Salihara. Setelah itu dikelilingkan di empat kota: Lampung, Jogja, Semarang, dan Bandung. Dan tidak menutup kemungkinan tahun depan akan dibawa ke Adelaide, Australia dan Amsterdam, Belanda.

Menurut GM, sejatinya Surti dia buat untuk diberikan kepada kelompok teater Garasi Jogjakarta. Tapi karena tidak menyanggupi, karena dinilai terlalu surealisme, maka diambil alih oleh Sitok. GM mengaku cukup senang dengan konsep artistis yang digagas Sitok, yang menurut dia sama sekali baru. Apalagi para pendukung Surti yang terdiri dari 10 hingga 12 orang itu, tidak mendapatkan bayaran atas jerih kreativitasnya. Termasuk Inne Febrianti.

Surti yang berdurasi maksimum 90 menit juga sebagai penanda kembalinya Sitok ke dunia teater. Tercatat, sebelumnya pada tahun 87 dia menyutradarai lakon Perampok karya WS. Rendra yang dipertunjukkan di Teater Besar IKIP Rawamangun. Setahun kemudian, lakon yang sama dipertontonkan di Gedung Balai Masyarakat Depok. Setelah itu, dia membesut lakon Pengakuan Pariyem, karya Linus Suryadi dalam rangka peringatan 100 hari kematian Linus di teater Utan Kayu. Terakhir lakon Soliloque Karna, yang diadaptasi dari Catatan Pinggir (Caping) GM dimainkan dan disutradarainya sendiri di Pakubuwono Residen pada 2005.

Imajinasi yang Terus Bertanya

Asvi Warman Adam*
Kompas, 22 Des 2007

Dalam pengantar buku Mochtar Lubis, Maut dan Cinta, disebutkan “sastra memang bukan tulisan sejarah dan juga tidak dapat dijadikan sumber penulisan sejarah”.

Benar bahwa sastra bukan tulisan sejarah. Namun, kurang tepat bila dikatakan sastra tidak dapat dijadikan sumber sejarah.

NOVEL Maut dan Cinta karya Mochtar Lubis itu sendiri bisa jadi rujukan untuk memahami gejolak revolusi pascakemerdekaan. Karya sastra itu secara hidup menggambarkan aksi beberapa kelompok pejuang menembus blokade Belanda dalam rangka menukar komoditas di Sumatera dengan senjata dari Semenanjung Melayu dan Thailand untuk digunakan pasukan republiken.

Figur seorang tokoh dalam novel tersebut mengingatkan kepada Mayor John Lie yang secara historis cukup dikenal reputasinya. Melalui sastra kita juga dapat mengetahui sejarah negara lain.

Bur Rasuanto yang sempat beberapa bulan, tahun 1967, melakukan tugas jurnalistik di Saigon menulis novel Tuyet yang berkisah tentang kondisi di Vietnam Selatan waktu itu. Taufiq Ismail dalam pengantarnya (ditulis pada cetakan kedua, 2001) berujar, “Membaca novel Tuyet dengan latar belakang perang dahsyat yang menumbuhkan kelas elite rezim militer yang kemaruk, mewah, dan berselera rendah seperti membaca Indonesia pada dekade berikutnya.”

Kisah-kisah insani yang menusuk dan menggugah perasaan seperti tuduhan terlibat Viet Cong yang membelit Tuyet, gadis tokoh novel ini, sehingga dia harus mempertaruhkan kehormatannya kepada perwira skrining, seolah-olah dilanjutkan sebagai repetisi sangat mirip di Tanah Air kita di seputar peristiwa G30S/PKI.

Sekarang sebagian orang tidak lagi menganggap sastra sebagai wilayah estetika yang otonom. “Manusia, karya dan ’genre’ sastra tidak bergerak dalam ’ex nihilo’, tetapi ia dipersiapkan dan dikondisikan oleh suatu konteks historiko-sosiologis,” kata George Lukacs dalam Le roman historique (Payot, 1965).

Bahkan, tentang roman historis sendiri Lukacs berpendapat bahwa ’genre’ itu menjadikan sejarah sebagai obyeknya, tetapi ia sendiri juga takluk kepada sejarah dan berenang di dalamnya.

Sama-sama imajinatif

Pendekatan new historicism (NH) yang dicanangkan oleh Stephen Greenblaat tahun 1982, sebagaimana dijelaskan oleh Melani Budianta (dalam majalah Susastra 3 tahun 2006), dapat menjadi pilihan dalam menganalisis karya sastra, sastra sejarah, dan sejarah secara utuh. Louis A Montrose menggunakan istilah “kesejarahan sastra dan kesastraan sejarah atau dengan kata lain membaca sastra = membaca sejarah dan membaca sejarah = membaca sastra (aspek sejarah sebagai konstruksi sosial)”.

Lebih jauh dijelaskan “sejarah” atau dunia yang diacu oleh karya sastra bukan sekadar latar belakang (yang koheren dan menyatu). Sejarah sendiri terdiri atas berbagai teks yang masing-masing menyusun versi tentang kenyataan. Keterkaitan antara karya sastra dan “sejarah” adalah kaitan intertekstual di antara berbagai teks (fiksi maupun faktual) yang diproduksi pada zaman yang sama atau berbeda.

Pendekatan NH ini dapat menolak pandangan sejarawan dan sastrawan Kuntowijoyo. Menurut Kuntowijoyo (Pengantar Ilmu Sejarah, 1995), sejarah itu berbeda dengan sastra dalam hal: 1) cara kerja, 2) kebenaran, 3) hasil keseluruhan, dan 4) kesimpulannya.

Sastra adalah pekerjaan imajinasi, kebenaran di tangan pengarang dengan kata lain kebenaran bersifat subyektif. Pengarang memiliki kebebasan penuh, ia hanya dituntut agar taat asas dengan dunia yang dibangunnya sendiri.

Sastra bisa berakhir dengan pertanyaan, sedangkan sejarah harus memberikan informasi selengkap-lengkapnya.

Pembedaan yang dilakukan Kuntowijoyo di atas masih bisa diperdebatkan. Bukankah pengerjaan sejarah juga membutuhkan imajinasi, kebenaran itu pada suatu sisi juga bersifat relatif, dan sejarah dapat juga memunculkan pertanyaan, tidak harus berupa jawaban.

Akan tetapi, dengan pendekatan dekonstruktif yang dilakukan oleh kelompok posmodernis, sastra itu semakin dekat dengan sejarah. Keduanya berkaitan dengan narasi. Sejarah seperti halnya sastra disampaikan oleh sejarawan melalui narasi. Narasi sejarah itu sendiri memakai plot, misalnya awal, pertengahan, dan akhir, yang merupakan plot sastra juga. Lantas, apa beda keduanya?

Kalau dikatakan soal keakuratan, sejarah juga bisa tidak akurat. Yang jelas, keduanya membutuhkan imajinasi dari penulisnya.

Hero dan antihero

Tentu pendekatan dekonstruktif ini memiliki kelemahan pula. Para sejarawan dituntut untuk mengakui bahwa bahasa tidak sekadar alat untuk menyatakan pikiran atau menyimpan ingatan, tetapi juga memiliki kemungkinan menciptakan realitas. Tetapi, persoalannya kalau semuanya harus didekonstruksi, bukankah karya posmodernis itu juga harus didekontruksi pula.

Taufik Abdullah yang menolak dekonstruksi ini berpendapat, “tanpa keyakinan bahwa kebenaran empiris dan historis adalah sesuatu yang bisa didapatkan, kita hanya akan menggerayang dalam kegelapan”.

Dengan pendekatan new historicism ini, saya menyambut baik terbitnya buku-buku novel sejarah belakangan ini, seperti Gajah Mada sebanyak lima jilid oleh Langit Kresna Hariadi, novel Pangeran Diponegoro oleh Remy Silado yang direncanakan empat jilid baru keluar jilid satu berjudul “Menggagas Ratu Adil”. Ada lagi novel September oleh Noorca M Massardi dan Rahasia Meede, serta Harta Karun VOC oleh S Ito.

Novel Gajah Mada jilid keempat tentang “Perang Bubat”. Rekonsiliasi antara etnis Sunda dan Jawa diupayakan dengan menambahkan unsur baru dalam Perang Bubat.

Novel Gajah Mada yang bertanggung jawab terhadap kematian Dyah Pitaloka, tetapi intrik yang ada di sekeliling sang mahapatih. Dalam novel Remy Silado, Diponegoro yang nama kecilnya Ontowiryo (dan dipanggil Wir) ditampilkan sebagai calon Ratu Adil.

Novel September yang ditulis Noorca M Massardi secara cerdas mengajak pembaca menebak siapa Mayor Jenderal Theo Rosa yang menjadi dalang kudeta 1965.

Rahasia Meede mendorong khalayak untuk memikirkan Konferensi Meja Bundar (KMB) yang sangat merugikan kita dan kurang dibahas sejarawan Indonesia. Dengan imajinasinya, sang pengarang menawarkan alternatif jawaban, pemimpin kita mau menandatangani perjanjian karena percaya ada harta karun VOC di dasar laut.

Novel sejarah bukan saja tentang hero, tetapi bisa juga antihero. Novel Ripta, Perjuangan Tentara Pecundang oleh Anita Kastubi (2003) sangat bagus menyindir orang yang dianggap pahlawan. Namun, ternyata pada hari tuanya ia sangat menderita karena menyembunyikan rahasia bahwa ia sebetulnya tidak berjasa, bahkan menyebabkan beberapa orang gerilyawan ditembak Belanda.

Sastra sejarah itu juga berpotensi untuk mengobati trauma masa lampau, seperti ditulis Melani Budianta pada sampul belakang novel Djamangilak karya Martin Aleida (2004), “dengan membaca buku ini terasa beratnya beban sejarah, luka-luka masa lalu yang tidak bisa dibicarakan secara terbuka, kecuali melalui sebuah cerita”.

* Dr Asvi Warman Adam, Sejarawan LIPI, Menetap di Jakarta
Sumber: http://cabiklunik.blogspot.com/2007/12/imajinasi-yang-terus-bertanya.html

Dari Hans Bague Jassin sampai Norman Camaru

Orang Gorontalo, Gokil Abis? (judul aslinya)
Syam Sdp
http://www.kompasiana.com/syamsdp

Sebuah pesan pendek bertandang ke ponsel saya. Pengirimnya adalah salah seorang sesepuh orang Gorontalo yang tinggal di Jakarta. Om Henk Uno namanya. Beliau ikut terkesima, namun juga keheranan dengan fenomena beberapa orang Gorontalo yang belakangan mendadak terkenal karena aksi mereka.

“Bung Syam, sangat mengherankan bahwa yang bikin nama Gorontalo menasional adalah isu yang dimengerti rakyat jelata ialah action briptu polisi dengan youtube lagu India, mantan narapidana dengan lagu Gayus Tambunan..” begitu tulis OH, inisial Om Henk.

Beliau mengaku terhibur dengan fenomena ini. Meski menurutnya , hal ini tidak seperti cara menjadi terkenal, sebagaimana yang diupayakan oleh HB. Jassin, BJ Habibie, Jus Badudu, John Aryo Katili. mereka membawa nama Gorontalo di arena nasional, dengan jalan lain, lewat kecendekiaan dan karya-karya mereka.

Hans Bague Jassin misalnya,siapa tak kenal Paus Sastra Indonesia ini. Bahkan belakangan nama itu kembali disebut-sebut. Nadanya miris, Pusat Dokumentasi Sastra yang dia dirikan itu ringkih dan terancam tutup akibat biaya operasional yang disunat habis-habisan oleh Pemda DKI. Ironis.

Nama lain yang dikenal karena hubungan genetis dengan daerah yang baru sepuluh tahun berdiri sebagai Provinsi otonom ini, adalah ahli Bahasa JS. Badudu, ahli geologi John Aryo Katili, dan BJ Habibie, mantan presiden RI kedua. Nama terakhir ini, meski lahir di Pare-pare (Sulawesi Selatan) dan besar di Bandung (Jawa Barat), ayahnya memang keturunan Gorontalo. Habibie adalah marga “Endemik” Gorontalo.

Tak lama setelah pesan pendek dari OH, seorang kawan dari pulau Jawa mengirimkan pesan pendek pada saya. Dia juga mengaku salut dengan aksi polisi anggota Brimob Gorontalo yang gokil itu, Norman Camaru, si penyanyi lipsync lagu India yang kini jadi “buah mata” (karena ngetop di youtube dan terus menerus ditayangkan televisi).

“Orang Gorontalo pada gokil abis ya,” begitu isi pesan pendeknya.

Dulu, ada Bona Paputungan yang berandai -andai jadi Gayus Tambunan yang bisa pergi ke Bali, juga dari Gorontalo. liriknya melankoli tapi kocak. Mantan narapidana itu mendadak ngetop, dia lalu nongol dari satu stasiun ke stasiun televisi lainnya.

Sebelumnya lagi, ada aksi Faisal, mahasiswa di Universitas Negeri Gorontalo yang juga bikin video klip “Banci Tapi Rendong” plesetan lagu lawas “Benci Tapi Rindu” yang didaur ulang oleh Titi Dj. Aksinya juga tak kalah gila, menyanyi lipsync berlagak banci frustasi sambil mengacung-acungkan parang, sambil berdemontrasi membuka (maaf) beha.

O ya, zaman Fadel Muhammad masih menjabat Gubernur Gorontalo selama dua periode (2001-2006 + 2007-2009), daerah ini dikenal sebagai daerah penghasil jagung. Oleh Fadel, yang kini menjabat Menteri Kelautan dan Perikanan , Gorontalo disulap dari sebuah daerah di pelosok Sulawesi yang tak terkenal, menjadi daerah pengekspor jagung.

Saat masih menjabat Gubernur Gorontalo, Fadel memang piawai memainkan isu komoditi ini, bahkan jika diwawancarai di layar kaca. Pria kelahiran Ternate yang sebelumnya dikenal sebagai pengusaha ini, kerap menampilkan diri dengan pakaian batik bermotif jagung.

Jurnalis kawakan, Farid Gaban, juga sempat terkaget-kaget saat dalam suatu perjalanan laut. di dalam kapal ferry dari Sulawesi Tengah dan Gorontalo itu, ia dan rekannya, Ahmad Yunus yang sedang melakukan ekspedisi “Zamrud Khatulistiwa”, tidur di atas tumpukan karung jagung asal Sulawesi Tengah, untuk diekspor dengan nama Gorontalo!

Belakangan memang baru diketahui, kepiawaiannya meramu jagung sebagai merek (Branding) Gorontalo itu, tak lebih dari trik marketing: jagung didatangkan dari provinsi lainnya, lalu dijual lagi dengan cap “Gorontalo”. Semacam politik identitas, sekaligus meneguhkan identitas politik bagi daerah ini. Entah, ini bisa disebut Gokil atau tidak.

Kembali ke Laptop. Kini Gorontalo lebih dikenal dengan individu-individu seperti Norman, Bona atau Faisal. Gokil, kocak, satir, atau entah apa lagi namanya. tingkah mereka bisa jadi sebuah branding Gorontalo yang baru. Bisa saja ada yang menganggap aksi mereka dianggap sebagai kreativitas yang dangkal.

Zaman memang berubah. adalah Youtube, situs video yang membuat segala sesuatu menjadi mungkin. Juga karena Blow up media massa, khususnya televisi. Rumus berita klasik tentang “Bad news is a Good News” sedikit bergeser dengan adanya fenomena seperti ini. Biarlah sedikit lebay.

Minimal, para kuli media yang dituntut perusahaan media (atau redaktur) dengan selera “Berita bagus adalah berita buruk” sedikit terbantu mengepulkan asap dapurnya. Berita sejenis ini memang masih berkategori provokatif: memicu pemirsa untuk tertawa terbahak-bahak.

Maka, terlupalah sejenak penatnya hidup dan hiruk pikuk informasi yang bikin sakit kepala itu.

Sumber: http://edukasi.kompasiana.com/2011/04/06/orang-gorontalo-gokil-abis/

Norman Edwin Dulu dan Kini, Catatan Sahabat Sang Alam

M. Latief
http://oase.kompas.com/

Saat banyak orang di Tanah Air, baik secara sendiri-sendiri maupun atas nama kelompok tertentu, berkoar-koar mengumandangkan rencana pendakiannya ke Tujuh Puncak Tertinggi Dunia atau The Seven Summit, rasanya ada yang “hilang”, bahkan hambar lantaran tidak menyebut sama sekali nama Norman Edwin. Pasalnya, memang, kali pertama ide ini muncul di Indonesia datang dari dia, tepat di tengah ingar-bingarnya gairah pendakian gunung salju di kalangan pencinta atau klub pendaki gunung di seluruh penjuru Tanah Air.

Membaca buku ini, lembaran-lembaran ingatan tentang ujung pangkal perintisan ide “Tujuh Puncak Dunia” itu serasa kembali melintas, yaitu ingatan tentang Norman dan proyek pendakian Tujuh Puncak Dunia-nya ini. Dari buku setebal 423 halaman inilah, Rudi Badil, sang editor, meletakkan porsi “Tujuh Puncak Benua” sebagai awal pembuka ingatan kita akan sosok Norman dan proyek prestisius tersebut.

Tanpa maksud jumawa, mungkin saja, Badil di buku ini mau menegaskan bahwa rasanya tidak fair melupakan sosok Norman dan Mapala UI—sebagai bendera yang menaungi ide Norman merancang program ekspedisi pendakian puncak gunung-gunung bersalju abadi itu—yang sudah lebih dulu menancapkan tonggak sejarah pendakian Tujuh Puncak Benua. Selain itu, kebetulan saat itu Norman dan Mapala UI sudah mengantongi lima dari tujuh puncak gunung di tujuh benua yang diincarnya, yaitu Carstenz Pyramid (Australiasia), Kilimanjaro (Afrika), McKinley (Amerika), Elbrus (puncak tertinggi Eropa), dan Aconcagua (Amerika Selatan).

Adalah perkenalan Norman dan Pat Morrow pada 1990 yang kemudian menyuntik Norman dan teman-teman Mapala UI-nya untuk mengibarkan ide Puncak Tujuh Benua tersebut di Indonesia. Pat, pendaki kawakan asal Kanada yang pada 1985 telah menuntaskan puncak ketujuh dari Tujuh Puncak Dunia-nya di Carstenz Pyramid, Papua, itu memompa semangat Norman sebagai orang pertama Indonesia yang menjadi the seven summiteer.

Selanjutnya, ujung pangkal ide Tujuh Puncak Benua itu pun terurai di buku ini. Semua dimulai dari keberhasilan-keberhasilan cemerlang pendakian di Carstenz Pyramid, Kilimanjaro, McKinley, Elbrus, hingga kegagalan dan musibah di Aconcagua, gunung tertinggi di benua Amerika Selatan yang akhirnya merenggut nyawa Norman sendiri dan sahabatnya, Didiek Samsu.

Sekarang ini, setelah Pat Morrow, memang baru dua orang lainnya yang berhak menyandang gelar the seven summiteers, yaitu Reinhold Messner (Italia) dan Oswald Ohl (AS). Di Indonesia, kendati telah dibayar mahal oleh keberhasilan “pendakian ulang” Mapala UI ke Puncak Aconcagua setahun setelah tewasnya Norman di gunung itu, gairah pendakian Tujuh Puncak Benua di Indonesia pun perlahan seakan meredup. Masih dua gunung lagi yang harusnya digenapkan Norman dan Mapala UI untuk mencapai gelar itu, yaitu Vinsson Massif (Benua Antartika) dan Gunung Everest ( Asia).

Meredup atau tertunda? Kenyataannya, lama setelah ide, cita-cita, dan semangat Norman yang seolah lenyap ditelan kepergiannya itu kembali menjadi hiruk pikuk. Hiruk pikuk yang kadang timbul, kadang pula tenggelam. Perlombaan menduduki urutan berikutnya sebagai pendaki Puncak Tujuh Benua pertama di Indonesia itu pun masih menjadi “rahasia” yang belum terjawab dan menjadi pekerjaan rumah yang belum terselesaikan.

Ya, hal itu khususnya untuk kelompok Mapala UI, yang secara resmi menjalankan maksud mendiang Norman ini sebagai proyek Universitas Indonesia yang didukung penuh oleh rektornya sendiri. Sementara itu, umumnya, Tujuh Puncak Dunia menjadi “proyek besar” atas nama Indonesia.

Tak ada habisnya

Pada kurun waktu antara 1976 dan 1992, nama Norman Edwin memang sangat identik dengan pendaki gunung, pengarung jeram, penelusur gua, pengembara ilmiah, pelayar lautan, dan penulis kisah-kisah perjalanan andal yang sudah punya “umat” tersendiri di Indonesia. Begitulah Rudi Badil, editor buku ini, menuliskannya.

Kini, setelah hampir 20 tahun sepeninggalannya, nama itu ternyata masih lekat dalam ingatan sebagian di antara kita yang pernah mengenalnya. Oh, apakah hanya untuk generasi tua yang pantas mengenal baik Norman?

Jelas saja, tidak. Buat mereka yang ingin dan perlu mengenalnya lagi saat ini pun dianjurkan mengenal Norman karena buku ini kembali mengetengahkan 64 tulisan Norman tentang pengembaraannya di alam bebas, ihwal persahabatannya dengan banyak manusia di dataran rendah, tinggi, dan puncak, serta perut bumi yang terangkum dengan apik.

Asyiknya, di buku ini tak cuma dituliskan semua keberhasilan disertai kegirangan Norman di setiap petualangannya, tetapi juga kegentaran dan kesulitan di tiap jengkal penjelajahannya di hutan-hutan di Sulawesi, mengarungi derasnya Sungai Kapuas di Kalimantan, menyusup ke perut bumi di Luwong Ombo, mendaki puncak-puncak salju dunia di Kilimanjaro atau McKinley, sampai melayari Lautan Hindia di atas kapal pinisi Ammana Gappa. Semua ditulis dengan jernih, rinci, dan juga menyentuh.

Boleh jadi, bagi yang belum sempat mengenal Norman, membaca buku ini akan membuat mereka tercengang. Manusia “ajaib” macam apa Norman ini? Semua yang berbau kegiatan alam bebas (outdoor activity) dilahapnya bukan semata sebagai penggiat, melainkan ahli.

Ibarat di dunia persilatan, Norman adalah pendekar kampiun. Ia pelaku, tapi juga pionir yang ahli. Bedanya dengan pendekar lain, Norman tak pernah pelit mengisahkan ilmunya kepada para penggemarnya di dunia persilatan itu; dunia kegiatan alam bebas Indonesia.

Buku ini akan menjelaskan betapa Norman memang bukan sekedar suka-suka untuk menggeluti hobi mendaki gunung, melainkan menjadi pendaki yang memang betul-betul menguasai ilmu pendakiannya secara ilmiah. Untuk membuktikan itu, Norman mampu membagikan ilmu dan pengalamannya itu dengan enak dan nikmat di media massa tempatnya berkarya, mulai dari majalah remaja seperti Hai atau Gadis, majalah perjalanan dan lingkungan seperti Mutiara dan Suara Alam, sampai akhirnya berkarier sebagai wartawan di harian Kompas.

Di jeram-jeram sungai, pengalaman Norman sebagai kapten perahu yang andal dibuktikan ketika ia dan rekan-rekan rafters-nya atau pengarung jeram mengarungi Sungai Kayan dan Kapuas (Kalimantan), Alas dan Tripa (Aceh), serta Progo dan Serayu (Yogyakarta). Norman membuktikan, dia memang pengarung yang ahli, tetapi tetap rendah hati dan merasa bukan manusia yang tak punya rasa takut lantaran dua karibnya tewas saat menaklukkan jeram-jeram Sungai Alas bersamanya pada 1986. Dengan jujur, keberhasilannya melampaui sungai-sungai ganas itu tak membuatnya alpa untuk menuliskan ketakutannya di setiap perjalanan yang dia temui.

Di dalam perut bumi, Norman juga pionir. Pada periode awal 1980-an, Norman sudah menggantung-gantung di tali untuk menelusuri 150 meter kedalaman Luweng (gua) Ombo, Pegunungan Sewu, Gunung Kidul, Yogyakarta. Norman pula yang ikut membidani berdirinya persatuan caving dan speleologi Indonesia, Specavina, dan klub speleologi Gharbabhumi. Perjalanannya menelusup ke Luweng Ombo bersama para anggota kedua klub itu menjadikan ekspedisi Norman cs dianggap ekspedisi pertama orang Indonesia di dalam perut bumi Indonesia. Tonggak sejarah caving atau penelusuran gua pun dimulai oleh Norman.

Memang, tak ada habisnya berbicara soal Norman dan petualangannya, apalagi “kegilaannya” menjelajah itu semakin manjadi-jadi setelah ia menjadi wartawan harian Kompas. Tempat-tempat sunyi di ujung-ujung terluar wilayah jangkauan manusia pun dijelajahinya dan tanpa luput dilaporkannya dalam bentuk tulisan-tulisan yang menarik, termasuk bagaimana kisah-kisah heroiknya di beberapa perjalanan berlayarnya (sailing) di lautan dan samudra luas di dunia.

Andai (Norman) masih ada

Norman tewas hanya beberapa meter menjelang puncak Gunung Aconcagua, 21 Maret 1992. Puncak kelima yang diharapkan Norman menjadi puncak kelima dari Tujuh Puncak Benua, obsesinya.

Norman tewas bersama rekannya, Didiek Samsu, saat dunia pendakian gunung di Indonesia tengah ingar-bingarnya menorehkan banyak prestasi, mulai dari kalangan anak muda bercelana abu-abu alias SMA, pencinta alam tingkat mahasiswa, sampai klub-klub pendaki gunung yang tak terhitung jumlahnya.

Lalu kini, setelah hampir 20 tahun Norman tiada, apa manfaatnya “anak-anak sekarang” perlu mengenal Norman, apalagi hanya lewat sebuah buku?

Kiranya, inilah bagian yang tak kalah pentingnya dari semua tulisan di buku ini. Bahwa Norman adalah sosok petualangan di “zaman doeloe”, memang betul. Tetapi, tentu tidak ada salahnya menyebut Norman juga sebagai seorang “guru” masa kini yang mau menurunkan ilmunya karena ilmu itu masih bisa dimanfaatkan sampai sekarang.

Inilah relevansinya buku ini diterbitkan pada zaman 2000-an. Zaman di mana Facebook dan Twitter atau blog, serta semua tren jejaring internet yang sedang up to date ini, tak dikenal baik oleh Norman.

Di buku inilah, Badil membuat Norman bisa menjadi teman dekat, senior, sekaligus guru yang mau berbagi ilmunya tentang tentang ekspedisi. Bahkan, makna harfiah tentang ekspedisi itu dikupas lagi di buku ini lantaran maknanya banyak disalahkaprahkan.

Apakah pendakian ke puncak Gunung Semeru sebagai puncak tertinggi di Pulau Jawa itu bisa disebut ekspedisi? Sejatinya, apa arti ekspedisi? Apakah negeri yang bernama Indonesia ini sekarang semakin mudah dijangkau sehingga yang disebut dengan “ekspedisi” itu semakin kurang berarti?

Pelajaran lain yang dipetik di buku ini adalah, Norman tak pernah mengganggap enteng gunung-gunung mana pun di Tanah Airnya. Ya, sekalipun itu Gunung Gede atau Pangrango yang kerap hanya dijadikan area “piknik” sejenak kepenatan anak-anak pencinta alam di Jakarta, Bogor, atau Bandung yang dekat dengan gunung itu.

Pada tahun masa-masa Norman hidup, ternyata kawasan gunung ini banyak memakan korban, terutama mereka yang mengaku-aku pencinta alam atau pendaki gunung yang “sok jago” karena menyepelekan persiapan mendakinya di kedua gunung itu. Di buku inilah, cerita pengalaman Norman menjadi anggota search and rescue (SAR) dan juga “bos” dalam pencarian korban tewas Hengky dan Robby, mahasiswa Universitas Trisakti, Jakarta, di gunung Gede-Pangrango dan tujuh siswa STM Pembangunan Jakarta di Gunung Salak, sangat relevan dengan dunia pencinta alam dan pendakian saat ini. Bukankah masih terekam jelas di benak kita, bagaimana gunung-gunung yang kerap dianggap “ecek-ecek” seperti Gede-Pangrango, Salak, Ceremai, atau Gunung Slamet kerap masih memakan korban sejak hampir 20 tahun lalu Norman pergi?

Tingginya gunung, derasnya jeram sungai, gua-gua yang gelap pekat atau dahsyatnya gelombang laut yang pernah dijelajahi Norman adalah bentukan alam yang tetap selalu dekat dengan mereka yang sampai saat ini mengaku sebagai pencinta alam atau penjelajah alam bebas. Kejuaran panjat dinding di kampus-kampus atau sekolah yang kini semakin digilai dan banyak mendatangkan sponsor lebih sarat sorak sorai penonton ketimbang ekspedisi penjelajahan ilmiah seperti yang kerap dilakukan Norman dan teman-temannya dahulu di buku ini.

Itulah pesan akhir buku ini, Norman Edwin; Catatan Sahabat Sang Alam. Mengingat Norman, rasanya sedang mengingat sesosok teman, sahabat, senior, juga guru, yang tak pernah jemu membagi rahasianya menjelajahi alam bebas Indonesia dan dunia lain yang belum terjamah oleh tangan-tangan manusia.

Ingat Norman, ingat selalu akan “pekerjaan rumahnya”, Puncak Tujuh Benua yang belum juga tuntas. Mengenal Norman seolah mengenal satu arahan bahwa Indonesia masih begitu luas untuk dijelajahi dan perlu untuk menambah rasa nasionalisme anak-anak muda masa kini yang rasa-rasanya semakin jauh dari alam Indonesia sebagai tanah airnya sendiri. Dan semua itu, tentu demi kecintaan anak-anak Indonesia akan tanah airnya sendiri, tanah air Indonesia.

Kamis, 07 April 2011

Opera Jaran Goyang

Naskah berasal dari sandiwara rakyat cirebon “Putra Sangkala”
Rodli TL
http://sastra-indonesia.com/

Sinopsis :
Sebuah kisah tentang dua anak manusia yang dibedakan oleh status ekonomi. Baridin putra dari Mbok Wangsih dilahirkan di keluarga yang miskin. Ratminah putri dari Bapak Dam terlahir di keluarga kaya. Pertemuan Baridin dan Suratminah menumbuhkan benih-benih cinta di hati baridin. Tapi sayang cinta bertepuk sebelah tangan, suratminah menolak cinta dan lamaran baridin. Bahkan Mbok Wangsih yang mengantarkan lamaran baridin dihina dan dicaci maki oleh Suratminah dan bapak Dam.
Disinilah timbul dendam Baridin kepada suratminah atas kesombongan dan perilakunya kepada Ibunya, Mbok Wangsih.
Atas bantuan Gemblung dengan cara memberikan sebuah mantra kuno bernama “Ajian Jaran Goyang”, Baridin mengamalkan mantra tersebut demi balas dendamnya kepada suratminah.
Sampai akhirnya Suratminah terkena rapalan mantra itu, bukan berbalik cinta kepada baridin, tapi suratminah menjadi gila oleh mantra itu sampai menemui ajalnya.
Bagaimana dengan baridin apakah dia puas dengan pembalasan dendamnya ? Baridin yang terbebani oleh dendam dan cinta kepada suratminah tidak kuat mengatasi kehebatan dari mantra jaran goyang, sehingga baridin ikut juga menemui ajalnya.
Hingga saat ini baridin dan suratminah dimakamkan dalam satuliang lahat.
Inilah kisah dari cirebon.

Babak 1

Sebuah setting panggung di rumah sangat sederhana berdindingkan bambu. Seorang laki-laki tengah tergolek tidur di balai bamboo. Kemudian datang seorang perempuan dari dalam berumur sekitar 45 tahun sedang menyapu lantai.

Mbok wangsih :
Din… Baridin… bangun din ! hari sudah siang begini kamu masih tidur. Kamukan mau membajak sawahnya mang Bunawas.

Baridin Cuma mengeliat-liat dan berganti posisi tidur ketika dibngunkan ibumya.
Mbok wangsih:
Heh din ! bangun ! bangun ! sawah mang Bunawas bagaimana heh!!

Kemudian ada seseorang yang datang
Mang Bunawas :
Punten ! Punten!

Mbok Wngsih :
Eh .. mang bunawas

Mang Bunawas :
Baridin ada mbok?

Mbok Wangsih:
Ada mang….. Din ! ada mang bunawas !

Mendengar siapa yang datang Baridin segera bangun sambil menggosok matanya yang masih ngantuk.
Baridin :
Eh… Mang Bunawas..

Mang Bunawas :
He din ! hari sudah siang kamu masih tidur ! Niat kerja nggak ?!

Baridin :
Minta maaf mang Bun, tadi malam saya nonton wayang, jadi bangun kesiangan.

Mang bUnawas :
Jadi maumu apa ?

Baridin :
Kalau besok saja bagaimana mang?

Mang Bunawas :
Hei din ! yang benar saja, depan belakang sawah sudah dibajak. Masa sawah saya saja yang belum diapa-apakan. Pokoknya saya gak mau ! tahu hari ini harus selesai. Sanggup gak kamu din?

Baridin :
Ya sudah mang kalau begitu . Tapi saya belum jelas dimana sawah mang Bunawas?

Mang Bunawas :
Disebelah timurnya bukit dekat kelurahan. Tahu gak kamu.

Baridin :
Ya ya mang. Kalau begitu saya kesana.

Mang bunawas :
Ya sudah saya duluan. Saya tunggu lho din ! Mbok ! Mbok saya permisi dulu

Mbok wangsih :
Lho .. kok buru-buru mang ? belum saya buatkan minuman kok…

Mang Bunawas :
Trima kasih… lain kali waktu aja. Masih ada keperluan.. Mangga mbok..

Mbok Wangsih :
Mangga.. mang

Kemudian baridin keluar berangkat ke sawah
Baridin :
Kalo begitu baridin berangkat dulu. Minta doa restunya semoga cepat selesai pekerjaan baridin hari ini.

Mbok wangsih ;
Ya ya ..mbok doakan… Hati-hati dijalan din.

Baridin :
Ya mbok !..

Babak 2

Setting tempat disebuah jalan menuju pasar dekat jembatan. Seorang gadis sedang komat kamit mengingat sesuatu. Tak jauh dari tempatnya berdiri, 3 orang pemuda sedang asyik ngobrol dan kemudian melihat kearah gadis itu muncul keinginan untuk menggoda.

Suratminah :
Aduuh…. Apa ya pesanan bapak tadi ? kok lupa ya…nggg…tak ingat-ingat dulu, tadi bapak pesan kopi , gula, ikan tongkol, …terus bawang merah, bawang putih, teruss..

Para pemuda :
Haaaa !!!!

Ratminah kaget dibuatnya
Pemuda 1 :
Latah ya ? masih muda kok latah
Pemuda 2:
Bocah cantik… bocah denok… nang-ning-nang-ning…

Ratminah :
Hei ! hei ! kebiasaan sih ! setiap pergi kepasar pasti ada saja yang iseng. Apa kalian tidak tahu kalau saya ini anak orang kaya !

Pemuda 2 :
Hei nok, jadi anak orang kaya itu ya jangan sombong..

Pemuda 3:
Hei dengarkan ini, beli manggis di pasar tanjung, naik ojek bayarnya mahal.. gadis manis yang kusanjung, jadi cewek jangan jual mahal !

Ratminah :
Hei ! dengarkan ini juga ya! Naik ojek sambil jalan-jalan, beli cuka dapatnya garam… orangnya jelek gak karuan ! ngomong suka gak punya uang !

Pemuda 1 :
He nok.. jagan malu-malu..sama aku saja. Ini aku punya kumis…. Lebat lagi kumisnya..

Para pemuda :
Seratus untuk kumis !!

Ratminah :
Hei dengarkan !! rujak manis rujak asem, rambutan manis terkelupas isinya.. punya kumis bau asem!! Rambutnya lebat banyak lalatnya !! sudah pergi sana!! Sana!! Tak bilangin bapak tahu rasa !!

Musik berkumandang lagu dinyanyikan

Para pemuda :
“lenggak-lenggok goyang jalannya
gadis denok tinggi omongannya
disapa malah marah-marah
apa gak ngerti… marah itu bisa jadi malah berbahaya “

Ratminah :
“dasar mata keranjang lihat gadis sintal
colak colek pinggir jalan omongannya kurang sopan
tidak malu sama orang
dasar kamu orang pengangguran “

Para pemuda :
“hei ! jangan bilang gitu !“

Ratminah ;
“sebab menghina aku …”

Para pemuda :
“Inikan intermezzo “

ratminah :
“dasar hidung belang beraninya keroyokan !”

Kemudian datang baridin mengganggu para pemuda yang menggoda Ratminah
Baridin :
Mang.. mang… permisi mau nanya, dimana sawahnya mang bunawas ?

Pemuda 3 :
Sawahnya mang bunawas luruuuss…ini luruus saja

Baridin :
Sebelah mananya bukit mang ?

Pemuda 3 :
Timurnya bukit. Sudah ya, sana pergi, pergi… ganggu orang saja..

Para pemuda itu kembali mengganggu ratminah selepas kepergian baridin.
Para pemuda :
Bocah manis.. bocah denok…. Blakthuk…blakthuk…
Ratminah :
Hei ! masih ganggu terus sih !

Pemuda 3 :
Buah salak, buah kedondong…. Jangan galak dong !

Ratminah :
Dasar gak punya aturan ! beraninya hanya di jalan ! kalian semua itu ya coba ngaca ! Ngaca ! Apa kalian tidak tahu ! yang suka sama suratminah itu orang-orang yang ber-dasi, ber-jas, ber-kaliber, ber-uang !

Para pemuda :
Hah ! jadi yang suka sama kamu itu B-E-R-U-A-N-G !!
“cepon-cepon kayu…oleh wadon asal ayu…
kayu-kayu crème…wong ayu manis eseme..
crème sipongpongan ayo pada jaipongan”
“nona manis jangan menangis
sendirian apa butuh teman
kalo boleh kami temani
bisa tinggal pilih….jangan takut banyak duwit asal minta cubit..”

Ratminah :
“Dasar mata keranjang ! makin macam-macam
colak-colek pinggir jalan omongannya kurang sopan
dasar lelaki kampungan
tak malu kalo kemps kantongnya

Para pemuda :
“hei jangan bilang gitu !”

Ratminah :
“ biar kamunya mikir”

Para pemuda :
“tapi aku tersindir”

Ratminah :
“dasar hidung belang lihat gadis ngomong senang”

kemudian tiba-tiba datanglah Baridin mengganggu lagi. Dan Ratminah yang melihat kesempatan itu menyelinap pergi.
Baridin :
Mang… Mang… belum ketemu mang, sawah mang bunawas,cari ditimur..ke barat gak ketemu.

Pemuda 3 :
Aduuuh… ini mengganggu saja.
Pemuda 1 :
Ceweknya hilang..

Pemuda 2 :
Waduuuh… ini gara-gara kamu..waaaah…

Para pemuda itu pergi mencari ratminah.
Kemudian Ratminah datang lagi dengan ketiga kawannya.

Suratminah :
Trima kasih atas pertolongannya tadi

Baridin :
Pertolongan apa ya ?

Suratminah :
Ya tadi para berandalan itu, tidak tahu kalo saya pergi, karena ada kamu. Ngomong-ngomong kamu jualan apa sih ?

Baridin :
Oh ini…saya bukan mau jualan, ini saya mau membajak sawahnya mang bunawas.

Suratminah :
Kamu kok lucu…

Musik berkumandang.
Baridin :
“tiba-tiba aku terkejut …. Lihat gadis langsung kepincut
lirikannya senyumannya sangat maut
bikin hatiku kalang kabut
perkenalkan aku baridin
hidup sedang menderita batin
tiap hari merasa dingin
sebab ingin merasakan kawin”

Ratminah :
“mau dingin mau kawin gak mikirin
sebab banyak gadis yang lain
bunga anggrek hidup di pohon

baridin :
“apa wong ganjen?”

Ratminah :
“Orang jelek tampangnya bloon
Tiba-tiba bicara soal kawin
Kalo ngomong harus piker-pikir
Kunci gembok kunci gerendel
Orang goblok mirip ondel-ondel”

Baridin :
“kalau mau ngomong jangan sembarangan
nanti bisa jadi bengong
jangan jingkrak-jingkrak kalau mau nolak
nanti bisa malah ngajak”

Suratminah :
“idih ! jangan asal ngomong
begitu juga ngajak gak apa ngajaknya
ngajaknya kamu aduh sangat lah percuma
sebabnya kamu orang gak punya
gak pantes ratminah jodohnya “

Baridin :
“kalo ditolak nanti dukun yang bertindak”

Suratminah :
“biar gilapun aku tidak akn mundur”

Baridin :
“ngomong begitu apa beneran “

Suratminah :
“biar sumpah tujuh turunan”

Gadis-Gadis :
“hei kau baridin ngomongnya dipikir-pikir
hei kau baridin jangan asal banting setir
ratminah gak mungkin mabuk baridin
dasar baridin kepingin kawin”

Baridin :
“nok-nok bocah denok bokong semok
nok-nok baridin suka tidak kapok
biarpun kamu lari kegunung kukejar walau kesandung”

Ratminah :
“ kepingin aku… aduh sabar dulu
apa gak tahu kau orang tak mampu..”

Baridin :
“kalo niat..”

Suratminah :
“orang yang niat, harus yang kuat
kalau benar kamu suka aku apa yang jadi lamaran ?”

Baridin :
“nih terimalah “

Ratminah :
“Apa? “

Baridin :
“Lamaran aku”

Ratminah ;
“Bajak ? !”

Baridin :
“Jangan mencibir, Ku ngarti kamu nolak jangan marah……. jangan murka….”

Ratminah :
”Orang jelek celananya sobek…. Omongannya kaya’ bebek”

Gadis-Gadis :
“hei kau baridin ngomongnya dipikir-pikir
hei kau baridin jangan asal banting setir
ratminah gak mungkin mabuk baridin
dasar baridin kepingin kawin”

kemudian Baridin ditinggal menggerutu sendirian.

Babak 3

Dirumah baridin, mbok wangsih sedang bingung menunggu kepulangan anaknya yang belum pulang juga.

Mbok Wangsih :
Hari sudah sore anakkku baridin masih belum pulang juga. Ada halangan apa ya ? tidak seperti biasanya..

Kemudian datang Mang Bunawas dengan marah-marah :
Mang Bunawas :
Mbok ! Mbok ! Anak kamu itu waras ?! apa gak waras ?!

Mbok Wangsih :
Ya waras mang… Memangnya ada apa mang ?

Mang Bunawas :
Coba kamu pikir, aku nunggu dari pagi sampai sore, eh dia gak datang-datang ! Kemana dia mbok !

Mbok Wangsih :
Dia sudah berangkat dari pagi tadi mang… Saya juga bingung, sudah sesore ini baridin belum pulang. saya pikir dia membajak sawahnya mang bunawas.

Mang Bunawas :
Mbajak sawah ?! bajak sawah bagaimana ? la wong dari pagi dia tidak kelihatan batang hidungnya !!

Mbok Wangsih ;
Tapi benar dia tadi berangkat…

Tiba-tiba baridin datang mengagetkan semuanya dengan melempar alat bajaknya.
Mang bunawas ;
Lihat Mbok ! anakmu ini memang gak waras ! Hei din, dari mana saja kamu ? aku tunggu dari pagi sampai sore, eh malah tidak datang. Ada apa din ?

Baridin ;
Maafkan saya Mang Bun, soalnya tadi di jalan saya mendapat halangan.

Mang Bunawas :
Halangan apa ?

Mbok wangsih :
Iya din, ada halangan apa ?

Baridin :
Halangan berat pokoknya !

Mang Bunawas :
Halangan apa ?

Baridin :
Pokoknya halangan saja ! Mang… bagaimana kalau membajak sawahnya besok saja ?

Mang Bunawas :
Hei din, kamu yang benar saja, kanan kiri, depan belakang sawah sudah siap ditanami padi, masa’ tinggal sawah saya saja yang belum diapa-apakan ? hei din saya percaya sama kamu, karena itu saya suruh kamu membajak sawah saya.. eh malah kamu gak karuan gitu !! Ya sudah ! saya cari orang lain saja ! Permisi mbok !

Baridin :
Maafkan saya Mang Bun..

Mbok Wangsih :
Maafkan anak saya mang ..

Mang bunawas :
Sudah ! Sudah ! (mang bunawas pergi)

Mbok wangsih hanya mengelus dada melihat tingkah laku anaknya.
Mbok wangsih :
Sebenarnya ada masalah apa din ? coba ceritakan sama mbok..

Baridin :
“Mbok wangsiiih… sebelum aku kesawah disebelah pasar dekat jembatan aku mendapat halangan..
halanganya ..bikin pusing pikiran.. bertemu gadis cantik suratminah namanya … bocah denok, bocah montok yang bikin orang suka..
aduh..aduh..aduuuuh…. aku jatuh cinta…”

Mbok wangsih :
Hemm … jadi halangan itu perempuan din ?

Baridin ;
Iya mbok..

Mbok Wangsih :
Kalau itu bukan halangan din

Baridin :
Bukan halangan bagaimana ? karena bertemu dia saya jadi malas kesawah. Selalu kepikiran terus. Mbok saya ingin melamarnya..

Mbok wangsih :
Melamrnya ?

Baridin :
Dia anaknya Bapak Dam

Mbok Wangsih :
Bapak Dam ? Ratminah ? bapak Dam kan yang terkenal kaya raya itu. Coba dengar, kita ini orang miskin. Kok, gak pantas kamu ingin gadis seperti suratminah.

Baridin :
Tapi mbok, sejak pertemuan itu, baridin ingin memilikinya.

Mbok Wangsih :
He din ! sadar din ! Sadar ! Kita ini orang miskin ! Gak pantas kamu ingin kawin sama Suratminah !

Baridin :
Pokonya saya ingin kawin dengan Suratminah !

Mbok wangsih :
Din ! mikir din ! mikir ! otaknya di pake ! kamu itu anake wong miskin. Sedang Suratminah Anake wong sugihan, wong gedean. Gak mungkin Bapak Dam ngasihkan anaknya ke kamu !

Baridin :
Kalau mbok wangsih gak mau, biar baridin bunuh diri saja !

Mbok wangsih :
Apa din ? Bunuh diri ? biar matipun kamu gak bakalan kawin sama suratminah.

Baridin :
Baiklah mbok , baridin bunuh diri saja. Lebih baik mati jika baridin tidak kawin dengan suratminah. Selamat tinggal mbok !

Baridin mengikatkan kain sarung ke lehernya, seolah-olah ingin bunuh diri. Mbok Wangsih mencegah.

Mbok Wangsih :
Din ! din ! Jangan din !din.. kamu anak mbok satu-satunmya jgan bikin susah mbok ya…Dari pada kamu bunuh diri, mbok akan melamar suratminah

Baridin ;
Yang bener mbok ?

Mbok Wangsih :
Tapi kamu jangan berharap lamarannya akan diterima.

Baridin :
Tidak mbok, baridin akan selalu berdo’a semoga lamaran kita diterima.

Mbok Wangsih :
Ya sudah, mbok kebelakang dulu..jangan bunuh diri din..

Mbok wangsih masuk.
Baridin :
Ya mbok !..

Babak 4

Setting di sebuah teras rumah yang lebih bagus, tampak seorang laki-laki berumur sekitar 50-an tahun, tampak gelisah menunggu sesuatu.

Bapak Dam :
Aduh… Aduuh… Ratminah pergi ke pasar sampai sekarang belum pulang juga. Ana halangan apa ini ya? Tadi malam saya bermimpi aneh…… ada halangan apa ya ?… macem-macem…

Kemudian yang ditunggu-tunggu datang.
Ratminah :
Pak ! Bapak !…

Bapak dam :
Hei ! darimana saja kamu ! sudah jam berapa sekarang ?

Ratminah :
Anu pak … tadi ratminah dapat halangan..

Bapak Dam :
Halangan apa ayoo…

Ratminah :
Itu tadi di jalan ratminah dicegat berandalan. Untung Ratminah bisa lolos.

Bapak dam ;
Dikejar-kejar berandalan ? terus..terus.. gak ada yang hilang ?

Ratminah :
Hilang apanya ?

Bapak Dam :
Hilang onderdilnyaa.. ya sudah masuk dulu.

Kemudian Ratminah masuk kedalam rumah sedang Bapak Dam duduk di teras rumah. Tiba-tiba datang 2 orang yang berniat melamar.
Para Pelamar :
Assalamualaikum……

Bapak Dam ;
Waalaikum salam.. eh ada tamu…

Pelamar 1 :
Apa benar ini rumah Bapak Dam ?

Bapak Dam :
Benar-benar silahkan masuk..masuk.. silahkan duduk.. Rat ada tamu !

Ratminah keluar. Musik berkumandang
Bapak dam :
“silahkan maunya apa?…”

Pelamar 1 :
“ Kalau mau tahu, aku juragan nelayan
tiap kali pulang uangnya pasti dolaran
tidak kurang sandang pangan.. anak bapak kenyang ikan “

Ratminah :
“tidak mau.. tidak mau.. sebab aku sudah tahu
katanya yang dulu-dulu
pelaut sukanya gitu
gak mau aku dirayu..gak mau aku di madu..
nanti dulu jangan harap dapat aku”

Bapak dam :
Sama juragan nelayan gak mau ? nanti kenyang ikan ?

Ratminah :
Nggak bapak

Bapak dam :
Ya sudah silahkan duduk..
“silahkan maunya apa ?’

Pelamar 2 :
“jangan macem-macem sama aku bintang filem
aku sudah yakin Ratmianh pasti kesengsem
hidup tentrem adem ayem siap pakai luar dalem”

Bapak Dam :
“saya suga seneng dapat mantu bintang filem
asal jangan sampai dapat peran macem-macem
mata melek merem-merem.. urusannya jadi runyem “

Ratminah :
“ memang serem-memang serem.. punya suami bintang filem
sering pulang larut malem.. alasannya macem-macem
bilangnya ada sutingan, bialangnya urusan peran
padahal sih diluar banyak simpanan..”

Bapak Dam :
Sama bintang filem gak mau juga ? nanti di suting ?

Suratminah :
Enggak bapak

Bapak Dam :
Ya sudah bikinkan minum tamunya. Maaf ya anak saya belum cocok dengan saudara-saudara. Jadi mohon maklum apa adanya..

Pelamar 2 :
Yaaa… kalau tidak cocok tidak apa-apa… tapi tadi kami naik becak ongkosnya 2000

Bapak Dam :
Terus..

Pelamar 2 :
Jadi mangga mriki… ganti ongkos..

Bapak Dam :
Heh ganti ongkos ?! sebentar-sebentar sampean kesini disuruh siapa ?

Pelamar 1+2 :
Yaaa … disuruh kami sendiri !

Bapak dam :
Nah.. terus..terus..

Pelamar 2 :
Nah..tadi kan saya naik becak ongkosnya 2000..
Bapak dam yang mendengar itu jadi marah dan menggebrak meja
Bapak Dam :
Heh !!! Apa sampeyan tidak tahu, Bapak dam mantan jawara. Sampean kesini mau ngrampok !! Ayo !! Ayo !! (bapak dam seperti mau ngajak berkelahi) ayo ! Tak jotos kupinge getien !!

Para pelamar itu lalu kabur. Kemudian Ratminah keluar sambil membawa air miinum.
Ratminah :
Lho ?? mana tamunya pak ??

Bapak Dam :
Tamu penipu !!

Ratminah :
Ya sudah buat bapak saja minumnya. Saya kebelakang dulu.

Bapak Dam kembali ke tempat duduknya. Kemudian datanglah pelamar berikutnya yaitu Mbok wangsih.
Mbok wangsih :
Waaah… rumah Ratminah besar dan indah. Baridin kok gak ngukur ya ..

Kemudian muncul suara anjing
Bapak Dam :
Rat ! Rat ! siapa ! siapa diluar !

Ratminah keluar melihat siapa yang ada diluar :
Ratminah : apa pak ?

Bapak Dam :
Biasa.. boby..lihat diluar siapa ?

Ratminah :
Oooh .. ada pengemis pak

Bapak Dam ;
Kasih..kasih..

Ratminah :
Berapa ?

Bapak Dam :
Seket !

Ratminah :
Seket ? Nih mbok skeet !

Mbok Wangsih :
Nok…. Tidak nok..mbok bukan mau ngemis..

Ratminah :
Idiiih gak mau ! gak mau pak!

Bapak dam :
Paling munggah-munggah

Suratminah :
Berapa ?

Bapak Dam :
Satus !

Ratminah :
Nih mbok satus !

Mbok wangsih :
Bukan nok mbok tidak mengemis, tapi mbok mau ada perlu…

Ratminah :
Pak ! gak ngemis katanya. Mau ada perlu..

Bapak Dam :
Ada perlu ? aduuh siapa ya ?

Setelah bapak dan tahu siapa yang menemuinya
Musik kembali berkumandang
Bapak Dam :
“silahkan maunya apa?”

Mbok Wangsih :
“sebelum di usir coba bapak pikir-pikr
walau hati nangis saya tidak mau ngemis
saya mau ada perlu suratminah calon mantu”

Bapak Dam :
“coba ngomonglah.. sebenarnya siapa ?

Ratminah :
“coba ngomonglah… kau maunya apa?”

Mbok Wangsih :
“diriku ini nama Mbok Wangsih
mau minta suratminah dari bapak dam
baridin ingin melamar”

Bapak Dam :
Ngarti..ngarti… jadi sampean kesini mau melamar anak saya ? mau meminang suratminah ? Surat mianah anak saya satu-satunya mau dilamar wong macem sampeyan ?! menghina ya ?! Ngece ?! tak jotos kupinge getien sira !!

Ratminah :
Apa pak ?! mau melamar ? iiih.. he mbok ! Mbok melamar buat siapa ?!

Mbok Wangsih :
Buat… buat anak mbok nok.

Ratminah :
Iya siapa ?!

Mbok wangsih :
Ba.. ba… baridin nok….

Ratminah :
Baridin ?

Bapak Dam :
Bridin.. bridin –bridin sapa ?

Ratminah :
Oooh…. Baridin yang bawa wluku ? yang celananya tambalan ? idiiih…. Amit-amit mbok.. siapa yang mau ?

Bapak Dam :
Hei! Hei ! Hei ! apa sampaean gak ngerti, tamunya bapak dam nembe pating kluyur.. wong gedean, wong sugihan… wong nggowo motor –mobil-sepur ! berani-beraninya nglamar ! wis ambune blenak !!

Ratminah :
Baunya Asem !!
Bapak Dam :
Rambute Ruwet !!

Ratminah :
Klambine dowal-dawul !! Apa mbok itu gak mikir ! gak mikir !

Bapak dam :
Usir! Usir Rat ! Usir ! Siram Rat !!

Ratmainah :
Pergi mbok ! pergi !

Mbok wangsih menangis setelah diludahi dan disiram ratminah.
Ratminah :
Orang Gila pak ..

Bpak Dam :
Iyaa…

Bapak dam suratminah masuk.

Babak 5

Setting panggung berada di rumah baridin. Tampak baridin gelisah menunggu kedatangan mbok wangsih.

Baridin :
Mbok wangsih kemana ini ya ? berangkat dari tadi kok belum pulang… (kemudian dia merasa senang) tidak disangka sebentar lagi baridin jdi pengantin…duduk bersanding dengan suratminah …uhuy !!

Kemudian datanglah kawan Baridin, Gemblung bertamu ke rumah baridin.
Gemblung :
Din ? din ?…

Baridin :
Eeeh… gemblung, sudah lama kita tidak bertemu…dari mana saja blung ?

Gemblung :
Emangnya kenapa din ? dari tadi saya lihat cengar-cengir terus.

Baridin :
Kamu itu blung, kalo saya ibaratkan seperti ular maranin pentungan.

Gemblung :
Maksudnya apa ?

Baridin :
Maksudnya, kebetulan sekali. Sekalian undangan, saya mau kawin ! kawin !

Gemblung :
Syukur kalo mau kawin…. Tapi kawin sama siapa din ?

Baridin :
Ah gak ah… takut kamu ngiri

Gemblung :
Alaah !! Paling kamu kawin sama markonah !

Baridin :
Uuuu… markonah mah budheg blung

Gemblung :
Ah ! paling sama saritem ya?!

Baridin :
Saritem anake wong adol srabi ?

Gemblung :
Iyaaa !

Baridin :
Heee .. bukan blung. Kamu mau tahu ? Tapi ada syaratnya, kamu jangan ngirin ya..

Gemblung :
Iyaa..

Baridin :
Yang jadi calon pengantinnya baridin…ayune ..ayu. sugihe.. sugih. Namanya Suratminah Blung.

Gemblung ;
Suratminah ?! Apa saya gak salah dwengar ? Suratminah anaknya bapak dam yang kaya raya itu ?! apa kamu gak ngaca! Ngaca ! coba ngaca !

Baridin :
o-o-o-o… gemblung kliru. Hei blung, orang yang mencuri boleh kamu salahkan, orang yang membunuh boleh kamu salahkan. Tapi orang yang jatuh cinta jangan sekali-kali kamu menyalahkannya, kadang-kadang ada suami istri yang laki-lakinya muda, perempuannya sudah tua. Kadang-kadang ada suami istri laki-lakinya mlarat perempuannya kaya raya.

Gemblung :
Kalo saya terserah kamu saja, sebagai teman saya bahagia kalo lihat teman bahagia.

Baridin :
Terima kasih blung.

Gemblung :
Eh .. din saya pulang dulu ya..

Baridin :
Tapi jangan lupa kamu sering-sering datang kesini, siapa tahu saya butuh tenagamu.

Gemblung :
Ya ya.. ya sudah saya pulang dulu…(gemblung keluar)

Kesenangan baridin tiba-tiba berhenti ketika mbok wangsih datang dengan menangis.
Baridin :
Lho?1 Mbok?! Aduuuh… ditunggu dari tadi pulang-pulang malah nangis ada apa mbok. Ini terong empat dibawa lagi. Aduuh… kenapa mbok ? ngomong ?! Ngomong?!

Mbok Wangsih :
Ini gara-gara kamu din…

Baridin :
Iya ! kenapa ? ngomong ! ngomong !

Mbok Wangsih :
Lamarannya di tolak….

Baridin :
Lamarannya ditolak ?

Mbok wangsih :
Iya din.. malahan mbok di hina habis-habisan… dari pertama mbok sudah katakana, kamu terlalu muluk din.. tapi kamu tetap memaksa. Mbok diperlakukan seperti binatang. Sakit hati mbok din.. sampai kapan kamu menyusahkan mbok din ?

Baridin :
Maafkan baridin mbok… Baridin memang tidak berguna

Mbok Wangsih :
Bosan mbok dengar ucapan itu din ! kamu memang tidak berguna. Bisanya hanya menyakiti mbok! Kamu tahu din…saat ditolak mbok diusir seperti binatang, disiram air, bahkan meludaho muka embok !

Baridin :
Ratminah meludahi muka embok ?! biar kutampar mulutnya mbok !!

Mbok Wangsih :
Suada din ! Percuma ! Sudah cukup kamu menyusahkan embok ! mBok piker daripada kamu terus-terusan menusahkan embok, lebih baik kamu pergi dari rumah ini din..

Baridin :
Mbok….

Mbok Wangsih :
.Mbok cukup menderita dengan kelakuanmu

Baridin :
Mbok…

Mbok Wangsih :
Pergi din ! Pergi ! sebelum mbok memaksamu !

Baridin :
Baiklah mbok, baridin menerima keputusan ini… baridin minta maaf belum bisa membalas jerih payah mbok… baridin berjanji tak akan pulang sebelum membalas sakit hati mbok.

Mbok Wangsih :
Sudah ! cukup ! pergi sana Din ! pergi !

Baridin :
Tega mbok ?…

Mbok Waqngsih :
Tega ..

Baridin :
Mbok…

Bridin pergi dan mbok wangsih tak sanggup menyaksikan kepergian anaknya.

Babak 6

Setting panggung disebuah jembatan dekan pasar. Tampak baridin duduk melamun dekat jembatan, kemudian datanglah kawan baridin , gemblung menemuinya.

Gemblung :
e-e-e-e… dicari kemana-mana ternyata ada disini rupanya. Hei din !

Baridin ;
Huh ! Gemblung ! sana-sana blung ! Baridin lagi selon nih !!

Gemblung :
Ngapain kamu di sini ? ayo pulang ! ayo pulang !
Baridin :
Tidak Blung ! Baridin anak yang tidak berguna ! Sampai mbok Wangsih ega ngusir saya !

Gemblung :
He dengarkan ! Sekarang Mbok Wangsih sudar sadar. Malah saya disuruh mbokmu ngajak kamu pulang. Ayo Pulang ! Pulang !

Baridin :
Tidak blung ! Hidup Baridin sudah tidak berarti ! Hidup hanya jadi hinaan suratminah ! sudah lamrannya ditolah Bapak Dam, suratminah blung, suratminah meludahi Mbok Wangsih !!

Gemblung :
Surat minah meludahi mbok wangsih ?! Kurang ajar suratminah !!

Baridin :
Di caci maki, diusir, sakiit hati ini blng !! sudah hidup miskin jadi hinaan orang, lebih baik baridin mati saja !! (mau melompat dari jembatan ).

Gemblung :
Hei jangan ! Jangan !! kalau baridin mati gemblung siapa temannya.! Ayo pulang !

Baridin :
Tidak ! Baridin tidak akan pulang sebelum mambalas sakit hati mbok wangsih !

Gemblung :
Baiklah kalo mau kamu begitu…

Gemblung ragu meninggalkan Baridin, tiba-tiba gemblung ada sesuatu.
Gemblung :
Hei din ! sini ! sini ! kamu tahu gak kalo aku mendapat warisan ? (berbisik)

Baridin :
Huu!! Kita itu sudah berteman sejak lama blung! dari kecil sampai sekarang,saya tahu waktu bapak kamu mati ketabrak kereta, krieg ! Lalu ibu kamu mati di sambar petir, jgerr ! Bahkan mayatnya diinjak-injak jagir kerbau saya. Trus waktu geger dikelurahan soal warisan, warisan apa ?! warisan cowek bolong ! Warisan cowek bolong diomong-omong !!

Gemblung :
Hei din ! Ini bukan warisan harta. Bukan warisan cowek bolong. Tapi warisan do’a !

Baridin ;
Do’a blung ?

Gemblung :
Iya, do’a bukan sembarang do’a…. do’a aji kemat jaran goyang.. (berbisik)

Baridin :
Jangan macem-macem kamu blung !! Kalo mau bohong sana sama orang lewat !! Jangan sama teman !!

Gemblung :
e-e-e-… tidak macem-macem ini din! Mau bukti ? ini..ini ini din, selalu saya bawa terus. Ini kalo tidak percaya (sebuah kertas lapuk diberikan kepada Baridin)

Baridin :
Ajian …kemat…jaran ..guyang.. tulisannya jawa kuno ya blung..kertasnya sudah lapuk lagi..

Gemblung :
Bagaimana percaya tidak ?

Baridin :
Percaya ! Percaya !

Gemblung :
Kamu mau tahu caranya ? (kemudian gemblung berpikir sebentar ) tapi.. ini berbahaya din..berbahaya ! lebih baik jangan ya !! Jangan !

Baridin :
Eh ! eh ! demi membalas sakit hati mbok wangsih, saya terima resikonya !

Gemblung :
Ngggg….. baiklah maumu begitu. Begini din, kamu harus puasa 40 hari dan ini di baca tengah malam pas jam 12 tepat.

Baridin :
Boleh saya membacanya ? arepan ..ma..ca… ke..mat jaran…gu…yang….

Babak 7

Setting panggung disebuah teras rumah Bapak dam. Tamapak bapak dam bingung memikirkan jodoh anaknya.

Bapak Dam :
Aduuuh… jodoh suratminah apa sudah dekat apa masih jauh ya ? Semua lamaran ditolak.

Ratminah keluar.
Ratminah :
Bapak…

Bapak Dam :
Hei sini-sini.. bapak mau ngomong pemuda yang kamu cari itu seperti apa sih ?

Ratminah :
Iiih …bapak soal itu aja.. wong ratminah belum ada niat kok..

Bapak Dam :
Kamu kan sudah besar, sudah waktunya berumah tangga. Wajarkan bapak tanya itu ?

Ratminah :
Iya benar, ratminah juga ngerti. Begini deh pak, ratminah tahu selera bapak, ya pak ya ?

Tiba-tiba ada suara tokek.
Bapak Dam :
Suara tokek nok ! Nasib baik datang..

Ratminah :
Di hitung pak.

Bapak Dam :
(tokek) …Rejeki (tokek)…. Blai (tokek)…. Rejeki (tokek)….. Blai…

Rayminah :
Kok blai pak.. mestinya dihitung dari blai dulu pak.

Bapak Dam :
Oh ya ya… mungkin besok ada..

Tiba-tiba suara tokek muncul lagi.
Bapak dam :
Nah itu tokek lagi nok !…

Ratminah :
Dihitung dari blai pak ..

Bapak Dam :
Ya ya… (tokek)….. Blai… rejek….. lho ! Tekek kurang ajar ! Njaluk sogok ! Ning ndi iki ya …

Kemudian ada suara-suara orang ronda malam.
Bapak dam :
Kok sudah ada orang ronda ya..?

Ratminah :
Sudah malam pak

Bapak Dam :
Yo wis, bapak masuk istirahat dulu. Jangan lupa kunci jendela sama pintu.

Ratminah :
Iya pak..

Bapak dam kemudian masuk, suratminah yang masih ada diluar tiba-tiba merasa suasana menjadi menyeramkan. Ratminah ketakutan dan segera masuk kedalam.

Dipanggung digambarkan siluet ratminah yang masuk kekamarnya dan tidur. Kemudian terdengar suara seseorang yang membacakan mantra..
“niat ingsun arepan maca kemat jaran guyang…dudu ngemat-ngemat tangga..dudu ngemat wong liwat dalan…sing tak kemat anakke bapak dam kang aran suratminah… kang demen drajad desa milangkori..sing lagi turu gageh nglilira..yen wis nglilir gageh jagonga.. yen wis jagong gageh ngadeka…yen wis ngadek mblayua..mbrenginginga..kaya’ jaran… teka welas ..teka asih.. atine suratminah welas asih.. ning badan ingsun…”

Babak 8

Setting diteras rumah Bpak dam, suasana pagi hari. Bapak dam keluar ke depak teras.

Bapak dam :
Nok !! Bangun nok !! Ratminah bangun !! sekolah !! Ayoo bangun ! bangun!! sekolah !!

Kemudian ratminah keluar dengan agak sempoyongan.
Bapak Dam :
He sudah siang ! Ayo adus ! sekolah !

Ratminah :
Emoh bapak !

Bapak Dam :
Emoh ! emoh ! kena apa Sekolah emoh ?!

Suratminah :
Emoh bapak…

Bapak dam :
Yo wis adus..adus..sudah siang..

Ratminah :
Emoh bapak..

Bapak dam :
Sekolah emoh ! adus emoh ! kena apa rat ? … yowis gawekno bapak wedang… wedang..

Ratminah :
Wedang bapak ?…

Bapak Dam :
Iyaa..wedang.. nok !

Kemudiasn suratminah masuk.
Bapak Dam :
Heh ! ana apa ya ? macem-macem… sekolah gak mau adus gak mau…

Kemudian suratminah masuk bawa golok.
Suratminah :
Ini bapak…

Bapak Dam :
Heh !! wedang nok !! wedang!! Kenapa dibawakan golok !! budheg ya ?! wedang sama golok beda ! wedang-golok ! Wedang – golok ! beda jauh !…

Ratminah :
Wedang bapak..

Bapak dam :
Ya ! Wedang !

Kemudian Ratminah masuk lagi.
Bapak dam :
Aduuuh ! ana apa ya… ratmianah..ratminah…apa sakit ?..

Kemudian ratminah keluar lagi dan semakain sempoyongan, tidak sadar kakinya terantuk kursi dan terjatuh sambil latah menyebut nama seseorang.

Ratminah :
Kang Baridin !! Kang Baridin !!!

Bapak Dam :
Heh nok !! Nyebut ! Nyebut ! ada apa nok !! Kang baridin sapa ?!!

Ratminah :
Kang baridin pak…. Kang baridin lagi wluku pak..

Bapak Dam :
Heh nok ! kang baridin sapa ! lagi ngluku di sawah sapa ?!! heh !! Nok eling nok !! eling !!

Ratminah :
Kang baridin pak.. ayo pak nyusul kang baridin..kang baridin lagi di sawah pak…

Bapak Dam :
Nook…eling nook..eliiiing…

Ratminah :
Kang Baridiiiiinnn!!!….

Ratminah berlari keluar rumah dikejar oleh Bapak Dam.

Babak 9

Disebuah jalan desa tampak Gemblung seorang diri sedang mencari temannya baridin.

Gemblung :
Aduuh… baridin ini kemana ya ? dicari berhari-hari.. kok tidak kelihatan.. heh macem-macem.. kemana anak itu…Berhasil apa tidak ya ? tapi Baridin kemana ? saya jadi pengen tahu..

Tanpa sepengetahuan Gemblung muncul Suratminah yang sudah gila memegang tangan gemblung.
Suratminah :
Nah ! ini kang baridinnya !! Ayo kawing kang..

Gemblung :
Heh ! Orang gila ! mask kawin sama orang gila !
Suratminah :
Ayo kang baridin kawin.. lho ! kang baridin nya kok jelak ?

Gembleng :
Huuu !! enak saja ! dasar orang gila ! (kemudian gemblung sadar siapa yang sedang gila ) eh ..ini ratminah… waah.. ratmianah sudah gila..berarti baridin sudah berhasil..

Suratmianah :
Ayo kang kawin … kang baridin ..hik hik hik..

Gemblung :
Ratminah gila !! Ratminah gilaaaa !!

Gemblung lari dari pegangan suratminah.

Babak 10

Setting di sebuah jembatan tampak baridin, berdiri merenung, kemudian tiba-tiba Gemblung datang mendekati baridin.

Gemblung :
Din ! Hei Din ! (terengah-engah ) Bagaimana hebat tidak ?

Baridin :
Hebat apaan ?

Gemblung :
Yaa aji kemat jaran goyang itu.. bagaimana?

Baridin :
Kamu ngomong apa blung ?

Gemblung :
Kemarin saya lihat ratminah sudah gila

Baridin :
Yang bener kamu blung ?

Gemblung :
Bener din. Ratminah gila karena ajian kemat jaran guyang itu.

Baridin :
Saya tidak percaya.. kalo ratminah sudah gila, sebelum lihat dengan mata kepala saya sendiri

Gemblung :
Lho ini bener din

Baridin ;
kamu pasti bohong….

Gemblung :
Huuu !! dikasih tahu bener-bener malah nuduh saya bohong ! kepret siah !!

Tanpa diketahui Baridin ratmianah berjalan kearahnya. Kemudian baridin menyadari siapa yang datang. Dia tampak kaget ternyata yang datang adalah suratminah yang telah menjadi gila.

Suratminah :
Kang… ayo kawin kang..kang baridin… ayo..ayoo kawin kang.. kang baridin jadi kamajaya-nya, ratmianh jadi dewi kamaratih-nya .. ya kang.. ayo kang kawin…

Baridin yang sudah lemah karena mengamalkan ajian jaran goyang itu dan ratminah yang gila, tak bisa menguasai kesimbangan tubuhnya, dan kemudian mereka terjatuh.
Ratminah :
Kang !

Baridin :
Apa rat ? kawin ? ratminah ! ratminah ! gak pantas Ratminah kawin sama baridin. Baridin anake mbok wangsih ! wong ora duwe ! celanane tambalan ! wong gowo wluku ! Tidak Rat ! kamu kan sudah bilang, orang yang suka sama kamu itu wong gedeanm wong sugihan, wong nggowo motor ! mobil ! sepur ! Kapal ! kenapa kamu ngejar-ngejar saya ?!

Suratminah semakin lemah.
Suratminah :
Kaaang… ratminah sudah gak kuat kaang…kang baridiin..

Baridin menyadari sesuatu
Baridin :
Wah.. ini pasti akibat ajian jaran guying, ratminah sudah gila. Ratminah ! Ratminah ! Masak baridain kawin sama orang gila ! Baridin malu sama tetangga ! Bagaimana denganteman-teman baridin ? mereka pasti bilang, hoi ! baridin kawin sama ratminah anaknya bapak dam perempuan gila ! Ratminah ! ratminah ! perempuan gila itu kawinnya sama laki-laki gila !

Ratminah yang semakin lemah kemudian terjatuh dan mati menabrak dan di tangkap bariadin. Baridin menjadi bingung dan semakin kalut dibuatnya.
Ratminah :
Kaaang !!!….

Baridin :
Rat….. ratminah !!…. Ratminah!!..rat !!!….

Baridin yang juga lemah semakin kalut dan tak bisa mgatasi kelemahan fisik dan psikoliginya, sehingga dia mati didekat suratminah sambil mnyebut gemblung dan ajian jaran guying.

Baridin :
Blung !! Gemblung !! Ajian kemat Jaran Goyang Bluuung !!!!!!……….

Baridin dan suratminah telah mati. Tanpa disangka Gemblung kembali ketempat itu dan terkaget melihat kenyataan atas kedua anak manusia itu. Dia mencoba bangunkan baridin.

Gemblung :
Din ! din ! ( Baridin tidak terbangun )Ini….ini…. ini pasti akibat ajian kemat jaran goyang !!!

Takut akan terjadi sesuatu Gemblung lari meninggalkan mayat keduanya.

Selesai…….. !!!

A Musthafa A Rodhi Murtadho A Wahyu Kristianto A. Mustofa Bisri A. Qorib Hidayatullah A. Zakky Zulhazmi A.J. Susmana A.S. Laksana Aang Fatihul Islam Abdul Azis Sukarno Abdul Aziz Rasjid Abdul Hadi W. M. Abdul Kadir Ibrahim Abdul Malik Abdul Wachid BS Abdullah al-Mustofa Abdullah Khusairi Abdurrahman Wahid Abidah El Khalieqy Abimanyu Abimardha Kurniawan Abroorza A. Yusra Acep Iwan Saidi Acep Zamzam Noor Achmad Maulani Adek Alwi Adhi Pandoyo Adrian Ramdani Ady Amar Afrizal Malna Agnes Rita Sulistyawati Aguk Irawan Mn Agus R. Sarjono Agus Riadi Agus Subiyakto Agus Sulton Aguslia Hidayah Ahda Imran Ahm Soleh Ahmad Farid Tuasikal Ahmad Farid Yahya Ahmad Fatoni Ahmad Kekal Hamdani Ahmad Luthfi Ahmad Muchlish Amrin Ahmad Nurhasim Ahmad Sahidah Ahmad Syauqi Sumbawi Ahmad Yulden Erwin Ahmad Zaini Ahmadie Thaha Ahmadun Yosi Herfanda Ainur Rasyid AJ Susmana Ajip Rosidi Akhiriyati Sundari Akhmad Muhaimin Azzet Akhmad Sekhu Alan Woods Alex R. Nainggolan Alexander Aur Alexander G.B. Alfian Dippahatang Ali Audah Ali Rif’an Aliela Alimuddin Alit S. Rini Alunk Estohank Ami Herman Amich Alhumami Amien Wangsitalaja Aming Aminoedhin Aminudin TH Siregar Ammilya Rostika Sari An. Ismanto Anaz Andaru Ratnasari Andhi Setyo Wibowo Andhika Prayoga Andong Buku #3 Andrenaline Katarsis Andri Cahyadi Angela Anies Baswedan Anindita S Thayf Anjrah Lelono Broto Anton Kurnia Anton Sudibyo Anton Wahyudi Anwar Holid Anwar Siswadi Aprinus Salam Arie MP Tamba Arif Hidayat Arif Zulkifli Arti Bumi Intaran Asarpin Asep Sambodja Asvi Warman Adam Awalludin GD Mualif Ayu Utami Azyumardi Azra Babe Derwan Bagja Hidayat Balada Bandung Mawardi Bayu Agustari Adha Beni Setia Benni Setiawan Benny Benke Bentara Budaya Yogyakarta Berita Bernadette Lilia Nova Bernando J. Sujibto Berthold Damshäuser Bhakti Hariani Binhad Nurrohmat Bokor Hutasuhut Bonari Nabonenar Brunel University London Budaya Budhi Setyawan Budi Darma Budi Hutasuhut Budi P. Hatees Budi Winarto Buku Kritik Sastra Buldanul Khuri Bustan Basir Maras Camelia Mafaza Capres dan Cawapres 2019 Catatan Cecep Syamsul Hari Cerpen Chairil Anwar Chamim Kohari Choirul Rikzqa D. Dudu A.R D. Dudu AR D. Zawawi Imron Dahono Fitrianto Dahta Gautama Damanhuri Damar Juniarto Damhuri Muhammad Damiri Mahmud Dantje S Moeis Darju Prasetya Darma Putra Darman Moenir Darmanto Jatman Dedy Tri Riyadi Delvi Yandra Denny JA Denny Mizhar Dewi Anggraeni Dian Basuki Dian Hartati Dian Sukarno Dian Yanuardy Diana AV Sasa Dinar Rahayu Djenar Maesa Ayu Djoko Pitono Djoko Saryono Doddi Ahmad Fauji Dody Kristianto Donny Anggoro Donny Syofyan Dorothea Rosa Herliany Dwi Cipta Dwi Fitria Dwi Pranoto Dwi S. Wibowo Dwicipta Edeng Syamsul Ma’arif Edi Warsidi Edy Firmansyah EH Kartanegara Eka Alam Sari Eka Budianta Eka Kurniawan Eko Darmoko Ellyn Novellin Elnisya Mahendra Emha Ainun Nadjib Emil Amir Engkos Kosnadi Esai Esha Tegar Putra Evan Ys F. Budi Hardiman Fadly Rahman Fahmi Fahrudin Nasrulloh Faisal Kamandobat Fani Ayudea Fariz al-Nizar Faruk HT Fatah Anshori Fatah Yasin Noor Fatkhul Anas Fatkhul Aziz Felix K. Nesi Film Fitri Yani Franditya Utomo Fuska Sani Evani Gabriel Garcia Marquez Gandra Gupta Garna Raditya Gde Artawan Geger Riyanto Gendhotwukir George Soedarsono Esthu Gerakan Surah Buku (GSB) Goenawan Mohamad Grathia Pitaloka Gunawan Budi Susanto Gunawan Tri Atmojo H. Supriono Muslich H.B. Jassin Hadi Napster Halim H.D. Hamberan Syahbana Hamidah Abdurrachman Han Gagas Hardi Hamzah Haris del Hakim Haris Priyatna Hasan Aspahani Hasan Gauk Hasan Junus Hasnan Bachtiar Helvy Tiana Rosa Helwatin Najwa Hendra Junaedi Hendra Makmur Hendriyo Widi Ismanto Hepi Andi Bastoni Heri Latief Heri Listianto Herry Firyansyah Heru Untung Leksono Hikmat Darmawan Hilal Ahmad Hilyatul Auliya Holy Adib Hudan Hidayat Hudan Nur Husnun N Djuraid I Nyoman Suaka Ibnu Rizal Ibnu Rusydi Ibnu Wahyudi IGK Tribana Ignas Kleden Ignatius Haryanto Iksan Basoeky Ilenk Rembulan Ilham khoiri Imam Jazuli Imam Nawawi Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Iman Budi Santosa Imelda Imron Arlado Imron Tohari Indiar Manggara Indira Margareta Indra Darmawan Indra Tjahyadi Indra Tranggono Indrian Koto Ingki Rinaldi Insaf Albert Tarigan Intan Hs Isbedy Stiawan ZS Ismail Amin Ismi Wahid Ivan Haris Iwan Gunadi Jacob Sumardjo Jafar Fakhrurozi Jajang R Kawentar Janual Aidi Javed Paul Syatha Jean-Marie Gustave Le Clezio JJ. Kusni Joko Pinurbo Joko Sandur Joko Widodo Joni Ariadinata Jual Buku Paket Hemat Julika Hasanah Julizar Kasiri Jumari HS Junaidi Jusuf AN Kadir Ruslan Kartika Candra Kasnadi Katrin Bandel Kenedi Nurhan Ketut Yuliarsa KH. Ma'ruf Amin Khaerudin Khalil Zuhdy Lawna Kholilul Rohman Ahmad Komunitas Deo Gratias Komunitas Teater Sekolah Kabupaten Gresik (KOTA SEGER) Korrie Layun Rampan Krisandi Dewi Kritik Sastra Kucing Oren Kuswinarto Langgeng Widodo Lathifa Akmaliyah Latief S. Nugraha Leila S. Chudori Lenah Susianty Leon Agusta Lina Kelana Linda Sarmili Liston P. Siregar Liza Wahyuninto M Shoim Anwar M. Arman A.Z. M. Fadjroel Rachman M. Faizi M. Harya Ramdhoni M. Kasim M. Latief M. Wildan Habibi M. Yoesoef M.D. Atmaja Mahdi Idris Mahmud Jauhari Ali Mahwi Air Tawar Malkan Junaidi Maman S. Mahayana Mardi Luhung Marhalim Zaini Maria hartiningsih Maria Serenada Sinurat Mario F. Lawi Maroeli Simbolon S. Sn Marsus Banjarbarat Marwanto Mas Ruscitadewi Masdharmadji Mashuri Masriadi Mawar Kusuma Wulan Max Arifin Melani Budianta Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia Mezra E. Pellondou Micky Hidayat Mihar Harahap Misbahus Surur Moh Samsul Arifin Moh. Syafari Firdaus Mohamad Asrori Mulky Mohammad Afifuddin Mohammad Fadlul Rahman Muh Kholid A.S. Muh. Muhlisin Muhajir Arifin Muhamad Sulhanudin Muhammad Al-Fayyadl Muhammad Amin Muhammad Azka Fahriza Muhammad Rain Muhammad Subhan Muhammad Yasir Muhammad Zuriat Fadil Muhammadun A.S Muhidin M. Dahlan Musa Ismail Musfi Efrizal Mustafa Ismail Nafi’ah Al-Ma’rab Naskah Teater Nezar Patria Nina Setyawati Nirwan Ahmad Arsuka Nirwan Dewanto Noor H. Dee Noval Maliki Nunuy Nurhayati Nur Haryanto Nurani Soyomukti Nurel Javissyarqi Nurhadi BW Nurudin Octavio Paz Oliviaks Orasi Budaya Akhir Tahun 2018 Pablo Neruda Pamusuk Eneste Panda MT Siallagan Pandu Jakasurya PDS H.B. Jassin Philipus Parera Pradewi Tri Chatami Pramoedya Ananta Toer Pramono Pranita Dewi Pringadi AS Prosa Puisi Puisi Menolak Korupsi PuJa Puji Santosa Puput Amiranti N Purnawan Andra PUstaka puJAngga Putri Utami Putu Fajar Arcana Putu Wijaya Qaris Tajudin R Sutandya Yudha Khaidar R. Sugiarti R. Timur Budi Raja R.N. Bayu Aji Rachmad Djoko Pradopo Radhar Panca Dahana Rahmadi Usman Rahmat Sudirman Rahmat Sularso Nh Rahmat Sutandya Yudhanto Raihul Fadjri Rainer Maria Rilke Raja Ali Haji Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Raudal Tanjung Banua Reiny Dwinanda Remy Sylado Resensi Revolusi Riadi Ngasiran Ribut Wijoto Ridha al Qadri Ridwan Munawwar Rikobidik Riri Riris K. Toha-Sarumpaet Risang Anom Pujayanto Rizky Andriati Pohan Robert Frost Robin Al Kautsar Robin Dos Santos Soares Rodli TL Rofiqi Hasan Rohman Budijanto Romi Febriyanto Saputro Rosihan Anwar RR Miranda Rudy Policarpus Rukardi S Yoga S. Jai S.I. Poeradisastra S.W. Teofani Sabam Siagian Sabrank Suparno Saiful Amin Ghofur Sainul Hermawan Sajak Sakinah Annisa Mariz Salamet Wahedi Salman Rusydie Anwar Samsudin Adlawi Sapardi Djoko Damono Sartika Dian Nuraini Sastra Sastra Gerilyawan Sastri Sunarti Satmoko Budi Santoso Saut Situmorang Sejarah Sekolah Literasi Gratis (SLG) SelaSastra SelaSastra ke #24 Selasih Seno Gumira Ajidarma Seno Joko Suyono Sergi Sutanto Shadiqin Sudirman Shiny.ane el’poesya Sidik Nugroho Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Simo Sungelebak Karanggeneng Lamongan Siti Sa’adah Sitok Srengenge Siwi Dwi Saputro Sjifa Amori Sofyan RH. Zaid Soni Farid Maulana Sony Prasetyotomo Sosiawan Leak Sri Wintala Achmad Sri Wulan Rujiati Mulyadi Subhan SD Suci Ayu Latifah Sulaiman Djaya Sulistiyo Suparno Sunaryo Broto Sunaryono Basuki Ks Sungatno Sunlie Thomas Alexander Sunudyantoro Suriali Andi Kustomo Suryadi Suryansyah Suryanto Sastroatmodjo Susi Ivvaty Susianna Susilowati Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Suwardi Endraswara Syaifuddin Gani Syaiful Bahri Syam Sdp Syarif Hidayatullah Tajuddin Noor Ganie Tammalele Tan Malaka Taufik Ikram Jamil Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat Teguh Trianton Tengsoe Tjahjono Th Pudjo Widijanto Thayeb Loh Angen Theresia Purbandini Tia Setiadi Tito Sianipar Tiya Hapitiawati Tjahjono Widarmanto Tjahjono Widijanto Toko Buku Murah PUstaka puJAngga Tosa Poetra Tri Joko Susilo Triyanto Triwikromo Tu-ngang Iskandar Udo Z. Karzi Uly Giznawati Umar Fauzi Umar Kayam Undri Uniawati Universitas Indonesia UU Hamidy Vyan Tashwirul Afkar W Haryanto W.S. Rendra Wahyudin Wannofri Samry Warung Boenga Ketjil Waskiti G Sasongko Wawan Eko Yulianto Wawancara Web Warouw Wijang Wharek Wiko Antoni Wina Bojonegoro Wira Apri Pratiwi Wiratmo Soekito Wishnubroto Widarso Wiwik Hastuti Wiwik Hidayati Wong Wing King WS Rendra Xu Xi (Sussy Komala) Y. Thendra BP Y. Wibowo Yani Arifin Sholikin Yesi Devisa Yohanes Sehandi Yona Primadesi Yosi M. Giri Yusi Avianto Pareanom Yusri Fajar Yusrizal KW Yuval Noah Harari Yuyu AN Krisna Zaki Zubaidi Zalfeni Wimra Zawawi Se Zehan Zareez Zen Hae Zhaenal Fanani Zuarman Ahmad Zulfikar Akbar Zulhasril Nasir