Jumat, 09 Juli 2010

Dhimas Gathuk Ketemu Pungli

M.D. Atmaja
http://www.sastra-indonesia.com/

Pada siang hari, ketika Dhimas Gathuk sedang bekerja untuk salah satu Padepokan milik Pendopo Matahari Pengikut Nabi, yang sering kita dengar dengan nama PMPN itu, dia sedang membersihkan salah satu tiang pendopo dekat dengan kerumunan para santri yang tengah mengobrol. Para santri itu berkerumun, sambil sembunyi-sembunyi menikmati rokok, yang menurut orang-orang tua di Pendopo bahwa rokok itu haram. Hal itu lah yang membuat para santri menikmati rokok dengan sembunyi, takut, malu, karena menikmati barang yang telah telah diharamkan orang-orang tua di Pendopo walau pun sebenarnya Nabi yang mereka ikuti tidak mengharamkan itu.

Dhimas Gathuk tengah sibuk, tanpa sengaja mendengarkan bisikan-bisikan para santri yang menyusup di dalam udara yang riuh dengan persiapan ulang tahun akbar. Mereka saling memandangi dengan pandangan penuh curgiga. Menulur ke semua tempat, termasuk pada Dhimas Gathuk yang berpura-pura tidak mendengar. Para santri itu terus saja bergumam sambil terus saja menyelidik.

“Kemarin ditarik berapa tho sebenarnya?” tanya seorang kurus dengan rambut agak gimbal yang seringkali disebut bejo.

“”Lima puluh ribu!” sahut Munir cepat, yang seorang aktivis dari Himpunan Santri Islam itu.

“Memangnya duitnya buat apa? Kok kita masih ditarik juga, apa belum cukup?” tanya Bejo kembali sambil memandangi keseluruh teman-temannya yang ada di sana.

“Ah, gak tahu juga,” sahut Agustus, lelaki lain yang kebetulan ada di sana.

Mereka saling berpandangan saat Dhimas Gathuk mendehem keras saat seorang pejabat PMPN berjalan menuju ke arah mereka. Para Santri itu pun diam, menyaksikan pejabat PMPN yang lewat sambil membawa beberapa stoftmap berwarna hijau. Setelah orang itu lewat, pandangan para santri dialihkan pada Dhimas Gathuk yang masih berpura-pura membersihkan tiang Pendopo yang sebenarnya sudah bersih.

“Ya uang kita itu buat kegiatan ini!” sahut Munir yang nge-fans dengan Aktivis HAM Munir yang sampai kini kasus pembunuhan dirinya belum jelas.

“Kok kita ikut terbebani dengan ini, sih? Bukankah tidak masing-masing dari santri di sini sepakat dengan Pendopo? Bukan juga anggota dari Pendopo ini.” Ungkap an-Jauhhari seorang yang kebetulan jebolan dari Pesantren dari Padepokan di Jawatimur sana. “Setahuku, tiga kali kita ditarik untuk masalah ini.”

“Bagaimana pun juga, saat kita berpijak di sini segala macam aturan harus kita pahami dengan bijak. Mereka memiliki hak untuk menarik berapa pun dari kita.” Ucap Munir dalam senyuman. “Hanya saja permasalahannya, kita tidak diajak ngobrol untuk masalah ini. Kita, semestinya diajak ngobrol, walau sekedar untuk memberitahukan akan ada penarikan untuk tiga kali itu.”

“Maksudmu kita itu siapa, Nir?” sahut Agustus yang menaikkan alisnya.

“Ya, kita ini, KBS, Keluarga Besar Santri. Dan setahuku, tidak ada komunikasi yang logis antara Pendopo dengan KBS.”

“Ada atau tidak sih, aturan dari Diknas, mengenai pemungutan dana di luar dana pendidikan?” tanya Bejo yang sambil menghembuskan asap rokok dan kemudian mengaburkannya dengan buku tangan agar tidak ketahuan pejabat PMPN kalau mereka sedang merokok.

Semua orang menggelengkan kepala, termasuk Dhimas Gathuk yang ikut mendengarkan.

“Terus, bagaimana dengan penarikan lima puh kali tiga ini?” tanya Bejo kemudian. “Bukankah seperti pungli saja. Kita tanpa tahu apa-apa, tiba-tiba biaya pendidikan membengkak untuk hal yang tidak ada kaitannya dengan pendidikan. Haram!” Bejo menegaskan yang hanya membuat kawan-kawannya tersenyum sambil menggelengkan kepala.

“Sudahlah, Jo, diikhlaske wae.” Sahut an-Jauhhari dalam senyuman.

Pembicaraan para Santri itu terus saja mengalun. Dhimas Gathuk tersungkur di bawah tiang Pendopo yang telah bersih. Tenaganya hilang. Dia mengelus dada, yang terasa sesak. Terasa begitu sesak ketika ucapan Bejo melintas di kepalanya. Pungli! Haram! Lalu pandangannya terpaku pada bendera matahari yang berkibar dengan lesu dan berat sebab habis diguyur hujan semalamam. Dhimas Gathuk menggelengkan kepala, lalu dia berdiri sambil menggelengkan menggumankan sesuatu:

“Salam, Rahmat, dan berkahNya kupanjatkan kepadamu wahai Nabi. Salam semoga tetap untuk kami seluruh hamba yang shaleh-shaleh.” Dhimas Gathuk pergi meninggalkan Pendopo untuk merokok di sana, di bawah pohon Semboja.

Bantul – Studio Semangat Desa Sejahtera Fictionbooks
Kamis, 8 Juli 2010; M.D. Atmaja

Ketika Pornografi Melanda Indonesia

Romi Febriyanto Saputro
http://www.suaramerdeka.com/

TINDAK pornografi di Indonesia makin menyedihkan. Selain hasil riset kantor berita AP yang menempatkan Indonesia sebagai sorga pornografi nomor dua setelah Rusia, pornografi sudah menyatu menjadi perilaku masyarakat. Penelitian yang dilakukan Pusat Studi Hukum Universitas Islam Indonesia menyebutkan sekitar 15 persen dari 202 responden remaja berumur 15 - 25 tahun sudah melakukan hubungan seks, karena terpengaruh oleh tayangan pornografi melalui internet, VCD, TV dan bacaan pornografi. Dari penelitian tersebut juga terungkap 93,5 persen remaja telah menyaksikan VCD porno dengan alasan sekadar ingin tahu 69,6 persen dan alasan lain hanya 18,9 persen.

Fenomena seperti itu tentu saja sangat memprihatinkan kita semua, terlepas dari validitas dan obyektifitas penelitian tersebut. Menurut Ensiklopedi Nasional Indonesia, pornografi dalam pengertian sekarang adalah penyajian tulisan, patung, gambar, foto, gambar hidup (film) atau rekaman suara yang dapat menimbulkan nafsu birahi dan menyinggung rasa sosial masyarakat. Pornografi semula mengacu pada karya-karya sastra Yunani Kuno yang menggambarkan tingkah laku pelacur. Dalam bahasa Yunani Kuno, porne artinya pelacur dan graphein artinya menulis.

Dalam bahasa Inggris, ada istilah obscenity selain pornographi. Obscenity mengacu kepada segala sesuatu yang tidak senonoh, mesum dan melanggar kesopanan. Tetapi undang-undang menentang obscenity hanya di Amerika Serikat dan Inggris hanya berlaku untuk ketidaksopanan di bidang seksual.

Masyarakat Yunani Kuno yang berpandangan naturalistis tidak menganggap seks atau hubungan seks secara terang-terangan sebagai sesuatu yang mesum. Kaum wanitanya suka memuji patung priapus sebagai dewa kesuburan. Patung itu berupa kepala seorang lelaki yang berjanggut yang diletakkan di atas sebuah alas dan di tengah alas terdapat alat kelamin laki-laki.

Dalam masyarakat Romawi Kuno terdapat lukisan-lukisan di dinding kuil Pompeii yang menggambarkan cara-cara bersenggama. Lukisan-lukisan ini merupakan bukti sejarah tentang pornografi dalam kebudayaan Romawi Kuno.

Pada zaman itu, terkenal Ars Amatoria (Seni Cinta Asmara), karya sastrawan Ovidus, yang terdiri atas tiga jilid dan membahas secara rinci cara-cara merayu, menggoda dan merangsang nafsu seks (Alex E Rachim, 1997)

Pornografi tersebar ke Eropa pada abad pertengahan, dengan selera rendah, berupa teka teki lelucon dan syair pendek berisi sindiran. Yang terkenal adalah cerita Decameron karya Giovanni Boccaccio yang berisi sekitar 100 cerita tak senonoh. Penemuan alat cetak memberi kesempatan bagi penyebaran buku-buku cerita pornografis.

Cerita-cerita itu berisi humor dan hubungan asmara yang ditulis untuk tujuan menghibur atau merangsang birahi pembaca. Kemudian di Eropa muncul karya-karya modern pertama yang tidak mengandung nilai sastra dan bertujuan hanya merangsang birahi. Yang terkenal dari zaman itu di Inggris adalah buku Fanny Hill; or Memoirs of a Woman of Pleasure (1749) oleh John Cleland.

Penyebaran pornografi menjadi sulit dibendung ketika kemudian ditemukan fotografi dan gambar hidup (film). Sejak Perang Dunia II, pornografi dalam bentuk tulisan mendapat saingan besar dari penyajian secara terang-terangan tingkah laku erotis (cabul) dalam bentuk visual.

Selama beberapa dasawarsa belakangan ini tumbuh pula industri porno dengan pesat di sejumlah negara maju dan diperkirakan menghasilkan 7 miliar dolar AS setahun. Yang diproduksi industri juga mencakup berbagai obat dan alat bantu pemuas hubungan seksual.

Telah Membudaya

Menurut Yasraf Amir Piliang (1998), perkembangan masyarakat kapitalisme global abad ke-21 ini ditandai oleh dua logika, yaitu logika pelepasan nafsu (libido) dan logika kecepatan, yang keduanya sangat potensial bagi kebangkrutan sosial.

Kapitalisme global tidak lagi sekadar berkaitan dengan ekspansi kapital, teritorial dan pasar, tetapi kini lebih berkaitan dengan ekspansi arus libido dan perkembangan getaran nafsu. Alquran melukiskan kondisi ini dalam Surat Muhammad (47) ayat 12, “Dan orang-orang yang kafir itu bersenang-senang (di dunia) dan mereka akan seperti makannya binatang-binatang?”

Masyarakat kita tampaknya telah terkontaminasi oleh cara hidup materialisme dan hedonisme, yang memaknai hidup ini dengan tolok ukur materi dan sekadar mencari kesenangan belaka. Dengan mengabaikan moralitas, akhlak sebagai insan beragama dan etika sosial masyarakat.

Suka atau tidak suka haruslah diakui pornografi dan pornoaksi telah menjadi budaya dalam masyarakat kita, sebagaimana virus korupsi, kolusi dan nepotisme. Semenjak Indonesia memasuki era reformasi pornografi tumbuh berkembang.

Begitu kran kebebasan pers dibuka, media-media porno mulai berkembang dan ironisnya memperoleh sambutan yang hangat dari masyarakat. Kalau sebelum era reformasi, masyarakat masih malu-malu dengan sesuatu yang berbau pornografi, maka dalam era reformasi ini masyarakat tampaknya sudah tidak tahu malu lagi.

Layar televisi kita setiap hari selalu dipenuhi oleh tayangan-tayangan yang berbau dan berjiwa porno, baik dalam bentuk hiburan, musik, film, sinetron maupun iklan. Dengan alasan sesuai dengan selera masyarakat.

Goyang ngebor salah seorang penyanyi kita telah menimbulkan inspirasi bagi penyanyi yang lain sehingga lahirlah yang namanya goyang ngecor, goyang patah-patah , goyang kayang dan lain-lain cabang goyang erotis.

Yang lebih memprihatinkan lagi sebagian besar dari acara televisi yang bernuansa erotis itu memiliki rating yang cukup tinggi, yang berarti merupakan indikasi sebagian besar masyarakat kita menyukai tayangan erotisme. Belum lagi dengan dunia periklanan kita yang menggunakan daya tarik erotisme wanita untuk menjual produknya.

Ataupun menggunakan kata-kata yang mengandung imajinasi dan nada bicara yang erotis. Maka tidaklah mengherankan jika iklan sepeda motor dan mi instan pun menggunakan pesona wanita seksi. Seolah takut ketinggalan dunia olah raga kitapun juga dilanda oleh budaya erotisme, misalnya olahraga tinju selalu diselingi oleh lenggak lenggok wanita cantik berpakaian seksi.

Dalam Alquran secara tegas Allah SWT melarang segala perilaku yang dapat mendekati zina termasuk pornografi, pornoaksi, prostitusi dan segala bentuk variannya.

Allah berfirman dalam Surat Al Isra (17) , ayat 32, “Dan janganlah kamu mendekati zina, sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan yang keji. Dan suatu jalan yang buruk.” Dari firman ini jelas sekali Allah melarang hamba-hambaNya dari perbuatan zina, mendekatinya, dan berinteraksi dengan hal-hal yang dapat menimbulkan atau menyeret kepada perzinaan.

Pesan moral dalam Alquran tampaknya sudah banyak diabaikan oleh masyarakat Indonesia yang sebagian besar (mengaku) beragama Islam. Dengan berbagai dalih seperti kebebasan berekspresi, seni dan relatifitas difinisi pornografi, mereka larut dalam perbuatan yang jika disadarinya sesungguhnya mende-kati zina.

Yang lebih mengherankan lagi ketika ada RUU Anti Pornografi, banyak kalangan yang menganggapnya sebagai sesuatu yang kontroversial. Menurut sejumlah kalangan institusi negara tidaklah perlu terlalu jauh mengurusi pornografi yang masih belum jelas batasannya, lalu kalau begitu apa fungsi didirikannya Republik Indonesia ini ? Jika institusi negara tidak lagi dapat mendidik dan mengatur masyarakatnya, maka yang timbul hanyalah masyarakat yang terdegradasi moral dan akhlaknya yang pada akhirnya akan menimbulkan kebangkrutan sosial.(33)

-Romi Febriyanto Saputro, pustakawan Kantor Perpustakaan Kabupaten Sragen

Pergeseran Pola Puitik Dari Chairil Anwar Menuju Arief B. Prasetyo

Ribut Wijoto
http://www.sinarharapan.co.id/

Ketika sedang suntuk mempelajari kembali puisi Chairil Anwar, saya tiba-tiba teringat Hugh Trevor-Roper, sejarawan yang membahas historiografi abad ke delapan belas. ”Prestasi yang dicapai oleh sejarawan abad ke delapan belas sangat luar biasa”, tulisnya dalam buku The Listener (1977). Abad ke-18 telah semena-mena terhadap data dan peristiwa sejarah. Segala yang terjadi di masa silam dinilai dan ditafsirkan dengan norma dan realitas masa sekarang. Seolah-olah nilai masa sekarang bersifat mutlak dan masa silam bersifat relatif.

Semena-mena, sejarawan abad ke-18 tidak akan pernah sampai pada ”apakah yang sesungguhnya terjadi di masa silam”. Mengapa seseorang, di masa silam, melakukan tindakan perang, bertobat, atau bunuh diri. Sejarawan abad tersebut tidak sedang berbicara untuk masa silam. Tujuan penelitian sejarah ada pada masa kini. Masa silam hanya kambing hitam untuk gagasan masa kini. Masa silam telah diperkosa. Tetapi begitulah, setiap perkosaan senantiasa menimbulkan kejutan, kenikmatan, pembisuan, dan ketegangan. Tergelar berbagai konsekuensi berkat pemerkosaan. Kemungkinan-kemungkinan yang sebelumnya terkunci rapat, dan tidak terperkirakan, bisa terbuka lebar, bahkan setiap orang dapat memasukinya. Aku, kita, dan mereka menjadi asing karena perkosaan.

Kesuntukan tiba-tiba menipis, saya mengalami pergeseran cara berpikir. Chairil Anwar, penyair yang semula saya posisikan sebagai artefak, data sejarah, berubah menjadi penyair yang berproses di kekinian. Puisi-puisi Chairil Anwar, saya anggapkan ditulis di masa sekarang, ditulis bukannya di masa silam. Saya akan semena-mena, seperti juga sejarawan abad ke delapan belas, terhadap puisi Chairil Anwar, agar saya memperoleh sesuatu yang tidak terkirakan. Konkretnya, saya akan membandingkan puisi Chairil Anwar dengan puisi yang benar-benar ditulis di masa sekarang. Pilihan jatuh pada puisi Arief B. Prasetyo, seorang penyair yang dikenal dengan antologi Mahasukka (terbitan Indonesia Tera, 2000).
***

Mempersandingkan puisi Chairil Anwar dengan Arief B. Prasetyo, saya menemukan adanya greget personalitas dalam merakit kata. Kedua penyair seakan saling berlomba menciptakan situasi garang dalam puisi. Kata-kata berkesan tegang, liar, kuat berotot, dan diliputi semangat individual. Ekspresi yang menekankan konflik kejiwaan manusia. Puisi seperti di tempatkan sebagai sarana mempertunjukkan kedirian berlumur persoalan pelik. Keindahan puisi diraih melalui problem, sejauh mana puisi mampu memberi gambaran amat personal atas pengalaman ”kebrutalan” hidup manusia. Arief B. Prasetyo dan Chairil Anwar sama-sama menebarkan kebrutalan teks puisi.

Pembukaan puisi ”Aku” dari Chairil Anwar: Kalau sampai waktuku, ‘Ku mau tak seorang ‘kan merayu, Tidak juga kau. Arief B. Prasetyo membuka puisi ”Mahasukka” dengan kalimat: Di pinggulmu selusin sayap ingin mengerjap, kunang-kunang terbang, menikung, mengiang, membandang, terus, terus, cepat, ringkus, remas, hempas, keras-keras, jadi jerit bianglala yang terkulai di telaga, yang terberai, terkapar mengagapai-gapai akar darah. Kedua puisi sama-sama merepresentasikan kegalauan kejiwaan manusia di tengah kehidupan, sungguh ironis, yang juga galau.

Chairil Anwar memberi gambaran keinginan untuk tidak mau terganggu oleh siapa pun. Kedirian mutlak, tanpa tekanan dan keterlibatan lain-lain pihak. Chairil Anwar, besar kemungkinan, memilih masuk ke wilayah eksistensialisme. Manusia melakukan tindakan karena ia ingin melakukannya, bukan karena ada orang lain menyuruh atau mengkondisikan. Kemerdekaan pribadi ”aku”.

Gambaran puisi Arief B. Prasetyo terbalik dari puisi Chairil Anwar, kedirian tokoh dalam puisi menyebabkan berbagai pengaruh terhadap lingkungan. Manusia membuat segala makhluk ingin mendekat, terlibat aktif, dan berguna. Pesona manusia menciptakan ketergantungan gejolak adegan. Manusia menjadi pusat dari gerak lingkungan. Antroposentrisme, manusia sebagai pusat alam semesta. Tokoh dalam puisi Arief B. Prasetyo ”terlibat” dalam lingkungan dan menentukan arah ”nasib” lingkungan.

Keakanan puisi dalam terjadi dalam Chairil Anwar. Kalau sampai waktuku, ku mau, kalimat ini menandakan peristiwa masih belum terealisasi. Angan baru hendak menciptakan peristiwa. Berlainan dengan puisi Arief B. Prasetyo, peristiwa terjadi dalam keakanan bercampur kekinian. Selusin sayap ingin mengerjap, kunang-kunang terbang, kalimat ini memiliki dua tingkat waktu. Tahap pertama adalah keakanan dan tahap kedua adalah kenyataan sekarang. Batas tegas antara keakanan dan kekinian mungkin dihindari oleh Arief B. Prasetyo. Keduanya menggelibat bersamaan. Teks puisi yang berupa adonan keakanan dan aktualitas.

Perbedaan konsepsi waktu dalam teks puisi dari kedua penyair membuat puisi Arief B. Prasetyo tampak lebih kompleks di dalam menyajikan peristiwa. Chairil Anwar mengisyaratkan, ”saya adalah personal tertentu dan saya ingin menciptakan kondisi tertentu”. Arief B. Prasetyo mengisyaratkan, ”saya adalah personal tertentu, ingin menciptakan kondisi tertentu, dan saya sedang terlibat dalam peristiwa tertentu”. Lebih jauh lagi, Arief B. Prasetyo menandaskan kurang adanya perbedaan antara keinginan dan kenyataan.

Pilihan waktu konvergentif atau campuran pada puisi Arief B. Prasetyo didukung oleh campuran diksi (pilihan kata) yang variatif. Bermacam kata dengan lingkungan yang berbeda dipadukan dalam membentuk pernyataan kenyataan. Misalnya kata ”pinggul”, barang dari tubuh manusia yang berbentuk bulat simetris dan bernuansa sensual, dipertautkan dengan ”kunang-kunang”, barang dengan lingkungan hewani yang keluar saat malam dan ”sebagai orang Jawa, saya percaya” kunang-kunang bernuansa kematian. Saya kelelahan ketika membayangkan kerumitan penciptaan puisi Arief B. Prasetyo. Konsentrasi tema dan perspektif yang kuat dibutuhkan agar campuran kata tidak mengalami keterpecahan atau non-kesinambungan.

Chairil Anwar juga melakukan keberanian dalam memilih kata. Hanya saja, keberanian Chairil Anwar terasa bersahaja bila dibandingkan dengan kerumitan puisi Arief B. Prasetyo. Hanya saja lagi, kebersahajaan Chairil Anwar didukung oleh strategi fonologis. Penghilangan satu-dua abjad di dalam kata. Misalnya kata ”aku” cukup ditulis dengan ”ku”, kata ”akan” ditulis ”’kan”, dan kata ”tidak” cukup ditulis ”tak”. Kekentalan peristiwa mendapat dukungan fonologis.

Dua bentuk keberanian proses perakitan kata, Chairil Anwar yang berani menyingkat kata dan Arief B. Prasetyo yang berani mencampurkan kata, bukannya tidak berpengaruh terhadap ilustrasi kenyataan. Masing-masing kenyataan dalam puisi Arief B. Prasetyo mengandung beberapa kenyataan bawahan. Kenyataan terdiri dari serangkaian, memang lebih tepatnya jalinan, kenyataan-kenyataan lain. Tercipta sebuah kenyataan pluralis. Kenyataan mewakili dirinya sendiri sebagai identitas khusus, dan bersama-sama dengan kenyataan lain, kesemuanya membentuk kenyataan baru. Ini produksi jalinan kenyataan yang berbeda dengan produksi kenyataan dalam puisi Chairil Anwar.

Penyingkatan fonologis oleh Chairil Anwar, menciptakan satu kenyataan yang padat, menggumpal, ketat ekspresi, serta tatanan utuh. Chairil Anwar seakan tidak ingin kenyataan puitik hasil ciptaannya terkontaminasi oleh identitas kenyataan bawahan. Chairil Anwar percaya terhadap kenyataan tunggal, tempat terwujud kegalauan jiwa manusia. Artinya, penafsiran atas kejiwaan manusia terfokus dalam satu kenyataan. Kepadatan kenyataan. Mungkin inilah keinginan Chairil Anwar, membuka penafsiran dari ketunggalan kenyataan. Ibarat sebuah kilatan petir, peristiwa sekilas yang memacu berbagai macam penafsiran justru karena ketidak-lengkapan peristiwanya. Apa latar peristiwa, terjadi pada siapa, berdomisili di mana; bergantung kepada isian pengalaman jiwa manusia yang tentu saja berbeda-beda. Ambiguitas, rangkap-rangkap penafsiran yang dimungkinkan oleh kekhususan teks puisi Chairil Anwar.

Ambiguitas juga, saya percaya Arief B. Prasetyo menyadari dan sengaja melakukan, yang terjadi pada puisi ”Mahasukka”. Satu kenyataan dalam puisi Chairil Anwar adalah ambigu. Setiap kenyataan dalam puisi Arief B. Prasetyo juga ambigu. Kalimat, di pinggulmu selusin sayap ingin mengerjap, memustahilkan penafsiran laten. Sejumlah makna dapat dimasukkan dalam kenyataan yang dibentuk oleh kalimat tersebut. Penafsiran menjadi bertingkat-tingkat ketika satu kenyataan dijalin dengan kenyataan lain yang juga bermuatan ambigu. Tingkatkan penafsiran makin semakin ambigu ketika jalinan kenyataan membentuk sebuah kenyataan besar. Jalinan kenyataan. Jalinan makna, berbagai penafsiran dimungkinkan oleh teks puisi Arief B. Prasetyo.

Kecuali perbedaan pola kenyataan, Chairil Anwar dan Arief B. Prasetyo memiliki cara berbeda untuk menarik minat pembaca dalam memproduksi penafsiran. Puisi menyediakan perangkap yang mengikat pembaca untuk betah, bahkan mengulang-ulang pembacaan, dan melakukan apresiasi teks. Semacam perawan yang mendandani badan dengan beragam aksesoris dan aneka kosmetik, ada satu tujuan terselip, agar lawan jenis betah atau bergairah memandang sembari melakukan tindakan-tindakan apresiatif. Membaca puisi, seseorang seperti memasuki wilayah privasi penuh rambu-rambu dan tanda seru. Kesadaran tersedot dan kegairahan tafsir bangkit.

Arief B. Prasetyo merajuk pembaca melalui rentetan gelora ilustrasi. Bermula dari pinggul, semua orang tahu ”pinggul” merupakan bagian tubuh berdaya sensual tinggi, pembaca diajak berkeliling ke tempat-tempat teatrikal. Di situ ada selusin sayap ingin mengerjap, ada kunang-kunang terbang, menikung, dan membandang. Di situ, di pinggul itu, ada gerak remasan, hempasan, ada ringkusan, dan ada yang terkapar menggapai-gapai akar darah. Dari tempat yang semula akrab, adakah orang yang tidak mempunyai pinggul, pembaca ditarik ke tampat-tempat asing dengan kejadian-kejadian asing. Dimensi pengalaman pembaca tersentak. Pengalaman yang melampaui kenyataan konkret, tetapi terjadi dan bermula dari bagian tubuh yang sangat akrab dengan setiap laju kehidupan.

Melalui kepadatan kata-kata, Chairil Anwar membetot keangkuhan jiwa pembaca. Keinginan menikmati kesendirian. Kebebasan mutlak; tanpa seorang pun mengganggu, terlibat, dan merayu pun tidak. Penajaman ilustrasi jiwa dalam puisi Chairil Anwar potensial merangsang pembaca menimbang-nimbang langkah tempuh, menjadikannya sebagai bahan renungan mengambil sikap hidup. Setiap orang menginginkan kebebasan, sama besarnya dengan keinginan mendapat pelayanan orang lain. Chairil Anwar berhasil menajamkan salah satu keinginan tersebut sehingga menutup antitesis keinginan pertama. Reduksi terjadi, maksimalitas sekaligus, atas kenyataan. Pembaca pun terprovokasi untuk melakukan penafsiran teks.

Bila diperbandingkan dengan puisi ciptaan Arief B. Prasetyo, pola perangsangan makna dalam puisi Chairil Anwar tampak bersahaja. Puisi Arief B. Prasetyo pun dapat dibaca dengan cara memahami puisi Chairil Anwar. Beberapa peristiwa dalam ”Mahasukka” merupakan hasil redukasi, sekaligus maksimalisasi, terhadap kenyataan jiwa manusia. Misalnya, jiwa yang menjerit serupa bianglala di telaga, atau jiwa yang terkapar menggapai-gapai akar darah. Chairil Anwar hanya menggunakan satu ekspresi jiwa. Sedangkan Arief B. Prasetyo, beberapa ekspresi jiwa dipertontonkan.

Pengalaman yang lebih luas digelar oleh puisi Arief B. Prasetyo. Sebaliknya, pola tamasya peristiwa dalam puisi Arief B. Prasetyo tidak dapat diperlakukan terhadap puisi Chairil Anwar. Kapasitas puisi Chairil Anwar terlalu bersahaja, atau tidak tersediakan tempat bagi pusaran makna.

Motivasi ”kata” dalam puisi Arief B. Prasetyo dan puisi pun berbeda. Chairil Anwar menggunakan kata secara langsung merujuk pada penciptaan pikiran. Pembaca dihadapkan pada kondisi tusukan kejiwaan. Misalnya, ku mau tak seorang kan merayu. Puisi Chairil Anwar tidak menyisakan kesempatan bagi basa-basi. Puisi Arief B. Prasetyo, pada akhirnya, memang ditujukan pada pikiran. Hanya saja arah jalan yang ditempuh sedikit melingkar. Kata dipergunakan sebesar-besarnya untuk mencipta gambar atau adegan. Misalnya, di pinggulmu selusin sayap ingin mengerjap. Hasil dari gambar atau adegan itulah yang menjadi referensi menuju pikiran. Melalui kelangsungan motivasi kata, tanpa penundaan seperti puisi Arief B. Prasetyo, kebersahajaan puisi Chairil Anwar makin kentara.
***

Apakah dengan perbedaan karakter puitik, Chairil Anwar yang bersahaja dan Arief B. Prasetyo yang berlimpahan, menjadikan satu dari keduanya lebih indah atau muatan estetikanya lebih tinggi? Saya hanya memastikan, kedua penyair memiliki perbedaan gaya pengucapan.

Penggunaan perangkat puitik yang berlimpahan, bisa jadi, sumber penting pengalaman jiwa. Kebersahajaan pengucapan, bisa jadi, cara tepat pengungkapan jiwa. Keduanya berbeda seperti perbedaan karya sastra bentuk haiku dengan karya sastra bentuk novel. Karya pertama terdiri hanya tujuh belas suku kata. Karya kedua terdiri dari puluhan ribu bahkan ratusan ribu suku kata. Sulit dipastikan, manakah lebih indah dari keduanya.

Tulisan ini hanya berpretensi pada cara wajar memandang penyair dan ciptaannya. Puisi bisa bebas untuk ditafsirkan. Puisi bebas juga diproduksi ulang. Saya kurang bersepakat dengan perhatian berlebihan terhadap penyair. Tindakan tersebut hanya akan memposisikan penyair dan karyanya sebagai mitos.

Saya bergembira, tulisan ini meyakini ”puisi Chairil Anwar tidak lebih bagus atau lebih buruk dari puisi Arief B. Prasetyo” dan dari penyair lain. Lebih bergembira lagi, tulisan ini meyakini adanya pergeseran, mungkinkah ini sebuah perkembangan, konsepsi estetika dalam kepenyairan pasca-Chairil Anwar.

Surabaya, 2002

Minggu, 04 Juli 2010

KA(E)PUJANGGAANNYA PAHLAWAN DIPONEGORO

Nurel Javissyarqi
http://www.sastra-indonesia.com/

Sebelum jauh merambah pada karya Beliau. Terus terang saya terusik dengan ejaan Diponegoro menjadi Dipanegara. Kenapa Bojonegoro tidak dirubah menjelma Bajanegara? Dst. Bagi saya tetap menggunakan logat aslinya (:jawa) yakni Diponegoro, disamping mengukuhkan literatur yang terakhir ada. Berangkat dari asal dialek, daya pamornya dapat disadap lebih mantab, saat mengejawantahkan suatu kalimah, apalagi kerja bersastra.

Di tanah Jawa, sebutan Pangeran yang kesohorannya melebihi raja-raja kecil ialah Pangeran Diponegoro. Padahal jauh di benaknya tiada membanggakan titel itu, ia lebih nyaman sebagai rakyat biasa, lebih berasa mengunyah asin garam kehidupan jelata. Tak ada pantulan lain, selain kesadaran berontak-lah hal tersebut terbit, menyunggi matahari bencah Dwipa kala itu.

Saat membaca roman sejarah karangan J.H. Tarumetor TS. yang bertitel “Aku Pangeran Dipanegara” penerbit Gunung Agung Djakarta 1966. Saya merasakan betapa sengit pergolakan kemerdekaan, yang berkumandang terang mewujudkan idealitas kebebasan, dari kungkungan rezim penjajahan, yang sewenang-wenang mengadu-domba darah biru, darah merah bumiputra. Adalah berdasar niat suci, perlawanan terus dikibarkan, bergerilya menculik musuh dengan panah api, sekali waktu berhadap muka meriam dengan tombak, keris dan bambu runcing.

Tiap-tiap laluan parit, tebing curam, kaki bukit, semak belukar, hutan rimba, batu licin derasnya air sungai, padang amis darah rumput, merupakan referensi dalam meningkatkan mutu pemberontakan dikemudian hari. Maka ingatan senantiasa harus terawat, terbasuh kucuran kesadaran, semisal kelembutan air bersanggup menelusup ke serat-serat batu, mendenting melobangi bebatuan pada goa perenungan. Niscaya tubuh kebangsaan berteriak lantang, manakala kaki-kaki rumput terinjak sepatu besi, kuda-kuda birahi yang kesurupan serupa kompeni. Jika berkaca pada cermin masa kini, nasib tanah pertiwi terserang virus-virus korupsi.

Ontowiryo (bahasa Indonesia usil menulisnya dengan Antawirya, nama kecil Pangeran Diponegoro), ia terlahir pada tanggal 11 November 1785 di Yogyakarta, dan wafat pada tanggal 8 Januari 1855 di benteng Rotterdam kota Makasar. Sebagaimana catatan Muhammad Yamin dalam bukunya yang berjudul, Sedjarah Peperangan “Dipanegara” Pahlawan Kemerdekaan Indonesia, penerbit Jajasan Pembangunan Djakarta 1952, tjtakan ketiga. Jika menengok literatur YB. Sudarmanto, terbitan Grasindo 1996 yang berjudul “Jejak-Jejak Pahlawan dari Sultan Agung hingga Syekh Yusuf,” membubuhi puisi Chairil Anwar yang berlabel “Diponegoro”: Di depan sekali tuan menanti/ Tak gentar. Lawan banyaknya seratus kali/ Pedang di kanan, keris di kiri/ Berselempang semangat yang tak bisa mati/

Di bawah ini saya tunjuntukkan Pangeran Diponegoro sebagai Pujangga Indonesia, sebelum santri Tegalsari R. Ng. Ronggowarsito. Bermaksud menguri-uri ruhaniah pertiwi atas tumbal para pemudanya, guna jejiwa mengikuti kegigihannya. Menempa mental agar tak berkarat dimakan usia, tidak busuk dalam buih kecewa. Andai kedangkalan gurit sekadar kenangan, masih bersimpan semangat pengguratnya. Apalagi tetembangan yang dihasilkan dari jiwa-jiwa paripurna kepahlawanan; tidak tunduk harta benda, pangkat jabatan maupun gadis-gadis berambut pirang.

Demikian simaklah…

Sun amedar surasaneng ati
atembang pamijos
pan kinarjo anglipur brangtane
aneng kita Menado duk kardi
tan ana kaeksi.

Mapan katah kang keraseng galih
ing tingkah kadudon
pan mengkana ing tijas pangestine
kaja paran polahingsun iki
jen tan ana ugi
apura Ijang Agung.

Lara wirang pan wus sun lakoni
nging panuhuningong
ingkang kari dan kang dingin kabeh
kaluarga ngestokken jekti
mring Agama Nabi
oleh pitulung.

Ketika membaca bahasa asalnya, tubuh penyaksi gemetaran; bulu-bulu berdiri seolah jejarum di jemari tangan perawan, menyuntik seluruh jasad yang memendam masa silam. Sejarah dihasilkan kerja kesungguan, tak ada basa-basi tersimpan, seluruhnya meruang-waktu kejadian lampau. Perjuangan suci mengukuhkan lelangkah menjadi panutan dikemudian hari. Bahasa bukan sekadar penyampai, di dalamnya ada dinaya, sukma yang terekam membetot jatah dipertarungkan ruang-waktu pembaca. Maka usah sekali-kali menganggap remeh sikap pembacaan, agar tak terhempas gelombang kelupaan sebelum sampai tujuan.

Di bawa ini salinan maknawi karya beliau:

Hamba curahkan perasaan kalbu yang fitri
mengarang syair menghibur duka-nestapa
menyusun karangan di kota Manado
ketika tak kelihatan pandangan mata
selain daripada Tuhan Yang Maha Esa.

Banyaklah yang terasa dalam hati
berbuat kelakuan yang salah arah
sampai timbul jantung berfikiran:
apakah jadinya hamba hina ini,
sekiranya tingkah perbuatan itu
tidak diturunkan ampun,
oleh Tuhan Yang Maha Kuasa.

Pedih-pilu, hina bencana dirasa
tetapi memohonkan sungguh,
supaya kehilafan dahulu dan kemudian
diturunkan pengampunan dari Tuhan,
kepada keluarga dan sanak saudara
yang dengan ikhlas sepenuh sungguh
menuruti ajaran Nabi pembawa sabda.

Demikian Tembang Midjil yang disusun Pangeran Diponegoro di kota Manado, sebagai Muqaddimah “Babad Diponegoro,” yang dirampungkannya di kota Makasar. Babad tersebut berisikan sejarah leluhur, tareh runtuhnya kerajaan Majapahit hingga detik-detik akhir Beliau. Perjuangan tangan-tangan baja, kaki-kaki gajah, amis darah segar, keringat berdebu, harta-nyawa melayang-layang selama lima tahun terus-menerus melawan penjajahan, dari tanggal 20 Juli 1825 sampai 28 Maret 1830. Dan seperempat abad Beliau meringkuk di benteng tawanan, mendekam terisolasi di tanah asing pembungan. Dimana kurun waktu menyimpan peristiwa, tempo suatu kenangan menjelma harmoni tetembangan, kejayaan hati bergetar dalam perjuangan.

Ontowiryo atau Pangeran Diponegoro, diberi gelar rakyaknya dengan sebutan; “Sultan Abdulhamid Herutjokro Amirul Mukminin Syaidina Panatagama Khalifatulloh Tanah Djawa.” Bersama Sentot Prawirodirdjo serta Kiai Modjo, membakar medan peperangangan di lingkup tanah tengah dwipa; Selarong, Dekso, Pleret, Lengkong, kaki Gunung Merapi, Bantul, Kedjiwan, Gawok, Bagelen, Banyumas, Pekalongan, Ledok, Semarang, Rembang, Bojonegoro, Madiun, Pengasih, Banyumeneg, Kedu, dan seluruh ruh bumi Nusantara berbangkit atas hembusan badai pemberontakannya.

Adalah tak diragukan lagi, tubuh-tubuh yang terpendam tanah pertiwi sebagai daulat kesatuan, bagi hakikat paku bumi, gunung-gunung tertancap, agar tak buyar makna ke-Indonesia-an. Dimana tiap-tiap pergolakan terangkat, embun pagi kabarkan peristiwa makna puitik, lahir dari pergumulan ruh abthin matahari. Dan sisanya tersimpan dalam resapan daun-daun sejarah. Niscaya pancaran hati, atas pantulan tekad memperjuangkan tanah sepenuh jiwa, tulus setia menghadap Ridho-Nya.

*) Pengelana asal Lamongan, Jatim, 19 Maret 2009, kamis legi Rabiul Awal 1430 H.

Onto Suwigno

A Rodhi Murtadho
http://www.sastra-indonesia.com/

Onto Suwigno. Seorang guru SMP yang cukup populer namanya di kalangan masyarakat desa Madulegi. Keramahan dan kesantunannya kepada siapa saja menumbuhkan rasa simpati tersendiri. Tak diragukan lagi, kepiawaiannya dalam mengajar membuat berjuta-juta manusia sukses. Ada yang sukses menjadi pengemis, pemulung, petani, pedagang, pejabat kota, menteri, jendral, presiden, bahkan ada yang sukses korupsi tanpa ketahuan.

Sudah lama Onto Suwigno mengajar di SMP itu. Dua puluh lima tahun. Tentu saja ia sering mengalami pergantian kurikulum pembelajaran. Dari kurikulum A ke kurikulum B ke kurikulum C kembali ke kurikulum A kemudian ke kurikulum D dan begitu seterusnya. Kali ini ia harus beralih dan menggunakan kurikulum K. Kurikulum baru. Kurikulum yang bisa membuat siswa banyak bertanya. Banyak pertanyaan dari siswa yang belum ia bisa jawab sebenarnya. Namun dengan memaksa, memelintir otak, dan mengeluarkan segala pengalaman serta kepiawaian mengajar, ia bisa menjawab pada akhirnya.

“Pak, apa sih pendidikan seks itu?” tanya Jurano, salah seorang muridnya yang terkenal pandai dan piawai dalam bertanya.

Sempat Onto Suwigno merasa kebingungan memikirkan pertanyaan itu. Memang ia jarang sekali nonton TV apalagi baca koran. Waktu di luar mengajar ia gunakan untuk mengojek di pangkalan ojek Telon. Hal itu harus dilakukan karena ia harus menghidupi dua orang istri dan ketujuh anaknya.

Semakin tercenung ia memikirkan pertanyaan itu. Ia ingat Sumini, istri keduanya. Malam yang bergairah. Senyum Sumini di sela-sela giginya yang putih. Uraian rambut ikal di antara parfum dan bedak. Membuat malam semakin berbinar. Apalagi bentuk tubuh Sumini yang tak banyak berubah meski sudah beranak tiga. Di samping desahan nafas yang tak heran lagi membuat Onto Suwigno semakin kewalahan membendung hasrat. Sangat enggan ia melewatkan malam seperti itu bersama Sumini.

“Pak! Pak Onto, kok gak dijawab?” protes Rozak di sela-sela lamunan Onto Suwigno yang kontan membuatnya kaget.

“Saya melakukannya semalam,” jawab Onto Suwigno spontan terkaget.

“Apanya pak?” tanya Dini yang makin penasaran.

“Kapan-kapan kita bisa praktik bersama. Sesuai dengan tuntutan kurikulum, jadi harus ada praktik agar kalian tahu dengan jelas.”

“Tapi kapan pak?” tanya Nuni mengejar.

Pertanyaan yang lagi-lagi membuat Onto Suwigno terpojok. Ia kembali berpikir, kapan praktek itu bisa dilaksanakan. Sementara ia ingat istri pertamanya. Jannah. Seorang wanita berperawakan besar. Onto Suwigno mengingat-ingat kembali saat ia pengantin baru sampai ia mempunyai empat orang anak. Belum pernah ia melakukan praktik itu di siang hari.

“Bagaimana kalau malam hari!” jawab Pak Guru Onto.

“Kami kan harus belajar yang lain juga dan harus istirahat, Pak. Belum lagi izin yang belum tentu diberikan ayah dan ibu kami. Siang saja ya, Pak?” timpal Jurano.

Kembali Onto Suwigno memikirkan masalah yang sebenarnya ia tak mengerti. Namun pikirnya, ia melakukan praktik itu dengan Jannah ketika waktu senggang. Saat ia tidak sedang mengajar atau tidak sedang mengojek.

“Baiklah! Tetapi, waktu istirahat saja. Besok bisa kita praktikkan,” Onto Suwigno memberi kepastian kepada murid-muridnya.

Bel pulang telah dibunyikan. Membuat siswa-siswa cepat-cepat mengemasi buku dan segenap alat tulis. Mereka pun siap untuk meluncur pulang. Tas ransel yang tadi pagi mereka bawa terasa berat, sekarang menjadi ringan ketika mereka sudah memakan bontotan yang disiapkan ibu mereka.

Siswa-siswa berbondong-bondong pulang. Begitu juga dengan para guru termasuk Onto Suwigno. Onto Suwigno langsung berganti seragam. Ia memakai seragam ojek dan langsung menuju pangkalan ojek Telon. Dalam perjalanan, ia memikirkan hal yang tak ia mengerti yang ditanyakan muridnya. Pendidikan seks. Bagaimana besok ia akan menjelaskan. Apalagi ia akan menjadikan itu sebuah praktik. Bagaimana ia akan melakukan? Dengan siapa? Semakin banyak pertanyaan yang muncul dan menghantui Onto Suwigno. Ia terdiam dalam lamunan panjang.

“Pak Onto, bagaimana kalau kita praktik ketika istirahat pertama?” tanya Jurano.

“Baik. Ide yang cukup bagus. Kamu dan teman-temanmu yang berpraktik, ya. Tentu saja atas bimbingan saya,” jawab Onto Suwigno yang sedikit tersenyum tapi kebingungan.

“Baik pak.”

Kembali Onto berpikir. Benar yang ia lakukan ini? Sementara ia mengukur dirinya sendiri. Ketika ia berumur 18 tahun, setahun sebelum ia menikah dengan Jannah, baru ia megetahuinya. Mereka baru berumur 12 tahunan. Apakah sudah layak mengetahuinya? Kembali kebimbangan membuatnya bingung untuk melakukan praktik itu.

“Kalau saja saya membaca koran atau nonton TV tentu saja saya bisa menjawab pertanyaan itu dan mengakali jawabannya,” kata Onto Suwigno dalam hati, “tapi, gaji yang saya dapat tidak cukup untuk semua keluarga. Untuk makan satu istri dan dua orang anak saja tidak cukup apalagi harus menghidupi dua orang istri dan tujuh orang anak. Kalau pembesar kota mengatakan bahwa gaji itu tidak habis saya makan satu hari itu memang benar. Tapi gaji itu habis saya makan sepuluh hari. Terus yang dua puluh hari makan apa? Terus anak istri ikut makan siapa?”

“Pak, direkam ya, Pak, pakai kamera?” tanya Siwi, anak pejabat kaya.

“Boleh.”

Pengalaman terus saja membuat Onto Suwigno meraba-raba. Tak sempat ia tercenung. Hanya memikirkan anak didik. Bagaimana murid harus diakali tanpa menjerumuskan mereka pada hal yang asusila. Namun ini pengetahuan, kalau tidak dijawab, mereka akan terus bertanya. Ia khawatir kalau murid-muridnya mencari jawaban dengan jalan yang salah. Kembali ia menebarkan mata di sela-sela teriknya mentari siang itu.

“Baiklah anak-anak, semuanya ikut saya!” ajak Pak Onto.

“Kemana Pak?” timpal murid-murid.

“Pokoknya ikut saja.”

Onto Suwigno membawa murid-murid ke padang rumput sebelah sekolah.. Layaknya bebek yang digiring pemiliknya. Murid-murid pun nampak tercenung dan belum mengerti apa yang akan dilakukan Pak Onto.

“Kalian boleh merekam sekarang,” kata Pak Onto.

“Apanya yang direkam, Pak?”

“Kalian lihat kambing di belakang kalian itu. Di situ ada banyak kambing. Beberapa kambing jantan dan juga beberapa kambing betina. Silahkan kalian amati itu dengan seksama. Sementara saya akan meminta gembalanya untuk mendekatkan kambing-kambing itu kepada kalian.”

Adegan yang sebenarnya lekat dengan keseharian murid-murid. Tak sedikit dari mereka juga gembala. Namun ketika tontonan itu dilihat bersama, menjadi suatu keasyikan tersendiri bagi mereka. Canda, tawa, dan saling gelitik tak terelakkan lagi. Nampak Onto Suwigno merasa lega paling tidak. Dia sudah menunjukkan kalau dia sudah bisa menjawab pertanyaan murid-murid. Apalagi mampu membuat mereka senang dengan cara dia menjawab. Onto Suwigno nampak bertambah lega dan sunggingan senyum lega sudah terukir di bibirnya.

“Pak, kok kambing, terus pendidikan seksnya mana?” tanya Jurano penuh penasaran dan merasa dibohongi.

Layaknya mencari barang hilang. Onto Suwigno semakin bingung dengan contoh kambing yang ia tunjukkan kepada murid-murid.

“Mas, kambing ini usianya berapa?” tanya Pak Onto kepada gembala kambing.

“Wah, saya lupa Pak Guru, cuma yang betina ini sebenarnya adalah induk dari yang jantan,” jawab si gembala.

“Jadi yang betina itu ibu dari kambing laki-laki!” timpal Rozak ingin menegaskan.

“Benar, Dik…” si penggembala menganggukkan kepala.

“Begini anak-anak, seks semacam ini biasa dalam binatang tapi tidak boleh dilakukan manusia. Semuanya sudah diatur dalam hukum agama. Kalian mengerti?” terang Pak Onto.

“Oh, jadi ini pendidikan seksnya, Pak. Jadi tidak boleh melakukan dengan keluarga, ayah, atau Ibu, atau saudara. Kalau melakukannya bisa dikatakan sebagai binatang. Kambing,” tanggap Dini melanjutkan perkataan Onto Suwigno.

“Tepat sekali,” lanjut Pak Onto.

Onto Suwigno kembali berpikir, bukan melamun. Pikirannya ingat nama sesosok guru. Oemar Bakrie. Ia melihat sekitar dirinya berubah. Ia melihat tas coklat yang ia bawa berubah menjadi mirip kulit buaya. Ia melihat sepeda motor yang didudukinya, yang biasa ia gunakan mengojek, berubah menjadi sepeda kumbang. Dirinya tiba-tiba berpeci, berkacamata. Entah darimana datangnya. Polisi pun datang menghampirinya. Ia semakin bingung kelabakan tak karuan. Onto Suwigno berpikir, apakah dirinya benar-benar berubah menjadi Oemar Bakrie.

Surabaya, 7 Desember 2005

“Mengintip” Latar Sastra Pesantren

Aguk Irawan Mn
http://langitan.net/


Tempo hari, saya menerima posting email dari Gus Acep (Acep Zamzam Noor) dan Kang Bunis (Sarabunis Mubarok) perihal acara “Silaturahmi Sastrawan Santri” yang diselanggarakan komunitas Azan dan Desantara di Tasikmalaya. Kendati saya bukanlah sastrawan-santri yang betulan, namun jujur, ketika membaca larik barisan sejumlah santri-sastrawan yang akan berkumpul pada tanggal itu, sambil membayangkan berjalannya acara, tiba-tiba saja ada sesuatu yang tertangkap oleh benak saya, sebuah kesan, yang cukup menggetarkan. Antara sedu, bahagia dan haru.

Betapa tidak?. Mendengar kabar ini, mungkin bagi siapapun pecinta sastra yang kebetulan lahir dari latar Pendidikan Pesantren akan menemukan perasaan sama, seperti yang saya alami. Kenapa? Paling tidak, menurut hemat saya dalam gejala kebudayaan dewasa ini yang sangat getir dengan berjubelnya penulis sastra seks perempuan yang melimpah, dan penulis fiksi islami yang hanya ‘kemasan’, mungkin kehadiran acara tersebut akan berusaha menjadi penyeimbang gejala yang kurang sedap ini. Selain kegiatan itu diharapkan bisa menawarkan interaksi pemikiran sekitar pemaknaan korelasi antara sastra religiusitas dan pluralisme budaya, yang saat ini sudah hampir menemui ajalnya, terkubur dalam perosok budaya yang busuk, dalam representasi perubahan yang terjadi di masyarakat saat ini, karena terpaan arus globalisasi.

Dan yang paling penting, mungkin acara tersebut sebagai salah satu usaha untuk melestarikan kekayaan dunia sastra Pesantren yang sudah lama membeku, dan sangat memerlukan penyegaran kembali. Dengan jalan ‘membuka diri’ dengan realitas di luar lingkungan Pesantren, sehingga mengarah pada kondisi bahwa eksistensi sastra Pesantren tidak sekadar untuk mendukung proses belajar-mengajar di lingkungan Pesantren, tetapi demi kebudayaan dalam arti yang cukup luas.

Sastra dalam Tradisi Pesantren dan Islam

Barangkali ada suatu pertanyaan yang ‘mengganjal’ dan perlu kita jawab bersama; kenapa sastrawan-santri yang lahir di Pesantren, hampir semuanya, bisa dipastikan, bukan berdiri dari hasil proses belajar mengajar di Pesantren, melainkan karena motif sastra, yang dikenalinya di luar dunia Pesantren? Padahal, bukankah Pesantren cukup mengajarkan apresiasi terhadap sastra, selain memang sudah menjadi tradisi para kiyai. Sejak dahulu, tradisi ilmu sastra di Pesantren diajarkan, untuk menyebut nama seperti kitab Siraj At-Talibin-nya Kyai Ihsan- Kediri, atau kitab Al-Miftah, Aroudl, Balagah, Ma’ani juga beberapa lainnya tersebut seperti bandongan, sorogan, dan wetonan, dan lain sebagainya. Bukankah ini sebagai bukti bahwa santri dan sastra cukup akrab bersahabat, tidak saja sekedar untuk memahami isi dan menangkap pesan di dalam kitabnya, melainkan untuk memproduksi sastra itu sendiri.

Mbah Hasyim Asy’ari mempunyai diwan dalam bahasa arab yang berhasil beritijalan (improvisasi) “Diwanu Asy’ari”. Mbah Hamid Pasuruan yang terkenal wali, juga seorang sastrawan yang aktif dengan menulis bahasa jawa-arab. Hadaratus Syaikh Imam Syafii “Dewan Asyafi’i” yang menceritakan banyak kisah petualangnya. Di kalangan ulama, selain Imam Syafi’i yang identik dengan ilmu fikih (hukum Islam), salah seorang Imam dari empat mazhab fikih, bersama Maliki, Hanafi, Hambali. Dari tangan Ibnu Hazm, ulama fiqh asal Spanyol, penulis buku fikih termashur Al Muhalla, tercipta puisi cinta yang luar biasa indah Tauqul Hamamah (Kalung Burung Merpati). Para penyair Islam non-ulama (fikih) antara lain Muizzi, Abu A’la Alma’ari, Hathim At Thai, Abu Nuwas Al Hani, Abu Faraj al Asfahani, hingga Syauqi Bey. Dari kalamgan sufi, orang tak akan melupakan Jalaludin Rumi, Hafiz, Attar, Al Hallaj, Rabiah al Adawiyah, Abu Yazid al Bustami, dan masa-masa subur para penyair sufi Islam pada abad ke 10-14.

Dalam tradisi Islam, khususnya pada masa perjuangan Nabi, sastrawan dan karyanya memiliki peran yang cukup penting. Saat perang Khandaq, Nabi Muhammad juga menyenandungkan berpuisi. Bahkan Nabi memberikan penghargaan kepada Ka’ab bin Zuhair yang membacakan puisi di depan Banat Su’ad. Tradisi berpuisi juga dilakukan oleh Abu Bakar, Umar, Ustman dan Ali. Lalu, tradisi ini berkembang sampai ke tangan kiyai dan Pesantren. Mungkin karena pentingnya sastra, sehingga dalam Alquran ada satu surat yang diberi nama Assyuara’ (Para Penyair).

Sastra Pesantren, Kemana Kini?

Namun, belakangan muncul stigma bahwa munculnya sastrawan-santri yang mumpuni, bukan akibat lurus dari wacana kesastraan di Pesantren, bukankah ini kondisi yang paradoks. Dan tentu kondisi demikian menyebabkan sastra di pesantren kurang berkembang, karena tidak mengarah pada apresiasi dan penciptaan seni bagi para santri itu, juga menyebabkan ‘kesulitan’ tersendiri bagi apresian di luar Pesantren untuk ikut ‘berkutat’ Ketika misalnya, kita menyebutkan nama-nama sastrawan yang berlatar pendidikan Pesantren seperti, Emha Ainun Najib, Jamaluddin Kafie, Hamid Jabbar, Acep Zamzam Noor, Ahmadun Yosie Herfanda, Abdul Hadi WM, Fudholi Zaini, Danarto, D Zawawi Imron, Kuntowijoyo, Ibrahim Sattah, Jamal D. Rahman, Mathori A Elwa, Ahmad Nurullah, Zainal Arifin Thoha, Syubbanuddin Alwy, Isbedy Stiawan ZS, Abidah El-Khalieqy, Hamdy Salad, dan tentu saja KH Mustofa Bisri, serta sederet nama-nama lain yang dalam banyak hal kita sepakati sebagai pengusung sastra bernafaskan spiritual, apakah benar mereka berproses kreatif, lahir dari hingar-bingar pendidikan Pesantren? Ternyata tidak. Mereka mampu berkembang pesat setelah mereka berinteraksi langsung dengan alam semesta, hiruk pikuk masyarakat, dan berbagai ketimpang-tindihan sosial. Prahara-prahara kehidupan yang realistis itulah yang mampu memberikan ide-ide kreatif dalam kepenulisan. Hal ini sulit ditemukan dalam lingkaran pesantren yang cenderung ‘adem-ayem’ dengan berbagai gejolak sosial.

Sementara fenomena lain menghentak khazanah sastra Nusantara, dan mengejutkan, fiksi Islami remaja, akhir-akhir ini, tidak dipelopori mereka yang secara formal berpendidikan Pesantren dan notabene “santri” tetapi pelopornya adalah remaja kota yang mengenyam pendidikan formal. Dan mereka ini, dalam jagad sastra dan tulis-menulis, telah mulai meninggalkan santri, jauh melesat sekali. Dan tentu saja fenomena ini telah membuat tak sedikit dari sekian juta masyarakat pesantren merasa “cemburu”.

Bagaimana bisa segelintir penulis remaja Muslim (yang kebetulan berdiam di wilayah) perkotaan itu telah mampu menebar hegemoni yang cukup kuat bagi tumbuh mekarnya sastra religius (Islam) di tengah horison buram kesusasteraan kita. Sehingga kita sah mengajukan sebuah soal; kemana sastra Pesantren kita? Bukankah, yang Pesantren seharusnya lebih ‘matang’ memahami seluk beluk Islam, ketimbang yang bukan? Bahkan seandainnya kita hubungkan dengan strategi kultural dalam berdakwah, bukankah santri lebih bisa dapat memanfaatkan karya sastra yang bernuansa spiritual dari pada mereka yang bukan?. Yaitu karya yang memancarkan kesadaran spiritual yang sangat dibutuhkan oleh masyarakat sekarang ini yang cenderung terbius oleh nilai-nilai duniawi, kasat mata. Sehingga gerakan kultural dalam konteks ini dapat dijadikan sebagai upaya untuk mengimbangi gencarnya kampanye di berbagai lini media dan kehidupan yang mendewakan kehidupan duniawi itu. Dan hingga sekarangpun, rasanya Pesantren belum sepenuhnya dimanfaatkan dan memanfaatkan diri sebagai oase kesusasteraan yang mampu menebarkan rasa sejuk di tengah kegersangan dinamika sastra, khususnya– yang orang menamakan sastra Islami di Tanah Air, dengan ciri penyebutan beberapa metafor yang merujuk pada kekhasan Islam.

Barangkali dalam konteks demikian, serbuan pertanyaan yang bernada kegalauan seperti ini mampu dijawab oleh peserta “Silaturahmi Sastrawan Santri”. Selain memang, harus sebagai gugusan cahaya yang berusaha untuk senantiasa melesat menuju perubahan kebudayaan? Mengembalikan pesantren tidak hanya dalam disiplin wacana keagamaan, tetapi sebagai fasilitator proses kreatif sastra dan habitat budaya.

*) Pernah nyantri di Pesantren Langitan Tuban, dan belajar di al-Azhar Kairo, Mesir.

Gerak Kepribadian Diri dalam Kumala Pusaka Kasih

Denny Mizhar
http://www.sastra-indonesia.com/

Pergerakan sastra di Lamongan cukuplah dinamis. Hal tersebut dapat kita lihat pada agenda-agenda sastra di Lamongan, walaupun menurut pengamatan saya masih belum masif. Tidak hanya agenda sastra, tetapi penerbitan buku menjadi media pembacaan atas dinamisnya sastra di Lamongan. Ada penerbit Pustaka Pujangga, Pustaka Ilalang, LA Rose. Baru-baru saja penerbit Pustaka Pujangga, Penerbit yang digawangi oleh penyair Nurel Javissyarqi menerbitkan buku-buku baru. Kebanyakan buku yang diterbitkan adalah buku sastra. Salah satunya adalah Novel Kumala Pusaka Kasih Karya A. Rodhi Murtadho, penulis yang karyanya sudah banyak terjilid dalam buku-buku kumpulan sastra.

Sehabis membaca Novel Kumala Pusaka Kasih tersebut ada beberapa hal yang mengelitik buat saya. Di antaranya alur cerita. Hal tersebut serupa yang diungkap oleh Bambang Kempling sastrawan Lamongan dalam komentarnya di caver belakang buku: “Imajinasi yang kuat bahkan terkadang nyasar ke dalam dunia jungkir balik dengan metafor-metafor yang dapat menjadikan pembaca terperangah….”. Dari kejutan-kejutan yang di hadirkan oleh penulis yang membuat alurnya berbolak-balik. Hal tersebut membuat rasa penasaran menguat. Bagaimana nasib para tokoh dalam kisah novel tersebut.

Selain alur cerita yang menjadi menarik dan dapat dijadikan kajian secara psikologis adalah nasib tokoh-tokoh dalam novel tersebut. Novel ini menceritakan bagaimana kepribadian yang bermuasal dari masa lalu hinggap dalam perjalanan masa-masa ke depan tokoh-tokohnya. Untuk memulai mengungkapnya hasil dari pembacaan, baiknya saya tulisankan puisi yang berjudul “Anak” karya Kahlil Gibran dalam bukunya Sang Nabi:

ANAK
Anak-mu bukan milikmu.
Mereka putera-puteri Sang Hidup
yang rindu pada diri sendiri.
Lewat engkau mereka lahir,
namun tidak dari engkau
Mereka ada padamu, tetapi bukan hakmu.

Berikan mereka kasih sayangmu,
tetapi jangan sodorkan bentuk pikiranmu,
sebab pada mereka ada alam pikiran tersendiri.
Patut kau berikan rumah untuk raganya,
tetapi tidak untuk jiwanya.

Sebab jiwa mereka adalah penghuni rumah masa depan,
yang tiada dapat kaukunjungi, sekalipun dalam impian.

Kau boleh berusaha menyerupai mereka,
namun jangan membuat mereka menyerupaimu.
Sebab kehidupan tidak pernah berjalan mundur,
pun tidak tenggelam di masa lampau.

Kau busur,
dan anak-anakmulah anak panah yang meluncur.
Sang Pemanah maha tahu sasaran bidikan keabadian,
Dia merentangmu dengan kekuasaanNya,
hingga anak panah itu melesat, jauh serta cepat.
Meliuklah dengan sukacita dalam rentangan tangan Sang Pemanah
Sebab Dia mengasihi anak panah yang melesat laksana kilat,
sebagaimana pula dikasihiNya busur yang mantap.

Puisi di atas mengantarkan saya atas pemahaman dari masalah-masalah yang timbul dari konflik-konflik para tokoh. Bahwa ternyata masa kanak adalah masa yang menentukan bagaimana anak tersebut memiliki kepribadian diri di masa depanya. Dalam Novel Kumala Pusaka Kasih, mengisahkan seorang anak yang lahir dari keluarga harmonis pada awalnya tetapi selanjutnya menjadi berantakan. Ketika keharmonisan seorang Bapak dan Ibu tak dirasakannya lagi. Bapak selingkuh dengan sekertarisnya di perusahaan yang dipimpin. Ibu pun tak mau kalah membalas dengan perselingkuhan juga. Namanya anak kecil di ajak ke mana saja sama orang tuanya pasti akan menurut. Yang diinginkan adalah senang dan dapat mainan. Kumajas nama anak itu. Dengan segala ingatan masa lalu yang mempengaruhi kepribadiaannya. Hingga dia bertemu Eliza lalu bersetubuh dengannya. Tetapi tidak hanya bercinta dengan Eliza, Kumajas juga berhubungan badan dengan Hendry teman sekerjanya. Eliza ternyata punya masa lalu yang tidak indah. ketika kecil dia mendapat julukan nonok artinya kemaluan perempuan. Eliza ditinggal oleh bapaknya, sebab itu dia seakan tidak bisa memunculkan rasa hormat pada laki-laki. Dia ingin seperti Ibunya ketika melihat ibunya bercinta sama bapaknya ketika Bapaknya masih ada. Dan Eliza melihat Ibunya mengalahkan Bapaknya hingga tak berdaya.

Tak ubahnya Hendry juga memiliki masa kanak yang aneh. Dia mengidap kleptomani. Yakni mencuri untuk kesenangan meskipun barang yang dicurinya tidak ada guna bagi dirinya. Kedua orang tua Hendry membawa ke psikiater hingga dukun tapi tak ada kesembuhan. Malah paranormal yang hendak menyembuhkan memberikan nasehat, hanya orang tuanya sendiri yang mampu menyembuhkan penyakitnya
.
Masa kecil memberi bekas luka ketika hari telah beranjak dewasa. Saya melihat pada dialog Kumajas pada Ibunya “Lantas, aku meniru siapa? aku berasal dari kalian, kehidupan pertamaku dan mengukirkanku dengan jiwa kalian” (hal 25). Pembrontakan Kumajas adalah bentuk dari pengakuannya bahwa yang menjadikan dirinya begitu adalah masa kanaknya dan yang mengajarkan dirinya tidak bermoral dalah orang tuanya.

Nah, dari situ saya dapat menarik kesimpulan tentang teorinya Sigmund Freud tentang masa-masa dalam pertumbuhan yang berpengaruh dalam kepribadian seseorang. Hal senada juga diungkapkan oleh Supaat I. Lathief penulis buku sastra “Eksistensialisme-Mistisisme Religius” dalam komentarnya atas novel tersebut bahwa novel Kumala Pusaka Kasih berusaha membongkar abnormalitas sex dan kehidupan pribadi kumajas dengan teori Sigmund Freud.

Sebuah karya sastra memang realitas yang hidup. Dihidupi tokoh-tokoh yang bersuara dalam ceritanya. Bisa jadi hal tersebut adalah cermin kondisi yang diamati ataupun dialami penulis. Maka, teks sastra pun dapat dijadikan kajian untuk melihat fenomena-fenomena yang terjadi dalam arus budaya yang terjadi melingkupi penulis. Bisa jadi juga hasil dari perenungan-perenungan penulis yang memunculkan ide dan gagasan-gagasan baru serta memberi petunjuk bagi pembacanya atau bagi ilmuwan sastra ataupun non sastra. Karena ilmu itu holistik tidak parsial. seperti halnya Novel ini, bentuknya sastra yang merangkai fenomena psikologis.

Novel Kumala Pusaka Kasih yang di tulis oleh A. Rodhi Murtadho menarik untuk dibaca dan dijadikan pengayaan kajian psikologi serta maramaikan gerak sastra Indonesia khusunya novel.

Judul: Kumala Pusaka Kasih
Penulis: A. Rodhi Murtadho
Cetakan: I, Februari 2010
Hal : 12 X 19 cm 196 Hlm
Penerbit : PUstaka puJAngga

Semua Orang Adalah Adam

Halim H.D.
http://majalah.tempointeraktif.com/

Teater Sanggar Merah Putih menyinggung masalah gender. Sutradara mendekatinya dengan sikap dialogis, cerdas dan dewasa.

ANDA senang kembang api? Aku dulu senang merokok. Namaku adam tanpa huruf kapital!” Penggalan kalimat-kalimatnya cerdas, lebih personal dan santai. Kita tahu, kembang api dan rokok adalah paparan problematika yang dihantarkan melalui metafora dan simbol-simbol kehidupan keseharian dalam pengalaman sosial. Inilah bentuk perkembangan pemikiran, dan kesadaran juga makin tumbuh dengan cara yang lebih matang, dewasa, dan diiringi oleh sikap dialogis, dan bukan cuma saling tuding yang berakibat perseteruan yang tak habis-habisnya. Protes atau gugatan dialogis, bukan berbentuk tudingan atau penghakiman dari salah satu pihak.

Simbolisme kembang api dan rokok merupakan tampilan awal setelah beberapa pemain yang memakai topeng berbentuk pipa besar dan panjang membagi-bagikan kembang api dan surat dari adam sebagai pembuka pertunjukan Teater Sanggar Merah Putih dari Makassar. Sanggar yang memanggungkan produksinya yang ke-54 sejak berdirinya 25 tahun yang lampau. Itulah repertoar berjudul namaku adam TANPA HURUF KAPITAL, yang diangkat dari puisi karya Shinta Febriany yang juga menyutradarainya di Teater Arena Taman Budaya Surakarta pada 3-4 Oktober 2003. Repertoar ini, yang juga dipanggungkan di Gedung Kesenian “Societeit” Yogyakarta pada 5 Oktober, dan di Taman Ismail Marzuki, Jakarta, pada 7 Oktober 2003, merupakan rangkaian perjalanan keliling kedua kalinya setelah pada tahun 2000 lalu.

Beberapa tahun terakhir ini isu gender tampak marketable di pelbagai bidang: dari tari, teater, hingga—terutama—seni rupa. Memang, budaya maskulin atau phalic culture yang selama berabad-abad mendominasi kehidupan kebudayaan dan keseharian di lingkungan kita. Tapi kita sering menyaksikan bentuk ekspresi kesenian yang menampilkan isu gender senantiasa menggunakan perspektif dan kerangka pemikiran yang hitam-putih. Yang satu menunjukkan kaum Hawa sebagai makhluk lemah di bawah dominasi kaum Adam yang “konon” sebagai takdir. Yang lain menggunakan tafsir teologis sepihak yang mempertahankan kepentingan posisi dan peran kaum laki-laki.

Pertunjukan Sanggar Merah Putih kali ini berbeda. Bahkan berbeda dari pementasan dengan tajuk Ketika Kita Kaku garapan sutradara Arman Dewarti, tahun 2000. Posisi kaum perempuan ditampilkan dalam bentuk protes mendalam dan frontal: perempuan bukan—dan bahkan—tidak datang dari tulang rusuk kaum laki-laki.

Repertoar namaku adam TANPA HURUF KAPITAL, menurut sutradaranya, menampilkan “rekoleksi-rekoleksi tentang lelaki yang saya dapatkan di sekitar mata dan hati saya.” Penderitaan dihadapinya, namun bukan dalam bentuk perlawanan, melainkan sekadar seruan. Dengan kata lain, soal yang dihadapi bukan masalah perseteruan antara jenis kelamin yang berbeda, tapi sebuah rumah yang terbuat dari tepung dan mentega yang meluluri seluruh kehidupan laki-laki dan perempuan. Maka persoalan dibuka dengan paparan bagaikan reportase rumah tangga keseharian yang saling mengenal satu dengan lainnya, dan terasa akrab. Dan dengan itu pula isu gender tidak kita rasakan dipolitisasi, dan tanpa pula berpretensi menjadi pahlawan.

Lebih dari itu, gugatan justru memasuki ruang yang paling dalam pada wilayah kehidupan manusia. Itulah perspektif dan konsep teologis yang dikukuhkan dan sekaligus diambangkan dengan pernyataan: “Kami semua adalah adam malam ini. Tapi sungguh, kami bukanlah adam dalam kisah cinta yang kalian baca di kitab-kitab suci terjemahan”. Tentu ada sedikit protes dalam bentuk bentakan “capek?!” atau ungkapan tentang persahabatan sebagai omong kosong atau mi instan akibat penderitaan yang dialami, yang cuma diserukan dan bukan dalam sebuah perlawanan.

Menyaksikan pertunjukan ini kita diantarkan kepada kecenderungan realitas seni panggung dan kehidupan yang sepenuhnya berupa paparan pernyataan yang “non-linear”, patah-patah, dan sepenuhnya montase persoalan dan adegan dalam bingkai yang batas antara teater dan performance art demikian tipisnya. Dan sudah pasti tidak berbeda dengan teater yang mendasarkan kepada alur cerita konvensional. Hal itu mengantarkan kita kepada perkembangan teater yang lain di Makassar, seperti juga Teater Kita dengan sutradara Asia Ramli Prapanca sejak tengah tahun 1990-an, yang sangat berbeda dengan pendahulunya. Realitas ini bisa menjadi khazanah dan memperkaya keberagaman peta kehidupan teater di Indonesia.

*) Networker kebudayaan di Solo.

Melakoni Teater

Fahrudin Nasrulloh
http://www.jawapos.co.id/

MEMASUKI ruang itu, rasa temaram hadir lalu meruang. Degup jantung masih tertahan dan gemerisik penonton satu per satu mengisi kursi yang kosong. Hening.

Pementasan monolog Shimpony Patet Pat pun dibuka Studiklub Teater Bandung (STB). Aktor Ayi Kurnia Iskandar tampil. Dia memerankan seorang aktor tua yang merasa nelangsa sendiri dalam hidup karena memilih melakoni hidup sebagai pemain teater.

Dia mabuk berat, menceracau ihwal dirinya kenapa kini tiba-tiba ada rasa tenggelam di lubang celaka, lubang panggung sandiwara. Cinta memang pernah hadir dalam hidupnya, tapi menolak sehidup-semati bersamanya.

Panggung yang berlubang, ada gelap, ada cahaya, namun terkadang terjerembap atas renungnya sendiri bahwa dirinya tak lebih hanya sebatang daging, seonggok sisa yang setengah membusuk. ”Aku hanya seorang tua yang tersirap oleh debu panggung,” katanya. Kurang lebih sejam, pentas pun berakhir.

Naskah itu merupakan adaptasi dari karya panggung Anton Chekov dari Rusia yang berjudul Lebedinaya Pesna atau Nyanyian Angsa. Lakon tersebut dipentaskan pada malam 26 Oktober 2009 di Taman Budaya Surakarta. Pergelaran bertajuk Mimbar Teater Indonesia (25-30 Oktober 2009) itu tentunya layak disambut gembira.

Berbagai gagasan dan diskusi digelar di sela-sela pementasan. Misalnya, diskusi bertema Melakoni Teater yang beranjak dari buku Melakoni Teater: Sepilihan Tulisan Tentang Teater (Studiklub Tetaer Bandung, 2009) yang disunting IGN Arya Sanjaya. Diskusi tersebut menghadirkan penyaji Halim H.D. dari Forum Pinilih Solo dan Pak Yoyo dari STB Bandung.

Gelaran Mimbar Teater Indonesia digagas sebagai ajang forum teater oleh teater untuk masyarakat teater dan masyarakat umum sebagai hasil kerja sama Forum Komunikasi Teater Surakarta dan Taman Budaya Jawa Tengah. Pertemuan itu, sebagaimana yang diancangkan panitia, diharapkan memantik gairah dan usaha untuk menemukan jalan lain yang solutif, yang mungkin tidak seketika. Tapi, percikan dan pernik-pernik masalah dalam dunia teater di Indonesia selama ini dapat diurai serinci-rincinya sebagai bagian dari pemetaan mozaik masalah teater dalam ruang lingkupnya yang terkait.

Buku Melakoni Teater tersebut juga menjadi penanda keberjalanan STB selama 50 tahun. Perkembangan teater bersifat sporadis, berjalan tanpa pola, sebagaimana yang diungkapkan Prof Dr Soetardjo Wiramihardja, menjadi wacana yang menarik di kemudian waktu untuk melihat kembali keberadaan teater di Indonesia.

Seperti apakah seniman teater kita memaknai diri dan kerja seninya tersebut dalam ruang dan waktu, dalam korelasinya dengan masyarakat, dalam resepsi mereka, dalam mengapresiasi warisan tradisinya, sehingga segala apa yang diterima dari warisan Barat (baca: teater) tersebut dijadikan sebagai kesadaran ”berterima” dalam konteks kebudayaan yang bersifat universal.

Keyakinan untuk tetap memilih jalan berteater tentunya merupakan hak setiap seniman. Hak untuk bersama dalam suatu pemaknaan berkesenian yang pasti tidak bermakna tunggal dan meniscayakan keberterimaan atas keberagaman kreativitas yang dieksplorasi masing-masing seniman.

Keyakinan berkesenian teater ini diungkapkan oleh sutradara gaek STB Suyatna Anirun yang mengatakan, ”Bekerja untuk teater adalah pilihan saya. Suatu kerja yang memberikan kebahagiaan. Dari situ saya belajar mengenal diri sendiri dan mengenal orang lain. Saya tak kan pernah menyesalinya. Saya selalu memperoleh kedamaian darinya.”

Tapi, mungkin tidak bagi sutradara Budi S. Otong yang berhenti berteater lantaran soal ”dapur”-nya tak bisa mengepul.

Sebagaimana di dunia sastra, apakah sebuah puisi terasing dari masyarakat? Apakah masyarakat kita menghargai buku-buku dan apa pun bentuk kesenian yang ada atau hampir punah di ruang lingkupnya? Apa pandangan masyarakat tentang teater? Seperti apakah orang-orang teater yang sekilas tampak sok ”nyeniman” dan nyentrik di mata khalayak?

Mungkin kaum awam masih mengenali tradisi yang telah lama ada di sekitarnya seperti ketoprak, ludruk, jaipong, reog, atau jaran kepang. Tapi, teater? Entahlah. Barangkali teater hanya diapresiasi oleh orang berkelas intelek tertentu dan oleh orang-orang teater sendiri.

Tentunya, banyak hal yang sedikit demi sedikit persoalan-persoalan teater terudar dalam sejumlah diskusi ataupun apresiasi di setiap pementasan teater dalam Mimbar Teater Indonesia tersebut. Misalnya, bagaimana apresiasi kita terhadap pementasan Teater Kampung Seni Banyuning dari Bali dengan lakon Cupak Tanah (26 Oktober 2009) yang disutradarai Putu Satria Kusuma.

Tradisi Bali yang unik digarap di sini. Meski terkesan menjejalkan semata pesan tentang eksistensi tradisi Bali yang mulai terdegradasi, pergulatan kreativitas Putu yang polos tersebut menjadi spirit tersendiri karena bentuk itulah yang dia pilih dan lakoni.

Yang lebih saskartis namun eksistensialis adalah pertarungan gagasan sutadara Nandang Aradea dari Banten dalam garapannya yang berumbul Perempuan Gerabah (28 Oktober 2009). Sedangkan diskusi dalam upaya penggalian teater rakyat bertajuk Opera Batak sangatlah menarik dan membukakan perspektif baru bahwa sebenarnya ”manusia teater” Indonesia perlu merenungi kembali kepada tradisi yang telah ada.

Hal itu telah dibuktikan oleh Thompson H.S. dari Medan yang membeber inspirasi baru dalam upayanya merevitalisasi Opera Batak sebagai teater rakyat yang kini kembali eksis dalam masyarakat.

Ada delapan grup teater tanah air yang diundang dalam acara itu. Selain yang telah saya sebutkan, teater lainnya adalah Teater Eks Surakarta dengan lakon Hampir Manusia (25 Oktober 2009), sutradara Nusa Cahyadi; Masyarakat Batu menghadirkan Ritus Plastik Kota Batu (27 Oktober 2009) yang disutradarai Zulkifly Pagessa dari Palu; Ladang Perminus (28 Oktober 2009) dari Main Teater Bandung yang disutradarai Wawan Sofwan; Teater Payung Hitam dengan Puisi Tubuh Yang Runtuh (29 Oktober 2009), sutradara Rahman Sabur; dan Kelompok Kerja Teater Surakarta yang menampilkan lakon Ronggo… (30 Oktober 2009) dengan disutradarai Gigok Anurogo. Pilihan pengurasian semua grup akan menjadi catatan penting untuk pergelaran Mimbar Teater Indonesia selanjutnya.

Pentingnya pemetaan dan pencatatan secara personal maupun kolektif akan keberjalanan setiap grup teater dapat dijadikan pijakan bagaimana kita melihat kembali dan terus melacak kembali apa yang selama ini diyakini bahwa berteater bagi seniman adalah jalan hidup.

Kenapa berteater diyakini sebagai jalan hidup? Juga pilihan-pilihan estetika dalam menggarap pementasan teater? Tidaklah gampang menjawab hal itu.

Tulisan Halim H.D. bertajuk Lalu Batu, Lalu Waktu, Lalu Angin: Debu (wawancara imajiner dengan Suyatna Anirun) dalam Melakoni Teater seperti menyaran lirih kenapa berteater masih saja disetiai sebagai keyakinan. Suyatna Anirun menjawab, ”Anda tahu air laut itu asin; dan bagaimana Anda bisa mengetahuinya jika Anda tidak mencobanya, dan bagaimana Anda bisa mencobanya jika Anda tidak memasuki dunia rasa asin itu; keyakinan adalah tindakan, how to act; dan ketika kita merasa yakin kepada sesuatu sesungguhnya bukan bagaimana kita menerimanya; tapi bagaimana kita melacak dan mempertanyakan, menggugat, merasakan, dan melakukannya dengan sepenuh diri. Jika tidak, teater hanya fiksi dari kaum pelamun; tak ada bau dan rasa keringat; dan itulah kenapa keringat asin, karena ia ada dengan dan di dalam laut dalam diri kita; gelora dan gemuruh serta keheningan dari kedalaman yang kita wujudkan dalam pertemuan dan penjadian itu.” (*)

*) Peminat teater dan bergiat di Komunitas Lembah Pring, Jombang.

Penyair dan Kesaksian

M.D. Atmaja
http://saspropam.wordpress.com/

Aku mendengar suara
jerit hewan yang terluka.
Ada orang memanah rembulan.
Ada anak burung terjatuh dari sarangnya.
Orang-orang harus dibangunkan.
Kesaksian harus diberikan.
Agar kehidupan bisa terjaga.
Yogya, 1974
Rendra.

Dengan sangat sengaja, saya mengawali tulisan ini dengan mengutip sajak Almarhum Rendra yang juga direlease Iwan Fals dalam tembang yang indah dan menggetarkan hati setiap manusia, setiap mereka yang merasa masih menjadi manusia. Sajak Kesaksian ini membawa setiap kita pada perenungan akan hakekat dari tanggung jawab manusia ketika dia berpijak di bumi milik Tuhan dan mengaku sebagai seorang manusia.

“Aku mendengar suara” begitu Rendra mengungkapkan perasaannya sebagai seorang penyair yang memiliki ketajaman pendengaran jiwa, hatinya terbuka menyaksikan ketimpangan sosial yang ada di sekitarnya. Hati nurani sebagai seorang sastrawan (baca juga: penyair) terbuka ketika dia melihat persoalan yang menimpa manusia yang lain. Seorang sastrawan kemudian menggunakan daya kreatifitasnya untuk mengungkapkan kembali penderitaan manusia lain yang telah dia rasakan sebagai penderitaannya sendiri. Karya sastra sebagai cerminan sosial zamannya, begitu teori sosiologi mengungkapkan hubungan-hubungan yang ada.

Pada akhirnya, pembicaraan semacam ini akan kembali pada persoalan klasik yang terus saja bergulir di dalam hati sanubari seorang sastrawan, seniman, dan mereka yang mengerjakan seni sebagai panggilan kehidupan mereka. Menghadapi persoalan yang kompleks, kehidupan yang carut marut, bentrok status sosial yang terjadi semakin nyata, seharusnya membuat kalangan pekerja seni semakin mantap untuk memposisikan dirinya. Dia berada di garis bawah dengan keyakinan bahwa seni untuk rakyat atau berada di belakang anggan dan hasratnya sendiri dan berpegang bahwa seni adalah untuk seni.

Pilihan tetap berada di tangan setiap individu kreator seni, baik sebagai seorang penyair yang terus bertegur sapa dengan ketidak-adilan sosial, penderitaan rakyat dan kemudian dia menyuarakannya. Jalan seni sebagai langkah dan media penyaksian seorang seniman atas ketidak-adilan sosial terkadang menemui hambatan dari dalam, seperti yang diungkapkan Rendra dalam Sajak Sebatang Lisong:

Aku bertanya,
Tetapi pertanyaanku
Membentur jidat penyair-penyair salon,
Yang bersajak tentang anggur dan rembulan,
Sementara ketidakadilan terjadi di sampingnya,
Dan delapan juta kanak-kanan tanpa pendidikan
Termangu-mangu di kaki dewi kesenian.
(Rendra, Potret Pembangunan dalam Puisi, 1993: 34)

Sebait Sajak Sebatang Lisong di atas sebagai penggambaran atas bagaimana seseorang yang menempuh seni sebagai jalan bakti pada kemanusiaan, mendapatkan kendala, bahwa masih banyak seniman yang tidak mau ikut perduli dengan keadaan realitas-sosial yang sebenarnya. Seniman-seniman itu memegang teguh konsep seni untuk seni.

Seorang seniman (dalam hal ini adalah penyair) yang perduli dengan lingkungannya, semangat untuk berinteraksi dengan kehidupan sosialnya terlihat nyata di dalam karya-karyanya. Seperti halnya yang diungkapkan Linus Suryadi, bahwa:

PENYAIR

Dia serahkan irama hidup antar desa dan kotanya
Selama menyeberangi arus deras sungai ke hilir
Selama jiwa di dalamnya membuka isyarat rahasia
Bahwa penyair berdiri dan bersaksi di pinggir.
(Linus Suryadi, Rumah Panggung, 1988)

Seniman (yang dalam hal ini masih saja seorang penyair) melakukan kontemplasi atas dunia kehidupannya. Menjadikan tulisan dan karya-karyanya sebagai langkah untuk melakukan proses penyaksian, kalau menurut Rendra dalam sajak Kesaksiannya, bahwa: “Orang-orang harus dibangunkan, kesaksian harus diberikan”. Melalui hal ini, secara tidak langsung menyatakan kalau melalui karya-karyanya seorang seniman hendaknya mengabarkan kebenaran, membela mereka yang lemah dan tertindas, sehingga seni untuk rakyat yang mana membela kepentingan rakyat.

Atau, Seperti yang Pramoedya Ananta Toer (Ketua Umum Lembaga Kebudayaan Rakyat) pernah katakan bahwa, “Bagi saya, keindahan itu terletak pada kemanusiaan, yaitu perjuangan untuk kemanusiaan, pembebasan terhadap penindasan. Jadi keindahan itu terletak pada kemurnian kemanusiaan, bukan dalam mengutak-atik bahasa”.

Bantul – Studio Semangat Desa Sejahtera Fictionbooks
Minggu, 27 Juni 2010

PUISI DESKRIPTIF MARDI LUHUNG*

Beni Setia
http://www.sastra-indonesia.com/

SUDAH sejak lama orang berpikiran, kalau membuat puisi itu hanya bermain kata-kata, membuat penggalan-penggalan kalimat dengan rentetan (keberadaan) kata-katanya itu sengaja dihadirkan dan diikat oleh semacam hukum permainan bunyi yang diulang-ulang, persanjakan. Acuan sederhana kreasi yang melahirkan banjir produksi, dan melahir sinisme tentang ujud kepenyairan yang terkesan melulu menginpetarisasi orang nyinyir yang suka mrepet kelewat cinta persanjakan–persamaan bunyi vokal di antara sederet konsonan yang tak berharga–, yang obsesif mengutamakan keberadaan tenun-berkait persanjakan tanpa ambekan menghadirkan hal yang riil dan bermakna, yang misterium dan menggetarkan–seperti yang dengan gagah digagas oleh seorang Sutardji Calzoum Bachri pada dekade 1970-an, dan dianggap terobosan estetik luar biasa. Tapi obsesi akan makna, dan terutama mantra itu, dalam ujud puisi yang ingin menghadirkan yang mesterium dan menggetarkan itu, dan yang kemudian dikurung dalam bangunan serangkai kata-kata bersanjak itu, telah lama terlupakan. Bukan sia-sia, tapi ternyata di dunia ini tak terlalu banyak hal atau eksistensi yang misterium dan menggetarkan yang selalu tersedia, bersedia dan bisa dijaring dengan perangkat kata-kata bersanjak.

Di luar itu banyak orang yang cuma nyinyir berceloteh setengah mabuk dalam riang berkumpul bersama kawan di masa SMP atau SMA dahulu, atau dalam reuni dengan kawan lama sambil menenggak bir dan makan kacang, sambil mengenangkan aneka peristiwa yang hanya dikenal sebagai rahasia di antara mereka, lantas mengigau tentang rutin kini dalam kalimat bersanjak: tiap hari lari pagi sambil cari nasi kari dari panci plastik lilak, sambil minta air sari sapi–nanti nadi jadi api bagi air mandi. (Versi yang lebih nakal, dingin-dingin nyi ii pipis di pipir di sisi tritis diintip kiciwis bikin miris wiiss wiiss wiiss nyi ii ngibrit, yang penuh vocal i ini, misalnya). Sebuah persanjakan sempurna, sebuah pengulangan bunyi vocal ai ai ia ai minimalis yang sempurna. Dan yang datang dari pergulatan improvisasi bunyi itu di benak kita hanya semacam pengalaman samar–yang amat sangat tidak penting karena yang diutamakan dan diburu cuma monotoni ritmis persanjakan ai ai ia ai atau i i i. Dan menyebabkan puisi itu tiba-tiba jadi teramat menjemukan–hanya sederetan kata-kata artifisial yang selesai sebagai bunyi meski menyarankan adanya satu kejadian samar. Dan karenanya
orang lari kepada simbol, pada konstelasi: yang ditampilkan dan mengemuka itu lebih mengisyaratkan keberadaannya sesuatu yang dengan sengaja disembunyikan dan jadi rujukan dari yang tampak atau diperkatakan–karenanya harus dicari dalam apresiasi, dengan apresiator terlatih yang banyak membaca puisi.

Orang membawa bunga bagi pacar untuk menyatakan cinta karena yang dibawa itu bukan bunga ansich tapi sesuatu yang ada di balik laku kikuk dan debaran jantung yang membuat yang membawa bunga tersipu.Tidak heran kalau di khazanah sastra klasik, bahkan sastra mistik sufistik, ada wacana tentang si anak muda yang gandrung dan mencari mawar merah di musim dingin, usaha yang tak sia-sia karena ada rumpun mawar mengusahakan sekuntum bunga mekar, yang baru bisa menjadi merah ketika seekor burung bulbul menekankan dadanya ke onak mawar dan memuncratkan merah darah pada mawar pucat yang mekar di lain wayah itu. Sebuah upaya meneguhkan simbol yang menuntut serangkaian pengkhianatan sunatullah–mawar mekar di luar ketentuan alam–dan pengingkaran garis sunatullah–bunuh diri bulbul agar darahnya memerahkan mawar cinta membara–, ikhtiar yang percuma karena hasilnya ternyata mengecewakan–kita tahu, di akhir cerita itu: si gadis lebih memilih pergi dengan si pria kaya yang datang naik kereta kuda dan sengaja mencampakkan mawar merah artifisial yang mengada mengingkari sunatullah.

DAN kita pantas mencatat: alangkah rumit dan amat artifisialnya upaya mencari simbol yang tepat. Dan di luar konteks alam dongengan romantis tentang gairah untuk mengungkapkan rindu yang bisa menyebabkan alam tergerak ikut menyempurnakan cinta–meski tetap saja kita harus mencari cinta sejati yang tidak bersipat duniawi–itu, terhampar hukum kreativitas yang berbunyi: betapa rumit-sulitnya upaya si penyair untuk memastikan yang ingin diungkapkan, dengan serentetan diskursus agar benar-benar pasti dengan apa yang ingin diungkapkan, dan (sekaligus) betapa lebih sulit lagi upayanya mencari kata, ungkapan, idiom, diksi atau imaji yang dengan sangat tepat merepresentasikan apa-apa yang ingin disampaikan–dalam sebuah simbol yang pas-orsinil. Sementara kaum pemuja simbol itu terkadang menuntut agar setiap puisi dan penyair tidak lagi memakai simbol yang klise, yang arkhaik. Jangan lagi memadukan keberadaan cinta dengan bunga, keberadaan yang suci dengan putih, keberadaan api semangat dengan merah, dan seterusnya dan sebagainya. Sekaligus juga menuntut agar kaitan antara teks yang berkomunikasi dengan tanda dan yang dikomunikasaikan –sebagai yang ditandai di latar belakang itu–tidak terlalu bias atau sama sekali tidak bersinggungan. Hindari yang gelap tak ada rambu petunjuk ke yang dirujuknya–kata TS Elliot, harus dicarikan keseimbangan referensial dalam bentuk menyaran objective correlation. Tapi kini, selain jenuh dengan idiom yang klise dan arkhaik, orang juga bisa teramat muak dengan puisi yang gelap membungkam–dengan puisi subyektif.

Karena itu puisi mulai meloncat dari persanjakan, meloncat dari patokan baris dan bait, meloncat dari romantisme berbicara tersirat penuh intonasi demi penekanan simbolistik–dan malahan agresif meloncat dan melarikan diri dari seluruh kewajiban berpuisi yang baku membelenggu. Kini puisi bisa berada di wilayah prosa yang penuh teks deskriptif atau nalar argumentatif, kini puisi bebas bergulat dengan yang faktual berupa benda-benda riil keseharian dan kejadian-kejadian naif sebagaimana adanya, dan karena itu puisi hanya menyapa sebagai kilas aphorisma yang sugestif penuh rasa –dan mungkin malah sebagai teks sengkarut dari kegemparan senewen dibombardir benda keseharian dan peristiwa sebagaimana adanya. Dan bukan tidak mungkin puisi liar memasuki permainan logika dari kelincahan meloncat dari hal-hal riil terhampar ke yang instinktif dilentikkan alam bawah sadar si penyair, ke teks yang hadir terbaca sebagai pengalaman yang lain di buku dan pengalaman pribadi, ke teks yang cuma ada menyapa sebagai yang diperkatakan orang tanpa sempat diverifikasi, ke fantasi agresif yang dibebaskan penyair agar mengelana dan meluruhkan setiap liuk imajinasi yang mungkin ada, dan ke entah apa lagi. Sebuah teks yang dipenuhi jejak loncatan di segala hal yang mungkin dan tak mungkin, teks yang merangkum (baca: diedit secara imajinatif) sederetan pengalaman dari melakoni apa saja yang mungkin dibayangkan–yang keseluruhannya utuh terfokus sebagai satu petualangan mungkin.

Puisi Mardiluhung bermain di wilayah itu. Tak ada persanjakan, tak ada simbol, tak ada bait dan baris, serta bahasa puisi baku gaya lama. Yang ada hanyalah kalimat bersih yang benar secara tata bahasa, dan karenanya menghadirkan pengalaman yang merangkum bentuk-bentuk kejadian berbeda tapi berkonteks sama, atau berdimensi lain tapi asosiatif, atau cuma semacam pembayangan yang bablas menembus sederet peristiwa fantastik–,yang relatif akan disimpulkan sama di antara diri si penyair dan si bakal apresiator puisinya. Dan bersama dengan fantasi liar itu, yang terkendali dan memokus itu, kita–yang mengapresiasi puisi– ditarik, didorong dan dijerunukkannya ke serentetan pengalaman dan fantasi subyektif; dan malah diloncatkannya ke deretan pengalaman dan fantasi yang berlainan, yang berserakan, terpisah dan berbeda dalam ukuran ruang, dimensi waktu, urutan kejadian, dan potensi mungkinnya. Diterbangkan dan terhumbalang, tanpa peduli kalau bekal kejadian kesejarahan yang telah dialami kita (sebagai apresiator) teramat berbeda dengan bekal kejadian kesejarahan subyektif yang dialaminya, tanpa peduli kalau corak fantasi subyektif yang dikembangkan kita teramat berbeda dengan fantasi subyektif yang dikembangkannya–secara kodrati kita memang menghuni ruang semu kejadian kesejarahan dan fantasi berbeda. Tapi semua keterpisahan dan keterpenggalan itu, semua jarak dan handikap keberagaman yang jelas-jelas berbeda itu, jadi hilang oleh pukau menjajarkannya, oleh sihir meng-kolase kejadian kesejarahan siapa saja, yang terbaca atau cuma didengar. Kita dihipnotis oleh fantasi berpuisi, yang meloncatkan rasa penasaran dan instink berimajinasi kita hingga mandah mengikuti jurus berimajinasinya yang liar dan memikat–seperti tikus disihir seruling dunia dongeng itu–, dan melebur dalam gerak spiral yang melentikkan hal-hal baru yang mencengangkan, dan di akhir pembacaan puisi kita lega karena dalam teks itu memang ada sesuatu yang ingin diungkapkan dengan bantuan puzzle aneka pengalaman dan fantasi. Segala yang cuma mirip, berdekatan, tak sekonteks dan tak selevel yang telah disetel supaya memiliki riak asosiasif yang seirama dalam kesatuan teks–dibimbing oleh kepekaan buat menyatukannya dalam satu konteks pengalaman, dalam satu kejadian, sehingga semuanya membayang sebagai silhuet sugestif.

DAN itu, saya pikir, bermakna: ada yang ingin diungkapkan dan mencari bentuk ungkapan, karenanya puisi ditulis dengan kontrol disiplin ilmu komunikasi yang amat ketat. Dengan mengukur apa yang ingin diungkapkan, bagaimana mengungkapkannya, dan apa kesimpulan yang nanti diambil oleh yang membaca puisi akan identik dengan apa yang ingin disampaikan oleh penyair. Sebuah usaha rasional yang mengandaikan adanya bacaan, pengalaman dan fantasi yang harus diinpentaris dan ditumpuk dalam CPU ingatan sadar, atau yang mengendap di alam bawah sadar, yang akan jadi rambu petunjuk ketika semua itu dijajarkan karena valensinya sederajat, jadi yang ”identik” dan akan bisa mengarahkan ke yang di sana itu. Meski yang tampak nyata dilakukan itu cuma cermat mengumpulkan segala berita, pengalaman orang, mitos, dongengan, cerita oral angker dan aheng dan seterusnya dari bacaan atau pertukaran lisan, dan membiarkannya mengendap sebagai khazanah oral. Dan kecenderungan menerakan yang lisan pada Mardi Luhung teramat kuat, ambillah diksi zik-zak yang tidak baku dan bukannya zig-zag (puisi ”Perempuan Nila”), atau realitas arwah penasaran yang akan kembali jadi manusia bila kepalanya dipantek–meski lebih berlaku bagi kuntilanak,. dan bukan arwah lelaki anonim yang ingin dijadikan lelaki utuh oleh perempuan nila–, misalnya. Atau sederet teks dongeng oral dan cerita lisan lokal yang dikumpulkan dan tetap dibiarkan sebagai teks oral yang bertenun-berkait jadi satu, serangkai peristiwa yang merujuk pada pernah ada sesuatu yang terjadi di tempat itu dan dituturkan turun-temurun oleh sangat banyak orang di tempat itu–lihat puisi ”Pacinan”, ”Kastoba” dan ”Buwun”, misalnya.

Sebuah metoda pencatatan dan pengawetan folklor, legenda, mitos dan cerita lisan yang aneh. Di lain kali bercerita tentang pengalaman pribadi yang mengerikan ketika ia naik perahu dan tumbang mabuk laut karena tak terbiasa naik kapal kecil di laut sekitar Pulau Bawean yang sejak lama dikenal selalu menggejolak dalam puisi ”Pembuangan”–yang gamblang diceritakan dalam Kata Pengantar untuk kumpulan puisi Buwun ini, ”Buwun: Bawean yang ke Arahku (Pulau yang Bergandul Potongan Kuping)”. Sebuah teks yang dengan jujur menunjukkan proses kreatif (Mardi Luhung) menuliskan puisi-puisi yang terkumpul dalam Bawun ini, yakni dengan pasif berbiar mengalami apa saja, dengan peka tanpa prasangka serupa kuping di pohon atau di hiasan sepatu yang mendengar apa saja, dengan telaten fenomenologik mencatat apa pun, dan dengan membebaskan fantasi spontan tumbuh dan menerbangkan ke mana-mana–sampai semua reda, perlahan mengendap, dan jadi yang spontan minta ditulis-kongkritkan. Satu kesadaran yang mengatakan bukannya penyair yang mendatangi Pulau Bawean tapi justru Pulau Bawean dengan segala sejarah lisan, dongengan oral, dan liar fantasi naifnya — Grand Funk (Railroad) nama band rock Amerika jadi nama group dangdut, meski grand funk dalam khazanah lagu dangdut identik dengan pereks, misalnya–itu yang mendatangi penyair, mengharu biru dan menterornya. Dan puisi

”Kampung Kuning”, misalnya, mencatat serta menunjukkan metoda dan pola proses kreatif Mardiluhung dengan gamblang. Yang dimulai dengan momen ketika si penyair kehabisan bahan sehingga ia cuma bisa berhenti menulis, melupakan apa pun (semua) yang ingin ditulis, dengan pergi bermain dan mengeluyur ke mana saja dan bertemu dengan apa dan siapa saja, hingga kepala terbebas dari ambisi menuliskan ini dan itu. Dan saat ia tiba pada situasi dibebaskan secara fenomenologik dari beban ingin nulis puisi atau pola lakon subyektif ini-itu, maka (kini) diri tranced dipenuhi (lagi) dengan fantasi yang bermula dari pengalaman yang dilakoni orang lain dan hanya didengarlan ceritanya, bisa mulai menuliskan yang harus dikabarkan itu sebagai saksi tak langsung tapi merasa benar-benar menyaksikan–atau cuma si penutur yang berimprovisasi dan membuat distorsi cerita.

Terminologi sang penyaksi, yang ikut menyaksikan dari kejauhan, dari dimensi lain tanpa keinginan mengganggu garis cerita yang telah terjadi dan diguratkan takdir, seperti yang dinyatakannya dalam puisi ”Buwun” itu tampaknya merupakan hal yang amat penting bagi penyair. Sangat utama meski terkadang tuntutan itu hanya jadi yang tersirat seperti yang diperlihatkan dan terlihat dalam puisi ”Pulau”, ”Kubur Panjang” atau ”Pembuangan”–dan kita tidak tahu, apakah hal itu disebabkan fakta ia peranakan yang separuh Tiong-hoa dan separuh Jawa, karenanya tak bisa rasuk ke wilayah bapak serta tidak bebas memasuki wilayah ibu, dan dipersulit oleh kenyataan ia memilih jadi muallaf. Dan ada catatan penting yang dengan sadar ditambahkannya tentang segala sesuatu yang tak sesuai skenario dan bablas mengingkari garis wajar dan kepastian kodrat, ”[S]elalu saja letusan yang tak lumrah itu lahir belakangan”, katanya dalam puisi ”Kuduk-Kuduk”. Karena itu siapa saja yang menyembunyikan rahasia selingkuh, menyimpan kenangan cinta sesaat di pesisir, pulau lain atau pelabuhan itu harus diusir dari rumah (puisi ”Orang Gunung”), akan kehilangan segalanya sehingga hanya bisa datang ke rumah sebagai orang asing atau semacam arwah penasaran (puisi ”Takziah” atau ”Perempuan Nila”) yang tidak lagi merasakan nikmat surga rumah tangga berupa dirawat dan disegarkan kasih (puisi ”Ketam”). Kenapa begitu? Bila mengikuti logika konteks kumpulan puisi Buwun ini, yang merupakan sekumpulan puisi yang lahir dari pengalaman berbiar menyerap suasana sosial-budaya–dan cerita-cerita lisan–di Pulau Bawean, itu karena ia telah dirasuki sihir lokasi. Semacam kesadaran kalau tempat itu merupakan pulau kaum perempuan, dengan para lelaki yang selalu melaut berbulan, para lelaki yang selalu mengembara menjadi TKI di negeri asing, dan para lelaki yang pulang agar segera pergi lagi, sehingga semua lelaki itu selalu diikat oleh kutukan dan pengharapan para istri, supaya selalu bersetia dan teringat kepada yang ditinggalkan. Bila tidak? Ada gunting yang menanti mereka–gunting yang akan selalu memburu ke mana pergi. ”Gundulmu, ta putul manukmu!”, kalau mengikuti ungkapan Surabayaan.

DALAM beberapa segi Mardi Luhung, sebagai si penyair yang menulis puisi-puisi yang mendeskripsikan serentetan peristiwa, dongeng, kejadian. mitos, fantasi dan aneka teks subyektif telah berhasil mengajak dan bahkan menelikung kita untuk–suka atau tak suka–ikut-ikutan melambung dan dilambungkan ke dalam angan-angan. Untuk ikut tersenyum tercerahkan disentakkan oleh teks-teks yang mendeskripskani cerita, kejadian, dongeng, mitos, fantasi dan teks apa saja yang kemunculannya dalam mozaik puisi menyegarkan karena tak terbayangkan, dan saat mendadak tiba di ujung puisi kita serta merta menemukan tenunan yang mungkin bisa dianggap cerita pendek atau memang puisi seperti keyakinan penyair–menemukan sugesti akan keberadaan semacam kejadian yang samar terfokus. Ini sebuah panorama peristiwa dan fantasia yang dalam beberapa hal mirip sekumpulan kata-kata yang berderet dan bergabung karena mempunyai persamaan, kesederajatan atau kesamaan valensi di dalam bunyi yang melulu persanjakan ai ai ai ia ai atau i i i i seperti yang disinggung dalam puisi nyinyir di atas.***

*) Penutup BUWUN, kumpulan puisi Mardi Luhung, diterbitkan PUstaka puJAngga, 2010.

BUWUN: BAWEAN YANG KE ARAHKU*

(PULAU YANG BERGANDUL POTONGAN KUPING)
Mardi Luhung
http://www.sastra-indonesia.com/

I
Bawean adalah sebuah pulau yang ada di utara Gresik. Dan salah satu dari Kecamatan Gresik. Bawean, dalam pikiranku, bukan saja nun jauh di sana, tetapi juga sebagai khayalan yang terus menghantui diriku. Sebab meski bagian dari kotaku (Gresik), tapi aku tak pernah ke Bawean. Aku hanya mengenal dan membaca Bawean dari cerita-cerita yang ada.

Bawean adalah pulau perempuan, sebab para lelakinya cenderung merantau. Bawean adalah pulau misteri, sebab sampai kini banyak tempatnya yang masih tertutup oleh kabut rahasia. Dan yang lebih mencengangkan, di Bawean juga ada Pecinan, meski tak ada peninggalannya yang tersisa. Dan menurut cerita, Bawean dulunya pernah disebut Buwun. Dan seterusnya. Sampai suatu ketika, di bulan September 2007, aku dan dua temanku berangkat ke Bawean.

Keperluannya: aku dan dua temanku itu akan membuat sebuah dokumentasi video pendek dan beberapa foto untuk penerbitan buku tentang Bawean. Dan tentu saja, ini adalah saat yang cukup menggairahkan diriku. Apalagi pada saat itu, mendekati Ramadhan 1428 H. Artinya: aku dan dua temanku akan berbarengan dengan para orang Bawean yang pulang dari rantaunya.

Ternyata, ketika aku sampai di Bawean: kepala, tubuh dan perutku seperti diaduk. Betapa tidak, selama dalam perjalanan laut (Gresik-Bawean), aku naik kapal laut yang ramping. Dan aku terserang mabuk laut yang licik. Mabuk yang baru pertama kali aku alami. Mabuk yang benar-benar membuat aku kelenger dan tak berdaya. Aku muntah tapi tak bisa. Mau tak muntah, tapi isi perut seakan menyundul-nyundul.

Jadinya, saat datang itu, aku seperti menginjak sebuah pulau yang terus bergoyang. Dan terus membuatku mesti tersungkur. Sambil terus-terusan mengurut-ngurut kepala yang pening. Aku benar-benar seperti tersiksa luar-dalam. Sampai-sampai seorang temanku berkata: “Kalok kau begini, bagaimana nanti pulangnya?” Perkataan yang disambut tawa oleh temanku yang satunya.

Ha, ha, ha, memang untuk ke Bawean, tak ada cara lain kecuali harus menumpang kapal laut. Dan kapal laut itu tergantung pada jadwal yang ada. Lain itu, untuk naik pesawat udara tidak mungkin. Sebab, pembangunan bandara di Bawean masih terus diperbincangkan. Dan masih terus dicari pemecahannya. Dalam arti, rencana pembangunan itu masih tetaplah sebagai rencana.

II
Bawean dan bandara udara? Akh, mengapa tidak. Sebab, setelah aku mengitari pulau itu. Mulai dari Kecamatan Sangkapura dan berputar ke Kecamatan Tambak, memang perbincangan perjalanan ke luar negeri, seperti ke Singapura, Malaysia dan sesekali Australia dan Timur Tengah sering terdengar. Dan rasanya, bagi orang Bawean, pergi ke luar negeri itu seperti pergi ke kota sebelah.

Bahkan, ada seseorang yang berkata, jika dirinya ke Malaysia hampir dua atau tiga minggu sekali. Di samping mengurus tenaga kerja, juga melakukan bisnis kecil-kecilan. Dan aku pikir, orang-orang seperti ini, tentu membutuhkan sebuah bandara. Di samping lebih cepat. Juga tak perlu untuk menyeberang ke Surabaya atau ke Jakarta sebelum terbang ke tempat yang ditujunya.

Lalu selama mengitari itu, aku juga menemukan hal-hal yang menarik. Itu terutama berhubungan dengan nama-nama yang ada. Baik nama tempat atau benda nya. Misalnya: Komalasa, Gili, Jukung, Kelotok, Kubur Panjang, Kuduk-Kuduk, Durung, Noko, Pantai Menangis dst. Aku tak tahu, kenapa tiba-tiba denyut kepenyairanku bergelinjang setelah mendengar nama-nama itu. Tapi, karena pada waktu itu, aku hanya menjenguk. Bukan menyapa. Maka aku hanya diam saja.

Nama-nama itu pun aku simpan di otakku. Dan aku tak menulis apa pun. Aku hanya terus dan terus menikmati setiap nama yang ada. Yang aku temui sepanjang mengitari itu. Dan tentu saja, dalam menikmati itu, kadang-kadang aku jadi terhenyak. Bayangkan, di sebuah dusun di atas bukit ada sebuah gapura yang bertulis: “Selamat Datang di Buton Village,”. Atau ketika aku membaca grafiti di pintu penginapan, terbaca: Grand Funk. Sebuah nama group musik cadas dari barat tahun 70-an. Yang ternyata, dipakai untuk nama group dangdut anak-anak muda setempat.

Aku pun hanya geleng-geleng kepala. Imajinasi macam apa ini? Sebuah nama yang konon katanya punya sejarah tersendiri dicomot begitu saja. Apa ini yang disebut peminjaman, pencaplokan atau pemasangan semau gue? Akh, siapa yang mau mengurus. Yang jelas, imajinasi yang aneh itu pun semakin menjadi aneh, ketika beberapa kali aku berpapasan dengan sebuah truk. Di bak truk itu ada beberapa anak muda yang asik berjoget dan bersuka. Sebab, di bak truk itu juga, mereka membawa seperangkat salon dan pengeras suara yang besar.

III
Di Bawean, ternyata aku juga menemukan sekian cerita yang menarik. Misalnya: cerita tentang kuburan yang ukuran panjangnya tidak umum (Makam Panjang); pangeran yang mampu menjaring ikan-ikan di alun-alun (Purbonegoro); seseorang yang dapat memanggil ikan-ikan dengan kentongan (atraksi Arfai); danau yang di tengahnya ada undakannya (Kastoba); kapal-kapal Belanda yang dulu pernah hilir-mudik; orang asing yang dapat bersiul dengan rusa; istri sunan yang berkelana (Waliyah Zainab); adu sapi; sampai pada nasi yang direndam pandan (nasi hijau). Dan semua itu, benar-benar membuat aku makin terhenyak.

Jadinya, aku pun kembali ingin menulis, menulis dan menulis. Tapi apa yang mesti aku tulis? Aku tak bisa. Aku hanya bisa menikmatinya. Seperti ketika suatu malam, aku dan dua temanku itu pergi ke sebuah dusun di atas bukit. Dan dari bukit itu, bintang-bintang di langit tampak demikian gemebyar. Sebuah pemandangan yang jarang bisa aku nikmati di Gresik yang langitnya sudah penuh polusi. Dan semalaman itu, kami tak bisa apa-apa. Kecuali menikmati saja.

Dan sekembalinya. Ya, seperti biasanya, aku pun membayangkan diriku sebagai pemilik tunggal pulau Bawean. Sebuah pembayangan yang memang telah menjadi kebiasaanku sejak kecil. Dan lewat pembayangan sebagai pemilik tunggal itu, aku pun leluasa untuk terbang kemana saja. Dari telaga Kastoba pergi ke Komalasa, terus ke Pantai Menangis, naik Jukung atau Kelotok, mampir ke makam Waliyah Zainab, dan istirahat di Gili.

Dan semuanya itu bisa aku lakukan dengan enak. Bahkan, pada saat-saat tertentu (di dalam pembayangan itu), aku juga merasa seperti penguasa yang kalah. Yang dibuang ke sebuah pulau. Lalu dikubur di sebuah kuburan yang panjangnya tidak biasa. Yang sewaktu-waktu tertentu pun bangkit. Dan mencari penyebab, mengapa dulu sampai kalah.

Ya, sebuah ulang-alik imajinasi yang mirip dengan imajinsai Grand Funk tadi. Imajinasi yang langsung dicomot, dipakai, dibuang, diganti dengan seenaknya. Yang jelas, tiba-tiba dalam pikiranku, Bawean berubah menjadi pulau yang bergandul potongan kuping. Dan dari kuping itulah, aku bisa mendengar sekian nama dan sekian cerita. Dan sekian-sekian itu menjadi pupuk bagi imajinasiku. Imajinasi sebagai penguasa tunggal sebuah pulau.

IV
Nah, untunglah, waktu pulang dari Bawean, ada kapal laut yang besar. Dan aku dengan dua temanku pun naik kapal laut itu. Aku tidak mabuk. Aku bisa menikmati perjalanan pulang itu. Menikmati laut yang biru. Juga gerimis yang kadang-kadang tiba. Tapi, tanpa sepengetahuan dua temanku, pikiranku tetap melayang ke Bawean. Ke pulau yang telah kami tinggalkan. Ke pulau yang masih aku bayangkan sebagai kekuasanku.

Dan pembayangan itu pun terus melekat. Sampai aku tiba di Gresik. Sampai Ramadhan 1428 H datang dan berlalu. Sampai tiba-tiba, aku telah bisa menulis dan mengumpulkan beberapa puisi tentang Bawean. Dan anehnya: mengapa puisi-puisi yang aku kumpulkan dan aku tulis tentang Bawean itu kok jadi lain? Akh, aku terkesiap. Apa benar puisi-puisi ini bercerita tentang Durung, Komalasa, Pudakit, Kuduk-Kuduk, Kastoba, Jukung, Kelotok atau Pecinan?

Tidak! Tidak! Isi puisi itu telah mengalami perubahan yang begitu serius. Lalu apa yang salah? Atau, jangan-jangan, aku telah melakukan pencomotan nama, cerita dan imajinasi begitu saja. Seperti pencomotan nama Grand Funk di pintu penginapan. Ya, aku pikir, aku telah melakukan hal itu. Tapi apa ini salah? Entahlah. Yang jelas, aku merasa tetap sebagai penguasa tunggal Bawean.

Dalam arti, sebagai penguasa tunggal: bukan aku yang ke Bawean. Tapi Bawean yang ke aku. Dan ketika sampai ke aku, aku pun menyambutnya. Menyambut dengan segala apa yang ada di dalam diriku. Baik itu yang ada di mata, hati, otak, jantung, mulut, kaki, sampai pada yang ada di relungku. Jadinya, inilah Bawean yang telah ke arahku. Sebuah pulau yang bergandul potongan kuping. Sebuah pulau tempat aku mendengar. Sebuah pulau tempat aku menghadirkan sebuah pulau imajinasi yang lain. Sebuah pulau dengan persoalan tersendiri.

(Gresik, 2007)
*) Pengantar BUWUN, kumpulan puisi Mardi Luhung, diterbitkan PUstaka puJAngga, 2010.

A Musthafa A Rodhi Murtadho A Wahyu Kristianto A. Mustofa Bisri A. Qorib Hidayatullah A. Zakky Zulhazmi A.J. Susmana A.S. Laksana Aang Fatihul Islam Abdul Azis Sukarno Abdul Aziz Rasjid Abdul Hadi W. M. Abdul Kadir Ibrahim Abdul Malik Abdul Wachid BS Abdullah al-Mustofa Abdullah Khusairi Abdurrahman Wahid Abidah El Khalieqy Abimanyu Abimardha Kurniawan Abroorza A. Yusra Acep Iwan Saidi Acep Zamzam Noor Achmad Maulani Adek Alwi Adhi Pandoyo Adrian Ramdani Ady Amar Afrizal Malna Agnes Rita Sulistyawati Aguk Irawan Mn Agus R. Sarjono Agus Riadi Agus Subiyakto Agus Sulton Aguslia Hidayah Ahda Imran Ahm Soleh Ahmad Farid Tuasikal Ahmad Farid Yahya Ahmad Fatoni Ahmad Kekal Hamdani Ahmad Luthfi Ahmad Muchlish Amrin Ahmad Nurhasim Ahmad Sahidah Ahmad Syauqi Sumbawi Ahmad Yulden Erwin Ahmad Zaini Ahmadie Thaha Ahmadun Yosi Herfanda Ainur Rasyid AJ Susmana Ajip Rosidi Akhiriyati Sundari Akhmad Muhaimin Azzet Akhmad Sekhu Alan Woods Alex R. Nainggolan Alexander Aur Alexander G.B. Alfian Dippahatang Ali Audah Ali Rif’an Aliela Alimuddin Alit S. Rini Alunk Estohank Ami Herman Amich Alhumami Amien Wangsitalaja Aming Aminoedhin Aminudin TH Siregar Ammilya Rostika Sari An. Ismanto Anaz Andaru Ratnasari Andhi Setyo Wibowo Andhika Prayoga Andong Buku #3 Andrenaline Katarsis Andri Cahyadi Angela Anies Baswedan Anindita S Thayf Anjrah Lelono Broto Anton Kurnia Anton Sudibyo Anton Wahyudi Anwar Holid Anwar Siswadi Aprinus Salam Arie MP Tamba Arif Hidayat Arif Zulkifli Arti Bumi Intaran Asarpin Asep Sambodja Asvi Warman Adam Awalludin GD Mualif Ayu Utami Azyumardi Azra Babe Derwan Bagja Hidayat Balada Bandung Mawardi Bayu Agustari Adha Beni Setia Benni Setiawan Benny Benke Bentara Budaya Yogyakarta Berita Bernadette Lilia Nova Bernando J. Sujibto Berthold Damshäuser Bhakti Hariani Binhad Nurrohmat Bokor Hutasuhut Bonari Nabonenar Brunel University London Budaya Budhi Setyawan Budi Darma Budi Hutasuhut Budi P. Hatees Budi Winarto Buku Kritik Sastra Buldanul Khuri Bustan Basir Maras Camelia Mafaza Capres dan Cawapres 2019 Catatan Cecep Syamsul Hari Cerpen Chairil Anwar Chamim Kohari Choirul Rikzqa D. Dudu A.R D. Dudu AR D. Zawawi Imron Dahono Fitrianto Dahta Gautama Damanhuri Damar Juniarto Damhuri Muhammad Damiri Mahmud Dantje S Moeis Darju Prasetya Darma Putra Darman Moenir Darmanto Jatman Dedy Tri Riyadi Delvi Yandra Denny JA Denny Mizhar Dewi Anggraeni Dian Basuki Dian Hartati Dian Sukarno Dian Yanuardy Diana AV Sasa Dinar Rahayu Djenar Maesa Ayu Djoko Pitono Djoko Saryono Doddi Ahmad Fauji Dody Kristianto Donny Anggoro Donny Syofyan Dorothea Rosa Herliany Dwi Cipta Dwi Fitria Dwi Pranoto Dwi S. Wibowo Dwicipta Edeng Syamsul Ma’arif Edi Warsidi Edy Firmansyah EH Kartanegara Eka Alam Sari Eka Budianta Eka Kurniawan Eko Darmoko Ellyn Novellin Elnisya Mahendra Emha Ainun Nadjib Emil Amir Engkos Kosnadi Esai Esha Tegar Putra Evan Ys F. Budi Hardiman Fadly Rahman Fahmi Fahrudin Nasrulloh Faisal Kamandobat Fani Ayudea Fariz al-Nizar Faruk HT Fatah Anshori Fatah Yasin Noor Fatkhul Anas Fatkhul Aziz Felix K. Nesi Film Fitri Yani Franditya Utomo Fuska Sani Evani Gabriel Garcia Marquez Gandra Gupta Garna Raditya Gde Artawan Geger Riyanto Gendhotwukir George Soedarsono Esthu Gerakan Surah Buku (GSB) Goenawan Mohamad Grathia Pitaloka Gunawan Budi Susanto Gunawan Tri Atmojo H. Supriono Muslich H.B. Jassin Hadi Napster Halim H.D. Hamberan Syahbana Hamidah Abdurrachman Han Gagas Hardi Hamzah Haris del Hakim Haris Priyatna Hasan Aspahani Hasan Gauk Hasan Junus Hasnan Bachtiar Helvy Tiana Rosa Helwatin Najwa Hendra Junaedi Hendra Makmur Hendriyo Widi Ismanto Hepi Andi Bastoni Heri Latief Heri Listianto Herry Firyansyah Heru Untung Leksono Hikmat Darmawan Hilal Ahmad Hilyatul Auliya Holy Adib Hudan Hidayat Hudan Nur Husnun N Djuraid I Nyoman Suaka Ibnu Rizal Ibnu Rusydi Ibnu Wahyudi IGK Tribana Ignas Kleden Ignatius Haryanto Iksan Basoeky Ilenk Rembulan Ilham khoiri Imam Jazuli Imam Nawawi Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Iman Budi Santosa Imelda Imron Arlado Imron Tohari Indiar Manggara Indira Margareta Indra Darmawan Indra Tjahyadi Indra Tranggono Indrian Koto Ingki Rinaldi Insaf Albert Tarigan Intan Hs Isbedy Stiawan ZS Ismail Amin Ismi Wahid Ivan Haris Iwan Gunadi Jacob Sumardjo Jafar Fakhrurozi Jajang R Kawentar Janual Aidi Javed Paul Syatha Jean-Marie Gustave Le Clezio JJ. Kusni Joko Pinurbo Joko Sandur Joko Widodo Joni Ariadinata Jual Buku Paket Hemat Julika Hasanah Julizar Kasiri Jumari HS Junaidi Jusuf AN Kadir Ruslan Kartika Candra Kasnadi Katrin Bandel Kenedi Nurhan Ketut Yuliarsa KH. Ma'ruf Amin Khaerudin Khalil Zuhdy Lawna Kholilul Rohman Ahmad Komunitas Deo Gratias Komunitas Teater Sekolah Kabupaten Gresik (KOTA SEGER) Korrie Layun Rampan Krisandi Dewi Kritik Sastra Kucing Oren Kuswinarto Langgeng Widodo Lathifa Akmaliyah Latief S. Nugraha Leila S. Chudori Lenah Susianty Leon Agusta Lina Kelana Linda Sarmili Liston P. Siregar Liza Wahyuninto M Shoim Anwar M. Arman A.Z. M. Fadjroel Rachman M. Faizi M. Harya Ramdhoni M. Kasim M. Latief M. Wildan Habibi M. Yoesoef M.D. Atmaja Mahdi Idris Mahmud Jauhari Ali Mahwi Air Tawar Malkan Junaidi Maman S. Mahayana Mardi Luhung Marhalim Zaini Maria hartiningsih Maria Serenada Sinurat Mario F. Lawi Maroeli Simbolon S. Sn Marsus Banjarbarat Marwanto Mas Ruscitadewi Masdharmadji Mashuri Masriadi Mawar Kusuma Wulan Max Arifin Melani Budianta Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia Mezra E. Pellondou Micky Hidayat Mihar Harahap Misbahus Surur Moh Samsul Arifin Moh. Syafari Firdaus Mohamad Asrori Mulky Mohammad Afifuddin Mohammad Fadlul Rahman Muh Kholid A.S. Muh. Muhlisin Muhajir Arifin Muhamad Sulhanudin Muhammad Al-Fayyadl Muhammad Amin Muhammad Azka Fahriza Muhammad Rain Muhammad Subhan Muhammad Yasir Muhammad Zuriat Fadil Muhammadun A.S Muhidin M. Dahlan Musa Ismail Musfi Efrizal Mustafa Ismail Nafi’ah Al-Ma’rab Naskah Teater Nezar Patria Nina Setyawati Nirwan Ahmad Arsuka Nirwan Dewanto Noor H. Dee Noval Maliki Nunuy Nurhayati Nur Haryanto Nurani Soyomukti Nurel Javissyarqi Nurhadi BW Nurudin Octavio Paz Oliviaks Orasi Budaya Akhir Tahun 2018 Pablo Neruda Pamusuk Eneste Panda MT Siallagan Pandu Jakasurya PDS H.B. Jassin Philipus Parera Pradewi Tri Chatami Pramoedya Ananta Toer Pramono Pranita Dewi Pringadi AS Prosa Puisi Puisi Menolak Korupsi PuJa Puji Santosa Puput Amiranti N Purnawan Andra PUstaka puJAngga Putri Utami Putu Fajar Arcana Putu Wijaya Qaris Tajudin R Sutandya Yudha Khaidar R. Sugiarti R. Timur Budi Raja R.N. Bayu Aji Rachmad Djoko Pradopo Radhar Panca Dahana Rahmadi Usman Rahmat Sudirman Rahmat Sularso Nh Rahmat Sutandya Yudhanto Raihul Fadjri Rainer Maria Rilke Raja Ali Haji Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Raudal Tanjung Banua Reiny Dwinanda Remy Sylado Resensi Revolusi Riadi Ngasiran Ribut Wijoto Ridha al Qadri Ridwan Munawwar Rikobidik Riri Riris K. Toha-Sarumpaet Risang Anom Pujayanto Rizky Andriati Pohan Robert Frost Robin Al Kautsar Robin Dos Santos Soares Rodli TL Rofiqi Hasan Rohman Budijanto Romi Febriyanto Saputro Rosihan Anwar RR Miranda Rudy Policarpus Rukardi S Yoga S. Jai S.I. Poeradisastra S.W. Teofani Sabam Siagian Sabrank Suparno Saiful Amin Ghofur Sainul Hermawan Sajak Sakinah Annisa Mariz Salamet Wahedi Salman Rusydie Anwar Samsudin Adlawi Sapardi Djoko Damono Sartika Dian Nuraini Sastra Sastra Gerilyawan Sastri Sunarti Satmoko Budi Santoso Saut Situmorang Sejarah Sekolah Literasi Gratis (SLG) SelaSastra SelaSastra ke #24 Selasih Seno Gumira Ajidarma Seno Joko Suyono Sergi Sutanto Shadiqin Sudirman Shiny.ane el’poesya Sidik Nugroho Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Simo Sungelebak Karanggeneng Lamongan Siti Sa’adah Sitok Srengenge Siwi Dwi Saputro Sjifa Amori Sofyan RH. Zaid Soni Farid Maulana Sony Prasetyotomo Sosiawan Leak Sri Wintala Achmad Sri Wulan Rujiati Mulyadi Subhan SD Suci Ayu Latifah Sulaiman Djaya Sulistiyo Suparno Sunaryo Broto Sunaryono Basuki Ks Sungatno Sunlie Thomas Alexander Sunudyantoro Suriali Andi Kustomo Suryadi Suryansyah Suryanto Sastroatmodjo Susi Ivvaty Susianna Susilowati Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Suwardi Endraswara Syaifuddin Gani Syaiful Bahri Syam Sdp Syarif Hidayatullah Tajuddin Noor Ganie Tammalele Tan Malaka Taufik Ikram Jamil Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat Teguh Trianton Tengsoe Tjahjono Th Pudjo Widijanto Thayeb Loh Angen Theresia Purbandini Tia Setiadi Tito Sianipar Tiya Hapitiawati Tjahjono Widarmanto Tjahjono Widijanto Toko Buku Murah PUstaka puJAngga Tosa Poetra Tri Joko Susilo Triyanto Triwikromo Tu-ngang Iskandar Udo Z. Karzi Uly Giznawati Umar Fauzi Umar Kayam Undri Uniawati Universitas Indonesia UU Hamidy Vyan Tashwirul Afkar W Haryanto W.S. Rendra Wahyudin Wannofri Samry Warung Boenga Ketjil Waskiti G Sasongko Wawan Eko Yulianto Wawancara Web Warouw Wijang Wharek Wiko Antoni Wina Bojonegoro Wira Apri Pratiwi Wiratmo Soekito Wishnubroto Widarso Wiwik Hastuti Wiwik Hidayati Wong Wing King WS Rendra Xu Xi (Sussy Komala) Y. Thendra BP Y. Wibowo Yani Arifin Sholikin Yesi Devisa Yohanes Sehandi Yona Primadesi Yosi M. Giri Yusi Avianto Pareanom Yusri Fajar Yusrizal KW Yuval Noah Harari Yuyu AN Krisna Zaki Zubaidi Zalfeni Wimra Zawawi Se Zehan Zareez Zen Hae Zhaenal Fanani Zuarman Ahmad Zulfikar Akbar Zulhasril Nasir