Minggu, 27 Februari 2011

Kroni Hitler

Peresensi: Muhammad Amin
http://www.riaupos.com/
Penulis: Fernando R Srivanto
Penerbit: Narasi, Jogjakarta
Cetakan: Pertama, 2008
Tebal: 175 halaman

Mendengar nama Hitler tentu akan menimbulkan kesan tersendiri, kengerian. Ia adalah sosok penjagal kelas wahid selama perang dunia II. Tentu saja, selama melakukan aksi sadisnya secara massal, tidaklah kedua tangannya saja yang bekerja. Hitler memiliki organisasi dan perangkat yang membantunya dalam setiap langkahnya.

Dalam setiap kebijakannya, partai Nazi adalah salah satu kekuatan terbesar Hitler selain pasukan khususnya SS. Nazilah yang menjadi nyawa gerakan Hitler dan anak buahnya. Banyak sekali anggapan bahwa Nazi dikendalikan Hitler sepenuhnya dan anak buahnya mengikuti saja tanpa reserve. Kepemimpinan yang kuat dari Hitler menjadikannya seolah raja di raja yang tak terbantahkan dalam Partai Nazi.

Namun benarkah demikian? Faktanya ternyata tidak. Kejatuhan Hitler dan kekalahannya di banyak front perang dunia II tak lain karena adanya unsur pengkhianatan dari anak buahnya. Ada juga intrik dan balas dendam dari anak buah dalam internal Nazi sendiri. Hitler memang sempat mengendus adanya pengkhianatan itu. Menjelang kekalahannya dalam berbagai front perang, Hitler sempat ‘’dihadiahi’’ bom yang diletakkan di tempat duduknya. Ia sendiri lolos dari serangan maut itu. Namun dalam keadaan terluka, Hitler masih sempat meretaskan amarahnya. Kendati sudah terlambat, namun Hitler masih sempat menindak pengkhianat itu, membabat habis kekuatannya.

Buku Gang of Nazi ini mengisahkan tentang 12 orang terdekat Hitler yang berperan besar di Nazi. Namun selain berperan dalam membesarkan Nazi, mereka juga berperan dalam pengeroposan partai. Ternyata, di balik loyalitas, intelektualitas, profesionalisme yang mereka tunjukkan, terselip beban psikologis yang cukup mendalam. Ada juga intrik politik dan saling berebut pengaruh di kalangan loyalis dan orang-orang terdekat Hitler. Tujuannya tak lain untuk menarik hati Hitler, atau justru takut dihukum.

Buku ini mengupas 12 tokoh di seputar Hitler tersebut. Sebenarnya terdapat banyak sekali tokoh-tokoh Nazi yang menopang kejayaan Hitler. Namun 12 orang itu dipandang cukup representatif untuk mewakili. Di sana ada Rudolf Hess yang diam-diam menyusup ke Inggris pada tahun 1941 untuk mengajukan tawaran damai.

Ada juga Ernst Rohm, pimpinan pasukan SA yang ternyata homo, lalu dihukum mati. Tokoh yang cukup kontroversial adalah Reinhard Heyrich, yang berjuluk si Jagal dari Praha. Ia dikabarkan keturunan Yahudi, bangsa yang paling dibenci Hitler, yang tentu bertentangan dengan semangat Nazi sebagai musuh nomor wahid Yahudi. Salah satu orang terdekat Hitler, Herman Goring ternyata pecandu morfin. Ada juga orator ulung Josseph Goebbels yang juga kepercayaan Hitler sejak lama.

Selain nama-nama itu, buku ini juga memaparkan orang-orang dekat Hitler lainnya seperti Martin Bormann, Alfred Rosenberg, Heinrich Himmler, Albert Speer, Joachim Von Ribbentrop, Julius Streicher, dan Ernst Kaltenbrunner. Kebanyakan mereka berkiprah bersama Hitler sejak kebangkitan gerakan Nazi. Namun ada juga yang mencul belakangan dan langsung mampu dekat dengan diktator itu.

Masing-masing orang terdekat Hitler ini memiliki sisi menariknya. Buku ini memaparkan satu persatu kehidupan 12 orang terdekat Hitler ini. Ungkapannya tak jauh dari bagaimana orang-orang ini bertemu dan bekerja sama dengan Hitler, latar belakang kehidupan mereka, loyalitas mereka, atau mungkin pengkhianatan yang mereka lakukan.

Buku ini merupakan bacaan penting bagi penggemar kisah Perang Eropa, terutama yang berkaitan dengan petualangan Hitler. Bahasanya yang lugas menjadikan buku ini lebih menarik dan enak dibaca.***

Jumat, 25 Februari 2011

EMPUKU, PEREMPUANKU

M.D. Atmaja
http://sastra-indonesia.com/

Dituliskan untuk Soviana D. Saputri Atmaja dan Almarhum Eka Kartikakunang Atmaja (Eka Kartikawanti, 28 April 1985 – 27 Mei 2006)

Pengantar

Persembahan di atas, mungkin terkesan membenjol dalam kejanggalan yang tidak logis. Saya secara pribadi menyarankan untuk tidak perlu dihiraukan. Akantetapi, kalau saya boleh menyarankan kembali, sebelum membaca tulisan ini sampai tuntas, saya mengajak hadirin pembaca untuk sejenak melepaskan ego sebagai lelaki dan (atau) ego sebagai pribadi perempuan. Dalam khasanah ini, hendaknya kita berdiri sebagai manusia yang telah melepaskan kepentingan gender dan bersama-sama mengenang perempuan yang kita kasih dan cintai. Bolehlah, mereka adalah sosok kekasih, kawan dekat (yang biasa maupun tidak biasa), adik atau kakak perempuan, bahkan (lebih disarankan) mengenang seorang ibu.

Membaca Kitab Para Malaikat

Tulisan ini, keseluruhannya akan berbicara menyoal perempuan. Dari senyuman yang manis yang biasanya membuat kita (lelaki) mabuk kepayang sampai mbesengut-nya yang terasa panas bagai Banaspati. Dua hal itu dapat sama-sama berefek mematikan. Tulisan ini hanya sebatas pada studi tukar pengalaman atas analisis Puisi (baca: surat) Membuka Raga Padmi dalam antologi puisi Kitab Para Malaikat (KPM) karya Nurel Javissyarqi (NJ).

Saya membacai dan sengaja membuat judul baru sebagai bentuk baru dalam rangka proses menafsir. Judul yang saya angkat yaitu Empuku, Perempuanku sekedar sebagai niatan baik untuk menterjemahkan judul Membuka Raga Padmi yang terkesan misterius. Berawal dari niatan itu juga, saya berani mengangkat kepala dengan judul milik saya sendiri, perempuan yang bisa dipecah dari asal kata empu yang menjadi per-empuan. Empu, seorang pembuat keris atau benda pusaka lainnya yang biasanya memiliki karakter sebagai seorang Wiku.

Perempuan, khasanah klasik bagi para lelaki. Ia layaknya tumpukan kitab lama yang teramat sulit untuk dibaca, pun diterjemah. Ketika kita mencoba menguraikan makna, justru akan menciptakan misteri baru. Teka-teki yang tidak mudah dijawab karena melahirkan teka-teki baru. Menjadikan kita (lelaki) memandang tanpa tenaga dalam kekosongan hati. Keadaan yang serba sulit ini, menjepit saya karena hanya sedikit sekali memiliki pengalaman tentang perempuan. Tapi, keberuntungan memang selalu berpihak, seluruh penulisan ini hasil penggoresan dari Nyai Kelopak Kunang yang telah dititipkan untuk saya dalam tulus cinta. Ruh dan jiwa si empu Kelopak Kunang menemani saya dalam mengurai dan meracik kembali tumpukan simbol (KPM karya NJ). Selain itu, ada juga sebilah Nyai Arkamaya yang setiap titian waktu menyuguhi dengan kehangatan kasih akan tulusnya perjuangan dan pengabdian. Kemudian, ada Nyai My Sweet Appel yang menemani proses penelusuran, serta Nyai Sekar Sinelir yang mengingatkan akan darah penghianatan (Nyai Sekar Sinelir ini yang sebentar lagi akan dilabuh). Baik Nyai Kelopak Kunang, Nyai Arkamaya, Nyai My Sweet Appel, dan Nyai Sekar Sinelir adalah aran (nama) pusaka yang disepuhkan oleh mereka per-empu-an serta Kyai Tirtamarta yang sudah sembilan tahun menemani dalam harapan menggapai mimpi menjadi pujangga dan Kyai Dhimas Alit yang kini mengabdi pada seorang perempuan.

Melepaskan obrolan pribadi, saya akan mencoba untuk memulai menumbuk bahan dan membuat racikannya untuk dapat melarutkan ke dalam air dan meneguk makna atas pengalaman dari Surat Membuka Raga Padmi (I : I-XCIII) dalam Kitab Para Malaikat karya Nurel Javissyarqi, dan saya pun memulai.

Hal mendasar yang akan saya lakukan untuk mengurai surat penjang ini, saya akan mendahului untuk mengunyah makna istilah Padmi. Pun, hal ini juga dimunculkan NJ di ayat yang pertama:

Ketika dunia berupa kabut pekat, siapa berkata?,
manakala embun belum terlahir, siapa menggapai?,
di saat sejarah belum tercatat, siapa berbicara kata?,
wewaktu masih berupa potongan-potongan cahaya,
siapa yang dahulu menempati lautan es cahaya? (I : I)

Ayat (bait puisi) di atas memang tidak mencoba mengajak pembaca untuk mengurai Padmi secara gamblang. Atau sekedar menanyakan pengertian akan Padmi, pun tidak. Akantetapi, lima baris pada ayat I ini dapat menjadi pembuka jalan untuk dapat menyusuri pemahaman akan Padmi yang dicatumkan sebagai perwakilan mengenai awal akan sesuatu hal. Lalu, apa yang sebenarnya di sebut Padmi itu? Padmi, istilah dalam bahasa Sansekerta yang berarti permaisuri. Istri dari seorang raja Jawa yang seringkali menjadi sandaran dalam pembuatan keputusan seorang raja, selain peran maha patih maupun para wiku. Sandaran (penasehat) dalam pengambilan keputusan ini biasanya terjadi dalam hubungan pribadi, ketika raja tidak sebagai raja dan permaisuri tidak sebagai permaisuri melainkan sebagai lelaki dan perempuan (ibu).

Raja-raja di tanah Jawa, kita mendapati mereka sebagai golongan berkuasa yang memiliki banyak perempuan. Namun, permaisuri tetap hanya satu, ia juga hadir sebagai seorang ibu dari semua rakyat di sebuah negeri. Keberadaan yang berperan sebagai Ibu untuk “ngemong” rakyat, pemerintahan, dan di dalamnya termasuk raja itu sendiri. Bagaimana tidak mengagumkan peran dari seorang perempuan seperti ini, yang mungkin saja dia (perempuan) adalah raja yang sebenarnya, seperti dalang yang memainkan lakon. Penguasa tunggal yang tidak disebut ini telah membuat gerakan para kesatria dan dewa berada di dalam genggamannya (maksudnya, seperti peran dalang dalam pewayangan).

Kita pasti pernah mendengar, bahwa raja-raja di tanah Jawa selain beristrikan perempuan dari golongan manusia, juga beristrikan golongan mahkluk ghaib (saya tidak bisa menentukan apakah setan, jin, atau iblis). Hadirnya istri ghaib, semisal Kanjeng Ratu Kidul sebagai salah satu permaisuri dapat dipandang dari berbagai macam sisi. Ratu Kidul (Nyai Roro Kidul) seringkali dipandang sebagai sosok mistis yang luhur dalam kehidupan masyarakat Jawa. Akantetapi, saya secara pribadi sebagai manusia Jawa, lebih senang menyebut Nyai Roro Kidul sebagai sosok simbolis dalam pengertian sempit dan luas. Makna simbol yang hadir bersamaan dengan mitos Nyai Roro Kidul memberikan pengertian yang kompleks mengenai posisi perempuan dalam kebudayaan Jawa. Apa benar, pendapat orang-orang di luar Jawa (pribadi masing lelaki) yang menganggap bahwa peran perempuan berada dalam segitiga setan (setan disini saya artikan sebagai politik) yang telah dikultuskan para lelaki (penguasa) untuk menempati posisi dapur-sumur-kasur?

Bagi saya, Tidak! Pengertian sempit dalam perjalanan simbol ini dapat dipandang sebagai jati diri perempuan itu sendiri, yaitu menyangkut sifat-sifat dan keberadaannya. Perempuan dinisbatkan (dan diumpamakan) dengan lautan. Lelaki sebagai manusia yang berdiri di pantai maknawi dalam rangka menyaksikan keindahan yang menggelora, sehingga dia terkagum-kagum dan jatuh cinta. Pantai yang indah, bergelombang yang kalau manusia (lelaki) tidak berhati-hati, maka akan tergulung dan mati. Dari pantai dan menjorok ke dalam, kita akan mendapati kedalaman yang menyimpan lebih banyak misteri. Di kedalaman itu juga melahirkan kebahagiaan dari hasil laut dan juga murka (amarah) dari badai yang terkandung. Raja menempati posisi ini, lelaki yang menghadapi pantai maknawi dan harus senantiasa berhati-hati dalam tiap langkah, sebab perempuan ikut menentukan laju pemerintahan negara.

Pengertian kedua, saya mencoba mengetengahkan mengenai penguasaan akan perempuan. Penguasaan (menjadikannya istri) secara gamblang menjelaskan mengenai kekuasaan dan perempuan (bisa jadi) merupakan simbol dari keberadaan rakyat (atau wilayah) di dalam negara. Kekuasaan menghadapkan individu pada perempuan cantik yang diwujudkan sebagai Nyai Roro Kidul yang tidak dapat ditolak oleh hawa nafsu (duniawi). Kekuasaan tidak hanya masalah pangkat seorang raja, akantetapi juga menyangkut hal-hal yang dikecapi hawa nafsu, yaitu segala macam kenikmatan. Jika kita menempatkannya dalam khasanah seorang raja, kekuasaan (nafsu tersebut) dapat diartikan sebagai perwakilan dari rakyat yang dengan menguasainya dapat mendatangkan kenikmatan. Baik rakyat, kekuasaan, maupun kesenangan (dan kenikmatan) lain diwujudkan dalam bentuk seorang perempuan yang dijadikan istri (padmi) dengan maksud menjaga diri dari murka perempuan demi menuju pada keselamatan.

Perwujudan simbolisasi ini dapat membantu kita dalam memberikan sedikit penggambaran mengenai peran Padmi (permaisuri yang dalam hal ini diterjemahkan sebagai istri/ ibu) di dalam kehidupan. Sekuat apa pun kita (manusia) hanya mampu menggendalikan hal-hal yang sifatnya badaniah namun teramat sulit merengkuh ruh. Bagaimana pun juga, perempuan telah dijadikan sebagai ruh di dalam dunia kehidupan. Tentang bagaimana sang Adam dijebloskan ke dunia, atau tentang bagaimana Ki Ageng Mangir ditaklukkan Pembayun (Mataharam) atau tentang bagaimana peran perempuan menaklukkan Sunan Giri sehingga tunduk pada Mataram.

Perempuan, bisa saja menjadi awal, pun bisa menjadi akhir. Toh, Kanjeng Nabi pun pernah berpesan kalau seindah-indahnya perhiasan dunia adalah istri (perempuan) yang sholehah. Saya kira, sholeh di sini melingkupi seluruh keberadaannya dengan keluhuran, entah itu batin (di dalamnya pikiran/ akal) atau lahir yang akhirnya terwujud dalam laku. Kita sebenarnya telah menyadari, hal yang diluar batin adalah hal yang sementara dan akan segera menjadi fana.

Perempuan, tentang Hakekat

Dalam perjalanan yang sedikit menanggung letih, secara sekilas saya telah menguraikan menyoal perempuan. Dalam endapan delta renungan, masih juga menyisakan perasaan gamang dan pertanyaan lain. Seperti saat kita berdiri di dalam keremangan sementara warna hitam lebih pekat, lalu di sana kita melihat bayangan yang berlalu cepat. Langsung hilang begitu mata kita mencoba mengamati dengan sadar setelah dimabukkan aroma. Tapi sebentar, bayangan itu bukan hantu melainkan diri kita sendiri yang mawujud ke dalam pandangan. Ini mungkin terlihat tidak nyata, namun NJ telah memberikan penekanan yang lebih nyata ketimbang kita bergulat dengan Nyai Roro Kidul. NJ menyatakan bahwa perempuan sebagai:

Wanita [yang] ditakdirkan [untuk] melahirkan anak-anaknya,
[untuk] menyusui anak lelaki dan perempuan (I : II)

Ayat II surat Membuka Raga Padmi ini terkesan sederhana setelah saya tambahi dalam penandaan kurung. Keserderhanaan yang ternyata telah berhasil menelikung saya. Awalnya memang terkesan biasa, perempuan (wanita) memang ditakdirkan sebagai mahkluk yang memiliki rahim untuk mengandung yang terhubung dengan vagina yang secara bentuk mendukung dalam proses kelahiran. Pernah, kita membayangkan kalau vagina, sebagai kelamin perempuan memiliki bentuk yang hampir sama dengan lelaki? Bagaimana seorang anak bisa keluar dari sana, meskipun dengan kelamin bulat panjang dan memiliki rahim?

Keadaan ini menjelaskan kalau perempuan sebagai mahkluk yang terpilih dengan seperangkat sistem (organ) yang menyertai kelahirannya. Perempuan telah diciptakan dengan sedemikian rupanya dengan menanggung pekerjaan yang bagi kita (manusia) pada umumnya, sebagai pekerjaan yang terkesan remeh-temeh. Perempuan tidak dilahirkan untuk menduduki posisi khalifah seperti posisi yang telah dijanjikan untuk kaum lelaki. Akantetapi, untuk melahirkan anak dan menyusui. Hal ini tekesan remeh, namun kita perlu mengenang kembali bahwa setiap kita, lelaki dan perempuan, pernah merasakan manisnya air susu perempuan (Ibu atau Padmi). Air susu yang diberikan perempuan menjadi makanan pertama dan satu-satunya bagi bibit-bibit kehidupan baru. Air susu ini (dan perempuan) diketika itu hadir sebagai rahmat atas suatu kehidupan. Sedari awal, bagaimana benih tumbuh di dalam rahim, mendapatkan makanan di dalam tubuh perempuan, sampai akhirnya setelah proses kelahiran, peran perempuan tidak berhenti di sana.

Melahirkan dan menyusui, mengingatkan saya pada siklus kehidupan yang lain. Menurut saudara sekalian, aspek hidup yang paling mendasar dari melahirkan dan menyusui ini apa? Di zaman modern, banyak perempuan-perempuan kita yang enggan untuk melahirkan dan menyusui untuk memilih sebagai wanita (perempuan karier). Enggan untuk melahirkan, mereka memilih dengan operasi, yang mungkin ini sebagai akibat dari perkembangan pengetahuan sekaligus pergeseran peradaban. Akantetapi, bukan masalah perkembangan pengetahuan ini yang ingin saya ungkapkan di sini, melainkan struktur pemikiran dari rantai kehidupan yang sudah berumur ribuan tahun, bersamaan dengan diciptakannya manusia.

Di dunia ini, apa yang secara hakekat memiliki sifat melahirkan dan menyusui? Kembali saya menegaskan pertanyaan ini. Keadaan ini tidak menyoal reproduksi manusia demi kelangsungan hidup, melainkan lebih pada nilai universal yang keberadaannya hadir sebagai inti dari kehidupan. Saya tidak menyebutkan kata: Tuhan, sebagai asal muasal kehidupan, tapi hanya sebatas pada senyawa yang ada di dalamnya.

Manusia Jawa (secara khusus) memiliki struktur simbol pemaknaan hidup yang berhubungan erat dengan dua hal ini, yakni melahirkan dan menyusui. Simbol pemaknaan yang mewujud dari struktur hidup. Melahirkan dan menyusui, aspek mendasar dan terpenting dari seorang ibu. Melahirkan, tidak hanya diungkapkan sebagai proses kelahiran seorang bayi, akantetapi di dalamnya terdapat nilai mengandung, pengamanan, pembentukan yang tergolong ke dalam penyimpanan di dalam. Penyimpanan ini, memuat pembenihan di dalam yang pada fase tertentu dimunculkan keluar diri sebagai kelahiran. Kehidupan baru tersebut tidak (belum) dapat berdiri sendiri, sehingga tahap menyusui memiliki sifat yang berkesinambungan dengan kelahiran. Menyusui, kegiatan transfer makanan yang sudah diolah di dalam tubuh seorang perempuan.

Masyarakat Jawa (mungkin) karena dua kegiatan penting seorang ibu yang hampir sama dengan unsur tanah (bumi) menemukan adanya keterkaitan peran. Ibu dan juga tanah, menyatu sebagai unsur simbolis dari kehidupan (asal muasal) itu sendiri. Tempat dimana kehidupan terkandung kemudian terlahir (tumbuh). Bumi sebagai ibu, merupakan bagian dari kepercayaan tradisional (Jawa). Bumi yang melahirkan dan menyusui adalah ibu, yang secara pribadi juga berperan sebagai istri atau padmi yang menumbuhkan kehidupan setelah lelaki yang disimbolkan angkasa menurunkan hujan. Kehidupan bersemi di bumi, karena itu setiap manusia memiliki unsur bumi (tanah) yang kuat di dalam dirinya.

Manusia diciptakan dari tanah, begitu Allah S.W.T. berfirman dalam Surat Shaad ayat 71. Tanah yang menjadi bahan dasar manusia berupa air mani, yaitu tanah yang bercampur dengan sifat air. Badan manusia memiliki sifat tanah, sedangkan ruh yang menghidupkan memiliki sifat ketuhanan. Bumi hakekatnya menjadi jasad (Purwadi dan Dwiyanto, 2005: 50). Dengan demikian, pandangan hidup tradisional mempercayai kalau setiap manusia memiliki sifat keperempuanan, yang sekaligus bahan dasar hidup manusia.

Dalam kondisi seperti ini, tidak cukup mengherankan kalau NJ melanjutkan surat Membuka Raga Padmi dengan:

Ia [perempuan sebagai] pembuka gerbang langit, ketika kitab waktu belum dipelajari (I : III).

Dia insan tertinggi di muka bumi,
karenanya kabut singkup mega lenyap wajah langit biru (I : IV)

perempuan, oleh NJ benar-benar dihargai sedemikian rupa. Apa yang NJ lakukan, maksud saya adalah penghormatan, melebihi masalah kesetaraan gender. NJ mengetengahkan sesuatu yang lain, melebihi teori perjuangan yang pernah ada. Tentu saja, penghargaan NJ pada perempuan melebihi R.A. Kartini dalam menghargai dan memperjuangkan perempuan. Penempatan simbol yang menyerahkan sebuah tanggung jawab yang berat untuk para (kaum) perempuan, saat kehadirannya sebagai: pembuka gerbang langit. Ungkapan ini mengejawantahkan suatu makna terdalam.

Menghayati dua ayat ini, justru membuat saya teringat pada seorang kawan, Muhammad Taufik Rahman, sewaktu dalam obrolan di angkringan Wijilan beberapa tahun silam. Kawan saya ini, mengungkapkan pemikirannya yang aneh, karena anehnya itu membuat saya mampu mengingat, menurutnya bahwa perempuan sebagai makhluk pertama yang menghuni dunia. Mereka pemimpin di dunia sebelum dunia kita sekarang. Dahulu, pada masa kehidupan tersebut, kehidupannya berciri matriarki, dimana perempuan menjadi pusat pemerintahan kosmos. Tuhan menguji mereka, yang kemudian dibinasakan karena sebab tertentu, kemudian perempuan menjadi makhluk berstatus nomor dua. Akantetapi, meskipun demikian, perempuan di dalam kehidupan ini mewarisi hak-hak istimewa yang dimiliki di dunia terdahulu.

Cerita ini memang sama sekali tidak mengungkapkan mengenai pembukaan gerbang langit seperti yang dikatakan NJ. Akantetapi mungkin saja, bisa memberikan sedikit penjelasan untuk kalimat selanjutnya: … ketika kitab waktu belum dipelajari. Kitab waktu dapat menjadi kunci untuk membuka pintu pemahaman yang lebih luas. Kitab ini dapat saja diterjemahkan sebagai perwakilan atas agama para Nabi Allah. Kitab mengenai saat (waktu) dibukanya ruang yang mana di sana manusia mampu mengetahui hakekat kehidupan yang berkisar antara perbuatan baik, perbuatan buruk, ganjaran, atau pun mengenai hukuman. Waktu, juga menyiratkan pada hari perhitungan yang kedatangannya pasti namun tersembunyi.

Lalu, bagaimana dengan “pembuka gerbang langit” tersebut? Bangunan simbol yang hampir saja tidak mampu saya mengerti. Ayat III surat Membuka Raga Padmi hampir membuat saya kehilangan napas. Namun saya tidak patah arang untuk terus berusaha mengurai simbol tersebut. Kini, hal yang paling nyata adalah dengan mengembalikan ke tanah sebagai asal-muasal manusia. Tanah yang saya maksudkan di sini adalah pulau Jawa dan pandangan hidupnya. Dalam Serat Centhini yang dikutib Zoetmulder (Beatty, 2001: 222) mengatakan bahwa jika kita “ingin menembus realitas, masuklah ke dalam simbol”. Nasehat ini memberikan saya harapan untuk terus menelusur, yang akhirnya membawa pertanyaan baru: simbol apa? Yah, tentu saja simbol perempuan (padmi) yang merupakan simbolisme mengenai suatu nilai.

Menetapkan keberadaan perempuan sebagai simbol bukan tanpa dasar. Dengan masih mengacu pada penelitian Beatty (2001: 224) yang mengarahkan saya untuk menetapkan perempuan sebagai simbol, yakni bahwa “seseorang tidak perlu keluar dari diri sendiri”. Perempuan sebagai simbol, di dalam struktur bangunan simbol Jawa yang bermedan makna mengenai kehidupan manusia. Pada khasanah yang lebih luas, perempuan sebagai bumi yang juga sebagai hakekat kehidupan seluruh makhluk.

Simbol perempuan dan bumi, mengingatkan saya pada cerita di ujung timur pulau Jawa. Pun, mengingatkan saya pada perjalanan cinta yang kini menjadi perjalanan pulang kampung ke Kota Pensiunan, Banjarnegara. Hal yang nantinya akan terdengar mengada-ada, meng-gothak-gathuk-kan dari satu sisi dengan sisi lainnya untuk memperoleh penjelasan. Kembali ke tanah di ujung timur pulau Jawa, di sana kita akan menemukan wilayah hutan wingit yang disebut dengan Alas Purwo.

Menurut hasil penelitian Beatty (2001: 291) dengan memahami tempat-tempat rahasia Alas Purwo sama halnya dengan memahami asal-usul manusia. Di tengah-tengah Alas Purwo terdapat Gua Kelelawar, di sanalah tersimpan hakekat asal-usul tersebut. Apabila Alas Purwo melambangkan rambut yang tumbuh di sekitar kemaluan, maka keberadaan Gua Kelelawar melambangkan kelamin perempuan (Vagina) yang menghubungkan dengan kedalaman asal-usul

Ujung timur pulau Jawa yang memiliki struktur simbol Alas Purwo dan Gua Kelelawar sebagai kelamin perempuan, itu berarti adanya pertautan dengan simbol lainnya, mengantarkan pada proses melahirkan dan menyusui yang kemudian menempatkan perempuan sebagai pembuka gerbang langit. Sebenarnya, melalui simbol Alas Purwos dan Gua Kelelawar kita sudah dapat menangkap makna mengenai hakekat perempuan. Dia menyimpan, sekaligus menjadi jalan pengetahuan mengenai asal-usul kehidupan. Asal usul ini seperti yang termuat dalam Serat Gaholoco (Anderson dalam Beatty, 2001: 291)

Dalam guaku ini
ada mata air tersembunyi
yang disebut “air rasa”
pada masa dahulu, perbendaharaan

Tuhan yang Maha Kuat
orang yang membasuh dirinya,
dengan air rasa ini
merasa nikmat tak terpermanai
melebihi semua di dunia.

Seringkali saya menyibukkan diri dengan gothak-gathuk ini. Mengolah rasa dan pikir agar dapat dengan akurat membidik. Di sini juga saya berniat memberanikan diri untuk mengatakan kalau tanah Jawa ini adalah seorang (tubuh) perempuan yang terlentang dalam ketelanjangan. Anggapan yang tidak pasti? Mungkin saja seperti itu, tapi marilah kita menyelidiki cerita perjalanan pulang dari Mangir (Bantul) menuju Banjarnegara. Di pertengahan jalan saat kita memasuki Kabupaten Wonosobo, pandangan akan menemui dua gunung yang hampir kembar bernama Sindoro dan Sumbing. Dua gunung yang hampir kembar ini mengingatkan saya akan suatu nilai yang lain.

Nah, kali ini kita mulai memiliki kesamaan alur pemikiran. Katakan dengan lantang, Sindoro dan Sumbing sebagai payudara (perempuan) dalam simbolisme menyusui. Gunung yang hampir kembar, keduanya nampak sama namun berbeda antara kanan dan kiri, begitu pun Sindoro dan Sumbing. Gunung juga menjadi jalan dalam pemuntahan saripati tanah (baca: kesuburan) untuk memberi penghidupan dari apa yang pernah dilahirkan. Begitu juga dalam pengejawantahan perempuan itu sendiri, kita dapat menemukan makna yang entah itu adalah sebagai bumi atau pun sebagai ibu. Dua bentuk simbol seperti ini, membawa pengertian mengenai hakekat kehidupan/. Gua Kelelawar (kelamin perempuan) di Alas Purwo, maupun Sindoro dan Sumbing (payudara) memeberikan deskripsi akan hakekat itu sendiri, bahwa manusia tidak bisa melepaskan diri dari tanah dan sekaligus dari perempuan.

Mungkin saja, kasus seperti ini yang mendasari NJ menyebut perempuan sebagai “insan tertinggi di muka bumi”. Ungkapan yang mungkin saja dapat menyakiti perasaan para lelaki, karena menisbatkan perempuan untuk menempati puncak kepemimpinan. Bagaimana pun juga, ada ungkapan bijak yang mengatakan seperti ini: Surga berada di bawah telapak kaki seorang ibu. Manusia yang menginginkan surga, karena posisinya di bawah kaki perempuan, maka dia harus menempatkan diri di bawah kaki ibunya. Selanjutnya mengajak kita untuk menuju dan (sekaligus) memasuki ladang pengabdian. Raja dan semua orang besar kalau dia tidak menjalani pengabdian ini, maka surga itu menjauh darinya.

Pengetahuan mengenai keberadaan surga yang terkadang kita lupakan sesungguhnya memiliki nilai spiritual yang tinggi. Perempuan, ternyata berdiri pada posisi yang mengagumkan. Saya meraba-raba sejenak, sambil mengenang seorang ibu, kekasih, dan sekaligus istriku. Benar-benar musti melepaskan ego sebagai lelaki untuk menghadapi hal ini, kalau di kaki ibu (padmi atau perempuan) ada indahnya surga, lalu apa yang ada di dada dan kepalanya? Mungkin saja di sana memancarkan keagungan akan kesejatian Tuhan.

Keagungan seorang perempuan membuatnya bermahkota di hadapan ala semesta, dan NJ menuliskannya demikian:

Doa ibu mencipta senyum menafaskan angkasa
bagaikan gelombang ke pantai berulang-ulang (I : V)

NJ kembali menghadirkan rangkaian simbol yang sederhana, tapi sekali lagi saya mengajak agar kita tidak terjebak atau sampai meremehkan struktur yang terbangun di ayat V ini. Rangkaian yang menghubungkan antara “Ibu” dan “angkasa” serta doa yang bergandengan dengan napas. Menurut saya, racikan yang mengandung estetika dan ritual mistis di dalamnya. Ibu dan Bapak (angkasa) dalam simbolisme Jawa memiliki posisi penting, menjadi satu sebagai Hidup. Doa yang mengawali dapat kita uraikan sebagai cinta, kebijaksanaan, dan tentu saja ketuhanan. Tiga aspek yang dilafalkan (doa) memungkinkan adanya kelangsungan hidup (menapaskan) yang terus menerus.

Adanya hubungan baik antara ibu dan angkasa dapat menjadikan dunia terus ada. Hubungan baik ini dapat menciptakan keadaan yang penuh kasih, ketaatan, kesholehan sehingga hari penghancuran itu diundurkan karena di dunia tidak ditemukan kejahatan. Kita sama-sama menyakini kalau kejahatan dapat mendatangkan murka Tuhan, kemudian lain halnya dengan cinta, kebijaksanaan dan laku ketuhanan mendatangkan kebaikan. Tiga laku dasar yang ada di dalam doa ibu (gerak perempuan) dapat mengukuhkan hati lelaki dan keturunannya untuk terus menapak di jalan yang lurus. Kita perlu mengingat dan memberi garis batas yang jelas, bahwa doa berbeda dengan bujuk-rayu. Perempuan yang berdoa mendatangkan kebaikan sedangkan perempuan yang penuh bujuk rayu mendatangkan malapetaka. Kita bisa melihat bagaimana hubungan antara Allah, Adam, Hawa, Setan, dan Buah Khuldi. Allah memerintahkan agar Adam-Hawa banyak-banyak memuji (berdoa) pada-Nya dan menjauhi (baca: makan) Buah Khuldi. Setan membujuk Hawa, kemudian Hawa membujuk Adam sampai akhirnya Adam-Hawa diturunkan ke dunia fana dengan telanjang dan terpisah.

Perempuan, Perhiasan Dunia

Seindah-indahnya perhiasan dunia adalah istri (perempuan) yang sholehah, begitu saya mencoba mengutip bebas pesan yang diwasiatkan Nabi SAW pada kita. Perempuan sebagai perhiasan, terkesan sepele dengan suatu nilai yang sungguh tidak penting di dalam tatanan kehidupan. Sebab, hanya sebagai perhiasan dalam fungsi yang tidak begitu dibutuhkan. Akantetapi, perhiasan akan menjadi teramat penting sebab kehadirannya mampu memberikan warna hidup. Perhiasan menjadikan hidup menjadi lebih indah, ceria, dan tentu saja lebih bermakna. Hiasan, semisal warna memberi nuansa hidup agar lebih hidup. Kita bisa membayangkan bagaimana kalau seandainya dunia tempat kita berpijak ini hanya satu warna saja. Maka hidup akan terasa kosong, dengan kata lain tidak ada kehidupan di sana.

Warna juga mampu memberikan kita bentuk mengenai segala yang nampak oleh pandangan, pun yang tidak nampak pandangan. Kehadiran perhiasan seperti ini, menampakkan sesuatu yang tanpa keberadaannya tersembunyi. Akantetapi, makna yang diterjemahkan menumbuhkan perhelatan misteri yang baru. Seperti ayat VI dan VII surat Membuka Raga Padmi di bawah ini:

Perawan cantik sejagad keturunan Hawa, kepadanya cahaya memancar
dan setiap lelaki yang dicintai, niscaya bermahkotakan raja (I : VI)

Menjadikan awan kerudung baginya,
lalu kegundahan menderas bagi menertawai (I : VII)

Kedua ayat di atas memberikan gambaran atas posisi akan perhiasan. Takdir yang sudah disematkan pada perempuan dalam babak ini sebagai perhiasan, seperti cahaya itu sendiri. Menampakkan dalam terang yang akhirnya memunculkan warna serta bentuk-bentuk. Dunia menjadi indah dalam bentuk dan warna tersebut. Aspek mendasar adalah warna (yang ada melalui cahaya) yang membuat dunia indah karena perhiasan. Sampai, perhiasan itu hadir sebagai mahkota raja, simbol mengenai kekuasaan akan hidup.

Apabila kekuasaan itu tertutupi, menjadikan keadaan yang meragukan. Awan di sini dapat mewakili suatu sikap, perhiasan yang baik dengan demikian mengisyaratkan keadaan perilaku (esensial) yang baik pula. Perempuan yang mampu berperan sebagai empu yang sebenarnya, tidak sekedar tumpukan (hati) besi, mata (berlian), (wajah dan tubuh) emas, maupun (senyuman) intan permata. Jauh dari sekedar aspek material pembangunnya, seorang empu mengandungi esensi yang dapat menyelaraskan hidup dan sekaligus memaknainya. Kaum Adam, dipesankan NJ agar cermat dalam memilih dan menempatkan perhiasan agar tidak sakit dalam perjalanan hidup.

Begitu singkat keperjakaan memaknai sang gadis, maka melangkahlah
mengikuti harum kanthil menuju taman-taman jauh di sana (I : VIII)

Jangan paksa memegang sayap kekupu,
nanti meronta tinggalkan bekas luka, tangkaplah lewat pandangan saja
lantaran dirinya telah memahami semerbak angin di udara (I : IX)

kehati-hatian ini yang semestinya membawa kita untuk meresapi “kanthil” yang dapat dipandang sebagai buah laku (batin) dari seorang perempuan. Akantetapi, keturunan Adam, menurut NJ hanya sekedar melihat bentuk lahir tanpa mempertimbangkanaspek batin perempuan, yang sebenarnya menjadi dasar dari suatu perjalanan hidup yang sudah dan akan ditempuh. Kebanyakan dari kita (lelaki) lebih senang menilai perempuan dari segi lahiriyah, berbatas pada material pembangunnya, hakekat seorang perempuan dikesampingkan begitu saja. NJ melalui KPM menyarankan agar lelaki lebih berhati-hati untuk sabar mencermati nilai yang lebih esensial yang olehnya (NJ) disimbolkan melalui bunga kanthil. Penisbatan perempuan pada bunga Kanthil dipandang cukup berdasar mengingat adanya nilai kemanunggalan yang tersembunyi dan memancarkan cahaya harum. Tersembunyi dan harum yang manunggal (wingit), itu lah perempuan.

Nilai yang bersemayam di dalamnya tidak dapat dikuasai oleh kaum Adam dengan paksaan, semisalnya peperangan. Pemaksaan terkadang hanya mampu menguasai wilayah (tubuh). Perempuan yang hatinya masih bebas dari pijakan dapat melangkah pergi. Walau tubuhnya telah dikuasai, hatinya dapat dimiliki oleh orang lain atau barangkali akan tetap merdeka. Dalam epos Mahabarata, kita bisa melihat bagaimana Rahwana menculik Dewi Shinta, namun hati sang Dewi tetap menjadi milik Ramawijaya. Mengacu pada cerita pewayangan tersebut, contoh yang lain, misalnya Dewi Drupadi yang telah menjadi istri kelima Pandawa namun hati hanya diberikan untuk Arjuna.

Hakekat dari perempuan sebagai perhiasan adalah kelembutan yang ada di dalamnya. Kelembutan di sini tidak lain adalah laku yang baik. Ia tidak hanya menghiasi, selayaknya keberadaan lampu hias di dalam Pendopo. Lampu hias ini juga perhiasan, namun sekaligus mengandung makna terdalam. Sebagai perhiasan, sebab keberadaannya menghiasi struktur estetika. Selain itu, jika kita melihat seluruh struktur pembangunnya, maka kita akan mendapat makna yang paling esensi dari keberadaan hiasan tersebut, yakni sebagai pancer atau pusat. Nilai ini menuntun kita pada jalan hidup Jawa mengenai keyakinan adanya “Empat Saudara”, yaitu pandangan, pendengaran, penciuman, dan ucapan (Beatty, 2001: 245). Empat saudara ini dapat pula dimaknai sebagai kiblat papat (empat arah kiblat) kehidupan manusia yang dilambangkan dengan empat tiang utama.

Empat arah kiblat yang dibangun juga menghadirkan lampu hias yang berada di tengahnya. Lampu hias ini simmbol dari pancer (pusat) yang menandakan mengenai pusat kehidupan. Peran sebagai hiasan menyembunyikan maknawi sebagai pusat, yang apabila kita memahaminya akan mencapai misteri kelembutan di kutub Maha Kasih (I : X). Perempuan, dengan demikian, membawa makna pusat di dalamnya yang menjadikan dirinya sebagai panutan, meskipun membawa pada kekacauan (I : XI). Sesosok maknawi yang hebat dikandung perempuan dalam kehidupan. Ia diciptakan sebagai pahala yang tidak untuk diikuti kehendakknya (Ranggasutrasna dkk, 1999: 159), sebab apabila diikuti, perempuan lebih banyak mendatangkan penderitaan.

NJ menegaskan pokok ini dalam ayat XII berikut:

Ia menciptakan badai-badai maut membuncang,
memusar pisau-sakauw menjemput usia, batu-batu lebur ditiiup olehnya (I : XII)

Saya kira, penulisan ayat ini tidak terlalu berlebihan mengingat dari peran perempuan itu sendiri. Ia (perempuan) sebagai perhiasan dapat membawa pada kelanggengan hidup (keselamatan) namun dapat juga membawa pada sakit. Semua ini, sangatlah bergantung dari bagaimana kita menempatkan kemudian bersikap pada keberadaan perempuan. Karena bagaimana pun juga, perempuan itu sebagai seonggok simbol yang menghiasi dan sekaligus memaknainya.

Musuh di dalam Diri

Musuh, siapa sebenarnya musuh kita ini? Begitu, Pak Putu Wijaya membawa suatu persoalan penting di dalam novel Perang (2002). Dalam cerita ini, novel yang selayaknya pagelaran wayang semalam suntuk, menuntun kita untuk memahami keberadaan diri beserta segala macam pembawaan di dalam hidup. Keberadaan diri ini, yang dapat mengantarkan pada makna hakiki mengenai musuh Pandawa (manusia) yang sebenarnya. Ajaran Islam memiliki suatu jalan yang sering disebut dengan berpuasa, sebagai kegiatan peperangan besar untuk memerangi diri sendiri. Hakekat dari puasa, adalah untuk mengalahkan nawa nafsu. Lantas, kenapa saya mengetengahkan sub-judul mengenai musuh dalam pembahasan mengenai perempuan ini, adalah sebagai berikut:

Perempuan, seperti yang sudah dikemukakan di atas sebagai pahala yang tidak untuk diikuti (Ranggasutrasna dkk, 1999: 159), menyiratkan nilai tersembunyi yang perlu untuk diwaspadai. Nilai tersembunyi ini saya sebut sebagai musuh, sebab keberadaannya mengancam keselamatan hidup, baik kehidupan perempuan maupun kehidupan lelaki. Jadi, musuh di sini tidak semerta-merta menyatakan kalau perempuan sebagai musuh yang nyata, melainkan sebagai simbol akan keberadaan diri manusia itu sendiri.

Nurel Javissyarqi memberikan kita pengetahuan mengenai ini, dia (musuh) tersimbolkan dalam diri perempuan, melalui perwakilan dari “rasa” yang dimiliki manusia semenjak lahir. Rasa itu juga yang memberikan bentuk kehidupan manusia, dan yang keberadaannya terbiaskan oleh unsur lain yaitu nafsu dan fikiran. NJ menyebut kekompleksitasan nilai ini sebagai cinta:

Cinta setia, tulus membasuh lingga hingga tiada berdaya
dalam rengkuhan kasih, renggutan tangan sayang mesra (I : XVI)

Wanita membawa ruhmu ke puncak pada padat pasir lamunan
bagaikan rerumputan hijau bergoyangan atas bisik ketinggian (I : XVII)

dua ayat yang sungguh memberikan pengalaman tersendiri. Melalui bahasa yang halus, NJ menyuguhi kita dengan nuansa yang sungguh berbeda. Tidak seperti apa yang terdengar, di sana cinta setia yang berpadu dengan lingga dan ketidak-berdayaan. Lalu, NJ menyatakan mengenai adanya keterpaksaan di dalam kemesraan yang tercipta. Saya mulai menaruh curiga, apabila cinta setia mewakili perasaan sejati, lalu apakah lingga di sini mewakilkan pada alat kelamin lelaki atau pada tubuh (badan)? Saya menafsirkan, lingga sebagai simbol dari tubuh manusia. Selanjutnya, cinta (rasa) yang menurut NJ adalah sejati merasuk, ke dalam tubuh (lingga), namun membuatnya tidak berdaya sampai melalui rengkuhan kasih, ia (cinta tersebut) berusaha memfatamorganakan kemesraan. Saya menemukan pemahaman, bahwa ternyata rasa cinta itu yang perlu diwaspadai, ditilik ulang benar atau tidaknya cinta yang NJ maksudkan sebagai hakekat atau kemurnian cinta sudah terlimbahi.

Sebab, cinta yang dihadirkan (lelaki dan perempuan) membawa diri pada dunia yang terkadang hanya terbentuk sebagai mimpi. Membawa kita pada perjalanan penuh marabahaya, “padang padat pasir” yang seolah seperti rumput hijau yang menyatakan mengenai hakekat kekuasaan, “bisik ketinggian”. Iya, atau tidak seperti demikian di atas, mengenai hakekat keberadaan perempuan dan cinta yang disuguhkan. NJ menyatakan kalau kita tidak teliti menyelidik, duri senyuman yang juga disebut dengan luka hidup akan terus membekas (I : XVIII). Dengan kata lain, perempuan dijadikan wakil dari keberadaan diri mengenai perasaan manusia. Perempuan yang (mungkin) oleh NJ merupakan simbol dari perasaan manusia sama dengan megahnya kerajaan misteri (I : XIX).

Nilai rasa dari perasaan yang tersusun dari berbagai unsur ini membawa perempuan sebagai rasa atau nilai rasa dari kehidupan yang sering disebut dengan: hati. Kalau lelaki sebagai tubuh yang tersimbolkan sebagai lingga (dalam ayat I : XVI) maka perempuan sebagai cinta (hati). Tubuh manusia dapat memiliki nilai karena di dalamnya terdapat jiwa yang mengandungi cinta. Jikalau jiwa tersebut mengandung unsur keilahian maka cinta berunsur perempuan. Dia (perempuan sebagai cinta) hadir bernama ruh yang berbentuk aktivitas di dalam hati. Perempuan adalah rasa manusia yang musti dipilih hakekat pembangunnya, apakah dia sejati atau bisikan nafsu. Karena bagaimana pun juga, perempuan simbolisasi dari musuh yang ada di dalam diri.

Sang Penakluk

Suatu keberadaan yang seharusnya membuat seluruh kaum Adam berhati-hati, perempuan itu penakluk yang sebenarnya. Perempuan yang dalam pandangan sekilas menyiratkan suatu sisi kelemahan yang menggiurkan lelaki untuk menguasai, sesungguhnya di dalamnya mengandung jiwa penakluk. Pemikiran ini tidak berlebihan, jikalau kita mengingat kembali sejarah penaklukkan Mangir yang dapat memberikan gambaran bagaimana peran penaklukkan yang dilakukan perempuan. Andaisaja, Ki Ageng Mangir tidak terjerat pikatan Pembayun, tentu tidak perlu untuk menghadap yang membawa pada kematian. Pun, peran Ratu Pandhansari dalam prosesi penaklukkan Giri menjelaskan sisi jiwa penakluk yang lain. Nurel Javissyarqi (2006: 251) mengetengahkan pendapatnya, bahwa perempuan bukan pemancing atau ikannya, dia mampu menjadi penjala paling lihai di antara lelaki.

Peran ini, nampak dalam ayat XX dan XXI surat Membuka Raga Padmi berikut:

Saat mata memahami, tertangkap gambaran mendatang
Pula sejarah sebelumnya, ia matahari mata rajawali di Maospati,
Segala yang terlihat didapatkannya sebagai mangsa (I : XX)

Ia sang pemburu lihai, setiap kepakan sayapnya mencabut nyawa pelena
Sedangkan tarian jemarinya mengangkasa, menghapus papan hari-hari pembalasan
Kepada bumi yang tak selamanya beredar (I : XXI)

Hakekat yang tersembunyi dari perempuan adalah kelembutannya, yang melahirkan adanya kekuatan tanpa batas yang membawahi para lelaki. Perempuan yang lembut, nampak tidak berdaya namun mematikan selayaknya Rajawali yang memangsa apa pun juga. Hal ini menyiratkan mengenai sesuatu yang berlebih, kekuatan yang begitu banyaknya. Semisal, api yang sedikit namun mampu beranak pinak dan menghanguskan apa pun juga yang ada di sampingnya, meskipun itu adalah tumpukan besi baja akan lebur ketika bersentuhan dengan kekuatannya. Atau pun, semisal air yang gemericik namun tiba-tiba meluap untuk menyapu dan menghanyutkan setiap hal yang ada di jalannya.

Hal ini yang (mungkin saja) telah dibaca NJ, yaitu mengenai hakekat akan kelembutan. Penjabaran yang indah dengan simbolisme yang, menurut saya, sungguh pas. Ia perempuan, membawai sifat lemah lembut yang dapat dijadikan sebagai suatu jalan dalam memperoleh kekuatan yang dasyat. Pun, dengan demikian, saya membaca mengenai nilai kelembutan yang dibawa perempuan, kelembutan tersebut bukan perempuannya, yang merupakan sikap dan kepekaan rasa, layaknya perempuan itu sendiri.

Kelembutan membawa kita pada dimensi yang melepaskan keberadaan ruang dan waktu. Aspek ini mampu membawa kita pada ruang ketiadaan, jikalau kita nyatakan tidak ada namun sebenarnya ada, juga jika kita mengatakan ada namun tidak nampak dalam pandangan. Nilai ini mengandungi sifat nyata (hakiki) yang syarat dengan metafisik. Sikap lembut, di dalam kehidupan masyarakat Jawa sering disebut dalam istilah alus, yaitu suatu sikap seseorang yang mampu mengontrol diri secara sempurna dan memiliki kekuatan batin (Magnis-Suseno, 2985: 162). Sifat alus atau kehalusan yang mengacu pada kekuatan batin yang di dalamnya terdapat pengetahuan mengenai manusia dalam dunia dan dalam kosmos, dalam usaha melihat eksistensi manusia dalam susunan kosmologis, sebagai pengalaman religius (Mulder, 1984: 22). Untuk mencapai tingkatan halus ini, manusia perlu menjalankan sikap nrimo, sabar, waspada-eling, dan prasojo (Mulder, 1984: 22-23) demi menjaga keseimbangan hidup (diri sendiri) dengan Tuhan, yang dapat diungkapkan sebagai jalan hidup.

Sikap masyarakat dalam menjalani hidup lebih menekankan pada ketentraman batin, yang mendorong individu untuk hidup selaras dengan dirinya sendiri, dengan masyarakat, selaras dengan Tuhan dan menjalankan hidup dengan benar demi tercapainya dimensi pengetahuan antara dunia (manusia) dengan Hidup atau Tuhan (Mulder, 1981: 12). Pandangan hidup seperti ini akan menuntun manusia untuk menjalani laku hidup yang halus, hidup yang penuh dengan welas-asih dan religius. Hidup yang alus (lemah-lembut) mampu mendatangkan kekuasaan, sampai manusia tersebut dapat “mengalirkan air dari hulu” dengan jarinya (I : XXII).

“Butiran embun gugur mengenangkan masa silam” (I : XXII), kalimat yang mengajak kita untuk memahami kehidupan yang sebenarnya. Berusaha meneguk embun, untuk mencapai pengalaman dari masa lalu. Mereguk embun di sini, mendeskripsikan mengenai jalan kebatinan yang juga merupakan suatu jalan untuk mencapai sifat alus. Jalan tersebut, misalnya saja, tapa-brata dan lelana-brata (Magnis-Suseno, 1985: 104). Lantas, kenapa jalan hidup akan pengetahuan tersebut termaktub dalam butiran embun? Hal ini dapat dipandangan sebagai suatu pengibaratan mengenai pencarian ilmu (pendalaman ilmu) Jawa, yang berasal dari pengalaman saya pribadi, bahwa manusia melalui tapa brata dan lelana-brata itu digiring untuk meresapi tetesan embun yang merupakan penjelmaaan dari wangsit (kalau tidak boleh disebut wahyu). Dari aspek ini, manusia akan dikembalikan ke masa silam untuk menyelami dunia leluhur yang sudah berbadan (bertubuh) halus atau roh dan menjadi pepunden.

Hasil dari laku kebatinan ini, mengakibatkan seorang pelaku akan memperoleh keutamaan atau kelebihan. Dia sebagai manusia yang linuweh, maka dari dalam diri menampilkan keharuman budi pekerti dan serta menyenangkan selayaknya perawan (I : XXIII). Melalui kelembutan yang dimiliki seseorang, ia mampu menghadirkan kekuatan kosmis yang luar biasa. Ia memancarkan aura yang mampu memikat indra. Kekuatan yang menguasai indra, sebab melalui alat indra manusia dapat memperoleh pengukuhan dan pengusahaan atas nafsu (keinginan) yang akhirnya dipertaklukkan. Ini tidak menyoal bagaimana perempuan menaklukkan lelaki, namun lebih sebagai identitas simbol atas makna yang diembannya. Kelembutan yang melahirkan kekuatan di dalam jiwa (diri) manusia.

Keberadaan kekuatan kosmis di dalam jiwa manusia, yang apabila terus mengacu pada sisi keperempuanan, ia hadir sebagai penguasa. Kita bisa saja mencermati sejarah dan mitos yang berkenaan dengan kekuatan kosmis dari perempuan (baca juga: kelembutan). Sebut saja, Nyai Roro Kidul, seorang ratu lelembut yang diwujudkan sebagai perempuan (Ratu) yang juga sebagai istri (padmi) yang memiliki jiwa yang cantik. Ratu secara jelas menyimbolkan kekuatan dan kekuasaan. Dengan demikian, kecantikan itu mewakili mengenai apa? Di sini lah NJ kembali bermain simbol mengenai kekuatan kosmis tersebut.

Ratu perkasa jagad ini ialah kecantikan berhilir,
Sepenuh gemerincing kata-kata penyair (I : XXIV)

Saya pun, akhirnya kembali menjadi spekulan dalam mengurai makna kecantikan yang NJ hadirkan di sini. Kecantikan membawa pada kekuasaan yang tidak dapat disepelekan, sebab kehadirannya mampu membuat seseorang menjadi Ratu Kehidupan. Posisi yang sungguh menggiurkan, sampai-sampai dalam kondisi realitas, banyak perempuan (dalam arti sebenarnya) berusaha keras untuk menjadi cantik, atau hanya sekedar terlihat cantik. Mungkin saja, para perempuan ini ingin mendapatkan kekuasaan yang datang bersamaan dengan kecantikan seperti yang NJ ungkapkan. Namun memang ada benarnya, mengingat bahwa sebagian besar perempuan cantik memiliki kekuasaan, entah kekuasaan karena faktor ekploitasi lelaki, budaya, maupun kepentingan pasar. Secara tidak langsung, kecantikan yang dipuja di dunia realitas kita adalah kecantikan yang menindas jiwa manusia yang sebenarnya.

Entah bagaimana kecantikan itu diterjemahkan oleh setiap individu, masing-masing pengertian akan memberikan dorongan tersendiri untuk menciptakannsuatu perbuatan. Dalam salah satu karyanya, Trilogi Kesadaran (2006), Nurel Javissyarqi (2006: 117-118) mengungkapkan suatu pemahaman yang lebih jauh dengan mengatakan “kecantikan adalah penggerak alam mistis”. Ini bisa kita jadikan sebagai kunci untuk memahami kecantikan yang berhubungan erat dengan kekuasaan, apabila dalam bahasa NJ yaitu untuk menjadi ratu sejagad. NJ (2006: 117) mengetengahkan tiga pandangan, yaitu cinta, rindu dan bertatap muka. Kecantikan (yang mistis) membuat kita ingin mencintai, yang kemudian melahirkan rindu untuk bertemu. Apakah ini menyoal mengenai cantiknya perempuan yang seksi, semok dan seabrek istilah lain? Bagi saya tidak! Kecantikan yang ada di dalam ayat-ayat surat Membuka Raga Padmi (dan secara umum dalam Kitab Para Malaikat) adalah perwakilan dari suatu kekuatan kosmis, sifat ketuhanan itu sendiri.

Kecantikan sama dengan kekuatan mistis (kosmis) yang merupakan wujud lain dari laku alus (lemah lembut). Suatu kecantikan mengandungi nilai yang merupakan hasil dari perjalanan mengenai laku yang juga adalah jalan hidup. Kekuatan ini yang pada akhirnya membuat seseorang mampu untuk “memberi makna yang belum terlahir (I : XXVI)” sebagai pengejawantahan atas kemampuan batin, yang oleh NJ diungkapkan sebagai “ketajaman mata jiwa (I : XXVII)”. Demikian, NJ membungkus kekuatan batin (rasa sejati) yang diwujudkan ke dalam simbol sebagai padmi (perempuan).

Suatu Nasehat: Hakekat ke-Empu-an Padmi

Empu, dalam kehidupan masyarakat Jawa memiliki status yang penting di dalam struktur kehidupan. Empu tidak hanya sekedar sebagai seorang pembuat keris, senjata tradisional masyarakat Jawa. Akantetapi, seorang empu juga sebagai sosok manusia yang dianugrahi suatu kedekatan hubungan dengan alam dan Hidup (Tuhan). Bagaimana tidak demikian, jikalau kehadiran seorang empu bukan sekedar pandai besi, namun lebih dari itu, yaitu seorang empu mampu untuk menitiskan kekuatan alam dan kekuatan kosmos lainnya ke dalam bentuk pusaka yang menjadi senjata pamungkas apabila manusia mengalami posisi gawat dan penting. Seornag empu dapat dipastikan kalau di dalam dirinya memiliki kelembutan diri dalam kesejatian yang diperoleh dari ketatnya perilaku perihatin dalam waktu yang lama. Pun, NJ mengungkapkannya demikian:

Pada perempuan pekerja, dirinya ada kelembutan lain,
Dan setipa insan memahami rabahan penuh kasih (I : XLIII)

Perempuan pekerja, begitu NJ membuat perumpamaan simbol mengenai hakekat kehidupan. Yakni, bahwa perempuan selayaknya seorang abdi, yang bekerja untuk dirinya sendiri agar mendapatkan upah. Upah dalam konteks ini sebagai buah dari ibadah, yang ditujukan demi kekuatan kosmis yang telah menciptakan keseluruhan dari hakekat hidup. Perempuan sebagai simbol dari manusia bijaksana, yaitu empu yang sesungguhnya tidak bekerja hanya untuk dirinya sendiri. Ilmu yang dimiliki digunakan untuk membantu orang lain dalam usaha pengerjaan pusaka hidup, yang juga merupakan simbol dari kegiatan transfer kekuatan kosmis.

Ia, si empu ini yang secara sekilas seperti seorang kyai yang mempelajari agama bukan untuk dirinya sendiri namun demi keselarasan hidup manusia beragama. Selayaknya kyai, empu memiliki kelembutan yang diakui dan sekaligus disegani orang. Kehalusan yang didapat dari penjalanan laku prihatin yang ketat, yang sesuai dengan kondisi lingkungan di mana dia hidup.

Hal ini dapat dicermati dalam ayat:

Bibir selalu dibasahi puja sepohon jati kering berpuasa
Bungan mekar dicumbui embun telah lama dirinya putik
Seperti ombak kuluman bibir samudra (I : XLIV)

Susunan kalimat yang dapat kita dengar simphoninya. Karena teramat merdu, nyaris tidak terdengar makna yang disembunyikan. Ayat di atas mengabarkan pada kita dengan sangat halus mengenai cara (baca: jalan) untuk mencapai kelembutan. Jalan yang jelas-jelas bukan kondisi yang dipenuhi dengan nikmat dunia, jalan yang jauh dari menyenangkan. Akantetapi, jalan yang di dalam penggambarannya merupakan suatu kondisi hidup yang keras dan hanya bisa dilalui dengan bulatnya tekat. Kenapa saya mengatakan seperti ini?

Kita bisa saja menyangkal, namun sebelum menyangkalnya, marilah kita mengamati bagaimana NJ mengajak kita untuk selalu bersyukur dan ingat dalam menjalani kehidupan. Mungkin saja, pemikiran lama dari masyarakat Jawa mengenai eling lan waspada, ingat dan waspada, yang dimaktupkan NJ dalam kalimat: “Bibir selalu dibasahi puja”. Puja adalah penganggungan atas sesuatu hal, tidak lain yaitu suatu kekuatan kosmis (Tuhan). Manusia yang ingin mencapai taraf empu, hendaknya tidak lalai dalam pengagungan dan menjalani hidup dengan prihatin. Pengagungan Tuhan dapat kita terjemahkan dengan selalu menerima dengan senang hati setiap perhelatan takdir yang telah Tuhan berikan untuk kita.

Dalam suatu kasus lain, kehidupan sekitar kita memberikan saksi nyata tentang bagaimana pohon Jati menjalani hidup. Dia (pohon Jati) dapat terus tumbuh walau tanah yang dipijaki dalam keadaan kekurangan air (gersang). Pohon jati bertahan hidup dalam kesahajaan akan kesederhanaan (dan juga kemiskinan) untuk tidak mempertahankan rimbunan daun yang sebenarnya, rimbunnya daun ini dapat membuatnya nampak gagah perkasa dari pandangan luar.

Bukan kekuatan dan keperkasaan semu mengenai keindahan pohon Jati. Akantetapi, pohon Jati menyimpan kekuatannya di dalam diri. Melihat fenomena ini, pohon Jati secara jelas tidak membutuhkan pujian karena apa yang nampak (penampilan fisik) namun dari apa yang ada di dalam dirinya. Untuk memberikan penggambaran yang jelas, mari kita mencermati syair Rumi, yang mengatakan bahwa: “Jiwa adalah seperti sebuah cermin yang jernih; raga adalah debu di atasnya. Keindahan di dalam diri kita tidak terlihat karena kita di bawah debu” (Shah, 1985: 128) atau “Jangan memandang bentuk luarku, tetapi ambillah apa yang ada di tanganku (ibid: ii).

Seperti itulah pohon Jati. Dari luar, ia akan nampak gersang apalagi saat musim kemarau, maka akan seperti pohon mati. Tidak rindang, pun hijau namun menyimpan kekuatan hakekat yang luar biasa. Kemudian kita pun akhirnya bertanya-tanya, bagaimana agar seperti pohon Jati? Pertanyaan ini pun telah dijawab NJ dengan “kering berpuasa”. Dalam kehidupan masyarat Jawa dikenal istilah “ngatuske segara” atau mengeringkan lautan yang merujuk pada perut manunusia. Lapar dalam berpuasa dijalani dengan kemantapan hati dan ikhlas seperti “ombak kuluman bibir samudra” mampu mengukuhkan kekuatan diri yang pada hakekatnya sudah dimiliki semenjak lahir. Puasa sebagai jalan mengalahkan hawa nafsu (keingin manusia mengenai duniawi) untuk memenangkan rasa (jiwa) sejati.

Di dalam diri kita ada musuh, hal ini sudah saya singgung di atas, yang hakekatnya melemahkan jiwa yang sejati. Menjalani hidup seperti pohon Jati, dengan tidak langsung memenjarakan musuh yang melemahkan. Jika jalan hidup sudah dilalui layaknya pohon jati, maka:

Ia mengalirkan daya pesona, terimalah waktu di dasar renungan
Hasrat tumpah di jalanan membentang, gerak sadar pun ketaklumrahan (I : X:LV)

Ini dapat dikatakan sebagai hasil, yakni orang itu dimabuk kepayang oleh cinta pada Hidup (Allah). Orang yang dimabuk cinta seperti orang gila yang menampilkan hasrat (rindu) di muka umum. Sampai, membuat pecinta itu tidak sadar dengan apa yang dilakukan. Adanya pesona, suatu kekuatan yang tumbuh di luar kesadaran, sadar namun tidak sadar dengan apa yang sudah terjadi. Seperti, apakah pohon Jati menyadari kekuatannya sendiri? Jalan hidup dalam surat Membuka Raga Padmi ini, NJ menghadirkan jalan cinta yang penuh dengan penderitaan yang hakekatnya terasa nikmat. Jalan, yang selaykanya penanaman pohon yang membuahkan kenikmatan abadi. Laku!

Bantul dan Banjarnegara – Studio SDS Fictionbooks, 12 Januari 2011.
Sumber: http://phenomenologyinstitute.wordpress.com/2011/01/24/empuku-perempuanku/

PIJAR KATA NUREL DI TENGAH ALUN ZAMAN

KRT. Suryanto Sastroatmodjo
http://pustakapujangga.com/?p=641

“Cinta sangat menentukan kelanjutan proses penyebab atau proses kehidupan subyek. Sebab ketika berada di titik koordinat, kita jelas mendapati karakter diri sebenarnya atau dengan titik seimbang, cermin diri sanggup merasakan getaran kesungguhan dari sang maha Penyebab Cahaya Ilahi: Apakah kita gemetar atau semakin asyik oleh kesejukan Cahaya. Sebelum sampai ke suatu akhir bernama akibat (mati, timbangan pahala)” dikutip dari buku Kajian Budaya Semi (buku pertama Trilogi Kesadaran), bagian Kajian Sebab atas Subyek, Nurel Javissyarqi. Di situ penulis muda, merupakan intan pemikiran dan mutiara-penggagas keadilan ruh dari Lamongan, bicara tentang pemaknaan hayati.

Mungkin sepadan anggukan halus-lembut dari para pemerhati dari rana manapun di Indonesia saat ini, tatkala kita meriadukakan “Seminya Budaya” yang linuhung, setelah bertahun-tahun menjadi korban dari tikai-cidera, silang-selisih dan goda-goda membawa bangsa kita terkantuk di batu-sandung, kerikil tajam melukai tangan dan kaki dalam hal-hal menuju pada kesantunan situasi, kemuliaan akhlak, banyak pihak (pemikir, penggagas, penyumbang dan penyeimbang mantap masyarakat) dapat dikaji lewat bangsal-bangsal pustaka yang damai-arkadis.

Korolariz dari cita lembut ini, Nurel kita hadirkan dalam hasana sastra yang memiliki pijar penyalaan elok, laras zamannya. Manakala ia menyapa generasi muda di belantara Nusantara, lantaran ingin merefleksikan pijar-kata pula. Barangkali semacam renungan diri yang khusyuk, ditulis secara tepat oleh Nurel Javissyarqi: PEWAYANGAN: Mitos apakah melingkupi tubuh ini /hingga menari-nari di alam sunyi. /Mitos apakah menutupi kalbu ini /sehingga terdiam dalam ramai /dan membalut luka bakar ini? /Segalanya menuju kering serupa /tinggalkan bekas sulit terkelupas; /olehnya berjalan di belakang layar. 1999, dari bukunya; Sayap-Sayap Sembrani.

Nurel menegur para pemimpin bangsa yang sering berseteru ini, agar dapat saling mengendalikan diri, saling berkhidmat, tegar-tabah munajad agar memperolah kecerahan yang indah. Ia berseru agar apabila bangsa ini ingin jaya, kita tanggalkan mitos-mitos duniawi yang menggerogoti jiwa-raga bangsa dan gantilah dengan tafakkur, meditasi membawa kita pada kedamaian esok hari, agar apapun menyebabkan luka bakar (akibat nafsu angkara tiada kesudahan) merusak jasad, merusak kalbu; niscaya terobati.

“Langkah memberi ruang positif, sebagaimana orang sedang berjalan atau beraktivitas memberi ruang positip, di mana pemaknaan gerak ialah energi yang terlaksanakan” (dikutip dari Kajian Budaya Semi, bagian Merekonstruksi – x – = + dalam Korupsi), mendorongnya untuk mengajak bangsanya agar menciptakan kedamaian fikir, hati, nalar agar “positive thingking” menjadi acuan getar hayati, dengan harapan agar energi lebih terjaga sempurna lagi sentausa.

Dalam beberapa getar yang terbeber, Nurel berpendapat; Zaman Trawaca padang Njinglang, zaman pencerahan semesta bakal menyusuri lorong-lorong hati manusia dan tiba pada keyakinan; bahwasannya kemuliaan insan terlahir dari sikap mandiri ini. Dalam hal ini maka pola pikir umat manusia pada jaman kegelisahan justru harus diawali dari diri pribadi kita sendiri. Mengapa tidak? Karena dalam suatu sikap terkepal, membebas, terkristalisir pada era yang ada, selaras spirit jaman (Zeit-geest) yang ada, kita merasa eksis dan dari situ percayalah waktu segala kejadian di masyarakat ini dapat mengikut pola pikir paling tegas.

Barangkali, Nurel mempunyai anugerah sikap yang terbaca jelas lewat buku-bukunya, misalnya “Takdir terlalu Dini” (awal bukunya membedah tentang kemuliaan ruh dimuka bumi lestari ini), di mana Nurel mengharap Tri-dimensi penghampiran qualified ditumpah darah Nusantara kita cinta ini:

(1) Konsep “well-informed dan well educated among nations” [marilah kita tegakkan informasi sejelas-jelasnya tentang agama, budaya, adab-susila (terutama secara Islami) untuk suatu tata nilai yang hidup].

(2) Konsep tentang “inspirating and inspired” [telah teralami dan telah terilhami seluruh umat di jagadnya dengan ajaran-ajaran Islam yang kita hormati dan cintai, terutama al-Qur’an agar kehidupan insan dapat terbawa pada keluhuran, keagungan, kefitrian].

Oleh karena di sini, kita menyinggung soal “lisensi puitika” kebebasan makna, kemerdekaan mimbar, kearifan lokal sang sastrawan, maka sang waktu dapat juga merupakan kancah rohaniah juga membutuhkan discursus pula. Kalau kita mengikuti wawasan Bung Karno dalam “Di bawah Bendera Revolusi” (1960), maka dalam kapasitas pejuang, kita dapat mengharapkan adanya tiga macam gagasan terpadu yang mesti dihayati secara sempurna, yakni; nationalisme-geest (gagasan dan angan-angan nasionalis), nationale-will (kemauan dan tekad nasional) dan nationale daad (perbuatan nasional) yang kita jabarkan dalam bahasa pergaulan kita dewasa ini; angkah lan langkah sing tuwuh saka anggit (tekad timbul dari langkah untuk suatu dinamika) dan dhemen sing tumemea (rasa sayang pada gagasan-gagasan besar yang bisa diresapi maknanya), niscaya bakal mewujudkan realisasi kesejatian makna, terkabulnya aspirasi dan cita-cita luhur.

Maka Nurel Javissyarqi atau (dulu) sebagai pimpinan Komunitas Sastrawan Tugu Indonesia, Yogyakarta, 5 tahun lewat dalam nama Nurla Gautama (nama pemberian cerpenis Joni Ariadinata) bisa mewariskan martabat bathin lewat buku-bukunya yang “menggigit” di seantero pemikiran unik; akhirul kata terwujudlah semoga ide-ide tentang Nasionalisme Islamis yang kita harapkan dewasa ini; “Ayo bergeraklah, mereka dari ainul yakin menuju hakkul yakin, sempurna. Ayo, kibarkan panji-panji kemerdekaan kalbu mandiri bersemangat baja. Ayo, kita menangkan cita luhur peradaban Islam sepanjang Zaman.

Obsesi dan ketertarikan fa’al juang ialah hak bagi setiap orang yang kepingin merebut ranah ini, misalkan Iqbal, Gibran, Nietzsche dan lain-lain. Namun kreativitas sastra niscaya dapat menyapa orang dan terbawa pada dimensi yang ingin pula diejawantahkan melalui kidung-kidungnya sebagai prosa lirik dan puisi yang khas dimiliki Nurel, sebagaimana dalam Kajian Budaya Semi, yang kita haturkan ini. (Dapatkan gagasan-gagasan Nasionalisme berangkat dari lokal menuju Nasional, menggapai Internasional), niscaya menjadi tumpuan-harapan sebagai kaum usia muda dahaga saat ini, akan pijar kata Islami yang dinamikanya dapat diterbangkan oleh sayap-sayap hati terlembut.

Barangkali, banyak gayung bersambut, kata berjawab, sayap-sayap bathin dan ketakwaan menjamah ranah kerontang ini. Andai-kata kita berjalan melintasi padang-padang dan di sana terdapat sendang, telaga bening, berbahagialah kita, bahwa seteguk tirta akan dapat memberi obat dahaga tersebut, setelah kita menembangkan laguan sunyi sang kelana yang makin lama dilamun rindu, perih, duka. Niscaya, seorang kawula muda seperti Nurel ini merupakan salah satu contoh, dimana Sabda Alam menemukan ujung, dimana salam menjawab misteri hidup, lantaran tiap tapak jelajah bisa diamati pemerhati.

Apakah kita telah menangkap, apapun telah diwedarkan pada ucap-bedah atas telempap sejarah, namun kita masih membutuhkan kata-kata yang lebih nyaring berkumandang lagi, entah ditengah ratri jelaga, entah dipagi-resik, dimana andika sekalian merupakan rekan-rekan seikhawan dalam kelana ini. Demikian…wassalam.

Nagan Lor 21, Yogyakarta. Senin, 23 Mei 2005.
Makalah bedah buku KBS di UIN Yogyakarta 26 Mei 2005, bekerjasama dengan teater ESKA.

Puisi, Arti, Diseminasi

Asarpin
http://www.lampungpost.com/

Bukan Nirwan Dewanto kalau tidak sungguh-sungguh menyelam kata dan bahasa Indonesia sampai di dasar yang tak terhingga. Setelah meluncurkan buku puisi cantik bertajuk Jantung Lebah Ratu dua tahun lalu, yang nyaris tak tersentuh oleh pembaca saking “melangit” bahasa yang digunakan dalam puisi-puisinya, kini ia hadir lagi dengan buku puisi yang lebih “gawat”.

Tak hanya dari segi judul, Buli-Buli Lima Kaki, tetapi dari warna sampul, gambar gajah dengan lima kaki (termasuk belalainya berfungsi sebagai kaki), untaian kata-kata yang tak mudah dimengerti pada bagian belakang sampul yang merupakan fragmen dari beberapa sajak di dalamnya, menunjukkan kesungguhan yang luar biasa. Semacam ada beban untuk tidak cuma menghadirkan puisi, tapi puisi kitab suci.

Mungkin bukan hanya saya yang akan menyebut puisi Nirwan sebagai prosa-liris yang mengandung aneka citra, rupa, dan suara: binatang, manusia, juga tumbuh-tumbuhan. Di dalam mengandung motif cerita, kidung, mitos, dan riwayat. Ada sejumlah alkisah singgah: tentang para raja, putra, dan permaisurinya yang bertakhta di pusat kerajaan Jawa, ada legenda purba zaman Babilonia.

Bahkan, dan ini yang unik: terdapat idiom-idiom, kalimat-kalimat, dan kata-kata yang dipakai, atau terpakai, yang sengaja digali dari zaman ketika kobra masih mesra berbicara dengan Nabi Sulaiman sampai dengan zaman ketika kuda menggigit besi.

Tak heran jika sejumlah puisi seperti ditulis pada zaman entah, atau ada yang sudah terbiasa terbaca atau terdengar. Memang tak ada maksud untuk latah, tapi sudah cukup untuk membuat pembaca payah, lelah, bahkan mengalami semacam skizofrenia dadakan. Ketika mencoba menyusuri motif-motif, momen-momen estetik di dalamnya, saya merasa bagaikan hidup di zaman Syekh Siti Jenar, di mana rahasia pengalaman pribadi hanya bisa dinyatakan lewat bahasa bisu kesyuhadaan. Pengalaman-pengalaman batinnya ditulis dengan pena paling pribadi, yang dianggap belum sudi dibagi.

Sebagai seorang yang juga kritikus sastra, Nirwan seperti ditantang untuk menghasilkan sajak dengan “nilai lebih” dan agaknya sengaja menutup diri dari kemungkinan-kemungkinan untuk mudah diberi arti demi merayakan kemungkinan-kemungkinan yang tak terduga, yang menyegarkan, yang menghidupkan aku liriknya.

Memang, sebagai pembaca, saya merindukan bahasa puisi yang elok menawan hati, sedikit elite dan pelit, tidak terlampau mengumbar kata yang sudah kedaluwarsa, apalagi menghamburkan kenyataan sosial yang sudah sering dijamah media massa. Tapi tiap kali saya bersua dengan puisi Nirwan, saya betul-betul merasa seperti sedang berhadapan dengan ayat-ayat Tuhan yang menantang saya untuk berenang dalam kebebasan penuh.

Buli-Buli Lima Kaki (pernahkah Anda melihat buli-buli kaki yang sebenarnya?), adalah judul yang bunyi dan cocok untuk sejenis puisi misteri. Untuk tahu arti terpaksa saya harus minta bantuan Tesaurus Bahasa Indonesia Eko Endarmoko dan KBBI, agar saya sedikit terhindar dari sok tahu. Buli-buli, botol atau guci kecil dengan lima kaki, sepintas berbau surealis. Tapi kalau kita menyimak kenyataan sosial saat ini, di mana sapi sendiri ada yang lahir dengan lima kaki, kesan itu tak begitu menggoda.

Buku ini memuat lima puluh lima puisi yang disusun menjadi lima kaki, yang tentu saja punya motif dan maksud tersendiri. Ada motif mitos yang masih tersembunyi di balik tenunan kata dan bahasa yang memang senantiasa menantang pembaca untuk tak sekadar paham. Sebab paham saja bisa membuat kita karam seperti keluarga Loth yang dikutuk menjadi tiang batu garam.

Sikap yang arif barangkali mencoba mengenal arti dengan penuh kewaspadaan, sadar diri, juga empati. Sebab, seperti kita tahu sejak dini, arti yang terkandung dalam setiap sepatah kata atau kalimat memegang unsur yang penting bagi prasarana nalar, tapi konsep “arti” sendiri sampai kini masih misteri. Kata “berarti”, kata Claude Levi-Strauss yang pernah dirujuk Octavio Paz dalam buku tentang sang antropolog tersebut, hanya menunjukkan suatu jenis data; mereka dapat dialihkan ke dalam kata-kata pada tingkat-tingkat lain. Dengan begini, kita bisa menghasilkan hal yang kita harapkan dari sebuah kamus, yaitu arti dari kata tertentu dengan kata-kata lain yang bersifat isomorfis (yang bentuknya sama) dengan kata atau ungkapan yang ingin dimengerti, tapi pada tingkat yang agak beda.

Para filsuf mungkin akan bertanya: apakah arti. Sementara kaum linguis ingin tahu bagaimana arti ditentukan, apa hukum diksi yang mengatur perubahan arti, bagaimana arti suatu kata diberi, diungkapkan, dan seterusnya. Di sini kesulitan yang menghadang saat saya harus memaksakan diri memberi arti pada puisi-puisi Nirwan. Selain disebabkan gayanya, juga pilihan kata yang ketat, kosakata yang berat, bunyi yang tak bermusik, cetusan perasaan bawah sadar yang sulit ditembus, pengalaman estetik yang kaya, bacaan yang lintas disiplin, dan sebagainya.

Saya teringat pada peringatan seorang ahli neourosis, Donald B. Calne, dalam bukunya yang diterjemahkan dengan sangat bagus menjadi Batas Nalar: mencari “arti” sebagai “artinya arti” (the meaning of meaning) berada di luar kemampuan kita mengetahui. Sementara Levi-Strauss dalam Mitos, Dukun dan Sihir, bertanya: apa artinya berarti? Jawaban satu-satunya, katanya, berhentilah mencari artinya arti.

Kalau sudah begitu, persoalan arti harus secepatnya saya tinggalkan dan beralih ke persoalan lain, misalnya soal kutipan dalam puisi Nirwan yang sangat dominan. Dari 55 puisi, lebih dari 10% puisi di dalamnya hasil memiuh, mengambil-alih, memindahkan frase atau kata-kata milik sejumlah orang atau khazanah atau kalimat milik orang lain.

Selama ini terdapat dua model kutipan dalam buku-buku sastra. Model pertama mengutip tanpa menyebut sumber kutipan, seperti misalnya ketika Sutardji Calzoum Bachri mengatakan “pada mulanya adalah kata” atau ketika Umberto Eco memulai novel The Name of the Rose dengan mengatakan hal yang sama tanpa menyebutkan kutipan. Model kedua seperti novel Olenka Budi Darma yang mencantumkan sumber kutipan dan buku puisi Buli-Buli Lima Kaki yang melampirkan sumber bacaan atau rujukan.

Untuk gejala yang pertama, walaupun tidak menyebut kutipan, akan ada yang membelanya sebagai gejala intertektualitas. Sebab, kebiasaan semacam itu dianggap sudah lama dan lazim digunakan dalam seni dan sastra postmodern; mula-mula dipakai dalam seni tinggi, tapi kini sudah lumrah dipakai dalam budaya pop.

Dengan menerapkan strategi pastiche, dan sesekali mengelabui pembaca melalui permainan intertektualitas, Nirwan tampak telah melampaui bahasa sebagai sarana bagi pikiran yang ingin mengartikulasikan arti kepada pembaca.

Tapi apakah si penyair memang sedang memperkarakan pikiran yang sering diperlakukan lebih tinggi dari kata-kata oleh para filsuf dan ilmuwan? Bisa jadi! Sebab, penyair ini bukan sesekali menunjukkan penolakan terhadap supremasi pikiran sebagai fakultas tersendiri yang bebas dari bahasa. Dengan puisi ia sengaja menyuntikkan rangsangan yang unik bagi permainan teks-teks (atau boleh disebut sementara sebagai intertektualitas tadi). Permainan yang ditampilkannya mirip dengan konsep diseminasi, yakni sebagai strategi unik untuk mempertontonkan betapa terbatasnya upaya pembaca untuk menangkap sekeping makna kecuali jika ia benar-benar memanfaatkan teks sebagai arena permainan yang terus-menerus ditransformasi dengan mensubstitusi penanda-penanda lama dengan penanda-penanda baru.

Asarpin, Pembaca sastra

Kerusuhan Mei 1998 di Mata Seno

Budi Darma
http://majalah.tempointeraktif.com/

IBLIS TIDAK PERNAH MATI
Kumpulan cerpen Seno Gumira Ajidarma
Penerbit: Yayasan Galang, Yogyakarta, 1999

Bahwasanya Seno Gumira Ajidarma pengarang cerpen, dan rata-rata cerpennya enak dibaca, kita semua tahu. Maka, berhadapan dengan Iblis Tidak Pernah Mati, kumpulan cerpen terbaru Seno, kita bisa menduga bahwa kumpulan ini juga enak dibaca. Apalagi, tentunya, sebagian kita pernah membaca beberapa cerpen dalam kumpulan ini, karena semua cerpen sebelumnya pernah dimuat di berbagai media.

Bahwasanya Seno bisa menulis cerpen yang enak dibaca, tentu ada resepnya. Dan resep dia sederhana: cerpen dekat dengan pers, dan pers dekat dengan cerpen. Pers memuat fakta, berita, pendapat, kesaksian, kesan, dan hal-hal semacam itu, dan cerpen juga begitu.

Pada zaman frekuensi munculnya peristiwa rata-rata tinggi, sementara sekian banyak kepentingan dengan sekian banyak versi kesaksian terhadap semua peristiwa juga sangat beragam, ditambah pula dengan kenyataan bahwa jumlah orang yang pandai omong, pandai mengkritik, dan pandai mendramatisasi masalah dengan berbagai macam kepentingan makin melonjak, maka pers makin kurang mampu mewadahi fakta dalam pengertian yang sebenarnya.

Pers kita, tidak lain, adalah kumpulan ”pendapat orang ini dan pendapat orang itu”. Maka, kaitan pers dengan cerpen rasanya makin rapat. Dalam berhadapan dengan pers, seolah kita berhadapan dengan cerpen. Munculnya gejala penjelmaan pers menjadi mirip-mirip cerpen agaknya bukan hanya dimafhumi oleh Seno, tapi juga—dan inilah yang penting—amat dinikmati oleh Seno.

Maka, sebagai seorang sastrawan yang kebetulan menjadi wartawan, atau sebagai wartawan yang kebetulan menjadi sastrawan, dia pun memadukan pers dan cerpen, atau cerpen dan pers. Dan, pemaduan ini memang tidak lain adalah ciri khas Seno. Keterikatan pada pers, dengan sendirinya, melahirkan dua obsesi.

Pertama, peristiwa yang layak diangkat hanyalah peristiwa kelabu. Bacalah pers, dan kita akan mendapat kesan bahwa dunia seolah sudah gelap dan sudah siap bangkrut. Karena itu, pers tidak pernah bisa melepaskan diri dari berita skandal, kerusuhan, dan kasus-kasus seram.

Kedua, segala sesuatu harus penuh nuansa kekinian. Cerpen-cerpen Seno, sebagaimana halnya berita pers, juga demikian. Perbedaan antara satu cerpen Seno dan cerpen dia yang lain mirip dengan perbedaan antara berita di halaman ini dan di halaman lain, dan juga berita hari ini dan berita hari lain di pers.

Sebagaimana halnya berita pers, semua cerpen Seno diikat oleh kesan seolah dunia sudah benar-benar gelap, dan segala sesuatu mesti berdimensi kekinian. Kita tahu, pers masa kini sering dikaitkan dengan industri, dan industri dianggap tidak bisa lepas dari kapitalisme. Lalu, kapitalisme dihubung-hubungan dengan kebudayaan pop, sebagaimana tercermin dalam film, musik, komik, dan hal-hal semacam itu.

Maka, Seno pun tidak melepaskan diri dari kebudayaan pop. Komik Donal Bebek, Walet Merah, Panji Tengkorak, dan lirik lagu masuk. Pada saat tertentu, pasti pers untuk kurun waktu tertentu memuat berita yang kurang lebih sama.

Kasus Bank Bali terbongkar, maka selama berminggu-minggu pers selalu menulis berita mengenai Bank Bali. Pada saat Soeharto akan jatuh, khususnya Mei 1997, pers selalu mengangkat masalah kerusuhan, demonstrasi, hujatan terhadap Soeharto, dan hal-hal semacam itu.

Seno memilih kerusuhan sekitar Mei 1997 sebagai tali pengikat ke-15 cerpen. Kendati tidak eksplisit, penjarahan, pemerkosaan, pembakaran gedung, dan lain-lain menjadi fokus. Jadinya, kontekstual.

Rakyat benci Soeharto (Paman Gober dari Donal Bebek), tapi mendongkel dia ternyata sulit, dan dia tidak mati-mati. Tentara kebingungan menghadapi ketidakpuasan di mana-mana, dan karena itu tentara kehilangan jejak bagaikan melacak Semar, karena Semar ternyata ada di mana-mana.

Wartawan memotret dengan berbagai cara, aparat marah, HP dipakai untuk menghubungi perempuan, ternyata perempuan itu habis diperkosa. Mencuri biasa mendapat hukuman berat, tapi menjarah terpaksa tidak diapa-apakan. Demikianlah kerusuhan Mei 1998 di Jakarta, sebagaimana yang diangkat oleh Seno.

Sebagaimana halnya membaca berita, membaca cerpen Seno pun bisa dilakukan cepat-cepat. Halaman pertama sampai halaman terakhir buku bisa cepat habis. Yang tersisa adalah kesan: mengerikan dan mengharukan.

Selasa, 22 Februari 2011

Sastra Singo Edan Meraung Gemontang

(Reportase, bedah “Salam Mempelai” karya Tengsoe Tjahjono)
Sabrank Suparno
http://sastra-indonesia.com/

Ada beberapa analis yang pernah mengatakan, perihal seluk-beluk kesusastraan Malang. Termasuk asumsi yang dikemukakan bahwa sastrawan Malang cenderung inklusif, tipikal, kaku dll. Asumtor itu menunjuk satu indikator yang menurut pengamatan mereka, sikap sastrawan Malang selama ini menutup diri dengan jaringan komunitas lain, egois, ber-megalomania atas kebesaran masa lalunya. Pendeknya berputar membangun kediriannya, pandangan mengenai kepribadiannya di hadapan dirinya sendiri.

Mungkin demikian kenyataannya. Sambatan serupa juga kita temukan di wilayah mana pun ketika aktivitas kesusastraan mengalami stagnan. Akan tetapi terlalu kerdil, jika sumbatan yang pada akhirnya berakibat kemampatan kesusastraan tersebut dipahami sebagai satu-satunya dikhotomi baku. Sedangkan situasi yang sebenarnya hanya kondisional, untuk merubah lebih sumringah, bukan karena pelakunya tidak mampu, melainkan tak mau.

Menilik lebih jeli perihal geliat sastra yang ada di Malang sekarang, tidaklah separah gambaran di atas. Komunitas Pelangi Sastra Malang yang dipandegani rekan Denny Mizhar, terbukti mampu meng-agen-da-kan kecipak kesusastraan yang rutin tiap bulan. Itu terhitung satu komunitas. Sedang dalam lingkup wilayah Malang, ada puluhan bahkan ratusan pegiat sastra dari berbagai jebolan kampus, baik yang bergerak di komunitas pun independent.

Bukti adanya geliat sastra di kota pendidikan ini terlihat pada tanggal 23 Januari 2011 pukul 9;00 pagi. Dimana Komunitas Pelangi Sastra mengadakan bedah kumpulan puisi “Salam Mempelai” karya Tengsoe Tjahjono. Acara yang diadakan di Aula Perpustakaan pusat Kota Malang JL. Raya Ijen 30A itu mampu menarik perhatian pengunjung perpus yang setiap hari berjubel. Maklum bertepatan hari Minggu yang di sekitar kawasan itu digelar pasar dadakan; pasar Minggu pagi.

Sepanjang tergelarnya acara tampak lebih rampak dengan iringan alunan Swara Akustik garapan dua musisi sepuh yang masih bersemangat, mBah Antok dan Pak Abi. Denting dawai kedua misisi inilah yang menghantarkan Grace Forevah membacakan larik-larik puisi guratan Tengsoe. Sastra seperti menyatu dalam jiwanya. Power suaranya menunjang, membuat Grace mampu membacakan puisi tersebut lebih hidup.

Yang tak kalah mengesankankan ialah gadis sepantaran Grace, Maria Dini anak perempuan Tengsoe. Meski tak sepiawai Grace, pengunjung seperti merasakan jalinan kemesraan bersastra antara bapak dengan anaknya. Tampak mata Tengsoe berkerling kaca ketika anaknya membacakan puisi karyanya.

Setelah diulas lebih komprehensif oleh sastrawan muda Yusri Fajar yang telah menyelesaikan kuliahnya di Jerman dan kini mengajar di FIB Univ Brawijaya, buku “Salam Mempelai” berubah menjadi secawan anggur. Tak heran jika banyak pengunjung segera meneguk sejudul puisi untuk dibaca sebagai sela acara berlangsung. Sebut saja Nanang penyair Malang dkk, Alex dari Komunitas Rebo Sore Surabaya yang sengaja nimbrung pagi itu. Pun Ibu Faradina, selaku pecinta sastra yang berdomisili di Malang ini, turut kesemsem untuk membacakan secara spontan dengan lihainya. Sedang Bonari Nabonenar juga sempat menjenguk acara yang digagas kaum muda tersebut. Nurel Javissyarqi (penyair Lamongan) membaca puisi yang berjudul “Pengantin Pagi,” dan Denny Mizhar berhasil menuntaskan pembacaan puisi terpanjang dalam buku itu dengan judul “Lia dan Rambutnya.”

Menurut Yusri Fajar, penyair seusia Tengsoe Tjahjono masih terkesan optimis membangun reruntuhan sejarah Indonesia. Terbukti dari beberapa puisinya dipenuhi nuansa akulirik-romantis yang dituangkan secara hati-hati sebagai bentuk rekaman perjalanan merantaui ke berbagai wilayah di Nusantara. Padahal setiap penyair selalu dihadapkan tiga permasalahan mendasar selama hidupnya; politik, eksistensi dan metafisik. Sedang keprihatinan Tengsoe terhadap ketimpangan sosial, digambarkan dalam puisi “Rembang Dolly” yang digurat secara stereotype yang dinilai berhasil tak membuat PSK tersinggung.

Selain Denny Mizhar, geliat sastra di Malang juga bisa kita jumpai kegetolan mBak Ratna (Cerpenis kawakan) yang hingga kini rutin menumbuhkembangkan potensi berkesenian kawula muda. Sebagai konsekwensi seniman, yang meski pun tidak wajib hukumnya, mBak Ratna pada tanggal 23 Januari jam 7 malam, sibuk melangsungkan acara rutinan yang dikenal ‘Musik Arbanat’, ramuan aransemen dari beberapa biolis muda.

Predikat Malang sebagai kota pendidikan, otomatis disertai pembludakan berbagai jenis kampus, fakultas dengan segala macam perkuliahannya yang diamberi pembelajar sejagat berduyun-duyun dari seantero Tanah Air. Meski masyarakat Malang bercorak urbanisme; wilayah potensial untuk membangun imperium kesusastraan setara kota-kota megapolitan lain di Indonesia.

Malang, dengan psikologi kota yang dihuni penduduk rata-rata berintelektualitas tinggi, keberadaan sastra cukup berarti. Walau sastra hanya setara garam, yang dipandang remeh-temeh dengan disiplin ilmu hidup lainnya, ternyata menjadi bumbu penyedap kebuntuan, kegersangan, kepenatan jiwa seluruh kaum profesional ketika mentok pada titik kejenuhan. Seringkali sms atau facebook dari para dosen, mahasiswa non sastra, ”Cak! Ajari aku bersastra. Ampang rasanya keilmuanku tanpa disertai sastra.” Menggauli sastra berarti membiasakan diri berperilaku lembut, menjaga kearifan bersikap sosial, mengasah ketajaman intuisi, merangsang kepekaan perasaan, menyelami kedalaman jiwa, mengembangkan wawasan luas, bahkan menuju spiritualitas (Budaya Tanding Emha).

Keberadaan Pelangi Sastra Malang hanyalah Gogor (anak macan) mungil yang pada saatnya tumbuh besar sebagai Singa nan lantang berkoar. Kapan? Tak butuh waktu lama. Asal para pecintanya segera merapat rukun dan guyup. Diawali kebersediaan para singa sastra untuk bertengger di pelataran kampus. Kemudian berlompatan antar ubung-ubung kampus lain. Barulah segera ancang raungan ke delapan penjuru mata angin.

*) Lahir di Jombang 24 Maret 1975. Redaktur Bulletin Lincak Sastra. Beralamat di Dowong RT/RW: 08/02. Desa Plosokerep, Sumobito, Jombang. Email: sabrank_bre@yahoo.com

Ruang Batin yang Tumbuh dari Mata

Abdul Aziz Rasjid
http://sastra-indonesia.com/

Malam ini –setelah purwokerto diguyur hujan deras, dingin dan saya ditemani kopi serta lagu Clapton yang bertajuk Pilgrim— aku benar-benar menikmati membaca puisi Hanna Fransisca yang bertajuk “Tumbuh dari Matanya”. Bait pertama puisi itu, diawali baris-baris yang berkata begini:

Perempuan di kaca mobil,
membuka jalan
hujan memanjang
hitam.

Baris-baris itu dibangun dari latar-latar material “kaca mobil, jalan, hujan yang memanjang”. Kaca mobil sebagai latar material berasosiasi dengan latar material lainnya yaitu jalan, dimana dua material ini berpusat pada penglihatan aku lirik yaitu perempuan. Suasana yang ditimbulkan dari dua latar material ini semula terkesan biasa saja, tetapi lalu menggetarkan ketika baris terusannya berkata: “hujan memanjang/ hitam”.

Hitam adalah warna yang pekat, dan semakin bertambah pekat dengan adanya bait kedua yang ternyata mengkisahkan suasana ruang batin khas dalam posisi “sunyi dan asing” dan makin menggenaskan sebab diakhiri dengan citarasa yang pahit yaitu “empedu”.

Ia menjadi simpanan
sunyi,
asing,
dan yang empedu.

Lalu, dari kepekatan yang ruang batin yang pahit itu, ternyata aku lirik mendedahkan suara batin yang bagiku cukup mengagetkan:

Andai tumbuh sayap
di punggungnya, izinkan ia
menjadi tuhan

Ruang batin yang terasa sebagai suara privatif, yang berusul dari semacam peristiwa kepahitan “jarak dan hujan yang tumbuh dari mata” yang pada ujungnya ternyata tak berbuah pelapukan. Malah sebaliknya, diolah menjadi oasis nurani dimana aku lirik ingin belajar membaca peristiwa yang dialaminya.

Ia ingin belajar
membaca, pada apa yang tertinggal
sebagai jarak, yang menjadikannya
hujan selalu tumbuh
dari matanya.

Sebagai pembaca, keinginan untuk belajar itulah yang aku kira menjadikan daya puisi seperti datang dari ruang batin yang menjadi merdeka. Dan disinilah aku berpendapat puncak estetika puisi berada, dimana puisi ditulis untuk optimisme yang perlu untuk senantiasa dijaga oleh manusia, masa lalu dipantulkan sebagai pelajaran berharga untuk difungsikan merangkai keesokan untuk menjadi kemungkinan kebahagiaan.

Tumbuh dari Matanya
Hanna Fransisca
Untuk semua sahabat

Perempuan di kaca mobil,
membuka jalan
hujan memanjang
hitam.

Ia menjadi simpanan
sunyi,
asing,
dan yang empedu.

Andai tumbuh sayap
di punggungnya, izinkan ia
menjadi tuhan.

Ia ingin belajar
membaca, pada apa yang tertinggal
sebagai jarak, yang menjadikannya
hujan selalu tumbuh
dari matanya.

Senja hari dalam perjalanan menuju Jakarta, 25 Agustus 2010

PERANG DINGIN GAGASAN ESTETIK PUISI DAN FIKSI

S. Jai *)
http://ahmad-sujai.blogspot.com/

MEMBACA kembali fiksi dan realitas sastra kita kini, tentunya merupakan suatu upaya yang tepat dan pada waktu yang tepat pula—sebelum jatuh dalam nostalgia berkepanjangan. Kita hampir saja mengalami sindrom nostalgia pada kedua hal yang jelas berkait erat itu. Bahwa walaupun pada mulanya semangatnya untuk “membaca kecenderungan estetika fiksi kita” akan tetapi sudah barang tentu bakal mencermati subtansi di balik teks sastra khususnya pandangan dunia sebagaimana kerap kali mencuat di pelbagai media.

Termasuk kemungkinan bilamana mempertanyakan “realitas sastra,” tidak mustahil bisa mengembara pada hal yang terkait dengan pandangan dunia pengarang atau komunitas sastra. Akan tetapi sebelum pergi ke sana, penting bagi kita bersepakat bahwa sesungguhnya posisi seniman, sastrawan adalah selaku intelektual atau cendekiawan yang memantik perkembangan ilmu pengetahuan dengan ide-ide gagasan barunya di bidang sastra. Terlepas apakah kemudian sastrawan dan karyanya dibaca dengan kacamata gramcian, sosiologi pengetahuan, sejarah mental dan lain sebagainya.

Bagi banyak penulis istilah intelektual dan intelegensia mengesankan sebagai pemikir yang kritis, progresif, ditambah dalam bahasa Karl Menhaim “terasing dan terpisah dari masyarakat.” Di Indonesia tokoh satu ini diperkenalkan oleh kritikus sastra Arif Budiman.

Karena tidak berkelas menyebabkan posisi cendekiawan menjadi rumit di hadapan beberapa kenyataan; struktur sosial yang berkembang terus-menerus, kemudahan kaum intelektual bergerak melintasi struktur-struktur tersebut sehingga menyebabkan mereka dapat dihubungkan dengan pelbagai kelompok social.

Nah, gagasan kaum intelektual terutama merupakan produk hubungan-hubungan tersebut yang juga dipengaruhi asal-usulnya, karakter kelompok dari selama kependidikan, di samping pengaruh kesempatan kaum intelektual untuk mengikat mereka dengan pelbagai kelompok sosial dalam pekerjaan dan politik sewaktu mereka menjalani pendidikan formal atau sesudahnya.

Saya sendiri berpendapat, sastra sebagai ilmu sudah jauh melompat dari itu, karena sastra juga bergulat sampai pada rasa sakit, takjub dan kesahduan, cinta kasih, ambisi, kebencian, kematian, kesepian, dan sebagainya. Sastrawan dengan daya intelektualnya memandang realitas sastra sudah pada persoalan visi dan ekspresi—dengan kata lain melibatkan baik dengan nalar, ambang batas nalar, di luar batas nalar maupun kegaiban-kegaibannya, juga kerinduannya untuk sanggup menyongsong massa depan.

Di atas segala hal itu, bagaimana sastrawan memandang realitas sastranya?

Saya kira inilah sebetulnya realitas dari daya intelektual yang sedang diperbincangkan oleh banyak kalangan saat ini. Sebagaimana Ibnu Chaldun mendefinisikan visi sebagai “Jiwa menatap kilatan dari berbagai citra realitas. Melalui tatapan itu jiwa mendapatkan pengetahuan mengenai hal-hal mendatang yang ia rindukan.”

Konon hingga detik ini penyairlah yang punya kesanggupan menjelaskan visi dan ekspresinya. Sementara para pengarang: jarang—untuk tidak mengatakan tak mampu menjelaskannya. Saya tidak tahu persis apakah hal ini dikarenakan memang puisi memerlukan penjelasan, sementara prosa atau fiksi sebagaimana dalam bahasa Adonis yang sinis hanyalah berisi penjelasan-penjelasan informatif. Ataukah telah menjadi kebiasaan tak adanya karya kreatif “saya tentang saya” yang mempertegas visi dan ekspresi pengarang di samping karya mereka.

Kalau mau jujur sebetulnya antara puisi dan prosa sedang dalam keadaan perang dingin. Bahkan dalam diri penulis yang menulis keduanya. Walaupun antara keduanya bisa terjangkit penyakit miskin ide-ide besar kesusastraan kaum intelektual sebagaimana era Sanusi Pane, Sutan Takdir Alisyahbana, Armijn Pane, Ajib Rosidi yang progresif mengusung ide besar—dari yang mengacu pada ideologi tertentu maupun yang anti ideologi, sejak perdebatan fungsi kesusastraan, nasionalisme budaya, persoalan angkatan hingga perdebatan yang kemudian sering ditimbultenggelamkan dan dinilai tidak relevan—sebagaimana misalnya pandangan Ulrich Kratz menghabiskan energi untuk kesana.

Puncaknya, para penulis fiksi musti menggedor kunci gembok di rumah sastra yang ditinggal pergi oleh penyair Sutardji Calzoum Bachri. Suatu keadaan sikap keengganan penyair (yang diekstremkan Sutardji) menerima ide-ide atau rumusan pikiran yang memberi arah apapun pada kesusastraan, apalagi ideologi. Sutardji mengeluarkan kredo: “Kata-kata bukanlah alat untuk menyampaikan pengertian. Dia bukan seperti pipa untuk menyalurkan air. Kata adalah pengertian itu sendiri. Dia Bebas.” Bahkan kelak kemudian hari, betapa Sutardji terkunci dengan kredonya sendiri saat menelorkan kredo kedua dalam fiksi-fiksinya yang menyebabkannya terdengar agak lucu: “Pengungkapan yang ringan dari realitas yang berat, di situlah unsur seni dari cerpen-cerpen saya.” Bukankah menjadi intelektual, menjadi cendekiawan, menjadi sastrawan adalah pekerjaan berat dan yang paling ringan adalah tidak melakukan apa-apa? Pertanyaan ini saya unduh dari hasil pembacaan atas kredo Sutardji yang pertama. Artinya, Sutardji pun menyudet kredo puisinya sendiri saat berpikir tentang fiksi.

Pertanyaan pentingnya tentu saja adalah, meskipun masing-masing argumentasi setiap debat gagasan kesusastraan mencoba menyingkap estetika di baliknya atau (ini yang lebih menarik) mencoba menawarkan estetika untuk mengawali gerakan sastra—seperti pada Perdebatan Sastra kontektual (1984) dan juga Revitalisasi Sastra Pedalaman (1993), akan tetapi benarkah memang ada ide besar? Lantas sejauhmana ide itu membiak pada fiksi?

Terus terang, saya pribadi agak meragukan itu, semisal ketika melihat kenyataan bahwa acuan pertama Perdebatan Sastra Kontekstual yang dimotori Ariel Heryanto, Arief Budiman, Halim HD itu adalah tulisan Goenawan Muhamad—tokoh yang disebut Keith Foucher sebagai anti ide—soal teater : Sebuah Pembelaan untuk Teater Indonesia Mutakhir.

Nah. Puisi, Prosa, Teater. Ada apa sebetulnya di balik itu?

***

MENCERMATI kenyataan seperti itu, tentu menarik jika menelisik beberapa kata kunci dari Edgar Du Peron—sastrawan Belanda keturunan Prancis Kelahiran Jatinegara. Bahwa, pertama, Yang paling dibutuhkan sastra Indonesia adalah bahasa Indonesia yang kaya akan daya ekspresi. Apabila Indonesia menemukan sendiri seorang penulis besar yang mampu memberi bentuk pada bahasa Indonesia, yang penting tersebut, itu lebih baik. Kedua, Tapi jika kekuatan dalam bahasa itu datang melalui “para penutur cerita” yang mampu menangkap imajinasi public dan luas dibaca orang, maka tak ada alasan untuk cemas. Kekuatan dalam kesusastraan betapapun hanya bisa muncul dari kekuatan dalam bahasa.

Saat itu Du Peron mengomentari perdebatannya dengan Sjahrir—tokoh politik yang pendapatnya sering menjadi spirit dan dikutip sastrawan Belanda lainnya, MH Szekely Lulof— perihal rumusan konsepsi sastra sosialis-realis dari Eropa menjadi Indonesia dalam sebuah polemik di Majalah Pujangga Baru asuhan Sutan Takdir Alisyahbana.

Nasib baik sejarah kesusastraan kemudian menjatuhkan pada Chairil Anwar, seorang penyair, yang sanggup menterjemahkan kata-kata Du Peron—dan pada akhirnya sejarah sastra penting kita dimulai dari sini. Sonder ketidakberpihakannya pada statemen kedua, “para penutur cerita.” Hal ini dibuktikan dengan ketidakberpihakan sejarah sastra pada pengarang Manusia Bebas, Soewarsih Djojopoespito meskipun bahwa realitas sastra ketika itu berbiak pula prosa (fiksi) realis selain tentu saja puisi-puisi simbolik dari sekelompok kecil penulis di sekitar Chairil Anwar yang mengatasnamakan budaya kita melalui peleburan seni modern dan sastra eropa. Nyata bahwa keduanya, baik prosa (fiksi) realis dan puisi simbolik berbiak dari tingkat kesinambungan yang tinggi dari tradisi intelektual budaya sebelumnya dengan bahasa Belanda sebagai medium ekspresinya, terjalin dari akar gerakan nasionalisme aliran Sjahrir.

Andai Novel karya Soewarsih Djojopoespito—istri anggota pertama PNI Baru Sjahrir—yang semula dalam bahasa Sunda bisa diterbitkan di Balai Pustaka ketika itu, atau saat karyanya Buiten Het Gareel atas dorongan Du Peron ditulis dalam bahasa Belanda dianggap penting menerbitkan estetika sastra kita, barangkali sejarah sastra utamanya prosa atau fiksi di kemudian hari akan gemilang. Termasuk kemungkinan bersinarnya sastra dengan warna dan bahasa kedaerahan. Namun meski penting, novel realis Soewarsih yang terbit di Belanda 1940 berkat usaha keras Du Peron, terabaikan karena ditulis dalam bahasa Belanda. Novel itu bertutur tentang tokoh Soelastri, otobiografi dari pengalamanya menjadi Guru Taman Siswa yang dikelola suaminya 1933-1937.

Sungguh nasib sejarah yang kurang baik dan ironis dibandingkan setidaknya pada Max Havelar karya Multatuli maupun Koeli karya Madelon Hermine Szakely Lulof. Multatuli lahir di Amsterdam 2 Maret 1820, dan Lulof pengarang keturunan Belanda yang dijuluki Multatuli Perempuan ini kelahiran Surabaya 24 Juni 1899. Wajar bila keduanya karya-karyanya lantas terkenal di Belanda lantaran memang keturunan Belanda. Sementara hal itu tidak terjadi di negerinya sendiri pada Soewarsih yang kelahiran Bogor 21 April 1912 dan juga pada karyanya hanya karena ditulis dalam bahasa Belanda—bahasa yang menjadikan tradisi intelektual kelompok Chairil Anwar pula.

Pribadi Chairil dan disokong kelompoknya menciptakan takdirnya sendiri dengan memindahkan kerangka cultural-intelektual di lingkaran jurnal Kritiek en Opbouw dari bahasa Belanda ke dalam Bahasa Indonesia. Lebih dari itu, dia menolak seluruh yang menandai jenis pemikiran cultural yang berkembang di sekitar nasionalisme politik Sjahrir, menyerang Pujangga Baru dan mengecam seniman yang bekerja sama dengan aparat propaganda Jepang.

Komunitas kecil Chairil sadar harus memanfaatkan jaringan Belanda. Mereka adalah Asrul Sani, Rivai Apin, M Balfas, Baharudin, Ida Nasution. HB Jassin, Idrus, Mochtar Lubis, Rosihan Anwar, Gadis Rasjid—mengelola jurnal budaya yang didanai dari Belanda Gema Suasana. 1948. Pada jurnal itu pula prosais Idrus, Balfas, Utuy Tatang Sontani mempublikasikan karyanya. Lalu beralih ke jurnal berita mingguan yang berorientasi ke Sjahrir. Di luar lingkaran mereka masih ada pengarang dari laskar-laskar tentara termasuk Pramudya Ananta Toer.

Saat itu lingkaran Kritiek en Opbouw mengelola jurnal Orientatie disokong oleh pemerintah Belanda demi kepentingan politiknya. Berkat Rob Nieuwenhuys, jurnal itu bertekad tampil betul-betul sastrawi menghindar dari kepentingan propaganda Belanda dan menjadikan wadah pertemuan individui-individu pelbagai ras yang telah melihat “Indonesia” yang baru sebagai tanah airnya.

Meskipun Chairil memilih di luar lingkaran Sjahrir, pada Gema Suasana jugalah ide-ide Sjahrir tampil. Gagasan pentingnya: Menentang idealisasi idealisasi budaya timur atau barat, keharusan memilih tuan dan hamba, kapitalistik dan budak. Keduanya harus ditolak karena hanya nostalgia di tengah upaya menempa budaya yang sesuai dengan tuntutan dunia modern.

Yang tak kurang pentingnya, melalui juru bicara Kelompok Chairil, Ida Nasution, komunitas itu mempertegas konsepsi internasionalismenya sebagai identifikasi estetika modernis eropa. Pengertian yang terkadung di dalamnya, bahwa kerangka “internasional” itu meletakkan tanggungjawab penuh integritas seniman/intelektual secara individual sebagai “pembangun budaya”. Nasionalisme Budaya dicampakkan sebab mengaburkan tanggungjawab individual. Yang dibutuhkan adalah tanggungjawab pribadi.

Inilah cikal bakal “Humanisme Universal” dan Nasionalis yang kemudian pada 1950 diadopsi dari Surat Kepercayaan Gelanggang. “Temuan kami, barangkali tidak selalu orisinil; namun hal terpenting yang perlu kita temukan adalah manusia itu sendiri.” Boleh jadi idiom “tidak selalu orisinil” kelak kemudian hari menjadi catatan tersendiri bagi sejumlah kalangan dalam perdebatannya.

***

KEPENGARANGAN Idrus dan Pramoedya dalam sejarah sastra kita terhitung unik. Pada waktu Chairil menempatkan diri sebagai “pengamat” dan bukan pencatat peristiwa revolusi, sementara itu Pramoedya Ananta Toer adalah “orang dalam” revolusi. Keduanya sadar mencari jalan hidup mereka sendiri. Namun bagi Chairil, kebebasan mengikuti kodrat individual tak terpisahkan dan saling berhubungan dengan perjuangan melawan Belanda.

Sebaliknya, bagi Pramoedya meski keduanya dipertemukan pada usaha memperjuangkan kebebasan dari penjajahan Belanda, seringkali karya Pramoedya mementahkan humanisme yang menjadi panji komunitas yang kemudian oleh Jassin disebut Angkatan 45. HB Jasin dan juga A Teeuw terlambat mengakui Pramoedya sebagai pengarang yang kuat pada zaman itu. Hal yang sama terjadi atas kepengarangan Idrus. Novel Keluarga Gerilya, dari catatan Keith Foutcher disebut sangat sentimental dan melodramatic dan kian dekat dengan gagasan humanisme universal.

Atas diri Pramoedya, komitmen HB Jasin hanya tampak pada novel Perburuan. Oleh HB Jasin novel itu didaftarkan sebuah lomba yang disponsori Balai Pustaka dan menang. Perburuan sebagai novel awal Pramoedya semakin dekat dengan gagasan humanisme universal memperlihatkan Pramoedya pada awalnya fokus pada usaha tokoh memahami masalah universal dan harga kemanusiaan yang harus dibayar oleh revolusi. Namun sejumlah karya Pramoedya berikutnya mempertontonkan akrobatik ekperimen pelbagai gaya kepenulisan baik di dalam maupun di luar ideologi sastra yang diasosiasikan dengan angkatan 45.

Keith Foutcher mengecualikan novel Surabaya karya Idrus. Yang menarik kisah seputar karya Idrus berjudul Surabaya, masuk angkatan 45 karena kejujurannya memasukkan segi-segi negative revolusi—kemunafikan, kesombongan, immoralitas para pejuang—yang tentu saja keluar dari komitmen perjuangan, revolusi dan nasionalisme sebagaimana dipersyaratkan komunitas Chairil Anwar. Karena itu Surabaya semasa revolusi karya itu menjadi dalam bahasa Foutcher: anomali. Dalam komunitas kecil “Angkatan 45” Surabaya memang dianggap tak memiliki kejelasan karakteristik dan bahkan sanggup menjadi boomerang nasionalisme. Akan tetapi dari sisi humanisme Surabaya tidak meragukan lagi kegemilangannya. Novelnya yang lain Perempuan dan Kebangsaan, lebih tragis nasibnya setelah dikesampingkan karena gagal menyeimbangkan gagasan humanisme dan nasionalisme di Indonesia. Novel otobiografis tersebut mengkritik para penulis yang begitu seenaknya mencomot model kesusastraan dan teori psikologi dari luar negeri—termasuk HB Jasin. Tampaknya sikap bertentangan ini muncul semata-mata karena HB Jasin merasa terpojok oleh penggambaran Idrus dalam novel tersebut.

Pelbagai perkecualian pada Idrus dan Pramoedya yang tak bernasib baik atas gagasan estetis lingkaran Chairil Anwar tersebut, tampaknya bisa menambah deretan penolakan adanya pemberontakan estetika angkatan 45 setelah Sutan Takdir Alisyahbana, tentunya. Dalam Majalah Pujangga Baru Edisi X Pebruari- Juni 1949, Takdir menolak ada perbedaan hakiki antara Pujangga Baru dan Angkatan 45. Pendapat itu didasarkan atas “cita-cita pembebasan dan penumbuhan pribadi” yang katanya pada kedua angkatan itu menimbulkan pribadi yang sangat berbeda-beda. “Dilihat dari jurusan pembebasan manusia baru dan pembuka kemungkinan-kemungkinan baru bagi bahasa Indonesia, sesungguhnya gerakan angkatan 45 itu sambungan belaka dari Pujangga Baru.”

Tahun 1950, kelompok Chairil Anwar malah digugat Ajib Rosidi sebagai angkatan yang gagal dan kemudian ia mendeklarasikan “angkatan terbaru sastrawan Indonesia.” Ajib Rosidi menempatkan nasionalisme melalui unsur kedaerahan dari keindahan legenda, permainan anak, balada romantic: Priangan si Jelita (Ramadhan KH), Balada Orang-Orang Tercinta, (Rendra), Roman Perjalanan (Kirdjomulyo).

Begitulah, atas nama revolusi untuk selanjutnya pelbagai perkembangan sejarah kebudayaan termasuk seni dan sastra melaju pesat, terlepas dari keberpihakannya pada kekuasaan politik tertentu. Utamanya kaum Soekarnois yang banyak mendapat suntikan pemikiran dari Lenin dan Mao Tse Tung.

Sementara itu kelompok Manifes Kebudayaan mendapat tradisi intelektualnya dari Chairil Anwar, Albert Camus, Boris Pasternak yang jelas memulihkan tanggungjawab individu dalam bidang seni dan sastra juga mengampu pada jargon-jargon revolusi. Setidaknya seperti itulah yang diakui Goenawan Mohammad—salah seorang peneken Manifes Kebudayaan—dalam Seks, Sastra dan Kekuasaan. Hal ini kentara terlihat usai Manifes Kebudayaan dilarang pemerintah Soekarno, mereka mencoba membuktikan semangat revolusi yang besar dalam gayanya. Tulisan esai, cerpen, puisi bertema revolusi, kehidupan buruh, epos perang kemerdekaan, dan sebagainya. Diantaranya, Bumi yang Berpeluh, Mereka Akan Bangkit (Bur Rasuanto)

Karena itu sebetulnya hingga saat ini boleh dikata perseteruan dan perang dingin gagasan estetika antar keduanya masih misterius, berkembang terus atau salah satu diantaranya tergerus. Utamanya terkait dengan bagaimana pandangan dunia pengarang pasang wajah dan badan di hadapan kekuasaan politik dan kebudayaan tertentu.

Selain kenyataan di atas, guna menimbang asumsi tersebut, hal penting yang perlu dikemukakan di sini adalah bahwa dalam konsepsi Kebudayaan Rakyat—konggres kebudayaan 6-8 Oktober 1951 para pengikut Soekarno: ….Perjuangan Kebudayaan Rakyat…merupakan bagian yang tidak dapat dipisahkan terutama dengan perjuangan kelas buruh dan tani yaitu kelas yang menjadi pemimpin dan tenaga terpenting dan pokok dalam perjuangan rakyat. Sepuluh tahun kemudian, ketika perhelatan kian menghebat, tercatat pula saat kelompok pencetus Manifes Kebudayaan mengadakan konferensi para pengarang seluruh Indonesia 1-7 Maret 1964 yang didukung oleh Jenderal AH Nasution dan A Yani, menghasilkan 5 ikrar yang salah satunya: Kami pengarang Indonesia taat kepada garis Pemimpin Besar Revolusi Indonesia, Bung Karno.

Bagi generasi yang di luar konteks sejarah saat itu tentu sulit untuk betul-betul memahami situasi. Akan tetapi bisa dimengerti mengapa Lekra segaris dengan Soekarno dan Manifes Kebudayaan dilarang karena dianggap ragu-ragu terhadap revolusi. Lantas maklum bila akhirnya para penandatangan Manifes Kebudayaan mengirimkan surat “mematuhi larangan tersebut.” Permakluman itu tidak tercatat dalam sejarah kesusastraan kita, karena memang tidak menentukan nilai estetika sastra—jikapun tidak dibaca sebagai karakteristik yang bisa meruntuhkan perjuangan untuk meraih wibawa atas nilai estetika sastra kita pada komitmen kebebasan dan pembebasan manusia. Buntutnya, nyatalah kemudian publik sastra akhirnya terjatuh dalam kubangan idiom yang sangat sulit untuk dipahami: politik sastra. Semakin politik susah untuk dipahamii, maka sastra pun seakan lebih sukar untuk dimengerti visi dan ekspresinya.

***

MENYAKSIKAN gebalau kekuasaan politik yang membayang-bayangi kebudayaan, seni juga sastra, Iwan Simatupang mengoreksi posisi kecendekiawanan yang sebelumnya menurut dia tidak independen karena terlibat masalah keorganisasian, politik dan bukan masalah kecendikiawanan. Baginya tugas cendekiawan: menjadi anak zaman, saksi budaya, dan sejarah, serta berperan sebagai hati nurani masyarakat yang kadang terpaksa tidak bersuara seirama dengan slogan politisi right or wrong, my country.

Iwan menggambarkan sikap independen seorang seniman atau pengarang, sebagai pendirian dasar untuk membangun kehidupan individu yang asli, yang otentik. Otentisitas seorang seniman sangat perlu untuk melahirkan karya-karya budaya, yang orisinil. Bagi Iwan, otentisitas diri tidak mungkin ditemukan dalam fanatisme, tetapi dalam suasana jiwa yang sunyi sepi dan terbuka menerima relativitas kebenaran. Usaha Iwan ini serasa lebih berat karena bacaan-bacaan filsafat barat sudah telanjur banyak dibacanya. Tampak jelas hasil nyata dari pandangan dunianya pada revolusi pada Merahnya Merah.

Dari penegasan Iwan Simatupang tersebut, nyatalah bahwa yang dibutuhkan adalah urgensi kesusastraan yang terbebas dari kepanglimaan politik dan “budaya.” Sastra Indonesia membutuhkan landasan konsepsi keindonesiaan itu sendiri, yang tentu saja berbeda-beda dan hiterogenitas, termasuk kemungkinan potensi sastra daerah. Iwan Simatupang sendiri pernah mengajar di sebuah SMA di Surabaya sekitar tahun 1950-an dan memiliki murid-murid diantaranya Satyagraha Hoerip—sastrawan kelahiran Lamongan yang menjadi salah satu pelestari humanisme universal dan Soeprijadi Tomodihardjo kelahiran Kediri, yang kemudian dikenal sebagai penulis Lekra.

Salah satu sosok penting dan menarik lainnya adalah WS Rendra. Sepertinya Rendra berhasil mencuri perhatian dari mainstream kesusastraan yang berhumbalang pada zamannya. Yaitu perjuangan Rendra merebut puisi-puisi sosial—yang ia sebut sebagai pamlet. Betapa estetikanya secara psikologis tentu saja dianggap tidak penting selain juga akibat trauma Lekra. Ia pun sendirian ketika kekuasan politik yang tak terlawankan menebar jargon “jangan campuradukkan kesenian dengan politik” yang memasung kemungkinan tumbuhnya kesenian. Inilah yang digugat dan perlu dibebaskan.

Pembacaan daya hidup Sutan Takdir Alisyahbana oleh Rendra, baginya menarik, akan tetapi ia kecewa terhadap sikapnya yang terlalu absolute dalam menolak sastra yang kemudian hari disebut sastra bisu dan juga sastra yang melihat keterbatasan manusia. Sebab dalam penghayatan akan jalan alam manusia, penyadaran akan keterbatasan manusia justru akan mencapai katarsis. Sedangkan para sastrawan bisu sebenarnya bisa mengungkapkan hubungan antar manusia dengan segenap liku-liku jiwanya secara mendalam, atau sebenarnya bisa menggarap masalah-masalah manusia yang lain yang berada di luar jangkauan masalah social, ialah masalah agama dan sebangsanya. “Alangkah mengecewakannya, apabila seniman-seniman itu menjadi bisu karena miskin penglihatan atau miskin rasa kemanusiaan,” katanya.

Di luar itu, disinyalir sejak tahun 1980-an perkembangan kesusastraan telah mengalami gejala anutan tunggal gaya baru. Dulu Lekra berusaha menciptakan suatu bangunan struktur kesenian dengan anutan tunggal. Lalu, Manifes Kebudayaan berusaha merebut kemerdekaan, tetapi kemudian prinsip pemurnian dan pembebasan yang ditumbuhkan olehnya telah sampai pada suatu tirani baru. Konon. Fiksi dan puisi masih belum beranjak dan tetap di tempat yang sama. Ada yang menyadari ada yang tidak menyadari. Ada yang menyadari lalu berbuat sesuatu, melakukan pelbagai ekperimentasi, atau dengan mencoba kembali menciptakan teknik-teknik baru meskipun dianggap sia-sia. Ada pula yang menyadari akan tetapi tidak melakukan apa-apa. Barangkali yang terakhir ini jumlahnya makin lebih banyak lagi. Ya, barangkali. []

*) Penulis adalah pengarang

Daftar Pustaka

Adonis. 2009. Arkeologi Sejarah Pemikiran Arab-Islam. Yogyakarta. LKiS.

Bachri, Sutardji Calzoum. 1981. O Amuk Kapak. Jakarta. Penerbit PT Sinar Harapan.

______. 2007. Isyarat, Kumpulan Esai. Yogyakarta. Indonesia Terra.

Brym, Robert. 1993. Intelektual dan Politik. Jakarta. Pustaka Utama Grafiti.

Darma, Budi. 1984. Solilokui, Kumpulan Esai Sastra. Jakarta. Gramedia.

Foulcher, Keith. 1994. Angkatan 45: Sastra, Politik dan Revolusi Indonesia. Jakarta. Jaring Kerja Budaya.

Hartoko, Dick. 1985. Bianglala Sastra, Bunga Rampai Sastra Belanda Tentang Kehidupan di Indonesia. Jakarta. Penerbit Djambatan.

Jasin, HB. 1963. Pengantar: Pujangga Baru, Prosa dan Puisi. Jakarta. Gunung Agung.

Mohamad, Goenawan. 1980. Seks, Sastra, Kita. Jakarta. Penerbit PT Sinar Harapan.

Nadjib, Emha Ainun. 1995. Terus Mencoba Budaya Tanding. Yogyakarta. Pustaka Pelajar.

Parera, Frans M. 1986. Seorang Cendekiawan Sebagai Saksi Sejarah dalam Surat-Surat Politik Iwan Simatupang 1964-1966. Jakarta. LP3ES.

Rendra. 1984. Mempertimbangkan Tradisi. Jakarta. Gramedia.

Rosidi, Ajib. 1995. Sastra dan Budaya, Kedaerahan dalam Keindonesiaan. Jakarta. Pustaka Jaya.

A Musthafa A Rodhi Murtadho A Wahyu Kristianto A. Mustofa Bisri A. Qorib Hidayatullah A. Zakky Zulhazmi A.J. Susmana A.S. Laksana Aang Fatihul Islam Abdul Azis Sukarno Abdul Aziz Rasjid Abdul Hadi W. M. Abdul Kadir Ibrahim Abdul Malik Abdul Wachid BS Abdullah al-Mustofa Abdullah Khusairi Abdurrahman Wahid Abidah El Khalieqy Abimanyu Abimardha Kurniawan Abroorza A. Yusra Acep Iwan Saidi Acep Zamzam Noor Achmad Maulani Adek Alwi Adhi Pandoyo Adrian Ramdani Ady Amar Afrizal Malna Agnes Rita Sulistyawati Aguk Irawan Mn Agus R. Sarjono Agus Riadi Agus Subiyakto Agus Sulton Aguslia Hidayah Ahda Imran Ahm Soleh Ahmad Farid Tuasikal Ahmad Farid Yahya Ahmad Fatoni Ahmad Kekal Hamdani Ahmad Luthfi Ahmad Muchlish Amrin Ahmad Nurhasim Ahmad Sahidah Ahmad Syauqi Sumbawi Ahmad Yulden Erwin Ahmad Zaini Ahmadie Thaha Ahmadun Yosi Herfanda Ainur Rasyid AJ Susmana Ajip Rosidi Akhiriyati Sundari Akhmad Muhaimin Azzet Akhmad Sekhu Alan Woods Alex R. Nainggolan Alexander Aur Alexander G.B. Alfian Dippahatang Ali Audah Ali Rif’an Aliela Alimuddin Alit S. Rini Alunk Estohank Ami Herman Amich Alhumami Amien Wangsitalaja Aming Aminoedhin Aminudin TH Siregar Ammilya Rostika Sari An. Ismanto Anaz Andaru Ratnasari Andhi Setyo Wibowo Andhika Prayoga Andong Buku #3 Andrenaline Katarsis Andri Cahyadi Angela Anies Baswedan Anindita S Thayf Anjrah Lelono Broto Anton Kurnia Anton Sudibyo Anton Wahyudi Anwar Holid Anwar Siswadi Aprinus Salam Arie MP Tamba Arif Hidayat Arif Zulkifli Arti Bumi Intaran Asarpin Asep Sambodja Asvi Warman Adam Awalludin GD Mualif Ayu Utami Azyumardi Azra Babe Derwan Bagja Hidayat Balada Bandung Mawardi Bayu Agustari Adha Beni Setia Benni Setiawan Benny Benke Bentara Budaya Yogyakarta Berita Bernadette Lilia Nova Bernando J. Sujibto Berthold Damshäuser Bhakti Hariani Binhad Nurrohmat Bokor Hutasuhut Bonari Nabonenar Brunel University London Budaya Budhi Setyawan Budi Darma Budi Hutasuhut Budi P. Hatees Budi Winarto Buku Kritik Sastra Buldanul Khuri Bustan Basir Maras Camelia Mafaza Capres dan Cawapres 2019 Catatan Cecep Syamsul Hari Cerpen Chairil Anwar Chamim Kohari Choirul Rikzqa D. Dudu A.R D. Dudu AR D. Zawawi Imron Dahono Fitrianto Dahta Gautama Damanhuri Damar Juniarto Damhuri Muhammad Damiri Mahmud Dantje S Moeis Darju Prasetya Darma Putra Darman Moenir Darmanto Jatman Dedy Tri Riyadi Delvi Yandra Denny JA Denny Mizhar Dewi Anggraeni Dian Basuki Dian Hartati Dian Sukarno Dian Yanuardy Diana AV Sasa Dinar Rahayu Djenar Maesa Ayu Djoko Pitono Djoko Saryono Doddi Ahmad Fauji Dody Kristianto Donny Anggoro Donny Syofyan Dorothea Rosa Herliany Dwi Cipta Dwi Fitria Dwi Pranoto Dwi S. Wibowo Dwicipta Edeng Syamsul Ma’arif Edi Warsidi Edy Firmansyah EH Kartanegara Eka Alam Sari Eka Budianta Eka Kurniawan Eko Darmoko Ellyn Novellin Elnisya Mahendra Emha Ainun Nadjib Emil Amir Engkos Kosnadi Esai Esha Tegar Putra Evan Ys F. Budi Hardiman Fadly Rahman Fahmi Fahrudin Nasrulloh Faisal Kamandobat Fani Ayudea Fariz al-Nizar Faruk HT Fatah Anshori Fatah Yasin Noor Fatkhul Anas Fatkhul Aziz Felix K. Nesi Film Fitri Yani Franditya Utomo Fuska Sani Evani Gabriel Garcia Marquez Gandra Gupta Garna Raditya Gde Artawan Geger Riyanto Gendhotwukir George Soedarsono Esthu Gerakan Surah Buku (GSB) Goenawan Mohamad Grathia Pitaloka Gunawan Budi Susanto Gunawan Tri Atmojo H. Supriono Muslich H.B. Jassin Hadi Napster Halim H.D. Hamberan Syahbana Hamidah Abdurrachman Han Gagas Hardi Hamzah Haris del Hakim Haris Priyatna Hasan Aspahani Hasan Gauk Hasan Junus Hasnan Bachtiar Helvy Tiana Rosa Helwatin Najwa Hendra Junaedi Hendra Makmur Hendriyo Widi Ismanto Hepi Andi Bastoni Heri Latief Heri Listianto Herry Firyansyah Heru Untung Leksono Hikmat Darmawan Hilal Ahmad Hilyatul Auliya Holy Adib Hudan Hidayat Hudan Nur Husnun N Djuraid I Nyoman Suaka Ibnu Rizal Ibnu Rusydi Ibnu Wahyudi IGK Tribana Ignas Kleden Ignatius Haryanto Iksan Basoeky Ilenk Rembulan Ilham khoiri Imam Jazuli Imam Nawawi Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Iman Budi Santosa Imelda Imron Arlado Imron Tohari Indiar Manggara Indira Margareta Indra Darmawan Indra Tjahyadi Indra Tranggono Indrian Koto Ingki Rinaldi Insaf Albert Tarigan Intan Hs Isbedy Stiawan ZS Ismail Amin Ismi Wahid Ivan Haris Iwan Gunadi Jacob Sumardjo Jafar Fakhrurozi Jajang R Kawentar Janual Aidi Javed Paul Syatha Jean-Marie Gustave Le Clezio JJ. Kusni Joko Pinurbo Joko Sandur Joko Widodo Joni Ariadinata Jual Buku Paket Hemat Julika Hasanah Julizar Kasiri Jumari HS Junaidi Jusuf AN Kadir Ruslan Kartika Candra Kasnadi Katrin Bandel Kenedi Nurhan Ketut Yuliarsa KH. Ma'ruf Amin Khaerudin Khalil Zuhdy Lawna Kholilul Rohman Ahmad Komunitas Deo Gratias Komunitas Teater Sekolah Kabupaten Gresik (KOTA SEGER) Korrie Layun Rampan Krisandi Dewi Kritik Sastra Kucing Oren Kuswinarto Langgeng Widodo Lathifa Akmaliyah Latief S. Nugraha Leila S. Chudori Lenah Susianty Leon Agusta Lina Kelana Linda Sarmili Liston P. Siregar Liza Wahyuninto M Shoim Anwar M. Arman A.Z. M. Fadjroel Rachman M. Faizi M. Harya Ramdhoni M. Kasim M. Latief M. Wildan Habibi M. Yoesoef M.D. Atmaja Mahdi Idris Mahmud Jauhari Ali Mahwi Air Tawar Malkan Junaidi Maman S. Mahayana Mardi Luhung Marhalim Zaini Maria hartiningsih Maria Serenada Sinurat Mario F. Lawi Maroeli Simbolon S. Sn Marsus Banjarbarat Marwanto Mas Ruscitadewi Masdharmadji Mashuri Masriadi Mawar Kusuma Wulan Max Arifin Melani Budianta Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia Mezra E. Pellondou Micky Hidayat Mihar Harahap Misbahus Surur Moh Samsul Arifin Moh. Syafari Firdaus Mohamad Asrori Mulky Mohammad Afifuddin Mohammad Fadlul Rahman Muh Kholid A.S. Muh. Muhlisin Muhajir Arifin Muhamad Sulhanudin Muhammad Al-Fayyadl Muhammad Amin Muhammad Azka Fahriza Muhammad Rain Muhammad Subhan Muhammad Yasir Muhammad Zuriat Fadil Muhammadun A.S Muhidin M. Dahlan Musa Ismail Musfi Efrizal Mustafa Ismail Nafi’ah Al-Ma’rab Naskah Teater Nezar Patria Nina Setyawati Nirwan Ahmad Arsuka Nirwan Dewanto Noor H. Dee Noval Maliki Nunuy Nurhayati Nur Haryanto Nurani Soyomukti Nurel Javissyarqi Nurhadi BW Nurudin Octavio Paz Oliviaks Orasi Budaya Akhir Tahun 2018 Pablo Neruda Pamusuk Eneste Panda MT Siallagan Pandu Jakasurya PDS H.B. Jassin Philipus Parera Pradewi Tri Chatami Pramoedya Ananta Toer Pramono Pranita Dewi Pringadi AS Prosa Puisi Puisi Menolak Korupsi PuJa Puji Santosa Puput Amiranti N Purnawan Andra PUstaka puJAngga Putri Utami Putu Fajar Arcana Putu Wijaya Qaris Tajudin R Sutandya Yudha Khaidar R. Sugiarti R. Timur Budi Raja R.N. Bayu Aji Rachmad Djoko Pradopo Radhar Panca Dahana Rahmadi Usman Rahmat Sudirman Rahmat Sularso Nh Rahmat Sutandya Yudhanto Raihul Fadjri Rainer Maria Rilke Raja Ali Haji Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Raudal Tanjung Banua Reiny Dwinanda Remy Sylado Resensi Revolusi Riadi Ngasiran Ribut Wijoto Ridha al Qadri Ridwan Munawwar Rikobidik Riri Riris K. Toha-Sarumpaet Risang Anom Pujayanto Rizky Andriati Pohan Robert Frost Robin Al Kautsar Robin Dos Santos Soares Rodli TL Rofiqi Hasan Rohman Budijanto Romi Febriyanto Saputro Rosihan Anwar RR Miranda Rudy Policarpus Rukardi S Yoga S. Jai S.I. Poeradisastra S.W. Teofani Sabam Siagian Sabrank Suparno Saiful Amin Ghofur Sainul Hermawan Sajak Sakinah Annisa Mariz Salamet Wahedi Salman Rusydie Anwar Samsudin Adlawi Sapardi Djoko Damono Sartika Dian Nuraini Sastra Sastra Gerilyawan Sastri Sunarti Satmoko Budi Santoso Saut Situmorang Sejarah Sekolah Literasi Gratis (SLG) SelaSastra SelaSastra ke #24 Selasih Seno Gumira Ajidarma Seno Joko Suyono Sergi Sutanto Shadiqin Sudirman Shiny.ane el’poesya Sidik Nugroho Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Simo Sungelebak Karanggeneng Lamongan Siti Sa’adah Sitok Srengenge Siwi Dwi Saputro Sjifa Amori Sofyan RH. Zaid Soni Farid Maulana Sony Prasetyotomo Sosiawan Leak Sri Wintala Achmad Sri Wulan Rujiati Mulyadi Subhan SD Suci Ayu Latifah Sulaiman Djaya Sulistiyo Suparno Sunaryo Broto Sunaryono Basuki Ks Sungatno Sunlie Thomas Alexander Sunudyantoro Suriali Andi Kustomo Suryadi Suryansyah Suryanto Sastroatmodjo Susi Ivvaty Susianna Susilowati Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Suwardi Endraswara Syaifuddin Gani Syaiful Bahri Syam Sdp Syarif Hidayatullah Tajuddin Noor Ganie Tammalele Tan Malaka Taufik Ikram Jamil Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat Teguh Trianton Tengsoe Tjahjono Th Pudjo Widijanto Thayeb Loh Angen Theresia Purbandini Tia Setiadi Tito Sianipar Tiya Hapitiawati Tjahjono Widarmanto Tjahjono Widijanto Toko Buku Murah PUstaka puJAngga Tosa Poetra Tri Joko Susilo Triyanto Triwikromo Tu-ngang Iskandar Udo Z. Karzi Uly Giznawati Umar Fauzi Umar Kayam Undri Uniawati Universitas Indonesia UU Hamidy Vyan Tashwirul Afkar W Haryanto W.S. Rendra Wahyudin Wannofri Samry Warung Boenga Ketjil Waskiti G Sasongko Wawan Eko Yulianto Wawancara Web Warouw Wijang Wharek Wiko Antoni Wina Bojonegoro Wira Apri Pratiwi Wiratmo Soekito Wishnubroto Widarso Wiwik Hastuti Wiwik Hidayati Wong Wing King WS Rendra Xu Xi (Sussy Komala) Y. Thendra BP Y. Wibowo Yani Arifin Sholikin Yesi Devisa Yohanes Sehandi Yona Primadesi Yosi M. Giri Yusi Avianto Pareanom Yusri Fajar Yusrizal KW Yuval Noah Harari Yuyu AN Krisna Zaki Zubaidi Zalfeni Wimra Zawawi Se Zehan Zareez Zen Hae Zhaenal Fanani Zuarman Ahmad Zulfikar Akbar Zulhasril Nasir