Senin, 27 September 2010

Ma’iyah: Kepemimpinan Bani Syari’at

Sabrank Suparno
http://forumsastrajombang.blogspot.com/

Sepeninggal bapak pluralisme (KH. Abdurrahman Wahid), para sejarawan mulai me-nganalisa rumusan pemikiran baru. Rumusan baru itu ditarik berdasarkan gelombang waktu yang mengalami padatan momental. Dimana warna kepemimpinan yang berhasil dan membuat nama besar kerajaan, ditandai dengan lahirnya sosok pemimpin dari kalangan bawah.

Kebesaran Majapahit sesungguhnya bukan pengaruh nama raja-raja yang sedang bertahta, melainkan karena konsep kepemimpinan seorang patih gajah Mada. Karir politik dan militer Gajah Mada berwal sejak pemerintahan Prabu Jaya Negara (1309-1328). Kedudukannya di Majapahit terus melejit sampai era kepemimpinan Jaya Wisnu Wardhani (1328-1360).

Menurut kitab Usana Jawa yang dipercaya orang Bali, Gajah Mada adalah putra Bali yang tak berayah-ibu. Ia terpancar dari dalam buah kelapa, jelmaan Sang Hyang Narayana. Gajah Mada diperkirakan lahir awal abad 14, yakni tahun 1300 M. sebab tahun 1321 ia sudah diangkat menjadi Mahapatih dan meninggal tahun 1364. Menurut sebagian cerita, Gajah Mada lahir di pedesaan sungai Brantas yang mengalir di antara Gunung Kawi dan Gunung Arjuno.

Sebagaimana Majapahit, Singosari juga menjadi kerajaan besar saat dipimpin oleh Ken Arok yang lahir dari kaum proletarian.

Munculnya kerajaan Mataram di alas Mantaok (daerah Yogyakarta) juga dipimpin oleh dinasti ploretarian anak cucu Ki Gede Pemanahan. Pada tahun 1575 Ki Gede Pemanahan sendiri hanyalah sesepuh masyarakat desa. Pola kepemimpinannya merombak dogma dan konvensi feodal, terbukti berpengaruh terhadap kepesatan kerajaan secara universal.

Keterangan yang menunjukkan bahwa dinasti Mataram keturunan petani di katakan oleh Trunojoyo saat perang dengan anak turunan Mataram saat pemerintahan Amangkurat II (1677-1703). “Raja Mataram iku diumpamakake’ tebu : pucuke maneh yen lagi, senajan bongkote ing biyen yo adhem ayem bae, sebab raja trahing wong tetanen, angur maculo bae bari angon sapi”(Mainsma, 1941).

Sebutan “Ki Gede/Ki Ageng” dan bukan “Raden” menunjukkan dari kelas bawah. Perombakan yang dilakukan oleh pemimpin dari kalangan petani lebih bersifat pluralistik yang membongkar sistem sentralistik. Sistem sentralistik dinilai hanyalah bilik kamar mandi kaum feodal untuk ber-ekstase onani. Penandaan perombakan diawali dengan merubah tatakrama bahasa. Saat Jaka Tingkir (Raja Pajang 1568 dengan gelar Sultan Hadiwijaya) menantang Arya Penangsang (Adi Pati Jipang). Dalam surat tantangan itu Jaka Tingkir menuliskan kata “Kakang” di depan nama Arya Penangsang. Padahal Arya Penangsang lebih tinggi derajatnya karena keturunan asli Demak, sedangkan Jaka Tingkir hanyalah menantu Demak.

Dalam tatanan teologi Islam ada beberapa pendapat yang memposisikan hubungan antara makhluk dengan Alloh di dasarkan pada fase nilai. Nilai terendah disebut hubungan (abadah) syari’at, niali ke II hubungan secara hakikat, dan nilai ke III hubungan ma’rifat. Penilaian semacam ini tepat jika yang menilai tingkatan itu adalah Alloh sendiri sebagai hak prerogatif Tuhan. Tetapi jika yang menilai manusia, hanyalah sebagai sarana pengkotaan nilai antara dirinya yang harus dijunjung dengan kaum rendah.

Syari’at adalah aturan riel yang harus dijalani hamba dalam mengabdi pada Alloh: syahadat, sholat, zakat, puasa, haji. Syari’at harus dilakukan secara nyata yang menyangkut syarat dan rukunnya. Dalam Ihya Ulumuddin, Imam Al-Ghozali membedakan tingkatan syari’at dan hakikat. Puasanya orang-orang syariat adalah tidak makan dan minum. Puasanya orang-orang hakikat adalah zuhud (menjahui dunia). Puasanya orang ma’rifat adalah percintaan terus menerus dengan Alloh. Dari sini jelas bahwa yang dimaksud “Bani Syari’at” adalah orang-orang yang mengerjakan sesuatu secara nyata.

Cak Nun dan Totok Rahajo dalam pengajian Padhang mBulan tangal 26 Juli 2010 mengungkap bahwa posisi syari’at, hakikat, ma’rifat adalah satu kesatuan yang tidak bisa lepas. Ketiganya merupakan aransemen nilai yang berkesinambungan untuk memperbaiki nilai pada tiap-tiap hamba. Toto Raharjo menjelaskan contoh konkrit dalam menjalankan syari’at. Untuk menjalankan partai misalnya, harus dipenuhi hukum/ketentuan syari’atnya: anggaran dasar, anggaran rumah tangga, ketua dan angotanya.

Selama ini yang dilakukan orang-orang Maiyah adalah kontribusi riel terhadap permasalahan sosial, agama dan negara, dan bukan hanya pengajian semata. Secara pribadi, Cak Nun mencontohkan perihal perilaku syari’at dalam rumah tangganya. Bahwa dalam persoalan kecil berumah tangga, Cak Nun harus menyuci baju, nyapu, bersih-bersih rumah sendiri, tidak harus menyuruh istri dan anak. Namun hal demikian disyukuri Cak Nun sebagai nikmat, sebab banyak kalangan pejabat dan orang-orang yang sudah terkenal, justru tidak mampu melampaui masa-masa mengerjakan segala sesuatunya sendiri.

Sejauh ini para presiden di Indonesia adalah orang-orang yang sejak kecil menghuni rumah kebesaran orang tuanya atau institusinya. Keseharian mereka tidak pernah terlibat langsung dengan permasalahan-permasalahan dasar yang terjadi di masyarakat. Mereka tidak mengetahui betul berapa harga cabe, garam, dan trasi, yang tiap harga kebutuhan pokok itu harus didapat masyarakat dengan bekerja keras seharian. Ketidaktahuan para presiden tentang kebutuhan masyarakat secara detail ini mempengaruhi presiden ketika menggulirkan transaksi-transaksi pasar berskala besar. Semisal monopoli, oligopoli, pasar bebas dan lain sebagainya, seringkali tidak berpihak pada ekonomi rakyat.

Agar Sejarah Tak Kering

Philipus Parera
http://majalah.tempointeraktif.com/

“Sejak aku sadar akan hal itu, entah sejak kapan, tidak segera, dan secara samasekali tak disengaja, aku pun tak pernah lagi merayakan hari ulang tahunku. Di hari-hari seperti itu kuteringat ayah. Ingatkah, ayah, bahwa esok hari setelah ayah ditangkap, hari itu adalah kelahiran putri sulungmu?”

KUTIPAN di atas adalah bagian dari cerita Ibarruri Putri Alam, putri sulung Ketua CC Partai Komunis Indonesia, D.N. Aidit. Monolog itu ia tuangkan dalam manuskrip berjudul Anak Sulung DN Aidit. Autobiografi sepanjang 242 halaman kuarto itu kabarnya akan segera diterbitkan dalam bentuk buku oleh Hasta Mitra, Jakarta.

Iba, demikian ia disapa, lahir pada 23 November 1949 dari pasangan Aidit dan Sutanti. Sejak usia delapan tahun, Aidit mengirimnya ke Moskow, Rusia, untuk bersekolah. Beberapa tahun kemudian adiknya, Ilya, menyusul. Tetapi segalanya berubah setelah peristiwa G30S.

Untuk waktu yang lama, Iba tak tahu kabar ayah-ibunya. Berita di koran membingungkan, berbagai-bagai versi. Ada yang mengatakan Aidit lari dengan kapal selam ke Hong Kong. Ada yang mengabarkan Aidit sudah mati.

Hingga suatu hari, seorang utusan Partai Komunis Uni Soviet memastikan kepadanya: D.N. Aidit sudah dibunuh. Menurut koran-koran, itu terjadi pada 25 November 1965, tiga hari setelah Aidit tertangkap. Ibunya, Dokter Sutanti, masuk penjara. Ketidakpastian nasib akhirnya membawa Iba berkelana ke berbagai negeri, hingga akhirnya menetap di Paris, Prancis.

Kisah itu dituangkan Iba dalam manuskripnya dengan lancar dan memikat. Bentuk “aku” yang ia pakai membuat ceritanya menjadi akrab. Dalam naskahnya, Iba juga sempat menyelipkan kekagumannya pada Abdurrahman Wahid, yang semasa menjadi presiden pernah menemuinya di Paris.

Manuskrip ini tentu kian menambah panjang katalog kesaksian tertulis versi non-penguasa tentang peristiwa 30 September 1965. Sebetulnya, selama Soeharto berkuasa, analisis kritis tentang peristiwa kelam itu acap dilakukan, meski kebanyakan oleh orang luar.

Ben Anderson, misalnya, bersama teman-temannya di Universitas Cornell, Ithaca, New York, menulis makalah yang kemudian dikenal sebagai “Cornell Paper”, 1971. Menurut paper ini, tak ada bukti PKI terlibat langsung dalam tragedi berdarah itu. Ben justru meragukan “kebersihan” Soeharto.

Baru setelah Soeharto lengser pada 1998, upaya-upaya yang lebih “berani” di dalam negeri mulai dilakukan. Niat Presiden Abdurrahman Wahid mencabut Ketetapan MPRS No. XXV/MPRS/1966 tentang Pembubaran PKI dan Pelarangan Komunisme/Marxisme/Leninisme kian menggelorakan semangat penulisan peristiwa itu. Maka, bertebaranlah cerita-cerita baru, fakta baru, dan berbagai spekulasi yang tak pernah ada sebelumnya.

Eep Saefulloh Fatah membenarkan, angin segar reformasi telah memupuk semangat merekonstruksi sejarah 1965. Umumnya itu dilakukan dengan tiga cara: membuat tulisan di media, kebanyakan oleh ahli sejarah; menerjemahkan berbagai versi penceritaan dari terbitan asing; dan penerbitan kisah-kisah para pelaku sejarah.

Modus terakhir, menurut pengamat politik dari Universitas Indonesia itu, paling diminati. Alasannya, sejarah dilihat bukan hanya sebagai potret yang terpaku pada peran segelintir orang pada waktu itu, melainkan sebagai adegan dengan rentang waktu panjang dalam konteks sosial-politik yang luas.

“Buku-buku seperti itu menampilkan aspek-aspek kemanusiaan yang hilang dalam analisis sejarah yang kering,” ujar Eep pada peluncuran buku Tragedi Kemanusiaan 1965-2005, Antologi Puisi, Cerpen, Esai, Curhat, di Taman Ismail Marzuki, Jakarta, Kamis pekan lalu.

Buku yang terbit pada era reformasi ini, antara lain, karya Ribka Tjiptaning Proletariyati, Soebandrio, dan Ilham Aidit. Buku-buku itu mendatangi pembaca, menawarkan sisi lain dari sebuah kisah yang sudah telanjur mendekam dalam ingatan masyarakat dengan corak suram.

* * *

RIBKA Tjiptaning boleh dikatakan cukup gencar menuliskan kesaksiannya. Dari tangannya telah lahir dua buku, Aku Bangga Jadi Anak PKI dan Anak PKI Masuk Parlemen. Manuskrip buku pertama sebenarnya sudah siap sejak 1997, namun tak ada penerbit yang berani mencetaknya.

Baru lima tahun kemudian, “Setelah muncul angin segar dari Presiden Abdurrahman Wahid, ada percetakan kecil yang mau menerbitkan,” ujarnya. Yang dimaksud Ribka adalah percetakan Cipta Lestari. Cetakan pertamanya, 5.000 eksemplar, habis terjual pada Oktober 2003. Kini sudah keluar cetakan keduanya, 5.000 eksemplar juga.

Aku Bangga Jadi Anak PKI boleh dibilang autobiografi Ribka. Dia anak Raden Mas Soeripto Tjondro Saputra, pengusaha kaya sekaligus aktivis PKI di Solo, Jawa Tengah. Pergolakan 1965 membikin ayahnya dikejar-kejar hingga akhirnya dijebloskan ke penjara. Nasib Ribka pun berubah.

Dari anak seorang hartawan dengan dua mobil mewah di garasi, dia menjadi “gelandangan” di Jakarta. Zaman bergerak, dan roda sejarah berputar. Kini Ribka anggota DPR RI. Adalah Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan yang membawanya ke Senayan.

Ribka pun menulis buku berjudul Anak PKI Masuk Parlemen. Buku terbitan Percetakan Proletariat itu merekam sepak terjangnya sebagai anggota parlemen yang mewakili daerah pemilihan Sukabumi dan Cianjur. “Saya ingin bilang, kini ada lho anak anggota PKI di parlemen,” ujar Ketua Komisi IX DPR RI itu.

Penerbitan manuskrip yang terganjal juga dialami almarhum Soebandrio. Pernah ada sebuah penerbitan besar berniat mencetak tulisan mantan Wakil Perdana Menteri I era Soekarno itu. Manuskrip itu berjudul Kesaksianku tentang G-30-S. Rencana itu gagal akibat maraknya demonstrasi menolak buku-buku berbau komunis pada Mei 2001. Kabarnya, beberapa ribu eksemplar yang sudah dicetak pun akhirnya dibakar.

Soebandrio divonis hukuman mati oleh Mahkamah Militer Tinggi pada 1966. Namun, atas permintaan Ratu Elizabeth dari Inggris dan Presiden Amerika Serikat Lyndon B. Johnson, hukumannya diringankan menjadi penjara seumur hidup. Pada 1995 dia dibebaskan, dan meninggal tahun lalu pada usia 90 tahun.

Salah satu versi penting dari tulisan Soebandrio adalah bantahannya terhadap kisah sekitar penyakit yang diderita Soekarno. Menurut sejarah yang sudah baku, Soekarno saat itu sakit keras. Seorang dokter dari Cina memeriksanya dan mengambil kesimpulan: kalau tidak mati, Soekarno bakal lumpuh seumur hidup.

Situasi inilah, menurut sejarah mainstream itu, yang membuat PKI nekat melakukan coup d’etat agar kekuasaan tidak jatuh ke tangan TNI Angkatan Darat. Menurut Soebandrio, yang memeriksa Presiden bukan dokter dari Cina, melainkan seorang dokter keturunan Tionghoa dari Kebayoran Baru yang dibawa Aidit. Dan Soekarno ketika itu cuma masuk angin. Soebandrio-yang juga dokter-berada di dekat Soekarno ketika dokter Tionghoa itu menjelaskan perihal masuk anginnya sang Presiden. Aidit juga tahu.

“Mengenai penyebabnya, sayalah yang tahu. Beberapa malam sebelumnya Bung Karno jalan-jalan meninjau beberapa pasar di Jakarta. Tujuannya adalah melihat langsung harga bahan kebutuhan pokok. Jalan keluar-masuk pasar di malam hari tanpa pengawalan yang memadai sering dilakukan Bung Karno. Nah, itulah penyebab masuk angin,” demikian ditulis Soebandrio dalam cuplikan manuskrip bukunya yang ditayangkan situs TokohIndonesia.com.

Buku yang paling gres adalah sebuah antologi: Tragedi Kemanusiaan 1965-2005, terbitan Lembaga Sastra Pembebasan dan Penerbitan Malka. Antologi dengan editor Heri Latief dan kawan-kawan itu menghimpun berbagai tulisan karya keluarga anggota PKI maupun bukan. Tulisan Ilham Aidit (anak keempat Aidit), Iramani.id (nama samaran anak kelima Njoto), termasuk di dalamnya. Beberapa orang “di luar lingkaran” itu, antara lain, Eep Saefulloh Fatah dan sebagainya.

Ilham ingin buku itu menjadi sebuah kesaksian jujur dari keluarga PKI yang menjadi korban stigma buruk pemerintah Orde Baru. Putra keempat Aidit itu menulis saat-saat terakhirnya dengan sang ayah. “Selama ini yang selalu diingat cuma kejadian Lubang Buaya. Orang lupa bahwa peristiwa berdarah itu punya dampak yang sangat dahsyat kepada banyak orang hingga berpuluh-puluh tahun kemudian,” ujar Ilham.

Menggunakan nama samaran Iramani, anak kelima Njoto, Wakil Ketua II CC PKI, menyumbang tulisan berjudul Kodim, 1966. Iramani-juga nama pena Njoto semasa hidupnya-mengenang masa ketika dia, ibunya, dan saudara-saudarinya ditahan di kodim. Setiap kali mereka bertanya soal ayah, ibu selalu menjawab: “Bapak sedang pergi jauh, jauuuh sekali! Ke luar negeri,” Dan mereka gembira, berharap ayah pulang membawa banyak cokelat.

Upaya menyuguhkan versi alternatif dari sejarah yang berderak pada 1965 itu adalah tulisan Murad Aidit. Paman Ilham Aidit itu menulis buku berjudul Aidit Sang Legenda. Bukunya diluncurkan di Teater Utan Kayu, Jakarta, Sabtu pekan lalu. “Orang terus-menerus menuduh dia sebagai dalang peristiwa 30 September. Saya tahu dia tak terlibat. Sebagai adik, saya punya kewajiban meluruskan ini,” ujar Murad tentang buku yang ditulisnya sejak dua tahun lalu itu.

Bagi Murad, Aidit adalah pahlawan. “Dan dia adalah legenda. Karena, kalau tidak, bagaimana dia bisa menjadi pimpinan sebuah partai besar dalam usia yang sangat muda, 24 tahun?” ujarnya.

* * *

JAUH di Paris, Ibarruri menjelaskan tujuannya menulis autobiografi. “Aku hanya ingin menumplekkan jeritan hatiku, darah dan tangisku, menyampaikan renungan-renungan serta senyumku padamu, pembaca. Aku ingin berbicara lirih, lirih sekali, membuka hatiku serta mengetuk hatimu untuk berbicara dari hati ke hati, sebagai manusia dengan manusia,” demikian ia menulis di akhir manuskrip.

Berbicara lirih. Ya, cuma itu yang ingin ia lakukan setelah menempuh setengah bumi dalam pelarian: dari Soviet ke Cina, Birma, lalu ke Makao, hingga berakhir di Orly, sebuah daerah di bagian selatan Paris. Bersama almarhum suaminya, Budiman Sudarsono (mantan Ketua Umum Ikatan Pemuda Pelajar Indonesia), yang juga “terusir” setelah peristiwa 30 September, dia menetap di Paris sejak 1981.

Pemerintah Prancis sejatinya membolehkan mereka mengajukan permohonan kewarganegaraan. Namun, Budiman menolak: mereka tak pernah merasa menjadi anak bangsa lain.

Majalah ini beberapa kali menghubungi nomor telepon Iba di Paris, namun cuma direspons mesin penjawab. Kabarnya, dia tengah berlibur ke Jerman. Menurut Ilham, kakaknya itu menulis autobiografi sejak empat tahun lalu. “Ada banyak permenungan dalam bukunya. Dia bertambah matang setelah mulai mendalami Buddha,” ujarnya.

Iba dan Budiman pernah mengajukan permohonan normalisasi melalui Kedutaan Besar Indonesia di Paris agar bisa mendapatkan kewarganegaraannya kembali. Karena tak ada tanggapan, kerinduan untuk kembali ke pangkuan Pertiwi kini ia kubur dalam-dalam.

Mei lalu, Iba akhirnya “bisa” pulang, menginjakkan kakinya di Jakarta. Itulah kunjungan pertamanya setelah 40 tahun. Terakhir dia pulang saat liburan sekolah pada Mei 1965. Bedanya, kali ini janda tanpa anak itu cuma datang sebagai tamu: orang asing yang mengantongi paspor Prancis.

Era Baru Penghormatan terhadap Puisi

Fuska Sani Evani
http://www.suarapembaruan.com/

Kelompok musik Pardiman Djojonegoro yang juga meresepsi puisi ke dalam pitutur Jawa pada rangkaian acara sajian Divisi Sastra FKy-XIX 2007 Sabtu (25/8) di sebuah restoran di depan Stasiun Tugu Yogyakarta.

Romo Sindhunata SJ, tampak manggut-manggut. Kadang menekuk siku, kadang geleng-geleng. “Asyik juga ya, gak kalah sama dangdut, bisa juga buat goyang,” katanya.

Ternyata, Romo Sindhu, sedang menikmati irama musik Hip-hop yang dilantunkan empat anak muda, Mamox, Heldi, Bo, dan Balan, personel “Jahanam” salah satu dari sekian kelompok musik Hip-hop di Yogyakarta.

Simak saja syair milik Romo Sindhu yang dilebur dalam irama hip hop.

Sengkuni leda- lede, Mimpi baris ngarep dhewe, Eh barisane menggok,Sengkuni kok malah ndheProk, nongji, nongro.

Anak-anak kelompok musik hip-hop asal Yogyakarta itu, melantunkan syair-syair puisi milik Romo Sindhunata SJ dari kumpulan puisinya Air Kata-kata berjudul Cintamu Sepahit Topi Miring, Rep Kedep dan karya mereka yakni Bingung. Kelompok lain juga tak kalah. Kontra mengambil puisi dari Azep Zamzam Noor.

Satu komentar biarawan eksentrik ini. “Saya apresiatif, saya senang, biar saja puisi saya mau diobok-obok yang penting mereka juga ikut mengapresiasi,” begitu Romo Sindhu sambil terus manggut-manggut.

Jelas, malam Minggu (Sabtu, 25/8) halaman sebuah restoran di depan Stasiun Tugu Yogya, semarak oleh untaian-untaian puisi gaya baru. Ada puisi milik Taufiq Ismail dan Acep Zamzam Noor. Dengan puisi, Jahanam menjadi begitu terkenal di Jawa Tengah dan berhasil menjual album indie mereka yang berjudul Tumini sebanyak 20 ribu kopi.

Sementara Kontra me-ngaku hampir setiap bulan mendapat panggilan manggung sebanyak dua kali, dengan tarif Rp 1 juta untuk dalam kota serta Rp 1,5 juta (nett) untuk luar kota.

Adalah Word Aloud, rangkaian acara sajian Divisi Sastra FKy-XIX 2007 yang menjadi ajang pertama I Gede Putu Bawa Samargantang menyerukan sajaknya dalam bahasa Bali.

Sebanyak 14 penampil, tidak hanya berasal dari Yogyakarta saja. Selain Pardiman Djojonegoro, Abbas Ch feat Purwanto, Alex Suhendar, Erynthrina Baskoro feat L Enrico, Jahanam, Kontra, Jamaludin Latief, Dina Oktaviani, Afrizal Malna, Tony Maryana feat Ika Sri Wahyuningsih yang berasal dari YOgyakarta, tampil juga D Zawawi Imron (Madura), I Gede Putu Bawa Samargantang (Bali), Asmara Laut Tawar (Aceh), dan Irmansyah (Jakarta).

Kelompok music hip-hop “Jahanam” asal Yogyakarta dan Romo Sindhunata SJ, usai mendendangkan puisi dengan irama Hip-hop pada Word Aloud, rangkaian acara sajian Divisi Sastra FKy-XIX 2007 Sabtu (25/8) malam di sebuah restoran di depan Stasiun Tugu Yogyakarta.

Parade Seni

Salah satu panitia, Risky Sasono menjelaskan, parade seni tulisan tangan ini akan diramaikan dengan berbagai penampilan yang mungkin tak lazim seperti story telling, monolog dengan dukungan multi media bahkan penampilan rapper Kontra yang akan mendendangkan musik rap dihadapan pengunjung.

“Word Aloud kali ini merupakan sebuah ruang ekspresi yang integral antara sastra dan pertunjukan. Jadi parade seni tulisan tangan ini akan diramaikan dengan berbagai penampilan yang mungkin tak lazim seperti story telling, monolog dengan dukungan multi media bahkan penampilan rapper Kontra yang akan mendendangkan musik rap,” kata Risky.

Suasana itu tampak sangat berbeda dengan acara sehari sebelumnya, saat 30 penyair se-Indonesia membacakan narasi-narasi yang puitis. Malam itu, puisi tidak lagi menjadi untaian kata-kata yang dibacakan dengan deklamasi. Tidak ada lagi unsur teaterikal. Namun, kata-kata bermajas itu menjadi semakin melejit dan bisa diterima kalangan anak muda.

Tidak ada lagi penyair, yang melantunkan puisi dengan menggebu-gebu. Tidak ada lagi menunggui dengan bosan. Membaca puisi, sekarang bisa dilakukan dengan apa saja.

“Bukannya sok puitis, tapi kami ingin mencari jati diri dalam puisi itu,” komentar Mamox.

Selain Mamox dan kelompoknya, setidaknya sudah ada 10 kelompok yang menggabungkan diri dan punya misi sama, yakni menyebarluaskan puisi-puisi karya para sastrawan kelas berat, kepada khalayak muda.

Lepas dari persoalan pementasan, puisi adalah pojok yang tersisa dari kesibukan yang melelahkan. Puisi adalah pengalaman. Membaca puisi dengan berteriak adalah menjadi kuno pada saat ini.

Memang bukan hal yang baru. Semua bentuk puisi dalam tradisi indonesia selalu mempunyai praktik pelisanan yang khas. Geguritan, pantun dan syair pernah menjadi primadona. Lambat laun hilang dan tergantikan deklamasi atau baca puisi. Rendra, adalah penggerak cara membaca yang mendayu-dayu.

Setelah itu, muncul Sutardji Calzoum Bachri dengan gaya dewa mabuk-nya. Namun lantas sepi.

Puisi milik Romo Sindhu contohnya. Bisa dilantunkan dengan nge-rap. Soal pertentangan? Pasti itu ada. Ada pendapat, puisi adalah kesakralan, dan harus dilantunkan oleh pakarnya. Namun, itu dulu. Sekarang, kalau tidak mau bercampur dengan dinamika, daya tarik puisi akan sirna.

Gairah nge-rap-kan puisi itu kemudian mencuat dan menuai sukses yang dikuti dengan pembuatan album kolektif, berjudul Poetry Hip Hop. Di dalam rekaman berbentuk cakram itu, ada 10 lagu yang dibawakan oleh 10 kelompok hip-hop Yogya. Dari Serat Centini (Sinom 231), sampai Dikawinkan Alam (Sitok Srengenge), Cinta Dalam Retropektif Alkohol Akhir Tahun (Saut Situmorang) hingga karya Sindhunata (Cintamu Sepahit Topi Miring), muncul menjadi sebuah repertoar yang sangat berbeda. Sebuah puisi percintaan dari Acep Zam-Zam, diotak-atik menjadi sebuah repertoar hip-hop yang erotis. Puisi-puisi itu lahir kembali dalam wajah dan era baru.

Pergeseran Konstelasi Sastra Indonesia

Ahmadun Yosi Herfanda *
Republika
 
Munculnya kelompok-kelompok penulis dan pecinta sastra sejak awal 1990-an telah membuat kekuatan dan potensi sastra Indonesia tidak lagi terpusat di Jakarta. Konstelasi sastra Indonesia terpecah (terdekonstruksi) ke dalam kelompok-kelompok besar dan kecil yang masing-masing menyumbangkan sekaligus mencoba mempengaruhi perkembangan serta kecenderungan estetik sastra Indonesia kontemporer.

Sabtu, 25 September 2010

Kanal Demokrasi Politik Global

Heri Latief
http://politik.kompasiana.com/

Kanal-kanal di Amsterdam terkenal sebagai atraksi turis, kapal-kapal turis mundar mandir melayari kanal tua antik kebanggan kotanya VOC.

Di sepanjang kanal yang terawat bersih itu tak ada orang iseng yang nongkrong buang air besar, yang kita lihat adalah jejeran gedung-gedung bangunan kuno di pinggir jalan.

Di sepanjang kanal juga ada kapal-kapal tua yang dijadikan tempat tinggal, dan rumah-rumah permanen di atas air. Aura kota di atas air memang jadi ciri khas negeri Belanda.

Jika tembok batu disepanjang kanal-kanal itu bisa cerita tentu banyak sekali kisah tentang manusia yang melayari kanalnya, dari zaman ke zaman, kanal selalu setia dilayari kapal-kapal.

Seperti sejarah di zaman VOC, dulu para pelaut pergi jauh melayari samudra untuk mencari nasib baik, dalam petualangan hidup beraroma dagang dengan resiko dihadang angin topan.

Semangat melawan angin topan itu dibuktikan bangsa Belanda dengan kerja keras membangun tanggul-tanggul penahan ombak yang berlapis-lapis secara “polder sistem”, suatu cara menanggulangi banjir yang disebut juga “bendungan di dalam bendungan”, suatu sifat pertahanan yang saling melindungi.

Kincir angin sebagai simbol Belanda untuk menguras laut jadi daratan, kecerdikan ilmu manusia melawan alam, jadi ilmu keturunan.

Tapi ilmu turun temurun itu pada saat ini menghadapi suatu cobaan, yang bukan sembarang ujian, ini adalah sebuah test terhadap semangat demokrasi Barat, apakah di zaman globalisasi ekonomi ini peranan para pendatang dalam bidang politik dianggap sebagai ancaman?

Ancaman buat siapa? Karena saya lihat sendiri bahwa kaum pendatang ikut menyumbangkan tenaga dan pikirannya untuk kesejahteraan dan kemajuan lingkungan.

Tentu saja ada terjadi pula di sana- sini ekses negatif dari pergesekan antar kultur, itu konsekwensi logis dari politik Belanda zaman tahun 60an yang menciptakan ide “gast arbeider” (pekerja tamu).

Pekerja tamu sebagai alat produksi dari mesin kapitalisme itu rupanya bukan sekedar jadi buruh kasar saja, mereka berkembang.

Pada mulanya orang Marokko dan Turki datang ke Belanda untuk bekerja di sektor perburuhan.

Kedua bangsa ini membawa juga segala macam kebiasaan hidupnya, mulai dari bumbu masak sampai agamanya.

Setelah 40 tahun lebih bermukim dan bekerja di Belanda, kaum pendatang itu menjelma jadi suatu kelompok masyarakat yang kompak dan kuat dalam solidaritas sosial dan ekonomi.

Maka muncullah para aktifis dan intelektual muda dari generasi kedua kaum pendatang, yang sukses memobilisasi massa di lingkungan tempat tinggalnya.

Umumnya mereka aktif di “buurt huis” (sejenis karang taruna). Terutama sejak munculnya “getto” di daerah-daerah yang banyak ditempati oleh orang asing.

10 tahun yang lalu para aktifis muda dari kaum pendatangi itu membangun jaringan politiknya dengan ketekunan yang luar biasa, sekarang mereka memetik hasilnya, ada yang jadi sekertaris mentri justisi (keturunan Turki dan masih warga negara Turki).

“Als je voor een dubbeltje geboren bent, kan je wel degelijk een kwartje worden”, terjemahan bebasnya: “jika dilahirkan miskin, kerja keraslah untuk merubah keadaan”. Ini kata-kata dari Tofik Dibi, anggauta partai Groenlinks yang berhaluan kiri, ia termasuk anggauta parlemen termuda, lahir di Vlissingen (Belanda), 19 november 1980.

Tofik dari generasi kedua kaum pendatang, berasal dari Marokko. Aktifis muda yang penampilannya “cool”. Tercatat sebagai mahasiswa tingkat 3 jurusan media dan kultur di Universiteit van Amsterdam. Ia juga mempropagandakan gerakan anti rasisme dengan semboyan: “Allemaal Anders Allemaal Gelijk”, semuanya tak sama, tapi haknya sama.

Apakah perjuangan para aktifis persamaan hak-hak kemanusiaan itu bisa dipahami oleh semua lapisan masyarakat di negeri kincir angin sebagai alat untuk melawan gerakan Neo Nazi?

Apakah kincir angin itu masih berputar? Searah? Atau arahnya bisa diatur oleh “tangan-tangan yang tak kelihatan” yang punya senjata rahasia politik?

Seperti kita semua tahu, bahwa sekarang ada isu politik berbau konflik agama. Tuntutan dari kelompok kanan yang penganut garis keras, membuat semangat hidup jadi beku, pergaulan lingkungan jadi dingin, kaku. Apakah ini yang disebut jurus “menabur angin menuai badai?”.

Mungkinkah kegelisahannya konflik politik tersebut akibat kelakuan manusia yang serakah? Yang tak mau menghitung kerugian psikologis akibat pertentangan ide-ide yang ironis?

Di negeri keju pembuat kelom kayu ini orang sudah biasa menghadapi amuknya badai yang paling tragis, sejarah manusia tidak lepas dari riwayat perang, dan orang Belanda tahu juga apa itu yang namanya sakit hati akibat perang.

Pengalaman bangsa Belanda yang dijajah Jerman selama 5 tahun itu telah membekas sampai ke tulang sumsum bangsa Belanda. Kekejaman perang dunia kedua diputar di televisi berulang kali, di setiap tahun menu filmnya sama, dan harapannya perang dunia kedua sebagai perang terakhir di Eropa.

Selama puluhan tahun hidup di masa damai ini Eropa Barat berkembang secara pesat, yang pada akhirnya punya persatuan negara-negara Eropa, kita kenal merknya EU.

EU sebagai kumpulan nama negera di Eropa yang berbasis demokrasi, tapi sampai saat ini Turki tak bisa masuk jadi anggauta EU, dengan alasan hak-hak asasi manusia di Turki belum mencapai seperti standar di Eropa. Lalu yang namanya hak-hak asasi manusia cara Eropa itu apa? Jika masih banyak kasus rasisme yang membentang di seluruh negara EU.

Demokrasi yang dicita-citakan dengan perjuangan keras melawan ancaman fasisme rezim Hitler itu ternyata sekarang jadi mentah lagi persoalannya, lalu ada gerakan anti hak asasi manusia, disahkan oleh peraturan “kebebasan mengeluarkan pendapat tanpa sekat”.

Saya jadi saksi dari beberapa kejadian paraktik rasisme yang akut di dalam pergaulan masyarakat, yang rupanya sekarang lagi stress berat akibat resesi ekonomi dunia dan provokasi para polititikus pemuja kebebasan berbicara di media.

Saya mengalami sendiri jadi bulan-bulanan digertak oleh orang yang berfikiran model Skin Head, gerombolan geng kepala botak terkenal sadis (pengikut ajaran Neo Nazi).

Selama lebih dari seperempat abad tinggal di Barat, saya jadi makin tau apa arti sebenarnya kata diskriminasi.

Tapi saya tetap semangat membela hak-hak asasi manusia yang universil sifatnya. Karena kekerasan bukanlah jalan yang aman untuk menyelesaikan persoalan tentang pergesekan antar kultur di negeri Belanda.

Yang penting, percaya pada manusia sebagai makhluk yang berotak dan punya rasa kemanusiaan. Kita musti banyak berdialog dalam soal perbedaan kultur.

Sebagai contoh, patutlah dicatat tentang kasus orang yang lari dari daerah perang (pencari suaka), dan publikasi besar-besaran “generale pardon” untuk 26 ribu pencari suaka di Belanda.

Gerakan “generale pardon” berperan besar dalam membangun solidaritas kemanusiaan di Belanda, salah seorang aktifisnya bernama Marion Bloem, penulis terkenal, yang kebetulan berdarah Indo.

Satu dunia buat semua orang? Apakah ini masih boleh dianggap sebagai pemikiran bebas atau hanya hayalan belaka?

Amsterdam, 22 april 2008

Senin, 20 September 2010

CARUT-MARUT SEJARAH SASTRA INDONESIA

Maman S. Mahayana *

Sastra tidaklah lahir dari sebuah kekosongan. Ia mengada setelah melewati proses yang rumit yang berkaitan dengan persoalan sosio-budaya, politik, ekonomi, bahkan juga ideology dan agama. Jadi, ketika karya sastra terbit, beredar, dan kemudian dibaca masyarakat, di belakang itu ia sesungguhnya menyimpan sejarahnya sendiri. Ada kontekstualitas antara teks dan berbagai persoalan yang melatarbelakanginya.

Vladimir Braginsky: Pertukaran Ide dengan Surga di Bumi

Ignatius Haryanto, Lenah Susianty
http://majalah.tempointeraktif.com/

NAMA Indonesianis seperti Ben Anderson, William Liddle, Harold Crouch, dan Harry Poeze sudah cukup familiar bagi pembaca di Indonesia. Tapi Vladimir Braginsky, Y.A. Cherepnyova, dan N.F. Alieva adalah nama yang mungkin terdengar asing. Sebagian orang mungkin mengira tiga nama tersebut adalah pecatur atau tentara asal Eropa Timur. Padahal mereka adalah tiga dari banyak sarjana Rusia yang memiliki bidang keahlian tentang Indonesia.

Braginsky adalah doktor sastra Indonesia dan Malaysia yang kini mengajar di School of Oriental and African Studies, University of London. Cherepnyova adalah ahli sejarah Indonesia yang kini mengajar di Institute of Oriental Studies di Moskwa dan menulis disertasi tentang konsep-konsep Barat dalam pembangunan sosial politik Indonesia. Sedangkan Alieva adalah linguis yang mengajar di Russian Academy of Sciences, Institute of Oriental Studies, Moscow State University.

Karya Alieva bahkan pernah diterjemahkan ke bahasa Indonesia dan diterbitkan oleh asosiasi linguis di Indonesia pada 1991. Tanpa terasa, ternyata perhatian para sarjana Rusia terhadap Indonesia cukup berkembang. Dan salah satu karya Vladimir Braginsky (yang ia tulis bersama Elena M. Diakonova), Images of Nusantara in Russian Literature (Leiden: KITLV Press, 1999), menjadi bukti bahwa para sarjana di Eropa Timur tak mau ketinggalan dari para sarjana pemerhati Indonesia di Barat (Amerika, Eropa Barat, dan Australia).

Buku ini merupakan antologi karya sastra sejumlah sastrawan Rusia yang mengambil inspirasi dari Nusantara, atau Indonesia, dalam sejumlah puisinya. Menyertai antologi ini, pengantar dan apendiks buku ini menjadi sangat berharga bagi kita untuk memahami bagaimana dua kebudayaan ini bertemu dan bertaut di wilayah kesastraan.

Braginsky lahir di Moskwa pada 11 Januari 1945. Ia menempuh pendidikan awalnya di Institute of Oriental Languages, Moscow State University, dan lulus sebagai doktor pada 1972 dalam bidang sastra Asia-khususnya sastra Indonesia dan Malaysia-dan sufisme dalam Islam. Ia telah menulis lebih dari 150 artikel dalam bahasa Rusia, Malaysia, Indonesia, dan Prancis, juga menulis 11 buku, baik hasil penelitian maupun terjemahan sastra.

Kini Braginsky menunggu penerbitan bukunya yang terbaru di Malaysia, Satukan Hangat dan Dingin. Riwayat Hidup Hamzah Fansuri, Penyair Sufi Melayu yang Agung (diterbitkan Dewan Bahasa dan Pustaka).

Wartawan TEMPO di Jakarta, Ignatius Haryanto, menyusun daftar pertanyaan ini, lalu koresponden TEMPO di London, Lenah Susianty, mengajukannya kepada Braginsky dan mendapat jawaban tertulis.

Dalam buku ini, Anda menulis bahwa para sastrawan Rusia telah lama memendam keingintahuan dan kekaguman terhadap Nusantara (Indonesia). Apakah ada di antara mereka yang pernah datang langsung ke Nusantara?

Ada pihak yang mengatakan, kekaguman pada kawasan yang misterius ini timbul sejak abad ke-11. Bagaimanapun, kita harus mencatat, baru pada abad ke-18 Indonesia mulai dikenal lebih luas. Pengetahuan masyarakat Rusia terhadap Indonesia sejak zaman Bizantium, lalu negara-negara muslim dan Eropa Barat, kebanyakan berasal dari mitos-mitos.

Ada kepercayaan kala itu bahwa kepulauan Nusantara ini terletak dalam surga di bumi, yaitu Taman Eden, yang memiliki kekayaan berupa emas dan batu berharga lain. Tempat ini juga dikatakan penuh dengan binatang dan buah-buahan yang tumbuh sepanjang tahun. Di sana hanya ada kebaikan, dan ia dihindarkan dari segala yang jahat. Tentu saja semua ini fiksi dan tak seorang pun pernah menemukan tempat demikian. Tapi usaha pencarian tempat tersebut tak pernah berhenti.

Suatu perjalanan yang agak akhir dilakukan oleh kelompok Cossacks dari Siberia pada paruh kedua abad ke-19. Dalam catatan harian yang ditulis seorang awak kapal itu disebutkan bahwa mereka mengarungi pantai Sumatera, menyeberangi Selat Malaka, dan mengunjungi Singapura. Tapi kala itu tak seorang pun yang bisa menunjukkan jalan menuju kerajaan yang adil dan baik itu.

Perjumpaan sesungguhnya dengan Indonesia terjadi pada abad ke-19, walaupun lebih banyak dalam bentuk buku. Agak aneh, misalnya, ketika pada 1820-an koran-koran di Rusia menulis artikel tentang pemberontakan Pangeran Diponegoro. Bagaimanapun, minat sesungguhnya terhadap Indonesia dan Malaysia dimulai oleh para penulis dan sastrawan Rusia yang saat itu dalam proses pencarian kebijaksanaan dari Timur, bersama gambaran-gambaran yang tidak biasa sebagai alat ekspresi sastra mereka. Inilah yang dilakukan sejumlah sastrawan Rusia klasik pada abad ke-19 seperti Aleksandr Pushkin, Ivan S. Turgenev, Ivan A. Goncharov, atau puisi eksperimentalis pada pergantian abad ke-20 karya Valery Bryusov, Konstantin Balmont, Nikolai Gumilev, dan pemenang hadiah Nobel Sastra, Ivan Bunin.

Dalam buku yang kita bicarakan ini, ada 50 puisi yang dilampirkan, dan dari situ kelihatan sangat jelas bahwa para penulis Rusia ini tidak tahu di mana letak Indonesia atau Malaysia karena juga tak memiliki akses langsung terhadap bahan-bahan tentang kepulauan Nusantara tersebut. Mereka semua mendapatkan informasi tentang kawasan ini lewat bacaan yang ditulis para sarjana Eropa lain ataupun lewat karya puisi penulis Eropa lainnya.

Misalnya pantun lokal dalam bahasa Jerman dan Prancis, sebagaimana diterjemahkan oleh Schamisso dan Victor Hugo, atau terjemahan dalam bahasa Inggris oleh Skeat. Satu contoh lain, setiap anak kecil di Rusia kenal dengan satu puisi Pushkin berjudul Antiar, nama sebuah pohon yang hidup di Nusantara. Tapi, yang lebih penting, rupanya para penulis puisi Rusia ini sangat terkesan akan cara bertutur dalam pantun dan mantra, yang mengingatkan mereka pada cara penulisan pantun berkait ala Rusia.

Penulis puisi yang betul-betul pernah berkunjung ke Malaysia dan Indonesia adalah Konstantin Balmont, yang terkagum-kagum pada bebunyian gamelan, kekayaan alam Indonesia, dan kemegahan Candi Borobudur.

Mengapa penerjemahan karya-karya sastra Indonesia baru dilakukan pada 1950-an, padahal sastrawan Rusia sudah mengenal Indonesia sejak berabad-abad lalu?

Seperti saya sebutkan di muka, para penulis Rusia tidak mengerti bahasa Indonesia dan karya sastra Indonesia setidaknya sampai 1950-an. Satu-satunya orang yang bisa berbicara bahasa Indonesia kala itu adalah Dr. L. Mervart, yang kemudian menjadi pendiri studi Indonesia di Rusia. Mervart belajar bahasa Indonesia di Leiden dan Paris setelah Perang Dunia II. Baru setelah ada hubungan diplomatik dan hubungan budaya antara Indonesia dan Rusia, bahasa Indonesia dikenal lebih jauh.

Faktor apa yang merintis penerjemahan karya sastra Indonesia?

Sejak berabad-abad lalu, Rusia dikenal sebagai jembatan yang menghubungkan Asia dan Eropa. Karena itu, Rusia ada dalam situasi yang menguntungkan karena bisa menyerap pengaruh budaya dan sastra dari dua kebudayaan ini. Inilah penjelasan mengapa minat terhadap kebudayaan Asia di Rusia sangat besar dan karya sastra Rusia juga banyak yang membahas imajinasi tentang Arab, Persia, Turki, Cina, dan India. Tentu saja minat besar ini hanya bisa diperkuat oleh adanya hubungan dekat dengan negara tersebut, dalam hal ini Indonesia.

Sastra, bagi orang Rusia, memainkan peran yang sangat penting dalam kehidupan, tempat pembaca tidak hanya bisa melihat sisi luar realitas Indonesia, yang biasa banyak dibaca dalam surat kabar, tapi juga melihat sisi dalamnya seperti perasaan, pemikiran, dan persepsi orang Indonesia. Dalam buku ini, ada daftar 50 buku sastra Indonesia dan Malaysia yang telah diterjemahkan ke bahasa Rusia. Termasuk dalam daftar buku itu cerita tradisional, peribahasa, karya klasik seperti Hikayat Hang Tuah, Hikayat Sri Rama, Hikayat Panji Semirang, dan Hikayat Indraputra, novel Indonesia awal karya Marah Rusli dan Abdul Muis, juga karya penyair Pujangga Baru, Armijn Pane. Juga karya Chairil Anwar, sebagai penyair pada masa setelah perang, serta karya prosa Pramoedya Ananta Toer dan Utuy Tatang Sontani. Karya kontemporer pun banyak yang telah diterjemahkan.

Pada 1970-an, misalnya, diterbitkan sejumlah novel karya Mochtar Lubis, Umar Kayam, Putu Wijaya, dan Iwan Simatupang, juga cerita pendek dari Kuntowijoyo, Budi Darma, Gerson Poyk, Danarto, dan lain-lain. Kita bisa menambah panjang daftar ini dengan sejumlah karya antologi puisi dan cerita pendek Indonesia. Ini semua kalau kita bicara tentang buku. Saya kira ada puluhan, bahkan ratusan, karya terjemahan sastra Indonesia lainnya yang diterbitkan dalam jurnal ataupun majalah. Dalam hal jumlah terjemahan karya sastra Indonesia dan Malaysia, Rusia mungkin bisa berkompetisi dengan Amerika Serikat. Mungkin kedengarannya tak bisa dipercaya, tapi sebuah karya terjemahan di Rusia ini dicetak antara 30 ribu dan 300 ribu kopi, dan sebagian besar buku ini habis terjual atau telah menemukan para pembacanya yang tepat.

Berapa universitas di Rusia yang memiliki studi khusus tentang Indonesia?

Pada 1950-an, mahasiswa Rusia mulai belajar bahasa Indonesia di Universitas Moskwa dan Universitas St. Petersburg (Leningrad). Juga ada yang belajar bahasa di Institute of Oriental Studies dan Institute of World Literature di Russian Academy of Sciences. Kondisi ini mengubah total situasi studi tentang Indonesia di Rusia dan membuka sejumlah kemungkinan penelitian bagi para sarjana dan penerjemah dari Rusia, untuk selanjutnya membawa karya sastra Indonesia lebih dekat kepada pembaca Rusia.

Pada masa Orde Baru, apakah ada kemunduran dalam hal penerjemahan karya sastra Indonesia di Rusia?

Dengan sendirinya peristiwa pada 1965 membuat penerjemahan karya sastra Indonesia menurun. Sulit bagi kami melakukan studi, juga penerjemahan sejumlah karya penulis, setelah peristiwa itu. Saya ingat, misalnya, betapa sulitnya saya pada 1976 untuk menerbitkan survei detail atas “Kesusastraan Indonesia Setelah Tahun 1965″. Ini survei pertama yang hendak menggambarkan perubahan drastis dalam kesusastraan Indonesia. Bagaimanapun, karena telah dikerjakan pada masa sebelumnya, proyek ini harus diteruskan. Di antaranya adalah penerbitan koleksi lengkap puisi para penyair Pujangga Baru pada 1966, juga koleksi cerita pendek sebelum 1965 dari Ajip Rosidi, S.M. Ardan, Idrus, Pramoedya Ananta Toer, Utuy Tatang Sontani, Nugroho Notosusanto, dan lain-lain.

Dua novel Pramoedya diterjemahkan pada 1975 (Di Tepi Kali Bekasi) dan 1980 (Keluarga Gerilya). Tapi situasi mulai berubah pada awal 1980-an dan kondisinya menjadi kembali normal. Pada 1981, terbit kumpulan puisi sejumlah penyair Asia kontemporer, yang di dalamnya terdapat karya penyair Indonesia seperti Rendra, Taufiq Ismail, Sapardi Djoko Damono, dan Goenawan Mohamad. Pada 1984-1988, terbit kumpulan cerita pendek, juga novel Putu Wijaya (Bila Malam Bertambah Malam dan Telegram), dan karya Pram yang lain, Bumi Manusia.

Di Jakarta, pada 1980-an, seseorang yang belajar bahasa Rusia dicurigai sebagai simpatisan komunis dan mendapat pengawasan lembaga intelijen. Oleh Orde Baru, Rusia dianggap sebagai negara komunis yang kemudian menjadi halangan tersendiri bagi kerja sama di antara kedua negara. Apakah ada kegiatan tertentu yang terhambat pada masa pemerintahan Orde Baru?

Ya, tentu saja secara akademis dan budaya, hubungan Indonesia-Rusia mundur sangat drastis pada masa Orde Baru. Kunjungan para penulis sastra dan kritikus sastra Rusia ke Indonesia, atau sebaliknya, menjadi tak mungkin dilakukan, atau katakan saja sangat jarang. Kami mengalami kesulitan, misalnya, untuk mendapatkan buku ataupun terbitan berkala dari Indonesia. Telah saya katakan sebelumnya bahwa pada 1980-an sulit untuk bisa menerjemahkan karya penulis Indonesia terbaru. Tapi, di luar semua kesulitan itu, penerjemahan karya sastra Indonesia ke bahasa Rusia terus berlangsung.

Bisakah digambarkan seberapa besar minat para sarjana Rusia mempelajari Indonesia?

Dapat dikatakan, saat ini baik Indonesia maupun Rusia memiliki kondisi yang lebih baik untuk pengembangan studi tentang Indonesia di Rusia, juga penerjemahan karya sastra Indonesia ke bahasa Rusia. Tapi Rusia saat ini mengalami krisis finansial. Orientasi banyak mahasiswa di Rusia juga berubah dengan mengambil lebih banyak studi tentang bisnis daripada studi humaniora. Biarpun begitu, sejumlah institusi pendidikan yang telah saya sebut di atas tidak menunjukkan tanda bahwa minat mahasiswa Rusia untuk belajar bahasa Indonesia menurun. Tentu saja sebuah persoalan lain apakah mahasiswa yang saat ini sedang melakukan studi tentang Indonesia akan meneruskan minatnya menjadi peneliti atau penerjemah sastra Indonesia, atau memilih bidang bisnis ataupun diplomatik yang berkaitan dengan Indonesia.

Pada masa Sukarno, banyak mahasiswa Indonesia dikirim ke Rusia. Apakah pada saat yang sama juga banyak mahasiswa Rusia yang dikirim ke Indonesia? Bidang apa yang mereka pelajari?

Sangat sulit menjawab pertanyaan Anda, terutama jika menyangkut akurasinya. Seperti Anda ketahui, saya telah bekerja sebagai guru besar, mengajar, dan meneliti di London School of Oriental and African Studies (SOAS) selama sepuluh tahun terakhir ini.

Dalam direktori yang dibuat oleh Koninklijk Instituut Voor Taal-, Land- en Volkenkunde (KITLV)-European Directory of South-East Asian Studies, dikompilasi dan diedit oleh Kees van Dijk dan Jolanda Leemburg-den Hollander, 1998-tercatat bahwa pada 1990-an tak kurang dari 17 orang sarjana Rusia menguasai masalah yang ada di Indonesia. Bagaimana arti strategis Indonesia buat Rusia saat ini?

Bagaimanapun, sarjana Rusia pemerhati Indonesia dalam direktori KITLV itu terlalu kecil jumlahnya. Daftar itu disusun dari mereka yang mengembalikan formulir biodata kepada KITLV. Saya yakin bahwa ahli Indonesia di Rusia, dalam bidang bahasa, sejarah, politik, ekonomi, kebudayaan, dan kesusastraan, setidaknya satu setengah kali hingga dua kali lipat jumlahnya. Kita pun bisa menambahkan, dengan menghadapi pelbagai kesulitan itu, para ahli dari Rusia ini terus berusaha mempublikasikan hasil karya mereka. Misalnya, satu kelompok yang tergolong aktif saat ini adalah kelompok Nusantara, yaitu para Indonesianis Rusia dari Universitas Moskwa dan Universitas St. Petersburg. Hampir setiap tahun mereka menerbitkan kumpulan artikel dalam berbagai aspek dari Indonesia, mulai kebudayaan, sejarah, dan sastra. Kelompok ini pun secara rutin menggelar konferensi ilmiah.

Beberapa tahun lalu, misalnya, mereka menyelenggarakan international colloquium ke-11 untuk studi Indonesia-Malaysia. Dalam kolokium itu juga diundang perwakilan sarjana Indonesia. Bisa dikatakan dengan tegas bahwa hubungan Indonesia-Rusia sangat penting dan, lepas dari pengalaman masa lalu, Indonesia dan Rusia saat ini memiliki berbagai pengalaman yang serupa: perjalanan sejarahnya, kesulitan pembangunan sosial ekonominya, juga problem pembentukan masyarakat demokratis menggantikan pemerintahan otoriter, serta pentingnya peran hubungan antar-agama dan antarkelompok.

Rusia, seperti Indonesia, adalah negara multi-agama (Kristen, Islam, dan Buddha). Dengan banyak kesamaan itu, dialog di antara kedua negara yang lebih serius, lebih komprehensif, menjadi suatu keharusan. Kedua bangsa ini memiliki banyak hal yang bisa dibicarakan, dan pertukaran ide di antara kedua bangsa ini akan sangat berharga dan bisa memberikan inspirasi bagi keduanya.

Mengintip Kerja Kreator Film Indie

Sepuluh Film Diproduksi Selama Empat tahun
Imron Arlado
http://www.jawapos.co.id/

Pembuatan film indie di negeri ini, kerap mendapat komentar pedas dari berbagai kalangan. Mulai dari pembuatan yang dianggap kurang bermodal, sampai pada tingkat keseriusan.

HANYA gara-gara ingin membahagiakan orang tuanya, Sukarti nekat menjadi seorang tenaga kerja wanita (TKW) di negeri seberang. Ia hanyalah seorang anak seorang penambang pasir yang mengigau menjadi orang kaya tanpa pikir panjang.

Keberangkatan Sukarti ke luar negeri, tentu membuat kedua orang tuanya sedih. Proses izin yang dilakukan terhadap kedua orang tuanya itu, mendapat penolakan. Sukarti memang keras kepala. Meski izin tak diberikan kepadanya, ia tetap mendesak orang tuanya. Izin pun akhirnya diberikan kepadanya.

Senang bukan kepalang. Sukarti yang tak pernah mengenyam bangku kuliah itu pun berangkat ke luar negeri. Ritual pun dilakukan. Sukarti harus merangkak di tengah selangkangan Mak Karti, ibunya.

Selang beberapa lama kemudian, keresahan tiba-tiba muncul dari Pak Karti, ayah Sukarti. Kabar dari anak tercintanya, tak pernah inggap ke kedua telinganya. ”Sudah lama sekali anakku pergi. Sampai sekarang, tidak pernah memberikan kabar ke rumah,” tukasnya.

Suatu saat, harapan itu tiba-tiba muncul. Ia mendapat kabar bahwa Sukarti bakal pulang kampung dengan menaiki sebuah kereta. Di tunggunya, ia sampai menghabiskan puluhan putung rokok di sebuah terminal.

Hasilnya? Kereta yang diharap kedatangannya itu pun muncul. Namun, bukan Sukarti yang turun, tapi hanya selembar kertas yang dibungkus rapi dalam sebuah amplop. Sebuah surat yang mengabarkan tentang kondisi Sukarti.

”Gak ada kejelasan. Apakah Sukarti meninggal atau tidak. Yang jelas, kepergian Sukarti, nasib Sukarti, masih misteri,” kata Tophantohary, sutradara film Sukarti kepada Darmo, usai bedah film indie di Jalan Ahmad Yani, Mojolegi, Mojoagung, Jombang, Sabtu (12/12) malam.

Daripada hujan emas di negeri orang, lebih baik hujan batu di negeri sendiri. Itulah kalimat indah yang mengkritik pemerintah tentang nasib TKI yang tak pernah mendapat respons khusus dari pemerintah.

”Kalau memang pemerintah serius menangani TKI, hendaknya, pemerintah memberikan jaminan khusus kepada mereka,” tutur mahasiswa semester 5 di Unisda, Lamongan ini. Film berdurasi 15.57 detik tersebut merupakan karya teranyarnya pria kelahiran Majalengka, Jawa Barat, 23 silam itu.

Jika ditotal, Thopan telah menggarap sembilan film indie. Yakni Kacamata, Kado Buat Emak, Jombang EXYZ, SMS, Si Tompel, Namaku Selebriti, Omah Debog, dan Remaja Membara. ”Rata-rata Jombang sebagai lokasi syutingnya,” ungkapnya. Film-film itu ia buat sejak empat tahun silam. Dananya? ”Kita selalu swadaya. Tak ada bantuan dari siapa pun,” ujarnya.

Thopantohari, merupakan satu dari beberapa sutradara film indie yang diputar malam itu. Mereka adalah Amalia Choirun Nafiah, Yurif, QY. Indraswari, dan Mustakim.

Kritik pedas muncul dari tiga kritikus sastra dan film Jombang yang hadir pada malam itu. Mereka adalah Bambang Irawan, Robin Al-Kautsar, dan Fahrudin Nasrullah. Bambang Irawan misalnya. Ia mengkritik bahwa selama ini film Indie hanya bingung dan berkutat pada keapikan gambar. Kualitas visualisasi masih kerap kurang. ”Parahnya, masih banyak film Indie yang kurang memperhatikan kualitas misi, dan jalan cerita yang ada dalam film tersebut,” tukasnya.

Tak jauh beda, Robin Al-Kautsar dan Fahrudin Nasrullah. Keduanya juga sepakat jika film indie adalah kreativitas karya anak muda di negeri ini dan harus didukung oleh semua pihak.

Selain melakukan diskusi dan bedah film Indie, puluhan peserta yang berasal dari Majavanjava Cinema dan Komunitas Lembah Pring tersebut juga diajak nonton bareng empat film Indie karya anak negeri. (yr)

Embriologi Peradapan

Sabrank Suparno
http://forumsastrajombang.blogspot.com/

Pernakah kita berfikir tentang asal-muasal atau apa sebab, dan bagaimana, dan seterusnya, mengapa bisa terjadi adanya peradaban? Taruklah manusia jaman sekarang menganggap telah menemukan titik sentral atau sumbu koordinat peradaban tertinggi. Ambil satu contoh dengan penemuan teknologi sekelas google, yang dengan serta merta membentangkan provider yang benar-benar menjadikan kecepatan informasi dan ngerumpi-nya manusia dari berbagai belahan dunia.

Sisi kenyamanan akibat terkuaknya ilmu pengetahuan dan teknologi memang tak perlu dipertanyakan. Sebab jawabannya pasti hanya satu kata’idem’yakni –kemudahan-efisiensi. Tetapi kelemahan akibat yang ditimbulkan belum tentu disikapi pemakai-fasilitas kecanggihan iptek secara cermat dan bijak.

Untuk menggambarkan perkembangan peradaban kita dapat ilustratifkan pada hal yang sepele misalnya : sebuah balon yang belum tertiup, kita dapat noktahkan banyak titik. Setelah balon ditiup dan makin besar perkembangan balon, makin jauh pula jarak antar titik yang satu dengan yang lain. Titik itu bisa kita tarik ke berbagai idiom sosial kemasyarakatan yang lebih luas. Pengembalian titik ke jarak posisi semula hanya akan terjadi saat balon dikempeskan lagi dan atau pada posisi kuantum.

Tak tanggung-tanggung meledaknya peradaban yang akhirnya disematkan sebagai titik sentral nilai. Munculnya astrofisikawan semisal Hughross (Amrik), Denis Yanura, Servid Hugo (Inggris) dan bahkan Steven Hoki yang dalam kancah penelitian luar angkasanya menemukan adanya kandungan hidrogen yang selalu berjumlah sama dengan unsur helium sebagai sisa ledakan besar -big bang- awal terjadinya alam semesta.

Seiring dengan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi sebagai “ruh”, peradaban akan melaju. Qur’an surat Al-Anbiya’ ayat 30, atau Adzariat ayat 47 telah meletakkan dasar utama sebagai referensi setiap gejala peradaban. Tahun 1948 John Gemon dari Amerika menandai adanya sisa radiasi dari ledakan besar (big bang). Tahun 1965, Penzia mengemukakan teori alumbenzias yang menyimpulkan bahwa kehidupan berasal dari keajaiban yang tersibak. Sampai pada tahun 1985 pusat penelitian luar angkasa NAZA sanggup menggemparkan kalangan astrofisikawan dengan temuan radiasinya dengan istilah “alsion” yang akan bertemu dalam satu fokus tahun 2012 nanti. Yang kesemua indikator gejala alam tersebut dapat diunduh sebagai bahan dasar replikasi bangkitnya peradaban.

Kembali pada pertanyaan di atas, apa asal-muasal atau yang menjadi genre peradaban, sehingga manusia mampu merambah peradaban yang amat mutakhir? Mungkin kita tidak menyangka dengan apa yang kemukakan Emha Ainun Nadjib dalam pertemuan Padhang Mbulan, bahwa awal terjadinya peradaban hanya karena manusia di anugerahi tulang rahang yang lemah dan dan pita suara yang lembut. Cak Nun menggambarkan secara ilustratif beda antara manusia (yang bertulang rahang lemah) dengan hewan (kera) yang bertulang rahang kuat. Kera akan memakan setiap jenis makanan berdasarkan kekuatan rahang, sehingga dalam dunia kera tidak melahirkan cara yang lebih mudah untuk mengkonsumsi berbagai jenis makanan. Disinilah hewan tidak memerlukan peradaban. Karena rahangnya sudah cukup untuk menjadi alat memenuhi kebutuhannya. Berbeda dengan manusia, tulang rahangnya yang lemah membuat manusia mencerdiki suatu cara untuk mengolah makanan agar mudah dikonsumsi.

Dari rahang yang lemah inilah kemudian berkualitas pada pita suara. Timbre -warna suara- mudah di aransemen menjadi berbagai bentuk yang menghasilkan nada-nada yang indah. Tak pelak jikalau akhirnya nada itu kemudian menjadi kekuatan penunjang atas lahirnya peradaban. Keterkaitan bentuk dalam wujud yang dipengaruhi “maka” dan “karena” ini juga disinggung Emha dalam buku “Budaya Tandingnya”.

Pengelolaan rima agar serasi, pada akhirnya menusia menciptakan rumus-rumus khusus. Dalam budaya pondok pesantren dikenal dengan ilmu urud-kitab yang mempelajari tentang kerancakan nada. Dalam ilmu Urud, dapat kita tumukan istilah syair yang bersajak bahar kamil, bahar majaz dan lain-lain. Dalam ilmu jawa disebut –cengkok- atau lekuk peralihan nada.

Menurut penjelasan Mas Blotong, yang hadir dalam rekaman sholawat dengan jama’ah padhang mbulan tanggal 30 Maret 2010 mengatakan bahwa pada dasarnya penggalian ilmu nada dibedakan atas 3 dasar utama, yakni nada dasar, tangga nada, dan ritme. Blotong yang sedang mendalami ilmu seni di ISI Yogyakarta, dan sedang menempuh S2 itu juga menambahkan bahwa ilmu nada dasar diatonik yang dirumuskan dengan do, re, mi, fa, sol (7 nada dasar). Berbeda dengan ilmu nada bagi orang Timur (Asia). Orang-orang Asia mengembangkan nada diatonik ini menjadi warna baru yang disebut pentatonik (pengembangan dari diatonik). Sedangkan ukuran mayor dan minor hanyalah nada-nada bentukan.

Nada pentatonik ini tidak terdapat di dunia Barat. Dalam hubungannya dengan musik Kyai Kanjeng, Mas Jijid yang hadir di padhang mbulan juga melengkapi komentar Mas Blotong. Sebagai pakar seni, mereka menemukan keunikan dalam nada yang diperankan musisi Kyai Kanjeng. Menurut dua pakar seni dari Yogyakarta ini, Kyai Kanjeng mampu tampil atau mengalami perubahan nada dari diatonik ke pentatonik dalam perubahan yang lentur dan serasi namun padat. Kelebihan semacam inilah yang tidak ditemukan dalam alur musikalisasi pada umumnya. Artinya di dalam peramuan aransemen saja, Kyai Kanjeng kental dengan syarat pruralisme rima. Belum lagi dengan jenis musik yang digarap. Aliran musik modern –pop- hingga etnis, diusung juga oleh Kyai Kanjeng. Hal ini sebagai tanda penghubung dua kutub alur permusikan. Perlompatan tangga nada terjadi secara cepat, binal, melunjak-lunjak namun tetap menempuh ruag estetik dan etiknya. Percepatan semacam ini berbeda dengan puisi art yang dirancang Afrizal Malna. Sebagaimana golongan sastrawan yang memilih jalur penuangan puisi dengan teori percepatan, justru tidak memberikan kesempatan audiens sedikitpun mengejar pemahaman atas apa yang dibacakan. Percepatan yang diperankan Kyai Kanjeng, tetap runtut dari tiap peralihan yang memungkinkan pemirsa mampu memetik tujuan aspirasi seni yang digebyarkan.

Keunikan aransemen Kyai Kanjeng ini selaras dengan teori penyelarasan cepat yang ditemukan astrofisikawan George Elis dan Prof John Nagiv. Sebagaimana Al-Furqon ayat 2 mereka mengatakan bahwa “ serpihan yang melaju dengan percepatan tinggi akan segera menjauh”. Ada semacam pergeseran jarak yang dengan sendirinya menjauhi terjadinya benturan. Per-bentur-an yang dimaksud adalah semacam cauvimisme rujukan filsafat yang hanya baku dan ditemukan dengan cara yang sempit. Disinilah Kyai Kanjeng membeberkan keluasan pandang di berbagai lini, agar peradaban berkembang menempati ruang yang luas dan beraneka ragam.

Seniman Barat tentu tidak akan sanggup mengejar seniman Timur yang syarat dengan laras-laras pentatoniknya. Hal ini bukan sekedar nada dasar mereka yang tidak memadai, akan tetapi juga proses eliomentary Yahudi yang merasuki proses ilmu Barat. Dalam pertemuan rutin sastrawan Jombang yang penulis catat, Robin al Kautsar seorang S1 ekonom pernah mengatakan hal eliomentary Yahudi ini dalam lingkup seni (art hemogeni). Contoh sederhana semisal film-film barat selalu mengambil background orang arab atau asia sebagai peran abdi (kawula) atau peran pecundang.

Dalam kesempatan sempit diantara rekaman beberapa tembang sholawat koor yang diambil dengan jama’ah padhang mbulan, Cak Nun menyarankan pada jama’ah agar tetap rapi memenejemen lalu lintas rohani dengan intelektualitas. Manajemen demikian dimaksudkan agar dalam kreatifitas apapun kita tetap menarik hubungannya dengan nilai ke Allohan. Sesuatu yang tidak menyertakan Alloh hanya berakibat “kakean cocot”omong kosong belaka.

Pruralisme aransemen musik Kyai Kanjeng ini selaras dengan apa yang ditulis Andrew Banjamin dalam buku –Pluralism the Cosmopolitan and the Avant Garde- estetikus Inggris ini mengatakan bahwa dalam kreatifitas pluralitas terdapat dua hal sekaligus dalam satu ruang, yaitu “penyatuan” dan “esensi”. Dari sini dapat dicerna bahwa –Barat- yang hanya memiliki nada dasar diatonik itu terlalu hibridity semata.

Keunikan musik Kyai Kanjeng ini tak pelak mampu diapresiasi sebagai musisi yang tour terbanyak dalam melantunkan tembang-tembang aransemennya dan terbanyak pula negara-negara didunia yang dikunjungi dari pada kelompok musik manapun/apapun didunia.

Pemerintah Indonesia sendiri tidak banyak yang merespon musik Kyai Kanjeng. Sebab pemerintah sudah mengawali kegagalannya dengan memandang sesuatu berdasarkan teori -barat- yang nota bene-nya tolok ukur barat belum tentu cocok dengan teori yang dikembangkan oleh orang-orang Timur. Pemerintah dan pelaku sejarah telah sukses menjadi tangan panjang (tentakel global) dunia –Barat di dalam melakukan pencucian otak ke-timuran.

Dari rahang manusia yang lemah sampai nada-nada pentatonik, sesungguhnya, siapapun, termasuk ilmuan barat mengetahui jikalau Timur adalah peradaban asal muasal dari segala peradaban atau dikenal dengan istilah “sangkan paran dumadi”. Tetapi barat terus menerus membalikkan fakta dengan cara mengakui bahwa Barat adalah awal lahirnya peradaban. Keberadaan inilah yang disebut bahwa orang-orang Barat terus berupaya menerbitkan matahari dari Barat. Barat selalu menentang nochturn kesadaran dan kewajaran alamiah bahwa bagaimanapun matahari hanya akan terbit dari Timur.

SSSSST, ADA PEMBUNUH CINTA DI ISTANA!

Robin Al Kautsar
http://www.sastra-indonesia.com/

“Ji, di dalam cerita peperangan dan penderitaan yang paling kejam sekalipun, di sana ada kisah cintanya. Sedangkan drama kehidupanmu begitu hambar.”
(PDN, hal 143)

”Pembunuh di Istana Negara” karya Dhian Hari M.D. Atmaja pada dasarnya mencoba mengangkat tema politik. Suatu tema yang cukup jarang diangkat akhir-akhir ini, di mana tema seks begitu mendominasi. Oleh karena itu tema ini mengingatkan saya bahwa sebagian sastrawan kita dulu begitu berpretensi melukisan kecenderungan-kecenderungan utama masyarakat yang berpusat pada negara seperti “Grota Azura” karya Sutan Takdir Alisyahbana atau bahkan pada “Nyali” karya Putu Wijaya. Kebetulan kedua karya tersebut tidak begitu disambut secara luas. Mungkinkah karenanya tema politik akhirnya dihindari oleh banyak pengarang?

Ini memang novel politik. Banyak gagasan politik dibicarakan di situ. Walaupun demikian pengarang memberikan porsi yang cukup besar bagi pembicaraan cinta dan adegan percintaan. Apakah pengarang tidak begitu percaya diri untuk fokus pada tema yang diusungnya? Atau bahkan mungkin pengarang begitu terpengaruh oleh resep Hollywood dimana setiap pahlawan pasti akan dipertemukan dengan pahlawin, kemudian keduanya bercinta dan berzina terang-terangan, apapun temanya. Cuma bedanya kalau Hollywood mengakhiri ceritanya dengan happy ending dan Dhian mengakhirinya dengan tragedi. Mari kita simak dialog berikut ini:

“Aku sungguh ingin membantu!”, jawab Agung dengan pasti
“Kalau kamu sungguh ingin membantu, ajak aku masuk ke dalam dan cumbui aku. Buai aku dalam kasih sayangmu yang seperti lautan madu.”, Ucap Rina menggoda
………………………………………………………………………………………………………………………….
Ia hanya bisa memeluk Rina dengan erat……………………………………………………………….
Air mata terbendung untuk kali ini dalam nafas yang memburu, dan kesedihanpun terbungkam begitu jauh.

Tampaknya pengarang begitu obsesif dengan adegan percintaan, sampai-sampai realitas adegan di rumah kos di tengah masyarakat ditabrak begitu saja. Ini penting dibicarakan mengingat novel adalah genre sastra yang paling mimesis.

Bagi saya Kapten Agung Sutomo adalah tokoh sentral novel ini dan konflik yang terjadi adalah dia dengan dirinya sendiri, setelah menilai situasi sosial politik di sekitar, lebih-lebih dia ikut merasakan pahitnya kehidupan orang tua Rina dipecundangi oleh praktek-praktek aparat negara, meskipun dia sendiri berada di .pusat kekuasaan. Ide-ide revolusi mencuat dalam dialognya bersama Oka:
“Jadi revolusi tidak bisa menjadi jalan keluar demi membangun negara humanis, Mas?”, tanya Agung setelah mendengar ketidakpercayaan Oka pada jalan revolusi. Dan posisi pengarang memang termasuk yang tidak percaya pada revolusi, meskipun deskripsinya tentang apa itu revolusi dan apa itu negara humanis sangat tidak memadai. Pandangan pengarang yang disampaikan lewat Oka seperti: “Revolusi akan menimbulkan masalah baru yang lebih besar. Mengacaukan sistem ekonomi, politik, keamanan dan aspek kenegaraan yang lain.” Dengan alasan: “ Dalam setiap prahara dan perubahan rakyat selalu menjadi korban”. Pandangan seperti ini sangat naif dan sering dibangun oleh pihak yang anti perubahan untuk menjadi bahasa dan nina bobok rakyat. Tidak mengapa pengarang tidak percaya pada revolusi, tetapi daya jelajah dan luasan penglihatannya untuk mengenali dan mengeksplorasi bagian krusial ini harusnya melampaui bahasa rakyat jelata (baca: tidak memiliki kesadaran politik).

Membicarakan revolusi tanpa mengeksplorasi pemikiran Marx akan sangat dangkal dan ahistoris. Mungkinkah ada reaksi tanpa ada aksi? Mungkinkah perubahan akan terjadi tanpa adanya kegelisahan masyarakat yang meluas? Sayang sekali Wiku Sapta Seloka, Wayang dan Aji Saka yang pernah menjadi aktivis kampus tak dapat memerankan fungsi jembatan antara kegelisahan masayarakat akar rumput dengan diskursus revolusi (dalam bahasa akademis) yang antara lain dikembangkan oleh Marx. Oleh karena itu tidak aneh kalau pusat agen perubahan sosial hanyalah Presiden, yang dalam negara modern sebenarnya jauh lebih ringkih dari yang dipikirkan awam.

Tetapi ini novel, bukan paparan ilmiah! Betul sekali. Tetapi mengangkat tema besar seperti itu punya resiko tersendiri. Ketika pengarang tidak parcaya pada kekuatan kata semata ia meminta bantuan gambar yang bernama diagram hirarkis terbalik. Padahal diagram tersebut tidak memperkaya novel untuk lebih menggugah atau memperjelas. Tidak jelek memasang diagram asal telah terinternalisasi dalam kemurnian ruang ilham. Namun memang tidak mudah menaklukkan medium seni. Keinginan Iwan Simatupang untuk menciptakan novel tanpa tokoh tanpa plot tidak pernah terealisasikan, karena kemungkinan besar hasilnya bukan novel tapi buku sosiologi atau psikologi.

Penokohan dalam novel ini walaupun kurang kuat karakterisasinya dapat digambarkan sebagai Agung sebagai protagonis dan antagonis di bagian inti dan selebihnya yang menggunakan nama imajiner ( Wiku Sapta Seloka, Wayang dan Aji Saka ) sebagai wakil dari kehidupan pengarang di bagian plasma. Sedang tentang kehadiran Gadis dan Rina hanyalah instrumen untuk adegan percintaan yang menjadi kredo pengarang di atas. Dengan demikian walaupun pengarang berada pada posisi pihak ketiga yang serba tahu, dia telah sekuat tenaga untuk sebagai pengamat yang netral. Tentu saja dia tidak banyak tahu, sehingga deskripsi tentang istana yang rumit tak dapat ditampilkan sebagai bagian ketegangan ketika protagonis dan antagonis mengalami konflik yang amat sangat hebat.

Ketegangan yang terjadi pada klimaks sungguh singkat dan mentah. Bagaimanapun novel ini adalah novel konvensional, dimana kepiawaian pengarang sangat diuji untuk menciptakan tanda tanya besar yang membuat pembaca menahan nafas dan akan marah kalau bacaannya disela orang lain. Terusnya bagaimana? Selamatkah tokoh utamanya? Sayang sekali klimaks segera beralih menjadi anti klimaks. Dan penyelesaiannya mudah ditebak, pengarang mengokohkan kembali siap anti-revolusinya. Apakah pengarang seorang pemuda konservatif alias jumud?

Membaca novel ini alurnya terasa lambat dan bertele-tele. Apalagi dialognya tampak anakronistik dan tidak lincah, sehingga realitas yang nyaris digenggamnya kembali luput tak terpaut. “Contoh: Ada waktunya mas waktu untuk kita berdua. Lagipula Aji sudah lama tidak ke sini. Lebih baik kalian pergi hanya berdua’ Meluncur ke dinginnya aspal tempat kalian mengais-ngais sesuatu. Atau hanya untuk sekedar mengenang masalalu saja.” Mungkinkah ini kata-kata istri yang telah kita kenal tiap hari?” Rasa-rasanya ini seperti istri dalam sebuah sandiwara teater Dardanella.

Begitulah novel politik. Resiko menggarap novel politik sangat besar, karena pengarang harus mengolah dari bahan-bahan yang tidak murni. Bahasa yang ia pergunakan telah dibebani oleh wacana yang telah tertentu dan menyejarah yang pengarang harus menguasainya terlebih dahulu.

Tugu Gang I, Blok B, No.2, Jombang

Sang pengembara

Aang Fatihul Islam
http://forumsastrajombang.blogspot.com/

Awan sore itu berwarna hitam pekat dengan sedikit warna putih menghiasinya, sebagai pertanda akan datangnya hujan. Aku berjalan sempoyongan mencari tempat untuk berteduh. Aku melangkahkan kakiku berjalan menuju sebuah gudang tua di dekat rel kereta api. Kilat dan petir menyambar bagaikan cemeti raksasa yang mengaung di atas awan-awan. Ribuan anak panah akan segera diluncurkan ke bumai yang menjelma menjadi luncuran air hujan. Manusia berbondong-bondong untuk segera masuk ke rumah masing-masing dan mengunci rapat-rapat pintu rumah mereka masing-masing. Orang-orang penghuni stasiun Wonokromo pun saat itu pun jarang yang berkeliaran, entah apa yang mereka kawatirkan. Seakan aktifitas menjadi mati suri seperti keramaian yang disulap menjadi kuburan yang begitu sunyi. Aku pun segera merapatkan diriku di depan gudang tua itu karena angin bertiup begitu kencang berkolaborasi dengan hujan yang begitu lebat.

Dalam kekalutanku yang terjadi dalam kesunyian itu tiba-tiba ada suara langkah kaki yang berjalan menuju arahku. Tiba-tiba sesosok orang tua dengan rambut serba keputian, pakaian serba hitam dan lusuh memegang gitar tua yang sudah kusut ikut mendekat disampingku sambil bernyanyi lagunya D’Massive yang berjudul “Jangan menyerah”. Mungkin ia juga merasakan hal yang sama dengan apa yang kurasakan. Apalagi badannya yang sudah tua, tentunya lebih lemah bila dianding denganku. “Nak kenapa kamu berada di sini?” (pertanyaannya menggetarkan jantungku) “ak…aku…. sedang mengembara kek” (jawabku lirih, seakan agak sedikit ragu). “Kamu mau mengembara kemana nak?” (kakek itu bertanya lagi) “entahlah kek aku hanya mengikuti kata hatiku” (jawabku spontan). Kakek itu ritme bicaranya sangat tertata, walaupun agak terbata-bata ketika berbicara tetapi kata-katanya begitu dalam dan menusuk sanubariku yang paling dalam. Tiba-tiba kakek itu pamit kepadaku dan tiba-tiba menghilang begitu saja entah kemana.

Bel dari stasiun berbunyi teng….teng…teng….teng….teng…teng….teng…teng….. sebagai pertanda kereta api KRD akan segera diberangkatkan. Suara petugas stasiun menggema “kepada penumpang kereta api KRD dimohon untuk segera naik di atas kereta, karena kereta api KRD jurusan Jombang akan segera diberangkatkan”. Aku pun segera lari menuju arah kereta dan melompat ke atas kereta dengan tas rangsel bertengger di punggungku. Tepat pukul 17.30 kereta api KRD berangkat dari stasiun Wonokromo menuju Jombang. Aku sampai di stasiun Jombang pada pukul 20.00. setiba di Jombang aku melangkahkan kakiku menuju sebuah kota yang begitu sepi, beda sekali dengan kota Surabaya yang serba gemerlap dengan keramaian. Akupun melangkahkan kakiku menuju alun-alun Jombang sambil menyedot sebatang rokok dan minum segelas kopi. Rasanya malam itu begitu damai, entah apa yang terjadi kepadaku tetapi hartiku merasakan kadamaian yang belum kudapatkan sebelumnya. Yang jelas di Jombang serasa begitu tenang dari huru-hara sebagaimana yang ada di Surabaya.

Di alun-alun itu aku bertemu dengan pemuda yang penampilannya sangat tidak meyakinkan. Sepertinya dia anak jalanan yang suka nongkrong di jalan-jalan. Ya biasalah anak jalanan mungkin sama juga seperti aku yang bahkan tidak jelas tujuannya mau kemana. Hanya kata hatilah yang menggerakkan aku untuk terus menelusuri lekuk-lekuk bumi yang ada di wilayah Indonesia. Entah kegelisahan apa yang menggerakan aku untuk tahu dengan mata kepalaku sendiri fenomena yang ada di gemah ripa loh jinawihnya Indonesia ini. Saya masih teringat ledakan penggalan kata-kata kanjeng Sunan Ampel yang dikutip oleh Emha Ainun Nadjib budayawan asal Jombang yang mengatakan bahwa Indonesia adalah penggalan surga, surga seakan-akan pernah bocor dan menciptakan kekayaan dan keindahannya , dan cipratan keindahan itu bernama Indonesia raya. Indonesia adalah sebuah Negara yang subur, seakan tidak akan habis terkikis anugerah yang ada di dalamnya. Akan tetapi hatiku tersentak ketika aku banyak mendengar bahwa pengelolah kekayaan yang ada di Indonesia adalah tenaga yang di impor dari luar negeri dan rakyat Indonesia hanya sebagai tenaga kasar atau lebih tepatnya dikatakan buruh. Sungguh memprihatinkan kenapa tuan rumah malah berbalik menjadi buruh? Apakah memang pendidikan kita mencetak lulusan buruh?

Hatiku rasanya seperti di iris-iris ketika mengetahui bahwa anugerah yang telah diberikan Tuhan yang Maha Esa harus disia-siakan begitu saja. “Kenapa kita tertidur begitu pulas dan panjang? Apakah karena kenikmatan ini yang menjadikan kita menjadi malas? Kenapa kita tidak pernah bersyukur dengan kenikmatan yang diberikan kepada kita? Kenapa? Kenapa? Kenapa?” Berjubel-jubel pertanyaan terus berkejar-kejaran dan saling susul-menyusul bagaikan ritme ombak di samudra yang menggulung-gulung saling berkejar-kejaran. Eksotik keindahan laut adalah sebuah anugerah. Panorama alam di pegunungan yang hijau memukau adalah sebuah anugerah. Kekayaan alam adalah sebuah anugerah, tanah yang begitu subur adalah sebuah anugerah dan otak yang diberikan kepada kita untuk berfikir adalah juga anugerah besar yang diberikan Tuhan untuk terus berfikir. “fadzakir Innama Anta Mudzakir” begitulah kata-kata Agung Tuhan dalam firman-Nya yang terlukis indah di hati kita, tapi kenapa kita sering terlena dengan kenikmatan ini?.

Pemuda itu sontak berkata kepadaku “hai kawan kenapa kamu tampak begitu gelisah? adakah masalah yang sedang menimpahmu?, lidahku secara spontan tergerak untuk menjawab “ ya kawan aku sedang gelisah dengan keadaan yang menimpah kita selama ini, aku malu pada diriku sendiri kenapa otakku tumpul untuk berfikir tentang hidup ini, hidup yang penuh dengan kedzaliman”. Dengan begitu tenang pemuda itu menangkis kata-kataku “begini kawan, hidup ini memang tidak seindah di layar sinetron, hidup ini butuh perjuangan maka perjuangan hidup kita”. “Tetapi selama ini tidak ada yang bisa kulakukan selain hanya gelisah dan berkata kawan?”. Pemuda itu menimpali pertanyaanku “hai kawan jika kamu mau ke puncak gunung untuk melihat sinar matahari di pagi hari maka kamu akan memulai dari satu langkah kaki bukan?” nah untuk itu kamu juga harus memulai perjuangan itu untuk meraih perubahan dimulai dari sesuatu yang kecil.”

Aku termenung sejenak dan menimbang-nimbang kalau perkataan pemuda itu ada benarnya juga. Kata-katanya begitu sederhana tapi penuh makna. Akupun segera pamit pada pemuda itu dan bergegas ke makam-makam Pahlawan Nasional yang ada di Jombang seperti K.H. Hasyim Asya’ari, K.H. Wahid hasyim, K.H. Wahab Hasbullah, K.H. Bisri Syansuri, K.H. Abdurrahman Wahid dsb. Karena bagiku mereka adalah sosok yang penuh inspiratif dan perjuangan, dengan harapan semoga doa yang kupanjatkan pada mereka dapat tercipratkan ruh perjuangan mereka dalam diriku. Sampai pada salah satu makam tiba-tiba aku tertidur pulas dan bermimpi, dalam mimpiku itu aku bertemu pada beliau dan para tokoh yang lain. Beliau-beliau berpesan padaku untuk melanjutkan perjuangan mereka untuk tetap mempertahankan Bineka Tunggal Ika, Pluralism dan Demokrasi. Indonesia adalah Negara Pancasila maka petahankan itu. Raih kemerdekaan yang sampai sekarang belum terwujud secara total, bebaskan burung-burung itu dari sangkar-sangkarnya dan tegakkan keadilan di muka bumi ini.

Aku pun terbangun dan mengucek-ucek mataku, mencubiti kulitku. Aku baru tersadar bahwa tadi aku berada di alam mimpi tapi mimpi itu bukanlah sembarang mimpi. Itu adalah pesan yang agung dan harus segera dilaksanakan, karena bagiku itu adalah amanat. Walaupun jasad beliau sudah terpendam tanah akan tetapi ruh perjuangan belia akan hidup selamanya dan semoga itu bisa bertengger di dalam jiwaku. Sehinggah aku mampu untuk meneruskannya. Semoga serpihan-serpihan pemikiran itu mampu bertengger di dalam otakku, sehingga aku mampu untuk menggantikan perjuangan itu. Sungguh berat perjuangan ini bagaikan berada di padanmg pasir yang tandus dan tidak ada air setetespun di sana. Hatiku , jiwaku, otakku, terasa kering kerontang bagaikan orang yang kehausan di terik panasnya sang mentari. Oh Tuhan berikan setetes air-Mu agar kehausan yang tak berujung ini segera berakhir.

Pagi itu setelah sholat Shubuh aku melanjutkan perjalananku ke Mojokerto. Sebuah kota yang merupakan Jejak dari kerajaan Majapahit yang pernah jaya dan menyatukan Nusantara lewat patihnya yang hebat yaitu Gajah Mada. Akankah akan lahir Gajah Mada baru yang menjadi lakon baru dalam dunia kekuasaan. Kekuasaan yang ada sejak zaman Majapahit itu sampai sekarang. Ada yang berkuasa dan ada yang dikuasahi, ada yang menindas damn ada yang ditindas. Ini merupakan sebuah roda perjalanan yang terus berputar dan sepertinya akan selalu ada. Ketika tidak ada bagian yang mengkontrolnya maka penindasan itu akan kebablasan. Aku melanjutkan perjalananku ke Makam Syeh Jumadil Qubra yang konon adalah ulama’ yang pertama kali babat tanah jawa dan berkolaborasi dengn Syeh Subakir. Aku mencoba untuk mempergunakan detak jantungku yang begerak begitu cepat untuk berdialog dengan mereka dan menanyakan solusi yang terbaik untuk mengentaskan masalah di negeri tercinta yang kian berlarut dan belum ada ujungnya. Sampai subuh tiba akupun merasakan ada kekuatan ghaib yang merasuk ke dalam jiwaku. Aku tidak dapat mengatakannya apa itu tapi yang jelas sebuah kekuatan yang datangnya dari Sang Khalik, dan aku meyakininya.

Pagi itu aku meluncur ke Kota Jogja naik kereta api ekonomi Logawa. Walaupun kereta ini sudah begitu tua tapi aku berusaha untuk menikmati perjalanannya. Selang waktu tiga puluh menit aku melihat ada keramaian di stasiun Madiun bahwa kereta api Logawa jurusan Surabaya dari Jogja sedang mengalami kecelakaan. Kecelakaan ini diprediksi akibat dari beberapa kemungkinan; ada yang mengatakan bahwa rel kereta apinya memang ada yang rusak, ada juga yang mengatakan bahwa kereta api yang digunakan memang sudah cukup tua sehingga sulit untuk dikendalikan oleh sang masinis. Aku begitu gelisah yang Ibercampur dengan rasa penasaran sebenarnya sudah berapa banyak korban kecelakaan yang meninggal dalam kecelakaan kereta. Disisi lain aku juga bersyukur, karena meskipun aku kerap naik kereta tapi Tuhan masih memberikanku keselamatan. Sungguh engakau penguasa segala yang ada di langit dan di bumi.

Perjalanan dari stasiun Mojokerto menuju Jogja kurang lebih memakan waktu lima jam. Tepat pukul 10.00 aku telah sampai di stasiun kereta api Jogjakarta. Akupun segera turun dari kereta dan melanjutkan perjalananku menuju keraton Jogjakarta , tapi tiba-tiba di jalan aku mendengar teriakan yang begitu lantang, sepertinya suara para pendemonstran. Ternyata benar ada demonstran yang tergabung dalam aliansi Mahasiswa peduli keadilan di sana terpampang tulisan “TOLAK PEMBANGUNAN PLTN (Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir) DI INDONESIA”. Aku tertarik dengan isu yang mereka usung, mereka adalah aktor-aktor yang menjadi agen of change dan juga agen of control pada para penguasa dan memperjuangkan kepentingan rakyat. Semoga oaang-orang seperti mereka akan tetap ada di dunia ini dan bertebaran dimana-mana untuk menebarkan benih-benih keadilan.

Di jogja aku bertemu dengan teman-temanku dulu yang gaya bicaranya sudah berbeda dengan waktu SMA dulu, mereka terlihat seperti kaum intelektual yang idealismenya sangat tinggi “ Hai aktifis bagaimana kabar Surabaya hari ini masihkah ada keadilan di sana?” tiba-tiba pertanyaan mengagetkan tertuju padaku “ ya kawan aku kesini karena ingin belajar banyak hal padamu, supaya benih-benih keadilan masih bisa direbut dari Negara kita yang belum merdeka sepenuhnya” (jawabku tenang) “ benar kawan marilah kita tebarkan benih-benih keadilan di bumi pertiwi. Aksi demonstrasi adalah sebagian kecil dari bentuk perubahan yang kita inginkan, masih banyak perubahan lain yang bisa kita perjuangkan kawan. HIDUP MAHASISWA!!! HIDUP RAKYAT!!!, dan aku pun mengikutinya HIDUP MAHASISWA!!! HIDUP RAKYAT!!!.

Setelah aku keluyuran seharian di kota yang menjadi miniature kecil dari kantung budaya itu aku menyegarkan otakku sejenak ke pesisir pantai. Tepatnya di pantai parang tritis. Aku begitu takjub saat menyaksikan keindahan alam yang membentang. Subhanalloh begitu indah ciptaan-Mu Tuhan. Aku tidak bisa berkata-kata, kecuali rasa syukur yang tak terkira. Semoga penggalan surga ini tetap terjaga kelestariannya. Semoga kerakusan-kerakusan yang terjadi selama ini akan segera terbendung dengan taburan-taburan penyadaran yang dilakukan dimana-mana. Semoga hamba-hamba-Mu segera menyadari akan kesalahannya dengan telah tidak menyukuri nikmat dan anugerah-Mu ini. Semoga pengembaraanku ini adalah merupakan batu pijakan dalam menaiki tangga-tangga keadilan dan kebenaran yang harus di tempuh setapak demi setapak.

*) Penulis adalah Aang Fatihul Islam, penggiat sastra dan budaya, pimpinanan komunitas lembah Pena “endhut ireng” Jombang, sekarang sedang menempuh S2 di UNESA Jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra, konsentrasi Bahasa Inggris*

Buku Puisi Arsyad Indradi

Ahmadun Yosi Herfanda
Koran Republika
 
Dunia kepenyairan punya banyak ‘orang gila’. Salah satunya, Arsyad Indradi. Salah satu kegilaan penyair senior Banjarbaru, Kalimantan Selatan, ini adalah rela menjual tanahnya untuk membiayai penerbitan buku antologi puisi. “Dia sampai harus menjual tanahnya untuk buku itu,” kata penyair Banjarmasin, Micky Hidayat.

Jumat, 10 September 2010

MALA: TETRALOGI DANGDUT, PUTU WIJAYA

Judul : MALA : Tetralogi Dangdut 2
Penulis : Putu Wijaya
Penerbit : Penerbit Buku Kompas
Tahun terbit : april 2008
Editor : Kenedi Nurhan
Tebal : viii+336
Dimensi : 14×21cm
ISBN : 978-979-709-360-0
Harga : Rp.54.000
Peresensi : Diana A.V. Sasa
http://indonesasa.wordpress.com/

MALA akhirnya bersedia mengakui bahwa dia adalah pelaku mutilasi pada korban yang diakui sebagai Midori, bintang film panas sekaligus sahabatnya itu. Sahabat yang telah menyeretnya pada sebuah konspirasi politik yang tidak dikehendakinya.

Pengakuan itu dilakukan MALA dengan jaminan bahwa NORA, istri yang kekasihnya tidak akan dibunuh. Cintanya pada NORA yang lugu dan sederhana itu ternyata mampu membuatnya bersedia mengorbankan hal-hal terpenting dalam hidupnya.

Selama MALA berada dalam penjara, kantor media tempatnya bekerja telah mengalami perubahan besar. Gedungnya sudah tak lagi tua dan kumuh. Berubah menjadi gedung menjulang tinggi. Adam, yang mengaku sebagai sahabatnya, yang juga sekaligus menyeretnya masuk penjara, menjadi salah satu jajaran pimpinan bersama Budi, wartawan yang dulu menulis tentang Midori dan menyudutkannya. Saras, wartawan yang dulu sering bertengkar dengan Budi, atas nama cinta akhirnya menyerah pada pelukan Budi dan menjadi istrinya, mereka dianugrahi dua orang anak. Saras,Budi, yang dulu begitu idealis itu telah berubah menjadi manusia yang silau pada kemewahan dan kemapanan. Adam menguasai mereka dengan materi hingga mereka kehilangan nalar kritisnya. Semua menjadi nisbi.
“Dan kita mau saja dikuasai karena kita tergantung…hidup enak ini telah membuat kita menjadi lemah dan lembek”(48)

Kantor kecil itu ternyata penuh konspirasi besar, sarat akan kekuasaan. Adam begitu licin dan licik memainkan peran. Skenario disusun dan dimainkannya dengan indah, halus dan lembut. MALA sengaja disingkirkan karena dianggap menggalang gerakan makar di kantor dengan mempekerjakan orang-orang yang ‘tidak bersih lingkungan’.

“Waktu itu kita dihadapkan kepada dua pilihan. Membela satu orang yang tidak bersalah, tapi menghancurkan hidup ratusan orang yang bergantung pada perusahaan. Atau manunda,sambil mencari waktu yang tepat untuk mengembalikan kebenaran pada kebenaran dan keadilan pada keadilan. Sebab kalau waktunya tidak tepat, kebenaran dan keailan hanya akan menjadi teori indah yang tak berguna. “ (45)

Pimpinannya bertekuk lutut pada seseorang yang ditelepon selalu berkata “dari pada demikien…. Bla bla bla Diusahaken bla bla bla…” Adam menurut karena punya ambisi ingin jadi presiden. Untuk itu dia harus dicalonkan partai. Partai mau menerima asal Adam menguntungkan partai. Untuk mewujudkan itu, medianya harus ‘bersih’.

Sementara MALA semakin dilupakan setelah bertahun-tahun kasusnya berlalu. Media tak lagi menganggapnya sebagai sesuatu yang ‘penting’. Tak ada lagi yang terlalu peduli tentang kebenaran bahwa MALA benar membunuh atau tidak. Tak ada lagi yang ingin tahu siapa sebenarnya pembunuh Midori, atau benarkah itu mayat Midori. Berita tentang kebebasannya pun hanya mengisi kolom kecil disudut Koran, kalah dengan head line berita KAKEK MEMPERKOSA CUCUNYA KETIKA LAGI SHALAT. Kebenaran bisa menjadi begitu salah dan begitu benar ditangan pers. Pers mempunya kuasa yang begitu besar untuk menentukan sebuah kebenaran. Pers mempunyai control utama pada apa yang akan diperhatikan orang dan apa yang akan diabaikan. Dan Adam memainkannya dengan mulus. “Apakah artinya kebenaran kalau bertahun tahun menghilang. Apakah ini akan kembali benar dalam kehidupan sekarang yang sudah sangat berbeda. …” (31) “Sebuah berita kecil lewat dan tidak ada orang yang peduli. Padahal dalam berita itu ada lorong untuk membaca kebenaran. “(39)

MALA tak lagi mempedulikan apakah dia masih penting atau tidak bagi teman-teman dan orang lain. Yang penting baginya setelah bebas adalah menemukan kembali NORA dan mencintainya, memberinya belaian, kecupan, percintaan yang selama ini hanya ada dalam hayalnya. Dia akhirnya sadar bahwa NORA adalah sebagian dari hatinya.

“ Hanya kamulah yang masih kumiliki sekarang, karena semua orang tak ada di tempatnya ketika aku memerlukan . Hanya kamulah yang masih terus menjadi titik yang tak bergerak, tempatku memandang. Hanya kamulah rumahku, tempat aku rindu dan kembali, meskipun kamu mungkin tak setuju. Aku mencintaimu,NORA,”

Sayang NORA tak pernah tau isi surat itu, dia hanya bisa membaca namanya disurat itu, dan itu saja cukup untuk membuatnya berbunga-bunga. Hal sepele yang tak perlu repot untuk membuatnya bahagia. Menemukan namanya ditulis MALA dalam suratnya, tak peduli apa isinya. NORA pun mencintai MALA,menunggunya bebas, menanti percintaan dengannya, dan terus menunggu MALA bergerak mendekatinya. Tapi yang didapatinya adalah MALA pergi dengan meninggalkan sebuah buku catatan. Buku yang berisi tumpahan kecintaan, kerinduan, dan kekecewaannya pada NORA.

MALA merasa hidupnya tercabik dan terlempar begitu jauh. Dia merasa pengorbanannya sia-sia. Dia pertaruhkan hidupnya, karirnya, masa depannya untuk mengakui perbuatan yang tak pernah dilakukannya, hanya demi kecintaannya pada NORA. Tapi yang didapatinya adalah pengkhianatan(menurut anggapan MALA). NORA menikah dan bercinta dengan orang lain, sementara dia menahan seluruh hasratnya dan berharap NORA hanya akan menjadi miliknya satu-satunya seutuhnya.

NORA tak mengerti mengapa MALA pergi, dia merasa tidak melakukan apa-apa. Dia hanya bergerak sebagaimana tubuhnya mengalir. Dia bicara dengan bahasanya, bukan bahasa MALA. Dia masih menunggu dengan setia, membeiarkan dirinya tetap perawan, dan berharap MALA akan kembali. Tapi MALA tak pernah kembali. Selamanya.

Andai Saya Manajer Toko Buku

An. Ismanto*
http://www.jawapos.co.id/

ANDAI menjadi manajer sebuah toko buku yang agak besar, saya akan bergidik ngeri membayangkan prospek perbukuan ke depan. Rak-rak di toko saya terancam tetap penuh buku dalam waktu yang panjang. Perkembangan teknologi memungkinkan konsumen membeli dan membaca buku tanpa harus melangkahkan kaki ke toko buku. Bahkan, sekarang orang mulai bisa membaca novel di layar telepon genggam.

Mungkin masih ada beberapa orang yang akan berkunjung ke toko saya. Namun, mereka hanya akan membuka-buka buku secara sekilas. Satu atau dua buku akan menarik perhatian mereka. Tapi, setelah melihat label harga, mereka akan meletakkan lagi buku itu di rak. Kemudian, mereka bakal pulang dan memesan buku yang mereka inginkan tersebut lewat internet. Sebab, mereka menganggap harganya lebih murah daripada yang ditawarkan toko.

Hal itu berarti bencana, bukan hanya buat saya sebagai manajer toko, tetapi juga seluruh pelaku industri perbukuan konvensional yang mencari rezeki dari buku cetak. Saya jelas tidak bisa mengharapkan penjualan dari para pengunjung yang tidak selalu membeli buku, apalagi pengunjung setia yang membaca satu bab buku setiap hari selama satu jam sambil berdiri di depan salah satu rak tanpa membeli.

Tentu saya harus melakukan sesuatu agar, paling tidak, orang masih mau berkunjung ke toko saya. Semakin banyak orang yang berkunjung, semakin besar pula kemungkinan buku terjual.

Saya perhatikan, orang zaman sekarang, terutama anak-anak muda, suka sekali berkumpul. Karena itu, saya akan menyediakan satu ruang atau sudut khusus di toko saya untuk tempat nongkrong, lengkap dengan meja dan kursi, lampu penerangan, televisi, dan musik. Ruang khusus itu bakal saya atur sedemikian rupa agar menghadap jalan raya yang ramai sehingga para pengunjung tidak cepat bosan. Pendek kata, saya akan membuat semacam kafe dalam toko saya. Dengan begitu, toko buku saya tidak semata-mata menjadi tempat usaha, tetapi juga menjadi community gathering space.

Selanjutnya, saya akan mengajukan tawaran kerja sama dengan para produsen komoditas nonbuku. Tentu mereka tertarik membuka gerai atau kios di toko buku saya. Sebab, banyak pengunjung di sana. Karena itu, saya harus menyisihkan beberapa rak lagi dari dalam toko saya. Rak-rak buku akan saya pindahkan ke lantai atas, sedangkan lantai bawah dikhususkan kafe dan gerai-gerai penjualan produk nonbuku, mulai telepon genggam hingga pakaian bayi.

Bisa juga rak buku saya letakkan di lantai bawah. Sedangkan lantai atas dikhususkan sebagai kafe, bersebelahan dengan ruang kecil yang bisa digunakan untuk diskusi atau performance art.

Tetapi, ruang usaha tentu terasa sempit kalau buku yang harus dijual tetap banyak. Maka, saya bakal menyeleksi lagi buku yang harus saya jual. Buku baru yang sudah cukup lama mendekam di rak dan jarang dilirik pengunjung bakal saya kembalikan kepada distributor. Namun, saya tetap menyediakan satu rak khusus untuk buku-buku lama.

Begitu diseleksi ulang, jumlah buku yang dipajang di rak tidak akan berlebihan. Tidak ada lagi buku yang menumpuk tidak rapi di rak.

Setelah perombakan, mungkin pendapatan terbesar saya tidak akan berasal dari penjualan buku, melainkan dari kafe, produk-produk nonbuku, atau biaya sewa gerai-gerai nonbuku. Bagi bos saya, tidak penting dari mana pendapatan toko berasal. Yang penting, cash flow lancar. Saya tidak akan berkecil hati kalau ada orang yang mengatakan bahwa saya telah menjadi manajer sebuah shopping center, bukan toko buku. Jika masyarakat memang menginginkan produk-produk nonbuku, itulah yang harus dimanfaatkan oleh perusahaan mana pun, termasuk toko buku.

Jika toko saya telah menjadi community gathering space, muncul keterikatan antara pengunjung dan toko. Pengunjung yang datang ke toko bisa langsung menuju kafe tanpa harus melirik rak buku. Mereka juga bisa berkencan atau bertemu dengan teman dan kolega, bahkan menghelat acara ulang tahun di kafe tanpa membeli buku. Tidak masalah. Lambat laun, mereka bakal menyadari keberadaan buku-buku yang menunggu untuk dibeli. Bukankah ada pepatah witing tresna jalaran saka kulina (cinta terjadi karena terbiasa)?

Tetapi, andai hanya menjadi seorang pemilik toko buku kecil di Taman Pintar Jogjakarta atau mampu membuka lapak bongkar pasang di Pasar Klewer, Solo, tentu saya tidak perlu menerapkan strategi menjadikan toko buku sebagai community gathering space. Mungkin saya memilih mengintensifkan berjualan buku-buku khusus. Misalnya, buku-buku lama atau buku-buku pelajaran.

Apa pun yang terjadi, saya akan berusaha keras tidak menutup toko buku. Sebab, saya percaya, buku selalu bisa memberikan rezeki. Entah bagaimana caranya.

*) Pembaca buku, tinggal di Jogjakarta

Alquran dan Hermeneutika Inklusif

Ridwan Munawwar*
http://www.jawapos.co.id/

NUZULUL Quran adalah hari di mana kalam Tuhan turun ke bumi melalui Nabi Muhammad yang berperan sebagai mediator. Sebuah proses yang ajaib; firman Tuhan yang gaib dan transenden menjelma ke dalam bentuk imanen, yakni teks yang berisi kalimat sakral dan memiliki nilai sastrawi yang amat tinggi.

Alquran ada untuk manusia. Memang ia adalah sebentuk teks yang menempati posisi tertinggi dalam hierarki teks-teks pedoman umat Islam. Tapi, posisinya yang tinggi tidaklah bersifat eksklusif, melainkan inklusif. Alquran sangat terbuka untuk berbagai corak pemaknaan dan penafsiran.

Selama ini sudah banyak muncul kegelisahan yang menyatakan bahwa akar problema terbesar dari kemunduran peradaban Islam berkaitan dengan bagaimana umat Islam berhubungan dengan kitab sucinya itu. Alquran sering diposisikan secara eksklusif, tidak sembarang tangan dan pikiran boleh menyentuh dan menafsirinya.

Meminjam istilah Zuhairi Misrawi (2003), umat Islam cenderung berhadapan dengan Alquran secara monolog dan bukan dialog. Akibatnya, mayoritas umat Islam merasa cukup qurani dengan cara melafalkan dan menghafal Alquran saja. Dalam hal mengaplikasikan ajaran Alquran, umat Islam cenderung tekstualis dan skripturalistik semata. Monologisme itulah yang mempersempit pintu pemaknaan Alquran. Sebab, keterpakuan terhadap teks membuat manusia miskin akan pengalaman metateks atau miskin pemahaman makna transenden di balik teks.

Maka, kontekstualisasi penafsiran Alquran menjadi hal terpenting yang perlu terus dilakukan dan diperbarui tanpa henti sejalan dengan gerak realitas kultur yang juga rentan dengan perubahan. Tradisi hermeneutika Alquran yang dinamis, kreatif, dan membebaskan merupakan sarana utama untuk itu. Dan, kejumudan peradaban Islam dalam segala segmennya itu merupakan manifestasi kejumudan tradisi hermeneutika Alquran.

Golongan kaum muslim tertentu yang bersikap tertutup terhadap pembaruan tafsir Alquran biasanya cenderung fanatik terhadap tradisi tafsir Alquran periode awal, tradisi para sahabat, imam, dan ulama terdahulu. Padahal, dari dulu pun polemik ushul fiqih -yang tidak lain merupakan diskursus filosofis hermeneutika Alquran- sering terjadi. Konflik hermeneutika merupakan sebuah keniscayaan dalam kesejarahan Alquran sebagai poros sejarah umat Islam, dan suatu kenaifan apabila umat Islam justru menolak perbedaan (ikhtilaf) dalam mazhab-mazhab penafsiran. Bukankah Nabi sendiri bersabda bahwa perbedaan adalah rahmat karena di dalamnya terkandung hikmah.

Alquran Kauniyah

Barangkali yang selalu lupa untuk disadari oleh umat Islam, Alquran adalah bagian dari kebudayaan manusia. Ada semacam ketidaksadaran kolektif tertentu dalam diri umat Islam untuk takut melihat Alquran sebagai suatu bentuk imanen dalam kehidupan berbudaya kita. Alquran rasanya harus selalu terpisah dari kehidupan duniawi yang hiruk pikuk dan banal. Padahal, Alquran tidak mengambang di angkasa. Ia ada dalam hiruk pikuk kehidupan sosial kita yang pahit dan cadas. Ia ada dalam setiap sudut semesta. Bahkan, ia ada dalam kegelapan.

Alquran bukanlah semata ayat-ayat qauliyah sebagaimana yang tertuang dalam teks (scriptura) kitabnya. Alquran adalah ayat-ayat semesta. Bagi kaum ilmuwan sains alam (natuur wizkunde), anasir alam semesta adalah Alquran. Bagi kaum ilmuwan sosial, realitas masyarakat dan kebudayaan adalah Alquran yang harus senantiasa dibaca dan disikapi dengan bijak. Demikian seterusnya.

Bila kita kembali melihat sejarah Nuzulul Quran, tampaklah umat Islam saat itu mengalami pencerahan dengan datangnya sebuah kitab yang mampu menjawab pelbagai problematika umat. Alquran telah menjadi teks yang memetakan persoalan sosial umat muslim Arab secara objektif, sekaligus memberikan solusi serta nilai idealitas yang perlu dicapai masyarakat ke depan. Alquran menjadi das sollen bagi kebudayaan masyarakat saat itu.

Di situlah kita bisa melihat bahwa ayat qauliyah, ayat kauniyah, dan realitas kultur manusia secara ontologis merupakan suatu kesatuan siklikal yang saling melengkapi satu sama lain. Memang, di antara ketiganya terdapat paradoks yang kelam. Namun, justru di situlah tugas manusia sebagai khalifatullah untuk selalu bergerak mengharmonisasikan ketiganya.

Merayakan Tafsir

Agama adalah akal, dan tidak ada agama bagi yang tak berakal. Manusia dalam fitrahnya merupakan makhluk yang berakal. Akal berarti kesadaran inteligensia manusia yang termanifestasi dalam bentuk kognisi dan mental. Dalam membaca Alquran, mental dan kognisi bergerak aktif. Maka, tentunya tepat bila setiap tindak pembacaan teks dimaknai sebagai penafsiran. Membaca adalah ”menuliskan ulang” dalam bahasa mental dan bahasa pikir sang pembaca (Komaruddin Hidayat: 2003). Karena itu, salah satu fitrah manusia adalah ”the interpreter being”, makhluk penafsir.

Yang menjadi problematika tradisi tafsir dalam umat Islam adalah tugas penafsiran sering dihegemoni oleh kelas elite semata. Mufasir merupakan kelas sosial elite yang juga sering bersifat eksklusif. Padahal, pada konteks sejarah, kelas mufasir terbentuk karena kebutuhan sosial saat itu yang menuntut demikian. Jumlah masyarakat yang awam akan Alquran dan ilmu pengetahuan sangatlah banyak sehingga menuntut adanya pengorganisasian terhadap kelompok mujtahid-mufasir. Dengan begitu, mereka lebih mudah dalam mendistribusikan pengetahuan kepada umat.

Namun, di zaman yang sudah canggih dalam segi teknologi, informasi, serta ilmu pengetahuan ini, masyarakatnya juga cerdas. Karena itu, setiap orang harus diberi kebebasan dan hak untuk melakukan penafsiran personalnya atas Alquran. Sebab, setiap orang adalah mujtahid bagi dirinya sendiri.

Jangan khawatir akan munculnya sekte-sekte yang melenceng. Sebab, dengan strategi dialogis yang baik dan efektif, hal-hal yang dikhawatirkan itu akan bisa diselesaikan dengan tuntas. Apalagi, semakin hegemonik kelas mufasir mainstream dan semakin gencar represi terhadap hak menafsir, kesesatan justru akan semakin banyak bermunculan. Sudah saatnya kita mereformasi posisi kelas mufasir dalam tubuh masyarakat kita hingga dia menempati posisi yang demokratis dan mencerdaskan.

Kiranya, Nuzulul Quran menjadi momen yang tepat bagi masing-masing individu umat untuk merayakan kedekatan dengan Alquran secara personal itu. (*)

*) Esais, studi di Prodi Psikologi UIN Sunan Kalijaga.

Mencipta Kembali Tradisi Teater Jatim

Catatan untuk F Aziz Manna dan R Giryadi
S. Jai*)
Kompas JaTim, 19 Agustus 2010

JAWA TIMUR, tepatnya Surabaya dan Sidoarjo pernah memiliki tradisi teater yang kuat—bahkan menggerakan tradisi teater modern di Indonesia. Ketika pada 1891 Komedi Stamboel berkibar dan pada 1926. Lalu Dardanella (The Malay Opera) berjaya yang diprakarsai Willy Klimanoff.

Di tangan mantan awak sirkus Komedi Stamboel itu, Dardanella dimodernkan sebagai teater yang mengutuhkan esensi laku dramatik dan menghilangkan nuansa lelucon dan tarian yang menyimpang dari esensi itu. Dari kelompok teater inilah berkembang pesat teater modern melalui awak-awak panggungnya. Bolero, Orion yang didirikan Miss ribort, Tjahaya Timoer yang didirikan Andjar Asmara. Termasuk Teater Maya di Jakarta, di bawah asuhan Usmar Ismail 1944.

Yang menarik dari pemodernan teater ini, dengan melakukan pembaruan spirit tradisi teater dengan mendekatkan diri pada peristiwa sehari-hari melalui naskah-naskah yang tertulis dan bukan lagi improvisasi atas tradisi lisan dari mitologi, epos dsb—yang tentu saja telah dianggapnya ketinggalan zaman.

Beberapa dasawarsa berikutnya, dalam peta tradisi teater tanah air, Jawa Timur—Surabaya, melahirkan tradisi baru berteater, bahkan sanggup menguatkan identitas teaternya ketika era 1970-1980-an. Munculnya sejumlah nama, utamanya yang pertama bisa saja disebut nama Akhudiat dan yang Kedua Basuki Rachmat, yang sezaman dengan Emil Sanosa, Max Arifin, sesudah generasi Lutfi Rachman yang kemudian terjun ke dunia film.

Nama Akhudiat dan Basuki Rachmat amat disegani dengan orisinalitas kentrung rock dan mendunianya ludruk (Istilah alm Profesor Umar Kayam). Melalui tangan dan pikiran dingin Basuki Rachmat teater ludruk campur kentrung mendunia berkat lakon-lakon Bertold Brecht, semacam Darmi-Darmo dan Lingkaran Keadilan dan dipentaskan keliling Indonesia. Estetika teater Surabaya mampu menembus khazanah “Teater Indonesia.”

Bahkan konon mencuatnya Teater Sampakan di Surabaya sempat mempengaruhi gaya teater Yogyakarta yang kiranya perlu dicatat pencapaiannya dan penting bagi sejarah teater Surabaya. Melalui Emha Ainun Nadjib yang memang pernah bergaul dengan anak-anak Bengkel Muda Surabaya (BMS—tempat Akhudiat dan Basuki Rachmat besar dan membesarkan teater), pada saat Yogya dikuasai gaya Mataraman Bengkel Teater Rendra, gaya sampakan merasuk dan diproses Teater Dinasti yang berlanjut Teater Gandrik, Teater Paku sebelum akhirnya menjadi semacam aliran yang mewabah dan banyak penganutnya.

Kini pelbagai kalangan—termasuk seniman teater sendiri—berpendapat bahwa tradisi itu hampir tak ada lagi, lebih karena tidak adanya sikap kritis, mentalitas, spirit dan intelektualitas menghadapi fenomena kultural dan konteks sosial di belakang teks realitas. Walaupun sebetulnya, lebih tegasnya gejala itu tidak hanya terjadi pada teater. Melainkan seluruh aspek kebudayaan.

Saat ini, jurang kemelaratan melampaui kemiskinan yang diidentifikasi budayawan Rendra—kegagahan dalam kemiskinan. Bahkan kita ini telah melarat dari—istilah Kant—kemampuan untuk mengajar dirinya sendiri untuk bagaimana memaknai hidup dan punya identitas. Jelasnya, kemiskinan atas demensi subtansial kebudayaan yang disebut Herry Tjahjono—martabat bangsa, nilai-nilai bangsa, rasa memiliki, kebanggaan dan rasa aman.

Spirit mempertimbangkan tradisi pernah dicetuskan Rendra dalam proses kreatifnya pada 1971. Bahwa tradisi ibarat ayah kandung kita. Tradisi adalah kebiasaan yang turun-menurun dan ia merupakan kesadaran kolektif sebuah masyarakat. Secara implisit justru Rendra mengakui usahanya itu lebih berhasil di dunia kepenyairan ketimbang drama. Meskipun pada spirit nilai tradisi puisi-puisinya itu diakui tak lain adalah tradisi abad 18 hasil karya raja-raja boneka dan bupati yang tidak aristokrat.

Kepada Profesor Umar Khayam, Rendra mengaku iri pada tradisi teater tradisional—wayang orang (ngestipandowo, sriwedari) ketoprak (mataram, siswobudoyo) dan juga srimulat—yang selalu dibanjiri penonton. Sementara konon salah sebuah pertunjukkan Rendra pernah hanya ditonton 7 orang, itu pun sebagian tertidur pada akhir pentas.

Dengan penuh kerendahan hati, diharapkan tulisan ini sanggup memberi kerangka yang menginspirasi seniman-seniman teater untuk mencari ruh teater kita. Oleh sebab itu model pertanyaan-pertanyaan berikut dimaksudkan sebagai jalan menemukan kembali ruh penciptaan tradisi teater Jawa Timur.

Pertama, kita musti bergelut dalam proses berteater dengan menjawab pertanyaan: Apa yang bisa kita lampaui dari pencapaian Rendra dalam mempertimbangkan untuk kemudian mencipta tradisi?

Boleh jadi, dunia penciptaan apapun sama—puisi, teater, prosa—hanya bahasanya yang berbeda. Apakah bahasa puitik ataukah bahasa dramatik. Meminjam kosa kata penyair Arab modern, Adonis: Dunia penciptaan, tidak lagi meniru model tradisional, dan juga tidak lagi meniru “realitas.” Kreasi dimungkinkan pertama-tama hanya dengan menjauhi peniruan dan “realitas” sekaligus. Ia merupakan penciptaan yang dipraktekkan…, terkait dengan penciptaan jarak antara dia dengan tradisi di satu sisi, dan antara dia dengan “realitas” di sisi yang lain.

Dalam kepenyairan Rendra mengaku dibimbing tembang dolanan anak-anak Jawa, tembang-tembang palaran Jawa, bahasa koran, mitologi Dewa Ruci. Juga dalam pertunjukan teaternya dibimbing teater rakyat Bali, foklore dan permainan image tembang dolanan.

Rupanya, keadaan ini pula yang dicoba ditaklukkan Goenawan Mohamad dalam esai “Sebuah Pembelaan untuk Teater Mutakhir” pada 1973. Bahwa teater membutuhkan publik yang intim karena ada perbedaan antropologi publik dengan antropologi teater. Waktu itu dia memilih kosa kata: pertunjukkan akan enak dinikmati bila jarak keduanya diperpendek.

Sampai di sini betapa jarak antropologi publik dengan antropologi teater masih menjadi medan tempur konsep berteater.

Antropologi Teater

Kedua, pertanyaan penting untuk digali adalah: Adakah kini yang mengatasi jarak keduanya—antropologi teater dan antropologi publik lalu menjadikan medan tempur baru berteater?

Pada kenyataannya, yang penting dipecahkan dalam “dialog-dialog” ekperimentasi teater, bahwa di atas pencapaian tradisi teater kita, teater mengampu pada tradisi lisan. Tradisi yang menopang teater kita inilah yang kemudian digugat Afrizal Malna sebagai politik yang mengontruksi tubuh dan berlangsung dalam pergaulan sehari-hari.

Karena itu, menurutnya penggunaan tradisi sebagai benteng identitas, juga mengandung resiko yang tidak sederhana. Tubuh-identitas lebih bermain di tingkat sikap (ideologis) dan bukan di tingkat bentuk. Tubuh-identitas yang masih bermain di tingkat bentuk, akhirnya hanya akan menghasilkan sikap verbal dari primordialisme. Pada gilirannya tubuh-identitas yang dikonstruksi sebagai tubuh-tradisi, itu bisa dibaca dengan sinis sebagai “sampah lokal” yang gagap menghadapi pergaulan dunia.

Ketiga, sedemikian sakralkah “dialektika antara realitas dan idealitas” sejak teater pra-modern, modern hingga kontemporer di atas sehingga masih menjadi panglima teater kita?

Pertanyaan ini tentu mewakili suara orang dari jurubicara pembela identitas seni kita yang menyakini teater kita haruslah sanggup menembus proses “tranformasi” menuju kulminasi identitas teater pasca-modern Indonesia atau teater pasca mitos kita.

Kiranya pencarian identitas dalam berteater musti memiliki paradigma baru yang berdiri di atas pertanyaan-pertanyaan penting di atas. Setidaknya pengalaman Teater Studi Klub Bandung mengingatkan akan hal itu. Teater Studi Klub Bandung mencoba menjawab sesuai epistemologi ketiganya—baik dialektika, realitas, idealitas sebagai produk dari suatu aliran filsafat barat—justru kemudian menempatkan kelompok teater itu sebagai wakil dari barat. Sementara Putu Wijaya bersama Teater Mandiri era 1970-an mencoba memecahkannya dengan membawa penonton hingga ke luar gedung, dan pertunjukan dilanjutkan di luar. Yang menginspirasi teater-teater generasi berikutnya untuk merambah ruang-ruang publik.

Di Surabaya cukup menarik apa yang ditawarkan Sutradara Zaenuri dari Bengkel Muda Surabaya dengan estetika “mencangkok ruang teater di antara kepanikan publik”-nya. Ekperimen teater Zaenuri yang masuk dan melipatkan para napi di Rutan Medaeng, teater para anak-anak urakan bonek Surabaya kiranya adalah upaya untuk penciptaan tradisi sekaligus estetika baru teater. Menurutnya Teater adalah riil. Teater adalah cara mengaktualisasikan diri dalam kapasitas peran yang berlebih dan panggung adalah kehidupan sehari-hari. Singkat kata teater harus berguna dengan memindahkan ruang estetis dari problem publik ke ruang yang katarsis—pencerahan.

Hal-hal inilah yang perlu disikapi teater mutakhir dalam penciptaan tradisinya menyongsong masa depan tradisi teater Jawa Timur, tanpa mendikotomi diri antara teater kampus atau non kampus, umum atau khusus. Selamat bereksperimen! []

*) Pengarang, kepala bidang seni-budaya Center for Relegious and Community Studies (CeRCS) Surabaya.

A Musthafa A Rodhi Murtadho A Wahyu Kristianto A. Mustofa Bisri A. Qorib Hidayatullah A. Zakky Zulhazmi A.J. Susmana A.S. Laksana Aang Fatihul Islam Abdul Azis Sukarno Abdul Aziz Rasjid Abdul Hadi W. M. Abdul Kadir Ibrahim Abdul Malik Abdul Wachid BS Abdullah al-Mustofa Abdullah Khusairi Abdurrahman Wahid Abidah El Khalieqy Abimanyu Abimardha Kurniawan Abroorza A. Yusra Acep Iwan Saidi Acep Zamzam Noor Achmad Maulani Adek Alwi Adhi Pandoyo Adrian Ramdani Ady Amar Afrizal Malna Agnes Rita Sulistyawati Aguk Irawan Mn Agus R. Sarjono Agus Riadi Agus Subiyakto Agus Sulton Aguslia Hidayah Ahda Imran Ahm Soleh Ahmad Farid Tuasikal Ahmad Farid Yahya Ahmad Fatoni Ahmad Kekal Hamdani Ahmad Luthfi Ahmad Muchlish Amrin Ahmad Nurhasim Ahmad Sahidah Ahmad Syauqi Sumbawi Ahmad Yulden Erwin Ahmad Zaini Ahmadie Thaha Ahmadun Yosi Herfanda Ainur Rasyid AJ Susmana Ajip Rosidi Akhiriyati Sundari Akhmad Muhaimin Azzet Akhmad Sekhu Alan Woods Alex R. Nainggolan Alexander Aur Alexander G.B. Alfian Dippahatang Ali Audah Ali Rif’an Aliela Alimuddin Alit S. Rini Alunk Estohank Ami Herman Amich Alhumami Amien Wangsitalaja Aming Aminoedhin Aminudin TH Siregar Ammilya Rostika Sari An. Ismanto Anaz Andaru Ratnasari Andhi Setyo Wibowo Andhika Prayoga Andong Buku #3 Andrenaline Katarsis Andri Cahyadi Angela Anies Baswedan Anindita S Thayf Anjrah Lelono Broto Anton Kurnia Anton Sudibyo Anton Wahyudi Anwar Holid Anwar Siswadi Aprinus Salam Arie MP Tamba Arif Hidayat Arif Zulkifli Arti Bumi Intaran Asarpin Asep Sambodja Asvi Warman Adam Awalludin GD Mualif Ayu Utami Azyumardi Azra Babe Derwan Bagja Hidayat Balada Bandung Mawardi Bayu Agustari Adha Beni Setia Benni Setiawan Benny Benke Bentara Budaya Yogyakarta Berita Bernadette Lilia Nova Bernando J. Sujibto Berthold Damshäuser Bhakti Hariani Binhad Nurrohmat Bokor Hutasuhut Bonari Nabonenar Brunel University London Budaya Budhi Setyawan Budi Darma Budi Hutasuhut Budi P. Hatees Budi Winarto Buku Kritik Sastra Buldanul Khuri Bustan Basir Maras Camelia Mafaza Capres dan Cawapres 2019 Catatan Cecep Syamsul Hari Cerpen Chairil Anwar Chamim Kohari Choirul Rikzqa D. Dudu A.R D. Dudu AR D. Zawawi Imron Dahono Fitrianto Dahta Gautama Damanhuri Damar Juniarto Damhuri Muhammad Damiri Mahmud Dantje S Moeis Darju Prasetya Darma Putra Darman Moenir Darmanto Jatman Dedy Tri Riyadi Delvi Yandra Denny JA Denny Mizhar Dewi Anggraeni Dian Basuki Dian Hartati Dian Sukarno Dian Yanuardy Diana AV Sasa Dinar Rahayu Djenar Maesa Ayu Djoko Pitono Djoko Saryono Doddi Ahmad Fauji Dody Kristianto Donny Anggoro Donny Syofyan Dorothea Rosa Herliany Dwi Cipta Dwi Fitria Dwi Pranoto Dwi S. Wibowo Dwicipta Edeng Syamsul Ma’arif Edi Warsidi Edy Firmansyah EH Kartanegara Eka Alam Sari Eka Budianta Eka Kurniawan Eko Darmoko Ellyn Novellin Elnisya Mahendra Emha Ainun Nadjib Emil Amir Engkos Kosnadi Esai Esha Tegar Putra Evan Ys F. Budi Hardiman Fadly Rahman Fahmi Fahrudin Nasrulloh Faisal Kamandobat Fani Ayudea Fariz al-Nizar Faruk HT Fatah Anshori Fatah Yasin Noor Fatkhul Anas Fatkhul Aziz Felix K. Nesi Film Fitri Yani Franditya Utomo Fuska Sani Evani Gabriel Garcia Marquez Gandra Gupta Garna Raditya Gde Artawan Geger Riyanto Gendhotwukir George Soedarsono Esthu Gerakan Surah Buku (GSB) Goenawan Mohamad Grathia Pitaloka Gunawan Budi Susanto Gunawan Tri Atmojo H. Supriono Muslich H.B. Jassin Hadi Napster Halim H.D. Hamberan Syahbana Hamidah Abdurrachman Han Gagas Hardi Hamzah Haris del Hakim Haris Priyatna Hasan Aspahani Hasan Gauk Hasan Junus Hasnan Bachtiar Helvy Tiana Rosa Helwatin Najwa Hendra Junaedi Hendra Makmur Hendriyo Widi Ismanto Hepi Andi Bastoni Heri Latief Heri Listianto Herry Firyansyah Heru Untung Leksono Hikmat Darmawan Hilal Ahmad Hilyatul Auliya Holy Adib Hudan Hidayat Hudan Nur Husnun N Djuraid I Nyoman Suaka Ibnu Rizal Ibnu Rusydi Ibnu Wahyudi IGK Tribana Ignas Kleden Ignatius Haryanto Iksan Basoeky Ilenk Rembulan Ilham khoiri Imam Jazuli Imam Nawawi Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Iman Budi Santosa Imelda Imron Arlado Imron Tohari Indiar Manggara Indira Margareta Indra Darmawan Indra Tjahyadi Indra Tranggono Indrian Koto Ingki Rinaldi Insaf Albert Tarigan Intan Hs Isbedy Stiawan ZS Ismail Amin Ismi Wahid Ivan Haris Iwan Gunadi Jacob Sumardjo Jafar Fakhrurozi Jajang R Kawentar Janual Aidi Javed Paul Syatha Jean-Marie Gustave Le Clezio JJ. Kusni Joko Pinurbo Joko Sandur Joko Widodo Joni Ariadinata Jual Buku Paket Hemat Julika Hasanah Julizar Kasiri Jumari HS Junaidi Jusuf AN Kadir Ruslan Kartika Candra Kasnadi Katrin Bandel Kenedi Nurhan Ketut Yuliarsa KH. Ma'ruf Amin Khaerudin Khalil Zuhdy Lawna Kholilul Rohman Ahmad Komunitas Deo Gratias Komunitas Teater Sekolah Kabupaten Gresik (KOTA SEGER) Korrie Layun Rampan Krisandi Dewi Kritik Sastra Kucing Oren Kuswinarto Langgeng Widodo Lathifa Akmaliyah Latief S. Nugraha Leila S. Chudori Lenah Susianty Leon Agusta Lina Kelana Linda Sarmili Liston P. Siregar Liza Wahyuninto M Shoim Anwar M. Arman A.Z. M. Fadjroel Rachman M. Faizi M. Harya Ramdhoni M. Kasim M. Latief M. Wildan Habibi M. Yoesoef M.D. Atmaja Mahdi Idris Mahmud Jauhari Ali Mahwi Air Tawar Malkan Junaidi Maman S. Mahayana Mardi Luhung Marhalim Zaini Maria hartiningsih Maria Serenada Sinurat Mario F. Lawi Maroeli Simbolon S. Sn Marsus Banjarbarat Marwanto Mas Ruscitadewi Masdharmadji Mashuri Masriadi Mawar Kusuma Wulan Max Arifin Melani Budianta Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia Mezra E. Pellondou Micky Hidayat Mihar Harahap Misbahus Surur Moh Samsul Arifin Moh. Syafari Firdaus Mohamad Asrori Mulky Mohammad Afifuddin Mohammad Fadlul Rahman Muh Kholid A.S. Muh. Muhlisin Muhajir Arifin Muhamad Sulhanudin Muhammad Al-Fayyadl Muhammad Amin Muhammad Azka Fahriza Muhammad Rain Muhammad Subhan Muhammad Yasir Muhammad Zuriat Fadil Muhammadun A.S Muhidin M. Dahlan Musa Ismail Musfi Efrizal Mustafa Ismail Nafi’ah Al-Ma’rab Naskah Teater Nezar Patria Nina Setyawati Nirwan Ahmad Arsuka Nirwan Dewanto Noor H. Dee Noval Maliki Nunuy Nurhayati Nur Haryanto Nurani Soyomukti Nurel Javissyarqi Nurhadi BW Nurudin Octavio Paz Oliviaks Orasi Budaya Akhir Tahun 2018 Pablo Neruda Pamusuk Eneste Panda MT Siallagan Pandu Jakasurya PDS H.B. Jassin Philipus Parera Pradewi Tri Chatami Pramoedya Ananta Toer Pramono Pranita Dewi Pringadi AS Prosa Puisi Puisi Menolak Korupsi PuJa Puji Santosa Puput Amiranti N Purnawan Andra PUstaka puJAngga Putri Utami Putu Fajar Arcana Putu Wijaya Qaris Tajudin R Sutandya Yudha Khaidar R. Sugiarti R. Timur Budi Raja R.N. Bayu Aji Rachmad Djoko Pradopo Radhar Panca Dahana Rahmadi Usman Rahmat Sudirman Rahmat Sularso Nh Rahmat Sutandya Yudhanto Raihul Fadjri Rainer Maria Rilke Raja Ali Haji Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Raudal Tanjung Banua Reiny Dwinanda Remy Sylado Resensi Revolusi Riadi Ngasiran Ribut Wijoto Ridha al Qadri Ridwan Munawwar Rikobidik Riri Riris K. Toha-Sarumpaet Risang Anom Pujayanto Rizky Andriati Pohan Robert Frost Robin Al Kautsar Robin Dos Santos Soares Rodli TL Rofiqi Hasan Rohman Budijanto Romi Febriyanto Saputro Rosihan Anwar RR Miranda Rudy Policarpus Rukardi S Yoga S. Jai S.I. Poeradisastra S.W. Teofani Sabam Siagian Sabrank Suparno Saiful Amin Ghofur Sainul Hermawan Sajak Sakinah Annisa Mariz Salamet Wahedi Salman Rusydie Anwar Samsudin Adlawi Sapardi Djoko Damono Sartika Dian Nuraini Sastra Sastra Gerilyawan Sastri Sunarti Satmoko Budi Santoso Saut Situmorang Sejarah Sekolah Literasi Gratis (SLG) SelaSastra SelaSastra ke #24 Selasih Seno Gumira Ajidarma Seno Joko Suyono Sergi Sutanto Shadiqin Sudirman Shiny.ane el’poesya Sidik Nugroho Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Simo Sungelebak Karanggeneng Lamongan Siti Sa’adah Sitok Srengenge Siwi Dwi Saputro Sjifa Amori Sofyan RH. Zaid Soni Farid Maulana Sony Prasetyotomo Sosiawan Leak Sri Wintala Achmad Sri Wulan Rujiati Mulyadi Subhan SD Suci Ayu Latifah Sulaiman Djaya Sulistiyo Suparno Sunaryo Broto Sunaryono Basuki Ks Sungatno Sunlie Thomas Alexander Sunudyantoro Suriali Andi Kustomo Suryadi Suryansyah Suryanto Sastroatmodjo Susi Ivvaty Susianna Susilowati Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Suwardi Endraswara Syaifuddin Gani Syaiful Bahri Syam Sdp Syarif Hidayatullah Tajuddin Noor Ganie Tammalele Tan Malaka Taufik Ikram Jamil Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat Teguh Trianton Tengsoe Tjahjono Th Pudjo Widijanto Thayeb Loh Angen Theresia Purbandini Tia Setiadi Tito Sianipar Tiya Hapitiawati Tjahjono Widarmanto Tjahjono Widijanto Toko Buku Murah PUstaka puJAngga Tosa Poetra Tri Joko Susilo Triyanto Triwikromo Tu-ngang Iskandar Udo Z. Karzi Uly Giznawati Umar Fauzi Umar Kayam Undri Uniawati Universitas Indonesia UU Hamidy Vyan Tashwirul Afkar W Haryanto W.S. Rendra Wahyudin Wannofri Samry Warung Boenga Ketjil Waskiti G Sasongko Wawan Eko Yulianto Wawancara Web Warouw Wijang Wharek Wiko Antoni Wina Bojonegoro Wira Apri Pratiwi Wiratmo Soekito Wishnubroto Widarso Wiwik Hastuti Wiwik Hidayati Wong Wing King WS Rendra Xu Xi (Sussy Komala) Y. Thendra BP Y. Wibowo Yani Arifin Sholikin Yesi Devisa Yohanes Sehandi Yona Primadesi Yosi M. Giri Yusi Avianto Pareanom Yusri Fajar Yusrizal KW Yuval Noah Harari Yuyu AN Krisna Zaki Zubaidi Zalfeni Wimra Zawawi Se Zehan Zareez Zen Hae Zhaenal Fanani Zuarman Ahmad Zulfikar Akbar Zulhasril Nasir