Kamis, 07 Oktober 2010

SASTRADAN BUDAYA SASAK DIBELANTARA MODEREN

Janual Aidi*
http://www.sastra-indonesia.com/

“Manusia tidak dipahami melalui eksistensi fisik, secara substansial, melainkan melalui karya dan ciptaannya…” (Ernst Cassirer)

Satu kenyataan yang tidak dapat disangkal oleh siapapun juga bahwa sesungguhnya suku Sasak merupakan suku yang kaya akan sastra dan budaya. Sebut saja diantara karya-karya tulis pada zaman dahulu (naskah lama) seperti: Babad Selaparang, Babad Lombok, Babad Praya, Babad Praya (Mengawi), Babad Sakra, Babad Sari Manik, Jatiswara, Silsilah Batu Dendang, Nabi Haparas, Cilinaya, Cupak Gerantang, Doyan Neda, Pengganis, Kertanah, Dajjal dan Kotaragama. Ataupun yang dalam perkembangannya, naskah-naskah tersebut banyak diubah kedalam bentuk puisi yang selanjutnya ditembangkan. Tembang-tembang tersebut banyak dipergunakan untuk menulis sastra-sastra Sasak seperti Takepan Monyeh, Lontar Demung Sandubaya dan lainnya. Dan kurang lebih ada enam tembang yang biasa ditembangkan oleh suku Sasak pada masa dulu yaitu: tembang Maskumambang, tembang Asmarandana, tembang Dangdang, tembang Sinom, tembang Pangkur dan tembang Durma. Juga ada banyak karya-karya sastra lainnya yang tidak dapat disebut satu-persatu karena terbatas oleh “ruang kesadaran pewarisan” terhadap generasi penerus. Hal semacam ini sangat cukup untuk disayangkan. Manusia Sasak semakin digerogoti oleh ‘budaya pop’. Generasi Sasak sekarang seolah kehilangan identitas kesustraan ataupun budayanya. Mengalami kebuntuan dan terperosok jauh kedalam lembah kepopuleran. Saya yakin, diantara ribuan generasi Sasak sekarang hanya segelintir saja yang tahu sedikit, peduli dan cinta terhadap sastra dan budaya lokal. Generasi Sasak sekarang seolah ‘antipati’ terhadap sastra dan budaya sendiri. Dan kalau diadakan votting bagi generasi Sasak saat ini, apakah ingin mengonsumsi ‘sastra dan budaya Sasak’ atau ‘pop’, maka saya yakin 99,99% bahwa hasil akhirnya adalah generasi Sasak sekarang akan mengambil ‘option’ budaya pop.

Sebagai penguat argumentasi diatas, marilah kita coba perhatikan realitas generasi Sasak sekarang lewat sebuah studi penelitian kecil-kecilkan. Coba kita perhatikan dan telusuri sejenak mengenai simpanan ‘lagu apa’ yang ada atau lebih banyak di-save pada masing- masing Hand Phone , MP3 Player atau MP4 Player oleh generasi Sasak sekarang! Adapun hasil penelusuran yang saya lakukan menunjukkan bahwa dari 80 sampel hanya terdapat 2 sampel yang men-save lagu-lagu Sasak. Hasil identifikasi ini cukup mencengangkan sekaligus membuka mata kita bahwa generasi Sasak sekarang lebih condong pada sastra ataupun budaya ‘pop’ daripada sastra dan budaya sendiri.Yang perlu kita ketahui dan renungi sebagai generasi Sasak penerus adalah sejarah Sasak telah berbicara bahwa sebelum abad ke-20 hampir semua pesta rakyat yang dilangsungkan di pulau Lombok diramai-semarakkan dengan pembacaan tembang-tembang Sasak yang disusun pada daun lontar dan lainnya. Dan ternyata, pembacaan tembang-tembang tersebut selain berfungsi sebagai hiburan bagi masyarakat setempat, juga sebagai sarana pelestarian budaya atau sebagai sarana pembinaan ‘budi pekerti’ dan watak yang terpuji bagi para pendengarnya. Kini, masihkah tembang-tembang merdu yang termasuk bagian dari’kearifan local’ (local wisdom) tersebut bisa didengar dan dinikmati? Jawabannya telah kita ketahui bersama, jarang dan sulit untuk bisa didengar dan dinikmati bahkan mungkin nyaris kehilangan jiwa dan nyawa.

Terlepas dari semua hal di atas, maka lewat tulisan ini mengajak kita semua untuk kembali mencintai sastra dan budaya Sasak. Ada banyak nilai-nilai luhur yang terkandung di dalam sastra dan budaya Sasak. Misalnya saja garis besar naskah Kotaragama yang berisi nilai-nilai penting yang menyangkut masalah kepemimpinan, kesejahteraan rakyat, keadilan, peraturan (hukum), dan masalah kehidupan lainnya seperti masalah perkawinan, hutang-piutang, pencurian, hak dan kewajiban raja serta rakyat dan lain sebagainya. Semua tersebut sebenarnya adalah kekayaan suku Sasak yang tak terhargakan karena semuanya syarat dengan nilai-nilai luhur. Artinya, sastra dan budaya Sasak yang ada tidak hanya sebatas memiliki kemolekan logat, melainkan ‘full’dengan nilai-nilai luhur yang sulit untuk ditandingi. Karya seni tidak lahir dari kekosongan, melainkan menggambarkan historik realitas sosial budaya yang khas dan mengandung kesadaran kolektif. Mari kita bersama peduli, mencintai dan mengonsumsi sastra dan budaya sasak yang ada. Mempelajarinya sehingga mendapatkan ‘intisari’ akan keluhuran nilai-nilai yang terkandung. Selain melestarikan sastra dan budaya Sasak dengan cara mencintai, peduli dan mengonsumsi, maka satu garis perjuangan dan pergerakan bendera sastra dan budaya yang harus dilakoni lagi adalah dengan cara menciptakan karya-karya sastra dan budaya yang berkaitan erat dengan realitas sosio-kultural masyarakat Sasak sekarang. Dengan kata lain, manusia Sasak sekarang harus mampu menelurkan karya sastra dan budaya baru. Sastra dan budaya Sasak harus eksis ditengah terpaan modernisme.

Nah, dengan memberikan perhatian pada sastra lokal berarti kita telah menopang program pengembangan sastra dan budaya secara multikultural. Dan dengan adanya kesadaran kolektif dan perhatian untuk menciptakan karya-karya bernuansa news local wisdom, maka sama artinya dengan melahirkan sastrawan dan budayawan baru. Dan pada dasarnya pula, tidak ada masyarakat yang tidak bersastra dan berbudaya. Maksudnya adalah tidak ada masyarakat yang tidak memberikan kontribusi terhadap perkembangan sastra dan budaya. Sebaliknya, tidak ada masyarakat yang tidak mendapat pengaruh perkembanagan sastra dan budaya. Institusi budayapun berfungsi untuk membangun kesadaran budaya, sebab tanpa institusi seni menjadi terasing bagi masyarakat. Institusi budaya harus berjalan efektif.

Selanjutnya, perkembangan sastra dan budaya Sasak adalah lahirnya karya-karya dan budaya yang ‘tidak sebanding’ dengan kuantitas masyarakat. Maksudnya, jumlah karya sastra yang lahir sangat jauh minimnya bila dibandingkan dengan jumlah penduduk suku Sasak. Dengan mengetahui kenyataan sastra dan budaya Sasak seperti tadi, tetap kita tidak boleh berkecil hati. Kedepan, generasi Sasak harus bisa melahirkan karya-karya sastra dan budaya yang bersifat ‘kekinian’.

Adapun karya sastra budaya dari tangan generasi Sasak sekarang seperti novel yang berjudul “Tuan Guru” dengan tebal 641 halaman yang terdiri dari 40 bagian. Novel tersebut lahir dari buah karya ‘generasi Sasak tulen’ yang bernama Salman Faris, lelaki yang lahir dari wanita buta huruf diRensing Lombok Timur.

Meski pada bedah novel dikatakan bahwa karya sastra tersebut dinilai kontraversial, namun novel tersebut lebih pantas dinilai sebagai kritik sosial. Karena sebenarnya sastra dan realitas sosial adalah dua hal yang tidak dapat dipisahkan. Sastra merupakan ‘buah karya’ yang diproduksi dan distrukturasi dari berbagai dinamika reel masyarakat. Sehingga sastra bisa saja dibahasakan sebagai potret sosial yang menyuguhkan kembali realitas masyarakat yang pernah terjadi dengan cara yang khas sesuai dengan penafsiran ataupun sudut pandang pembacanya. Saya teringat dengan sosiolog Karl Manheim yang dalam teorinya menyatakan bahwa setiap karya seni (termasuk sastra) mau tidak mau akan menyampaikan makna pada tiga tingkat yang berbeda. Pertama, tingkat objektif meaning, yaitu hubungan suatu karya sastra dengan dirinya sendiri; apakah karya sastra gagal atau berhasil dalam menjelmakan keindahan ataupun pesan yang hendak disampaikan. Kedua, tingkat expressive meaning, yaitu hubungan antara karya sastra itu dengan latar belakang psikologi penciptanya; apakah karya sastra diciptakan untuk mengenang sesuatu yang penting ataupun bermakna dalam kehidupan penciptanya. Ketiga, tingkat docementary meaning, yaitu makna yang berhubungan antara karya sastra dengan konteks sosial penciptanya. Suatu karya sastra merupakan dokumen sosial tentang keadaan masyarakat dan alam pikiran.

Nah, novel ‘Tuan Guru’ masuk pada tingkat yang ketiga. Struktur karya sastranya dibentuk dari proses strukturasi nilai-nilai sosial-budaya yang terjadi pada masyarakat Sasak. Adalah ‘Tuan Guru’ yang oleh masyarakat Sasak dipahami sebagai sosok guru yang pernah menjalankan ibadah haji serta dijadikan sebagai pemuka agama Islam yang dihormati dan menjadi panutan masyarakat. Namun, ‘Tuan Guru’ dalam karya Salman Faris lebih diartikan dari sisi lain, sisi aktor sentral yang memiliki pengaruh besar terhadap ‘pendulung suara rakyat’ pada Pemilu Pilpres ataupun Pemilu Kepala Daerah. Demikianlah ‘Tuan Guru’ ditempatkan pada nalar sastra sang pengarang. Sang pengarang yang melihat ‘Tuan Guru’ dari jendela yang berbeda. Hal demikian mungkin tidak jauh berbeda dengan sosok Nietzsche (pengarang terpenting kesusastraan Jerman) abad ke-19, Bapak Posmodernisme) dalam karya besarnya yang berjudul The Will to Power. Dalam karya tersebut Nietzsche menjelaskan pendapatnya tentang konsep “Tuhan sudah mati” (Gott ist tot). Gagasan Tuhan sudah mati, khusus kaitannya dengan seni, pengertian Tuhan sudah mati mengandung arti mengatasi pesimisme, kegagalan dan berbagai kelemahan manusia. Begitulah ketika sastra dam budaya berbicara.

Sedangkan karya sastra Sasak lainnya seperti “Tahajjut Cinta” buah karya dari Paidul Wizari, yang bisa dimasukkan pada tingkat kedua tentang penyampaian makna dalam teori Karl Manheim. Dan yang tidak kalah bagus dan menariknya juga adalah beberapa karya tulis dalam bentuk untaian syair dari sosok legendaris suku Sasak yaitu Almagfullah Maulana Syaikh TGKH. Muhammad Zainuddin Abdul Madjid. Untaian-untaian syair tersebut bisa dimasukkan pada tingkat pertama tentang penyampaian makna dalam teori Karl Manheim. Begitu pula dikala memerhatikan buku-buku garapan generasi Sasak sekarang (‘Membongkar Mistreri Politik diNTB’ karangan Badrun AM) yang sengaja memasukkan metafora simbolik Sasak seperti metafora Kao Dongol (metafora yang menunjuk pada sikap yang lahir tanpa berpikir), Kemodong Aur (metafora yang menggambarkan subyek penanda atas eksistensi sebuah mahluk yang cerdik, cerdas, berwawasan dan dapat memahami semua kepentingan), dan Lepang Kerek (metafora yang menyatakan sindiran kepada orang yang bersikap lamban dan tidak progresif). Adapula teater dan musik daerah garapan generasi Sasak sekarng yang didalamnya mengandung unsur-unsur sastra. Jelasnya, karya-karya sastra dan budaya Sasak baik lama maupun moderen memegang peranan penting bagi kehidupan masyarakat Sasak. Demikian gambaran sastra dan budaya Sasak ditengah belantara moderen saat ini. Terakhir, saya ingin mengatakan “sejarah sastra dan budaya adalah sejarah tanggapan pembaca sepanjang zaman”.***

*) Mahasiswa Program Studi Pend. Sosiologi STKIP Hamzanwadi Selong

Otokritik Sosial Budaya Bali

Judul : Wanita Amerika Dibunuh di Ubud
Penulis : Gde Aryantha Soetama
Penerbit : Arti Foundation, 2002
Tebal : v+115 halaman
Peresensi : IGK Tribana
http://www.balipost.com/

KETIKA upacara pengabenan pamannya, Bram (orang Bali) berkenalan dengan seorang wisatawan bernama Susan dari Amerika Serikat (AS). Selanjutnya kedua insan berlainan jenis dan bangsa ini menjalin hubungan yang lebih intim — cinta sesaat. Sesungguhnya Bram ingin mengenal Susan lebih dekat semata-mata untuk belajar bahasa Inggris. Demikian pula kedatangan Susan ke Bali bukanlah seperti wisatawan asing kebanyakan — benar-benar berwisata, melainkan sebagai mata-mata terhadap pelaku kejahatan sesama manusia yang terjadi di berbagai negara. Justru karena sebagai mata-matalah, Susan tewas di Ubud, suatu tempat yang dikaguminya. Susan pun diaben di Bali sesuai dengan pesannya ketika ia masih hidup.

Mengejutkan benar, seorang wanita warga AS tewas di Ubud. Namun, itu hanyalah karya fiksi — sebuah novel. Jika benar-benar terjadi secara faktual, tentu menggegerkan dunia pariwisata Bali. Sebelum membaca, seolah tulisan dalam buku ini mengungkap peristiwa pembunuhan orang asing. Sesungguhnya, karya ini sarat akan kritikan terhadap masyarakat Bali dari sisi sosial budaya — kritikan dari orang Bali sendiri. Cerita novel ini sungguh menarik karena pengarang meramu turisme, seks, cinta sesaat, pergulatan masalah adat, dan agama. Walaupun dikemas dalam sebuah novel, kebenaran akan fakta di masyarakat Bali nampaknya tak terbantahkan untuk diluruskan dari sisi agama (Hindu). Jadi tidak selamanya karya sastra itu tergolong “dusta”, karya imajinasi semata seperti pendapat orang kebanyakan. Sebagai sebuah karya sastra, tentu novel ini memiliki unsur intrinsik dan ekstrinsik. Dari sisi intrinsik — alur, penokohan, latar, gaya bahasa, tema, bobot sastranya — tentu tidak diragukan lagi. Untuk ulasan lebih lanjut sebagai sebuah karya seni (sastra) adalah menjadi tugas para peneliti atau peminat sastra untuk menemukan dan membahasnya secara ilmiah. Atau, kalau setiap pembaca memperoleh nilai tersendiri dari novel ini, tentulah hal yang baik dari sisi kreativitas seorang pembaca karya sastra. Hal ini tentu sudah lumrah dalam menikmati karya sastra.

Kemudian dari sisi ekstrinsik (unsur luar sastra), novel ini memberikan suatu wawasan yang sangat berharga kepada pembacanya. Kalau pembacanya bukan masyarakat Bali, buku ini akan memberikan gambaran tentang budaya masyarakat Bali dalam kesehariannya di tengah-tengah majunya pariwisata. Bahkan, Bali tidak saja dijadikan tempat wisata oleh orang asing, melainkan juga untuk kegiatan lain. “I’m sorry, Bram. Aku seorang detektif swasta di California. Tugasku sekarang menguntit Decker. Aku dibayar mahal untuk tugas itu.” (hal. 63-64). Jadi kedatangan orang asing ke Bali beragam tujuannya.

Khusus untuk pembaca yang berlatar belakang masyarakat Bali, tampaknya penulis mengajak para pembacanya mencermati masalah sosial budaya sehingga membuat orang ngeh akan perilaku kesehariannya — menenggelamkan agama demi adat. Banyak orang (Bali) kurang memahami dengan baik tentang esensi agama. Seperti diketahui, agama tidak pernah memberatkan umatnya, baik dari sisi materi maupun rasa ketertekanan dari pelaksanaan upacara agama. Dari awal hingga akhir cerita, pengarang seolah tidak pernah hentinya mencermati kondisi Bali yang masyarakatnya sibuk melakukan aktivitas adat, budaya, dan agama, namun miskin pemahaman akan makna religiusnya. Sesungguhnya, inilah yang perlu dibenahi di Bali. Hal ini terungkap dari percakapan para tokoh cerita. “Tak semua sanak saudara menyembah. Mereka yang merasa usianya lebih tua dibandingkan almarhum duduk tenang-tenang saja.” (hal.8).

“….Sebuah kebiasaan yang menjadi adat istiadat, tetapi sebenarnya keliru.” (hal.8-9). Contoh kritikan yang lain, “Tapi upacara begini sangat rumit, kau tahu? Aku sendiri tak bisa menangkap seluruh maknanya. Bahkan, sering berpikir, mengapa upacara mesti sesulit ini? Tak hanya rumit, Susan. Biayanya pun mahal!” (hal 25). Perdebatan-perdebatan kritis dalam novel ini sesungguhnya adalah pergulatan, dilema, dan kecemasan, yang tetap menjadi perbincangan hangat dan serius keseharian masyarakat Bali hingga kini, bahkan tidak akan berhenti. Inilah kritikan dari orang Bali sendiri untuk orang Bali juga — otokritik.

Begitulah novel ini. Ceritanya memikat karena keberhasilan pengarang meramu turisme, seks, cinta sesaat, melalui pergulatan pandangan adat dan agama tentang pengabenan orang asing yang bukan beragama Hindu. Pandangan ihwal turisme, misalnya, selain mendatangkan dolar, juga malapataka. Kepolisian menjadi lebih sibuk dan pekerjaan kian rumit menangani berbagai sindikat internasional.

Sayang, pengarang terlalu cepat menyelesaikan ceritanya — ketika pembaca sedang asyik-asyiknya membaca. Boleh dibilang novel ini pendek dari sisi alur cerita. Halaman-halaman buku cukup banyak dihabisi dengan unsur-unsur ekstrinsik sastra. Hal ini mengesankan penulisnya sebagai seorang jurnalis. Namun demikian, pembaca sudah disuguhi sebuah karya yang berbobot. Novel ini cukup sarat dengan muatan renungan budaya. Karya sastra ini juga layak dijadikan bahan diskusi dalam pembelajaran sastra di sekolah, lebih-lebih untuk mengangkat budaya lokal Bali.

Quran berwajah puisi

Julizar Kasiri, Ivan Haris, Leila S. Chudori
http://majalah.tempointeraktif.com/

SEBUAH upaya memuliakan Quran terhenti di tengah jalan. H.B. Jassin, penulis terjemahan Quran berjudul Quran Bacaan Mulia, ingin menerbitkan Quran yang ditulis mirip susunan puisi. Ia pun sudah mempersiapkan judulnya, Al Quran Berwajah Puisi. Tapi baru 10 juz dikerjakan, muncul imbauan supaya kreasi itu tak dilanjutkan. Itu, ”mudaratnya lebih besar daripada manfaatnya,” menurut ketua Lajnah Pentashih Mushaf Al Quran, lembaga yang berwenang mengesahkan penerbitan Quran.

Di buku itu Jassin menyusun ayat-ayat Quran ke bawah secara simetris. Ini dikemukakan oleh Menteri Agama Munawir Sjadzali di depan anggota DPR, Kamis dua pekan lalu. Sebelumnya, pada pertengahan Desember tahun lalu, Majelis Ulama Indonesia telah mengeluarkan keberatannya.

Dalam suratnya antara lain disebutkan, naskah H.B. Jassin itu tak sesuai dengan mushaf Al Imam, mushaf (tulisan naskah Quran) yang menjadi standar di dunia Islam, termasuk Indonesia. Juga, susunan kalimat ayat yang dikerjakan oleh H.B. Jassin tak mengindahkan ketentuan qiroatnya, antara lain soal pemenggalan kalimat. Tapi ada pula yang mempersoalkan tulisan Jassin itu dari sisi lain.

Doktor Quraish Shihab, ahli tafsir di Indonesia, misalnya mempersoalkan cara Jassin menuliskan Quran ayat per ayat. Itu, kata Rektor IAIN Syarif Hidayatullah, Jakarta, bisa memberikan pengertian yang sesat. Sebab ada ayat-ayat yang belum sempurna jika tidak dikaitkan dengan ayat sebelum atau sesudahnya.

Misalnya, Surat Al Maa’uun, Ayat 4: ”Celakalah orang-orang yang salat.” Kalau ayat itu dibaca tanpa membaca ayat berikutnya, Ayat 5, ”(yaitu) orang-orang yang lalai dari salatnya,” bisa menyesatkan mereka yang baru belajar membaca Quran. Dan terakhir, Quraish Shihab keberatan pada judul yang diberikan Jassin pada bukunya itu. ”Quran bukanlah puisi, tapi firman Allah,” kata Quraish tentang judul Al Quran Berwajah Puisi.

Juga ada pertanyaan, bukankah ayat-ayat Quran itu sudah sangat puitis, untuk apa pula dituliskan lagi dalam bentuk mirip puisi. Tentu saja Jassin kecewa. Soalnya, jauh sebelum ada larangan itu Jassin sudah pernah menghubungi orang-orang seperti Hafizh Dasuki, Munawir Sjadzali, dan Hassan Basri.

Umumnya mereka itu, Hafizh Dasuki, misalnya, Ketua Lajnah Pentashih Mushaf Al Quran, mengatakan bagus dan senang melihat kreasi Jassin itu. Hafizh pun, menurut Jassin, tak menemukan larangan tentang penulisan seperti yang direncanakannya itu. Menteri Agama Munawir Sjadzali juga tak keberatan. Begitu pula Ketua Majelis Ulama Indonesia K.H. Hasan Basri. Karena itu H.B. Jassin lalu melayangkan surat kepada Hafizh Dasuki, Ketua Lajnah Pentashih Mushaf Al Quran, dan K.H. Hasan Basri, ketua Majelis Ulama Indonesia.

Jassin mempertanyakan keberatan kedua lembaga tersebut. Misalnya, tentang apa saja mudarat dan manfaat kreasinya, tentang Quran yang beredar sekarang yang seragam dengan mushaf Al Imam yang asli. Juga tentang ketentuan-ketentuan mengenai qiraat yang paling asli. Semua itu memang tak dijelaskan dalam surat MUI dan Lajnah Pentashih itu.

Sebenarnya, apa yang dilakukan Jassin dalam kreasinya? Coba lihat Surat Al Baqarah Ayat 169-173 sebagai salah satu contoh. Di situ, misalnya, ayat-ayat disusun oleh Jassin simetris ke bawah sebagai upaya memuisikan ayat itu. Sehingga terdapat banyak ruang kosong pada halaman mushaf. Nomor ayat tak diletakkan di sebelah kanan sebagaimana lazimnya, tapi diletakkan di sebelah kiri. Si pembaca disuruh membuka buku ini bila sudah menjadi buku mulai dari kanan ke kiri, bukan dari kiri ke kanan sebagaimana lazimnya Quran selama ini.

Dalam hal ini Jassin tampaknya tidak mengada-ada. Maksudnya, ia mempunyai perhitungan sendiri terhadap apa yang dilakukannya itu. Misalnya, tentang pilihan simetris yang dilakukannya, sehingga menimbulkan bagian-bagian kosong pada kiri-kanan penulisan. ”Bagian kosong itu adalah tempat bernapas,” kata Jassin, yang juga pernah menghebohkan dengan terjemahan Qurannya yang berjudul Quran Bacaan Mulia. Bila ditulis lurus begitu saja, kata Jassin, tidak puitis. Juga terhadap keberatan Quraish Shihab, tentang pemotongan ayat yang bisa menyesatkan itu, Jassin menjawab.

Menurut Jassin, bila orang membaca Surat Al Maa’uun Ayat 4 itu, misalnya, ia pasti tahu bahwa kalimat itu belum selesai. Soal nomor ayat, menurut Jassin, dulu Quran tidak memakai nomor ayat. Pemberian nomor ayat itu baru terjadi belakangan dengan tujuan mempermudah pembacanya. Adapun soal menuliskan ayat Quran itu seperti puisi, yang juga dipermasalahkan, Jassin mengatakan tidak ada masalah.

Diakui oleh Jassin, Quran pada Surat Asy Syu’araa (para penyair) Ayat 224, 225, dan 226 menyebutkan bahwa Tuhan tidak suka pada penyair karena mereka pengembara. Tapi, kata Jassin, harus ingat ayat itu ada sambungannya, yakni ”kecuali orang-orang yang takwa.” Jassin, dalam langkahnya ini, mendapat dukungan antara lain dari Ali Audah, seorang sastrawan yang menyusun buku Konkordansi Qur’an, Panduan Kata dalam Mencari Ayat Qur’an, dan D. Sirojuddin A.R., seorang penulis kaligrafi Quran yang menuliskan puitisasinya Jassin itu.

Bagi Ali Audah, misalnya, apa yang dilakukan Jassin itu tidak menjadi masalah, asalkan betul tanda baca dan teknik penulisannya. Di sini Ali Audah berpegang pada pendapat Ibnu Khaldun, seorang guru besar ilmu hadis dan hukum Islam pada abad ke-14 Masehi. Dalam buku Mukaddimah-nya, Ibnu Khaldun mengatakan bahwa Quran dapat ditulis dengan rasam (kebiasaan) yang bagaimana saja, tidak harus terikat pada rasam Usmani, mushaf Al Imam. Alasannya, masalah penulisan itu masalah ”pertukangan”.

Menurut Ibnu Khaldun, yang juga seorang sejarahwan, kalau orang berpegang pada rasam Usmani, hanyalah karena mau mengambil berkahnya. Sedangkan para ulama yang berpegang pada rasam Usmani mendasarkan keyakinannya itu pada sebuah hadis Nabi. Yakni hadis yang bunyinya, ”Hendaknya kalian mengikuti sunahku dan Khulafaur Rasyidin sesudahku.”

Profesor Bustami Gani, Rektor Institut Ilmu Quran Jakarta, misalnya, beberapa waktu lalu pernah mengatakan bahwa penulisan mushaf dengan rasam Usmani adalah tauqifi, artinya tidak bisa diubah dan harus diikuti apa adanya. Sementara itu untuk kutipan pada buku-buku Islam, pengarang besar abad ini tidak menghiraukan rasam Usmani. Itu terlihat oleh D. Sirojuddin, penulis khat buku Al Quran Berwajah Puisi itu, pada buku-buku karangan Mahmud Syaltut, Al-Aqqad, dan Sayyid Qutb.

Para ulama penulis kitab itu umumnya mengutip ayat-ayat Quran dengan meninggalkan kode Usman pada buku-buku mereka. Sirojuddin lalu mempertanyakan, kalau yang sebagian boleh dituliskan menyimpang dari rasam Usmani, mengapa untuk penulisan Quran yang utuh itu dipersoalkan.

Sesungguhnya, menurut Quraish Shihab, masalah penulisan Quran versi Jassin itu bukanlah masalah hukum. ”Tapi,” kata Quraish selanjutnya, ”itu berkaitan dengan etika dan nilai-nilai yang dianut para ulama selama ini, dengan mempertimbangkan kondisi umat Islam sendiri.”

Itu pula yang dikatakan oleh Menteri Agama Munawir Sjadzali kepada Wahyu Muryadi dari TEMPO, tentang ketidaksetujuannya bila kreasi Jassin tersebut diterbitkan. Kata Munawir, ”Saya hanya menjaga keresahan umat.”

Pornografi Dalam Karya Sastra

I Nyoman Suaka
http://www.balipost.com/

Sastra sebagai karya seni memiliki peluang yang hampir sama dengan bidang seni lainnya dalam hal pornografi. Namun unsur porno, erotis dan seks dalam karya sastra tidak seperti goyang dangdut Inul Darastita, yang sangat heboh belakangan ini, walaupun sama-sama seni. Selain penyanyi Inul, unsur pornografi sering juga ditunjukkan dalam seni lukis, foto, film dan patung, yang mudah dipelototi. Sehingga muncul polemik di masyarakat antara seni dan pornografi. Bagaimanakah pengarang menampilkan unsur seks dalam karyanya?

DALAM karya sastra, pengarang tidak ada jalan lain, hanya dengan bahasa. Pengarang merangkai kata-kata untuk menghasilkan karya sastra atau karangan. Maka dari itu, dalam pengertian yang amat sederhana muncul istilah karangan bunga dan karangan buah. Dalam karangan buah, seseorang merangkai buah dan dalam karangan bunga, seseorang merangkai bunga. Mengarang adalah seni dalam merangkai kata-kata dan bahasa. Makanya, menampilkan unsur seks dalam karya sastra, tidak terlepas dari kemampuan pengarang memilih kata-kata untuk mengundang hasrat seks bagi pembacanya.

Mendifinisikan pornografi dalam karya sastra, sangat diak mudah. Hal ini sangat relatif tergantung kepada penikmat karya itu, dalam konteks ini adalah pembaca. Demikian juga dalam seni lainnya, sehingga unsur seks dalam seni selalu menimbulkan pendapat pro dan kontra di masyarakat. Walau begitu, sastrawan dan budayawan Umar Kayam (almarhum) dalam hidupnya pernah memberikan sumbangan pemikiran tentang seks dalam karya sastra, sebagai berikut.

Pertama, pembaca agar tidak tergesa-gesa menjatuhkan vonis, cabul atau melanggar nilai-nilai kesusilaan terhadap buku-buku kesusastraan yang di dalamnya menyangkut tentang kehidupan seks, sebelum mencoba mengerti tentang motif dan kedudukan penulisnya. Kedua, soal seks adalah soal kemanusiaan yang terbesar yang selalu “mengganggu” kehidupan manusia, yang karenanya akan selalu dijumpai dalam kesusastraan kapan saja.

Ketiga, karya sastra yang menyangkut soal seks tidak mungkin dianggap sebagai hasil sastra yang melanggar nilai-nilai kesusastraan. Apabila karya itu didukung oleh satu ide yang baik, dipersiapkan dengan matang dan mendalam serta memberi pengertian yang baik tentang kehidupan dan kemanusiaan. Keempat, cerita yang menyangkut soal seks bisa dikatakan melanggar nilai-nilai kesusilaan atau cabul, selama didukung oleh ide-ide yang jelek, persiapan dan pengolahan yang gegabah dan murah. Pada akhirnya karya itu tidak mampu memberikan apa-apa kepada pembacanya. Pengertian seks dalam karya sastra seperti yang diberikan Umar Kayam itu terasa agak longgar. Diperlukan kajian yang lebih mendalam lagi menyangkut motif dan keberadaan pengarangnya. Kalau karya itu didukung ide yang baik dan dapat memberi pengertian yang agung tentang kehidupan, maka unsur pornografi dalam karya itu seakan-akan dapat diampuni, bahwa karya sastra itu mengandung nilai-nilai kesusastraan.

Bacaan Cabul

Sejak sastra zaman klasik sampai modern, masalah seks dan pornografi selalu diperdebatkan, walau tak seheboh goyang ngebor penyanyi dangdut Inul. Pada awal kesusastraan Indonesia modern, misalnya, pemerintah kelonialisme Belanda melarang peredaran buku-buku sastra dan non-sastra yang berbau cabul. Larangan ini tidak saja sekadar imbauan dari pejabat Belanda, tetapi juga secara resmi melalui pendirian sebuah lembaga yang diberi nama Volksleectuur, yang kemuidan berganti nama menjadi Balai Pustaka.

Salah satu tujuan Volkslectuur adalah ikut mencerdaskan masyarakat pribumi dengan menerbitkan buku-buku bacaan. Dengan penerbitan ini berarti pemerintah Belanda turut menyeleksi agar buku-buku yang diterbitkan buku bermutu, sedangkan buku sastra yang berbau cabul tidak lulus sensor redaksi. Di luar penerbitan Volkslectuur, buku-buku yang beredar diistilahkan buku liar. Penerbitan buku liar ini ketika itu sangat ramai dan banyak dijumpai buku-buku sastra yang bersifat mengundang nafsu birahi bagi pembacanya. Ternyata buku bacaan seperti itu sangat laris.

Mungkin saja pengarang tidak dengan sengaja melukiskan unsur kecabulan, tetapi penceritaannya yang terlalu naturalistis akhirnya cenderung mengarah ke seksualitas. Novel “Pengakuan Pariyem” karya Linus Suryadi memberikan gambaran yang berani dan terbuka mengenai persoalan hubungan seksual, seperti terungkap dalam kutipan berikut. “…Saya diborongnya, diambunginya. Saya dibaringkan di atas amben: tempat tidur saya bila malam, tempat ngaso saya bila siang. Dalam keriut-keriut diseling bunyi, saya digulatinya habis-habisan. Tak malam, tak siang, tak sore. Waktu hilang di atas bale-bale. Dalam dahaga saya reguk air murni. Jagad merasuk ke dalam sanubari. Oh, ampun, ya, ampun, anunya gede banget, lho. Saya merem meladeninya.” (Suryadi, 1981:39).

Cerita Pendek

Di bidang cerita pendek (cerpen), unsur seks lebih semarak lagi. Malahan unsur seks ini ada yang mengambil latar cerita pada zaman revolusi fisik. Cerpen itu, misalnya “Kejantanan Disumbing” karya Subagio Sastrowardoyo dan cerpen “Di Medan Perang” karya Trisnojuwono. Unsur pornografi itu ternyata cukup menghibur karena dikisahkan dengan menarik, dan dapat mengendurkan syaraf yang tegang ketika pembaca diajak berperang dalam cerpen itu. Hal ini sangat ditunjang oleh latar belakang biografis pengarangnya yang memang keduanya — Trisnojuwono dan Subagio Sastrowardoyo — pernah aktif mengangkat senjata, ketika perang kemerdekaan. Hal seperti inilah yang dimaksud almarhum Umar Kayam sebagai motif dan keberadaan pengarang yang mendukung cerpen itu. Dengan demikian, pembaca tak bisa gegabah untuk menilai kedua cerpen tersebut sebagai bacaan porno. Justru sebaliknya, dua cerpen tersebut, dalam khazanah kesusastraan Indonesia, dikategorikan sebagai cerpen sastra yang bermutu.

Dalam cerpen “Kejantanan Disumbing” dilukiskan, suatu malam yang amat dingin, maklum udara pegunungan, suatu ketaksengajaan membuat tokoh “Aku” menjatuhkan lampu minyak dari meja di dalam sebuah kamar sempit, di suatu rumah desa, tempat mereka mengaso. Dan terjadilah peristiwa itu, “Aku” yang sudah keranjingan membunuh saja tawanannya, ternyata timbul lagi sifat kejantanannya. Kelaki-lakiannya. Birahinya. Pengarang Subagio Sastrowardoyo menulisnya sebagai berikut.

“Aku seperti terpesona. Kesuburan tubuh yang memeluk aku serta hawa kulitnya yang membara, memabokkan napasku. Aku merasa diberi hajat hidup yang melimpah dan nikmat. Aku lalu lupa kepada kengerian mati sendiri. Aku akan lepas dari pusaran hidup yang tak berujung pangkal. Lalu aku menangkap tubuh perempuan itu selaku harimau menerkam mangsanya dan mengerkahi mulutnya yang kacau berbisik-bisik sehingga diam terkecup….”

Cuplikan itu, tidak melukiskan secara mendetail unsur pornografi sepertin halnya tulisan-tulisan yang dimuat dalam majalah-majalah hiburan. Majalah-majalah hiburan yang sering membuat cerpen mempergunakan segi pornografi sebagai alat sensasi. Untuk melukiskan sesuatu yang behubungan dengan hubungan yang sangat intim, menyangkut pasangan berbeda jenis kelamin, tidak perlu diungkapkan sampai kepada hal-hal yang mendetail yang sebenarnya masih dapat dirahasiakan. Pengungkapan samar-samar tetapi sugestif sifatnya sudah cukup mengantarkan pembaca untuk mengetahui maksud pengarang. Dengan pelukisan yang hanya tahap pengantar rangsangan seks, berarti sudah memberi kesempatan kepada pembaca untuk menerawang jauh berimajinasi.

Persoalan seks dan pornografi dalam novel dan cerpen hanya bersifat “titipan” dan bukan hal yang utama, sehingga tidak perlu diobral. Hal-hal yang porno dan cabul yang diobral dalam karya sastra atau karya seni lainnya dapat mengurangi keindahan karya itu. Bahkan dapat dikatakan merusak karya itu sendiri karena dicap karya murahan.

* I Nyoman Suaka, IKIP Saraswati Tabanan

Sang penyair dan sang panglima [W.S. Rendra]

Goenawan Mohamad
http://majalah.tempointeraktif.com/

PADA suatu malam Agustus 1970 W.S. Rendra ditahan. Ia, bersama 10 orang lain, bersemadi di petak rumput di tengah Jalan Thamrin, Jakarta. Malam itu beberapa ratus mahasiswa menyiapkan secara massal aksi “Malam Tirakatan”, sementara gabungan pasukan bersenjata bermaksud menggagalkannya. Bentrokan kekerasan dikhawatirkan.

Rendra dan yang lain-lain telah berhasil membujuk para mahasiswa (di pimpin Arief Budiman) untuk mundur saja, dan sebagai ganti menawarkan diri untuk melakukan semadi dan tirakatan di tempat yang telah ditetapkan.

Fihak penguasa agaknya menyangka Rendra dkk sebagai demonstran yang bandel, dan ia ditahan 20 jam. Walaupun dalam interogasi yang dilakukan malam itu seorang tahanan menamakan tindakan mereka sebagai “tumbal” buat mencegah terjadinya bentrokan antara mahasiswa dan tentara, sedikit sekali difahami motif Rendra dkk malam itu.

Dalam suasana bertentangan, orang yang tak mengabungkan diri memang sering sulit direngerti. Apalagi oleh mereka yang fanatik. Dan cerita Mastodon & Burung Khondor adalah tentang semua itu.

Ada militer yang berkuasa dan melaksanakan pembangunan, ada mahasiswa yang melakukan perlawanan revolusioner dan ada seorang penyair yang menentang kedua hal itu sekaligus.

Ditaruh dalam latar nun jauh di Amerika Latin, cerita bikinan Yogya ini dengan sangat efektif sebenarnya berbicara tentang Indonesia. Atau mungkin lebih tepat: tentang pandangan Rendra mengenai sekitarnya dan dirinya.

Tokoh Jose Karosta, sang penyair, tidak silap lagi adalah semacam potret-diri. Kata “semacam” perlu dicantumkan di situ, jika kita terbiasa mengartikan potret-diri adalah seperti yang dibikin Affandi. Sebab bila Affandi mendramatiskan ketidak-elokan paras, Rendra memproyeksikan sebuah ideal dalam diri Jose Karosta. Bila Affandi tak tertarik untuk kontur, dalam tokohnya Rendra justru seperti membubuhkan aureole.

Jose adalah penyair yang dikagumi dan dikitari orang banyak, suka gadis semampai, suka eksperimen kesenian, pembaca sajak yang merangsang urat syaraf”, radikal dan suka mempertanyakan, “tidak memerlukan lembaga” dan boleh dibilang anti-politik dan anti revolusi tapi merupakan musuh bagi yang berkuasa dan menindas.

Terkadang terlintas gambaran yang nyaris kenabian dalam tokoh ini: dalam Bab V, Jose Karosta berada di atas bukit membacakan doa puitis, dikelilingi oleh para pengikutnya, sementara orang-orang yang ditindas dan dihinakan datang mengadu.

J.K. hampir berarti Jesus Kristus. Buat membangkitkan perlawanan rakyat kepada pemerintah kaum revolusioner bahkan menganggap penting untuk mengusahakan agar Karosta ditangkap. Mungkin di sini paralelisme antara Kristus dan Karosta tak terlalu kentara, walaupun bila kita mendasarkan perbandingannya dengan drama penyaliban yang pernah disusun Rendra di tahun 1963, Cinta Dalam Luka.

Tapi setidaknya sang penyair begitu penting, hingga di bagian akhir drama ini ia bisa mengancam kaum pemberontak: “Kalau sesuatu terjadi pada diri saya, barisan revolusi akan terpecah dua”. Katolik.

Sebenarnya tak perlu terlalu jauh untuk meninjau bayang-bayang kekristenan lakon ini. Pun tak teramat relevan buat mencoba mempertalikannya dengan lakon Paraguay Tercinta yang dipentaskan Rendra di tahun 1961 — juga tentang cita-cita keadilan & kemerdekaan, revolusi, dan kekuasaan kelembagaan (agama) di Amerika Latin.

Tapi yang patut dicatat ialah bahwa bagaimanapun Rendra kini tak lagi Katolik, ia masih bisa terus dengan imaji dan lambang pemikiran religius yang tumbuh melalui artikulasi Katolik. Ia tak bisa lain apabila ia hendak otentik, jujur dengan dirinya sendiri. Latarbelakang Katoliknya telah membantunya menciptakan sajak-sajak yang bagus.

Dan tak seorang penyairpun dapat begitu saja menanggalkan mithos-mithos yang menemaninya sejak kecil dalam pertumbuhan dirinya. Dunia kanak yang penuh dongeng dan amsal yang indah adalah perbendaharaan yang sah. Demikianlah kita lihat dalam Mastodon Rendra, dengan latarbelakang Katoliknya — apalagi Katolik Jawa bisa menampilkan fikirannya tentang dialektik antara badan dan roh, dengan tegas, yakin, wajar.

Dan lewat tokoh Jose Karosta jelas luka di mana Rendra berdiri: ia menghargai badan, tapi ia memihak roh, tak memilih lembaga dan kekuasaan. Dalam bahasa Injil, hal-hal terakhir itu milik Caesar. Mungkin karena perbendaharaan pengalamannya dengan agama Kaolik pula maka pilihan latar Amerika Latin untuk lakonnya ini merupakan pilihan yang lumrah bagi Rendra. Seperti halnya pilihan latar India dalam lakon Manusia Baru bagi Sanusi Pane yang menganut theosofi.

Tapi tentu tidak itu saja. Ada satu hal yang lebih penting: masalah Indonesia di tahun 1930-an memang mirip dengan masalah India pada saat itu, ketika lakon Manusia baru diciptakan. Masalah Indonesia di tahun 1970-an lebih mirip dengan masalah Amerika Latin, katakanlah Brazilia, ketika Mastodon digubah.

Tak mengherankan bila perbandingan antara Indonesia dengan Brazilia oleh seorang sastrawan lain pernah pula dilakukan Beb Vuyk mengemukakan itu dengan pandangan lain dalam bukunya yang mutakhir, Een Broet in Brazil.

Tapi bagi saya karya Rendra lebih menarik, karena seraya tak menyebut apa-apa tentang Indonesia, ia telah merumuskan masalah kita yang aktuil. Di satu fihak ada pertumbuhan ekonomi yang dalam lakon ini disebutkan dengan cara yang sengaja dilebih-lebihkan: 260%. Tapi di lain fihak penderitaan rakyat kecil tak berubah, bahkan memburuk.

Kata-kata Jose Karosta bukan saja menunjukkan kepandaian Rendra dalam metafor, tapi juga menampakkan persepsi dan pengetahuannya yang kuat tentang masalah sosial:

“Aku memberi kesaksian, bahwa dibangunnya pabrik-pabrik untuk kepentingan modal asing tidak berarti mengurangi jumlah pengangguran”, katanya Dan:

“Saya memberi kesaksian bahwa pemerintah telah bersungguh-sungguh membina tenaga tidak untuk mobilitas, tetapi untuk kekukuhan, tidak untuk dinamis, tetapi untuk teguh dan angker, tidak untuk mencipta barisan semut-semut yang bekerja, tetapi barisan gajah-gajah yang suka serba mempertahankan” Rakyat. Para gajah itulah yang kemudian dibayangkannya akan jadi mastodon-mastodon, yang akan “memusnahkan alam secara lahap”.

Dan siapakah burung khondor? Burung itu adalah lambang rakyat, juga diri penyair sendiri dan kawan-kawannya — atau lebih tepat: sukma mereka. “Dari pagi sampai siang, rakyat negeriku bergerak-gerak menggapai-gapai. Dari siang sampai sore, mereka menjadi onggokan sampah. Dan di malam hari, mereka terbanting di lantai dan sukmanya menjadi burung khondor”.

Meskipun tak selamanya jelas, Rendra - seperti dalam sajak-sajaknya yang dulu — menggunakan imaji “burung” untuk sesuatu yang bebas, dekat dengan alam, penuh mimpi, dan heroik.

“Beribu-ribu burung khondor, berjuta-juta burung khondor gumpalan-gumpalan awan burung khondor, bergerak menuju ke puncak gunung yang tinggi. Dan di sana mendapat hiburan dari sepi, karena hanya sepi yang mampu menghisap dendam dan sakit hati”.

Sepi, dan bukan revolusi. Yang membedakan pandangan Rendra dengan kaum Marxis atau Kiri Baru ialah bahwa sang penyair tidak mempercayai revolusi.

“Aku percaya pada jalarnya perubahan berdasarkan perkembangan kematangan kesadaran. Perubahan yang mendadak yang ditimbulkan oleh revolusi hanya akan menghasilkan perubahan semu”.

Apalagi bila kaum revolusioner menang, dalam lakon ini dipimpin oleh kaum mahasiswa, mereka akan jadi diktator dan rakyat tetap menderita.

Tak mengherankan bila Rendra pernah dikutip mengatakan lakonnya ini “anti-Revolusi”. Ia nampaknya kembali pada cerita Zeus dan Prometheus dalam mithologi Yunani: mereka berdua menumbangkan tirani, tapi kemudian Zeus menjadi tiran dan Prometheus yang membela kemerdekaan menjadi hukuman.

Sang penyair, sang intelektuil, dan pembela kehidupan rohani adalah Prometheus. Setelah kaum revolusioner hampir menang, Jose Karosta yang meskipun merupakan musuh rezim militer justru dibuang ke luar negeri. Kaum revolusioner telah jadi Zeus.

Di sini Rendra mengingatkan kita kembali pada pemikiran yang hidup di kalangan seniman dan cendekiawan penandatangan Manifes Kebudayaan di tahun 1963, yang menentang utopisme dari revolusi, menentang Politik Sebagai Panglima dan memandang komitmen kaum seniman kepada masyarakatnya sebagai yang dirumuskan Herbert Read: “the politics of the unpolitical” atau “politik” tanpa pamrih kekuasaan.

Mereka ingin selalu berada di luar kekuasaan sebagai salah satu pengontrolnya. Bagi mereka inilah peran dan tugas intelektuil. Fikiran-fikiran Arief Budiman, salah satu perumus Manifes, dengan jelas berpola pada sikap itu, berdasarkan dialektik badan dan roh yang serupa.

Rendra, yang selalu dengan rendah-hati mengatakan bahwa ia banyak dipengaruhi tulisan Arief, kini mengungkapkannya lewat Mastodon. Sukadji. Belum bisa dikatakan di sini bahwa lakon ini merupakan karya yang gemilang.

Rendra mungkin bisa dianggap melakukan “kesalahan” Albert Camus dalam Les Justes (diterjemahkan Arief Budiman sebagai Teotis) yang pernah dipentaskan di Taman Ismail Marzuki beberapa waktu yang lalu juga tentang konflik antara pilihan kekerasan dengan tanpa-kekerasan di kalangan pejoang keadilan.

Maksud saya: peran-peran lebih menarik sebagai penubuhan ide-ide daripada sebagai watak-watak yang berkembang. Tapi harus selalu diingat bahwa teater Rendra harus dinilai setelah dipentaskan - sebab dia adalah seorang maestto di situ.

Tapi setidaknya dari naskah saja sudah bisa dinilai bahwa ini merupakan langkah Rendra yang penting, bukan untuk riwayatnya sendiri setelah teater minikata, tapi untuk riwayat teater Indonesia dalam masyarakatnya.

Saya termasuk orang yang percaya bahwa teater kita akan mendapatkan tempat yang lebih penting dalam kehidupan publik dibandingkan dengan novel, berdasarkan kenyataan kebudayaan Indonesia sendiri.

Apalagi bila dalam teater itu pula publik menemukan dan menjadi lebih peka terhadap dunia mereka yang intim. Untunglah, bahwa Mastodon pada akhirnya tak jadi korban larangan Kepolisian Yogya dan korban alasan “proseduril” dari Rektor UGAMA Prof.
Sukadji ketika hendak dipentaskan di kampus. Untunglah, bahwa Pangkopkamtib sendiri, Jend. Sumitro, dan Kol. Leo Ngali dari Kodam VII, mengijinkan Rendra untuk terus.

Hanya kenyataan bahwa sebuah lakon teater perlu diputuskan nasibnya oleh seorang Panglima dari Pemerintah Pusat, dan seorang pemimpin universitas menunjukkan ketidak-pastian sikap menghadapi perkara itu, pada hemat saya bukanlah kenyataan yang sedap.

Saya menyenangi fikiran-fikiran Prof. Sukadji. Mudah-mudahan dalam soal Mastodon orang akan memanfaatkannya.

Geladak Sastra, Saat Menapaki Sebuah Rezim

Sabrank Suparno
http://forumsastrajombang.blogspot.com/

Masih lekat dalam ingatan kita tantang partai Golkar, partai yang awalnya hanya digerakkan beberapa gelintir orang saja dan dalam waktu seumur jagung telah mampu menjadi kekuatan yang menyeluruh sebagai suatu ‘gerakan’ dari semua lapisan masyarakat. Dan kekuatan itu telah nyata ditunjukkan dengan adanya indikator tampuk kekuasaan yang mewarnai corak hegemoni wacana sosial di zamannya. Dan bahkan tidak tanggung-tanggung, kekuatan itu mampu mendekami tiga perempat setengah abad sejak kemerdekaan Republik Indonesia sebagai suatu Negara. Meskipun pada ahirnya juga hancur di-revolt berdasarkan kebutuhan waktu.

Gambaran ringan mengenai kondisi keberadaan rezim Golkar tersebut dapat kita lirik dari puisi pendeknya Gus Mus {Bisri Mustofa} yang berjudul ‘Negriku telah menguning’. Disebut puisi pendek karena judul puisi yang pernah dibaca Gus Mus sendiri saat datang di acara padhang mbulan di kediaman Emha Ainun Najib sekitar tahun 1997 lalu itu sekaligus merupakan isi dari puisi tersebut. Dan hanya terdiri dari ‘tiga’ kata itu.

Warna kuning yang diibaratkan Gus Mus dalam puisi tersebut merupakan gambaran keberhasilan Golkar saat tampil sebagai suatu rezim yang dengan ‘yellowingnya,’seolah menemukan bentuk viuwalidasi Nasional. Visualitas yang tergambar sederhana hanya dari proses hampir panennya petani yang menunggu panen setelah pascatanam.

Hal yang sama juga dapat kita amati dengan merebaknya bonek mania yang ‘menghijaukan’ suporter massal Persebaya. Atau mungkin jika anda berkeliaran di sekitaran Tunjungan Plaza Surabaya pada malam minggu, kita akan terkesan dengan menjamurnya anak Punk-kers yang melakoni tingkah teatrikal Arie Papank seorang pemuda Inggris yang berhasil dianut ribuan pemuda Indonesia sebagai guidens kolosal.

Rezim sastra? Kenapa tidak! Kalau Golkar, Bonek, dan Punk-ker saja yang nota-bene-nya tidak menanamkan cara dan budaya santun dalam bersosial-masyarakat ,’nyata’mampu dianut menjadi gerakan besar, kenapa sastra tidak?

Alangkah syahdunya jika suatu saat gerakan sastra ini mampu menjadi warna hidup dan pola prilaku kehidupan masyarakat ber-Bangsa dan ber-Negara! Wujud neosintaktika-dialektik sastra yang terkesan sinergik-embat embatan-antara wujud instrinsik dan ekstrinsik atau yang dalam istilah Emha Ainun Najib dalam Budaya Tandingnya dikenal dengan ‘unsur dalam’dan ‘unsur luar’ dalam bersastra tentu merupakan arti lebih ketika kahidupan dilakonkan.

Geladak sastra 2 yang membedah cerkak(cerita cekak) Sabrank Suparno yang berjudul Bobok Suruh Bodeh, sejak awal diperkirakan bakal ramai diperdebatkan. Selain judul dan alur ceritanya yang kental dengan problematika sensitif dengan prilaku kehidupan sehari-hari warga ndeso klutuk, cerkak ini juga ditulis dengan bahasa jawa nJombangan yang nota-bene-nya berbeda tehnik penulisannya dengan bahasa jawa pada umumnya. Tentu saja hal ini menimbulkan kontroversi tersendiri. Terlebih jika ditilik dari sudut pandang kaidah penulisan bahasa jawa.

Geladak sastra 2, diadakan di dusun Dowong Plosokerep. Sebuah dusun yang amat ‘kluthuk’tanah rahim kelahiran penulisnya. Agenda sastra tersebut mendapat apresiasi dari warga desa yang berbondong-bondong membawa ‘suguhan’. Sedikit banyak ini menandakan awal berjejaknya sebuah rezim sastra, dimana orang-orang ‘petani kuni’(sebutan petani tulen) antusiasmenya ter-urik dengan keberadaan sastra. Berkumpulnya massa yang kemudian melakukan sesuatu-agreegate- secara kolektif inilah selaksa merajut mozaik menjadi lukisan alam.

Jarak pandang Anjra Lelono Broto (novelis, pakar bahasa jawa)
Cerpen Bobok Suruh Bodeh ini terdapat kerancuhan struktur bentuk global yang berhubungan dengan bahasa ‘lisan’ dan bahasa ‘tulisan’. DR CC. Berg, ahli bahasa dari Belanda yang mengamati dialektikum bahasa yang di pakai masyarakat jawa, menemukan sebanyak 3800 jenis dialek. Keberagaman jenis inilah yang menyebabkan scub pemfokusan sentral mengenai titik-titik kaidah penulisan bahasa jawa-nJombangan-sulit dijadikan pedoman secara jelas.

Dalam teori kepenulisan ada istilah ‘alih kode’dan ‘campur kode’. Istilah ini jika ditarik dari gejala sosiomistik. Sebagai bahan banding, Anjra Lelono Broto melontarkan satu pertanyaan mendasar. Apakah Sabrank Suparno akan tetap menulis dengan model adetrasi seperti ini?

Menanggapi prospek penulis yang mempertahankan dialek asli lokal, Anjra menghimbau agar penulis tidak usah kawatir dengan rejeki dari penulisan tersebut. Bagaimanapun setiap penulisan pasti menimbulkan ‘efek’dari proses kreatifnya. Efek inilah yang akan mendatangkan rejeki’min khaistu la yahtasib, yang tak terduga. Namun apapun jalan yang dipilih oleh penulis untuk menentukan bentuk cerpenya, diharapkan bersikap sebagai subyek dalam masyarakat. Sehingga perannya mampu ‘mewarnai’ gejala masyarakat. Dalam istilah lain: lebih baik kita ndalangno wong, dari pada kita didalangkan orang.

Cara pandang Nurel Javissyarqi (sastrawan, penulis Lamongan)
Cerpen Bobok Suruh Bodeh ini memiliki kekuatan yang ditimbulkan dari ketulusan uri-uri menghidupkan budaya lokal. Tehnik penuangan tulisan seperti ini cenderung lebih kuat maknanya untuk menghantarkan pengenalan lebih jauh terhadap kualitas sastra Indonesiaan. Bahasa nJomangan yang kuat, difahami sebagai ‘simbol’ pemberontakan terhadap aturan penulisan, dan memang harus ada yang tampil sebagai ‘tumbal’ dari terkuaknya kurungan aturan yang telah ada. Diharapkan tehnik penulisan bahasa nJombangan yang asli berfungsi memudarkan kesempitan yang telah ditentukan sistem kesusastraan Jawa.

Sudut pandang Suliadi (penyair Mojokerto yang bercokol di komunitas Umpak Songo)
Diperlukannya kekayaan sastra lokal untuk menambahi kekayaan sastra Indonesia. Bagaimanapun ada banyak hal yang tidak tertampung di dalam wadah kesusastraan Indonesia.

Cara pandang Bapak Dasar (warga ndeso)
Cerpen ini mempunyai unsur instrinsik yang mengarah lebih ke-pesan moral agar pembaca menemukan cara untuk mengatasi problem rumah tangganya seperti yang penulisnya idekan.

Jarak pandang Bapak Sudarsono (pecinta seni, warga Deso Dowong)
Isi dari cerpen ini justru berbalik fakta. Bobok suruh bodeh dalam cerpen tersebut sesungguhnya tidak ada dalam istilah masyarakat. Yang ada justru istilah ‘bobok suruh temu ros’.

Sudut pandang Iin Puspita Ningsih (pengamat bahasa jawa, pengajar SMPN-3 Jombang).
Cerpen Bobok Suruh Bodeh tersebut cenderung beraliran bahasa lisan. Hal ini memang sah sah saja secara kebebasan ber-ekspresi sebagai suatu karya. Tetapi bentuk bahasa nJombangan itu sendiri yang amat beragam, acap kali membuat kreator lain sulit menemukan formula yang jelas. Seharusnya ada lembaga ‘pelatihan’ dan ‘media’ kusus tentang bahasa nJombangan. Majalah khusus yang memuat bahasa jawa semisal’ Joyoboyo’ dan’ Penyebar Semangat’, terbukti tidak memuat bahasa nJombangan. Lebih jauh, Iin Puspita Ningsih bersedia mengawali apreseasinya dengan memperkenalkan bahasa nJombangan sebagai bahasa khas daerah yang berbeda bentuk dengan bahasa jawa umumnya, kepada siswanya.

Alur pandang Hadi Sutawijaya (sastrawan, dan pemain teater Suket UNDAR Jombang)
Diperlukannya jejak pijakan awal untuk berganti model dalam pemahaman sastra baru di Indonesia. Hal ini didasarkan atas kelemahan khasanah kesusastraan Indonesia, dan sekaligus diperlukannya apreseasi khusus terhadap budaya lokal. Yang esensi dari sebuah sastra adalah pesan yang disampaikan, dan bukannya sekedar ‘frame’ struktur penulisan semata.

Tanggap pandang Fahrudin Nasrulloh (penulis, editor lepas dari komunitas Lembah Pring)
Dalam cerpen ini ada semacam kekuatan cahaya yang meletup, meskipun dalam arus yang terkesan tidak mendesak Setara dalam film Splandaur yang menghadirkan inspirasi dalam berbagai lintasan peristiwa. Cerpen ini lebih bersifat prilaku sosok ‘ular weling’yang tidak banyak bergerak namun mengandung bisa yang mematikan. Pola cerpen semacam ini juga banyak terdapat dalam bebrapa cerpennya Jakop Sumarjono dan Bagus Subagiyo. Sementara menanggapi soal jenis bahasa nJombangan atau tidak, itu hanya soal stempel almamater yang hendak dicomot oleh arus tertentu. Toh, sudah tersedia kamus Thesaurus yang merangkum berbagai jenis bahasa di Jawa.

Jarak pandang Rahmat Sularso (Mahasiswa jurusan bahasa STKIP Jombang)
Cerpen ini terkesan mengambang. Hal itu di sebabkan karena tidak di temukannya kedetailan dan klimaks kontroversi yang memuncak sebagai plot antagonis. Namun cerpen ini tetap mempunyai ciri khas tersendiri.

Alur pandang Rangga D.P.K. ( Mahasiswa STKIP Jombang)
Ciri khas bahasa yang original tertuang dalam cerpen ini. Lebih lanjut Rangga meminta agar penulis bersedia membimbing tantang pendalaman bahasa nJombangan kepada mahasiswa bahasa untuk mendukung program kampus yang hendak turut nguri-uri budaya lokal.

Penjabaran Koko Sake (penggiat sastra kampus)
Sebagai moderator acara, Koko melebarkan pertanyaan kepada peserta. Apakah mungkin dalam cerpen ini mengandung arti ‘keliaran’semacam ‘neo fuck animals’yang garang di tengah ganasnya belantara.

Tanggapan Jabar Abdulloh ( Aktifis sastra dari DKKM Mojokerto)
Adanya keberanian yang tampil sebagai pendobrak warna baru dalam kesusastraan jawa. Kemerdekaan ini merupakan simbol kebebasan berekspresi dari setiap penulis, meskipun kemerdekaan tidak selamanya diartikan se-bebas-bebasnya. Jabar juga menghimbau agar penulis tidak sekedar ‘bilang akan mandi’, tetapi yang dilakukan hanyalah sekedar bertayammum.

Siapa Peduli Panji?

Ingki Rinaldi
http://umum.kompasiana.com/

Penari asal Jepang bernama Jasmin itu sudah bergairah sejak pagi-pagi sekali. Sebelum pukul sembilan Jasmin telah berada di depan kolam ikan yang jadi bagian Candi Jolotundo Udayana, di Trawas, Mojokerto.

Sambil berjinjit ke bagian kolam pemandian yang dikucuri aliran mata air jernih di bagian atas candi, Jasmin berbisik.

“Saya mau mandi dulu.”

Maka ia pun menaiki sejumlah undakan batu menuju salah satu kolam yang dikelilingi pepohonan besar. Tak lama Jasmin kembali lagi ke tempat awal sembari mesam mesem.
Tentu saja, keinginan itu tidak bisa kesampaian.

Hari itu, Jasmin yang punya nama lengkap Jasmin Akubo dan sudah beberapa waktu terakhir tergabung dalam sebuah kelompok kesenian dari Bali mau ikut berpentas. Pentas itu adalah salah satu penutup pertemuan dan pementasan bertajuk Pasamuan Budaya Panji Internasional ke-2 yang diadakan di Pusat Pendidikan Lingkungan Hidup (PPLH) Seloliman, Trawas, Mojokerto.

Pasti saja berpasang-pasang mata sudah menanti pementasan yang diberi tajuk “Panji Remeng” itu. Sudah jelas, pagi itu Jasmin tidak bisa mandi di situ.

Kata penggiat Budaya Panji dan pengelola Padepokan Seni Mangun Darma, Tumpang, Malang, Ki Soleh Adi Pramono, Budaya Panji adalah satu-satunya budaya Nusantara yang menyebar hingga ke wilayah Asia. Budaya Panji dimulai dari Kerajaan Kanjuruhan, Malang, di abad ke-8 dengan hasil kesenian berupa Topeng Panji Malang.

Kemudian berkembang pada tahun 1277 di Singosari, Malang di zaman Kameswara I pada masa pemerintahan Prabu Kertanegara, lantas menyebar ke semenanjung Melayu, Malaysia. Setelah diteruskan ke zaman Majapahit, penyebarannya ke seluruh Nusantara dan beberapa negara Asia oleh Mahapatih Gadjah Mada tidak terbendung lagi.

Termasuk tari topeng ala Betawi, ya mula-mula dari kisah Budaya Panji.

Selain topeng, Budaya Panji di antaranya diawali dengan adanya epos Panji yang muncul dalam sastra kuno Jawa Timur pada abad ke-12 hingga abad ke-13. Inti cerita Panji adalah tentang kehidupan tokoh Raden Panji atau Panji Asmorobangun dari Kerajaan Jenggala dan Putri Candra Kirana atau Dewi Sekartaji dari Kerajaan Daha atau Kediri.

Raden Panji dan Dewi Sekartaji yang sudah ditunangkan sempat terpisah sekalipun akhirnya mereka dipertemukan.

Bisik Ketua Program Dewan Kesenian Jatim Heri “Lentho” Prasetyo kepada saya, salah seorang pakar seni Jawa kuno asal Cologne, Jerman, Lydia Kieven, beranggapan epos Panji adalah karya sastra yang termasuk paling unik di dunia. Lynda melakukan penelitian selama tidak kurang 15 tahun soal Budaya Panji.

Kata Lentho, epos Panji dianggap karya yang setara kejeniusannya dengan Mahabharata atau Ramayana.

Raden Panji dianggap titisan Dewa Wisnu sedangkan Dewi Sekartaji dianggap titisan Dewi Sri yang dihormati sebagai dewi kesuburan lahan atau tanah. Penyatuan Raden Panji dan Dewi Sekartaji dianggap mewakili pula simbol kesuburan pertanian.

Karena itulah, Budaya Panji juga berkait erat dengan detail ilmu pertanian. Selain berbagai sistem hidup lain seperti filsafat, teknik arsitektur, seni tari, teater, wayang beber, wayang gedhog, dan beragam motif batik.

Seorang seniman asal Klaten, Agus Bimo, yang juga sudang nongkrong di perhelatan itu sejak beberapa hari sebelumnya menyebutkan konsep pertanian dalam Budaya Panji adalah soal tantra atau kesuburan.

”Jadi bagaimana memperlakukan tanah (lahan) seperti menyayangi istri dan ini hubungannya dengan konservasi alam. Budaya Panji tidak berhenti pada aspek romantika asmara,” ujarnya.

Agus menambahkan, pada zaman dahulu konsep pertanian organik berdasarkan kearifan Budaya Panji disebarluaskan dengan mudah lewat dongeng yang diwariskan lewat bahasa tutur. Peran dongeng pada masyarakat pertanian itu terbukti sangat bagus karena memperkenalkan cara-cara mulai dari memilih benih, mengolah lahan, hingga produksi pangan yang didasarkan pada prinsip-prinsip organik.

Menurut Agus, pengenalan kembali konsep pertanian organik yang kini mulai hilang bisa dimulai dengan berbagai cara. Salah satu yang paling radikal adalah yang dilakukannya sendiri dengan menerapkan prinsip pertanian organik pada lahan sekitar 800 meter persegi yang disewanya.

Agus mengaku sempat dianggap gila oleh masyarakat sekitar karena keputusannya itu. “Saya membakar dupa dan kemenyan untuk mengusir hama dikira sedang sesaji, begitu juga ketika saya menaruh makanan di pojok-pojok sawah yang tujuan sebetulnya agar hama tikus langsung mendapatkan makanan begitu keluar dari lubangnya,” kekeh Agus.

Agus yang tetap setia dengan rambut panjangnya menambahkan bahwa petani juga harus ke ladangnya setiap malam untuk melihat hewan-hewan apa saja yang sedang bercengkrama dengan tanamannya.

Pada ujung yang lain ada Lynda Bransbury yang sedang belajar ilmu pedalangan dan seni murni di Institut Seni Indonesia Surakarta lewat fasilitas beasiswa. Lynda yang asal Inggris adalah lulusan jurusan seni dan sejarah, dan sekarang berkarya juga pada program pengurangan kemiskinan di Eropa.

”Saya datang kesini karena khawatir sekali apakah Budaya Panji ini bisa selamat. Karena saya saksikan banyak generasi muda di Indonesia bahkan tidak tahu apa itu wayang kulit atau karawitan. Sedangkan di Inggris, generasi muda kami saat ini sedang gemar mempelajari gamelan,” ujar Lynda Bransbury.

Bersama Lynda, datang pula Adar Treger. Adar adalah praktisi teknik komputer asal Perancis yang gemar memanfaatkan waktu luangnya untuk belajar teknik gerak untuk meditasi.

“Ini kedatangan saya pertama kalinya ke Indonesia,” kata Adar.

Pada hari itu, Lynda dan Adar larut dalam pementasan “Panji Remeng” yang dilakukan di Candi Jolotundo, Udayana, Trawas, Mojokerto. Adar meliuk-liukan tangan dan badannya sembari memejam dan meniti bebatuan candi sebelum masuk ke dalam kolam ikan. Lynda yang semula hanya menabur-naburkan kembang rupa-rupa warna dari pinggir kolam, akhirnya ikut menceburkan diri.

Pementasan tersebut dibuka dengan ritual persembahan yang dilakukan oleh lima orang pedanda asal Bali. Mereka merapal mantra sekitar lima belas menit sebelum dua buah kerang ukuran besar dibunyikan sebagai penanda bagi para penari untuk masuk.

Tarian persembahan yang dimulai dengan masuknya masing-masing dua orang bertopeng di sisi kiri dan sisi kanan Candi Jolotundo Udayana itu lantas diikuti dengan sejumlah penari lain yang masuk ke dalam kolam ikan di depannya. Makin lama, jumlah penari yang terlibat dan masuk ke dalam kolam untuk mengekspresikan rasa kesenian mereka semakin banyak.

Tokoh “Panji Remeng” yang menyimbolkan ketidakjelasan didampingi oleh dua orang pembantunya menyimbolkan sifat-sifat jelek yang ada dalam manusia. Setelah bergerak-gerak dalam koreografi dinamis di atas candi, tokoh Panji Remeng lantas turun ke dalam kolam dan kemudian naik ke atas candi mengampiri pedanda.

Pada akhir cerita, segala sesuatunya kemudian menjadi senyap. Ini adalah simbol dari perasaan saling mencintai dan sama-sama menjaga perasaan untuk mencapai harmoni.
Ini adalah puncak ekstase hubungan antara manusia yang disimbolkan punya beragam sifat oleh para seniman dengan alamnya.

”Hubungan antara seniman dan lingkungan memang erat karena seni adalah apa yang mereka (seniman) cermati pada lingkungan. Karena itu seniman memang seperti peneliti karena mereka melakukan riset dulu sebelum berkarya,” kata Guru Besar Institut Seni Indonesia Surakarta, Profesor Dr. Waridi M. Hum.

Namun ia menyebutkan, seniman dan budayawan yang mereflesikan dengan baik lingkungan di sekitarnya terkadang hasil berkeseniannya tidak biasa diapresiasi oleh masyarakat luas. Ia memberikan contoh hikayat anak bangsa dari Makassar, Sulawesi Selatan, I La Galigo, yang justru masyhur di luar negeri namun tak banyak masyarakat di Indonesia yang mengapresiasinya.

Pada gilirannya, tujuan hasil karya seni yang sebagian untuk menggambarkan kondisi lingkungan yang sesungguhnya kepada pihak penguasa juga menjadi tidak tersampaikan. ”Kalau saya melihat bukan pada adanya mata rantai yang putus, namun mengapresiasi seni ini butuh bekal sejak kecil. Harus ada pendidikan budaya sejak dini,” ujar Waridi.

Direktur PPLH Seloliman, Sisyantoko, yang telah dua tahun terakhir mengorganisasi acara tersebut dan sudah selama itu pula gondok karena merasakan nihilnya peranan pemerintah. Padahal, beragam aspek Budaya Panji bisa dikelola dengan baik dan menjadi aset sejarah yang sangat menguntungkan bagi Indonesia.

“Bahkan ada (pejabat) yang bertanya kepada saya. Budaya Panji ini mau kamu bawa kemana,” timpal Heri “Lentho” Prasetyo.

Saya lantas menoleh ke kanan dan ke kiri, mencoba menangkap sosok Jasmin. Ah, kiranya ia sudah mencebur ke dalam kolam sedari tadi.

Meliuk-liukan tubuhnya dalam tata koreografi bernuansa sakral. Didapuk dan digendong sembari mempermainkan selembar selendang putih.

Sambil mengenakan topeng, jadi juga si Jasmin mandi.

*) Lahir di Jakarta, Februari 1981. Bergabung sebagai jurnalis di Harian Kompas, Oktober 2003. Kecelakaan tragis yang nyaris merenggut nyawa dalam tugas jurnalistik di Lamongan, Jatim, Agustus 2004, membuatnya makin memaknai hidup ini. Mengalami banyak sekali keajaiban, termasuk kelahiran anak pertama, Juni 2006. Hingga saat ini telah melakukan kesalahan dan kebodohan yang tak terhingga. Sampai saat ini terus berupaya memperbaiki kesalahan dan kebodohan itu dalam kelipatan yang tak terhitung.

Horison pulang ke balai budaya

Liston P. Siregar
http://majalah.tempointeraktif.com/

TERNYATA Horison baru hanya berumur satu edisi. Tiga hari setelah acara peluncurannya di Perpustakaan Nasional, Jakarta, majalah sastra itu harus kembali ke pengasuhnya yang lama. Rapat Yayasan Indonesia, pemegang SIUPP Horison, Rabu 14 Juli lalu secara sepihak membatalkan kerja sama dengan pengelola baru, PT Grafiti Pers.

Dipersiapkan dengan kecepatan tinggi oleh tim redaksi baru, Horison sempat tampil beda bulan Juli ini, sebagai majalah sastra dan seni bukan cuma sastra. Dan pemasarannya pun ditangani dengan sungguh-sungguh oleh Sigit Pramono dari bagian pemasaran Majalah TEMPO.

Dalam Horison yang terbit 64 halaman itu di dalamnya dicantumkan formulir langganan. Sejumlah Formulir itu sudah sempat kembali juga sejumlah naskah sudah sempat dipertimbangkan oleh tim redaksi yang baru. Tapi karena ada anggota Yayasan Indonesia yang tampaknya berubah sikap, semuanya berantakan. Itu disesalkan Arief Budiman, salah seorang pendiri Yayasan Indonesia.

Ia tak menemukan alasan penting di balik pembatalan itu. ”Saya sangat kecewa, perkembangan kehidupan sastra dihambat oleh kendala yang tidak berhubungan dengan sastra,” katanya. Memang, sampai 14 Juli itu, ”belum ada naskah kerja sama yang ditandatangani,” kata Taufiq Ismail seusai rapat Yayasan Indonesia di Balai Budaya.

Taufiq, anggota Badan Pendiri Yayasan Indonesia, diminta oleh Mochtar Lubis untuk menjawab pertanyaan wartawan Ibu Kota yang menunggu hasil rapat Yayasan itu. Kalau Horison baru sempat terbit, menurut Taufiq, ”karena niat baik dari pihak masing-masing. Selagi konsep kerja sama disusun, pengelola baru sudah mempersiapkan penerbitan.”

Taufiq, yang termasuk salah seorang pendiri Yayasan Indonesia, benar. Awalnya adalah niat baik. Rapat Yayasan Indonesia bulan Februari 1992 menyadari bahwa Horison kekurangan dana. Secara bergurau, kabarnya, Hamsad Rangkuti mengusulkan, bagaimana kalau ada dana dari Yayasan SDSB, pembikin lotere nasional itu. Tapi usul Hamsad kemudian terlupakan.

Yang disepakati, pokoknya Yayasan membuka diri masuknya modal baru. Untuk itu, pihak Yayasan rela bertoleransi untuk membagi Horison menjadi 50% sastra dan 50% hiburan. Lalu, untuk memperbaiki tiras Horison disebut-sebut pemasarannya akan diserahkan ke Goenawan Mohamad, salah seorang direktur PT Grafiti Pers, bila ia bersedia. Ini kalau ternyata pihak PT Gramedia, pemasaran lama, tak sanggup lagi memasarkan majalah sastra ini.

Hal ini disinggung dalam rapat, konon, karena Mochtar Lubis anggota Yayasan Obor yang menerbitkan buku-buku tertentu mendapat kabar bahwa Gramedia tak sanggup mengedarkan buku terbitan Obor. Nah, kalau soal buku tak lagi disanggupi, bisa jadi pemasaran Horison bisa telantar.

Tapi rupanya keputusan rapat tak segera dilaksanakan. Barulah, pada bulan Januari 1993, tiga wakil yayasan, yaitu Mochtar Lubis, Ali Audah, dan Hamsad Rangkuti, bertandang ke kantor PT Grafiti Pers untuk menawarkan pengelolaan itu. Goenawan tak hanya bersedia menangani pemasarannya, tapi juga siap menyediakan tenaga baru pengelolanya.

Dan yang sangat melegakan Mochtar Lubis, Goenawan menolak tawaran menjadikan Horison 50% sastra dan 50% hiburan. ”Kami mau 100% sastra,” kata Goenawan. Dari pihak PT Grafiti Pers, tak banyak persyaratan yang diminta. Goenawan hanya ingin kemandirian redaksi.

Usulan pembagian saham 51% untuk Yayasan Indonesia dan 49% untuk PT Grafiti Pers yang sempat dibahas dalam rapat Yayasan, tak disinggung-singgung. ”TEMPO sama sekali tidak berniat mengambil untung dari usaha ini,” tulis Goenawan dalam surat tanggal 3 Maret 1993 kepada Yayasan Indonesia. Jika ada surplus pendapatan, uang itu disiapkan untuk pengembangan Horison.

Dan dalam pertemuan lanjutan antara Yayasan dan Grafiti, 16 Maret, pihak Grafiti Pers menyatakan hanya akan menarik dua redaksi lama, yakni Sapardi Djoko Damono dan Sutardji Calzoum Bachri. Ini disetujui oleh Aristides Katoppo dan Ali Audah, yang hadir mewakili Yayasan Indonesia, dan keduanya menyatakan akan membawa usulan itu ke rapat Yayasan. Adapun soal kemandirian redaksi baru, dikompromikan, tiap tiga bulan sekali diadakan pertemuan antara pengelola baru dan pihak Yayasan Indonesia untuk mengevaluasi kerja tim baru. Dan disepakati pengelolaan baru akan berjalan setahun dulu.

Setelah setahun, diadakan penilaian total, dan terbuka bagi pihak masing-masing untuk menarik kesepakatan semula. ”Itu mekanisme kontrol yang efektif. Jika redaksi baru dianggap nyeleweng, kerja sama dibatalkan,” kata Arief. Sedangkan pihak PT Grafiti Pers bisa saja mengembalikan Horison ke Yayasan Indonesia bila, misalnya, tak lagi punya dana.

Ini semua dimungkinkan karena SIUPP tetap berada di tangan Yayasan Indonesia. Dan soal keuntungan, ”bila ada surplus dari hasil usaha, itu akan digunakan untuk pengembangan Horison.” Dalam rapat Yayasan Indonesia tanggal 15 April dihadiri juga oleh Goenawan Mohamad ide-ide dari rapat 16 Maret dimuluskan. Pemimpin Redaksi Horison, Hamsad Rangkuti, siap mundur dengan kompensasi Rp 10 juta. Disepakati, tim redaksi baru hanya menyertakan dua redaksi lama, yakni Sapardi Djoko Damono dan Sutardji Calzoum Bachri.

Redaksi yang lain, Taufiq Ismail dan H.B. Jassin, dianggap sebagai ”orang dalam”, jadi tak disertakan. Tapi Sutardji Calzoum Bachri, yang semula bersedia masuk, lalu mengundurkan diri. Yang menarik, dalam rapat tanggal 15 April itu, menurut notulen yang dibuat oleh Hamsad Rangkuti, disebutkan, ”Rapat menanyakan kalau nanti TEMPO sukses menangani Horison, Yayasan ingin juga mendapat bagian dari keuntungan untuk kegiatan yang lain.”

Tapi dalam kesimpulan keputusan rapat, ada 17 butir, pada butir ke-16 ditulis dalam notulen itu juga ”Bila ada keuntungan … keuntungan akan diserahkan ke Yayasan Indonesia.” Catatan ini mengambang, berapa keuntungan mesti dibagikan? Semua, sebagian, separuh, tak jelas. Tapi hanya menurut kalimat itu, mestinya dimaksudkan semua keuntungan diserahkan ke Yayasan.

Tampaknya semua melupakan kesepakatan hal ”keuntungan” itu. Mungkin karena tak dianggap penting, dan memang menurut pengalaman, majalah jenis ini susah mendapatkan pasar dan iklan. Maka, dalam konsep perjanjian yang dibuat PT Grafiti, soal keuntungan disebutkan ”… keuntungan … akan digunakan oleh Grafiti untuk pengembangan lebih lanjut dari Majalah dalam bentuk kegiatan kebudayaan.”

Lalu, konsep tersebut direvisi pihak Yayasan, tanggal 22 Juni, di rumah Mochtar Lubis, dihadiri oleh Ali Audah dan Hamsad. Rupanya, keputusan rapat yang lalu-lalu tak ditengok lagi oleh kedua belah pihak. Maka, menurut surat Hamsad di harian Kompas, 15 Juli, pihak Yayasan mengoreksi konsep dalam hal keuntungan itu menjadi 40% untuk Yayasan, 60% untuk Horison.

Notulen rapat Yayasan tanggal 15 April tampaknya tak dianggap. Pihak Grafiti mungkin lupa, pihak Yayasan tak meng- ingatkannya. Maka, Goenawan menolak revisi konsep dalam soal keuntungan itu. Ini disampaikan ke Hamsad lewat telepon, 26 Juni. Tanggal 30 Juni keduanya bertemu lagi, dan tetap tak ada kesepakatan. Sialnya, pembicaraan Goenawan dan Hamsad meletikkan kesalahpahaman, yang berkembang tak enak.

Goenawan menganggap pembicaraannya dengan Hamsad sekadar lobi, sebelum ide itu diputuskan resmi oleh rapat Direksi PT Grafiti Pers. Dan keputusan Grafiti berbunyi: ”Bilamana ada keuntungan, pembagiannya akan ditentukan bersama oleh pihak pengelola dan pengurus Yayasan Indonesia.”

Hal itu membuat Mochtar Lubis, menurut surat Hamsad di Kompas, memutuskan untuk membatalkan kerja sama. Dan keputusan yang disampaikan dengan surat berkop ”Majalah Sastra Horison” yang ditulis oleh Hamsad sebagai pemimpin redaksi, dan disetujui oleh Mochtar Lubis, yang tak mencantumkan ia sebagai Pemipin Umum Horison atau sebagai Ketua Yayasan, disampaikan ke Goenawan tanggal 6 Juni.

Surat jawaban Goenawan akhirnya menyatakan tak keberatan usulan 40 : 60 itu bila memang itu usulan Yayasan, bahkan pihak PT Grafiti Pers ”tak keberatan… pihak Yayasan Indonesia mengambil 100% atau seluruh laba yang didapat ….” Tapi surat ini tak ada gunanya. Rapat anggota Yayasan 14 Juli lalu mengakhiri sebuah awal niat baik semua pihak.

24 JULI 1993

Bahasa Jawa butuh spirit baru

Media Berbahasa Daerah Menghadapi Era Global
Fatkhul Aziz
http://www.dutamasyarakat.com/

Perkembangan globalisasi membuat khasanah lokal terdesak. Dunia yang tidak lagi berjarak dengan perkembangan teknologi informasi dan transportsi membuat lokalitas menjadi arena tempur. Jika tidak memiliki kekuatan, lokalitas bisa digerus kekuatan luar.

Kondisi itu mulai tampak pada kehidupan lokal masyarakat Jawa. Bahasa, sastra, dan budaya Jawa saat ini terus mengalami kemunduran. Para penulis dan penutur bahasa Jawa kian beringsut. Juga media massa berbahasa Jawa. Sehingga, kondisi bahasa, sastra, dan budaya Jawa ibarat hidup enggan mati tak mau.

Untuk itu, dibutuhkan spirit baru pada penulis, penutur, dan pemerhati Jawa dalam menggairahkan sekaligus memajukan Jawa.
|
Hal itu mencuat dalam diskusi ‘Media Berbahasa Daerah Menghadapi Era Global’ yang digelar Kementerian Komunikasi dan Informatika di Hotel JW Marriot, Sabtu (25/9). Diskusi itu menghadirkan beberapa narasumber seperti Mochtar Pimred Panjebar Semangat, Suparto Brata novelis bahasa Jawa, Mbah Brintik penulis jawa dan pembaca, Amir Mahmud Kepala Balai Bahasa Surabaya, Darni Ragil Suparlan dosen dan peneliti Unesa, serta Sunarko Budiman Ketua Sanggar Sastra Triwida Tulungagung.

Suparto Brata menuturkan, keputusan politik dan desakan undang-undang yang menempatkan bahasa melayu sebagai bahasa Indonesia sekaligus bahasa nasional dan pengantar bahasa sekolah membuat bahasa Jawa kian terpuruk. Keterpurukan itu diperparah dengan kultur lisan masyarakat yang lebih kuat dibanding kultur tulis. “Apalagi media massa berbahasa Jawa saat ini kian banyak yang gulung tikar. Dulu ada Mekarsari, Joko Lodang, Jayabaya, Panjebar Semangat, Damar Jati, serta kolom bahasa Jawa di media massa harian (koran). Tapi saat ini hanya tinggal Jayabaya dan Panjebar Semangat, lainnya gulung tikar,” paparnya.

Mochtar, Pemimpin Redaksi Panjebar Semangat mengungkapkan, oplah Panjebar Semangat saat ini tinggal 20 ribu eksemplar. Namun, para awak redaksi terus mengupayakan terobosan agar tetap diminati masyarakat.

Mochtar menilai, pudarnya pamor bahasa, sastra, dan budaya Jawa juga dipengaruhi oleh stigma negatif bahwa bahasa Jawa merupakan bahasa babu, bahasa tukang sayur, dan ketinggalan jaman. “Masyarakat sekarang itu malu berbahasa Jawa juga malu berlangganan media massa berbahasa Jawa,” ungkapnya.

Meski begitu, Amir Mahmud menyatakan, kondisi bahasa, sastra, dan budaya Jawa akan tetap bertahan dalam kurun 100 tahun ke depan. Sebab, hingga kini masih tercatat sebanyak 75 ribu penutur bahasa Jawa yang tersebar di Indonesia hingga Suriname. Bahkan, naskah (literatur) Jawa hingga kini jumlahnya masih banyak dan terawat dengan baik. “Di Balai Bahasa saja kita sudah menyalin sebanyak 240 naskah,” tuturnya.

Namun, Amir mengakui hal itu butuh penanganan khusus dan berkelanjutan agar ketergerusan tidak kian parah. “Selain pemerintah, peran media massa sebagai penunda kematian sangat penting,” katanya.

Darni Ragil Suparlan menambahkan, peran media massa seperti Panjebar Semangat sangat penting dalam menghidupkan kembali pamor bahasa Jawa. Pemerintah diharapkan bisa turun tangan membantu kehidupan media massa berbahasa Jawa. Sehingga, khasanah lokal yang menjadi kekayaan budaya Indonesia bisa tetap dipertahankan.

Selain itu, dibutuhkan spirit dan inovasi baru pada media massa berbahasa Jawa seperti rubrikasi, tampilan, serta ulasan yang dimunculkan. Sehingga, menghadapi tantangan globalisasi media massa berbahasa Jawa bisa menyesuaikan diri. Muaranya, masyarakat bisa kembali berbangga menyandang identitas Jawa dan tidak malu menggunakan bahasa ibunya.

“Kawin Paksa” Ilustrasi Cerpen

(Tanggapan untuk Binhad Nurrohmat)
Rikobidik *
http://umum.kompasiana.com/

Apa yang diuraikan Binhad mengenai ilustrasi cerpen Kompas semakin meneguhkan keyakinan saya, yaitu ada sesuatu pada cerpen-cerpen Kompas.

Bagaimanakah menanggapi isu dan gosip (di kalangan) seni rupa dan sastra terhadap ilustrasi cerpen seperti yang diungkapkan Binhad di Kompas 5 Juli lalu ini? Artikel ini adalah upaya untuk mengurainya.

Ilustrasi Cerpen vs Berita Foto

Saya setuju dengan pernyataan Binhad mengenai medium yang berbeda antara Lukisan dan tulisan. Namun, Binhad keliru jika menganggap sifat kevisualan gambar ilustrasi cerpen membuat penangkapannya lebih langsung daripada teks cerpen. Sebab, baik gambar ilustrasi cerpen maupun teks cerpen tetap memerlukan proses “membaca” untuk menangkap isinya, tak cukup hanya dengan “melihat” bentuk gambarnya saja. Lagi pula, penangkapan yang tergesa-gesa terhadap yang visual pun kerap menipu, bukan? Nah, pada titik inilah kita bisa memulai sebuah refleksi: apakah “status” lukisan sebagai ilustrasi cerpen di Kompas?

Agaknya, pengimbuhan ilustrasi cerpen adalah sebuah spekulasi mencobamiripkan cerpen dengan rubrik berita. Sebagai sebuah media massa terkemuka di Indonesia, pengimbuhan ilustrasi cerpen pada cerpen Kompas pasti punya motif tertentu. Dapatlah saya katakan bahwa Kompas mencoba “menerabas” sesuatu yang sudah diwanti-wanti Ludwig Wittgenstein supaya tidak mencampur-adukkan (“mengawin-paksakan”) dua atau lebih Language-Games.

Oleh karena itu, pengimbuhan ilustrasi cerpen hanya dapat dikategorikan sebagai family resemblance (kemiripan keluarga—Wittgenstein, 1997) ketika dicoba miripkan dengan tampilan rubrik berita. Berita foto pada berita tulis adalah hasil proses seleksi ketat redaktur foto yang diimbuhkan pada tulisan. Berhubung berita foto pada berita tulis dan ilustrasi cerpen pada cerpen itu hanyalah mirip, maka tentu ada perbedaannya, yaitu proses penciptaan & pengimbuhannya. Nah, perbedaan inilah yang membuat upaya pencobamiripan ini mengundang rasa penasaran dan bersifat unik seperti yang dinyatakan Binhad. Sebab, ilustrasi cerpen bagi cerpen & berita foto bagi berita tulis berada pada Language-Games yang berbeda.

Cerpen vs Berita Tulis

Cerpen dan berita tulis memiliki Language-Games yang berbeda. Bahkan, aturan-aturan dalam pengonstruksian narasi pada cerpen lebih “longgar” dibandingkan berita tulis. Maka, jika kita kerap mudah terpukau oleh provokasi headline berita tulis yang harus patuh kepada fakta, kenapa judul cerpen yang merupakan karya fiksi tidak bisa berlaku serupa atau melampauinya?

Jika Binhad mengatakan ilustrasi cerpen lebih “mejeng” ketimbang cerpennya, pertanyaan kritis yang bisa diajukan adalah ada apa dengan cerpen kita?

Ilustrasi cerpen menjadi tampil memikat tentu berkat kemampuan deskripsi-impresionistik pelukisnya. Di situ ada intelektualitas, imajinasi, dan seleksi yang tumpah total pada kanvas. Ada detil-detil khas yang mungkin tak ditemuinya pada pelukis lain yang ingin ditonjolkannya. Kekuatan deskripsi-impresionistik pada ilustrasi cerpen ini yang barangkali membuatnya menjadi “tuan rumah”.

Oleh karena itu, dugaan Binhad tentang kecenderungan cerpenis yang ingin ilustrasi cerpen menjadi peneguh eksistensi cerpen mengundang satu pertanyaan lagi: tak cukupkah bahasa bagi mereka (cerpenis—R)?

Sebab, bukankah “penerjemahan setepat-tepatnya” isi cerpen melalui ilustrasi cerpen justru “memerkosa” cerpen itu sendiri? Atau, jika Binhad mengatakan ilustrasi cerpen adalah “penglaris” cerpen, bukankah hal ini mengindikasikan ada sesuatu pada daya deskripsi-impresionistik cerpen-cerpen Kompas? Kini, tanpa disadari, status ilustrasi cerpen yang dipaksakan kehadirannya oleh Kompas itu seolah-olah menjadi sparring-partner bagi cerpen-cerpen Kompas.

“Kawin Paksa” Ilustrasi Cerpen

Di sinilah letak problem etis antara ilustrasi cerpen dan cerpen Kompas. Tarik-menarik antara ilustrasi cerpen dan cerpen barangkali telah diperhitungkan oleh Kompas. Karena itu, menurut saya, ilustrasi cerpen pada cerpen Kompas sesungguhnya adalah sebuah “kawin paksa”. Memang benar tidak ada kontrak atau perjanjian apa pun antara cerpenis dan ilustrator. Sebab, pelaku “kawin paksa” ini adalah Kompas sendiri. Dan, “Pameran Ilustrasi Cerpen Kompas” seolah-olah merupakan upaya penebusan dosa.

Antara ilustrasi cerpen dan cerpen memang memiliki sifat & karakter empiris yang berbeda. Namun, dalam dunia pemikiran kontemporer, baik yang berbentuk visual maupun yang berbentuk huruf (Binhad menyebutnya tekstual) tetap saja sama-sama teks. Sebab, proses “membaca” dan “memahami” ilustrasi cerpen pun sesungguhnya dilakukan melalui dan dengan bahasa.

Jadi, tugas cerpenis sepenuhnyalah yang harus membuat cerpennya lebih “mejeng”, provokatif, melariskan dan meneguhkan cerpennya sendiri dengan menggunakan modal yang telah diberikan padanya, yaitu bahasa!

*) Kritikus Seni, Penggulat Filsafat Bahasa.

Pembakuan, namun ya pelan-pelan [eYD]

Ahmadie Thaha
http://majalah.tempointeraktif.com/

KETIKA bertugas sebagai duta besar di Kairo, Fuad Hassan mengalami kejadian lucu. Suatu hari, Fuad yang kini Menteri P dan K itu bertemu dengan dua rekan dari tanah air, masing-masing bernama Amir dan ‘Amir. Mereka hendak bertamu ke Presiden Mesir. Mereka mencatatkan nama di buku tamu. Tapi ternyata hanya Amir yang diizinkan masuk, karena ia dikira salah seorang menteri dari Indonesia.

Maklum, dalam bahasa Arab, amir artinya memang “menteri”. Sementara itu, Amir lainnya (yang menuliskan namanya dengan huruf Arab, ‘Amir), ditolak. Petugas keamanan kepresidenan Mesir rupanya bingung. Sebab, dalam bahasa Arab, ‘amir artinya “penduduk”. Rupanya, ia menuliskan huruf pertama namanya dengan ‘ain, bukan dengan alif. Padahal, di Indonesia mereka sama-sama menuliskan nama: Amir. Tapi di Kairo salah seorang di antara mereka ternyata salah tulis.

“Karena itu, menulis transliterasi harus hati-hati,” kata Fuad tersenyum, ketika menandatangani Surat Keputusan Bersama tentang Pedoman Transliterasi Arab-Latin dengan Menteri Agama Munawir Sjadzali 22 Januari lalu di Departemen Agama. Pedoman itu dibakukan dari hasil penelitian sebuah tim yang dibentuk Pusat Penelitian dan Pengembangan Lektur Agama Depag Tim terdiri dari H. Sawabi Ihsan, M.A. (Puslitbang Lektur Agama), Prof. Dr. H.B. Jassin (ahli bahasa), Prof. Drs. H. Gazali Dunia (ahli bahasa), H. Ali Audah (pengarang dan penerjemah), dan Drs. Sudarno (IAIN Jakarta).

Menurut Sawabi, dalam penelitian sejak 1983 hingga 1986, ditemukan 14 model transkripsi yang hampir sama. Tidakkah pedoman yang baru dibakukan itu akan menambah yang sudah ada? “Tidak. Justru untuk menyeragamkan, hingga bisa digunakan secara nasional,” jawab Sawabi. Selama ini sudah ada usaha penyeragaman - baik oleh instansi maupun perorangan. Namun, hasilnya belum bisa dipakai secara nasional. Misalnya yang digunakan Pondok Modern Gontor Ponorogo atau IAIN Jakarta.

Pedoman transliterasi itu disusun sejalan dengan Ejaan Yang Disempurnakan (EYD), sementara huruf Arab yang belum ada padanannya dalam huruf Latin dicarikan padanan dengan memberi tambahan tanda diakritik - dengan syarat satu fonem satu lambang. Dia kritik itu berupa titik di atas atau di bawah sebuah huruf. Tapi dengan cara ini, akibatnya terjadi pengulangan. Misalnya s, yang dalam bahasa Indonesia hanya dipergunakan untuk satu macam bunyi, setelah ditambah diakritik bisa menggantikan tiga huruf Arab, sin, tsa, dan shad.

Sebenarnya, padanan dalam pedoman resmi ini tak banyak beda dengan transliterasi yang selama ini dikenal secara umum. Misalnya huruf sy masih tetap untuk huruf Arabsyin, atau kh tetap untuk kha’. Hanya ada satu yang berubah sama sekali, yakni cara menulis ‘ayn. Huruf itu tidak lagi ditulis dengan apostrof - koma di depan bagian atas huruf a - tapi dengan koma terbalik, yang tidak ada pada mesin ketik dan komputer. Jadi? “Kami terpaksa menuliskannya dengan tangan,” kata Abdul Wahib Mu’thi, mahasiswa pascasarjana IAIN Jakarta.

Cara ini ternyata telah lama mereka praktekkan, karena tidak ada mesin ketik yang memiliki tanda koma terbalik. Di samping ketentuan menuliskan konsonan, juga ditetapkan cara menuliskan vokal, yang tunggal dan rangkap. Juga maddah (vokal panjang), syaddah (konsonan rangkap), kata sandang, dan sebagainya. Tapi cara menulis konsonan rangkap seperti kaifa (artinya “bagaimana”) dalam pedoman transliterasi ini tampaknya memerlukan pemikiran kembali.

“Selama ini saya biasa menuliskannya dengan kayfa,” kata Nurcholish Madjid. Kenapa? Alasan Nurcholish, vokal tunggal i dalam ka-i-fa dengan vokal rangkap ai atau ay dalam kay-fa bisa rancu. Meski maksud maknanya sama, bila cara menuliskannya berbeda, artinya pun lain. Jadi, kaifa dibaca ka-ifa (yang tidak ada dalam bahasa Arab) ataukah kai-fa (yang berarti “bagaimana”)? Berdasarkan pedoman ini, sebuah ayat Quran yang ditulis: Wa innallaha lahua khair arraiqin (Sesungguhnya Allah sungguh sebaik-baik pemberi rizqi). Lahuwa, yang terdiri huruf lam - ha - wau, dalam pedoman ini ditulis lahua. Bagaimana membacanya, la-hu-a (dengan mengucapkan huruf terakhir a sebagai a) ataukah lahuwa? “Dalam transliterasi, yang penting pengalihan huruf, bukan lafal,” ujar Nurcholish, yang kurang menyetujui pedoman transliterasi itu.

Ia lebih menyetujui pedoman yang ditetapkan The International Journal of Middle-Eastern Studies, yang berlaku secara internasional. Tapi tim pembaku bukannya tak punya alasan kuat. “Kami merumuskan transliterasi yang sesuai dengan lidah Indonesia,” ujar Ali Audah. Menulis kaifa (bukan dengan kayfa), katanya lebih cocok dengan pengucapan bahasa Indonesia. Cara kerja tim juga cukup cermat, misalnya meneliti 14 pedoman transliterasi, lalu mendiskusikannya secara berkala. “Lagi pula, pedoman ini lebih mudah dari transliterasi yang lain. Selain sejalan dengan EYD, kode-kodenya juga tidak rumit. Bahkan juga bisa membantu perkembangan bahasa Indonesia,” kata Jassin. Misalnya dengan lahirnya istilah-istilah baru dalam menerjemahkan buku.

Pedoman transliterasi yang baku memang diperlukan. Seperti kata Munawir Sjadzali, “Sebab selama ini banyak buku Islam, baik terjemahan maupun karya asli, yang terbit di Indonesia. Agar pemahamannya epat, diperlukan penyeragaman transliterasi.” Tapi bakal muluskah pelaksanaannya? Sawabi Ihsan optimistis, meski penerapannya — minimal dalam masyarakat perbukuan — ya, harus pelan-pelan. Sebab, banyak kalangan yang selama ini sudah telanjur dan terbiasa menggunakan transliterasi Arab-Latin yang sudah baku di dunia internasional. Misalnya selain Nurcholish dan ilmuwan lain, juga penerbit seperti Pustaka Firdaus, Jakarta, yang banyak menerbitkan terjemahan buku Islam.

Perempuan Yang Menanti

Wina Bojonegoro
http://sastra-bojonegoro.blogspot.com/

Stasiun Pasar Turi selalu penuh sesak di malam hari. Lalu lalang manusia, bagai aliran sungai yang tak kenal henti, berbaur aneka kepentingan, bau badan, penjual koran, kuli angkut dan tak lupa calo. Beberapa menit lagi kereta Argo Bromo akan membawaku pulang ke Jakarta, pada rutinitas kehidupan yang sesungguhnya. Baru saja melangkahi peron, pengumuman sudah berkumandang, kereta telah siap di jalur satu. Tapi aku belumlah selesai. Perempuan ini aku tenteng kemari agar aku sempat bicara, semalam dan sepagian, bahkan sesiangan ini aku terlalu asyik mendengarkannya hingga tak ada waktuku bicara. Kini saatnya.

Kami duduk bersisihan di ruang tunggu dalam, sekali lagi kuamati profilnya dari samping. Dia wanita yang lelah, tetapi memiliki keteguhan dan kemampuan menguasai diri yang besar, nyalinya juga. Memanggil tukang koran saja dia hanya perlu bersiul. Merasa kuamati dia menoleh, tersenyum manis, melanjutkan keasyikan pada halaman koran sore. Didepan umum sama sekali ia tak berusaha menampakkan gaya penghibur, benar-benar profesional. Perempuan ini dikirim petugas receptionis hotel untuk memenuhi hasrat kelelakianku.
***

Mau minum , sapaku kemarin malam.

“Saya hanya minum sari buah”, jawabnya. Seraya memainkan bibirnya supaya nampak seksi. Aku menyodorkan segelas jus buah dari minibar. Dia menyilangkan kakinya, hingga nampak separuh pahanya yang padat.

Sudah lama terjun?

“Maksud Mas, melacur? Sudah hampir 2 tahun, bulan depan tanggal 11 tepatnya”.

Hahaha… ini baru menarik! Biasanya gadis-gadis penjual diri mengaku pendatang baru, meski sudah bertahun-tahun bergerilya.

Tekanan ekonomi? Tanyaku lagi

“Oh tidak. Saya melakukan dengan sadar. Menjadi pelacur adalah sebuah pilihan hidup. Mengapa Mas bertanya?”

Hanya ingin tahu. Broken home barangkali?

Wanita bertetek besar itu menerawang, matanya berputar-putar, melirikku dengan profesional.

“Mengapa aku harus berkata jujur pada sampeyan? Kalau kukatakan aku melacurkan diri karena tekanan ekonomi, apakah sampeyan mau menambahkan tips untuk saya? Atau jika karena broken home, apakah sampeyan bisa membiayai konsultasi psikiater dan menyediakan rumah singgah bagi para pelacur tanpa germo seperti saya? Sampeyan, seperti halnya para pemakai lainnya, tak akan mampu berbuat apa-apa untuk kami karena kalian menikmati keberadaan kami. Dan kenapa saya menjual diri? Alasan itu sungguh beragam. Tergantung dengan siapa saya berhadapan dan untuk kepentingan apa. Kalau sampeyan wartawan, saya akan mengakui alasan yang paling klasik, kemiskinan. Tapi mengapa sampeyan peduli?

Pelacuran ada dimana-mana dalam seluruh strata kehidupan. Dalam strata paling rendah terjadi di stasiun Wonokromo, di rumah-rumah gubug dengan bayaran hanya 10 ribu rupiah. Dalam Strata akademis ada dosen dengan mahasiswi, sesama mahasiwa di rumah kos mereka, atau sesama mahasiswa S2 yang mengerjakan tugas dalam sebuah kamar hotel berbintang. Ada teman kantor yang bobok siang atau tugas luar kota seperti sampeyan ini”.

Mereka, seperti sesama mahasiswa itu melakukan dengan cinta. Itu bukan prostitusi, kataku

“Prostitusi dan perzinahan adalah bagaikan dua sisi mata uang”, balasnya dingin. “Kasihan sekali jika setiap perzinahan selalu mengatasnamakan cinta. Tidakkah mereka malu berkata itu? Mengotori cinta yang agung dengan cairan jorok. Ada suami yang mengaku terpelajar tapi menggadisi perawan dengan dalih cinta. Ada sahabat yang tidur bersama dengan dalih cinta. Lalu kenapa aku melacur? Ini adalah karena cinta!
Haha! Cinta??

Aku begitu mencintai suamiku, sangat mencintainya. Dia memungutku dari kesepian yang hampa dan keterasingan. Dia menawarkan aku mimpi yang dimiliki seluruh perempuan, menikah dan punya anak! Aku bermimpi punya 5 anak, supaya hidupku meriah. Tapi aku perempuan baki. 6 tahun perkawinanku sia-sia.

Aku bukan perempuan beruntung!

Sekalipun kata simbah kelahiranku adalah tanggal tertinggi menurut almanak Jawa. Dalam pawukon, Sabtu Pahing adalah jumlah tertinggi, maka sesiapapun dilahirkan pada nepton itu, dia akan berjaya, dan peruntungannya tinggi. Tapi simbah salah, mungkin aku bukan terlahir pada nepton itu, bisa saja aku tergolong Ahad Pon jika kelahiranku lewat ashar. Orang Jawa menghitung waktu itu sebagai hari berikutnya.”

“Simbah, jam berapa aku lahir? Siapa yang menolong kelahiranku? Apa dia memotong peranakanku sehingga baki begini? Mengapa kau pulang tergesa-gesa? Setidaknya tunggulah sampai aku mempersembahkan seonggok daging hidup kemerahan yang meronta-ronta dan disebut orok. Atau buatkan aku jejamuan penyubur rahim jika orok itu tak juga muncul, atau pijatlah perutku ini agar bagus benar letak peranakanku. Sayang kau tak sempat menyaksikanku mencuci kaki suamiku di pelaminan.

Seharusnya kaulah yang menyiramkan air kembang setaman ke tubuhku di malam midodareni. Tapi kurasa kau pasti ada disitu malam itu, ditandai aroma susur yang tak perah lepas dari bibirmu. Kau pasti sedang bercengkerama dengan sesama arwah yang kau boyong dari surga, cangkruk di atas pohon sawo, tempat yang kau yakini sebagai favorit makluk halus. Kau pasti tengah berceloteh dengan mereka tentang masa kecilku, masa ketika aku tak dapat tidur sebelum menggerayangi tetekmu dibalik kutang lebar berkancing besar. Simbah, betapa aku menyayangimu!”

“Suamiku yang aku cintai itu pergi. Katanya pingin cari isteri yang subur. Ia tak peduli pada rasa sakitku, kehampaanku, sedihku, sepiku. Aku ingin mengatakan padanya ini bukan salahku. Kemandulan adalah kehendak Tuhan. Sama sekali aku tak memilih, apalagi meminta. Ini adalah karena aku terlahir pada Ahad Pon, bukan Sabtu Pahing seperti dirayakan simbah dengan bubur merah putih. Tetapi aku yakin, suatu saat nanti suamiku itu pasti kembali ke pelukanku, berlutut sembari bilang, maafkan aku isteriku. Marilah kita hidup berdua sampai dunia kiamat, hidup atas nama cinta, dengan atau tanpa keturunan.”

“Ia pasti kemballi suatu hari nanti, karena ternyata wanita-wanita diluaran itu tak cukup punya kasih sayang seperti yang kualirkan ke dalam setiap aliran nadinya. Kalau satu dua hari tak pulang, minggu depan ia pasti pulang. Mungkin bulan depan, atau tahun depan. Suamiku yang aku cintai itu tidak meninggalkanku, dia hanya kehilangan kesabaran.”

“Suamiku, betapa aku merindukanmu!

Dibalik jendela kaca buram itu aku selalu menantimu pulang, dengan harapan dan kecemasan. Menanti keajaiban! Namun setiap menyadari waktu berlalu dan tak ada tanda-tanda kau akan kembali, kakiku terasa membeku. Hatiku kosong. Tak tahukan kau arti kata mencintai? Dari kata CINTA. Dia adalah gabungan antara penyerahan, kepemilikan, pengabdian dan birahi. Kau tak paham? Barangkali aku harus mengajarimu lagi, suatu hari nanti jika kau kembali.

Tahukah kau, aku mengkhawatirkanmu. Siapa yang akan membersihkan telingamu? Kau suka meletakkan kepalamu di pangkuanku dengan sebotol Baby Oil dan beberapa batang cotton bud. Siapa pula yang akan membersihkan jerawatmu? Kau gemar bertelanjang dada, bahkan cuma ber kancut, menyerahkan punggungmu untuk ku raba dan kucongkel jerawat liar disana. Dan siapakah yang akan membuatkanmu semangkuk Indomi rebus dengan telur, sawi, bawang bombai dan teri medan?. Berapa musimkah kau pergi, suamiku yang kucintai? Mungkin tujuh, mungkin delapan. Segalanya tak pasti. Waktu berlalu dan dunia menua.”
***

“Tapi kamu belum tua,” kata temanku suatu hari

“Kamu hanya perlu mandi”, katanya.

Kenapa aku harus mandi? Hanya wanita yang mengharap kekasihnya datang saja yang wajib mandi dan berharum-harum. Apakah aku masih boleh berharap?

“Kamu dulu cantik bukan? Kenapa harus kehilangan kecantikanmu hanya karena ditinggal suami? Laki-laki yang tak bisa dicintai tak perlu lagi diperjuangkan. Kata Jostein Gaarder, tak ada gunanya mengejar sesuatu yang memang ingin lari. Ayo kamu mandi. Kudandani kamu ya, biar cantik lalu kita bersenang-senang”.

Aku dibawa ke salon. Mandi lulur, mandi susu, manicure, padicure, creambath, facial. Sehari suntuk. Mereka mendandani aku laiknya seorang puteri. Hmmmm..alangkah nikmatnya menjadi kaya, dapat membeli apapun, bahkan kecantikan.

“Tak ada kenikmatan yang gratis”, katanya.

“Supaya bisa begini terus, kau harus cari uang. Lihat, kau hampir tak dapat mengenali dirimu sendiri bukan? Kamu harus berpenghasilan untuk menjadi cantik. Sebaliknya, agar penghasilanmu tinggi, kau harus cantik, luar dalam. Harus baca koran. Nonton tivi. Khususnya berita. Laki-laki tak suka bidadari bodoh. Meskipun laki-laki itu sendiri makluk bodoh…hihii….kita hanya perlu berpura-pura orgasme untuk membuat mereka klimaks. Dasar bodoh!”

Laki-laki? Kenapa aku harus berhubungan dengan laki-laki?

“Karena hanya laki-laki lah yang suka menikmati kecantikan wanita. Kecuali kamu lesbi.”
***

“Sejak itu aku menjadi wanita profesional. Dibayar jam-jamaan. Tiba-tiba hidup menjadi bergairah, karena aku punya tujuan. Setidaknya untuk tetap cantik.”

Kamu masih cantik kok.

“Dan aku tak pernah pake kondom.”

Iya, aku juga tak suka pake kondom, rasanya tidak enak.

“Bukan itu alasanku. Aku ingin salah satu laki-laki hidung belang itu menghamili aku. Supaya dapat kutunjukkan pada suamiku tercinta, aku bukan perempuan baik!”

Dan kau tidak hamil?

“Tidak! Mungkin sperma para lelaki itu busung, atau encer, terlalu sering tumpah dimana-mana.”
***

Semalam itu hanya sekali kami bersebadan, selebihnya hanya berbincang sampai subuh. Aku mengajaknya ke Stasiun Pasar Turi ini karena aku harus mengatakan sesuatu,
Kenapa tidak menikah lagi, dengan orang yang tak perlu anak lagi?

“Aku tak punya cukup cinta buat orang lain. Suamiku sudah mengambil seluruhnya.”

Cinta tak mutlak harus ada dalam perkawinan, status dan rasa aman lebih penting.

“Kenapa aku harus menjual diriku hanya pada satu orang? Jika kepada banyak orang aku bisa mendapat uang lebih? “

Bagaimana jika ada pelangganmu yang mengajak menikah?

“Tidak.”

Mengapa?

“Laki-laki yang meniduri lonte pastilah dia lebih lonte dari pada lonte itu sendiri.”

Sby,11 Januari 2002

Mual

Gde Artawan
http://www.balipost.com/

Tiga bulan terakhir ini aku merasakan kondisi yang sangat tidak mengenakkan. Aku merasa mual. Sungguh. Tidak lantaran kondisiku yang agak terkuras setelah menjadi pengantin baru, bukan pula lantaran Leny — wanita kampung biasa-biasa saja yang kini jadi istriku — hamil, tidak. Rasa mual ini menghantamku secara membabibuta tanpa aku diberi penjelasan yang komprehensif, paling tidak secara nalar dapat dirunut sebab musababnya.

TERKADANG aku pasrah dengan kondisi yang kau derita tanpa mencoba mencari latar belakang penyebabnya. Terkadang aku percaya bahwa kodrat bisa seenaknya menari-nari di tengah kebingunganku membaca gelagatnya. Tapi dalam rentang waktu yang tidak jauh berselang, aku berontak terhadap kondisi yang menerpaku: mual. Aku berontak dengan mencoba kemampuan inteligenku mencari tahu penyebab aku mual dan mencoba mencari penawar agar rasa mual itu bisa hilang.

Aku tak gampang menyerah. Untuk persoalan mual ini, kecuali sikap menyerahku pada Leny yang akhirnya mampu menutup perjalanan malang melintang petualanganku sebagai bajingan perempuan. Aku tantang setiap oknum yang mengalirkan rasa mual itu ke tubuhku. Oknum itu mungkin alam, mungkin manusia, atau kekuatan supranatural sekalipun. Aku tantang jika ternyata ada latar belakang atau kepentingan apapun yang mendasari dihujamkannya rasa mual itu ke tubuhku.

Jika ada konfigurasi terstruktur hingga rasa mual itu dengan sukses masuk ke tubuhku, aku tantang agar konfigurasi itu skalanya dimaksimalkan dan ditingkatkan lagi kadar mual yang menderaku. Hasilnya tetap nihil. Aku berada pada jalur yang dilematis. Saat aku pasrah, rasa mual itu makin menjadi-jadi menggelayuti perutku; ketika aku berontak, rasa mual itu tetap saja dengan keperkasaannya menunjukkan sikap arogan bahwa dia tak tergoyahkan apalagi terkalahkan. Aku mual.

Mula-mula aku merasa mual dengan lingkungan rumahku. Setiap aku melihat pepohonan perutku terasa mual ingin muntah. Aku tak tahu penyebabnya mengapa setiap kali aku melihat pepohonan perutku muat. Semula aku berpikir barangkali letak pepohonan yang menimbulkan kesan monoton perlu dilakukan penataan ulang, atau semacam reaksi represif dari pepohonan itu dalam wujud protes agar dilakukan reorganisasi menyeluruh. Aku mencoba menata ulang pepohonan di halaman rumah, semacam mutasi lokal. Aku atur letaknya, sebagian aku tata, aku kurangi, aku lakukan pergantian wadah: tanaman yang semula ada dalam pot aku pindahkan ke tanah pekarangan, sebaliknya pepohonan yang bisa aku pindahkan ke dalam pot aku tempatkan dalam pot.

Hasilnya tetap nihil, aku tetap mual. Selanjutnya aku babat habis pepohonan di halaman rumah. Kepada istriku yang terbengong-bengong melihat tindakanku membabat pepohonan, kujelaskan bahwa untuk terbebas dari rasa mual yang menyerangku aku harus membabat habis pepohonan di halaman rumah. Istriku cukup bijaksana memaklumi sikapku. Paling tidak dia tidak mengajukan keberatan atas tanaman yang sangat dicintainya berserakan menjadi patahan dahan, ranting, dan daun-daunnya. Aku sempat teringat penyair Umbu Landu Paranggi yang menyitir perkataan almarhum Reneng, ”mencintai pepohonan berarti kita sehat”. Sekarang aku sakit, bang Umbu. Melihat pepohonan aku mual, makanya aku babat habis pepohonan di halaman rumah agar aku bisa merdeka dari rasa mual. Tapi tetap saja rasa mual itu menderaku.

Rasa mualku kian menjadi-jadi. Makin hari makin menjalar pada objek dan sasaran yang lain. Jika semula aku hanya mual pada pepohonan, episode selanjutnya aku mual pada aktivitias yang lain, membaca koran misalnya. Setiap kali aku membaca koran, aku merasa mual. Aku merasa mual membaca berita tentang negeri Indonesia yang menunjukkan prestasi sangat lumayan di peringkat negara terkorup. Hampir-hampir di depan umum aku muntah ketika baca koran yang memberitakan hasil temuan BPK tentang APBN 2002 yang mengalami kebocoran sampai 62,9 trilyun rupiah. Aku juga merasa mual membaca situasi politik yang carut-marut, kondisi ekonomi, kondisi sosio-kultural, sampai-sampai kehidupan religiusnya yang mengalami degradasi. Aku juga mual mendengar berita melalui media elektronik. Aku merasa mual memirsa adegan di televisi saat mahasiswa digebuki aparat kepolisian ketika melakukan demo, padahal tahun 2003 dicanangkan sebagai tahun tanpa kekerasan.

Aku lari, lari menghindar dari sajian informasi media cetak dan elektronik. Aku takut kalau rasa mual itu pada akhirnya membuat aku menjadi sakit dan tak berdaya. Aku datangi kawan-kawan lama, kawan-kawan seniman yang sering aku ajak bicara soal keindahan, bicara tentang kenikmatan kata yang merasuk ke hati memberi kesegaran luar biasa. Aku dahaga siraman kreatif air kesenian yang menyebabkan aku segar, bebas dari rasa mual dan menjadi manusia sehat, manusia penuh ketenangan tanpa diperbudak dan dijajah rasa mual berkepanjangan. Aku harap dengan menjumpai mereka muncul inspirasi baru agar aku bisa kembali kreatif mencipta, paling tidak terbebas dari rasa mual.

Malam itu kebetulan ada undangan salah seorang rekan seniman baca cerpen. Aku ingin memberi suasana baru bagi perjalanan berkesenianku. Aku ajak istri untuk datang menyaksikan acara baca cerpen itu — selama ini aku tak pernah melakukannya. Aku bayangkan dahaga akan cipratan air kesenian dan bertemu rekan-rekan lama akan membuatku menjadi segara bebas dari rasa mual.

”Setelah kita kehilangan pepohonan, kita masih punya kesenian, Leny,” kataku pada istriku ketika ia bertanya ke mana tujuan kami malam itu.

Aku terhenyak di depan pagar halaman tempat acara baca cerpen dilaksanakan. Istriku dengan segera memaklumi kondisiku.

”Mual, Pa?”

Bukannya cipratan air segar kesenian yang menyiramku, tapi semacam air limbah yang tak jelas unsur-unsurnya dan membuat aku terhempas ke dalam rasa mual seperti sediakala. Ah, aku tak menyerah, barangkali itu semacam hembusan angin jahat yang mencoba menggoyahkan spirit apresiasiku pada peristiwa kesenian. Rasa mual aku anggap menjadi semacam provokator yang ingin memisahkan aku dari dunia yang sempat menafasiku. Aku menyeret langkah memasuki aula disertai istriku. Aku mengambil posisi duduk yang strategis dimana aku bisa menonton peristiwa kesenian malam itu.

Acara belum dimulai, tetapi rasa mual itu makin menjadi-jadi. Aku merasa mual melihat rekan-rekan yang bergaya sibuk mempersiapkan acara. Aku merasa seakan-akan berada dalam sebuah pasar dimana ada transaksi jual beli, paling tidak jual beli pengakuan untuk tetap disebut sebagai seniman, walaupun sudah tak berkarya lagi. Hampir satu jam aku bertahan dengan rasa mual — hampir-hampir berubah menjadi muntah, acara kesenin yang kutunggu-tunggu belum dimulai. Jika pun muncul dialog yang mengawali acara malam itu, bagiku tak lebih hanya klangenan semata, penuh basa-basi ekspose masa lalu dalam lingkaran pertemanan: tak ada substansi yang menyangkut peristiwa kesenian yang memberikan sinergi untuk membuat aku bisa bertahan di aula itu.

Kecenderungan untuk ngomong lebih dominan daripada keinginan untuk mendengar. Substansi dari acara malam itu sesungguhnya adalah mendengar rekan baca cerpen, tidak saling silang berbicara menggelindingkan teori sepotong-sepotong tentang sastra yang sebenarnya telah diberi ruang sangat terhormat di luar ruang kesenian malam itu. Kesempatan emasku untuk bisa mendengar telah dirampas rekan-rekan malam itu. Kesempatan untuk bisa merasuk ke dalam ”dunia” rekaan yang terakumulasi dalam cerpen yang akan dibaca seorang rekan telah terang-terangan dirampok oleh orang-orang yang petantang petenteng bergaya pegiat kesenian. Ini menambah kualitas rasa mualku. Sebelum rasa mual berevolusi menjadi muntahan isi perutku, aku seret istriku untuk pulang, sekalipun hujan turun cukup deras. ”Pulang?” istriku hanya sekadar meminta ketegaran sikapku. ”Kita tidak lagi memiliki kesenian, Leny! Mereka telah membabat habis areal kesenian kita,” jawabku tegas.

Tanpa penjelasan apapun istriku cukup bijaksana untuk mengikuti kemauanku.
Aku pulang didera hujan dan rasa mual yang menjadi-jadi. Di rumah aku tak kuasa menahan rasa mual yang sangat tidak mengenakkan. Aku berusaha muntah agar sedikit terbebas dari rasa mual, hasilnya tetap nihil. Esoknya aku pergi ke dokter. Aku terkejut ketika dokter mengatakan aku tak apa-apa. Dengan tenang dokter mengatakan kalau aku sehat walafiat. Bah, aku mulai curiga ternyata rasa mual yang menderaku telah memiliki jaringan yang cukup luas. Ia bisa mengakses relasi dengan dokter, sehingga dengan tanpa beban sedikitpun dokter mengatakan kalau aku sehat walafiat. Dokter telah mengkhianati kemanusiaanku, paling tidak mengkhianati keberadaan yang sesungguhnya. Diagnosa yang mengarah pada simpulan aku sehat memberi kontribusi yang sangat signifikan bagi kualitas rasa mualku.

Ya, Tuhan aku mual sementara orang mulai tak mempercayaiku. Aku mulai curiga pada setiap orang yang kujumpai. Jangan-jangan telah terjadi konfigurasi tingkat tinggi yang menjerembabkan aku ke jurang rasa mual yang lebih dalam. Aku hampir saja melaporkan hal ini ke polisi. Kemanusiaanku terancam. Rasa mual telah menyebarkan perasaan tak enak, hingga secara pidana dapat dituntut di muka hukum. Ini membuat aku menjadi semacam barang rongsokan yang tak memiliki daya untuk melakukan apa saja. Aku menjadi manusia yang tak produktif.

Aku tambah terkejut ketika istriku merespon agak keras keinginanku untuk lapor polisi. Dan kami sempat bersitegang, istriku menganggap niatku lapor polisi sebagai tindakan konyol. Bah, ternyata rasa mual itu telah mempengaruhi istriku dan bersama-sama dokter istriku telah berkolaborasi untuk menampik kondisi realku tentang rasa mual. Harga diriku terhempas, keberanian istriku untuk menentangku kuanggap sebagai isyarat mulai kehilangan kesetiaan, kehilangan komitmen untuk menjadi teman hidup terbaik suka dan duka. Jika aku lapor polisi, akupun sangsi jangan-jangan polisi pun berkolaborasi dengan dokter dan istriku untuk sama-sama menyatakan aku sehat-sehat saja. Aku mulai merasa mual pada dokter, polisi dan istriku.

Aku berharap datang pada tokoh spiritual atau ke paranormal sekalipun. Dalam teropong mata batin, dalam teropong secara niskala tentu akan diperoleh jawaban yang menyejukkan tentang si mual tersebut. Tapi, aku mulai didera sikap krisis kepercayaan kepada siapa saja. Keinginan itu aku bunuh diam-diam.

Malam tilem kaulu — saat bumi, bulan, dan matahari berada dalam satu garis lurus, yang dikenal dengan bulan gelap penuh — aku merasakan hatiku gelap gulita bercampur dengan rasa mual yang luar biasa. Di kamar aku sendiri tertelungkup lalu rebah dan berguling-guling. Istriku sudah tujuh hari pulang ke Sudaji karena aku agak keras memarahinya saat kami bersitegang. Kepalaku tiba-tiba menjadi pusing, tubuhku gemetaran dan tulang-tulangku serasa rontok. Aku sempat berpikir jika ternyata rasa mual itu tidak saja berkolaborasi dengan dokter, istriku, polisi, tetapi sudah berkolaborasi dengan penyakit penyakit yang lain.

Aku mengerang memanggil-manggil istriku, kenapa ia tidak ada di sampingku ketika aku butuh seseorang yang bisa mendengar eranganku. Aku berguling-guling menahan rasa mual dan rasa sakit yang lain. Kolaborasi rasa mual dan rasa sakit yang lain membuat aku merasa telah kehilangan kesejatian tubuh. Aku melihat samar-samar sesosok tubuh lelaki hampir separuh baya berperawakan gemuk, agak pendek, berguling-guling mengerang kesakitan. Dalam erangannya muncul suara seakan-akan ia memanggil-manggil sesuatu. Dari berguling-guling kulihat ia mangambil posisi duduk bersila, sama-sama pula kedua tangannya mengambil posisi mudra, lalu tercakup jadi satu di atas ubun-ubun.

Lama-kelamaan aku seperti mengenali sosok tubuh yang duduk bersila sambil mengerang itu. Aku dan sosok yang kukenali itu mengerang secara bersama-sama, duduk dalam posisi yang sana. Cakupan tangan menembus langit-langir kamar, langit jagat raya semesta. Erangan yang muncul secara bersama-sama dengan irama, tempo, nada, diction yang sama seakan musik hening yang menembus kepekatan tilem kaulu. Di tengah kepekatan malam itu, aku secara samar-samar bisa mengenali wajah sosok lelaki separuh baya itu.

”Beli Gede?” sosok tubuh di depanku seakan bertanya ragu.

Di tengah campuran rasa mual dan rasa sakit yang menjadi-jadi, aku mengangguk, dan tiba-tiba kami bisa tersenyum. Lalu begitu senyuman telah menggumpal banyak, meledaklah jadi tawa lantang. Ya, kami sama-sama tertawa di tengah di tengah kepekatan malam tilem kaulu, di tengah kebersamaan didera rasa mual dan sakit yang tak jelas kapan berkesudahan. Kami terus tertawa, tertawa, menertawakan diri masing-masing.

Maret 2003

A Musthafa A Rodhi Murtadho A Wahyu Kristianto A. Mustofa Bisri A. Qorib Hidayatullah A. Zakky Zulhazmi A.J. Susmana A.S. Laksana Aang Fatihul Islam Abdul Azis Sukarno Abdul Aziz Rasjid Abdul Hadi W. M. Abdul Kadir Ibrahim Abdul Malik Abdul Wachid BS Abdullah al-Mustofa Abdullah Khusairi Abdurrahman Wahid Abidah El Khalieqy Abimanyu Abimardha Kurniawan Abroorza A. Yusra Acep Iwan Saidi Acep Zamzam Noor Achmad Maulani Adek Alwi Adhi Pandoyo Adrian Ramdani Ady Amar Afrizal Malna Agnes Rita Sulistyawati Aguk Irawan Mn Agus R. Sarjono Agus Riadi Agus Subiyakto Agus Sulton Aguslia Hidayah Ahda Imran Ahm Soleh Ahmad Farid Tuasikal Ahmad Farid Yahya Ahmad Fatoni Ahmad Kekal Hamdani Ahmad Luthfi Ahmad Muchlish Amrin Ahmad Nurhasim Ahmad Sahidah Ahmad Syauqi Sumbawi Ahmad Yulden Erwin Ahmad Zaini Ahmadie Thaha Ahmadun Yosi Herfanda Ainur Rasyid AJ Susmana Ajip Rosidi Akhiriyati Sundari Akhmad Muhaimin Azzet Akhmad Sekhu Alan Woods Alex R. Nainggolan Alexander Aur Alexander G.B. Alfian Dippahatang Ali Audah Ali Rif’an Aliela Alimuddin Alit S. Rini Alunk Estohank Ami Herman Amich Alhumami Amien Wangsitalaja Aming Aminoedhin Aminudin TH Siregar Ammilya Rostika Sari An. Ismanto Anaz Andaru Ratnasari Andhi Setyo Wibowo Andhika Prayoga Andong Buku #3 Andrenaline Katarsis Andri Cahyadi Angela Anies Baswedan Anindita S Thayf Anjrah Lelono Broto Anton Kurnia Anton Sudibyo Anton Wahyudi Anwar Holid Anwar Siswadi Aprinus Salam Arie MP Tamba Arif Hidayat Arif Zulkifli Arti Bumi Intaran Asarpin Asep Sambodja Asvi Warman Adam Awalludin GD Mualif Ayu Utami Azyumardi Azra Babe Derwan Bagja Hidayat Balada Bandung Mawardi Bayu Agustari Adha Beni Setia Benni Setiawan Benny Benke Bentara Budaya Yogyakarta Berita Bernadette Lilia Nova Bernando J. Sujibto Berthold Damshäuser Bhakti Hariani Binhad Nurrohmat Bokor Hutasuhut Bonari Nabonenar Brunel University London Budaya Budhi Setyawan Budi Darma Budi Hutasuhut Budi P. Hatees Budi Winarto Buku Kritik Sastra Buldanul Khuri Bustan Basir Maras Camelia Mafaza Capres dan Cawapres 2019 Catatan Cecep Syamsul Hari Cerpen Chairil Anwar Chamim Kohari Choirul Rikzqa D. Dudu A.R D. Dudu AR D. Zawawi Imron Dahono Fitrianto Dahta Gautama Damanhuri Damar Juniarto Damhuri Muhammad Damiri Mahmud Dantje S Moeis Darju Prasetya Darma Putra Darman Moenir Darmanto Jatman Dedy Tri Riyadi Delvi Yandra Denny JA Denny Mizhar Dewi Anggraeni Dian Basuki Dian Hartati Dian Sukarno Dian Yanuardy Diana AV Sasa Dinar Rahayu Djenar Maesa Ayu Djoko Pitono Djoko Saryono Doddi Ahmad Fauji Dody Kristianto Donny Anggoro Donny Syofyan Dorothea Rosa Herliany Dwi Cipta Dwi Fitria Dwi Pranoto Dwi S. Wibowo Dwicipta Edeng Syamsul Ma’arif Edi Warsidi Edy Firmansyah EH Kartanegara Eka Alam Sari Eka Budianta Eka Kurniawan Eko Darmoko Ellyn Novellin Elnisya Mahendra Emha Ainun Nadjib Emil Amir Engkos Kosnadi Esai Esha Tegar Putra Evan Ys F. Budi Hardiman Fadly Rahman Fahmi Fahrudin Nasrulloh Faisal Kamandobat Fani Ayudea Fariz al-Nizar Faruk HT Fatah Anshori Fatah Yasin Noor Fatkhul Anas Fatkhul Aziz Felix K. Nesi Film Fitri Yani Franditya Utomo Fuska Sani Evani Gabriel Garcia Marquez Gandra Gupta Garna Raditya Gde Artawan Geger Riyanto Gendhotwukir George Soedarsono Esthu Gerakan Surah Buku (GSB) Goenawan Mohamad Grathia Pitaloka Gunawan Budi Susanto Gunawan Tri Atmojo H. Supriono Muslich H.B. Jassin Hadi Napster Halim H.D. Hamberan Syahbana Hamidah Abdurrachman Han Gagas Hardi Hamzah Haris del Hakim Haris Priyatna Hasan Aspahani Hasan Gauk Hasan Junus Hasnan Bachtiar Helvy Tiana Rosa Helwatin Najwa Hendra Junaedi Hendra Makmur Hendriyo Widi Ismanto Hepi Andi Bastoni Heri Latief Heri Listianto Herry Firyansyah Heru Untung Leksono Hikmat Darmawan Hilal Ahmad Hilyatul Auliya Holy Adib Hudan Hidayat Hudan Nur Husnun N Djuraid I Nyoman Suaka Ibnu Rizal Ibnu Rusydi Ibnu Wahyudi IGK Tribana Ignas Kleden Ignatius Haryanto Iksan Basoeky Ilenk Rembulan Ilham khoiri Imam Jazuli Imam Nawawi Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Iman Budi Santosa Imelda Imron Arlado Imron Tohari Indiar Manggara Indira Margareta Indra Darmawan Indra Tjahyadi Indra Tranggono Indrian Koto Ingki Rinaldi Insaf Albert Tarigan Intan Hs Isbedy Stiawan ZS Ismail Amin Ismi Wahid Ivan Haris Iwan Gunadi Jacob Sumardjo Jafar Fakhrurozi Jajang R Kawentar Janual Aidi Javed Paul Syatha Jean-Marie Gustave Le Clezio JJ. Kusni Joko Pinurbo Joko Sandur Joko Widodo Joni Ariadinata Jual Buku Paket Hemat Julika Hasanah Julizar Kasiri Jumari HS Junaidi Jusuf AN Kadir Ruslan Kartika Candra Kasnadi Katrin Bandel Kenedi Nurhan Ketut Yuliarsa KH. Ma'ruf Amin Khaerudin Khalil Zuhdy Lawna Kholilul Rohman Ahmad Komunitas Deo Gratias Komunitas Teater Sekolah Kabupaten Gresik (KOTA SEGER) Korrie Layun Rampan Krisandi Dewi Kritik Sastra Kucing Oren Kuswinarto Langgeng Widodo Lathifa Akmaliyah Latief S. Nugraha Leila S. Chudori Lenah Susianty Leon Agusta Lina Kelana Linda Sarmili Liston P. Siregar Liza Wahyuninto M Shoim Anwar M. Arman A.Z. M. Fadjroel Rachman M. Faizi M. Harya Ramdhoni M. Kasim M. Latief M. Wildan Habibi M. Yoesoef M.D. Atmaja Mahdi Idris Mahmud Jauhari Ali Mahwi Air Tawar Malkan Junaidi Maman S. Mahayana Mardi Luhung Marhalim Zaini Maria hartiningsih Maria Serenada Sinurat Mario F. Lawi Maroeli Simbolon S. Sn Marsus Banjarbarat Marwanto Mas Ruscitadewi Masdharmadji Mashuri Masriadi Mawar Kusuma Wulan Max Arifin Melani Budianta Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia Mezra E. Pellondou Micky Hidayat Mihar Harahap Misbahus Surur Moh Samsul Arifin Moh. Syafari Firdaus Mohamad Asrori Mulky Mohammad Afifuddin Mohammad Fadlul Rahman Muh Kholid A.S. Muh. Muhlisin Muhajir Arifin Muhamad Sulhanudin Muhammad Al-Fayyadl Muhammad Amin Muhammad Azka Fahriza Muhammad Rain Muhammad Subhan Muhammad Yasir Muhammad Zuriat Fadil Muhammadun A.S Muhidin M. Dahlan Musa Ismail Musfi Efrizal Mustafa Ismail Nafi’ah Al-Ma’rab Naskah Teater Nezar Patria Nina Setyawati Nirwan Ahmad Arsuka Nirwan Dewanto Noor H. Dee Noval Maliki Nunuy Nurhayati Nur Haryanto Nurani Soyomukti Nurel Javissyarqi Nurhadi BW Nurudin Octavio Paz Oliviaks Orasi Budaya Akhir Tahun 2018 Pablo Neruda Pamusuk Eneste Panda MT Siallagan Pandu Jakasurya PDS H.B. Jassin Philipus Parera Pradewi Tri Chatami Pramoedya Ananta Toer Pramono Pranita Dewi Pringadi AS Prosa Puisi Puisi Menolak Korupsi PuJa Puji Santosa Puput Amiranti N Purnawan Andra PUstaka puJAngga Putri Utami Putu Fajar Arcana Putu Wijaya Qaris Tajudin R Sutandya Yudha Khaidar R. Sugiarti R. Timur Budi Raja R.N. Bayu Aji Rachmad Djoko Pradopo Radhar Panca Dahana Rahmadi Usman Rahmat Sudirman Rahmat Sularso Nh Rahmat Sutandya Yudhanto Raihul Fadjri Rainer Maria Rilke Raja Ali Haji Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Raudal Tanjung Banua Reiny Dwinanda Remy Sylado Resensi Revolusi Riadi Ngasiran Ribut Wijoto Ridha al Qadri Ridwan Munawwar Rikobidik Riri Riris K. Toha-Sarumpaet Risang Anom Pujayanto Rizky Andriati Pohan Robert Frost Robin Al Kautsar Robin Dos Santos Soares Rodli TL Rofiqi Hasan Rohman Budijanto Romi Febriyanto Saputro Rosihan Anwar RR Miranda Rudy Policarpus Rukardi S Yoga S. Jai S.I. Poeradisastra S.W. Teofani Sabam Siagian Sabrank Suparno Saiful Amin Ghofur Sainul Hermawan Sajak Sakinah Annisa Mariz Salamet Wahedi Salman Rusydie Anwar Samsudin Adlawi Sapardi Djoko Damono Sartika Dian Nuraini Sastra Sastra Gerilyawan Sastri Sunarti Satmoko Budi Santoso Saut Situmorang Sejarah Sekolah Literasi Gratis (SLG) SelaSastra SelaSastra ke #24 Selasih Seno Gumira Ajidarma Seno Joko Suyono Sergi Sutanto Shadiqin Sudirman Shiny.ane el’poesya Sidik Nugroho Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Simo Sungelebak Karanggeneng Lamongan Siti Sa’adah Sitok Srengenge Siwi Dwi Saputro Sjifa Amori Sofyan RH. Zaid Soni Farid Maulana Sony Prasetyotomo Sosiawan Leak Sri Wintala Achmad Sri Wulan Rujiati Mulyadi Subhan SD Suci Ayu Latifah Sulaiman Djaya Sulistiyo Suparno Sunaryo Broto Sunaryono Basuki Ks Sungatno Sunlie Thomas Alexander Sunudyantoro Suriali Andi Kustomo Suryadi Suryansyah Suryanto Sastroatmodjo Susi Ivvaty Susianna Susilowati Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Suwardi Endraswara Syaifuddin Gani Syaiful Bahri Syam Sdp Syarif Hidayatullah Tajuddin Noor Ganie Tammalele Tan Malaka Taufik Ikram Jamil Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat Teguh Trianton Tengsoe Tjahjono Th Pudjo Widijanto Thayeb Loh Angen Theresia Purbandini Tia Setiadi Tito Sianipar Tiya Hapitiawati Tjahjono Widarmanto Tjahjono Widijanto Toko Buku Murah PUstaka puJAngga Tosa Poetra Tri Joko Susilo Triyanto Triwikromo Tu-ngang Iskandar Udo Z. Karzi Uly Giznawati Umar Fauzi Umar Kayam Undri Uniawati Universitas Indonesia UU Hamidy Vyan Tashwirul Afkar W Haryanto W.S. Rendra Wahyudin Wannofri Samry Warung Boenga Ketjil Waskiti G Sasongko Wawan Eko Yulianto Wawancara Web Warouw Wijang Wharek Wiko Antoni Wina Bojonegoro Wira Apri Pratiwi Wiratmo Soekito Wishnubroto Widarso Wiwik Hastuti Wiwik Hidayati Wong Wing King WS Rendra Xu Xi (Sussy Komala) Y. Thendra BP Y. Wibowo Yani Arifin Sholikin Yesi Devisa Yohanes Sehandi Yona Primadesi Yosi M. Giri Yusi Avianto Pareanom Yusri Fajar Yusrizal KW Yuval Noah Harari Yuyu AN Krisna Zaki Zubaidi Zalfeni Wimra Zawawi Se Zehan Zareez Zen Hae Zhaenal Fanani Zuarman Ahmad Zulfikar Akbar Zulhasril Nasir