Senin, 22 November 2010

Komunitas Sastra Kampus dan Mereka yang Melawan

Anton Kurnia
http://www.sinarharapan.co.id/

Perkembangan sastra kita tidak bisa dilepaskan dari peran berbagai komunitas sastra dan kantung-kantung budaya yang bertebaran di berbagai kota, terutama yang berbasis di kampus-kampus perguruan tinggi. Sebagian dari para pegiat komunitas sastra kampus ini muncul dan menonjol menjadi sosok yang diperhitungkan dalam sejarah sastra kita dengan karya-karyanya, melepaskan diri dari kolektivitas komunitasnya. Sebagian yang lain terserap oleh kerumunan komunitasnya dan akhirnya menghilang dari peredaran karena berbagai sebab.

Di Bandung, misalnya, tercatat sejumlah kampus memiliki komunitas sastra yang cukup aktif berproses dan bergiat. Di ITB, di masa lalu, terdapat GAS (Gabungan Apresiasi Sastra) yang melahirkan nama-nama seperti Juniarso Ridwan, Kurnia Effendi atau Nirwan Dewanto. GAS kini telah bubar dan sebagai gantinya muncul Lingkar Sastra ITB yang usianya masih seumur jagung. Di UPI (dulu IKIP Bandung) terdapat ASAS (Arena Studi dan Apresiasi Sastra) yang terus aktif hingga kini dan pernah melahirkan sejumlah nama cukup terkemuka dalam peta sastra kita, antara lain Beni R. Budiman dan Nenden Lilis Aisyah. Di Unpad ada GSSTF (Gabungan Seni, Sastra, Teater dan Film) yang hingga kini terus eksis. Begitu pula di sejumlah kampus lainnya.

Tentu saja, ada pula sejumlah individu yang kemudian muncul dalam peta sastra kita berproses secara soliter, tidak tumbuh dalam komunitas-komunitas sastra kampus tersebut. Belakangan ini, beberapa nama penulis muda yang menonjol dengan karya-karyanya justru bukan berasal dari komunitas sastra kampus. Sebut misalnya Dewi Sartika (UPI, penulis novel Dadaisme) yang memenangi sayembara penulisan novel Dewan Kesenian Jakarta 2003 atau Nukila Amal (STP, penulis novel Cala Ibi), Dinar Rahayu (ITB, penulis novel Ode untuk Leopold von Sacher-Masoch) dan Dewi Lestari (Unpar, penulis novel Supernova).

Fenomena ini tentu saja memicu sejumlah pertanyaan menarik. Sejauh manakah peran komunitas sastra kampus dalam persemaian bakat dan proses kreatif para penulis muda kita? Apakah pengaruh komunitas sastra kampus dalam karya para alumninya?

Yang Menindas, Yang Melawan

Sejarah mencatat sering kali karya sastra—sajak, cerpen, novel—dan para penciptanya berhadapan dengan kepentingan penguasa. Sastrawan yang baik adalah saksi zaman dan masyarakatnya. Ketika kebenaran orang banyak ditindas oleh penguasa, tampillah ia sebagai “penyambung lidah” rakyat lewat karya-karyanya. Di berbagai belahan bumi tercatat sekian banyak peristiwa di mana para sastrawan yang menyuarakan hati nuraninya mesti berhadapan vis a vis dengan penguasa.

Di Mesir, pengarang dan aktivis gerakan feminis Nawal el Saadawi yang beberapa novelnya telah diterjemahkan di sini—antara lain Perempuan di Titik Nol, Catatan dari Penjara Perempuan dan Matinya Seorang Mantan Menteri—dipenjarakan oleh rezim Anwar Sadat pada 1981 atas tuduhan melakukan “kejahatan politik”. Toh, itu tak membuat langkahnya surut. Penjara tak mencegahnya untuk terus berkarya dan menyuarakan keyakinannya.

Sementara itu, di berbagai penjuru dunia lainnya begitu banyak para penulis yang harus menghadapi tekanan penguasa (entah itu mereka yang memiliki kekuasaan politik, agama ataupun moral) karena tulisan-tulisannya. Sebut misalnya Taslima Nasrin, perempuan asal Banglades penulis novel kontroversial berjudul Lajja yang menelanjangi penindasan kolektif kaum Muslim terhadap minoritas Hindu di negerinya, atau Salman Rushdie, Naguib Mahfouz dan Milan Kundera. Mereka hidup dalam ancaman bahaya, buku-buku mereka diberangus dan kerja-kerja kreatif mereka dihambat.

Di negeri kita, kasus-kasus semacam itu juga terjadi. Hingga saat ini, pelarangan warisan Orde Baru terhadap karya-karya sastrawan pembangkang Pramoedya Ananta Toer belum juga dicabut. Ia sendiri pernah dipenjarakan selama empat belas tahun tanpa pengadilan dan diasingkan ke sebuah pulau terpencil oleh penguasa. Utuy Tatang Sontani, sastrawan terkemuka kita di masa lalu, terpaksa harus mati kesepian di Rusia. Ia tak bisa pulang ke Tanah Air akibat dicekal oleh rezim Orde Baru dan maut keburu menjemputnya sebelum zaman berubah.

Melawan dengan Pena, Melawan dengan Imajinasi

Aroma perlawanan terhadap kekuasaan yang menindas juga tercium kental dalam novel Asep Pram (nama pena Asep Subari)—seorang pegiat komunitas sastra kampus dari UPI—berjudul Yang Melawan (2004, 688 halaman). Melalui perjalanan hidup tokoh protagonis Ramadhan Revolusi alias Ahmad Rambo yang berliku, novel ini gencar menelanjangi segala borok penguasa negeri ini: kekerasan negara terhadap rakyat, pembantaian massal yang coba dihapus dari ingatan, kemiskinan struktural, kejahatan politik, militerisme, korupsi, hipokrisi dan berbagai pelanggaran hak asasi manusia sepanjang sejarah negeri ini.

Kendati terkadang terasa terlalu verbal dan kurang licin, novel ini justru menarik karena kelugasannya dalam menceritakan realitas empirik. Kita bisa membandingkan novel ini dengan novel-novel Pramoedya Ananta Toer yang tampaknya dalam banyak hal mengilhami Asep, terbukti dari nama pena yang dipilihnya. Seperti Pram, Asep tampaknya juga sadar akan makna referensi dan sejarah. Dalam novel ini bertebaran berbagai data peristiwa, kronik dan judul sejumlah buku dan nama tokoh yang dicupliknya sebagai pendukung cerita.

“Perjuangan manusia melawan kekuasaan adalah perjuangan ingatan melawan lupa,” tulis Milan Kundera, penulis eksil Ceko, dalam sebuah novelnya. Novel ini pun mencoba melawan pelupaan sejumlah peristiwa kelam dalam sejarah negeri ini, di antaranya pembantaian massal oleh tentara dan warga sipil terhadap ratusan ribu orang yang dicurigai komunis di berbagai daerah di Indonesia pada 1965-1966 menyusul apa yang disebut-sebut sebagai peristiwa G30S/PKI.

Sekadar catatan, tak banyak karya sastra kita yang menyinggung soal ini secara terbuka, padahal peristiwa itu merupakan salah satu pembantaian sistematis terbesar sepanjang sejarah selain pembunuhan orang-orang Yahudi oleh Nazi pada Perang Dunia Kedua. Ratusan ribu korban yang tewas selama beberapa bulan dalam peristiwa itu jauh lebih banyak dari korban pembantaian serupa di Argentina selama tujuh tahun. Saat junta militer berkuasa di Argentina pada 1976-1983, terjadi serangkaian penculikan, penyiksaan dan pembunuhan terhadap para aktivis pro-demokrasi di negeri itu dengan dalih melakukan aksi antiteror. Menurut laporan Comisión Nacional para la Desaparicion de Personas—Komisi Nasional untuk Orang Hilang (1983-1984) pimpinan novelis Ernesto Sábato, sekitar 30.000 orang hilang tak jelas nasibnya. Pada 1995, dua orang tentara bersaksi atas pembunuhan sistematis yang pernah mereka lakukan di masa lalu. Hingga kini, atas nama rekonsiliasi, banyak di antara para pelaku kejahatan kemanusiaan itu masih bebas berkeliaran.

Demikianlah, seperti judulnya, pada dasarnya Yang Melawan merupakan sebuah manifesto perlawanan terhadap segala bentuk penindasan, senada dengan pekik pernyataan Ramadahan Revolusi dan para kameradnya dalam kisah ini, “Kita adalah orang-orang yang melawan. Kepalkan lengan kirimu, lalu angkat setinggi-tingginya hingga langit yang pongah itu rubuh!” (halaman 345).

Seperti halnya protagonis dalam Yang Melawan, melalui novel perdananya ini Asep meneguhkan pilihannya untuk melawan dengan pena, melawan dengan menggunakan imajinasinya. Mungkin ini berkaitan dengan latar belakangnya sebagai seorang penulis yang berproses dalam komunitas sastra kampus. Para mahasiswa bagaimanapun tetap memiliki fungsi sebagai agent of social change. Dalam sejarah negeri kita hal itu tak bisa dimungkiri, di mana sejumlah pergantian kekuasaan tiran ditandai dengan peran gerakan mahasiswa.

*) Penulis adalah cerpenis dan esais, penulis buku Dunia Tanpa Ingatan: Sastra, Kuasa, Pustaka (2004) dan kumpulan cerpen Insomnia (2004).

Tetralogi Buru dan Indonesia ’Modern’

Eka Kurniawan
http://majalah.tempointeraktif.com/i

Pramoedya berhasil menemukan anak kandung semangat nasionalisme Indonesia. Bukan politikus yang kelak menjadi presiden pertama semacam Soekarno atau aktivis kiri yang bergerak tanpa batas geografis semacam Tan Malaka.

TETRALOGI Buru bisa dibilang merupakan upaya Pramoedya Ananta Toer untuk menjawab: apa itu menjadi Indonesia. Pada akhir 1950-an, ketika perkara menjadi Indonesia sedang hangat—jika tak bisa dikatakan panas—ia mulai memikirkan satu seri novel yang bisa mencari dan melacak jejak-jejak nasionalisme Indonesia.

Jawaban Pramoedya adalah kembali ke akhir abad ke-19 hingga awal abad ke-20. Itulah memang masa subur benih-benih nasionalisme Indonesia. Dalam hal ini, Pramoedya berhasil menemukan tokoh ideal anak kandung semangat ini: Tirto Adhi Soerjo. Bukan politikus yang kelak menjadi presiden pertama semacam Soekarno atau aktivis kiri yang bergerak tanpa batas geografis semacam Tan Malaka, melainkan seorang wartawan sekaligus penulis roman.

Tirto Adhi Soerjo (Blora, 1880-1918) adalah perintis surat kabar dan kewartawanan nasional. Melalui Tirto, Pramoedya bisa mencomot simbol-simbol nasionalisme Indonesia, terutama karena Tirto merupakan pendiri surat kabar pertama berbahasa Melayu, Medan Prijaji. Tirto pula yang mengerti fungsi organisasi sebagai motor gerakan nasional, dengan membentuk Sarekat Dagang Islam.

Begitulah Pramoedya kemudian mempergunakan Tirto sebagai model untuk tokoh Minke dalam tetralogi Buru. Karya ini meliputi empat rangkaian novel, yang saling bersambung sekaligus masing-masing bisa dianggap karya terpisah: Bumi Manusia (1980), Anak Semua Bangsa (1980), Jejak Langkah (1985), dan Rumah Kaca (1988).

Melalui karya ini, Pramoedya sekaligus memperlihatkan betapa nasionalisme Indonesia pada dasarnya merupakan anak kandung yang sah dari modernisme (sekali lagi modern-isme) Indonesia. Barangkali bahkan bisa dikatakan tetralogi Buru sebagai sebuah karya modern dalam makna yang sesungguhnya: di sanalah ”identitas” menjadi penting dan manusia serta kemanusiaan menjadi perkara utama di atas segalanya. Dengan kata lain, modernisme merupakan tema pokok karya ini dan dari sanalah nasionalisme Indonesia terbentuk.

Digambarkan, Minke adalah protagonis dengan latar belakang anak priyayi, feodal Jawa. Itu menjadi latar belakang yang kontras, karena kemudian Minke bicara mengenai pencerahan, revolusi Prancis, serta kesetaraan (misalnya dikisahkan bagaimana ia lebih suka memilih bahasa Melayu yang tak mengenal strata daripada bahasa Jawa yang berjenjang-jenjang).

Tokoh ini bukan tanpa karakter tragis sama sekali: di satu sisi ia mencoba membebaskan diri dari kungkungan feodalisme, di sisi lain ia demikian terpukau oleh modernisme yang dibawa oleh orang Eropa; keterpukauan yang kadang harus diingatkan oleh teman-teman Eropanya juga. Di satu sisi ia belajar dari orang-orang Eropa untuk membebaskan diri dari belenggu tradisinya, tapi sekali lagi, di sisi lain ia harus melawan orang-orang Eropa ini demi merebut kembali tafsir akan kepribumiannya. Jangan dilupakan pula: ia jatuh cinta kepada gadis Indo, gadis Cina, dan putri Maluku. Di sini ada sejenis kritik tersembunyi: semuanya dilihat dari kepala orang Jawa (Minke) dan menjadi ”modern” seolah-olah sekadar menjadi ”tidak Jawa” (atau menikah dengan orang bukan Jawa).

”Modern” tak hanya layak dimeteraikan kepada novel-novel ini menyangkut temanya, tapi juga atas bagaimana karya ini ditulis Pramoedya. Ditulis dalam bentuk sejenis memoar, tetralogi Buru memperlihatkan karakter utama dari apa yang disebut modern: segala sesuatu dipersonifikasikan ke dalam diri, subyek. Begitulah bagaimana Indonesia, tepatnya sejarah Indonesia yang sedang bergerak di pergantian abad itu, dilihat dari cara pandang Minke. Meskipun begitu, di beberapa tempat kita bisa menemukan bagaimana subyek ini bergerak dari tokoh satu ke tokoh lain (misalnya Nyai Ontosoroh) hanya untuk menemukan semesta yang tetap dilihat dengan cara dipersonifikasi.

Secara mengejutkan, di novel keempat, Rumah Kaca, kita menemukan bahwa apa yang selama ini menjadi subyek tak lebih dari obyek. Hanya dengan cara mengetahui apa itu ”modern”, kita bisa mengerti permainan ini.

Di novel ini, tafsir mengenai keindonesiaan jelas bukan suatu proyek gemilang yang berakhir bahagia. Minke meninggal di masa ketika kebanyakan orang justru mulai melupakannya, sendirian, dan terasing. Demikian pula penafsiran ini tak juga kunjung gemilang ketika novel tersebut mulai dipikirkan pengarangnya. Barangkali Pramoedya tak akan pernah menuliskan tetralogi Buru seandainya apa yang disebut Indonesia telah terang-benderang dan tak ada masalah. Kenyataannya, pada awal 1960-an keadaan demikian gawat: persaingan antara Partai Komunis dan militer nyata terlihat; Soekarno memimpin dengan demokrasi yang ”terpimpin”; Perang Dingin merongrong di luar dan di dalam perbatasan. Tetralogi Buru bisa dikatakan merupakan usaha lebih lanjut Pramoedya dari apa yang telah dilakukan Tirto Adhi Soerjo setengah abad sebelumnya.

Novel ini seolah melengkapi nasib tragis untuk menemukan tafsir menjadi Indonesia yang diangankannya. Meskipun telah direncanakan sejak akhir 1950-an, tetralogi Buru baru ditulis sekitar 12 tahun kemudian di pembuangan.

Inilah yang diperoleh Indonesia dalam usahanya menjadi ”modern” pada 1965. Pemberontakan yang gagal oleh segerombolan orang yang kemudian dikenal sebagai Gerakan 30 September menjadi awal perburuan orang-orang komunis dan simpatisannya. Pramoedya, yang dikenal sebagai salah satu Ketua Lembaga Kebudayaan Rakyat, organ kebudayaan Partai Komunis Indonesia, menjadi salah satu yang kemudian ditangkap oleh tentara. Itu untuk ketiga kalinya ia masuk tahanan: pertama kali dijebloskan ke penjara oleh Belanda di masa agresi militer karena ketahuan membawa selebaran gelap; kedua, ditahan A.H. Nasution di masa Soekarno karena menerbitkan buku Hoa Kiau di Indonesia, yang membela keberadaan etnis Cina.

Ia sempat ditahan di penjara Salemba, kemudian dipindahkan ke Nusakambangan. Pada 16 Agustus 1969, Pramoedya memulai hari-hari pembuangannya yang terentang hingga sepuluh tahun di Pulau Buru. Bersama ribuan tahanan politik lainnya, ia menebang kayu, membuka lahan, berternak ayam, dan dilarang menulis. Izin untuk menulis baru ia terima empat tahun kemudian dan dari sanalah ia menulis beberapa karya penting, di antaranya empat serangkai novel yang kemudian lebih banyak dikenal sebagai karya Buru, mengacu ke tempat novel-novel itu ditulis dan pengarangnya ditahan.

Inilah harga yang harus dibayar novel ”modern” di Indonesia yang konon ”modern”.

Membahasakan 1000 Jejak Pram

Judul Buku : 1000 Wajah Pram dalam Kata dan Sketsa
Penyunting : Astuti Ananta Toer
Penerbit : Lentera Dipantara
Tebal : xvi+504 halaman
Harga : Rp. 80.000
Peresensi: Engkos Kosnadi*
http://oase.kompas.com/

100 Wajah Pram dalam Kata dan Sketsa, Ini sebuah buku yang saya kategorikan sebagai salah satu “babad pram” yang ditulis oleh sekitar 68 orang yang pusparagam dari mulai wartawan, pemimpin redaksi, pustakawan, guru, sahabat, pengagum, pemerhati, adik, anak dan cucu dan beberapa orang sahabat dekat pram dan banyak profesi lainnya, jadinya ‘gado-gado ala pramis’. Buku yang disajikan khusus sebagai kado peringatan 100 hari meninggalnya Pramoedya Ananta Toer ini memang terkesan terburu moment, sehingga banyak detail yang terlewatkan dari mulai tidak seragamnya siapa jatidiri penulis sampai beberapa kata yang salah ketik walaupun jumlahnya minimal, mungkin ini lagi-lagi gaya ‘pramis’ yang menjadi ciri dalam kebebasannya dalam menulis. Mungkin mereka ingat pesan Pram “masa terbaik dalam hidup seseorang adalah masa ia dapat menggunakan kebebasan yang telah direbutnya sendiri”. (JL, 147) dan buku ini buktinya!

Bagi pembaca karya tulis Pram dalam sejumlah buku ‘best seller’nya kita pasti agak heran karena tak akan menemukan kejutan-kejutan dalam buku ini selain sebuah bahasa seragam dari para ‘iner circle’ dan pengagum yang sangat minim dalam menghidupkan dan mewujud ulang Pram sebagai manusia biasa [mungkin pram sudah tak biasa] terkecuali ada di tulisan sang Adik Soesilo Toer dengan 38 point-nya selebihnya testimony pertemuan dan puisi-puisi yang mengagungkan, padahal Pram berkata “Aku merindukan satu karya yang akan membikin negerinya menyambutnya dengan segala kebesaran.”(BM, 83)

Saya menangkap dua tulisan yang menjadi entry point dari sejumlah tulisan terkumpul yang satu ada pada tulisan Eka Budianta yang mengusulkan dan mengharapkan sebuah penghargaan Bintang Mahaputra untuk Pramoedya Ananta Toer, asumsinya begini “sepanjang abad 20, hanya ada 3 nama besar yang membuat bangsa Indonesia terhormat dan bangga di dunia: Kartini, Soekarno,, dan Pramoedya.

Ketiga orang ini membuktikan bahwa Indonesia mampu menyumbangkan inspirasi yang sangat berharga kepada masyarakat internasional.” Dan “ Pram menulis novel, cerita pendek dan esai yang diterjemahkan kedalam berbagai bahasa. Selama beratus tahun, berikut beratus bahasa yang tumbuh dan mati di kepulauan Indonesia, baru karya-karya sastra Pramoedya yang mampu menembus pasar internasional. Lebih dari 40 bahasa menyebar luaskan karya dan pikiran Pramoedya” dan tentunya dia satu-satunya oran Indonesia kandidat Nobel Susastra. Ini sangat masuk akal karena pemerintah seperti kata Pram jangan sampai “olehnya yang tajam ditumpulkan, yang tumpul di tajamkan, yang kecil dibesarkan, yang besar dikecilkan”. (ASB, 2) sehingga akan menjadi pertanyaan besar kita, seberapa terbuka Pemerintah Indonesia menghargai karya anak bangsa sekelas Pram? Semua harus proporsional dan memakai kamata yang lebar dalam melihat hal ini. Pesan Pram kan jelas bahwa kita“harus adil sudah sejak dalam pikiran, jangan ikut-ikutan jadi hakim tentang perkara yang tidak diketahui benar-tidaknya.” (BM, 105)

Point kedua adalah tulian kawan Zen Rahmat Sugito yang berharap dan mendeklarasikan tanggal meninggalnya Pram (30 April) ditahbiskan menjadi Hari Kliping Nasional, Zen beralasan bahwa “mengingat ketekunan dalam mengkliping warisan ensiklopesi yang masih terbuka untuk dirampungkan dan Pram berjasa dalam tradisi megkliping, mengkliping pada akhirnya menjadi bagian tak terpisahkan dari proyek besar membangun manusia Indonesia yang berkeadaban, punya ingatan yang panjang, tidak mudah dikangkangi oleh rezim yang doyan mengelapkan sejarah.

Dengan membangun tradisi mengkliping kemungkinan sejarah hanya menjadi milik para pemenang bisa diminimalisir”. Saya ingat tulisan di Rumah Kaca “Orang menjadi besar karena tindakan besar, pikiran besar, jiwa besar. Sebaliknya dari orang kecil” tulisnya. “adalah tidak adil karena tulisan kecil, aku mendapatkan hukuman besar”. (RK, 313) dan kliping memainkan perannya disini. Lagi-lagi usul ini menjadi logis karena memang kita belum punya ‘hari yang begituan’ di Indonesia, mengkliping adalah sebuah pekerjaan pengabdian pada catatan peradaban baik bangsa maupun personal warga Negara, jadi saya termasuk yang sepakat dengan ide tersebut, entah pemerintah?

Membaca alur hidup Pram memang tak hanya selesai dengan membaca riwayat hidup dan karyanya yang dihadirkan 11 halaman Asep Sambodja di akhir buku, tapi ‘babad pram’ ini menjadi lengkap jika ‘pramis’ hingga semua pengikut dan pembaca pram dapat mentrafsirkan muatan-muatan kekuatan bahasa Pram dalam konteks perjuangan hidup keseharian hingga kehidupan berbangsa dan bernegara ini. Ini project besar kita semua! Karena yang kita biasa ketahui selama ini dilingkup pembaca setia Pramoedya Ananta Toer (PAT) sekelas dengan para sastrawan dunia seperti Guter Grass (Jerman), Albert Camus, Jean Paul Sartre (Perancis), Multatuli (Belanda), John Steinbeck (Amerika), Rabindranath Tagore (India), Gao Xinjian (Cina), Gabrel Garcia Marques (Kolombia) dan Jose Samarango (Portugis) an sich. Sang Pahlawan Asia ini [mungkin] memang berkelas dan duduk sama tinggi dalam singgasana sastrawan dunia, tapi disinilah letak beban berat ‘pramis’ untuk bisa berkata bahwa Indonesia kaya dan sorga para penulis tak hanya Pramoedya Ananta Toer yang selalu kita banggakan sebagai [kontestan] Nobel Sastra, prediksi Pram benar bahwa “Manusia terlalu sering bertepuk hanya sebelah tangan” (BM, 9)

Pada akhirnya, buku 504 halaman dengan 1 bahasa Jawa, 16 bahasa Inggris dan 52 tulisan berbahasa Indonesia ini menjadi sebuah oase pelipur kangen dan rindu pada kupasan-kupasan Pramoedya Ananta Toer, sejumlah ‘pramis’ pastinya menjadikannya pelengkap koleksi perpustakaan pribadi. Tapi intinya kita harus kembalikan pada pesan-pesan pram bahwa kita yang menjadi bagian sejarah harus membaca dan banyak membaca, enulis dan lebih banyak lagi menulis karena “Progresivitas sejarah adalah gerak hidup manusia di selingkupan bumi, garis hidup kemanusian. Progresivitas sejarah akan berjalan terus dengan hukum-hukumnya sendiri” (RK, 321) dengan ini kita akan bertemu dengan Pramoedya Ananta Teor dengan wujud lain.

*) Pembaca Setia Buku-buku Pram, kini sedang menulis Biografi dan Pemikiran Ki. Hadjar Dewantara
Blog: http://ramaprabu.multiply.com e-mail : lord.ramaprabu@yahoo.co.id

Hidup yang Terus Mengalir

AJ Susmana
http://cetak.kompas.com/

Sejarah seringkali dikonstruksi dalam bingkai ”sejarah negara”. Kadang, perjuangan yang dihidupi dengan jiwa dan raga tak membawa hasil seperti yang diharapkan. Kekecewaan dan rasa sesal pun melanda di hati. Akan tetapi, itu tampaknya tidak berlaku bagi wanita-wanita mantan prajurit gerilya yang telah menghabiskan sebagian hidupnya dalam perjuangan gerilya nan panjang di hutan tropik Semenanjung Melayu.

Itulah sepenggal kisah beberapa perempuan yang angkat senjata berjuang menentang kolonialisme, yang dikisahkan di dalam buku Hidup Bagaikan Mengalirnya Sungai: Wanita dalam Perjuangan Anti-Kolonial Malaya, Sejarah Lisan suntingan Agnes Khoo. Cita-cita perjuangan mereka memang tidak berhasil dan kini hidup dalam perlindungan Kerajaan Thailand, tetapi mereka tak menyesali atas jalan yang pernah ditempuh. Kisah seperti ini, dalam beberapa hal, tentu saja bukan kisah yang baru dalam perjuangan antikolonialisme di Indonesia.

Membaca buku ini, tak pelak lagi, Anda akan diingatkan pada novel Pramoedya Ananta Toer, Keluarga Gerilya, yang diterbitkan setelah kecamuk perang revolusi kemerdekaan Indonesia berangsur surut. Dalam Keluarga Gerilya diceritakan bagaimana anak tega membunuh bapaknya karena bapaknya bekerja sebagai tentara penjajah kolonial; adik menyerahkan keperawanan kepada musuh demi pembebasan kakaknya dari tawanan, walau toh akhirnya ia dikhianati dan kakaknya tetap tak dibebaskan tetapi malahan dijatuhi hukuman mati. Dan sang ibu menjadi gila lantaran menyaksikan anak-anak dan keluarganya tercerai-berai. Inilah gambaran kehidupan sebuah keluarga gerilya yang anak-anaknya tanpa pamrih berjuang demi kemerdekaan Tanah Air dan rakyatnya dari penjajahan kolonialisme.

Buku ini memiliki keistimewaan sendiri, seperti diungkapkan oleh Chong Ton Sin dalam pengantar buku ini, yakni menonjolkan peranan wanita dengan penulisan berperspektif feminis. Isinya mampu mencerminkan peranan wanita di Singapura, Malaysia, dan Thailand dalam keluarga, masyarakat, dan pergerakan politik antara tahun 1930-an hingga 1980-an akhir, termasuk dalam politik bersenjata dan perang gerilya yang berlangsung lama di hutan belantara. Lebih jauh, para mantan prajurit wanita ini kebanyakan berasal dari lapisan bawah masyarakat yang miskin yang seringkali terlupakan peranannya dalam penulisan sejarah yang lebih mengedepankan para tokoh dan pucuk pimpinan.

Hidup disadari dan dimaknai sebagai perjuangan tanpa henti untuk memperbaiki dan memajukan harkat kemanusiaan; mengalir dari detik ke detik kehidupan dalam suka dan duka bagaikan aliran sungai. Inilah pesan yang menonjol dari penulisan buku ini. Bukankah perjuangan sendiri kadang tak berbuah manis seperti yang diharapkan, tetapi justru pahit dan menjadi cemoohan atau ejekan karena tiadanya sukses sebuah perjuangan bahkan dari segi materi sekalipun? Dalam situasi yang gamang ini, hanya keyakinan perjuanganlah yang menjadi sandaran dalam menempuh hidup di sepanjang aliran sungai sejarah ini. Sejarah pun tiba-tiba menjadi penting dan bernilai untuk meletakkan diri dalam berbagai aliran sungai sejarah dan tujuan hidup selanjutnya.

Hidup terus mengalir dan dunia pun kini mengalami perubahan. Perang dingin pasca-Perang Dunia II yang mencekam telah berakhir. Berbagai bangsa dan negara, termasuk Indonesia, Singapura, dan Malaysia, memasuki ruang hidup dan tata cara pergaulan yang baru. Begitulah juga Agnes Khoo, penulis buku ini, dan mungkin juga generasi seangkatannya yang hidup tanpa cengkeraman dan penindasan nyata kolonialisme, tetapi sangat ingin tahu sosok orang-orang yang diberi label komunis dan digambarkan sebagai ”teroris bertanduk dua” oleh penguasa negeri Singapura.

Dalam usaha ini, Agnes Khoo akhirnya sampai di sempadan Malaysia-Thailand dan menemukan kampung suaka politik bagi anggota Partai Komunis Malaya (PKM). Perkampungan itu disediakan Pemerintah Kerajaan Thailand sebagai hasil penandatanganan Persetujuan Perdamaian Tiga Pihak, yakni Pemerintah Malaysia, PKM, dan Kerajaan Thailand di Haadyai, bagian selatan Thailand, pada 2 Desember 1989. Persetujuan ini mengakhiri perang gerilya PKM yang berlangsung selama lebih dari 40 tahun dan PKM memutuskan untuk memusnahkan sendiri semua senjata mereka, meninggalkan hutan tropik di sempadan Thailand-Malaysia, dan mulai membangun hidup baru di perkampungan yang berada di bawah naungan Puteri Chulaporn Thailand. Kampung- kampung ini kemudian dinamakan Kampung Perdamaian PKM. Sebagian sempalan PKM pun mendirikan Kampung Persahabatan.

Sejarah lisan
Buku ini merupakan sejarah lisan yang disusun Agnes Khoo berdasarkan wawancara terhadap 16 wanita mantan prajurit gerilya PKM yang tinggal di Kampung Perdamaian tersebut, kecuali seorang bernama Xiao Hua yang kini menetap di Hong- kong. Karena keterbatasan dana dan waktu, Agnes Khoo hanya mewawancarai mantan gerilyawati PKM yang tinggal di tiga Kampung Perdamaian, yakni Betong, Banlang, dan Sukirin. Walau begitu, buku ini sudah cukup berhasil menggambarkan kisah hidup wanita-wanita pemberani dari Thailand, Malaya, dan Singapura ini, termasuk usaha yang berani dari Agnes Khoo sendiri.

Agnes Khoo pun akhirnya memahami dan menemukan kisah lain dari sejarah perjuangan bangsanya melalui tuturan 16 wanita ini. Ia mengungkapkan, ”Setelah mengenali wanita-wanita ini, mendengar kisah hidup mereka, harapan dan pilihan hidup mereka, saya merasa telah menjadi lebih matang sedikit. Saya tidak lagi naif seperti dahulu ketika saya seorang rakyat Singapura yang tidak berminat terhadap sejarah tanah air. Melalui penulisan buku ini, saya telah lebih yakin diri. Saya mulai tahu siapakah diri saya, makna sebagai rakyat Singapura, bagaimana kami menjadi rakyat Singapura dan apakah yang membuat saya menjadi seorang Singapura” (hlm 372).

Untuk menyelesaikan buku ini, Agnes Khoo menghabiskan waktu lima tahun. Ia telah mengarungi perjalanan yang paling kesepian dalam hidupnya, dengan meninggalkan kehidupan mewah dan modern, baik di Singapura maupun di Hongkong. Penulisan sejarah lisan ini, bagi Agnes Khoo, adalah perjalanan penyembuhan diri dari rasa ngeri akibat kampanye sejarah yang gencar versi pemerintah tentang kekejaman teroris komunis, sementara ia sendiri tak pernah bertemu dengan wujud nyata sang ”teroris” itu. Inilah yang membawa Agnes Khoo mencari kebenaran sejarah dari sudut yang berlainan. Sebagaimana Indonesia di bawah Orde Baru, orang takut membela orang-orang komunis yang teraniaya bahkan dari sudut kemanusiaan, begitulah juga rakyat Singapura dan Malaysia. Mereka terpaksa mengelak memperbincangkan kaum komunis dan membisu demi melindungi diri karena takut akan disekap ke dalam penjara di bawah Internal Security Act (ISA).

Oleh karena itu, buku ini tentu saja bukan sekadar kisah dan profil 16 mantan gerilyawati, tetapi adalah juga salah satu catatan perjuangan anti-kolonialisme di dunia dan peran wanita dalam perjuangan itu, terutama dalam perang gerilya yang panjang. Tak hanya menjadi pelengkap atau barisan belakang (baca: memasak, menjahit baju pasukan, dan mengobati yang terluka) dari pasukan gerilya. Sebagian dari 16 wanita dalam buku ini merupakan prajurit gerilya yang juga mengangkat senjata dan bertempur di garis depan. Bagaimana sulitnya menjadi gerilyawati di hutan belantara Semenanjung Melayu dengan seluk-beluk kewanitaan seperti haid, melahirkan, hubungan cinta, dan benci pada keluarga, sesama, dan perkawinan diungkapkan oleh mereka.

Buku ini pun menjadi semakin penting bila diletakkan dalam konteks sejarah perjuangan rakyat dan bangsa-bangsa terjajah dari penindasan kolonialisme terutama di Asia Tenggara. Bagi kita di Indonesia, buku ini juga penting untuk dibaca dan diketahui agar kita pun sanggup menghubungkan dan memaknai perjuangan semesta melawan penjajahan kolonialisme yang dalam jangka waktu tertentu nyata menancapkan kuku-kuku kolonialnya di bumi Nusantara. Buku ini pun setidaknya telah memberikan gambaran yang berbeda dari sejarah resmi kemerdekaan Singapura dan Malaysia yang selama ini dinyatakan sebagai hasil diplomatik tanpa perjuangan bersenjata. Bagaimanapun kemerdekaan Singapura dan Malaysia itu telah dilandasi perjuangan bersenjata anti-kolonialisme Inggris dan anti-pendudukan fasisme Jepang.

*) Anggota Divisi Sastra Sanggar Satu Bumi.

Kitab Sastra Selebritas

A. Qorib Hidayatullah
http://indonimut.blogspot.com/

Tatkala kampanye terbuka digelar, sebagian artis-selebritas Indonesia lagi sibuk berkampanye demi mendulang suara pada pemilu legislatif nanti. Kini ditengarai, keranjingan mutakhir artis tanah air pada berduyun-duyun terjun di ranah politik. Untuk menandai hal ini, PAN tak lagi dijuluki Partai Amanat Nasional, tapi Partai Artis Nasional.

Mereka seakan tak puas atas ketenaran dirinya selama ini, yang kerapkali tampil di tv maupun di koran-koran. Mereka malah membikin baliho yang berisikan foto dirinya, partai yang ditungganginya, serta misi dan visi politiknya ketika dia kelak terpilih.

“Kita adalah bangsa yang tidak pernah selesai,” tutur Zack Sorga, sutradara pertunjukan teater bertajuk ‘Blangwir Nyelonong ke Priuk’, di akhir pementasannya, di Graha Bhakti Budaya, Taman Ismail Marzuki, Jakarta, hari Rabu (2 Desember 1998). Pernyataan Zack Sorga tersebut cocok mengalegorikan ketakselesaian proses pencarian manusia.

Geliat selebritas memang gampang ditebak: selalu mengejar kepuasan. Bagai menenggak air laut, dahaga tak pernah bisa dipuaskan. Manusia senantiasa memburu kenikmatan. Sehingga, ada masa di mana artis-selebritas menggemari kawin-cerai.

Di awal tulisan ini dibeberkan, bahwa selebritas, kini, pada ngetren bercebur di bursa caleg, namun ada pula selebritas yang lain menekuni titah panggilan literer dengan membesut karya-karya: puisi maupun prosa. Mereka ini adalah selebritas yang juga menulis dan mengarang.

Di sela-sela kesibukan permanennya, model artis-selebritas yang terakhir itu meluangkan waktunya menulis buku, terlibat mengorganisir problematika sosial, serta mengikuti acara-acara kemanusiaan. Seperti Rieke Dyah Pitaloka, Ayu Utami, Dewi Lestari Simangunsong, Djenar Maesa Ayu, Angelina Sondakh, Wanda Hamidah, Trie Utami, Fira Basuki, dan Neno Warisman.

Rieke Dyah Pitaloka misalnya, ia adalah penulis produktif. Ia menulis 2 (dua) antologi puisi: Renungan Kloset (2001) dan Ups!. Renungan Kloset hingga tahun 2005 terjual mendekati 10 ribu eksemplar. Tersebab buku ini, menghantarkan Rieke terpilih mengikuti Festival Puisi Internasional Winternachten di Den Haag, Belanda, Januari 2003. Pada tahun yang sama terbit Renungan Kloset, dari Cengkeh sampai Utrecht (April, 2003). Dan juga, tesis master filsafatnya yang berjudul Banalitas Kejahatan: Aku yang Tak Mengenal Diriku, Tela’ah Hannah Arendt Perihal Kekerasan Negara, oleh Rieke dibesut menjadi sebuah buku dengan judul Kekerasan Negara Menular ke Masyarakat (2004).

Begitu juga dengan Neno Warisman. Ia membikin buku Izinkan Aku Bertutur (2004). Buku ini berisi kumpulan karangan mirip puisi, yang ditulisnya dalam kurun waktu 2000-2004. Selain itu, Trie Utami, penyanyi kawakan, turut menggubah buku yang bernuansa Budhis, Karmapala, The Silent Love: Nyanyian Hati Trie Utami (2006).

Trie Utami terbilang kreatif. Bukunya tersebut bukanlah novel biasa, tapi ditulis berbentuk prosa lirik. Terbagi dalam 10 serat (bab) yang terdiri dari: Enigma (dharma karana), Shakuntala (dharma apurva), Dewa Kupinta (dharma shmara), Tarian Rembulan (dharma buddhaya), Kasmaraniku (dharma sembah), Batas Sekat (dharma rindu), The Silent Love (dharma bisu), Lao Gong (dharma kanthi), Klangenan (dharma vidhya), dan Gong Xi Fa Cai (dharma lakcana).

Tamara Garaldine, seorang artis-selebritas papan atas juga turut meramaikan panggung literasi. Pada September 2005, ia meluncurkan antologi cerpen Kamu Sadar, Saya Punya Alasan untuk Selingkung Kan Sayang? (2005).

Seturut sajak Ziarah Batu –kepada para orator oleh Dorothea Rosa Herliany: “Kupilih bahasa batu buat memecah keangkuhan nuranimu.” Mirip dunia politik, dunia literasi, kini, ditengarai sangat menyehari dalam kehidupan artis-selebritas. Bahkan, ada selebritas yang meminta bantuan penulis profesional untuk menuliskan biografinya.

Semisal Krisdayanti, Lenny Marlina, Titiek Puspa, dan Heidi Yunus. Buku yang berjudul Seribu Satu KD milik Krisdayanti ditulis oleh redaktur senior Femina, Alberthiena Endah. Buku Si Lenny dari Ciateul tentang Lenny Marlina, ditulis oleh novelis Titie Said. Dan, buku Titiek Puspa, Sebuah Biografi, yang memuat biografi Titiek Puspa, ditulis oleh redaktur senior Kompas, Ninok Leksono.

Namun, ada juga artis-selebritas yang telah lama bergumul dengan literasi. Mereka di samping menekuni dunia selebritas, pun pula tidak sonder di jagad literasi. Mereka ini penulis tangguh. Sebut saja misalnya, Dewi Lestari –-yang akrab disapa Dee–, Fira Basuki, Ayu Utami, dan Djenar Maesa Ayu. Dee, yang mantan penyanyi Trio RSD (Rita Sita Dewi), didapuk kesuksesan dashyat menulis novel Supernova, Ksatria, Puteri, dan Bintang Jatuh. Novel ini menjadi best seller dengan angka penjualan lebih dari 100 ribu eksemplar dalam waktu kurang dari setahun. Dan, sebagai karya teranyar Dee, Rectoverso (2008).

Pada masanya, Supernova banyak meraup pujian. Supernova sempat diganjar nominasi Katulistiwa Literary Award sejajar dengan karya maestro literer, seperti Danarto (Setangkai Melati di Sayap Jibril), Dorothea Rosa Herliany (Kill The Radio), Sutardji Calzoum Bachri (Hujan Menulis Ayam), dan Hamsad Rangkuti (Sampah Bulan Desember).

Begitu juga dengan Fira Basuki. Selebritas asal Surabaya ini, jebolan jurusan Komunikasi dan Jurnalisme dari Pattsburg State University, Kansas, Amerika Serikat, menggubah novel Jendela dan Atap. Lalu, Ayu Utami membesut novel fenomenal, Saman, yang memenangi sayembara novel DKJ, dilanjutkan Larung (2001), yang juga best seller dan banyak dibicarakan orang, dan terakhir Bilangan Fu (2008). Tak ketinggalan juga karya Djenar Maesa Ayu, Mereka Bilang Aku Monyet ­­–yang kemudian cerpen ini dibesut menjadi film dengan judul serupa–, Menyusu Ayah di Jurnal Perempuan dan Melukis Jendela di Majalah Horison.

Mereka, artis-selebritas yang gemar menggeluti baca-tulis (karya literer) bukan semata-mata mencari hiburan, seperti sajian entertainment yang lazim ditampilkan ke penonton tanah air. Seperti kata Pramoedya Ananta Toer, dalam Anak Semua Bangsa: “Tahu kau mengapa aku sayangi kau lebih dari siapa pun? Karena kau menulis. Suaramu takkan ditelan angin, akan abadi, sampai jauh, jauh di kemudian hari.”

Tak melulu selebritas politik saja yang mampu mengusung perubahan. Hakikat dari kitab sastra karya selebritas itu, juga bergelimang daya-nyala perubahan.

Bisikan Sastra Perang…

Binhad Nurrohmat
http://kompas-cetak/

Watak kesusastraan peka pada tragedi, dan di antara tragedi terbesar bagi umat manusia adalah perang. Perang merupakan tragedi yang tak sebatas membinasakan tubuh dan melenyapkan peradaban manusia. Ketika krisis dan kegundahan di Eropa merebak pada 1935 dan dihantui luka Perang Dunia I, Jean Girauduoux menyelipkan sebaris kalimat jitu tentang bahaya perang yang paling mengerikan ke dalam dramanya, La guerre de Troi n’aura pas lieu (Perang Troya Tak Bakal Meletus): “Kebenaran adalah korban pertama dalam perang.”

Pada berbagai zaman, perang gampang menggerakkan manusia menyelenggarakan kekerasan untuk penghancuran dan penaklukan. Perang merupakan bentuk tragedi primitif yang kerap mencabik-cabik riwayat umat manusia sejak mula hingga masa kininya. Tak mengejutkan bila ilham penciptaan kesusastraan agung abad silam—Mahabharata, Iliad, Odyssey—adalah perang. Juga, kesusastraan pada kurun mutakhir: Krawang-Bekasi saduran Chairil Anwar, Cerita dari Blora Pramoedya Ananta Toer, dan Saksi Mata Seno Gumira Ajidarma.

Sastra Perang bukan “liputan” permukaan belaka atas peristiwa atau suasana perang. Sastra Perang adalah pijar kedalaman empati tentang kehancuran tubuh dan pantulan warna-warni mental manusia dalam situasi konflik yang mampu menumbuhkan makna baru dan memperkaya pemahaman atas kenyataan, berdasarkan sudut pandang, visi, atau perspektif tertentu.

Virginia Woolf dalam Three Guineas (1938) membincang ihwal perang. Karya ini merefleksi foto kebengisan perang yang diedarkan Pemerintah Spanyol dua kali sepekan, dan Woolf menyimpulkan perang tak terpadamkan oleh edaran dokumentasi kekerasan itu.

Sastra Perang bukanlah risalah filsafat perang, meski di dalamnya bersemayam renungan filosofis. Sastra Perang mengambil jarak dan sekaligus intens terlibat dengan perang. Sastra Perang mengendus detak batin dan suara di benak pelaku atau mereka terkena dampak perang, tanpa berkhotbah.

Sastra Perang juga bukan kisah ulang gemuruh pertempuran. Novel Fateless Imre Kertesz (peraih Nobel Sastra 2002), misalnya. Novel berlatar Perang Dunia II ini bukan dokumentasi atas deru dan gelimang darah dalam perang ini. Novel ini mengarahkan kisah pada apa yang menyeruak dari derita jiwa raga manusia yang disekap dalam kamp konsentrasi Yahudi di Auschwitz dan Buchenwald.

Sastra Perang “menggemakan bisikan” pikiran dan jiwa manusia yang mengalami atau terpengaruh oleh perang, beserta keluhuran dan kebusukannya. Sastra Perang menyuarakan yang terabaikan dalam hiruk kekerasan, serupa kesaksian melankolis puisi Toto Sudarto Bachtiar Pahlawan Tak Dikenal: Wajah sunyi setengah tengadah/Menangkap sepi padang senja/Dunia tambah beku di tengah derap dan suara menderu/Dia masih sangat muda.

Namun, ada Sastra Perang yang berfungsi sebagai “dokumentasi” peristiwa perang, misalnya sebagian Syair Perang Menteng yang mencatat serangan militer kolonial Belanda ke Kerajaan Palembang dan perlawanan rakyat Palembang. Syair ini digubah pada 1819, tak lama seusai perang ini meletus. Dan, juga ada Sastra Perang yang difungsikan untuk mengobarkan semangat perlawanan, contohnya Hikayat Perang Sabil saat rakyat Aceh mempertahankan wilayahnya dari agresi militer kolonial Belanda.

Pramoedya
Sastra Perang bagi pembaca yang hidup di dunia nan damai bisa menjadi sejenis “hiburan” pemantik naluri dramatik yang bisa mengusik atau menggundahkan lantaran sembulan kegetiran dan kengerian dari pergumulan batin dan pikiran manusia yang terlibat perang atau terpengaruh olehnya.

Cerita dari Blora Pramoedya Ananta Toer, misalnya. Karya yang ditulis semasa revolusi 1945-1949, ketika di dalam dan selepas dari penjara Belanda, ini menggambarkan sisi lain kehidupan manusia yang mengorbankan banyak hal demi cita-cita kemerdekaan, tetapi pengorbanan itu hanya menyebabkan penderitaan. Kisah-kisah yang diduga mengandung otobiografi pengarangnya ini menggambarkan manusia-manusia frustrasi akibat perang. Peristiwa perang dalam kisah-kisah ini cuma jadi latar yang muncul-hilang atau samar sama sekali.

Pram dan Chairil adalah manusia yang menghirup udara dan tumbuh pada masa perang. Penghayatan mereka atas perang dan dampaknya menjadi pengalaman pribadi yang natural. Perang adalah pengalaman empiris dan otentik mereka.

Namun, lewat data dan imajinasi, penghayatan terhadap perang atau dampaknya bisa terselenggara tanpa dialami oleh pengarang secara langsung, misalnya puisi Zagreb Goenawan Mohamad: Ibu itu datang, membawa sebuah bungkusan,/datang jauh dari Zagreb./Ibu itu datang, membawa bungkusan, berisi sepotong kepala, dan/berkata kepada petugas imigrasi yang memeriksanya:/”Ini anakku.”. Meski puisi dianggap realitas fiksional, bukanlah berarti puisi ini khayalan kosong yang tak bisa menautkan referensi pembaca ke peristiwa getir akibat keganasan perang, nun di sana.

Sedangkan Saksi Mata Seno Gumira Ajidarma adalah “berkah” dari pembatasan terhadap wartawan yang meliput konflik bersenjata di Timor Timur pada masa Orde Baru. Berita-berita Seno mengenai konflik berdarah ini dibungkam (off the record). Tetapi, “ketika jurnalisme dibungkam, sastra harus bicara” kata Seno. Kisah-kisah dalam kumpulan cerpen ini merupakan berita (fakta) yang “menyamar” sebagai sastra (fiksi), sehingga “berhak” atau malah “dituntut” menyembulkan daya literer.

Inti dari Sastra Perang adalah konflik lahir batin, kekerasan, dan tragedi akibat perang sebagaimana juga konflik atau kekerasan massal di Tanah Air dalam satu-dua dasawarsa belakangan ini yang merenggut banyak korban manusia. Konflik-konflik ini terekam oleh jurnalisme dan secara signifikan belum muncul dalam kesusastraan. Berubahkah watak kesusastraan mutakhir?

Konon, kesusastraan dianggap berharga antara lain karena mencerap suara dan geliat zamannya. Unsur mutu atau capaian estetika kerap jadi kekuatan mendasar dan amat menonjol, tetapi unsur ini bukanlah satu-satunya yang membuat kesusastraan bisa gemilang atau menggugah pembaca dari masa ke masa.

Harry Aveling dan Sastra Indonesia

Susi Ivvaty
http://kompas-cetak/

Harry George Aveling (64) masih berusia delapan tahun ketika bibinya menunjukkan peta Borneo (Kalimantan) kepadanya. Bibi berharap ia menjadi pendakwah agama di pulau itu. “Saya akhirnya malah menjadi pendakwah budaya Indonesia untuk orang Australia, he-he-he.”

Di Indonesia, Harry dikenal sebagai pemerhati dan peneliti kesusastraan Indonesia sejak tahun 1970-an. Belakangan, lelaki kelahiran Sydney, Australia, 30 Maret 1942, itu juga dikenal sebagai pakar dalam penerjemahan sastra. Tak mengherankan jika kalimat-kalimat dalam bahasa Indonesia yang meluncur dari mulutnya terstruktur sangat rapi.

Harry melihat Indonesia sebagai negara tetangga yang menarik. Begitu dekat namun sangat berbeda. “Saya tidak tahu apa-apa tentang Indonesia dan begitu pula kebanyakan orang Australia. Itulah mengapa saya tertarik ingin memperkenalkan Indonesia kepada Australia,” ujarnya ketika ditemui menjelang acara diskusi di Bentara Budaya Jakarta pekan pertama Mei lalu.

Terhadap sastra Indonesia, Harry mengaku langsung jatuh cinta pada perkenalan pertama. Itu pula alasan yang membuat ia selalu kembali dan kembali ke Indonesia. Jika banyak orang mempelajari Indonesia lewat catatan sejarah atau politik, Harry memilih sastra.

“Cita-cita dan harapan orang Indonesia lebih tertangkap lewat sastra. Saya lebih intim bergumul dengan sastra. Lewat sastra, saya bisa merasakan Indonesia,” ujar bapak tiga anak dan kakek dua cucu ini.

Sesudah Gestapu

Seusai lulus kuliah Indonesian and Malayan Studies di University of Sydney hingga gelar master pada tahun 1966, Harry memutuskan “turun gunung”. Ia bersama sembilan kawan peminat studi Indonesia mengunjungi Indonesia dan Malaysia.

“Waktu itu sesudah Gestapu, dan keadaan masih kacau,” kata Harry yang waktu itu berstatus dosen di Monash University, Melbourne.

Tahun 1970, Harry untuk pertama kali mengajar sastra bandingan di Universitas Indonesia, meski hanya enam bulan. Ia juga mengajar di Universiti Sains Malaysia, Penang, tahun 1972-1975.

Persentuhannya dengan sastra Indonesia menuntun Harry ke Taman Ismail Marzuki, tempat para sastrawan biasa berkumpul waktu itu. Di sana ia banyak berdiskusi dengan Rendra, Sutardji Calzoum Bachri, Abdul Hadi, Goenawan Mohammad, juga Toeti Heraty.

Harry menyatakan kekagumannya terhadap karya-karya sastrawan yang ketika itu masih muda-muda. Ia menilai, perasaan kesenimanan mereka sangat menonjol. “Perasaan yang ingin serba bebas, namun tanpa saling menyakiti sesama. Perasaan kesenimanan itu membuat mereka mampu mempertanyakan segala hal,” katanya.

Harry kemudian mulai membicarakan keunikan masing-masing sastrawan. Rendra, misalnya, dinilainya mempunyai cara yang istimewa untuk mengusung emosi atas segala hal, termasuk komitmennya terhadap perubahan sosial. “Ini masalah sensitivitas,” ujarnya.

Terhadap Sutardji, Harry menilai, kekuatannya ada pada kejutan-kejutan yang dicipta. “Sutardji itu gila. Dia selalu dinamis dan berubah, tidak dapat ditebak. Puisinya dianggap aneh. Padahal, bunyi-bunyi puisi itu menarik di tengah-tengah puisi yang merdu dan indah”.

Pada tahun 1996, Harry sempat dicekal masuk ke Indonesia. Ia berada di Bandara Ngurah Rai sekitar 15 menit sebelum dideportasi kembali ke Australia. Banyak orang menduga, Harry dicekal karena berkawan akrab dengan Pramoedya Ananta Toer dan menerjemahkan karya-karyanya pula ke dalam bahasa Inggris. “Padahal, sebagai perantara sastra budaya, saya semestinya netral. Saya tidak terlibat politik praktis,” ujarnya.

Pergulatan Harry dengan sastra Indonesia telah menghasilkan banyak sekali karya, semisal buku-buku dan karya penerjemahan. A Thematic History of Indonesian Poetry adalah buku pertama Harry tentang puisi Indonesia yang diterbitkan Northern Illinois University tahun 1974. Setelah itu, sejumlah buku pun dia tulis, seperti Sastra Indonesia, Terlibat atau Tidak (1986), Secrets Need Words: Indonesian Poetry 1966-1998 (2001) yang versi Indonesianya menjadi Rahasia Membutuhkan Kata (2003), juga Rumah Sastra Indonesia (2002).

Ia juga telah menerjemahkan sejumlah karya sastra Indonesia ke dalam bahasa Inggris. Tersebutlah karya-karya Pramoedya Ananta Toer seperti Gadis Pantai (novel), Perburuan (novel), dan Cerita dari Blora (cerpen). Juga karya Dorothea Rosa Herliany, seperti Santa Rosa; karya Danarto, seperti Abrakadabra; karya Dewi Lestari, seperti Supernova (dalam proses).

Berbeda dan berubah

Harry menilai, sastra Indonesia saat ini mengalami perkembangan, terutama setelah masa reformasi. “Dulu, dunia kreatif itu ada di atas gunung, merasakan angin, daun yang jatuh. Sekarang ini, budaya urban yang menonjol. Sama ketika membandingkan Jakarta dulu dan sekarang, sangat berbeda. Sekarang ini zaman >small 2small 0<, MTV, dan membentuk budaya global ala Indonesia.”

Sastra terjemahan juga mengalami pergeseran. Saat ini, banyak sekali bermunculan penerjemah sastra, tidak peduli siapa mereka dan seberapa besar kemampuannya. Dan karena terlalu dikejar-kejar target, mereka tidak mempunyai waktu untuk merevisi. Masalah budaya, ideologi, dan poetika yang ada di balik bahasa menjadi kerap terabaikan.

“Gaji seorang penerjemah itu kecil, makanya mereka mau saja disuruh terus menerjemahkan,” ujar Harry.

Maka, Harry pun makin ingin terus membagi pengetahuannya. “Saya ingin selalu kembali ke Indonesia, sharing mengenai translation studies dengan penerjemah Indonesia,” ujarnya.

Pram, Punk, dan Gerakan Komunitas di Blora

Abdul Malik, Fahrudin Nasrulloh
http://www.facebook.com/note.php?note_id=86042861838&ref=mf#/profile.php?id=770900011

Wahai huruf……
Alangkah akan tinggi ucapan
Terima kasihku, bilalah kamu
Menjadi buku terbuka
Bagi manusia yang membacanya
(Pramoedya Ananta Toer, Menggelinding 1)

Bebaris kata-kata Pram itu terpampang di salah satu banner di bagian tengah atas yang berisi sejumlah cover novel-novel Pram, baik yang berbahasa Indonesia maupun yang berbahasa asing. Kita seperti diajak memasuki ruang-ruang batin Pram dengan segala pernak-pernik kisahnya. Inilah salah satu yang terhadir dalam peringatan 1000 WAJAH PRAM DALAM KATA & SKETSA yang dipanitiai oleh Soesilo Ananta Toer dan Eko Arifianto yang digelar mulai tanggal 1 sampai 7 Februari 2009, di Jl. Sumbawa 40 Jetis Blora.

Selama seminggu, acara peringatan Pram ini, salah satunya, menghadirkan pameran sketsa dari anak-anak SD sampai SMA, dan khalayak umum, terutama kaum muda yang berasal dari sejumlah komunitas di Blora dan Randublatung. Upaya memperkenalkan sosok Pram pada generasi muda sangatlah penting sebagai cermin perlawanan atas ketidakadilan. Meski anak-anak SD kebanyakan belum tahu banyak ihwal Pram dan karya-karyanya, namun mereka sangat apresiasif. Mereka menuangkan sketsa wajah Pram di atas kertas dengan berbagai ekspresi dan menuliskan kesan-kesan mereka. Baik itu kutipan dari penggalan-penggalan novel-novel Pram atau dari kesan mereka sendiri. Seperti: “Indonesia adalah negeri budak. Budak di antara bangsa dan budak bagi bangsa lain” (Jalan Raya Pos, Jalan Deadels: hlm. 70); “Semua yang terjadi di kolong langit ini adalah urusan setiap orang yang berfikir” (Rumah Kaca, hlm. 38) “Seorang tanpa prinsip adalah sehina-hina orang, setengik-tengiknya” (Rumah Kaca: hlm. 73); “Selama penderitaan datang dari manusia, dia bukan bencana alam, dia pun pasti bisa dilawan oleh manusia (Anak Semua Bangsa: hlm. 204); “Jabatan dan piring nasi tanpa disadari juga ikut membentuk watak sekalipun dimulai pada umur tiga puluhan” (Nyanyi Sunyi Seorang Bisu: hlm. 126); “Jangan anggap remeh si manusia, yang kelihatannya begitu sederhana; biar penglihatanmu setajam elang, pikiranmu setajam pisau cukur, perabaanmu lebih peka dari para dewa, pendengaranmu dapat menangkap musik dan ratap tangis manusia; pengetahuanmu tentang manusia takkan bakal bisa kemput” (Bumi Manusia: hlm. 119). Sketsa anak-anak SD di Blora ini terdiri dari 100-an sketsa yang ditempel pada 4 papan.

Ada 17 sketsa dari murid SMP Bhakti Tuban dengan menggunakan media sampah daur ulang berupa kardus, plastik, kertas minyak, deterjen, dan selotip. Terpajang pula 11 sketsa khusus berjudul “Fragmen Pulau Buru” karya Gumelar. Dengan media kanvas cetak karet, ukuran 40 x 60 cm, Eko Arifianto memajang karyanya dengan judul “Pram dan Karyanya”, dan “Pram: Resist!”. Sejumlah lukisan bercat minyak (dan dengan media lain) juga dipamerkan di sekitar dan di dalam ruang utama rumah Pram, salah satunya, adalah lukisan karya Soetanto tahun 1980 berjudul “Toer” (ayah Pram) dan “Saidah” (ibu Pram). Lalu lukisan Romo Didik Cepu berjudul “Merahnya Pram” berukuran 88 x 90 cm. Sementara karya pelukis lain juga dihadirkan semisal karya Totok Sawahan, Pongky, Bobby dan Komunitas Marjinal, Toni Al-Blora, Praminto Moehayat. Dan yang terakhir adalah karya pahat dari kayu jati berjudul “Pram Mesem”, ukuran 40 x 30 x 60 cm, karya Agus Randublatung.

Di pengujung acara bertanggal 7 Februari 2009, diundang juga para perupa Jogja dan beberapa kota lain, seperti Joko Pekik, Hari Budiono, Samuel Indratma, Bambang Heras, Suatmaji, Sjalabi, Bambang AW (Malang). Di tengah-tengah pemanggungan musik punk dari Komunitas Marjinal, para pelukis tersebut melukis bareng bersama pengunjung dan pengagum Pram.

Bersamaan itu, di sore pukul 16.59 yang agak gerimis, Ilham J. Baday dan Salabi dari Komunitas Arek Museum Surabaya, menampilkan performance art dengan judul “Abandoned”. Ilham menjajarkan 6 meja tralis di depan pengunjung dengan dideretkan memanjang. Ia berkacamata hitam dan bertelanjang, tapi masih memakai sarung yang dilipatnya serupa cawat. Sekadar untuk menutupi “rudal”nya. Berambut rumbai ala Bob Marley (meski pendek seleher). Dibawalah sebuah durian dan buku berjudul Aku Bangga Jadi Anak PKI, diletakkan di atas meja paling ujung. Si durian ditegakkan di atas buku tersebut. Ia lalu mengambil arah berlawan meja. Menaikinya. Berjalan ia membawa odol ke durian. Memelototkan odol itu seperti membuat lukisan ular-ularan memanjang hingga ke ujung meja semula. Kemudian ia menelentangkan tubuhnya di atas meja. Merambat kayak mamba menuju durian. Bayangkan, bagaimana pengunjung memecah perhatian pertunjukan: antara menikmati musik punk Marjinal, menonton para pelukis kawakan melukis, dan eksplorasi pertunjukan Ilham.

Sedang Salabi, setelah ikut melukis wajah Pram secara kilat, ia membawa jes pewangi, lalu menyemprotkannya di kanvas lukisannya. Berjalan muter-muter turun panggung naik panggung.. Jes pewangi itu kemudian ia wesskan ke mulutnya. Ilham terus merayap hingga ke buah durian dan memakannya. Serampung itu, ia mengajak pengunjung menirukan performennya. Tak tanggung-tanggung, ada 5 peserta yang tergerak ngikut, 2 cewek, 3 cowok. Semuanya antusias, pengunjung sontak berkeplokan meriah sekali. Performen ini, menurut Ilham: menggambarkan bahwa perjuangan dan keberanian Pram dimulai dari proses yang tidak mudah. “Susah-susah dahulu, baru enaknya kemudian”, demikian simpulnya. “Keteguhan dari perjuangan seseorang demi kemanusiaan, pada akhirnya kita pantas mengenangnya, dan oleh sebab itu, keharuman namanya tidak akan pernah lekang sampai kapan pun,” susul Salabi.

Pada puncak acara pukul 19.30 diluncurkan buku Bersama Mas Pram, karya Koesalah dan Seosilo Toer dari penerbit KPG Jakarta. Astuti Ananta Toer dan Soesilo Toer mewakili keluarga memberikan buku tersebut kepada sejumlah sahabat Pram, yang hadir diatas panggung antara lain Djoko Pekik, Eko Arifianto, Sonny Keraf, Soelistiyono BA. Pergelaran wayang kulit berjudul “Begawan Ciptoning” dengan dalang Tristuti Rahmadi memungkasi acara ini.

Dalam kesempatan itu pula Penerbit Lentera Dipantara juga meluncurkan buku Pramoedya Ananta Toer: 1000 Wajah Pram dalam Kata dan Sketsa. Berisi esai, catatan kenangan, dan puisi dari banyak kontributor dan kaum pramis.

Satu agenda acara yang batal dalam peringatan 1000 hari mengenang Pram ini adalah pementasan drama dari SMAN 1 Randublatung berjudul Perlawanan Rakyat Tepi Hutan pada hari Sabtu, 7 Februari 2009, pukul 16.30-17.00 WIB. Menurut Ex Mahardhana Wijaya (exicrot) pementasan itu dilarang oleh Dinas Pendidikan Kabupaten Blora.

Obituari Kamar Sunyi Pram

Bayangkanlah. Apakah sekarang bayangan ruh Pram dikesiur angin dan terkesiap bangun dari Karet Bivak lalu mengendarai angin menuju rumahnya di Jl. Sumbawa 40 Blora? Bisa jadi, ruhnya yang seringan bulu angin senja itu akan mengunjunginya. Dan di sinilah, di rumah Pram, pengunjung pameran bisa merasakan desir kedatangannya. Lalu mengobrol banyak hal dan ketawa bareng sambil berkelakar: “begitu pendek dan seenteng kentut hidup ini, bukan? Tapi semuanya harus dimaknai dengan sebaik-baiknya”.

Mari rasakan! Ruangan sebelah kanan, ada mesin jahit milik Koen Maryatoen, adik Pram No.2, tahun 1966; di atas meja jati tua, ada 20-an judul buku koleksi Pram dijejer rapi, salah satunya Di Bawah Bendera Revolusi karya Soekarno, Korupsi karya Pramoedya Ananta Toer; garpu sendok (3 buah) keluarga Toer (tahun 1925); baki pengantar minuman/makanan tamu keluarga Toer (1925); baki bekas keluarga Toer untuk menyimpan opor/rawon (1925); baki tutup untuk menaruh sayur keluarga Toer (1925); tiga gelas piramida terbalik tempat minuman ringan keluarga Toer (1925); timbangan untuk menakar bahan-bahan kue kering keluarga Toer (1925); stoples tempat gula keluarga Toer (1925); alat pembuat persan jeruk nipis keluarga Toer (1925); tempat menyimpan klobot keluarga Toer (1925); tenong ukiran jepara tempat Toer menyimpan tembakau (1925); kursi rotan tempat Toer biasa ceki dengan kawan-kawannya antara Cin Bie dari Beran; mesin ketik Optima hadiah Pramoedya buat Oemisafaatoen yang berarti bintang Aquarius (tahun 1956); rodenstock, bekas tempat kaca mata Pram sepulang dari Pulau Buru (rp 3.000); dan meja marmer tempat Toer menjamu tamu-tamu penting di ruang depan (1950); jam tangan hadiah untuk Pram dari Kyoto, TV Jepang tahun 1985, menunjukan pukul 13.45; Modern Indonesian Literature karya A Teeuw (University of Leiden, 1967, The Hague Amsterdam); foto Pram, hitam putih agak mangkak dan gripis, bersama Adam Malik. Pram sedang menunjukkan buku Bumi manusia padanya; kacamata-kacamata murahan milik Pram yang dibelinya di seputar pasar Sunan Giri, Rawamangun, Jakarta , 1982; dll.

Rumah Blora memang berciri-khas kayu. Dari pondasi sampai semeteran ke atas memakai batu-bata. Selebihnya adalah kayu hingga ke usuk, blandar, dan reng-rengnya. Kayu jati, usia tua, cat putih yang lapuk, setali dua tali sawang menggelayut bergoyang-goyang dihembus angin. Di ruang tamu depan, jagak pintu berkayu jati, di tengah jagak atas ditulisi di selembar kertas “Ruang Memorabila”. Di sayap kiri pandangan tercantel Lukisan Merahnya Pram, 68 x 90 cm, sketsa kain spidol krayon, karya Romo Didik Cepu. Dengan warna merah terang menyala. Di kanan bawah lukisan itu terboreh kerumunan kata begini: Angkatan muda harus punya keberanian/ kalau tidak punya sama saja dengan ternak yang hanya sibuk mengurus dirinya sendiri (Pramoedya Ananta Toer). Di sini juga terpampang lukisan Romo Didik Cepu berjudul The Smiling Pram, 30 x 40 cm, media pensil.

Pernak-Pernik Perpus PATABA

Perpustakaan Pramoedya Ananta Toer Anak Blora (PATABA) berdiri 2 tahun lalu oleh Pramoedya Ananta Toer, Sosilo Toer, Koesalah Toer. Beralamat di Jl. Sumbawa 20 Kelurahan Jetis Kecamatan Blora Kabupaten Blora.”Perpustakaan Pataba didirikan untuk tonggak kenangan pada hari meninggalnya Pramoedya Ananta Toer di Jakarta dan dimakamkan di pekuburan umum Karet Bivak yang juga merupakan peristirahatan terakhir Chairil Anwar”, ungkap Soesilo Toer, adik kandung Pram (Suara Rakyat, edisi 7-21 Februari 2007).

Soesilo Toer Tahun sebagai salah satu penerus dan mengelola perpustakaan ini menceritakan, “Saya menamatkan SMA 1957, kemudian melanjutkan ke Akademi Keuangan di Bogor. Lalu meneruskan sekolah di Rusia, hingga pada tahun 1967 tamat dari Universitas Lumumba dengan gelar MSc.” Karir pendidikan Pak Soes terus menanjak dengan menamatkan pendidikan di Institut Plekhanov pada tahun 1971 dengan gelar DR dan PhD. Saat ini ia mengelola perpustakaan PATABA sembari berkebun.

Jumlah koleksi perpustakaan ini terdiri dari 3 ribu judul. Luas ruangan 16 meter persegi. Rumah ini berdiri tahun 1924, dan sempat direnovasi pada tahun 1954 dan 2003. Salah seorang pembaca muda, Daris Ilma, lahir di Sidoarjo (28-7-1992) yang ikut hadir kala itu mengemukakan kekagumannya atas karya-karya Pram yang memberikan semangat keberanian dalam menghadapi tantangan dan gencetan nasib yang mencekam. Siswi ini bersekolah di SMA Avicena Kedungcakring, Jabon, Sidoarjo. Ia juga melahap habis Bumi Manusia dan Rumah Kaca yang sebelumnya menjadi koleksi orangtuanya, M Irsyad. Sementara itu Puput Puji Lestari sengaja mengajakan dua keponakannya Faiq Adi Wibowo kelas 6 SD dan Nabibah Jihan Pratiwi TK BRI Blora agar mengenal sosok Pram lebih awal.Tentu bagi para pengunjung lain, banyak kesan yang tak tergantikan saat mengikutidan menyambangirumah Pram ini.

Mikael Isrofil dan Komunitas Punk Marjinal

Ketegaran Pram dalam bersikap dan bertindak adalah cerminan bagaimana manusia harus mengatasi kehidupan di bumi manusia yang dilanda ketidakadilan dan ketertindasan. Tapi ia tidak percaya takdir, ia tak pernah merengek pada Tuhan. Tapi ia menghargai bumi manusia ini dan menghayatinya dengan tanggung jawab sepenuh-penuhnya. Nasib musti dilawan oleh manusia. Ia terus melatih dirinya dengan apapun agar tidak direndahkan dan dilemahkan. Ia mencintai negeri dan bangsanya dengan tiada henti menelusuri sejarahnya dan mendokumentasikannya. Tak heran, jika karya-karyanya dan pengaruhnya juga mengintrusi banyak kalangan, termasuk pada komunitas punk Marjinal. Mengenai sejarah punk secara global, mungkin tidak terlalu banyak referensi dan hasil riset yang representatif, terutama di Indonesia. Sebagai sekedar rujukan ringan, ada 2 film yang layak ditonton, semisal Sex Pistol dan Romper Stomper yang bercerita tentang tokoh Hando si pengagum buku Mein Kamp-nya Hitler. Tokoh ini dibintangi Russel Crowe. Tapi menurut Mikael, punk masuk ke Indonesia sekitar tahun 90-an.

Komunitas ini dimotori oleh Mikael Isrofil di bidang musiknya, dan Najib Hermani sebagai inspirator dalam kreatifitas lainnya semisal pada penerbitan buletin, majalah, tabloid, hingga penerbitan buku. Sejumlah penerbit pernah njedul dari komunitas ini, seperti Melibas, Heyna, Celetuk, Kepak, dll. Kaum punk ini telah berdiri sejak 22 Desember 1996. Mereka banyak bertebaran di Jakarta dan kota-kota lain. Komunitas ini tak memiliki organisasi. Karena itu secara struktural, di dalamnya tidak ada ketua atau yang dianggap paling berpengaruh. Semuanya menganggap setiap pungker satu sama lain adalah sederajat. Satu untuk semua, semua untuk satu. Egalitarianisme cukup kental dalam pemikiran dan tindakan mereka. Tak pelak, paham kesederajatan, perlawanan, keberanian, dan kebebasan, dapat mereka timba dari sosok Pram.

Keterlibatan mereka yang digandeng komunitas Pasang Surut dalam peringatan seribu harinya Pram ini menunjukkan bahwa spirit yang mereka gotong seucap-sekereta dengan Pram. Mereka hampir mentas saban ada waktu luang, selain agenda mereka sendiri, untuk menyelingi acara-acara yang sudah dijadwalkan panitia. Syair-syair yang mereka nyanyikan antara lain: “Bumi manusia”, “Seru-seru Gua Garba”, “Hukum Rimba”, “Rencong Marencong”, “Bebaskan”, “Marsinah”, “Disunati Dipotong Dicincang-cincang”, “Luka Kita”, “Alam Raya Sekolahku”, “Anak Merdeka”.

Menariknya, tak satu pun dari 10 lirik di atas diklaim tercipta dari satu orang. “Semua syair ini adalah dibuat dari dan untuk kita semua. Seluruh personel Marjinal ikut andil dalam pembuatan syair ini,” tutur Mikael. Saat itu dengan senang hati Mikael dan kawan-kawannya mendendangkan satu lagu dengan judul:

BUMI MANUSIA

Bangkit dan merdeka
Buka mata hati kita
Menembus segala arah rona-rona
Menyapa seisi dunia
Bersilaturasa
Tumbuh sumburkan rasa bersaudara
Singkirkan malam dari siang yang buta
Songsong masa kan datang dengan jiwa merdeka
Di mana manusia saling memanusiakan manusia
damai di bumi
damai di jiwa
damai di hati
damailah kita semua
damai di bumi
damai di jiwa
damai di hati
damailah bumi manusia

Pram bisa jadi ikon sastra, ikon politik bagi anak-anak Partai Rakyat Demokratik, bahkan sebagai lambang perlawanan dan pembangkangan sipil oleh kelompok punk — Pram diangkat sebagai Datuk Punk. (Tempo, 14 Mei 2006 halaman 74). Sebagai kesimpulan kecil, ada satu kalimah yang nggeget soal komunitas ini dalam melambari diri mereka: Setiap orang adalah punk, karena setiap orang berjuang untuk menjadi dirinya sendiri dan penanggung jawab bagi dan atas diri sendiri. Be your self, do your self. Berdiri dan berkarya di atas kaki sendiri,” demikianlah pungkas Mikael. Punk Marjinal ini bisa disambangi di www.sapibetina.blogspot.com

Sayap-sayap Pram di Blora

Pertama kali menuju Blora dari Jombang, kami membayangkan 11 cerpennya dalam Cerita dari Blora. Serangkaian cerpen yang menuntun khayal kita menyusuri masa-masa awal Pram bertarung hidup di Blora. Kehidupan keluarga Pram terlukiskan dengan detail sekaligus getir saat mereka terpuruk dibelit nasib dan harapan-harapan yang berkerikil tajam. Saat itu kami bertiga, Fahrudin Nasrulloh, Abdul Malik dan Jabbar Abdullah, ngambil bis Puspa Indah jurusan Jombang-Babat dengan jarak tempuh kira-kira 36 km. Babat-Bojonegoro: 34 km. Bojonegoro-Cepu: 33 km. Cepu-Blora: 34 km. Kami bertiga jadi jengkel dan misuh-misuh, ketika bis Margo Djoyo Babad-Bojonegoro ini ngebut diuber setan. Pasti supirnya nggak pernah baca Anak Semua Bangsa. Bahkan kenal Pram pun mungkin tidak.

Kami sampai sore di sana, tanggal 6 Februari 2009. Paginya, sekitar pukul 6.34, saya dan Jabbar berjalan-jalan cari sego pecel dan Kompas ke sekitar alun-alun Blora. Ketika melewati pasar Blora, saya teringat cerita Soelistiyono Ba alias Ki Panji Konang (kawan dekat Pram waktu kecil) tentang masa-masa kecil mereka: “Sakwise tamat saka sekolah angka telu, aku nerusake sekalah ana kutha mau, banjur ketemu kang Pram, nek wis bubaran sekolah suwe-suwe padha golek akal, kanca-kanca diajak kang Pram nong halte Pasar Blora, golek bekas bungkus rokok. Nek ora salah, cap rokoke gawean Nitisemita, Ball Tiga, Cap Anggur, Cap Jambu, Cap Jeruk, Cap Mlinjo, lan liya-liyane. Bekas bungkus ditata rapi, menawa wae dienggo nulis-nulis cerita kanggone kang Pram.” (Pramoedya Ananta Toer: 1000 Wajah Pram dalam Kata dan Sketsa, Jakarta: Lentera Dipantara, 2009).

Tak heran, jika kini novel-novelnya meruah terekam kuat di ingatan pembacanya, sebab sejak kecil Pram sudah melatih diri berdisiplin untuk menuliskan apa saja yang berseliweran di hidungnya. Semacam ketelatenan sejak kecil. Untuk membunuh kemalasan yang kerap mengutuk banyak orang. Meski itu hal yang sepele, namun berat. Atau, baginya: harus ada yang diperbuat demi masa depan. Hidup adalah bekerja dan memaknai keterberian Yang Kuasa. Ia pernah berujar pada kawannya itu: “yen kowe ora obah-polah ora bakal iso mamah.” Ya, sebuah etos hidup yang khas Blora, jika tepat hal itu kita kaitkan dengan tokoh legendaris Samin Surosentiko (1859-1914). Perlawanan Samin di Blora kala itu terhadap kolonial Belanda mendapat sokongan masyarakat Blora, hingga ia digelari Prabu Panembahan Suryongalam. Samin sebenarnya hanya mempertahankan pandangan jawanismenya yang terdiri dari 20 Angger-angger Pratikel: drengki, srei, panasten, dahwen, kemeren, bledog, colong, petil, jumput, nemu, dagang, kulak, mblantik, mbakul, nganakno duwit emoh, bujuk, apus, ngakali, krenah, ngampuni pernah: aja dilakoni!

Lepas dari itu, dalam peringatan 1000 Wajah Pram dalam Kata dan Sketsa, bagaimanakah kita melihat komunitas-komunitas yang ada dan bergerak di Blora dan sekitarnya? Apakah gerakan mereka terkesan elit, tak menyentuh rakyat, tak membumikan aspek-aspek kemanusiaan dan lain-lain sebagaimana tercermin dalam diri Pram dan karya-karyanya?

Telisik Eko Arifianto dan Ex Mahardana Wijaya di Blora dan Randublatung terdapat belasan komunitas yang bergerak dalam banyak bidang. Mulai dari pemberdayaan masyarakat, perpustakaan, kepenulisan, jaringan kelompok tani dan perajin kayu jati, pelatihan-pelatihan komunikasi massa dan pembacaan terhadap kebijakan pemerintah, hingga kreatifitas- kreatifitas yang digalakkan di kalangan siswa dan pemuda. Di antara sejumlah komunitas itu seperti: Komunitas Pasang Surut, PATABA, SuperSamin, Front Blora Selatan (berdiri 2005, dimotori oleh didik), Anak Seribu Pulau, RAPALA, Komunitas Wong Sastra (berdiri 2008 dari SMA 1 Randublatung), Tugu United, ARSUMPALA (Arek Sumber Pecinta Alam. Berdiri 2002. Merevitalisasi seni Barongan di kampung-kampung. Penggeraknya Bambang), Lidah Tani (berdiri 2000. Ketua: Pak Rukito dari Desa Temulus Randublatung), Komunitas Rukun Tani, Roedal Revolt, Kolektif Reaksi, Yayasan Mahameru, LPAW, dan Paguyuban Penghayat Kepercayaan.

Seluruh komunitas ini rata-rata bergerak di bawah dan terinspirasi sekaligus berupaya menerjemahkan pemikiran-pemikiran humanisme sosialis Pram. Eko Arifianto menjelaskan, “Komunitas-komunitas ini lebih menekankan kerja kolektif, mencoba membumikan teks Pramoedya. Tentang kemandirian, Kesederhanaan, Kejujuran, dan Keberanian.”

Di Randublatung sendiri, sekurangnya ada 8 komunitas. Ex Mahardana Wijaya yang riwayatnya pernah berkuliah di kampus Wangsa Manggala Wates Jogja, adalah eksponen Taring Padi di Jogja pada 1998-2004. Sejak 1998, ia, Juwadi, dan teman-temannya yang lain mulai membikin kelompok-kelompok kecil pembaca karya-karya Pram. Komunitas RAPALA (Randupblatung Pecinta Alam) bukan sebagaimana grup pecinta alam yang umum kita kenal. Komunitas ini berdiri tahun 1999. Mereka bergerak dalam upaya untuk menyelamatkan hutan di Blora dari setiap perusakan dan pembabatan liar. NO FOREST, NO ART, NO FUTURE, adalah semboyan mereka. Sebuah konsep Hutan Rakyat yang menarik. Karena itu, pada 1999, mereka mengajak masyarakat Blora untuk melakukan penanaman pohon jati dan mahoni di lahan-lahan kosong di sekitar mereka.

Demikian pula komunitas Anak Seribu Pulau yang lahir pada 1999, juga digerakkan oleh Wijaya, Agung Crotte, dan Juwadi. Art Ecology adalah konsep mereka. Kayu-kayu kecil yang selama ini dianggap sampah dan berserakan di jalan-jalan, mereka manfaatkan sebagai bahan berkreasi-cipta, seperti mengikirnya menjadi manik-manik, gantungan kunci, patung-patung kecil, dll. Dengan seni cukil kayu ini, pada 2005, mereka menggelar Forest Art Festival. Kegiatan ini didukung Imam Bocax yang berkarya seni dengan memberdayakan lidi aren. Tahun 2006, beberapa anggota Anak Seribu Pulau, diikut-sertakan oleh Imam Bocax ke Australia sebagai peserta dalam semacam workshop pemberdayaan hutan dan seni kriya.

Mereka-mereka inilah sayap-sayap Pram di Blora dan sekitarnya. Sepercik warisan dari Pram bahwa bumi manusia menjadi tanggung jawab bersama untuk dijaga, dipertahankan, dan diperjuangkan demi menjunjung nilai-nilai kemanusiaan. Selamat berkarya dan bergerak kawan-kawan! Pena dan gunting Pram bersama kalian…

Jombang, 11-14 Februari 2009
*) Dimuat majalah KIDUNG Dewan Kesenian Jatim Edisi 13.

Kanon Sastra: Siapa Takut?

Ayu Utami*
http://www.prakarsa-rakyat.org/(29 Oct 2007 Kompas)

Mengapa takut, wahai, pada kanon sastra? Toh kita belum pernah punya. Dan sesungguhnya kita perlu punya, ya, sebuah kanon yang cocok untuk kepentingan kita. Dan kepentingan itu adalah proyek kebangsaan Indonesia, yang belakangan ini terbengkalai.

Sumpah Pemuda 28 Oktober 1928 adalah tonggak awal kebangsaan kita. Sayangnya, pemerintahan Soeharto menjalankan proyek ini dengan cara yang menghilangkan keharuannya. Reformasi 1998, yang mewarisi kegusaran pada slogan Orde Baru, menyingkirkan butir-butir sumpah itu bersama sampah lain ke sudut berdebu. Pelbagai riset menunjukkan, sepuluh tahun ini orang memilih ikatan-ikatan lain, semisal kesukuan, kedaerahan, dan agama, di atas satu bangsa satu tanah air.

Dari tiga untai Sumpah Pemuda, hanya yang terakhir yang masih lumayan mengilap, berkat para peminat bahasa Indonesia yang masih setia mengelap-ngelap butir ketiga itu tiap tahun. Sebagian di antaranya sastrawan—mereka suka menyelenggarakan seminar di sekitar tanggal ini; misalnya Kongres Cerpen, yang 25 sampai dengan 28 Oktober ini diadakan di Banjarmasin. Sebagian lebih besar adalah para linguis dan birokrat bahasa. Mereka bekerja di Pusat Bahasa, balai bahasa tingkat daerah, yang tanpa bosan mengadakan hajatan di bulan bahasa saban tahun. Tema yang diangkat kerap sloganistis—”dengan sastra kita tingkatkan minat baca insan Indonesia”. Apa pun, gosokan merekalah yang membuat sumpah nomor tiga masih tersemir.

Sumpah ketiga itu istimewa adanya. Sumpah yang pertama dan kedua lebih mengenai ikatan darah dan tanah. Sumpah nomor tiga perihal ikatan bahasa, unsur yang lekat pada makhluk berbudaya. Rumusannya pun tersendiri. Para pemuda bukan mengaku berbahasa satu, melainkan menjunjung bahasa persatuan. Kata itu “menjunjung” , bukan “mengaku”. Lagi pula “bahasa persatuan”, bukan “bahasa yang satu”. Ini adalah pengakuan matang atas persatuan dalam perbedaan. Bahasa Indonesia dijunjung, sementara bahasa-bahasa nusantara didukung. Tentu saja dalam praktik ada persoalan kesetaraan pengembangan bahasa Indonesia dibandingkan dengan bahasa-bahasa daerah. Akan tetapi, rumusan ideal ini tetaplah bentuk lain pernyataan Bhineka Tunggal Ika, yakni falsafah kebangsaan kita. Tidakkah menakjubkan, kita bisa bersandar kepada kebahasaan kita untuk merumuskan kembali kebangsaan Indonesia yang kini agak terlupakan. Bahasa merupakan epitom kebangsaan kita.

Dengan caranya, para birokrat bahasa, linguis, maupun sastrawan telah berjasa memelihara ide kebangsaan ketika orang banyak alpa.

“Kanon sastra”

Apa hubungannya dengan “kanon sastra”? Kanon bisa bermakna kitab hukum. Kanon sastra kerap berarti kitab hukum sastra, yaitu daftar kitab-kitab sastra yang wajib hukumnya dibaca. Wajib, karena kesahihannya telah diukur. Kanon sastra ini tentu bukan kitab hukum positif seperti KUHP, melainkan lebih berdasarkan kesepakatan. Marilah di sini kita sepakati arti kanon sastra sebagai daftar bacaan standar wajib bagi orang terpelajar.

Pegangan demikian diperlukan dalam proses belajar-mengajar sastra. Namun, berkat kritik postmodernisme, para peminat sastra kerap memandang sinis pada daftar bacaan wajib ini karena penyusunannya tidak bebas politik kepentingan. Contoh paling kasar, di masa Orba karya-karya Pramoedya Ananta Toer tak boleh masuk dalam daftar bacaan.

Sejalan dengan reformasi, belakangan ini ada kecenderungan untuk anti pada segala usaha membangun patokan sastra. Usaha untuk menemukan standar sastra dicurigai motif dan kepentingannya. Kanonisasi sastra, jika pun ada, dianggap sebuah proyek yang semata-mata bernafsu kekuasaan. Contoh prasangka buruk ini adalah ajuan di dalam Kongres Cerpen lalu.

Penyusunan sejenis kanon sastra Indonesia di masa lalu memang sangat ditentukan oleh, bukan cuma politik kepentingan, tetapi kepentingan politik yang kasatmata. Akibatnya, bacaan wajib di sekolah yang bisa disepakati hanya berkisar di antara Pujangga Baru, Balai Pustaka, dan Angkatan 45. Setelah itu, perkembangan kesusastraan kerap berbenturan dengan kepentingan politik Orba sehingga tubuh utamanya tak bisa diajarkan di sekolah.

Setelah angkatan 45, sastra Indonesia dihadirkan tak berpeta. Para guru mencomot beberapa judul untuk diperkenalkan kepada murid tanpa kerangka acuan. Sebagian guru mengaku bahwa keputusan mereka telah mengambil media massa sebagai bahan pertimbangan. Ketika kritik postmodernis menghancurkan batas antara sastra tinggi dan sastra ngepop, media massa membangun tolok ukur baru yang lebih encer—berdasarkan segala kriteria, termasuk sensasionalitas. Inilah keadaan tak berpeta itu.

Harap dicatat. Kenyataan sastra memang tak membutuhkan peta, seperti segala kenyataan yang lain. Namun, pedagogi membutuhkan peta untuk kerangka acuan melihat kenyataan yang niscaya sengkarut. Semata demi membuat mata pelajaran sastra masuk akal bagi murid atau siapa pun yang hendak belajar. Kanon sastra ada dalam kebutuhan spesifik ini. Betapapun tak bisa lepas dari politik kepentingan, ia tetap dibutuhkan untuk proses belajar-mengajar sastra—baik dalam kelas formal maupun tidak.

Kita membutuhkan bacaan wajib sastra yang disusun berdasarkan sebuah kepentingan yang jujur yang bisa direvisi dari waktu ke waktu berdasarkan tantangan zaman. Dan, kepentingan yang mendesak sekarang ini adalah proyek kebangsaan Indonesia.

Gali Pramoedya

Kenapa takut mengemban misi proyek kebangsaan dalam penyusunan kanon sastra? Bukankah Sumpah Pemuda mengamanatkannya dahulu dan masalah ini mendesak sekarang?

Tentu proyek kebangsaan yang baru ini tak boleh mengulangi kesalahan Orba. Kanon ini mesti afirmatif, bukan negatif. Ia harus memberi kerangka, ia menganjurkan karya-karya yang bisa dibaca dalam wawasan kebangsaan, bukan melarang. Ia memberi arah, bukan pagar.

Dengan kurasi begini, tak bisa tidak, tetralogi Pulau Buru dari Pramoedya harus diangkat kepada lampu baca. Larangan atas karya-karyanya tak hanya harus diabaikan, tetapi mesti resmi dicabut. Lepas dari mutu kesusastraannya, serial ini adalah kuartet yang dengan sadar membawa proyek kebangsaan.

Proyek kanon sastra kebangsaan ini juga tak boleh naif. Ia harus memperkenalkan karya sastra bersama konteks dan kritiknya. Maka, polemik kebudayaan serta pembuangan Pramoedya ke pulau Buru menjadi ilustrasi sampingan yang menunjukkan betapa sastra berkelindan dengan problem nasion yang tak sederhana. Obituari pendek Achdiat Karta Mihardja mengenai Amir Hamzah bisa disertakan untuk sebuah cerita tentang pemuda Sumatera yang menjadi Indonesia dan tak ragu mengolah unsur Jawa. Sari-sari “Sastra dan Religiositas” dari Romo Mangun bisa dijadikan bahasan. Demikian, hal-hal yang disampaikan di kelas hanyalah tonggak-tonggak yang berguna untuk membaca peta. Sebab, si manusia kelak menentukan jalannya sendiri.

Kanon sastra yang tidak naif adalah yang melayani keperluan spesifik belajar-mengajar, serta yang jujur mengenai motif dan kepentingannya. Dan, jika kepentingan kita adalah arah kebangsaan, sahutlah, kenapa harus takut?

*) Ayu Utami, Novelis.

Diplomasi Sastra Indonesia ke Level Internasional*

Satmoko Budi Santoso
http://satmoko-budi-santoso.blogspot.com/

DALAM rentang waktu mulai tahun 2000-an, kesusastraan Indonesia yang diharapkan mampu “tinggal landas” berkaitan dengan momentum pasar bebas, rasanya kurang begitu menunjukkan hasil. Dalam konteks ini adalah kesusastraan Indonesia yang mampu unjuk sampai ke level internasional. Oleh karena itu, eksistensi sastra Indonesia memang masih harus belajar keras agar mampu menembus ke level diplomasi sastra tingkat internasional. Kebanyakan, kalaupun ada sejumlah sastrawan yang mampu menembus pasar internasional, itu tidak lebih karena upayanya sendiri dalam berjejaring dengan orang atau komunitas atau juga lembaga yang memang memunyai komitmen sama dalam mengembangkan diplomasi sastra menjadi lebih baik lagi.

Tentu, dalam persoalan semacam ini perlu kepedulian berupa kebijakan dari negara yang berusaha mendudukkan karya sastra sehingga memunyai peluang yang sama dengan bidang disiplin ilmu lain yang lebih memunyai kesempatan mempertaruhkan eksistensinya pada diplomasi dunia Barat. Dalam hal ini, rupanya juga perlu diperhatikan bahwa terlepas dari persoalan estetika, upaya politis untuk mendudukkan karya sastra sehingga terterimakan di publik luar Indonesia haruslah jadi pertimbangan cukup urgen agar sastra Indonesia tak menghuni narsisisme wilayah sosialisasi hanya pada lingkup dalam negeri.

Kebijakan-kebijakan politis untuk memberi porsi aktualisasi karya sastra Indonesia yang setara dengan disiplin bidang ilmu yang bersifat teknologi, misalnya, penting diperjuangkan. Kalau kita tengok pengalaman terkonkretkannya karya sastra Barat terasionalisasi dengan baik pada publik Indonesia, jelas disebabkan karena terbukanya peluang aktualisasi karya lewat jalur seperti perangkapan status sastrawan yang sekaligus menjadi diplomat. Kalau departemen-departemen tertentu pemerintahan atau lazimnya kantor kedutaan gagal memperjuangkan hal ini, berarti karya sastra Indonesia mesti memunyai strategi tertentu untuk merasionalisasi publik di luar dirinya sendiri.

Penyair Tjahjono Widarmanto, misalnya, sepulang menghadiri acara Jakarta International Literary Festival 11-14 Desember 2008 silam memberikan catatan khusus di Majalah Gong Edisi No:106/X/2009. Menurut Tjahjono, ada sejumlah strategi yang bisa dilakukan. Kebetulan di dalam forum tersebut dihadirkan tokoh-tokoh sastra seperti Putu Wijaya, Budi Darma, Mikihiro Moriyama (Jepang), Steven Danarek (Swedia), Henry Chambert (Perancis), Maria Emilia Irmler (Portugal), Katrin Bandel (Jerman), dan Jamal Tukimin (Singapura). Salah satu rekomendasi yang menguat dalam forum tersebut adalah perlunya dilakukan upaya penerjemahan dan pengenalan karya sastra Indonesia yang lebih serius lagi. Hal ini, tentu akan membuka peluang apresiasi seluas mungkin, sehingga membuat sastra Indonesia tertempatkan dalam porsi dan kursi yang setara dengan karya sastra produk Barat.

Selain itu, menurut saya adalah pada terbukanya sikap proaktif sastrawan Indonesia, untuk mau berjejaring dengan sastrawan asing, baik melalui media elektronik seperti internet maupun lainnya. Biasanya, banyak lembaga asing di luar negeri yang menyediakan tempat untuk fasilitasi acara residensi sastra. Peluang inilah yang mestinya perlu dicermati dengan baik. Pada negara-negara yang sudah maju apresiasi dan kedudukan karya sastranya di tengah masyarakat, seperti Perancis, Jerman, Australia, dan lainnya, pastilah dalam kurun waktu tertentu akan diselenggarakan festival-festival sastra bergengsi. Oleh karena itu, peluang tersebut semestinya juga menjadi kesempatan aktualisasi bagi sastrawan Indonesia. Tentu saja, upaya mengantisipasi problem elementer berupa kendala bahasa dan hal lainnya sudah harus teratasi terlebih dahulu. Sehingga tidak menjadi batu sandungan yang signifikan dalam menyosialisasikan karya sastra.

Tentu saja, kelak akan bernilai fenomenal jika sastra Indonesia pada akhirnya terterimakan pada publik luar negeri. Bukan pada persoalan momentum mendapatkan penghargaan yang menjadi tolok ukur, seperti misalnya pengalaman sastrawan Pramoedya Ananta Toer yang dinominasikan mendapatkan penghargaan Nobel sastra, namun lebih pada usaha konkretisasi rasionalisasi agar tak selamanya publik sastra Indonesia merasakan rasionalisasi yang cuma sepihak, di negeri sendiri saja. ***

*) Pernah dimuat di harian Bernas.

Merayakan Chairil, Mengenang Pram

Umar Fauzi
http://www.surabayapost.co.id/

Seperti berbagai pengultusan peringatan hari-hari besar atau hari bersejarah lainnya, kesusastraan Indonesia juga tidak luput dari tradisi tersebut. Bulan sastra atau oleh Sapardi Djoko Damono disebut sebagai hari sastra itu, jatuh pada bulan April, tepatnya pada tanggal 28 April. Peringatan ini “sekaligus” untuk mengenang sang maestro sastrawan Indonesia Chairil Anwar. Dengan perkataan lain, nama besar Chairil dijadikan momentum sebagai hari Sastra Indonesia. Pada bulan ini diselenggarakan oleh berbagai pihak baik komunitas sastra maupun lembaga pendidikan berbagai macam kegiatan kesusastraan.

Diantara penyelenggaraan atas pengultusan Chairil Anwar itu diantaranya penganugrahan sastra yang pernah diadakan Dewan Kesenian Jakarta, yaitu Anugerah Sastra Chairil Anwar yang kali pertama diberikan kepada Mochtar Lubis (1992) dan kali kedua kepada Sutardji Calzoum Bahri (1998); di Surabaya cikal bakal perhelatan tahunan Festival Seni Surabaya (FSS) sejak 1996, dulunya pernah diselenggarakan menggunakan nama Pekan Seni Chairil Anwar pada tahun 1994.

Tidak ada data pasti mengenai penegasan dibalik jatuhnya bulan sastra pada bulan April. Yang diketahui hanyalah sosok Chairil Anwar menjadi momentum dan pijakan awalnya. Perayaaan bulan April yang pada mulanya untuk mengenang kematian Chairil, tiba-tiba dikultuskan sebagai bulan sastra. Jadi antara mengenang Chairil dan bulan sastra merupakan rangkaian tradisi yang diselenggarakan setiap tahun, kemudian menjadi sebuah budaya baru yang “menetapkan” bahwa April sebagai bulan sastra Indonesia.

Pengultusan sosok Chairil dalam sejarah sastra Indonesia tidak dapat terlepas dari pembaharuan radikal yang ia lakukan dalam bidang puisi. “jika Amir Hamzah merevolusi bahasa lama menjadi baru, Chairil Anwar membawa individualisme yang merevolusikan secara total seluruh aspek penciptaan. Jika dianalisis secara struktur.” demikian ditulis Korrie Layun Rampan (2000). Karena itu, nama Chairil selalu dibawa kemana-mana dalam buku-buku kesusastraan Indonesia, baik buku pelajaran sekolah untuk konsumsi para pelajar maupun buku-buku tentang kajian kesusastraan.

Budaya itu telah menghegemoni nama besar Chairil, dalam diri setiap warga Indonesia. Mungkin inilah ramalan yang benar-benar telah terjadi yang pernah ia utarakan kepada istrinya bahwa kalau kelak ia meninggal, anak-anak sekolah akan berziarah ke kuburnya menabur bunga. Terbukti saat ini banyak anak-anak sekolah menghafal puisi-puisinya, terutama puisi Aku. Terlepas dari kepribadiaanya yang amoral, sampai saat ini ia masih dikenang mungkin sampai kelak hari kiamat menjelang.

Takdir dan Keberkahan di Bulan April

Disisi lain, bulan April tidak hanya dirayakan sebagai bulan sastra, namun juga ada perayaan lain yakni hari Kartini, hari bumi, hari baca internasional, dan bulan pendidikan Serta satu lagi yang perlu kiranya Indonesia kenang, yakni kebesaran nama Pramoedya Ananta Toer yang bulan ini merupakan satu tahun meninggalnya beliau, sejak menghadap Sang Pencipta 30 April 2006 yang lalu.

Kematian bung Pram pada bulan April –dua hari setelah hari sastra Chairil Anwar– tidak lain hanyalah takdir yang telah dituliskan Allah. Mungkin juga sebuah pernyataan takdir bahwa pada bulan April ini Indonesia diajak untuk mengenang Kartini, Chairil Anwar dan Pramoedia Ananta Toer: mengenang pengorbanan beliau-beliau bagi Indonesia. Juga suratan takdir bahwa bulan April ini memang merupakan bulan Sastra yang harus diperingati bersama.

Memang tidak semua masyarakat Indonesia mendewakan nama Chairil Anwar yang amoral, begitu juga mengultuskan nama Pram yang dikenal berperawakan keras. Apalagi bagi korban-korban kebinalan Lekra yang mungkin sampai saat ini belum bisa melupakan trauma prahara budaya (meminjam istilah judul buku yang ditulis Taufik Ismail dan Moeljanto) 1960-an, terutama golongan Manifesto Kebudayaan. Namun sebagaimana Chairil Anwar yang selalu dikenang setiap tahun, di bulan April ini seyogyanya Indonesia juga tidak melupakan Pram yang telah menyumbangkan khasanah kesusastran Indonesia dalam sastra dunia.

Dengan tidak bermaksud mencocok-cocokkan kenyataan takdir kedua sastrawan yang mewakili dua genre tersebut, tampaknya Tuhan telah menakdirkan keberkahan bulan April sebagai bulan sastra bagi Indonesia. Bukan bermula dari tradisi atas peringatan Chairil Anwar yang menjadi tradisi bulan sastra. Akan tetapi perlu pernyataan dan deklarasi bersama untuk menyatukan sikap.

Kutub Kehidupan dan Kutub Kematian

Riwayat hidup Chairil Anwar dan Pram dapat digolongkan dalam satu periode angkatan 45. Keduanya pernah bertemu saat menyusun Surat Kepercayaan Gelanggang untuk merumuskan sikap kebudayaaan mereka, yang dikemudian hari Pram sendiri tidak menyetujui rumusan tersebut. Dan memilih konsepsi kebudayaan sendiri yakni, realisme sosialis dengan humanisme proletat bukan humanisme universal seperti yang ia anggap terdapat dalam Surat Kepercayaan Gelanggang.

Bila diperhatikan dengan seksama tampak beberapa perbedaan dan persamaan antara mereka. Walau Chairil sendiri telah “mendahului” Pram. Setidaknya yang dapat diamati secara pribadi adalah mereka sama-sama perokok berat. Chairil anwar telah menjadi ikon dengan rokoknya, begitu pula halnya dengan Pram.

Namun disisi lain mereka memeperlihatkan perbedaan jauh, terutama dari lapangan hidup mereka; kesusastraan. Secara garis besar mereka mewakili dua genre berbeda. Chairil dengan puisinya dan Pram dengan prosanya –walau ia pun pernah menulis puisi. Mungkin karena dua genre ini takdir mereka juga berbeda: puisi yang lebih padat dan pendek seolah-olah menjadi penanda bahwa Chairil berumur pendek (meninggal di usia 27 tahun). Dan prosa yang panjang seolah-olah menandakan kehidupan Pram yang dianugrahi berumur panjang (meninggal di usia 82 tahun).

Begitu pula yang tercermin dari apa yang mereka tulis. Banyak karya-karya Chairil yang bertemakan kematian termasuk juga ia suka menerjemahkan puisi-puisi tentang kematian. Sebaliknya Pram, lebih berbicara tentang “kehidupan” dalam karya-karyanya; beserta pernak-pernik tragedi di dalamnya.

Konsepsi kebudayaan mereka pun merupakan sebuah perbincangan hangat. Disaat Chairil Anwar telah mangkat, ia juga tidak lepas dari seretan gerakan politik 1960-an. Karena itu ada beberapa kalangan menolak 28 April sebagai hari sastra, karena kepenyairan Chairil Anwar dianggap bertentangan dengan faham sosialisme. Disitulah sebenarnya letak keberagaman yang dihadirkan di bulan April. Mereka merupakan canon sastra Indonesia yang mewakili oposisi biner atas kehidupan di dunia itu sendiri; kematian dan kehidupan.

Mengenang mereka adalah mengenang hasil pemikiran mereka; amanat-amanat yang selalu diperoleh manakala mendeklamasikan sajak-sajak Chairil Anwar –yang sampai saat ini masih menjadi tradisi– maupun mempelajari cita-cita seperti yang terdapat dalam buku-buku Pram. Yaitu keindonesiaan yang produktif dan kreatif.
Selamat bulan sastra Indonesia!

Sejarah Terbelah, Sastra Jadi Perekatnya

M Shoim Anwar
http://www.infoanda.com/Republika Online

Baru-baru ini Kejaksaan Agung mengeluarkan surat keputusan yang isinya menarik tiga buku pelajaran sejarah karena dinilai mengingkari fakta. Buku-buku tersebut tidak mencantumkan kata “Partai Komunis Indonesia/PKI” untuk peristiwa Pemberontakan Madiun 1948 dan Gerakan 30 September 1965. Buku-buku ini ditulis untuk Kurikulum 2004.

Tahun 2003 yang lalu buku Kaum Merah Menjarah (2001) karya Aminudin Kasdi juga secara diam-diam “ditarik” dari pasaran. Padahal, buku tersebut mengungkap dengan jelas aksi sepihak PKI/BTI di Jawa Timur tahun 1960-1965. Konon, buku ini ditarik karena tidak disukai oleh penguasa saat itu. Sementara, pada pertengahan tahun 1980-an, Nugroho Notosusanto saat menyusun buku sejarah nasional juga pernah mendapat reaksi keras karena dinilai tidak sesuai dengan fakta.

Pada awalnya sejarah adalah fakta. Tetapi, dalam perjalanannya, sejarah dapat berbias menjadi opini. Berbagai kepentingan didesakkan, sehingga pohon sejarah menjadi terlalu rimbun dengan berbagai cabang, ranting, dan dahan semu. Pijakan akar sejarah akhirnya menjadi goyah oleh berbagai tarikan kepentingan. Secara metodologis, mengungkap sejarah kontemporer, termasuk keberadaan PKI, sebenarnya lebih mudah. Tapi, politik dan kekuasaan selalu membelah wajah sejarah.

Penguasa memberi andil terbesar dalam perjalanan wajah sejarah. Tidak heran jika ada yang menyatakan bahwa sejarah adalah milik penguasa. Dengan berbagai motif dan kepentingan, sejarah direkayasa menjadi opini yang tendensius. Peristiwa semacam ini lebih banyak terjadi pada sejarah kontemporer yang para pelakunya masih banyak yang hidup. Mereka memperebutkan citra hero.

Pramoedya Ananta Toer membuat pembelaan dalam buku Nyanyi Sunyi Seorang Bisu (1995) untuk diri dan kelompoknya, Lekra, dalam peristiwa G30S/PKI. Sementara itu Taufiq Ismail dan DS Moeljanto dalam buku Prahara Budaya (1995) dan Katastrofi Mendunia (2004) menyodorkan bukti autentik tentang keterlibatan Lekra dalam tragedi sejarah tersebut. Terbitnya buku BJ Habibie, Detik-detik Yang Menentukan (2006) tentang peran Prabowo saat-saat reformasi juga menimbulkan perdebatan perihal sejarah kontemporer.

Peristiwa pemberontakan PKI memang fakta, tapi siapa saja dalang di balik peristiwa tersebut masih sering diperdebatkan. Buku Siapa Menabur Angin Akan Menuai Badai (1989) karya Soegiarso Soerojo, juga pernah menjadi perdebatan panjang. Bahkan, naskah asli Super Semar yang punya kaitan sejarah dengan pemberontakan PKI pun hingga kini tak jelas rimbanya. Akibatnya, opini tentang itu jadi makin melebar. Kepentingan politik telah membelahnya.

Memang, sejak reformasi bergulir, ada fenomena untuk membuka lembaran baru dalam kehidupan berbangsa, termasuk dalam menyikapi masa lampau. Tetapi, sejarah adalah sejarah. Fakta yang terjadi di masa lampau tidak boleh dibelokkan untuk kepentingan pragmatis. Bagaimanapun, generasi penerus harus mengetahui jejak-jejak kehidupan bangsanya yang terburuk sekali pun. Di beberapa negara lain, dokumen rahasia yang merupakan bagian dari sejarah bahkan boleh diungkap setelah berumur 50 tahun. Artinya, ada tanggung jawab untuk meluruskan jejak sejarah yang mungkin masih buram.

Sejarah adalah bagian dari ilmu sosial yang sulit menemukan kemapanan. Untuk itu, wacana sejarah kontemporer perlu mendapat sandingan sehingga fakta lebih mudah dikukuhkan. Taufiq Ismail, dalam kedua bukunya di atas telah mengumpulkan puisi para aktivis PKI, seperti Kusni Sulang, Wong Tjilik, Subronto K. Atmodjo, Mawie, Sobron Aidit, T Iskandar AS, Setiawan Hs, Virga Belan, Nusananta, Agam Wispi, dan Tobaga. Di antara puisi-puisi mereka ada yang judulnya khas simbol sosialis, seperti Kepalaku Marxis, Diriku Leninis; Leningrad, Penerbangan Malam ke Leningrad, Peking, dan Tafakur kepada Lenin.

Puisi-puisi mereka dengan jelas mengarah pada terjadinya provokasi dan pemberontakan PKI, kebanyakan dimuat koran Bintang Timur yang diredakturi oleh Pramoedya Ananta Toer. Salah satu puisi karya Mawie berjudul Kunanti Bumi Memerah Darah yang ditulis 21 Maret 1965 telah menampakkan citra kekerasan PKI:

bulan arit di langit
cinta dan kasih
bergelimpangan di jalanan
mawar dan wajah
menanti bumi memerah

Melalui teks-teks sastra, sejarah dapat dikuak secara lebih baik. Tulisan-tulisan Pramoedya yang dimuat di koran Bintang Timur telah menjadi bukti tak terbantahkan aliran politik Pram. Teks sastra telah memberikan kesaksian pada zamannya. Itulah sebabnya Umar Kayam sangat tergoda untuk mengangkat peristiwa yang berkaitan dengan pemberontakan PKI ke dalam karya sastranya, seperti cerpen Sri Sumarah, Bawuk, Musim Gugur Kembali di Connecticut (1975), serta novel Para Priyayi (1992) dan Jalan Menikung (2000).

Dalam Para Priyayi, Umar Kayam memberi gambaran prototipe aktivis PKI lewat tokoh Retno Dumilah (Gadis) –anggota Gerwani– yang keras, progresif, sengit, dan suka mengganyang lawan dan organisasi lain. Melalui tokoh ini kita tahu kecenderungan politik PKI yang keras sehingga menyeret tokoh Harimurti dalam keterpengaruhannya. Pada Bawuk, lewat tokoh Hasan dan Bawuk, juga dapat diketahui sepak terjang keorganisasian PKI hingga meletusnya pemberontakan di Madiun. Penggayangan oleh PKI ditulis pula oleh Satyagraha Hoerip lewat cerpen Pada Titik Kulminasi (1966).

Ahmad Tohari lewat novel Kubah (1980), Ronggeng Dukuh Paruk (1982), Jantera Bianglala (1986) dan Lintang Kemukus Dini Hari (1988) juga merekam peristiwa pemberontakan PKI lewat sisi kemanusiaan. Dalam Kubah terlihat sekali pemikiran dan provokasi tokoh Margo sebagai pengikut PKI yang menyeret tokoh Karman untuk ikut bergabung. Karakter Margo senada dengan Retno Dumilah dan Hasan pada karya Umar Kayam. Mereka adalah motor PKI.

Agak berbeda dengan sejarah, sisi kemanusiaan dalam tokoh sastra mendapatkan perhatian secara lebih utuh. Tokoh-tokoh yang menjadi korban sejarah mendapat penekanan. Tokoh Srintil, dalam tiga novel Ahmad Tohari yang disebut terakhir, adalah contoh figur yang menjadi korban permainan politik PKI, mirip seperti nasib tokoh Karman. Figur-figur yang mengalami keterpengaruhan PKI juga digambarkan Umar Kayam lewat tokoh Sri Sumarah, Bawuk, Harimurti, dan Eko.

Sisi kemanusiaan dalam kaitannya dengan pemberontakan PKI juga ditulis oleh Seno Gumira Ajidarma lewat novel Kalatidha (2007). Dalam karya Seno ini bahkan dikisahkan hingga kejatuhan Soeharto.

Sastra memang memiliki kaitan erat dengan sejarah dan perpolitikan suatu bangsa. Pemberian hadian nobel sastra, sampai hari ini, masih ada kecenderungan untuk dikaitkan dengan hal tersebut. Itulah sebabnya meski sudah beberapa kali masuk nominator penerima hadiah nobel sastra, sampai akhir hanyatnya Pramoedya belum juga berhasil. Meski karyanya dinilai bagus, Pram juga dinilai memiliki hutang kemanusiaan ketika dia bergerak di dunia politik-kebudayaan yang pernah menindas sesamanya.

Posisi tokoh atau pelaku sejarah dalam kehidupan nyata mungkin akan sering berubah. Politik dan kekuasaan membuat mereka selalu dalam proses ketegangan. Pergantian posisi kawan dan lawan akan terus membelah wajah sejarah. Buku sejarah mungkin masih akan sering berubah. Tetapi, karya sastra yang telah merekam perjalanan wajah sejarah tak akan berubah. Itulah sebabnya, ketika sejarah terbelah, sastra akan jadi perekatnya.

*) Sastrawan dan pengajar sastra.

Kosmologi Santri dalam Kisah

Riadi Ngasiran*
http://dutamasyarakat.com/

Karya sastra yang berkualitas tak harus sesuai dengan selera pasar. Karya yang sesuai dengan kaidah kesusastraraan, yang memperkaya peradaban, belum tentu diminati oleh pihak penerbit profesional karena tak banyak menarik keuntungan. Bila ditilik dari sisi kuantitas karya-karya Pramoedya Ananta Toer tak seberapa memperoleh pasar dibanding dengan karya-karya populer yang diminati oleh pasar dan digandrungi para pembaca. Tapi, bila ia emas tidaklah berubah jadi loyang demikian pula sebaliknya.

Ada pengakuan yang patut dicatat dari Ahmad Tohari, sastrawan Ronggeng Dukuh Paruk ketika ditunjuk sebagai juru Lomba Penulisan Novel Dewan Kesenian Jakarta (DKJ) tahun 2006. Sebenarnya yang diunggulkannya bukanlah yang kebetulan menjadi juara I, melainkan karya yang lain, berjudul Buku tanpa Kisah. Naskah ini berkisah seputar pesantren, tentang pendobrakan dinding pesantren. Tapi, akhirnya dewan juri memutuskan Hubbu karya Mashuri, lantaran dinilai sangat utuh dan padu ceritannya: berkisah tentang perjalanan seorang pemuda desa biasa menuju suatu ruang yang sangat jauh di sana, jauh dari tradisi keluarganya, jauh dari pesantren.

Mashuri adalah jebolan dua Pondok Pesantren yakni Pesantren Salafiyah Wanar dan Pesantren Tasisut Taqwa, keduanya berada di Lamongan. Dari sudut pandang seorang santri-Jawa inilah ia mengeksplorasi imajinasinya.

Kisah Hubbu diawali ketika Jarot, seorang mahasiswa Universitas Airlangga Surabaya, menemukan istilah yang pernah ia dengar dengan segenap perasaan, yang ingin dikuburnya jauh di lubuk dada: Sastra Gendra. Ungkapan itu mampu menyeretnya dari waktu kekinian, mengingatkannya pada masa kecilnya di desa Alas Abang dengan latar belakang budaya santri nan kental.

Ia teringat masa lalunya di lingkungan keluarga, juga di lingkungan pesantren yang telah menempa dirinya dengan segala renik uniknya. Ia teringat harapan keluarganya, agar dia meneruskan pesantren warisan leluhurnya di Alas Abang, meski ia memilih jalan sendiri: memberontak pada tradisi keluarga.

Sebagai puncak pemberontakan-nya, ia belajar di perguruan tinggi umum.

Begitu simpul tali kenangan itu tersentuh, walau ia sudah jauh dari Alas Abang, semua kenangan dan ingatannya seakan-akan terbuka, tumpah-ruah, termasuk kisah-kisah sedihnya saat menapaki masa-masa remaja di kampung halaman. Ia teringat rajutan kisah-kasihnya. Di antaranya kepada Istiqomah, seorang santri perempuan. Memang, semasa di pesantren, ia juga merajut kasih dengan gadis pujaannya itu, dengan model pacaran khas pesantren.

Istiqomah sering disebut Jarot dengan sapaan Priangan si Jelita.

Demikianlah, Jarot menjadi salah seorang di antara sekian juta mahasiswa yang turun ke jalan untuk berteriak: Turunkan Suharto! Sayang, seiring dengan tergulingnya penguasa Orde Baru itu, ternyata terguling pula dunia ideal Jarot. Ia merasa menjadi manusia paling nista di dunia; ia merasa tak lagi bisa mempertahankan nilai-nilai yang ia perjuangkan selama ini, juga masalah tabu seks yang seharusnya ia hindari. Ia terjerat affair cinta dengan Agnes, seorang gadis cantik, bermasalah, dan masih tetangga rumah kontrakannya.

Hubungan asmara mereka sampai pada taraf intim: seks pranikah. Sebagai seorang yang memiliki latar belakang santri dari keluarga terhormat, Jarot pun merasa sangat berdosa setelah melakukan perbuatan terkutuk itu. Pada titik inilah, Jarot benar-benar merasa dirinya identik dengan Begawan Wisrawa, meski sebelumnya ia juga merasa identik dengan tokoh wayang itu.

Begawan Wisrawa merupakan tokoh wayang yang tergelincir ke lembah nista, padahal awalnya ia ingin mengajarkan sebuah pengetahuan suci. Perlu diketahui, sebelum Jarot terjerat cinta dan tidur dengan Agnes, sebenarnya Jarot ingin mengembalikan orientasi rasa ketuhanan Agnes yang goyah.

Pada akhirnya Jarot pun bertindak ekstrim: ia memenggal kehidupannya dengan masa lalu, baik terhadap Surabaya maupun Alas Abang. Ia minggat ke Ambon bersama Agnes, sebagai satu ikrar penebusan dosa. Ia ingin memulai hidup baru, dengan beban keterpurukan jiwa yang hebat. Di Ambon pun ternyata banyak hal yang membuatnya sadar sekaligus tertampar. Apalagi ada peristiwa yang seakan-akan kembali menasbihkan kesalahannya: Agnes meninggal setelah melahirkan seorang bayi perempuan, yang ia beri nama Sonya. Ia lalu menikah dengan Zulaikha, berputeri satu. Ia beri nama Aida.

Semua episode sekitar masa kejatuhan masa muda Jarot itu dikuak oleh Aida, yang diharapkan Jarot bisa menjadi penyuci noda terhadap kesalahan dirinya sebagai orang tua di masa silam. Dengan jiwa muda dan jiwa zaman yang berbeda, tahun 2040, Aida menelusuri masa lalu dan obsesi ayahnya.
Aida pergi ke Surabaya untuk bertemu dengan Teguh sahabat Jarot, juga ke kampung Alas Abang guna bertemu dengan keluarga sang ayah yang sudah lama dilupakan, serta sama sekali tak dikenal Aida. Aida menemukan jawab berbagai rahasia yang dipendam ayahnya, termasuk obsesi agung pada masa muda Jarot.

Begitulah, pencarian eksistensi seorang santri. Setidaknya, kesadaran akan dirinya menjadi jendela untuk mengenal eksistensi dan kesadaran akan kekuatan di luar dirinya. Itulah orientasi Ketuhanan yang diangkat seorang penulis. Adakah hal itu merupakan bagian dari unsur biografis penulisnya? Sebagai pembaca, kita cuma bisa menduga-duga. Dan kita pun kerap diingatkan akan pandangan Barthesian: intepretasi naskah semau kita, anggap penulis sudah mati. Tapi, saya masih percaya ada unsur kosmologis seorang kreator: memberikan pantulan hidupnya dalam berkarya seni, baik pandangan hidup atau ideologisnya.

Kemunculan beragam karya sastra dengan latar kehidupan pesantren atau yang kemudian disebut sastra pesantren dalam khazanah sastra di Indonesia dewasa ini merupakan fenomena baru yang unik. Kemunculannya yang selanjutnya diikuti lahirnya penulis-penulis sastra dari kalangan remaja pesantren dinilai sebagai akhir dari keterasingan pesantren terhadap kehidupan perkotaan.

Kini lebih banyak lahir penulis-penulis sastra dari kalangan santri. Kita berharap, hal itu merupakan tanda berakhirnya alienasi, keterasingan, dunia pesantren terhadap kota. Memang, dalam sejarahnya, keberadaan pesantren di Indonesia muncul sebagai bentuk perlawanan terhadap penjajahan. Komunitas pesantren membuka ruang perlawanan terhadap pemerintah kolonial yang berbasis di kota dengan menciptakan banyak tradisi kebudayaan yang berbeda, termasuk dalam kesenian; sastra, musik, seni rupa, seni peran, dan sebagainya. Dalam perkembangannya, pesantren selalu mengambil posisi berlawanan dengan tradisi dan kebudayaan perkotaan yang dibawa kaum kolonial (kaum penjajah) Belanda pakai celana, santri pakai sarung. Belanda pakai dasi, santri pakai peci. Belanda membaca sastra roman, santri membaca nadhoman. Belanda memainkan musik jazz atau blues, santri memainkan musik gambus atau kasidah. Belanda hidup di kota, santri di desa. Begitu seterusnya. Semuanya dalam posisi berlawanan.

Oleh karenanya, munculnya penulis-penulis remaja dari pesantren yang baru terjadi dewasa ini merupakan warna tersendiri dalam dunia sastra di Tanah Air dan patut diapresiasi. Sastra tidak lagi terbagi pada sastra serius, sastra populer, dan lain-lain. Tapi juga ada sastra pesantren, katanya.
Di era 1960-an sempat muncul nama Jamil Suherman, novelis dari kalangan santri, karyanya mengambil setting pesantren. Namun, hal itu tidak menggejala dan seolah menjadi tren baru dalam dunia sastra seperti sekarang ini.

Sisi lain fenomena baru tersebut, generasi muda saat ini punya tambahan referensi bacaan sastra yang lebih memiliki semangat muda. Sastra pesantren juga berjasa dalam mengenal dunia pesantren kepada masyarakat luas. Dengan demikian, hal itu juga akan membantu merubah pandangan buruk orang luar terhadap pesantren yang belakangan dinilai sebagai sarang teroris.

Bagi sebagian orang, kehidupan pesantren merupakan kehidupan tertutup yang sulit dipahami. Banyak di antara mereka yang memiliki stigma negatif tentang pesantren. Novel tentang pesantren ini sedikit banyak bisa bercerita kepada masyarakat luas apa dan bagaimana hidup di pesantren dengan segala ritual dan tradisinya.

Perilaku santri bandel, selalu bikin ulah, anak kota yang masuk pesantren yang sok mengglobal tapi tak beretika dan pecandu narkoba dihadapkan dengan kehidupan santri yang selalu guyub dan menjaga nilai-nilai agama merupakan kisah nyata yang dituliskan kembali oleh tangan-tangan kreatif santri.

A Musthafa A Rodhi Murtadho A Wahyu Kristianto A. Mustofa Bisri A. Qorib Hidayatullah A. Zakky Zulhazmi A.J. Susmana A.S. Laksana Aang Fatihul Islam Abdul Azis Sukarno Abdul Aziz Rasjid Abdul Hadi W. M. Abdul Kadir Ibrahim Abdul Malik Abdul Wachid BS Abdullah al-Mustofa Abdullah Khusairi Abdurrahman Wahid Abidah El Khalieqy Abimanyu Abimardha Kurniawan Abroorza A. Yusra Acep Iwan Saidi Acep Zamzam Noor Achmad Maulani Adek Alwi Adhi Pandoyo Adrian Ramdani Ady Amar Afrizal Malna Agnes Rita Sulistyawati Aguk Irawan Mn Agus R. Sarjono Agus Riadi Agus Subiyakto Agus Sulton Aguslia Hidayah Ahda Imran Ahm Soleh Ahmad Farid Tuasikal Ahmad Farid Yahya Ahmad Fatoni Ahmad Kekal Hamdani Ahmad Luthfi Ahmad Muchlish Amrin Ahmad Nurhasim Ahmad Sahidah Ahmad Syauqi Sumbawi Ahmad Yulden Erwin Ahmad Zaini Ahmadie Thaha Ahmadun Yosi Herfanda Ainur Rasyid AJ Susmana Ajip Rosidi Akhiriyati Sundari Akhmad Muhaimin Azzet Akhmad Sekhu Alan Woods Alex R. Nainggolan Alexander Aur Alexander G.B. Alfian Dippahatang Ali Audah Ali Rif’an Aliela Alimuddin Alit S. Rini Alunk Estohank Ami Herman Amich Alhumami Amien Wangsitalaja Aming Aminoedhin Aminudin TH Siregar Ammilya Rostika Sari An. Ismanto Anaz Andaru Ratnasari Andhi Setyo Wibowo Andhika Prayoga Andong Buku #3 Andrenaline Katarsis Andri Cahyadi Angela Anies Baswedan Anindita S Thayf Anjrah Lelono Broto Anton Kurnia Anton Sudibyo Anton Wahyudi Anwar Holid Anwar Siswadi Aprinus Salam Arie MP Tamba Arif Hidayat Arif Zulkifli Arti Bumi Intaran Asarpin Asep Sambodja Asvi Warman Adam Awalludin GD Mualif Ayu Utami Azyumardi Azra Babe Derwan Bagja Hidayat Balada Bandung Mawardi Bayu Agustari Adha Beni Setia Benni Setiawan Benny Benke Bentara Budaya Yogyakarta Berita Bernadette Lilia Nova Bernando J. Sujibto Berthold Damshäuser Bhakti Hariani Binhad Nurrohmat Bokor Hutasuhut Bonari Nabonenar Brunel University London Budaya Budhi Setyawan Budi Darma Budi Hutasuhut Budi P. Hatees Budi Winarto Buku Kritik Sastra Buldanul Khuri Bustan Basir Maras Camelia Mafaza Capres dan Cawapres 2019 Catatan Cecep Syamsul Hari Cerpen Chairil Anwar Chamim Kohari Choirul Rikzqa D. Dudu A.R D. Dudu AR D. Zawawi Imron Dahono Fitrianto Dahta Gautama Damanhuri Damar Juniarto Damhuri Muhammad Damiri Mahmud Dantje S Moeis Darju Prasetya Darma Putra Darman Moenir Darmanto Jatman Dedy Tri Riyadi Delvi Yandra Denny JA Denny Mizhar Dewi Anggraeni Dian Basuki Dian Hartati Dian Sukarno Dian Yanuardy Diana AV Sasa Dinar Rahayu Djenar Maesa Ayu Djoko Pitono Djoko Saryono Doddi Ahmad Fauji Dody Kristianto Donny Anggoro Donny Syofyan Dorothea Rosa Herliany Dwi Cipta Dwi Fitria Dwi Pranoto Dwi S. Wibowo Dwicipta Edeng Syamsul Ma’arif Edi Warsidi Edy Firmansyah EH Kartanegara Eka Alam Sari Eka Budianta Eka Kurniawan Eko Darmoko Ellyn Novellin Elnisya Mahendra Emha Ainun Nadjib Emil Amir Engkos Kosnadi Esai Esha Tegar Putra Evan Ys F. Budi Hardiman Fadly Rahman Fahmi Fahrudin Nasrulloh Faisal Kamandobat Fani Ayudea Fariz al-Nizar Faruk HT Fatah Anshori Fatah Yasin Noor Fatkhul Anas Fatkhul Aziz Felix K. Nesi Film Fitri Yani Franditya Utomo Fuska Sani Evani Gabriel Garcia Marquez Gandra Gupta Garna Raditya Gde Artawan Geger Riyanto Gendhotwukir George Soedarsono Esthu Gerakan Surah Buku (GSB) Goenawan Mohamad Grathia Pitaloka Gunawan Budi Susanto Gunawan Tri Atmojo H. Supriono Muslich H.B. Jassin Hadi Napster Halim H.D. Hamberan Syahbana Hamidah Abdurrachman Han Gagas Hardi Hamzah Haris del Hakim Haris Priyatna Hasan Aspahani Hasan Gauk Hasan Junus Hasnan Bachtiar Helvy Tiana Rosa Helwatin Najwa Hendra Junaedi Hendra Makmur Hendriyo Widi Ismanto Hepi Andi Bastoni Heri Latief Heri Listianto Herry Firyansyah Heru Untung Leksono Hikmat Darmawan Hilal Ahmad Hilyatul Auliya Holy Adib Hudan Hidayat Hudan Nur Husnun N Djuraid I Nyoman Suaka Ibnu Rizal Ibnu Rusydi Ibnu Wahyudi IGK Tribana Ignas Kleden Ignatius Haryanto Iksan Basoeky Ilenk Rembulan Ilham khoiri Imam Jazuli Imam Nawawi Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Iman Budi Santosa Imelda Imron Arlado Imron Tohari Indiar Manggara Indira Margareta Indra Darmawan Indra Tjahyadi Indra Tranggono Indrian Koto Ingki Rinaldi Insaf Albert Tarigan Intan Hs Isbedy Stiawan ZS Ismail Amin Ismi Wahid Ivan Haris Iwan Gunadi Jacob Sumardjo Jafar Fakhrurozi Jajang R Kawentar Janual Aidi Javed Paul Syatha Jean-Marie Gustave Le Clezio JJ. Kusni Joko Pinurbo Joko Sandur Joko Widodo Joni Ariadinata Jual Buku Paket Hemat Julika Hasanah Julizar Kasiri Jumari HS Junaidi Jusuf AN Kadir Ruslan Kartika Candra Kasnadi Katrin Bandel Kenedi Nurhan Ketut Yuliarsa KH. Ma'ruf Amin Khaerudin Khalil Zuhdy Lawna Kholilul Rohman Ahmad Komunitas Deo Gratias Komunitas Teater Sekolah Kabupaten Gresik (KOTA SEGER) Korrie Layun Rampan Krisandi Dewi Kritik Sastra Kucing Oren Kuswinarto Langgeng Widodo Lathifa Akmaliyah Latief S. Nugraha Leila S. Chudori Lenah Susianty Leon Agusta Lina Kelana Linda Sarmili Liston P. Siregar Liza Wahyuninto M Shoim Anwar M. Arman A.Z. M. Fadjroel Rachman M. Faizi M. Harya Ramdhoni M. Kasim M. Latief M. Wildan Habibi M. Yoesoef M.D. Atmaja Mahdi Idris Mahmud Jauhari Ali Mahwi Air Tawar Malkan Junaidi Maman S. Mahayana Mardi Luhung Marhalim Zaini Maria hartiningsih Maria Serenada Sinurat Mario F. Lawi Maroeli Simbolon S. Sn Marsus Banjarbarat Marwanto Mas Ruscitadewi Masdharmadji Mashuri Masriadi Mawar Kusuma Wulan Max Arifin Melani Budianta Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia Mezra E. Pellondou Micky Hidayat Mihar Harahap Misbahus Surur Moh Samsul Arifin Moh. Syafari Firdaus Mohamad Asrori Mulky Mohammad Afifuddin Mohammad Fadlul Rahman Muh Kholid A.S. Muh. Muhlisin Muhajir Arifin Muhamad Sulhanudin Muhammad Al-Fayyadl Muhammad Amin Muhammad Azka Fahriza Muhammad Rain Muhammad Subhan Muhammad Yasir Muhammad Zuriat Fadil Muhammadun A.S Muhidin M. Dahlan Musa Ismail Musfi Efrizal Mustafa Ismail Nafi’ah Al-Ma’rab Naskah Teater Nezar Patria Nina Setyawati Nirwan Ahmad Arsuka Nirwan Dewanto Noor H. Dee Noval Maliki Nunuy Nurhayati Nur Haryanto Nurani Soyomukti Nurel Javissyarqi Nurhadi BW Nurudin Octavio Paz Oliviaks Orasi Budaya Akhir Tahun 2018 Pablo Neruda Pamusuk Eneste Panda MT Siallagan Pandu Jakasurya PDS H.B. Jassin Philipus Parera Pradewi Tri Chatami Pramoedya Ananta Toer Pramono Pranita Dewi Pringadi AS Prosa Puisi Puisi Menolak Korupsi PuJa Puji Santosa Puput Amiranti N Purnawan Andra PUstaka puJAngga Putri Utami Putu Fajar Arcana Putu Wijaya Qaris Tajudin R Sutandya Yudha Khaidar R. Sugiarti R. Timur Budi Raja R.N. Bayu Aji Rachmad Djoko Pradopo Radhar Panca Dahana Rahmadi Usman Rahmat Sudirman Rahmat Sularso Nh Rahmat Sutandya Yudhanto Raihul Fadjri Rainer Maria Rilke Raja Ali Haji Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Raudal Tanjung Banua Reiny Dwinanda Remy Sylado Resensi Revolusi Riadi Ngasiran Ribut Wijoto Ridha al Qadri Ridwan Munawwar Rikobidik Riri Riris K. Toha-Sarumpaet Risang Anom Pujayanto Rizky Andriati Pohan Robert Frost Robin Al Kautsar Robin Dos Santos Soares Rodli TL Rofiqi Hasan Rohman Budijanto Romi Febriyanto Saputro Rosihan Anwar RR Miranda Rudy Policarpus Rukardi S Yoga S. Jai S.I. Poeradisastra S.W. Teofani Sabam Siagian Sabrank Suparno Saiful Amin Ghofur Sainul Hermawan Sajak Sakinah Annisa Mariz Salamet Wahedi Salman Rusydie Anwar Samsudin Adlawi Sapardi Djoko Damono Sartika Dian Nuraini Sastra Sastra Gerilyawan Sastri Sunarti Satmoko Budi Santoso Saut Situmorang Sejarah Sekolah Literasi Gratis (SLG) SelaSastra SelaSastra ke #24 Selasih Seno Gumira Ajidarma Seno Joko Suyono Sergi Sutanto Shadiqin Sudirman Shiny.ane el’poesya Sidik Nugroho Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Simo Sungelebak Karanggeneng Lamongan Siti Sa’adah Sitok Srengenge Siwi Dwi Saputro Sjifa Amori Sofyan RH. Zaid Soni Farid Maulana Sony Prasetyotomo Sosiawan Leak Sri Wintala Achmad Sri Wulan Rujiati Mulyadi Subhan SD Suci Ayu Latifah Sulaiman Djaya Sulistiyo Suparno Sunaryo Broto Sunaryono Basuki Ks Sungatno Sunlie Thomas Alexander Sunudyantoro Suriali Andi Kustomo Suryadi Suryansyah Suryanto Sastroatmodjo Susi Ivvaty Susianna Susilowati Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Suwardi Endraswara Syaifuddin Gani Syaiful Bahri Syam Sdp Syarif Hidayatullah Tajuddin Noor Ganie Tammalele Tan Malaka Taufik Ikram Jamil Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat Teguh Trianton Tengsoe Tjahjono Th Pudjo Widijanto Thayeb Loh Angen Theresia Purbandini Tia Setiadi Tito Sianipar Tiya Hapitiawati Tjahjono Widarmanto Tjahjono Widijanto Toko Buku Murah PUstaka puJAngga Tosa Poetra Tri Joko Susilo Triyanto Triwikromo Tu-ngang Iskandar Udo Z. Karzi Uly Giznawati Umar Fauzi Umar Kayam Undri Uniawati Universitas Indonesia UU Hamidy Vyan Tashwirul Afkar W Haryanto W.S. Rendra Wahyudin Wannofri Samry Warung Boenga Ketjil Waskiti G Sasongko Wawan Eko Yulianto Wawancara Web Warouw Wijang Wharek Wiko Antoni Wina Bojonegoro Wira Apri Pratiwi Wiratmo Soekito Wishnubroto Widarso Wiwik Hastuti Wiwik Hidayati Wong Wing King WS Rendra Xu Xi (Sussy Komala) Y. Thendra BP Y. Wibowo Yani Arifin Sholikin Yesi Devisa Yohanes Sehandi Yona Primadesi Yosi M. Giri Yusi Avianto Pareanom Yusri Fajar Yusrizal KW Yuval Noah Harari Yuyu AN Krisna Zaki Zubaidi Zalfeni Wimra Zawawi Se Zehan Zareez Zen Hae Zhaenal Fanani Zuarman Ahmad Zulfikar Akbar Zulhasril Nasir