Senin, 24 Mei 2010

Sang Maestro Seni Lukis Ekspresionis Indonesia

Nurel Javissyarqi
http://www.sastra-indonesia.com/

Affandi Koesoema lahir di Cirebon, Jawa Barat 1907 – meninggal di Yogyakarta 23 Mei 1990 adalah Maestro Seni Lukis Indonesia. Terkenal di dunia internasional berkat gaya ekspresionisnya yang khas. Tahun 1950-an, banyak mengadakan pameran tunggal di India, Inggris, Eropa dan Amerika Serikat. Pelukis yang menghasilkan lebih dari dua ribu lukisan. Sebelum melukis menjadi guru juga tukang sobek karcis, pun pembuat reklame bioskop. Tahun 1930-an bergabung kelompok “Lima pelukis Bandung;” Hendra Gunawan, Barli, Sudarso, Wahdi dan Affandi dipercaya menjabat pimpinan. Memiliki andil besar pada perkembangan seni rupa Tanah Air. 1943 mengadakan pameran tunggal pertama di Gedung Poetera Djakarta, saat berlangsung pendudukan tentara Jepang. Empat Serangkai terdiri Ir. Soekarno, Drs. Mohammad Hatta, Ki Hajar Dewantara dan Kyai Haji Mas Mansyur, memimpin Seksi Kebudayaan Poetera (Poesat Tenaga Rakyat). Affandi bertindak pelaksana, S. Soedjojono penanggung jawab. Ketika republik diproklamasikan 1945, banyak pelukis ambil bagian. Gerbong-gerbong kereta, tembok-tembok ditulisi “Merdeka atau mati!” Kata-kata itu diambil dari penutup pidato Bung Karno, Lahirnya Pancasila 1 Juni 1945. Affandi bertugas membuat poster. Idenya Bung Karno, gambar orang dirantai yang terputus, modelnya pelukis Dullah. Kata-kata di poster itu? Kebetulan muncul penyair Chairil Anwar. Soedjojono menanyakan ke Chairil, dengan enteng ngomong: “Bung, ayo Bung!” Selesailah poster bersejarah. Pelukis Affandi suka memakai sarung juga ketika dipanggil ke istana semasa Suharto, intuisinya sangat tajam. Meski hidup di jaman yang diidentikkan modern, masih dekat fauna-flora alam semesta. Ketika Affandi persoalkan “Perikebinatangan” 1955, kesadaran masyarakat terhadap lingkungan masih rendah. Bersama Basuki Resobowo, Henk Ngantung, termasuk pimpinan pusat Lekra (Lembaga Kebudayaan Rakyat, bagian seni rupa), organisasi kebudayaan terbesar yang dibubarkan rezim Suharto. Dan sampai mendekati ajal menjemputnya, Affandi tetap melukis yang sudah menjadi bagian hidupnya. Dimakamkan dekat museum yang didirikannya.
{dinukil dari http://www.facebook.com/pages/Affandi/52621872358?ref=mf}

I
Aku dengar Affandi dari Cirebon menaiki kereta pedati. Yang ditarik sapi-sapi jantan putih kemerah menuju kota Jogjakarta.

Roda-roda kayu berputar menggilas batuan tanggung, mencelatkan kerikil yang memedaskan mata. Debu-debu menerpa cahaya, semburat gemintang di matanya.

Melalui jalanan aspal tak rata, didorongnya kala melewati bencah tanah sehabis hujan melanda. Tak ada mencium keringatnya, kecuali kekasih tercinta.

Insan bermental baja terus menapaki laluan bersenyum sumringah, girang luar biasa. Seakan mimpinya sudah tertanda, telah dikabarkan alam raya.

Bersamaan keyakinan atas kesenimannya tidak terbantah. Seluruh angin beserta ruang waktu diarungi, merestui tapak-tapak hayati demi warna hidup lebih bermakna.

Sampailah di Jogja bagian utara, di pinggiran kali ada jembatannya. Di sana istirah bersama kekasih, sambil menelaah perjalanan lalu yang melelahkan sekaligus gembira.

Itulah pantulan insan merdeka atas cita-cita, tiada sesal kecuali kebodohan tak lekas tunaikan hajat. Senja pertama memanggil, dirinya masih belum pejamkan mata, merasai kesaksian mulia.

Decak kagum gending-gending purba dan bayang-bayang lakon pewayangan, mengisi pelupuk matanya. Hidupnya tergaris sejelas gairah membuncah, seranting kayu menggarit pasir pesisir, dikala ombak susut sendiri.

Atau lemparan ke tengah samudra ditelan gelombang, demi dihantar menemui relung hatinya. Affandi jenak bersketsa membaca gejala alam menimbang perasaan. Menjajal kemungkinan lama perkiraan nuanse sekitar, mengerubungi ide-ide besarnya.

II
Sebelum jauh, aku kumpulkan lebih dulu pandangan para tokoh atas watak karya kepribadiannya. Dari buku “Affandi 70 Tahun,” disusun Ajip Rosidi, Zaini, Sudarmadji, terbitan DKJ 1978:

Bila Van Gogh pernah berkata, sebuah lukisan harus menjadi suatu pesta warna dan secara paradoksal membuat lukisan berwarna kusam, Affandi membuat lukisan-lukisan kusam yang penuh “kecerahan”, karya yang mengungkap kesan kemenangan cinta hidup, sekalipun menggambarkan tema “mayat dan tulang-belulang korban Gunung Agung” (Sitor Situmorang).

Kerendah hatiannya “…tidak berani menganggap dirinya seniman, paling-paling hanya pelukis. Bagi Affandi, pengertian seniman lebih tinggi daripada pelukis.” (Ajip Rosidi).

“Kepekaan intuisi inilah kekuatan sebenarnya dari Affandi dalam seluruh lukisan-lukisannya. Suatu tanggapan dari kehidupan, bagi Affandi bukanlah hasil suatu analisa dengan pengertian yang analitis, tapi hasil “tanggapannya” yang langsung secara intuitif.” (Nashar)

“…Sesungguhnya beliau tidak melukis; beliau memberikan dirinya sendiri ke dalam kanvas, dengan tube-tube berisi cat pada tangannya, jarinya berfungsi sebagai kwas…” (Dr. Rodrigo de Andrade)

“Affandi ialah orang yang tak banyak omong. Tapi sebaliknya tentang soal bekerja, saya selalu heran, dari sumber mana di badan dia keluar energi meluap-luap itu” (S. Sudjojono).

“…mungkin dalam hal kesanggupan, Affandi mencapai puncak dalam seni lukis modern, jauh mengatasi yang dapat dicapai sarjana-sarjana dan ahli-ahli ilmu kita, hal itu sebagian juga berkat kebudayaan kita yang lama, terutama kebudayaan Jawa amat kuat tenaga estetiknya.” (S. Takdir Alisjahbana).

“Rasa kemanusiaannya sangat kukuh, syarat mutlak untuk perdamaian” [Canberra, Juni 1977, tanggapan Achdiat K. Mihardja atas penerimaan Hadiah Perdamian Internasional Dagh Hammarshjoel (1977) kepada Affandi].

“Affandi seorang insan yang penuh gairah hidup, cinta manusia sekelilingnya. Dia patut jadi tauladan bagi seniman muda Indonesia, mengenai ketekunannya bekerja, kesetiaannya pada seninya dan komitmentnya begitu total pada seninya” (Mochtar Lubis)

“…Ia tak mengadakan dialog dengan obyek, ia kurang menghormatinya, dirinya sendiri diberinya peranan utama; ia tak buat masalah-masalah dengan obyek, tapi dengan diri sendiri; ia agak egoistis. Egoisme ini mengurangi juga daya epik yang ada pada Affandi.” (Trisno Sumardjo)

III
Membaca lukisan Affandi bertitel “Tapak-Tapak Kaki” tertanda 1978. Tak jauh berbeda menyuntuki karya-karyanya yang lain. Watak penciptaan amat kuat terasa di bidang kanvas.

Goresan jemari tangannya sudah hafal atas jerih payah pencarian kepada obyek sedang digarap. Nalar-nalar pemberontakan dijelmakan pesta warna penuh perhitungan matang, tiada sudut tak bermakna.

Bintik kecil bias ketaksengajaan mencipta takdir tersendiri. Dan penentuan gelap terangnya cat, menggemakan nafas-nafas bayang pengamat.

Energi sebesar itu pantulan kesetiaannya meruhaniahi kesaksian jasadiah. Kelakuan kelas ekspresionis, yang diselusupkan pada persoalan subyektivitas.

Ini membalik sama sedaya. Keluar masuknya pelukis Affandi mengamat-amati tarian jemari, laksana rindunya gelombang berulang-ulang.

Ada sejenis percobaan diulang dengan kehati-hatian, dari jarak telah digenggamnya seperti hukum tertentu kehidupan.

Semisal teringat desiran angin hujan di depan rumah, menjatuhkan kecupan pada daun-daun pengertian.

Atau tumpukan batu-batu apik tertata alami, dari gerakan alam tiada sentuhan insan. Pun aturan manusiawi sudah dibakukan sebagai faham.

Nalarnya keras mencermati tiap benda, membuat hari-harinya tak banyak bicara. Apalagi saat suntuk meleburkan jiwanya berekspresi dalam lautan kanvas bergelora warna.

Kemampuannya melukis dengan garis-garis tegas, memberindingkan bulu-bulu penikmat. Ini persoalan serius seniman, tega bersikap tidak mengsla-mengsle atau pun lembek.

Setiap goresannya menghamburkan suara keras, nada-nada pesakitan bathin perih mencekam sangat. Hantu mencengkeram nasibnya diuntahkan hadir, lantas dipenggal lewat tatapan culas.

Betapa pengalaman pahit nyinyir dipandang sebelah mata sewaktu berproses, membuatnya geram dengan pengendalian purna menyetubuhi ruang-ruang tabah.

Kesabaranlah mematahkan telisik sempit, mata-mata pemerhati memicing sebelah -sebelumnya.

Di atas gairah keyakinan semua diatasi, sedang penjegalan menambah daya. Atau kepincangan keraguan orang pada dirinya, membentuk pribadinya maha mutu lebih dari pesona.

Kemahiran memadukan warna-warna yang sejatinya kontras. Terbacalah Affandi sudah purna sebadan jiwa menyetubuhi cat minyak.

Ini tantangan besar bagi pelukis lain, betapa dirinya mengatur titik kering tertentu dalam hitungan masa perdetik, agar peleburannya mencipta warna matang didamba.

Sunggu berat bagi pelukis pemula atau yang masih berkutat persoalan sempit teknik tetek bengeknya.

Maka tepatlah ungkapan, pengalaman ialah guru terindah. Affandi mencurahkan seluruh kemampuannya dalam setiap finising karya sebelum ditandatangani.

Dan ketakpuasan itu dewa-dewi selalu merayu melukis dan melukis, mengamati, mencermati, mengolah peristiwa yang tampak dijadikan obyek sudah tanak. Atau meleburkan bathinnya, karya berciri khas tersendiri tiada menyepadani.

Affandi seakan mewarisi daya spiritualitas ulama Sunan Gunungjati (1448-1580) dalam berolah rasa. Mungkin sebab sama-sama berangkat dari tanah Jawa Cirebon.

Ada sisi-sisi penolakan. Ruang sepatutnya diterangi cahaya oleh sebuah komposisi warna, ditenggelamkan nuanse gelap sehingga menghadirkan tolak ukur semburat berdimensi ganjil.

Meski tak beraturan, tapi di situlah kekuatannya, segemuruh ruang-waktu berpadu sejiwa dirasa.

Maka tampak melukis jiwa-jiwa benda, ekspresi semena-mena terwujud, sebab mengalami jaman penjajahan.

Jumat, 21 Mei 2010

Menelisik Pledooi: Pelangi Sastra Malang Dalam Cerpen

Judul Buku : Pledooi: Pelangi Satra Malang Dalam Cerpen
Penulis :Muyassaroh El-yassin dkk
Penyunting : Ragil Sukriwul
Tahun Terbit : 2009
Penerbit : Mozaik Books
Tebal : 126 Halaman
Peresensi : Denny Mizhar*
http://www.malang-post.com/

MALANG adalah kota pendidikan. Hal tersebut ditandai dengan banyak berdiri kampus. Sehingga banyak aktivitas yang berkaitan dengan dunia pendidikan atau kebudayaan seringkali menghiasi kampus. Begitu halnya dengan percaturan sastra di Malang. Kampus menjadi ruang berdirinya komunitas-komunitas sastra, baik terikat sama kampus secara kelembagaan (baca: unit kegiatan mahasiswa) atau tidak ada ikatan sama sekali; tetapi yang beraktivitas adalah mahasiswa kampus tersebut. Sehingga yang meramaikan kegiatan sastra di Malang adalah para pendatang yang sedang menempuh studi. Ada juga yang asli Malang.

Begitu halnya kebanyakan para penulis dalam buku Pledooi pelangi malang bersastra Mereka adalah pandatang hal tersebut dapat dilihat pada biografi penulis, hanya sedikit yang asli Malang. Tetapi saya tidak hendak membahas hal tersebut, yang akan saya coba baca adalah penerbitan buku Pledooi pelangi sastra Malang dalam cerpen.

Penerbitan Buku Pledooi pelangi sastra malang dalam cerpen bukan satu-satunya buku kumpulan cerpen yang diterbitkan komunitas di Malang. Sebelumnya juga ada yang menerbitkan kumpulan cerpen yakni unit kegiatan mahasiswa penulis (UKMP) universitas Negeri Malang dan kumpulan cerpen FLP Universitas Negeri Malang. Nah, yang membedakan adalah Pledooi pelangi sastra malang dalam cerpen di terbitkan oleh komunitas luar kampus yakni Mozaik Comunity. Komunitas yang konsen pada kesenian dan kesusastraan. Mengembangkan diri membuat lini penerbitan yakni MOZAIK Books.

Dalam pengantar penerbit buku tersebut diungkapkan bahwa pengumpulan cerpen-cerpen tersebut adalah sebuah penghargaan buat penulis-penulis cerpen yang pernah tinggal; berproses di Malang. Baik yang sekarang menetap di kota tersebut ataupun sudah tidak tinggal. keseluruhan jumlah cerpen atau penulis yang termaktub dalam buku tersebut ada empat belas. Penerbit juga mengungkap bukan berarti tidak ada penulis lain yang mewarnai malang dengan karya-karyanya.

Penulis-penulis yang karyanya termuat dalam buku pledoi antara lain: Musyaroh El-Yasin, Abdul Mukid, Azizah Hefni, Titik qomariyah, Wawan Eko Yulianto, Susanty Octavia, Supriyadi Hamzah, Liga Alam M, Yuni Kristyaningsih, Yusri Fajar, A Elwiq Pr, Lubis Grafura, Aga Herman, Iman Suwongso. Beberapa nama yang sudah tidak asing lagi dalam dunia satra Malang, Jawa Timur, ataupun Indonesia.

Milihat kedalam lagi pada isi cerpen yang ada dalam buku Pledooi pelangi sastra malang dalam cerpen sangatlah beragam. Mulai dari yang sifatnya pribadi sampai membidik realitas sosial yang tidak adil. Hal tersebut mengindikasikan tidak ada tema khusus yang di angkat dalam kumpulan cerpen tersebut. Hal tersebut dapat memperkaya pembaca, melihat lanskap-laskap alam yang tak serupa; kaya pengalaman hidup dari pencerita.

Persoalan yang diangkat dalam cerpen tersebut pertama bertema cinta (pribadi). Berkisah tentang hubungan laki-laki dan perempuan cerita tersebut muncul di judul: “Pinanglah Aku,” “Taman berkolam,” “Selamat Sore, Olivia,” “Nausea,” “Dua Lelaki yang Meninggalkan Nyeri,” “Tamu dari Austria,” “Rilara Nuadanga”, dan “Dia Belum Juga Datang.”

Walaupun ada kesamaan dalam tema penceritaan, tetap ada beda. Keringanan dan kerumitan persoalan tokoh salah satunya memberi perbedaan. Diantara penulis-penulis yang bertemakan cinta ada salah satu yang masih sekolah menengah umum yakni Musyaroh El-Yasin, sehingga gaya penulisannya pun berbeda dari senior-seniornya yang sudah berpengalaman.

Persoalan kedua adalah tema sosial, diantaranya kisah tentang protes ketidakadilan, kemiskinan diantaranya: “Negeri Dusta,” “Pledooi,” “Senja,” “Desa Para Dukun,” “Tangan,” dan “Daging Goreng”. Realitas sosial menjadi bidikan ide penulisan, membuat kita merenung atas persoalan bangsa. Misalnya “Negeri Dusta” yang ditulis oleh Abdul Mukid, dapat membuat kita berkerut dahi memikirkan negeri yang penuh dusta, semua masyarakatnya harus berdusta kalau tidak menjadi bahan tertawaan. Gambaran tentang wajah bopeng negeri ini yang masih dipenuhi penipuan oleh penguasa pada masyarakat. Sehingga berimbas pada kemiskinan yang masih belum sirna.

Persoalan kemiskinan menjadi penutup buku Pledooi pelangi sastra Malang dalam cerpen dengan judul “Daging Goreng.” Kisah tragis, keluarga miskin yang anaknya ingin makan daging. Ibunya harus berbohong bahwa sebenarnya daging itu adalah daging tikus.

Kejutan-kejutan berkelindang dalam untain-untian cerita pendek di buku Pledooi pelangi satra Malang dalam cerpen. Sangat sayang bila dilewatkan salah satu hasil kerja dokumentasi MOZAIK Comunity dengan lini penerbitannya yakni MOZAIK Books dan dapat dukungan dari Dewan Kesenian Jawa Timur (DKJT) serta pemerintah Kota Malang

*) Koordinator Penkajian Sastra Budaya Center for Relegious and Social Studies (ReSIST) Malang dan Anggota Teater Sampar Indonesia Malang.

Afrizal Malna dan Revolusi Kesenian

Fahrudin Nasrulloh*
http://www.jawapos.co.id/

”Puisi tiba-tiba jadi
kayak penyakit
harus ditulis terus-menerus”
– Afrizal Malna –

SIAPA kini yang membutuhkan puisi dan kenapa penyair terus menuliskannya? Tentu pertanyaan itu tampak klise, tapi sejarah kesusastraan Indonesia adalah kenyataan. Ia tidak lahir dari omong kosong. Bagi Afrizal Malna, puisi mungkin sudah mati. Ia mati atau dapat lebih menguar ketika terus dibenturkan dalam konteks filsafat. Misalnya, ketika pertarungan estetis dan eksistentialis tak menemukan ujungnya. Ada perkara subversif lain menggerogoti, katakanlah teknologi dan dampak dehumanisasi, yang lebih ajaib dan menggila menerobos kehidupan sehari-hari. Tak ada lagi keindahan, yang ada hanyalah kekacauan.

Alasan itulah yang kiranya membuat Afrizal kerap diburu cemas pada apa yang selama ini dikenalinya: rumah, keluarga, tradisi, benda-benda, hegemoni politik, kemanusiaan yang labil, bahkan pada problem bahasa itu sendiri. Kecemasan-kecemasan tersebut, tanpa tahu alasan pasti kenapa dia masih saja menulis puisi, justru melahirkan puisi-puisi. Ada semacam upaya pencarian. Atau, tepatnya ”mengalirkan diri” dalam misteri peristiwa kesehariannya yang lebih meyakinkan jalan puisinya atau barangkali menghancurkannya ketika dia sepakat bahwa menyatakan sesuatu tak cukup lagi dengan puisi.

Dari situlah, bersama penerbit Omah Sore, di sepanjang Januari 2010, Afrizal menggotong lima antologi puisinya dan video art untuk didiskusikan dalam suatu road show mulai Jogja, Surabaya, Mojokerto, Malang, Sumenep, hingga Solo. Lima kumpulan itu adalah Abad yang Berlari, Yang Berdiam dalam Mikropon, Arsitektur Hujan, Kalung dari Teman, dan Pidato-Pidato dari Bantal Berasap.

Bekerja sama dengan Dewan Kesenian Jawa Timur (DKJT) dan Dewan Kesenian Mojokerto (DKM), diskusi buku-buku Afrizal tersebut diadakan di SMA PGRI I, Mojokerto, pada 24 Januari 2010. Dalam diskusi tersebut, setidaknya ada lima hal yang disodorkan Afrizal. Itu cukup menarik sebagai semacam ”retrospeksi kepenyairan Afrizal” oleh dirinya sendiri dalam mendialektikkan kembara puisi-puisinya. Saya hadirkan lima hal itu dalam bentuk transkrip rekaman:

The Other

”Saya selalu merasa takut kehilangan kebebasan saya, termasuk kebebasan untuk tidak menulis puisi. Dan, saya merasa tidak cocok dengan apa itu keluarga, jadi saya tinggalin keluarga. Saya tidak tahu kuburan ayah ibu saya di mana. Jadi, saya sendirian. Saya pernah berkeluarga sekali, setelah itu pisah. Pisah itu membuat saya trauma. Sampai sekarang saya tidak punya rumah karena di kepala saya masih aneh, kenapa orang harus punya rumah. Karena saya berpikir orang harus berjalan dan dia tidak bisa berjalan kalau punya rumah. Kecuali dia seperti keong, yang rumahnya adalah kendaraan untuk dia berjalan.

Saya pernah sangat absurd kalau masuk rumah. Maka, muncul banyak imaji ruang tamu dalam karir kepenyairan saya. Saya tidak tahu kenapa itu terjadi. Saya justru cemas kalau saya tetap menulis puisi, padahal saya nggak punya alasan untuk menulis. Sehingga, puisi tiba-tiba menjadi kayak penyakit, harus ditulis terus-menerus. Saya melihat, hidup itu sangat luas jika dibandingkan dengan puisi. Setelah itu saya meninggalkan Jakarta menjadi the other. Saya senang jadi the other, hanya jadi seseorang. Dekat dengan kegiatan sehari-hari, menyapu dan menyiram tanaman.”

Demokratisasi Sastra

”Sekarang ini ada gejala demokratisasi sastra. Gejalanya berbeda-beda. Misalnya, muncul generasi penyair yang antirezim sastra. Mereka menulis puisi tidak untuk diterbitkan. Mereka menulis untuk teman-teman dekat mereka. Tidak seperti generasi sastra kita sekarang ini.

Gejala lain adalah sastra koran. Gejala lain demokratisasi sastra. Di Eropa tidak ada sastra koran. Adanya sastra buku. Sebab, Eropa memiliki infrastruktur wacana yang sangat kuat. Yakni, dari lembaga akademik sampai pemberian hadiah Nobel. Itulah rezim wacana yang paling terang. Dan, di Indonesia infrastruktur itu ditiru. Seakan-akan dalam sastra ada rezim. Rezim yang menghasilkan generasi estetika ini itu atau rezim itu dikuasai para kritikus yang menilai puisi-puisi kita. Padahal, puisi-puisi tersebut masuk koran. Dan, koran itu media publik, bukan media sastra.

Sekarang demokratisasi sastra didesakkan munculnya internet. Segala kemungkinan terjadi di sana. Karena itu, pembaca harus punya strategi membaca sendiri untuk membaca. Tidak hanya strategi penulis untuk menulis.”

Estetika Bahasa

”Sampai pada Abad yang Berlari, saya masih menganggap puisi itu sebagai estetika bahasa. Penyair menggunakan bahasa untuk estetikanya. Tapi, setelah Abad yang Berlari, saya harus mencuci pikiran saya. Karena saya pikir, saya hidup di ”zaman sampah”. Semua sudah jadi sampah. Tidak ada lagi yang luhur. Apa yang lahir di zaman penyair-penyair romantik karena kita masih menemukan keindahan, sekarang tidak ada keindahan. Detail telah dibunuh oleh kecepatan dan penggandaan. Di kesenian prinsip-prinsip percepatan dan penggandaan itu menghasilkan strategi yang berbeda.

Saya kira setiap seniman memainkan banyak strategi untuk membuat waktu, untuk membuat ruang, dan itu yang membuat saya menulis puisi dengan cara berpikir benda-benda. Kalau saya berpikir dengan bahasa, tidak mungkin lapangan basket masuk ke dalam puisi. Pasti akan ada sensor. Tapi, di mata saya ada. Jadi, saya lebih membela mata saya daripada bahasa. Mata saya yang membawa semuanya, tinggal bagaimana kemudian seorang penyair bergelut dengan struktur. Yang membuat puisi saya sedikit berbeda, saya bekerja di tingkat karakter dan struktur. Empat tahun hanya lahir 23 puisi. Sebenarnya lebih dari 23 puisi, tapi saya buang. Karena memang untuk apa dipertahankan. Mereka sudah gagal.”

Video Art dan Puisi Gelap

”Saya termasuk orang yang tidak bisa mengambil keputusan saya harus berada di mana. Karena ketika saya menjadi penyair, itu satu pilihan yang telanjur salah. Saya menyadari setelah menjelang reformasi bahwa saya ada di tutup botol. Ketika saya menilis puisi, disebut penyair, saya terjebak di leher botol. Saya merasa tercekik di situ. Dan, yang saya lakukan adalah bergaul dengan banyak media. Setiap media punya karakter. Jadi, video saya tidak untuk mengatakan puisi saya. Dari sini persoalan bahasa terjadi. Saya baru membaca sebuah cerpen ilmiah karya Primolevi, keturunan Yahudi, berjudul Bintang Hening. ”Saya tidak bisa ke dunia bintang-bintang itu dengan kamus,” katanya dalam cerpennya.

Kamus tidak lahir dari dunia perbintangan. Ada kesulitan bagaimana bahasa bisa merumuskan besarnya bintang dengan besarnya matahari. Dengan video, bahasa bisa mendeskripsikan kecepatan tanpa menggunakan kata ”cepat”. Nah, itu yang membuat kegelapan-kegelapan di dalam puisi. Puisi menjadi terang ketika basis reproduksinya jelas. Misalnya, kalau basis reproduksinya agama, politik, hal-hal yang primordial, itu jelas bisa dibaca. Apakah kita begitu panik menghadapi sebuah dunia yang gelap? Atau apa artinya kepanikan kita kalau ternyata yang kita temukan adalah kehampaan atau kegelapan?”

Saatnya Revolusi Kesenian?

”Sebenarnya ada suatu gejala yang saya sebut sebagai guncangan media terhadap estetika Hegel. Hegel membuat anatomi estikanya itu dari arsitektur ke patung, dari patung ke seni rupa, dari seni rupa ke musik. Dan, paling akhir ke puisi. Jadi, Hegel menganggap puisi adalah pencapaian estetika yang paling tinggi. Tapi, waktu itu Hegel tidak tahu akan munculnya media digital. Media digital tersebut muncul dan memorak-porandakan anatomi itu.

Sebenarnya media digital mendaur ulang semua itu menjadi semacam instalasi. Beberapa seniman mengambil eksekusi sendiri atas guncangan media tersebut. Seperti penyair Hungaria yang melakukan performance art. Dia merasa puisi sudah mati. Di situ saya merasa ada struktur, ada sensitivitas, ada detail, yang langsung ke otak. Saya cenderung menyebut itu sebagai solusi dari guncangan tersebut. Jadi, 5 sampai 10 tahun ke depan kita tidak tahu nasib kesenian. Yang menjaganya mungkin semacam dewan kesenian, institut seni, para redaktur, atau yang lain, padahal mungkin realitasnya itu semua sudah mati. Nah, kita tidak tahu siapa yang harus meletuskan revolusi di dalam kesenian itu.”

Cinta, puisi, kecemasan, dan teka-teki hidup adalah seluruh keheranan juga kekacauan Afrizal dalam memasuki dunia manusia. Adakah yang tak selesai dari Afrizal? Dia hanya ingin jadi seseorang, tapi telanjur jadi manusia. (*)

*) Penggiat Komunitas Lembah Pring, Jombang

Para Peletak Dasar Teater Modern

Rakhmat Giryadi
http://teaterapakah.blogspot.com/

Pada suatu ketika kelas borjuasi tidak lagi ingin menonton lakon raja-raja, bangsawan-bangsawan; mereka ingin melihat diri mereka sendiri. Maka tidak sia-sia, George Lillo (1731) menulis lakon tentang magang, pelacur, dan saudagar dalam karyanya Saudagar London. Jelas dalam lakon ini tokoh-tokoh kerajaan tidak hadir seperti yang terjadi dalam teater Elizabethan, yang hanya menampilkan wajah kerajaan.

Kebangkitan kelas borjuasi merupakan salah satu sebab munculnya realisme. Realisme bangkit seiring dengan tumbuh dan berkembang kelas, burjuis di Eropa. Realisme dianggap tonggak kebangkitan teater modern seiring dengan bangkitnya Renaesan, dunia perdaganganpun di Eropa mulai maju. Perlahan-lahan pengaruh dan kekuasan berpindah dari golongan aristokrat pemilik tanah dan pedagang.

Kebangkitan kelas burjuasi merupakan salah satu sebab yang mendukung munculnya realisme. Ada juga kekuatan lain yaitu perkembangan Ilmu pengetahuan. Teori evolusi Darwin, Positivisme Auguste Comnte, serta teori-teori psikologi Freud dan masalah-masalah sosial yang menentang pendekatan secara ilmiah, menimbulkan suatu cara pandang yang khas pada kehidupan.

Dinyatakan oleh Kernodle bahwa realisme menyajikan gagasan untuk menampilkan suatu bagian dari kehidupan. Di atas panggung akan terbayang sepotong kehidupan, sehingga jagad panggung merupakan penyajian kembali kehidupan indrawi. Secara teknis pementasan di atas panggung diusahakan menggambarkan kehidupan sering mungkin. Pentas dan perlengkapan panggung menggambarkan ruang duduk suatu keluarga, atau ruang kantor dan ruang lain yang paling umum dilihat oleh penonton.

Selain properties, setting dan kostum yang secara pasti berkorespondensi dengan realita, realisme konvensional juga menolak gaya akting yang berlebihan. Pencetus utama untuk gaya berperan realis adalah Konstantin Sergeyevich Stanislavsky (1865-1938). Stanislavsky menekankan arti penting gaya berperan yang wajar, tidak dibuat-buat dan menolak gaya bicara deklamatoris. Dasar dari pemeranan ini mengungkapkan tingkah laku manusia sesuai dengan penernuan-penernuan di bidang psikologi.

Pendekatan pemeranan Stanislavsky dengan metode psikologi sangat sesuai untuk menganalisa tokoh-tokoh yang diciptakan dalam lakon realisme. Tokoh-tokoh dalam drama ini hadir sebagai individu-individu yang ada dalam keseharian dengan karakter penuh kontradiksi.

Teater realisme sifatnya sastrawi (literrer). Bahasa sangat menonjol sehingga terkesan verbal. Hal ini dapat dimengerti karena hanya dengan bahasalah cocok untuk mengungkapkan yang bersifat intelektual dan analitik. Seperti halnya kegiatan masyarakat Eropa. Kecenderungan intelektualitas ini diwakili tokoh realisme dari Inggris, Shaw dimana ia menulis dialog sebagai disksi dan debat.

Gambaran obyektif tentang dunia, kecenderungan menempatkan kedudukan individu pada tempat yang sangat dominan serta kecenderungan memandang hakikat drama sebagai konflik telah menggerakkan suatu proses konvensionalisasi terhadap para penata panggung (stage, propertys dansebagainya), gaya berperan dan cara menulis naskah, proses konvensionalisasi ini mencapai kemapanannya pada pertengahan akhir abad XIX, melalui tokoh-tokoh seperti Ibsen, Chekov dan Stanislavsky (Ferguson, 1956).

Awal abad XX terjadi perkembangan baru dalam kehidupan teater di Eropa. Tokoh seperti Brecht, Antonin Artaud menolak aliran realisme. Aliran realisme tidak sepenuhnya diterima dalam abad XX Pemberontakan terhadap realisme timbul, antara lain oleh Symbolisme, Ekspresionisme dan Teater Epik. Konsepsi seni aliran di atas menentang realisme konvensional secara mendesar. Kaum symbolis beranggapan bahwa intuisi meruapakan dasar yang tepat untuk memahami realitas.

Teater epik, meski dipertimbangkan sebagai gaya yang memberontak realisme, namun bentuk dramanya jika dicermati justru memperluas konsep realisme. Pemrakarsa teater epik ialah Bertolt Brecht (1898-1956). la mulai aktif dalam teater ketika Jerman tengah berada dalam puncak jaman ekspresionisme.

Pandangan Brecht pada fenomena sosial tidak bisa dipisah-kan dari sikap ideologinya sebagai penganut Marxisme. Brecht adalah seorang pengecam kapitalisme. Seperti telah dipaparkan di atas, realisme konvensional di antaranya tumbuh dan berkembang berkat pertumbuhan dan perkembangan masyarakat burjuasi. Sementara Brecht sebagai seorang Marxis beranggapan bahwa kelas pekerja membutuhkan gaya teater yang lain, yaitu yang menyampaikan pesan-pesan yang politis.

Tokoh ekspresionime, Antonin Artaud menekankan drama pada tubuh. Dalam persepsi Artaud, tubuh merupakan instrumen yang liar namun memiliki sifat yang fleksibel yang tetap berada dalam prises untuk ditempa. Tubuh manusia tersebut memendam derita perampokan-perampokan jahat yang dilakukan oleh masyarakat, keluarga, dan agama yang membiarkannya dalam keselitan dan sia-sia yang melancarkannya menunuju titik suatu terminal tanpa koherensi dan tanpa kemampuan untuk berekspresi.

Hidup dan karya Artaud mempertanyakan peran tubuh yang terpecah-pecah tetapi dapat berubah bentuk, dalam kesenian, kesusastraan dan pertunjukan. Artaud menyebut proyeknya ini sebagai Theatre of Cruelty (Teater Kejam).

Keguncangan teater modern terjadi tahun 1957, ketika Samuel Beckett mementaskan drama Waiting For Godot. Drama ini dianggap membingungkan dan sulit dicerna bahkan oleh penbonton drama yang canggih sekalipun. Namun pendapat itu kemudian dimentahkan Martin Esslin, bahwa drama yang sebelumnya dianggap nonsense itu ternyata mempunyai makna dan dapat dimengerti.

Oleh Esslin, karya-karya drama Samuel Beckett, Eugene Ionesco, Arthur Adamov dan harold Pinter dikatagorikan sebagai drama absurd (the Theatre of The Absurd). Masing-masing dramawan menurut Esslin, merupakan individu yang menganggap dirinya orang luar yang sendiriran, terisolasi dalam dunia pribadinya sehingga mereka mencoba menampilkan realitas subjektif dunia pribadinya.

Visi darmawan absurd sejalan dengan visi kelompok penulis modernisme. Aliran modernisme timbul sebagai rekasi atas alairan realisema (1830-1880) yang dianggap terlarlu sarat dengan kritik sosial dan persan moralnya. Drma Absurd pada umumnya menohok penontonya dengan hal-hal yang membingunghkan. Drama absurd pun penung dengan serangkaian kejadian tidak masuk akal yang melawan konvensi panggung uang sudah di tetapkan. Oleh sebab itu Esslin kemudan menyebutnya drama absurd sebagai drama yang anti-play.

Dalam waktu yang tidak terlalu lama drama absurd yang lahir di Perancis berkembang ke seluruh penjuru dunia, antarlain Finlandia, Jepang, Norwegia, Argentina, dan juga Indonesia. Tokoh drama ini seperti Beckett, Ionesco, Edward Albee.

Pameran Makam

A Rodhi Murtadho
http://www.sastra-indonesia.com/

Gundukan tanah. Nisan berjajar rapi menghadap arah yang sama. Kematian. Banyak orang tenggelam dalam tanah. Terbujur kaku. Entah hancur atau entah masih utuh tubuhnya. Yang pasti makhluk dalam tanah bersama mereka. Pengurai menguraikan jasad berkeping-keping. Menghancurkan tulang sampai tak ada beda dengan tanah. Sama. Layaknya humus yang terbentuk dari daun dan kotoran. Jasad manusia juga menjadi penyubur tanah. Tak heran kalau tumbuhan di tanah kuburan gemuk-gemuk dan subur.

Pandangan mata Beni semakin memfokus. Pertanda ia memikirkan sesuatu atau mungkin hanya menghayal. Tapi pandangannya tertuju pada tanah kuburan. Entah apa yang dipikirkannya.

“Pameran makam!” terceletuk lembut dari bibir Beni.

Kontan aku merasa kaget. Pikiranku mulai melayang ke mana-mana. Bahkan sempat singgah di rumah sakit jiwa. Berjalan di trotoar dan tertawa sendiri. Terdiam dalam ruang sepi dan terpasung.

“Gila kau Ben, mana ada pameran makam,” sanggahku.
“Coba kau pikirkan Bud, sebuah pameran makam terangker di kota metropolitan.”
“Memangnya mengapa, Ben?” semakin penasarann aku dibuatnya.

“Di tengah gemerlap kota metropolitan, orang mencari harta, ketenaran, kekayaan, kesenangan. Dan begini, Bud, pameran ini akan banyak dihadiri kalangan artis, orang kaya, orang miskin, bahkan kalangan pendatang dari daerah. Dengan harapan, mereka akan mendapatkan keinginan-keinginannya hanya dengan menghadiri pameran ini.”

Semakin heran aku dibuatnya. Bisa-bisanya Beni berpikir macam itu. Entah setan apa yang merasuki pikirannya. Ia kukenal alim. Setiap kali aku pulang kampung dengannya, ia selalu berziarah ke makam keluarga.

Di seberang jalan kompleks makam yang tak lepas dari pandangan mata Beni, di sebuah warung peyot pinggir jalan, aku dan Beni terus nyeruput kopi dan menghisap rokok kretek. Semakin pekat gelap malam. Semakin luas kesunyian. Semakin fokus pandangan mata Beni pada kompleks makam.

“Kok bisa, padahal kau lihat sendiri. Angker, sunyi, gelap, dan serba tak enak suasana di makam,” aku berusaha menyadarkannya.

“Benar sekali, itu modal kita. Dengan keadaan angker, orang akan mentuankan kompleks makam itu. Dengan petunjuk kita, akan banyak orang berdoa di sana. Dengan keadaan sunyi, orang akan bebas mengucapkan doanya. Dengan keadaan gelap, orang tak perlu malu berada di sana. Dengan keadaan serba tak enak akan buat wartawan enggan masuk ke sana. Jadi, orang tak perlu takut wajahnya akan diekspose ke media massa. Dan semua ketenangan itu menjadi fasilitas agar harapan dan keinginan mereka terkabul.”

Gila! Pikiranku semakin melayang jauh menerawang dan terbang mengembara. Semakin jelas tawa Beni di rumah sakit jiwa. Semakin jelas wajah kucel, pakaian compang-camping, bicara sendiri di trotoar. Semakin jelas diri Beni berada dalam ruang sepi. Terpasung dan sendiri.

Aku tertawa dan cekikikan. Hal inilah yangg membuat Beni merasa tak nyaman. Sebagai sahabat kental, ia berusaha meyakinkanku, megutarakan penjelasan dan alasan yang bertele-tele layaknya orang pemerintahan. Tak biasanya ia bisa berkata lancar. Seperti guru saja.

“Sudah malam Ben. Ayo pulang. Besok kerja,” ajakku.
“Kau pulang duluan. Mungkin aku agak lama di sini.”

Beni memang terlahir dari keluarga sederhana. Namun kebutuhannya tercukupi dengan baik. Hanya kemewahan saja yang tak ia rasakan ketika berada di desa. Sama seperti aku. Mungkin hal ini yang membuat kami akrab. Tapi entahlah, Beni banyak berubah di kota ini. Terutama pola pikirnya.

Semenjak kami bekerja di kota. Kami terpaksa melakoni kerja yang berat. Pabrik kayu. Pekerjaan yang banyak mengandalkan otot dan menguras tenaga. Apalagi kami buruh tidak tetap. Semua itu terpaksa kami jalani untuk menghindar dari gunjingan warga desa. Mereka selalu mengatakan pemuda yang tidak bekerja ke kota akan dicap sebagai penganggur, sampah masyarakat. Lebih parah lagi, mereka akan menjauhkan anak gadisnya dari pemuda semacam itu.

“Memangnya kau akan bertekad membuat dan mewujudkan pameran makam itu, Ben?”
“Ya!”

Tekad Beni memang kuat. Kami pergi ke kota metropolis ini dan bekerja di pabrik memang bermula dari tekad dan ajakan Beni. Sungguh luar biasa. Aku merasakan semangatnya yang membara jika keinginan sudah dikatakannya.

“Sudahlah Ben, ayo pulang!” ajakku pelan.
“Tidak. Saya tetap di sini dan esok atau lusa pameran itu akan terselenggara.”
“Memangnya apa yang akan kau lakukan?”

“Seperti mengadakan pameran yang telah aku pelajari di Karang Taruna Desa. Pertama, aku akan mencari kuburan yang sangat angker, terus mempublikasikan, terus semua orang bisa datang. Tanpa aku menghias atau merapikan makam. Otomatis tak butuh modal banyak. Kau mau ikut atau tidak? Keuntungan bisa kita bagi dua.”

Tawaran yang sangat menggiurkan, membuat aku berpikir dua kali. Kegilaan dan memikirkan keuntungan. Namun, yang terpikirkan oleh buruh yang upahnya sangat kecil hanya kenekatan. Menggiring aku menaklukkan pikiran gila dan meninggikan keuntungan.

“Lantas apa yang harus aku lakukan Ben?”

“Kau tak usah berbuat apa-apa, hanya membantu aku ketika pameran nanti. Sekarang, pulanglah dan besok bekerja. Aku tidak masuk kerja besok.”

“Kalau begitu saya pulang, Ben.”

Aku melangkahkan kaki menyusuri trotoar dengan memikirkan keuntungan yang nanti bakal kuraih bersama Beni. Kemewahan dan harta yang melimpah. Spontan aku tertawa. Lampu kerlap-kerlip di simpang jalan membentuk tulisan ‘Rumah Sakit Jiwa’, menarik perhatian pandangan mataku. Kulihat diriku dan Beni berada di sana. Di antara kaca yang terpampang besar di depannya. Sampai aku di kamar kos. Sendiri tanpa Beni. Sunyi di antara gelap malam. Pun aku tertawa sendirian memikirkan kegilan Beni. Sungguh nekad. Kok bisa-bisanya.

Seminggu berlalu. Tak ada kabar dari Beni. Aku terus menantinya pulang ke kos. Rutinitas yang kujalani tetap sama. Berjalan ke Pabrik untuk bekerja, pulang ke Kos untuk istrirahat, dan cangkruk di warung untuk makan, sekadar nyruput kopi, dan menghisap rokok kretek.

Banyak kudengar dari radio dan cerita kawan-kawanku, selain dari surat kabar lokal yang tersedia di warung, banyak pejabat pemerintah yang hilang. Banyak aktivis yang hilang. Banyak orang hilang. Entah minggat atau diculik. Tak ada kejelasan sama sekali. Hanya mengabarkan hilang. Kota semakin gempar dan dicekam ketakutan. Mereka menandai diri. Memasang semacam alat pelacak di tubuh. Mereka ingin mudah ditemukan kalau diri mereka sewaktu-waktu hilang.

Hari ini kulakukan aktivitas seperti biasa. Ke pabrik, pulang ke kos dan nongkrong di warung. Seperti biasa pula, kuserubut kopi dan kuhisap rokok kretek sendiri, tanpa Beni. Kubolak-balik koran yang acak-acakan. Aku heran dengan berita tentang makam baru tetapi nisannya tak bernama. Kubaca pelan-pelan. Ternyata orang itu ditemukan sudah menjadi mayat di kompleks makam para pejabat. Konon kabarnya, para pejabat yang dikubur di kompleks makam itu adalah tukang-tukang korupsi. Orang itu mati dengan telanjang bulat, kepala hancur, tubuh penuh luka, dan sangat sulit dikenali. Tak ada tanda pengenal atau alat pelacak untuk menunjukkan identitasnya. Banyak orang mengira-ngira bahwa orang itu adalah keluarga mereka, teman, atau musuh yang hilang. Mayat itu terpaksa cepat-cepat dikubur karena banyak sekali orang yang mengaku sebagai keluarga atau temannya. Daripada berebut, lebih enak dikubur.

Sungguh aneh berita yang aku baca. Tapi tunggu dulu, kompleks itu berada tepat di tengah kota. Tak jauh dari tempatku duduk kini. Mungkin hanya berjarak dua kilometer. Dan itu terjadi kemarin ketika aku sedang berada di pabrik. Aku teringat kembali pada Beni. Di mana sekarang dia? Sudahkah menemukan makam yang tepat untuk dijadikan pameran. Mungkin kompleks makam tersebut menjadi tempat yang strategis. Tetapi sekarang sudah terlalu ramai dikunjungi dan diberitakan wartawan.

Aku melanjutkan membaca koran yang masih ada di tangan. Diberitakan kalau pemilik warung dekat dengan kompleks makam tempat kejadian perkara sempat ngorol dengan orang itu sebelum meninggal ketika pemilik warung ditanya wartawan. Orang yang mati itu pernah ngopi di warungnya. Pemilik warung juga mengatakan bahwa orang itu akan mengadakan pameran dekat makam karena tema yang diangkat sesuai dengan keadaan makam. Angker, sunyi, misteri dibalik tubuh hancur karena banyak dosa.

“Benar Mas, konon pejabat-pejabat yang dikubur di sana banyak melakukan korupsi. Kalau diberitakan antar mulut saja atau di koran, Mas bisa terkenal,” pemilik warung mengulang perkataannya untuk orang tersebut kepada wartawan, “tetapi orang itu pergi dengan tersenyum setelah ia membayar kopi dan rokok kreteknya,” pemilik warung melanjutkan ceritanya.

Dikabarkan juga, pemakaman orang tanpa identitas dihadiri para pejabat, mahasiswa, dan banyak orang yang mengaku punya hubungan dengan orang tersebut. Nisan tanpa nama itu disepakati karena banyak orang yang berebut ingin nama anggota keluarga atau teman mereka yang hilang terukir di sana. Dikabarkan pula, sampai hari ini pun, masih banyak orang yang berdoa menziarahi kompleks makam pejabat kota di makam yang bernisan tanpa nama.

Aku bertanya-tanya dalam hati. Mungkinkah itu Beni sahabatku? Melakukan pameran makam di kompleks makam tengah kota. Mengapa mesti dirinya sendiri yang dipamerkan?

Surabaya, 18 November 2005 (01:42)

DICARI: KRITIK(US) SASTRA INDONESIA

Saut Situmorang
http://apsas.multiply.com/

Bukankah sangat memalukan bahwa kritikus Belanda A Teeuw sampai pernah menulis sebuah esei berjudul “Tentang Paham dan Salah Paham dalam Membaca Puisi” di mana dia melaporkan tentang “rasa heran”nya atas hasil “analisis” dua sajak modern Indonesia oleh sekelompok dosen sastra kita yang tak satupun berhasil memuaskannya! Walaupun Teeuw mengatakan tidak bermaksud mengkritik “mutu” analisis para dosen sastra kita atas sajak “Salju” Subagio Sastrowardoyo dan “Cocktail Party” Toeti Heraty tersebut, dan malah memutuskan untuk “membela”nya dengan alasan adalah sah bila terjadi interpretasi-jamak atas sebuah karya sastra, bukankah kita pantas untuk jadi was-was: Kalau para dosen sastra sendiri, yang konon sehari-harinya bergelut dengan sastra sebagai sebuah ilmu pengetahuan akademis, mutu analisis sastranya tidak bisa memuaskan kritikus asing seperti A Teeuw, bagaimana lagi kualitas para mahasiswanya yang kelak di kemudian hari mungkin jadi penulis tentang sastra, sastrawan atau malah dosen sastra? Beginikah sosok dunia sastra modern kita?

Yang lebih ironis lagi, kita malah sangat sering mendengar atau membaca tentang adanya “krisis” dalam sastra modern Indonesia. Maksudnya tentu saja “krisis” dalam dunia karya seni sastra, apa itu puisi, cerpen atau novel. Sastrawan Indonesia dikatakan “jalan di tempat”, karena karya mereka begitu-begitu saja, seragam, terlalu sosiologis dan lokal tema/topiknya, tidak cerdas pemakaian bahasanya. Sebagai satu-satunya cara menyembuhkan “krisis” ini sastrawan Indonesia modern/kontemporer dianjurkan untuk berobat ke luar negeri, kalau tidak ke Amerika Serikat atau Eropa, ya ke Amerika Latin. The West is the best, seperti kata Jim Morrison dari The Doors!

Saat ini banyak orang menulis di sastra Indonesia, baik sebagai sastrawan maupun “pengamat” sastra. Penyair merupakan kelompok yang paling banyak jumlah anggotanya. Lihat saja misalnya para penyair yang mendominasi buku Korrie Layun Rampan yang berjudul seram itu: Angkatan 2000 dalam Sastra Indonesia. Besarnya jumlah seniman sastra, penyair, cerpenis dan novelis, yang ada di Indonesia saat ini membuat isu “krisis sastra” tadi masih bisa dipertanyakan kembali kebenarannya. Soal “kecenderungan” pemilihan tema/topik karya yang terlalu “sosiologis” ataupun “keseragaman” gaya penulisan karya, bagi saya, tidaklah bisa dijadikan alasan untuk begitu saja mengatakan sastra Indonesia mengalami “krisis”. Bukankah kedua hal ini juga yang merupakan ciri-khas utama Realisme-Magis (Magic-Realism) sastra Amerika Latin yang dipuji-puji setinggi langit di Indonesia itu! Secara pribadi saya sangat puas dengan karya-karya sastrawan kita, apa itu puisi, cerpen atau novel, termasuk drama. Walau sejarah sastra modern kita masih muda, kita sudah memiliki monumen-monumen sastra dalam semua genre sastra yang ada. Puisi para penyair seperti Amir Hamzah, Chairil Anwar, Sitor Situmorang, Rendra, Subagio Sastrowardoyo, Toeti Heraty, Afrizal Malna dan Wiji Thukul saja, misalnya, tidak malu kita untuk mengklaimnya sebagai produk-produk terbaik sastra modern Indonesia. Begitu pula dengan karya fiksi seperti Belenggu, Atheis, novel-novel eksperimental Iwan Simatupang, tetralogi novel Pulau Buru Pramoedya Ananta Toer, novel-novel “geisha” Ahmad Tohari, cerita silat Kho Ping Hoo, dan cerpen-cerpen Idrus, Pramoedya Ananta Toer, Sitor Situmorang, Iwan Simatupang, dan Seno Gumira Ajidarma. Drama modern kita juga telah menghasilkan dramawan dan teater yang tidak kalah mutunya dengan apa yang dimiliki negeri lain. Justru yang mesti diungkapkan adalah fakta bahwa dunia sastra Indonesia, mulai sejak zaman Balai Pustaka sampai munculnya antologi CD puisi cyberpunk/Internet Cyberpuitika yang kontroversial itu di awal Agustus 2002, hanya mengenal satu “krisis” saja dan itu masih terus berlangsung sampai hari ini, yaitu krisis kritik(us) sastra. Besarnya rasa pesona segelintir “kritikus sastra” Indonesia pada para novelis Realis-Magis Amerika Latin sementara melecehkan fenomena yang sama pada karya sastra Indonesia, bagi saya, membuktikan adanya krisis kritik(us) sastra ini. Saya mencurigai “pengetahuan” mereka tentang apa yang membuat mereka terpesona itu, apalagi kalau diingat bahwa “pengetahuan” mereka tersebut mereka peroleh hanya melalui versi terjemahan dan bukan bahasa aslinya. Faktor “kecerdasan bahasa” yang mereka klaim dimiliki oleh para novelis Realis-Magis Amerika Latin tapi konon absen dalam fiksi Indonesia kurang meyakinkan justru karena mereka hanya mampu membaca para Realis-Magis tersebut dalam versi terjemahan bahasa Inggris. Dan kita tahu, versi terjemahan sebuah karya sastra (bagaimanapun minimnya tingkat pencideraan pengarangnya) tidak cukup untuk dijadikan bahan sebuah studi yang bersifat “kritik sastra”, apalagi dalam studi yang disebut sebagai “Comparative Literature”, kecuali untuk Translation Studies. Bagi saya, apa yang ditemukan oleh A Teeuw sekitar duapuluhan tahun lalu itu masih tetap merupakan persoalan utama dunia sastra kita saat ini.

Krisis Kritik(us) Sastra Indonesia

Kebanyakan “sejarawan” sastra Indonesia akan setuju bahwa secara formal sastra modern berbahasa Indonesia lahir dengan terbentuknya lembaga penerbitan kolonial Belanda Balai Pustaka di awal abad 20. Periodesasi sejarah sastra modern Indonesia juga biasanya dimulai dari masa ini, yang dikenal dengan nama “Angkatan Balai Pustaka”. Walaupun terdapat beberapa penulis tentang sastra modern Indonesia yang mempertanyakan ketepatan pemilihan waktu lahirnya sastra modern berbahasa Indonesia ini, terutama dalam perspektif Studi Pascakolonial yang memandang periode sebelum berdirinya Balai Pustaka sebagai sebuah “sejarah yang hilang” dalam genealogi sastra Indonesia, namun secara umum “Angkatan Balai Pustaka” masih diakui sebagai angkatan sastrawan pertama dalam sejarah sastra modern Indonesia. Sampai awal abad 21 ini “diperkirakan” sudah ada sekitar 7 angkatan sastrawan modern Indonesia, dengan “Angkatan Sastrawan 2000” sebagai tambahan terakhir untuk sastrawan kontemporer Indonesia.

Terlepas dari perdebatan soal hari lahir sastra Indonesia di atas, bukankah periodesasi sastra modern Indonesia dalam beberapa angkatan itu dengan jelas merujuk ke sosok “sastrawan” atau “pengarang” sastra berbahasa Indonesia, bukan “kritikus” sastra Indonesia! Dari periodesasi historis itu bisa juga diamati bahwa sastra modern Indonesia hanya memiliki sastra Indonesia, hanya memiliki karya seni sastra berupa puisi, cerpen, novel dan naskah drama saja. Dan jumlah karya seni sastra yang sudah diproduksi itu sangat banyak serta pengarangnya pun sangat banyak. Tidak semua memang dari karya seni sastra itu berhasil lulus testing mutu untuk bisa disebut sebagai monumen-monumen sastra modern Indonesia, tapi yang berhasil dan menjadi klasik dan keramat dalam sejarah sastra modern Indonesia yang pendek umurnya itu telah juga berhasil “menciptakan” sebuah sastra-nasional baru sebagai warga baru sastra dunia. Tanpa monumen-monumen karya seni sastra ini, tidak ada itu sesuatu yang disebut orang sebagai “sastra modern Indonesia”, sastra modern dalam bahasa Indonesia.

Bagi saya, periodesasi sejarah itu menunjukkan tidak adanya “kritik sastra” apalagi “tradisi kritik sastra” mendampingi perjalanan sejarah sastra modern berbahasa Indonesia yang usianya pendek itu. Fakta ini sangat menyedihkan mengingat bukankah “kritik sastra” itu semacam pasangan hidup bagi karya seni sastra supaya yang terakhir ini, mengutip seorang penulis dari Bandung yang mengklaim tidak ada krisis kritik(us) sastra dalam sastra Indonesia, tidak hidup kesepian, halusinasif dan kering meranggas!
Di Indonesia ada semacam pendapat umum bahwa segala sesuatu yang berbicara tentang karya sastra, puisi misalnya, bisa dikatakan sebagai “kritik” sastra. Satu buku tebal yang khusus membahas puisi penyair tertentu adalah “kritik” sastra. Satu buku yang berisi kumpulan esei-lepas tentang sastra yang pernah dimuat di koran atau majalah adalah “kritik” sastra. Bahkan resensi buku sastra pun adalah sebuah karya “kritik” sastra. Dan tentu saja semua penulis yang menulis tentang sastra adalah “kritikus” sastra, malah para redaktur sastra koran edisi Minggu di seluruh Indonesia pun termasuk “kritikus” sastra!

Memukul rata dalam generalisasi pemakaian istilah “kritik/kritikus sastra” seperti ini tentu sah-sah saja kalau diingat bagaimana pengertian istilah “kritik” dalam pemakaian sehari-hari di Indonesia. Ada kritik membangun, ada pula kritik tak-membangun alias merusak. Kalau seseorang “dinasehati” oleh kawannya, dikatakannya dia itu dikritik. Kalau ada penyair baca sajak yang pamflet, dia dibilang mengkritik. Dan seterusnya, dan seterusnya . . . Tapi sudah tepatkah pemakaian istilah ini untuk merujuk kepada sebuah aktivitas pembacaan teks sastra yang bersifat sebagai sebuah studi kritis? Maksud saya, sudah tepatkah pemakaian istilah “kritik/kritikus” untuk menyebut tulisan-tulisan dan penulis-penulis kita yang menulis tentang sastra seperti yang umum dilakukan saat ini?

Setelah membaca tulisan-tulisan yang disebut “kritik sastra” Indonesia sejak zaman Balai Pustaka sampai penerbitan buku Korrie Layun Rampan, Angkatan 2000 dalam Sastra Indonesia saja, misalnya, saya menemukan sangat banyak tulisan yang sangat tidak memuaskan dan tidak pantas untuk disebut sebagai “kritik sastra”. Sebagian besar dari tulisan “kritik sastra” tadi sebenarnya lebih pantas dimasukkan dalam kategori tulisan “Apresiasi” atau “Komentar” sastra saja karena, seperti kata penyair Amerika Serikat/Inggris TS Eliot atas isu yang sama, “dikerjakan dengan cara yang tidak semestinya, dipisah-pisah seperti daun sayuran [...] jadi mirip sebuah tipe kuliah-sastra populer, di mana drama dan novel diceritakan kembali ceritanya, motif-motif para karakternya diterangjelaskan, hingga membuat karya sastra itu sangat gampang bagi kaum pemula”. Hal yang sama juga terjadi pada “analisis” puisi yang kebanyakan pseudo-studi-tekstual, pseudo-strukturalis, dengan tekanan hanya pada “makna” kata-kata tertentu atau metafor pada puisi yang sedang dibicarakan, untuk menceritakan kembali alur narasi atau moral puisi, tak lebih dan tak kurang, hingga memberi kesan betapa gampangnya puisi untuk dimengerti! Dan memang banyak dari buku-buku “kritik sastra” Indonesia memiliki Kata Pengantar yang selalu memuat kalimat disklaimer apologis seperti ini: “Buku ini memuat hal-hal yang mudah dipahami, karena dimaksudkan bagi para pemula atau remaja pencinta sastra”!

Menulis tentang karya sastra bagi para pemula atau remaja pencinta sastra tentu saja bukan sebuah pekerjaan yang haram. Malah pantas diacungi jempol tanda kagum karena tujuannya yang mulia untuk membuat para pemula atau remaja mencintai sastra secara dewasa, bukan sekedar cinta monyet yang akan berlalu setelah masa pubertas mereka selesai. Persoalannya adalah terlalu banyak orang yang menulis bagi para pemula dan remaja pencinta sastra hingga para pencinta sastra yang lain yang tidak pemula dan tidak remaja lagi jadi terlupakan! Para penulis tentang karya sastra bagi para pemula dan remaja pencinta sastra ini sepertinya segan untuk menulis bagi mereka yang bukan pemula dan bukan remaja lagi! Akibatnya, para “kritikus” ini terus-terusan mengulang kembali menulis buku-buku “kritik” tentang sastra bagi para pemula atau remaja pencinta sastra sampai jumlah buku-buku mereka mirip katalog perpustakaan ramainya, dan dengan variasi judul buku yang luarbiasa imajinatifnya pula, seperti Jejak Langkah Sastra Indonesia, Wajah Sastra Indonesia, Suara Pancaran Sastra, Katarsis dan yang semacam itu.

Kalau dihitung-hitung berapakah jumlah buku yang pernah ditulis yang berisi analisis kritis (critical analysis) atas karya-karya Amir Hamzah, Chairil Anwar, Idrus, Sitor Situmorang, Pramoedya Ananta Toer, Iwan Simatupang, Ibrahim Sattah, Subagio Sastrowardoyo, Ahmad Tohari, Toeti Heraty, Nh Dini, Kho Ping Hoo, Afrizal Malna atau Wiji Thukul saja? Apakah nama-nama ini tidak pantas untuk dibahas secara kritis dan serius? Atau memang para “kritikus” sastra Indonesia tidak sanggup untuk meng“kritik” karya-karya mereka, seperti para dosen sastra yang dilaporkan A Teeuw itu?

Seandainyapun eksistensi “kritik sastra” Indonesia mau dianggap ada, maka eksistensinya itu hanyalah sebuah eksistensi yang hidup-segan-mati-tak-mau belaka. Banyak memang penulis Indonesia yang menulis tentang sastra Indonesia, apa itu tentang sebuah karya sastra atau seorang sastrawan, tapi mayoritas tulisan-tulisan yang ada ini, apa itu berupa esei-lepas di koran atau majalah atau hasil penelitian akademis kesarjanaan seperti skripsi, sangat tidak memuaskan isinya untuk bisa disebut sebagai “kritik sastra”. Kementahan analisis yang terungkap dalam pembuatan kesimpulan-kesimpulan asersif yang sangat umum merupakan ciri-khas esei-lepas tentang sastra di majalah atau koran, sementara hasil penelitian akademis kesarjanaan begitu kaku dan dogmatis dalam “penerapan” teori-teori sastra yang dipakainya dengan mengorbankan elaborasi pembahasan yang mendalam dan orisinal. Keluwesan atau kecerdasan berbahasa dalam mengekspresikan isi pembahasan juga rata-rata absen dan merupakan kelemahan tipikal baik “kritik jurnalistik” maupun “kritik akademis” di atas. Tapi secara umum, bagi saya, tulisan-tulisan lepas tentang sastra modern Indonesia di media massa cetak seperti majalah dan koran jauh lebih bermutu karena lebih menarik isi dan bahasa ungkapnya (walau masih begitu banyak bisa ditemukan pemakaian istilah asing atau kutipan dari penulis asing yang cuma sekedar dekorasi teks belaka) dibanding hasil-hasil penelitian akademis kesarjanaan, meskipun untuk bisa pantas dikategorikan sebagai “kritik sastra” seperti yang dipahami di Barat masih jauh dari memuaskan. Kumpulan esei-lepas Subagio Sastrowardoyo berjudul Sosok Pribadi Dalam Sajak, yang berisikan esei-esei tentang beberapa penyair modern Indonesia yang pernah ditulisnya untuk majalah sastra di Indonesia, merupakan tipe analisis interpretatif-evaluatif yang serius dalam bahasa ungkap yang cerdas dan luwes. Begitu pula sebuah esei kata pengantar yang ditulis Ignas Kleden untuk YEL, buku kumpulan cerpen Putu Wijaya. Kalau tulisan kedua orang ini, misalnya, kita bandingkan dengan “kritik akademis” yang menjelma jadi buku seperti Chairil Anwar ?Sebuah Pertemuan, maka akan jelas terlihat mana yang pantas untuk disebut, dan bagi saya merupakan, “kritik(us) sastra” yang sebenarnya.

Pengalaman saya waktu melakukan riset perpustakaan untuk penulisan tesis pascasarjana saya atas Chairil Anwar di Selandia Baru di pertengahan tahun 1990an menunjukkan betapa parahnya krisis kritik sastra yang melanda sastra modern Indonesia. Setelah begitu lama meninggal dunia ternyata hanya HB Jassin, A Teeuw, Boen S Oemarjati dan Subagio Sastrowardoyo saja yang pernah benar-benar melakukan “studi kritis” atas sastrawan terbesar yang pernah dikenal sastra modern Indonesia ini! Tulisan-tulisan lepas di koran dan majalah Indonesia, khususnya, dan skripsi kesarjanaan tentang Chairil Anwar memang banyak, tapi kebanyakan cuma repetisi mandul tak orisinal tentang Chairil, apa sebagai “binatang jalang”, sebagai seorang “eksistensialis”, sebagai seorang “pembaharu” atau sebagai seorang “pahlawan nasional” malah. Herannya lagi, justru yang mampu menulis analisis kritis yang serius dan orisinal dalam bahasa pembahasan yang luwes tidak kaku hingga memberikan satori-teks atau tekstasi pada pembacanya kebanyakan peneliti asing, biasanya dalam bahasa Inggris, dan bukan peneliti Indonesia sendiri. Ini baru tentang satu sastrawan saja. Bagaimana dengan nasib para sastrawan lainnya! Saya bisa bayangkan, dengan sangat prihatin, seandainya Chairil Anwar itu seorang penyair Amerika Serikat maka sudah puluhan buku, tentang berbagai aspek dari puisinya termasuk biografinya, ditulis orang Amerika Serikat sendiri.

Siapa Kritikus Sastra

Menurut kritikus sastra Amerika Serikat MH Abrams, “kritik” adalah istilah yang dipakai untuk studi yang berkaitan dengan pendefinisian, pengelompokan, penganalisisan, penginterpretasian dan pengevaluasian karya sastra. Dalam dunia sastra terdapat dua jenis besar “kritik sastra”, yaitu kritik teoritis dan kritik praktis. Kritik teoritis berfungsi untuk menetapkan, dengan dasar prinsip-prinsip umum, seperangkat istilah, perbedaan dan kategori untuk diterapkan pada identifikasi dan analisis sastra, termasuk juga menetapkan kriteria (standar, atau norma-norma) untuk mengevaluasi karya sastra atau sastrawan. Sementara kritik praktis, atau kritik terapan, merupakan pembicaraan atas karya sastra, atau sastrawan, tertentu di mana prinsip-prinsip teori yang mendasari analisis, interpretasi dan evaluasi karya tersebut biasanya dibiarkan tidak nampak menyolok, tersirat saja, kecuali kalau memang diperlukan. Dan mereka yang melakukan “kritik” sastra menurut kedua pengertian di atas disebut sebagai “kritikus” sastra.

Bisa dilihat bahwa “teori” punya arti penting dalam kedua kategori kritik sastra di atas. Sebuah pembicaraan atas karya sastra atau sastrawan baru bisa sah disebut sebagai “kritik sastra” kalau dilakukan berdasarkan “prinsip-prinsip teori” yang mendasari identifikasi dan analisis sastra. Dalam kata lain, tiap pembicaraan atas karya sastra atau sastrawan supaya berhak disebut sebagai sebuah pembicaraan “kritik sastra” tidak bisa tidak memiliki seperangkat “teori” analisis, interpretasi dan evaluasi yang berlaku universal. Sebuah “kritik sastra” tidak bisa dilakukan hanya tergantung pada kata hati belaka!

Improvisasi juga bisa dilakukan atas macam “tipe” kritik berdasarkan teori atau ilmu pengetahuan apa yang dipakai dalam menganalisis karya sastra untuk mengetahui pengaruh atau sebab-sebab yang menentukan ciri-ciri tertentu dari karya tersebut. Makanya kita juga mengenal “kritik sejarah”, “kritik biografi”, “kritik sosiologi”, “kritik Marxis”, “kritik psikologi”, “kritik psikoanalisis”, “kritik arketipe atau mitos”, “kritik feminisme” atau “kritik pascakolonial”.

Apa kriteria bagi seseorang untuk berhak disebut sebagai seorang “kritikus” sastra? Disamping keahlian khusus/pengetahuan yang komprehensif atas sebuah genre sastra yang dipilih untuk dikritisi, bukankah sebuah sikap “profesional dan kritis” juga mesti dimiliki oleh seorang kritikus sastra, hingga nanti tulisan-tulisan kritisnya tentang sebuah karya sastra ataupun seorang sastrawan tidak terjebak pada sebuah emosionalisme yang amatiran. Suka atau tidak sukanya “perasaan” seorang kritikus terhadap seorang sastrawan yang sedang dibicarakannya, posisinya sebagai seorang “kritikus” menuntut agar “penilaian” terhadap karya sastrawan tersebut dilakukan menurut etika kritik yang berlaku universal – kritis, adil dan jujur. Karakter pribadi seorang sastrawan, misalnya, apalagi bila kebetulan tidak sesuai dengan standar moral ideal sang kritikus, jangan sampai mempolusi cara menilai karya seninya. Karakter pribadi seorang seniman tidak relevan untuk dijadikan tolak ukur penilaian karyanya, apalagi kalau dijadikan sebagai alasan pelecehan mutu pencapaian karya tersebut. Kritiklah karya sang seniman karena karyanya itulah esensi kesenimanan seorang seniman. Karya adalah identitas eksistensial seorang seniman. Bagaimana kita bisa “mempercayai” pendapat seorang “kritikus”, misalnya, yang tanpa terlebih dulu melakukan “textual study” dan sebagainya yang serius dan menyeluruh atas sebuah karya sastra, seenak perutnya sendiri membuat sebuah vonis menjatuhkan melalui pernyataan-pernyataan asersif yang tidak “kritis” dan “emosional”, apalagi yang tendensius-politis seperti yang umum terjadi di Indonesia!

Untuk bisa diterima sebagai sebuah karya “kritik”, sebuah pembahasan atas sebuah karya sastra atau seorang sastrawan harus dilakukan dengan landasan teori analisis yang jelas. Seorang penulis yang menulis bahwa sajak-sajak seorang penyair tertentu adalah karya seni bermutu tinggi atau sajak-sajak yang berhasil karena “menyenangkan” obsesi-obsesi pribadi si penulis tersebut belumlah bisa disebut sebagai seorang “kritikus” sastra dan tulisannya itu sebuah “kritik” sastra. Begitu pula sebaliknya, kalau seorang penulis menulis bahwa karya seorang sastrawan tertentu bukan karya seni karena tidak “berkomunikasi” dengannya tidak bisa juga disebut sebagai “kritikus” sastra dan tulisannya itu sebagai sebuah “kritik” sastra. Untuk bisa disebut sebagai “kritikus”, seorang penulis tidak bisa “hanya” sekedar “menyimpulkan” pendapatnya saja. Seorang “kritikus” sastra tidak bisa membuat sebuah analisis yang kritis hanya tergantung pada kata hatinya saja, seperti kebanyakan terjadi di Indonesia. Karena kata hati dan rasa bingung saja tidak cukup. Seorang “kritikus” sastra mesti punya landasan teori analisis yang meyakinkan sebelum bisa meyakinkan pembacanya. Dan teori itu sendiri harus diterapkan dalam tahap-tahap pembahasan yang, paling tidak, masuk akal, logis dan ilmiah. Baru setelah prosedur analisis karya sastra seperti ini dilakukan, “pembacaan” yang dilakukannya tadi berhak untuk disebut sebagai sebuah “kritik” sastra, tidak persoalan setuju atau tidak setuju kita para pembacanya nanti dengan kesimpulan “pembacaan” si “kritikus” sastra tersebut.

Kementahan analisis hingga melahirkan kesimpulan-kesimpulan umum bersifat asersif yang tidak bisa dipertanggung jawabkan secara ilmiah dipamerkan kepada kita baru-baru ini dengan penerbitan buku Angkatan 2000 dalam Sastra Indonesia. Penyusunnya Korrie Layun Rampan memberikan alasan penerbitan buku tersebut keyakinannya bahwa telah terjadi sebuah revolusi estetika dalam sastra kontemporer Indonesia, yang, menurutnya, bisa disetarakan dengan apa yang dilakukan Chairil Anwar atau Sutardji Calzoum Bachri, oleh 3 sastrawan dalam 3 genre sastra yang berbeda: Afrizal Malna dalam puisi, Seno Gumira Ajidarma dalam cerpen, dan Ayu Utami dalam novel! Sebagai pembaca bukunya yang judulnya terkesan sensasional itu, saya mengharapkan dia akan membeberkan argumentasinya atas tesisnya yang menimbulkan banyak pro dan kontra tersebut. Saya ternyata mesti kecewa karena Korrie Layun Rampan tidak mampu untuk mengungkapkan sesuatu yang orisinal yang tidak diketahui publik pembaca sastra Indonesia sebelumnya tentang ketiga sastrawan yang disebutnya sebagai pembaharu estetika penulisan sastra modern Indonesia itu. Begitu juga dengan keberaniannya untuk menyatakan bahwa para sastrawan lain dalam bukunya itu sekedar meneruskan apa yang telah dilakukan ketiga nama di atas tadi, tanpa “pembuktian” dalam bentuk studi perbandingan atau apapun. Setelah membaca bukunya itu saya jadi bertanya-tanya, kenapa seorang “kritikus” sastra seperti Korrie Layun Rampan, yang di Indonesia mungkin paling banyak menulis buku sastra dan tentang sastra itu, gagal melakukan sesuatu yang sudah sangat pantas dilakukan oleh seorang editor buku yang berpretensi hendak memperkenalkan/mengungkapk
an adanya sebuah “revolusi estetika” dalam dunia sastra kontemporer Indonesia. Sementara kelatahannya untuk ikut-ikutan berbahasa Indonesia “posmo” ala Afrizal Malna hanya menambah kecurigaan saya saja atas kedalaman pengetahuannya tentang sastra.

Kalau kita bicara soal “perubahan dalam estetika kesenian”, apa yang kita maksud dengan istilah ini? Sebuah perbedaan gaya pengucapan? Sebuah perbedaan orientasi pemikiran? Keduanyakah? Apakah eksplorasi atas “ambiguitas kata”, atas “makna umum dan tersirat” dari kata, tanpa mesti membuat struktur kalimat jadi tidak baku ala puisi-mantra Sutardji Calzoum Bachri, misalnya, tidak bisa juga dikatakan sebagai sebuah “perubahan dalam estetika kesenian”? Kalau Afrizal Malna, yang disebut Korrie Layun Rampan sebagai pemimpin Angkatan 2000 itu, dikatakan melakukan sebuah “perubahan dalam estetika kesenian” karena memilih kata dari lingkungan sehari-hari hingga menciptakan (kesan) habitat keseharian kehidupan kita, bagaimanakah dengan apa yang dilakukan oleh penyair-buruh Wiji Thukul? Bukankah idiom-idiom puisi Wiji Thukul jauh lebih dekat dengan “lingkungan sehari-hari” atau “habitat keseharian” Indonesia, paling tidak bagi kalangan buruh dari mana dia berasal, ketimbang intelektualisme benda-benda Afrizal Malna? Kenapa Korrie Layun Rampan sampai “lupa” untuk membicarakan puisi Wiji Thukul yang jauh lebih terkenal di Indonesia dibanding puisi Afrizal Malna itu? Apa arti dari peristiwa “lupa” seorang editor yang konon juga “kritikus” sastra macam begini?
“Pemilihan” nama-nama sastrawan lainnya untuk “menemani” ketiga “pembaharu estetika kesenian” sastra kontemporer Indonesia di atas juga tidak diberikan argumentasi yang bisa dipertanggungjawabkan (kecuali bahwa rata-rata mereka pernah ditulis di media massa oleh Korrie Layun Rampan!), termasuk “dilupakannya” beberapa nama sastrawan yang sudah cukup dikenal di Indonesia, seperti para sastrawan yang ada di pulau Bali. Kelemahan khas “politik sastra” seperti ini jadi makin tragis lagi dengan munculnya seorang novelis baru dalam sastra kontemporer Indonesia, tidak lama setelah buku Angkatan 2000 dalam Sastra Indonesia terbit, yang novelnya Supernova diklaim banyak “kritikus” sebagai jauh lebih inovatif lebih segar lebih seksi kalau tak mau dibilang lebih intelektual daripada Saman yang dijagokan Korrie Layun Rampan!

Kementahan analisis yang terungkap dalam pembuatan kesimpulan-kesimpulan umum bersifat asersif yang tergantung pada kata hati saja semacam ini juga sangat kental mewarnai tulisan jurnalistis “esei koran” seorang Nirwan Dewanto. Walaupun bukan diterbitkan di sebuah halaman seni koran Minggu, sebuah eseinya yang paling tipikal menunjukkan esensi dirinya sebagai hanya sebuah “antologi asersi” belaka adalah yang ditulisnya untuk majalah berita mingguan Tempo edisi khusus “Kilas Balik 2002”, 5 Januari 2003. Dalam esei berjudul “Pinurbo dan Dinar” itu, ketua redaksi jurnal kebudayaan Kalam ini memulai tulisannya dengan bahasa yang sangat khas:

“Setiap akhir tahun saya merasa lara dan terkutuk sebab saya tahu tak banyak karya sastra dalam bahasa nasional kita dalam setahun itu yang layak dikenang. Sebagian besar hanya akan tinggal sebagai bahan dokumentasi. Juga sepanjang 2002. Namun, takut menjadi anak durhaka di kampung halaman sendiri, saya berusaha toleran terhadap mutu sastra, lalu menghibur diri: lihat, bakat baru terus bermunculan. Ajaib, masih ada yang bisa meloloskan diri dari mediokritas yang kian merajalela dalam masyarakat saya. Bagaimana mungkin negeri yang tenggelam dalam kelisanan ini masih bisa menghasilkan penulis unggul?”

Lihatlah betapa hanya dalam satu paragraf saja Nirwan Dewanto sudah membuat begitu banyak kesimpulan dan dia sebagai pembuat kesimpulan diposisikannya sebagai seseorang yang “tahu”, sang pengamat ajaib, yang berdiri di luar lingkaran mediokritas masyarakatnya! Seorang Zarathustra posmo yang tiba-tiba memutuskan untuk membuka jendela menara gadingnya, tanpa mesti turun ke bumi di bawah, dan terpesona pada narsisismenya sendiri! Ajaib, memang, masih ada yang merasa begitu yakin sudah meloloskan diri dari mediokritas yang kian merajalela dalam masyarakat saya!!!

Sekarang baiklah kita ikuti jalan argumen yang ditawarkannya sebagai alasan bagi apa yang akan saya sebut sebagai accusation/defense paragraf pertamanya itu. Puisi Indonesia kontemporer (yang ditulis “para penyair muda usia itu”), katanya sambil meminjam istilah Asrul Sani, masih “puisi emosi” yaitu yang menunjukkan bahwa “[k]etimbang menguasai bahasa, apalagi mencari ungkapan baru, [para penyair muda usia itu] terpenjara kosa-kata dan kosa-bentuk para pendahulu mereka”. Absennya orisinalitas merupakan dosa-asal puisi kontemporer kita. Saya berkhayal: setelah Chairil Anwar, setelah Sutardji Calzom Bachri, setelah Afrizal Malna, tak ada lagi Puisi Indonesia. Yang ada hanya mediokritas “[ke]abstrak[an] dalam arti negatif: tidak sanggup menangkap apa yang konkret, yang dekat dengan nafsu dan daging, justru lantaran mengabaikan intelek dan keperajinan”. Menurutnya, puisi kontemporer kita adalah puisi yang “gampang ambruk, lantaran pelbagai anasirnya tak saling menopang”, “Puisi yang tak sanggup menyegarkan bahasa”. Demikianlah accusation Nirwan Dewanto.
Tapi untunglah masih ada “para penyair cemerlang terdahulu, yang terus memberikan tenaga pada bahasa kita. [Yang] masih giat di gelanggang, bahkan terus memperbarui diri. Lebih penting lagi, masih ada Joko Pinurbo dengan kumpulan sajak Pacarkecilku terbitan Indonesiatera”. Joko Pinurbo adalah “antipoda puisi lirik sekaligus puisi protes”, menurut Nirwan Dewanto, karena “[i]a berhasil membangkitkan bahasa sehari-hari dengan frasa yang terang sebagai alat puitik”, sementara mayoritas penyair (kontemporer) “hanya mendedahkan keruwetan (dan bukan kompleksitas) dengan kalimat patah-patah yang sering mengabaikan logika”.

Bagi Nirwan Dewanto, sekaligus sebagai defense-nya, pemakaian “bahasa sehari-hari dengan frase yang terang” dan “kalimat [tidak] patah-patah yang [tidak] mengabaikan logika” adalah ciri-utama berhasil-tidaknya puisi, penting-tidaknya sebuah kumpulan sajak/penyair. Dan ditambah dengan mesti hadirnya “humor dan main-main”, kisah “alegori” serta “parodi”. Walaupun demikian, Nirwan Dewanto masih melihat adanya tiga kekurangan pada puisi Joko Pinurbo: kalimatnya yang kurang tajam, repetisinya yang sering berlebihan, dan kosakatanya yang kurang kaya.

Betapa susahnya menjadi penyair di Indonesia! Betapa otoriternya seorang ketua redaksi jurnal kebudayaan Indonesia! Hanya dalam lima paragraf, puisi kontemporer Indonesia “dibedah”, dimaki-maki, diangkat sedikit untuk kemudian dibanting dengan keras karena kalimatnya kurang tajam, repetisinya sering berlebihan dan kosakatanya kurang kaya! Dan semuanya itu ditutup dengan kalimat patronising ala seorang empu puisi yang sudah menghasilkan berpuluh buku puisi dan buku tentang puisi: “Demikianlah setiap tahun kita hanya mendapat terlalu sedikit karya unggul lantaran begitu banyak penulis sekadar menjalankan rutin mengelap-ngelap warisan kaum pendahulu, bernikmat-nikmat dengan ukuran dalam negeri”. Ternyata lagi-lagi obat “krisis puisi” Indonesia mesti dibeli di luar negeri! The West is the best!

Kalau Nirwan Dewanto mau sedikit jujur terhadap dirinya sendiri, apalagi mempertimbangkan hobinya/kemampuannya hanya menulis “esei koran” yang narsisistik, dia justru terus menerus melakukan apa yang dia anggap merupakan ciri umum sastra kontemporer kita, yaitu “[m]erosot berbahasa: artinya memudar [...] kemampuan [...] berimajinasi, bergulat, meneliti, mencatat, menilai, menguji, dan mencetuskan-diri [dan] [y]ang lisan mengalahkan tulisan, [dalam arti] basa-basi menaklukkan apa yang rasional [kritis]”, dalam mudahnya dia membuat kesimpulan-kesimpulan mentah yang final tentang karya produk bukan-komunitas-sastranya, tanpa pernah sanggup membuktikannya lewat kritik “close reading” teks dalam bentuk tulisan non-jurnalistik, sementara hanya berbasa-basi puja-puji terhadap produk Komunitas Utan Kayu dari mana dia berasal (ingat, misalnya, klaimnya bahwa Ayu Utami terlahir bukan dari tradisi sastra Indonesia!). Sehingga hanya “kesedang-sedangan, ketakcemerlangan” (dalam repetisi-repetisi bentuk dan isi yang sangat membosankan yang tak lebih dari sekedar pamer daftar bacaan belaka alias name dropping) yang jadi “hasil terbaik” dari reportase bacaannya atas apa yang memang sudah umum dianggap sebagai “kanon sastra internasional” di luar sana yang dengan selektif-heroik dipakainya untuk sebuah “bacaan” pseudo-comparative literature. Saya tentu saja bisa juga menuntut dari dia untuk juga tidak “bernikmat-nikmat dengan ukuran dalam negeri” dalam menulis esei-eseinya karena “[...] saya merasa lara dan terkutuk sebab [...] tak banyak [esei] sastra[nya] dalam bahasa nasional kita [...] yang layak dikenang”, lantaran begitu banyak ide tulisan-tulisannya itu “sekadar menjalankan rutin mengelap-ngelap warisan kaum pendahulu”nya belaka. Satu contoh: Pernahkah dia benar-benar mengelaborasi di mana negatifnya “kelisanan” dan positifnya “keberaksaraan” (dua konsep yang didaur-ulangnya tanpa kritis dari Sapardi Djoko Damono) dalam kebudayaan Indonesia itu?

Tingkat absurditas dan komikal yang sudah dicapai oleh mediokritas pemikiran kritis yang merajalela dalam dunia sastra Indonesia akan dengan gamblang ditunjukkan oleh contoh berikut ini. Saya pernah membaca sebuah buku “kritik sastra” yang ditulis oleh seorang “kritikus sastra” pedalaman dimana di salah satu bab bukunya itu dia mengajak pembaca untuk “membuktikan” kemantraan puisi-mantra Sutardji Calzoum Bachri dengan membacakannya ke buaya!

Absennya cara berpikir kritis dalam membaca karya sastra yang merupakan faktor utama penyebab terjadinya “krisis kritik sastra” di Indonesia lebih banyak bisa dilihat dipamerkan secara menyolok di media massa cetak Indonesia, khususnya koran terbitan Jakarta. Awal bulan Mei 2001 Yayasan Multimedia Sastra (YMS), sebuah yayasan nirlaba yang dikelola sebuah komunitas sastrawan Internet Indonesia, menerbitkan sebuah buku kumpulan puisi cyberpunk, yaitu puisi yang dikirim oleh para penyairnya baik ke mailing-list penyair@yahoogroups.com maupun situs sastra www.cybersastra.net yang dikelola YMS, berjudul Graffiti Gratitude. Penerbitan buku puisi cyberpunk ini ternyata menimbulkan skandal media massa cetak khususnya koran dengan Graffiti Gratitude sebagai objek “pengadilan puisi”, baik oleh para penyair Indonesia sendiri yang puisinya tidak ada dalam kumpulan ini maupun oleh para “pengamat/kritikus” sastra Indonesia. “Mutu” puisi-puisi yang ada dalam Graffiti Gratitude merupakan satu topik serangan favorit dan, terkait dengan ini, isu tentang “estetika baru” macam apa yang direpresentasikan oleh pemakaian istilah “puisi cyber” pada kulit depan buku juga menjadi isi serangan umum para penghujatnya. Seorang wartawan sebuah majalah berita di Jakarta, Bersihar Lubis, mengklaim bahwa para penyair cyberpunk telah “mengkhianati” hakekat dirinya sendiri karena telah menerbitkan dalam bentuk buku puisi-puisi yang seharusnya dibiarkan tetap berada dalam dunia cyberspace di Internet, sementara seorang “kritikus sastra” yang sekaligus dosen sastra dari Jakarta, Maman S Mahayana, menyatakan bahwa para penyair cyberpunk Indonesia itu belum pantas untuk dikategorikan sebagai “penyair” tapi “penulis puisi” hanya berdasarkan ketidakjelasan produktivitas mereka belaka!

Kalau “pengadilan puisi” atas Graffiti Gratitude ini dilakukan dengan jujur dan adil, walau tidak mesti secara kritis sekalipun, peristiwa media massa cetak ini tentu akan jadi menarik dan perlu. Paling tidak, sebuah “polemik sastra” bisa terjadi dan lalulintas ide atau konsep soal puisi akan berjalan dari kedua belah pihak, pihak Internet dan pihak media cetak. Harapan yang lugu ini ternyata cuma tinggal harapan yang lugu belaka. “Pengadilan puisi” yang diciptakan oleh media massa cetak Indonesia itu ternyata cuma sebuah pameran penghinaan dan ketidakmampuan untuk bahkan melakukan sebuah “pengadilan” yang baik atas Graffiti Gratitude. Bagi mereka yang memilih “mutu puisi” sebagai sasaran serangan, terlihat dengan jelas ketidakjujuran dan ketidakadilan dalam cara mereka “membaca” buku Graffiti Gratitude. Fokus mereka cuma sajak-sajak yang memang jelas bagi pembaca sastra awam sekalipun tidak berhasil menjadi puisi. Mereka sama sekali tidak membaca sajak-sajak lainnya yang bagus-bagus dan berhasil jadi puisi. “Politik pembacaan selektif” macam ini tentu saja hanya menimbulkan rasa curiga beralasan di kalangan penyair cyberpunk bahwa rasa cemburu atau iri hati karena tidak ikut serta dalam antologi Graffiti Gratitude merupakan alasan utama “pengadilan puisi” amatiran ini. Bukankah sesuatu yang sangat wajar kalau dalam sebuah antologi-bersama akan terdapat sajak-sajak yang gagal? Bukankah sesuatu yang sangat wajar juga bila dalam sebuah antologi-tunggal pun akan terdapat sajak-sajak yang gagal? Kenapa sajak-sajak yang gagal ini yang jumlahnya tak sebanding dengan jumlah keseluruhan isi buku yang justru dijadikan standar ukuran “mutu” keseluruhan antologi tersebut!

Sementara itu mereka yang “menuntut” lahirnya sebuah “estetika baru” dengan munculnya sastra cyberpunk juga melakukan sebuah tuntutan yang tidak jujur dan tidak adil. Kenapa mereka tidak melakukan hal yang sama atas “sastra koran”, “sastra majalah”, atau “sastra antologi” yang umur eksistensinya jauh lebih lama dibanding sastra cyberpunk tapi isi dan gaya produk-produk ketiganya sama sekali tidak menunjukkan “perbedaan estetika” antara satu medium dari medium yang lainnya itu! Demikian pula dengan mereka yang mengklaim bahwa penerbitan puisi cyberpunk dalam bentuk buku adalah sebuah pengkhianatan eksistensial. Betapa lucu dan mengada-ada pernyataan ini! Bukankah apa yang diklaim ini relevan juga untuk diajukan pada “sastra koran”, “sastra majalah” dan “sastra lisan” tapi, anehnya, tidak pernah dilakukan. Kenapa hanya pada sastra cyberpunk klaim yang kalau memang ada kebenarannya ini tiba-tiba dilontarkan! Sekarang saya mau bantu para eksistensialis sastra Indonesia ini untuk memperluas cakupan klaim mereka itu: Kenapa sastra koran, sastra majalah dan sastra lisan mesti dibukukan? Kenapa tidak dibiarkan saja sastra-sastra ini pada medium asalnya masing-masing? Bukankah hal ini sebuah pengkhianatan eksistensial? Pertanyaan yang bernada sama bisa juga disodorkan kepada “kritikus sastra” Maman S Mahayana. Apakah sebenarnya “penyair” atau “sastrawan” itu? Apakah ada relevansi teoritis antara “produktivitas” dan identitas seorang sastrawan? Kenapa Chairil Anwar yang cuma menulis sekitar 70an puisi itu bisa disebut “penyair” sementara bukankah Armijn Pane dan Achdiat K Mihardja dikenal hanya berdasarkan satu novel belaka?
Bagi saya, “pengadilan puisi” atas buku kumpulan puisi cyberpunk Graffiti Gratitude oleh media massa cetak Indonesia ini cuma menguatkan kepercayaan saya bahwa “krisis kritik sastra” di Indonesia bukan saja ada tapi malah sangat parah kondisinya.

Di koran Pikiran Rakyat Bandung di bulan Agustus dan September 2002 terjadi “polemik” atas sebuah produk terakhir dari komunitas sastra cyberpunk Indonesia di bawah naungan YMS. Produk yang menimbulkan persoalan kali ini adalah sebuah antologi puisi digital dalam bentuk CD multimedia yang dinamakan CYBERpuitika. Antologi puisi digital ini dikatakan “multimedia” karena setiap teks puisi di dalamnya dikolase dengan teks visual berupa lukisan atau fotografi dan teks musik. Perkawinan ketiga teks yang mewakili tiga jenis seni yang berbeda ini ternyata menimbulkan suara-suara sumbang yang menuduh bahwa “teks” puisi dalam CYBERpuitika telah dikorbankan statusnya sebagai sebuah “karya seni” karena disandingkan dengan teks visual dan teks musik! Bahkan lebih hebat lagi karena sudah keluar dari konteks “polemik” koran tersebut, ada seorang penyair “senior” lokal dengan lagak seorang “kritikus” selebritis menulis bahwa “dosa” sastra Indonesia di Internet adalah “kebebasan” yang diberikannya bagi “penulis pemula” untuk menulis sastra, seolah-olah seseorang itu baru bisa menulis sastra atau disebut sebagai “sastrawan” kalau sudah mendapat “restu” dari dia! Dengan nada tulisan yang sangat patronising alias sok tahu dan merasa diri sendiri sudah menjadi sastrawan besar Indonesia, penyair pedalaman yang megalomaniak ini mengejek dunia sastra Internet – yang tidak diketahuinya sedikitpun apa dan bagaimana itu – sebagai cuma sekedar “labirin main-main”, sebuah “arena play-group dan play-station” para penulis “pemula” belaka! (Istilah ejekan yang umum dipakai untuk menyerang keberadaan sastra cyberpunk Indonesia, terutama karena kebebasan yang diberikannya kepada siapa saja untuk menulis sastra tanpa mempermasalahkan “jam terbang” karier kepenulisan seseorang, adalah “tong sampah”. Maksud dari istilah yang diciptakan redaktur sastra koran Republika Ahmadun Y Herfanda ini adalah bahwa karya-karya sastra yang disebut sastra cyberpunk Indonesia itu secara umum merupakan karya-karya yang dikirim ke, tapi gagal lolos seleksi untuk bisa muncul di, koran-koran Minggu Indonesia!) Walau pretensi “polemik” media cetak koran itu adalah “diskusi kritis”, apa yang mampu ditawarkannya ternyata hanya merupakan sederetan “pseudo” belaka: pseudo-polemik, pseudo-kritik, pseudo-kritikus dan akhirnya pseudo-sastrawan-senior. Tidak adanya pengetahuan tentang sastra Internet yang disebut “sastra cyberpunk”, tidak adanya pengetahuan tentang hakekat “teks” tulisan dalam dunia Internet yang disebut “hyper-text” dan hubungannya dengan teks-teks lain melalui jaringan “hyper-link” (dan bahkan absennya pemahaman tentang arti istilah “teks” dalam pemakaian sehari-hari dalam wacana kebudayaan saat ini) dan tidak adanya pengetahuan tentang seni kolase (collage art) yang menggabung-gabungkan berbagai bentuk seni menjadi satu seni multimedia, ternyata tidak membuat para penghujat sastra cyberpunk Indonesia di Bandung untuk introspeksi. Mereka “merasa” mereka sudah tahu semuanya!

Persoalan “krisis kritik(us)” tidak hanya terjadi di dunia sastra saja tapi di keseluruhan dunia seni Indonesia. Kalau kita mau sedikit rendah hati, tidak kelewat defensif dan esensialis narsisistik dan belajar dari kenyataan di luar Indonesia terutama di Barat (seperti yang selama ini selalu dilontarkan para “kritikus” lokal khususnya terhadap sastrawan Indonesia dalam konteks rendahnya mutu karya seni sastra kita dibanding karya sastra Barat) maka akan terlihatlah betapa parahnya krisis yang sedang dialami dunia seni kita. Di Barat semua cabang seni yang ada – sastra, teater, seni rupa, musik, tari, film atau fotografi – memiliki tulisan-tulisan “kritik” yang tidak lagi sekedar apresiasi atau pengantar atas sebuah karya seni atau seorang seniman belaka tapi sudah mencapai kualitas mempengaruhi arah perkembangan seni itu sendiri. Dan tidak setiap penulis tentang seni akan dianggap atau bersedia menganggap dirinya sebagai “kritikus” seni, seperti yang biasa terjadi di Indonesia. Arti istilah “kritik(us)” tidak dianggap main-main karena adanya pertanggungjawaban profesional diharapkan dari para “kritikus” yang menulis “kritik” seni, karena “kritikus” adalah sebuah “profesi” sama seperti pengacara atau dokter gigi. Seorang Clement Greenberg, misalnya, tidak bisa dipisahkan kehadirannya dengan gerakan seni rupa Ekspresionisme Abstrak di Amerika Serikat yang diperkenalkan dan dibelanya di tahun 1940an, di masa publik seni rupa Amerika Serikat sendiri masih terperangkap dalam euforia Cubisme Picasso. Seorang diri dia berhasil menjatuhkan pamor mapan Cubisme di New York tahun 1940an dan menggantikannya dengan sebuah gerakan seni lokal yang tidak dianggap apa-apa sebelumnya karena asal-usul lokalnya itu (bukan made-in-Paris, seperti Cubisme), yaitu Ekspresionisme Abstrak, atau Abstract Expressionism. Kontribusi pemikiran dalam memperkenalkan dan membela Ekspresionisme Abstrak (bukan “Abstrak” Ekspresionis seperti yang biasa disalah-terjemahkan di Indonesia!) yang dilakukan Clement Greenberg terutama lewat esei-esei kritisnya mungkin dapat kita sejajarkan dengan apa yang pernah dilakukan oleh kritikus HB Jassin atas Chairil Anwar dalam sastra modern kita. Orisinalitas pemikiran seperti yang direpresentasikan kedua kritikus seni ini secara umum absen dalam dunia seni kita dan fakta inilah yang merupakan alasan utama kenapa saya menganggap tidak ada tradisi kritik(us) seni dalam dunia seni terutama sastra Indonesia. Di dunia sastra Anglo-Saxon yang berbahasa Inggris, esei-esei penyair Amerika Serikat/Inggris TS Eliot begitu berpengaruh hingga memungkinkan munculnya sebuah gerakan kritik sastra baru di sastra Amerika Serikat, yaitu New Criticism yang berusaha membuat kritik sastra menjadi sebuah sains sama seperti sosiologi atau sejarah. Di negeri Inggris, kritikus sastra FR Leavis melakukan hal yang sama lewat tulisan-tulisan kritik sastranya yang membuatnya menjadi semacam “paus sastra” dunia sastra Inggris. Belum lagi kalau kita juga mempertimbangkan sumbangan para “teoritikus/kritikus” asal Prancis yang mendominasi wacana pemikiran intelektual kontemporer internasional seperti Roland Barthes, Michel Foucault, Jacques Derrida, Jacques Lacan, Julia Kristeva dan Jean Baudrillard! Sementara India yang sama seperti Indonesia merupakan negeri Dunia Ketiga itu harum namanya di dunia intelektual internasional dengan sumbangan pemikiran yang dikenal sebagai Kritik Subaltern atau Kritik Pascakolonial. Kapan para “kritikus” Indonesia bisa menyumbangkan sesuatu yang berarti bagi peradaban manusia!

Krisis “kritik(us)” sastra di Indonesia jauh lebih parah kondisinya daripada “krisis ekonomi” yang, konon, melanda negeri realisme-magis yang terus-menerus dibanjiri dengan mobil mewah, sepeda motor asal Cina dan HP model terakhir ini. Dan masih belum ada tanda-tanda zaman bahwa krisis “kritik(us)” sastra ini akan berakhir dalam waktu dekat. Mungkin penyebab utama terjadinya krisis ini adalah kebiasaan yang umum terjadi di Indonesia bahwa setiap orang yang menulis tentang sesuatu akan dengan mudah langsung saja dianggap sebagai “pakar” sesuatu itu, tanpa ada kekritisan untuk paling tidak “menyangsikan” kebenaran yang dikandung tulisan “pakar” tersebut. Siapa saja menulis “tentang” sastra, misalnya, apalagi kalau dia itu sudah lebih dulu dikenal sebagai sastrawan atau dosen sastra, maka jadi “pakar” atau “kritikus sastra”lah dia. “Kepasrahan” menerima seperti ini kayaknya sudah membudaya hingga hilanglah bekas-bekas “kekritisan” pemikiran yang mungkin pernah ada. Sementara mereka-mereka yang disebut sebagai “pakar/kritikus” itu sendiri nampaknya tidak memiliki problem moral dan intelektual atas sebutan yang diberikan kepada mereka, walau mereka tahu betul bagaimana kebenaran dari realitas intelektual mereka masing-masing.

Ketimbang “menuntut” suatu sikap “I Think, Therefore I Am A Critic” dari mereka-mereka yang mengaku/diakui sebagai “kritikus” sastra Indonesia, kita kayaknya sudah sangat puas dengan sekedar sikap “I Feel (Good), Therefore You Are An Artist” belaka dari mereka! Akibatnya, begitu besarnya rasa percaya diri para “kritikus” ini hingga kalau ada orang yang berani mempertanyakan jatidiri mereka sebagai “kritikus” langsung saja dijawab, seperti yang dilakukan Maman S Mahayana dalam sebuah tulisannya di Kompas beberapa tahun lalu yang berpretensi merespons esei saya tentang krisis kritik(us) sastra, bahwa yang bertanya itu “apriori terhadap kritik” sastra Indonesia. Atau si penanya hanya memiliki “pemahaman yang fragmentaris atas hakikat dan fungsi kritik” sastra! Malah dianjurkannya lagi supaya jangan menyalahkan lantai kalau tak pandai berdansa! Salsa, anyone!

Kalau seorang sastrawan Indonesia, Pramoedya Ananta Toer, sudah berkali-kali menjadi nominasi pemenang hadiah sastra paling bergengsi di dunia, yaitu Hadiah Nobel, bukankah sesuatu yang sangat wajar dan tidak keterlaluan kalau kita juga mengharapkan ada “kritikus sastra” Indonesia yang benar-benar bisa menghasilkan karya “kritik” atas karya sastra Indonesia dan tidak melulu melakukan “penceritaan kembali” atas apa yang sudah retak di luar sana?

Pulang dalam Hujan

Suara Merdeka, 6 Maret 2005, Riau Pos, 19 November 2006
Marhalim Zaini

Kampung-kampung di sini tak pernah memiliki cerita yang lain. Kerentaan dan kehampaan, selain itu waktu yang berjalan sangat lambat. Kepulanganku, seperti juga kepulanganku yang lain, hanya kembali menyaksikan jalan berlubang, berdebu ketika kemarau, banjir dan bencah saat hujan. Ini Desember, hujan membuat tubuh kampung-kampung di sini menggigil. Hujan, berarti juga angin dan tak jarang adalah badai. Hati-hatilah kalau menyebut Selat Melaka, saat musim sedang begini. Atau jangan sesekali bernyanyi lagu Lancang Kuning, kalau tak ingin atap rumbia rumah penduduk terbang seperti kapas, dan pohon-pohon kelapa bertahlil, tak jarang menimpuk jalan, kedai, rumah, bahkan manusia. Entahlah, begitu keramatnya nama-nama itu. Tak seorang pun mengerti, sejak kapan sebutan itu dapat mengundang badai. Yang pasti, kalau mau aman dan selamat, tolonglah jangan sebut nama-nama itu. Dan tengoklah, mulai naik dari pelabuhan kecil tadi, kita seperti berjalan di atas anak sungai. Genangan air hujan bercampur dengan air sungai asin yang naik pasang, meluap. Aku tak heran, dan berusaha meyakinkan pada istriku untuk turut tidak heran. Aku bilang, ini ciri yang paling istimewa untuk kampung-kampung di pulau ini. Kau selalu menontonnya di televisi, bukan?

“Dari kecil, aku penggemar air. Jadi sebaiknya jangan membenci air.”
Istriku tersenyum pahit. Sebab ia sempat memergoki aku belajar berenang di sebuah kolam renang sewaktu di Jogja dulu. Sejak itu aku merajuk, dan tak pernah lagi belajar berenang. Aku memang aneh. Anak pelaut, yang tak bisa berenang. Aku kadang malu. Malu untuk identitas yang tak jelas itu. Seringkali aku menolak ajakan istriku untuk ke Umbangtirta, sebuah tempat pemandian di Kridosono Jogja. Aku beralasan, aku lebih suka mandi di parit, atau di sungai di kampung. “Kau pasti merasa lebih puas kalau mandi di parit atau di sungai,” kataku, “sebab kau bisa menyaksikan air berkejaran mengalir menuju dadamu, sentuhannya yang alami, ah….” Tapi dalam kondisi banjir seperti ini, kalau keadaan mendesak, aku kira, aku bisa berenang.

Oplet berjalan dalam hujan, seperti seorang renta yang memaksakan diri untuk berlari (benar, kampung ini memang tak memiliki cerita yang lain; kerentaan). Dan sejak di Pekanbaru hujan memang sudah turun. Tapi kami memutuskan untuk tetap berangkat, pulang ke Bengkalis. Menunggu hari tidak hujan, sepertinya tak mungkin. Desember acapkali tak meninggalkan hari tanpa hujan, bukan? Sementara hari pesta perkawinan adikku sudah dekat, dan tiket sped boat sudah dipesan jauh-jauh hari. Inilah kali pertama, pulang bersama istri, setelah satu tahun perkawinan kami. Pulang dalam hujan.

Sudah kubayangkan, oplet ini pasti sesak. Jarak kabupaten yang jauh, dan tak gampang ditempuh, tak menyurutkan keinginan orang-orang untuk berbelanja keseharian, meski dalam hujan. Dan biasanya, yang paling rajin berbelanja adalah mereka. Kami menyebut mereka Orang Asli. Mereka tinggal dalam rumah-rumah panggung yang menyerupai gubuk-gubuk di sebuah kampung, yang terletak di tepian sungai di sepanjang jalan menuju kampung kami. Bagi mereka, berbelanja adalah hobi. Tak puas rasanya kalau uang hasil dari kerja balak dan menjaring ikan tak dibelanjakan, terutama untuk membeli makanan. Biarlah uang habis untuk hari ini, besok bisa cari lagi. Kais pagi makan pagi, kais petang makan petang.

Kondisi inilah yang seringkali membuat aku malas untuk pulang. Malas bersesakan selama satu setengah jam dalam oplet, dalam uap tubuh-tubuh yang bau amis. Entah kenapa, tubuh-tubuh Orang Asli ini seperti akuarium, seperti menyimpan ikan-ikan mentah yang masih hidup. Mungkin karena asal usul mereka yang akrab dengan kehidupan laut, atau mungkin karena mereka memang gemar memakan ikan-ikan segar setengah matang. Atau, karena mereka mandi di parit-parit kecil di depan rumah mereka, tempat segala sesuatunya dibersihkan, termasuk anjing-anjing piaraan mereka. Jadi, tentu saja, mandi yang sangat sederhana dan ala kadarnya.

Senja yang mulai jatuh. Hujan yang terus menderas. Dari balik kaca jendela mobil yang buram, hutan-hutan bakau seperti bayangan-bayangan rambut yang kacau. Perutku, dan aku kira juga dalam perut istriku, sedang berenang ratusan ikan-ikan mentah. Goyangan oplet, goyangan tubuh-tubuh, tampak seperti bandul jam yang malas dan teler. Terus terang, kami, aku dan istriku, menahan mual. Kepalanya mulai rebah, seperti pohon kelapa yang tumbang di bahuku. Pening, katanya. Aku tentu harus pura-pura bertahan, menegakkan bahu, membuat posisi kepala istriku tampak nyaman. Mereka, orang-orang Asli itu, dua-tiga di antaranya belum berhenti berkicau sejak ia mulai naik dari pasar tadi. Sementara empat-lima yang lain, belum berhenti menikmati tembakau lintingnya. Bayangkanlah, betapa kami benar-benar sedang teler dalam ruang diskotik yang sedang berjalan dalam genangan air ini. Semoga saja kami tidak muntah. Dan mereka? Aku tak heran. Mereka memang selalu tampak bersahaja. Mereka sudah amat terbiasa dengan gelombang, dengan sampan kecil yang bergoyang. Hidup tampaknya belum berhasil memabukkan mereka.

Tapi jangan bayangkan bahwa mereka telanjang, seperti orang-orang suku pedalaman yang masih sangat primitif. Paling tidak, mereka telah mengerti mana anggota tubuh yang tidak pantas diperlihatkan orang banyak. Pakaian mereka tidak jauh berbeda dengan kita. Bahkan lebih rapi dan santun dari orang modern. Cuma, selera mereka terhadap warna, sama halnya selera mereka terhadap makanan. Apapun dan serupa apapun, asal enak dan nyaman, maka mereka telan dan kenakan. Sekilas, mereka memang tampak seperti boneka-boneka yang aneh. Kulitnya yang gelap, dan jenis rambut yang rata-rata keriting, ada yang bergigi warna emas dan perak, pergelangan tangan dan jari yang dipenuhi mastasi (mas yang di dalamnya besi), murah senyum dan sangat percaya diri. Tapi, tolonglah, tinggalkan ikan-ikan itu di rumah, kami sedang tidak suka ikan segar…

Senja benar-benar telah jatuh. Kenapa hujan tak juga berhenti? Udara dingin nyelinap dari lubang dan celah, mencuri ruang dari kesadaran kami yang belum penuh dan utuh. Oplet ini kian menghitam. Hanya cahaya dari lampu mobil di bagian depan, yang sesekali membias. Istriku melenguh. Merapatkan tubuhnya ke tubuhku. Hujan dan dingin memang milik para pengantin. Meski sudah satu tahun kami kawin, kami merasa masih menjadi sepasang pengantin. Bukankah demikian sebaiknya? Masih pening, tanyaku. Penat, katanya. Aku hanya bisa mengatakan, tidak seberapa jauh lagi. Dan ia kembali merebahkan kepalanya ke bahuku, yang rasanya agak penyok. Tapi, sekali lagi aku harus berpura-pura bertahan. Lelaki selalu berpura-pura, bukan?

Satu persatu mereka turun. Yang tersisa hanya seorang lelaki dan seorang perempuan, hampir seusia, tengah baya. Menurutku, mereka sepasang suami istri. Dan aku kira, rumah mereka terletak di ujung kampung ini. Oplet kembali merangkak menembus malam. Ketahuilah, malam di pulau ini, tepatnya di kecamatan Bantan, bagiku selalu menyisakan keasingan. Ia menyerupai sebuah rumah kuno dan tua yang ditinggal penghuninya selama ratusan tahun. Dan seringkali, bagiku malam di kampung ini adalah seperti mimpi buruk yang tak terelakkan. Gelap yang pekat. Lubang hitam yang teramat dalam. Listrik, baru berupa tiang-tiang sebesar dan setinggi pohon kelapa, tertancap di sepanjang jalan. Entah telah berapa tahun. Seingatku, sejak kami, aku dan abangku, masih rajin pergi mengaji di surau dulu, dengan alat penerangan colok yang terbuat dari belarak kelapa, tiang-tiang itu telah berdiri di sana. Berdiri seperti patung tua yang angkuh.

“Turun kak sikak, Bang!”
Benar, kataku, mereka suami istri. Mereka turun di ujung kampung ini. Itu, titik api dalam rimbunan gelap, pasti rumah mereka. Ah, lega rasanya. Tinggal kami berdua, tentu perjalanan akan lebih nyaman. Meski, rasanya ikan-ikan mentah itu masih tertinggal di sini…

Baru sekitar sepuluh meter oplet berjalan, tiba-tiba mesinnya mati. Sopir mencoba berulang kali menghidupkannya kembali, tapi tak berhasil. “Ah, berulah lagi!” Ia merutuk sendiri. Dan kami mencoba untuk tenang. Meski, terus terang, ada perasaan-perasaan yang tak sedap berselirat dalam diri kami. Sebuah malam dan mimpi buruk yang tak terelakkan. Gelap yang pekat. Lubang hitam yang teramat dalam. Sesuatu yang tak terduga bisa saja berlaku. Tak ada penerang, kecuali sebuah senter kecil yang malap di tangan sopir yang sedang mengotak-atik mesin oplet. Kenapa hujan tak juga berhenti? Kami seperti sepasang manusia yang dikarantina dalam penjara bawah tanah yang bau bangkai ikan, bau badan sendiri yang sudah melebihi bau bangkai ikan, yang sedang berbisik-bisik tentang kerisauan. Risau tentang malam yang kian larut. Risau tentang mereka, keluarga di kampung, yang tentu saja juga sedang menunggu dan merisaukan kami. Risau, kalau-kalau sesuatu terjadi dan membuat kami celaka. Risau kalau-kalau ada Orang Asli yang mabuk arak, minta duit dengan paksa. Atau Orang Asli yang sengaja membuat kami (orang-orang Teluk) menjadi takut dengan tiba-tiba membakar oplet rongsokan ini. Maklumlah, dendam lama. Konon, dulu salah satu oplet milik orang Teluk pernah menabrak seekor anjing piaraan Orang Asli, dan berujung dengan dendam. Sebab sampai sekarang dendam itu belum terbalas. Ah, dalam situasi serupa ini, waktu terasa bergerak semakin lambat.

Sopir menghampiri kami. Dia mengatakan, bahwa mesinnya tak bisa hidup. Mungkin genangan air sepanjang perjalanan adalah penyebabnya. Kami tak menjawab sepatah pun, kata-kata seperti tersekat di tenggorokan. Malam memang benar-benar telah menjelma sebagai mimpi (yang sangat) buruk. Dan lalu? Solusinya kami harus tidur dalam oplet. Sebab ini adalah angkutan terakhir. Besok pagi, baru ada oplet lain yang lewat. Sesuatu yang tak sempat dan tak pernah kami bayangkan sebelumnya.

Belum sempat kami terlelap, di balik kaca yang lembab, aku melihat cahaya yang mendekat. Seorang lelaki hitam dan keriting, di tangannya sebuah colok dari bambu. Seorang lelaki yang sepertinya tak begitu asing. Ya, lelaki paruh baya yang tadi sama-sama menumpang di oplet sialan ini. Aku sedikit terkejut. Apa maunya Orang Asli ini? Apa mereka tak berkenan kalau kami berhenti tepat di wilayah tanah mereka? Numpang tidur satu malam dalam bangkai oplet?

“Mikek, bisak tidok di rumah kami.”
Apa? Tidur di rumah kalian? Sungguh, sebuah malam dan mimpi buruk yang tak terelakkan. Gelap yang pekat. Lubang hitam yang teramat dalam. Kenapa hujan tak juga berhenti? Ah, tiba-tiba aku mencium bau amis di sekujur tubuhku.***

Pekanbaru, 2005.

PIKIRAN SALAH YANG DIPERTAHANKAN

Judul Buku : Delusi
Pengarang : Supaat I. Lathief
Jenis Buku : Novel
Prolog : Maman S Mahayana
Epilog : Herry Lamongan
Penerbit : PUstaka puJAngga, Lamongan, Januari 2010
Tebal Buku : 224 hlm; 12 x 19 cm
Peresensi : Imamuddin SA.

Mitos, kepercayaan, keyakinan dan keimanan merupakan satu hal yang utuh. Dapat diibaratkan dengan segelas teh atau susu. Membangun paradigma yang sulit terpisahkan. Dalam sebuah mitologi, orang yang percaya akan adanya roh halus, ia secara tidak lansung telah meyakini akan keberadaannya. Apabila ia telah yakin, keimanan pun tumbuh dalam hati kecilnya meski itu hanya seberat biji dzarrah.

Membaca Delusi, kita akan diajak menyelam jauh lebih dalam tentang perjalanan mitos yang berkembang di masyarakat Jawa. Pikiran kita seolah dibangkitkat kembali akan fenomena budaya Jawa klasik yang dalam modernitas ini lahan-perlahan mulai terkikis oleh budaya-budaya baru. Kita diajak kembali menengok akar budaya bangsa. Selain itu kita akan dihidangkan dengan eksistensi penyebaran agama Islam sebagai pewarna dalam tradisi kejawen. Tidak menolak, tetapi larut seperti gula ke dalam air. Dengan ajaran agama Islam, tradisi kejawen menjadi lebih manis jika dirasakan oleh kebanyakan masyarakat.

Kisah dalam Delusi mengambil Desa Woh sebagai setting utamanya. Desa tersebut merupakan suatu desa yang masyarakatnya masih menunjukkan intensitas tinggi terhadap kepercayaan dengan danyang. Yaitu makhluk halus penguasa desa yang memiliki kekuatan supranatural yang dipercaya sebagai pemberi rezeki, pelindung, pemberi keberuntungan dan mala petaka. Taraf berfikir masyarakat desa tersebut rata-rata masih terbelakang. Tidak aneh jika kehidupan masyarakat tampak primitif, buta aksara, tuna pengetahuan, bahkan gagap religius.

Melalui tokoh Madun, kisah ini dikembangkan. Meskipun itu ada cukup banyak tokoh di dalamnya, seperti Pri, Qin, Masyarakat, Karmin (Bapak Madun), Pasinem (Ibu Madun), Pak San (seorang guru), Ki Wasesa, Karti, Sarmili, Kasmin, Karmin, Bu Nis, Pak Kasan, Pak Darmo. Madunlah yang menjadi pembuka konflik mitos dalam Delusi ini. Cerita ini bermula ketika Madun sedang diajak ayahnya pergi ke sawah. Ia memakan sesajen untuk para danyang yang ditempatkan di sawah. Padahal dalam mitos masyarakat, setelah sesajen disajikan, tidak seorang pun yang diperbolehkan menyentuhnya, apalagi sampai berani memakannya. Jika hal itu dilakukan oleh seseorang, maka ada indikasi danyang akan marah dan orang tersebut akan terkena mala petaka, bahkan seluruh masyarakat pun akan terkena mala petaka juga.

Setelah memakan sesajen itu, Madun tiba-tiba jatuh sakit. Sakitnya, sakit perut. Ibunya merasa bingun dengan sakitnya Madun. Ia ke sana-ke mari membelikan obat untuknya tetapi semua obat di warung habis. Katanya sudah dibeli warga yang anaknya juga mengalami sakit perut. Saat itu Bapak Madun, sempat bercerita kepada istrinya tentang ulah Madun yang memakan sesajen di sawah. Saat mendengar cerita itu, Ibu Madun sedikit kaget. Ia lantas berfikiran bahwa sakit Madun akibat tulah danyang sebab sesajenya telah dimakan anaknya. Selain itu, akibat ulah Madun anak-anak yang lain juga terkena getahnya. Mereka mengalami sakit seperti yang dialami Madun. Pada dasarnya Bapak dan Ibu Madun tidak percaya dengan tahayul tentang danyang-danyang dan sesajen. Tapi pada akirnya mereka ikut arus masyarakat karena takut dengan masyarakat yang lain yang mempercayai dengan tahayul itu. Ibu Madun lalu bertanya kepada suaminya, apakah ada orang yang tahu tentang ulah Madun yang memakan sajen itu. Suaminya pun menjawab bahwa tidak ada orang yang tahu kecuali dia sendiri dan Pri yang telah diberitahu oleh Madun. Tapi ia menyarankan agar tidak hawar kepada Pri. Sebab Pri telah didoktrinnya bahwa Madun telah membohonginya. Dan Pri pun mempercayainya.

Tak lama kemudian timbul desas-desus tentang wabah penyakit yang menyerang anak-anak Desa Woh. Warga beranggapan bahwa penyakit tersebut akibat balak dari danyang desa. Hati Bapak dan Ibu Madun semakin was-was mendengar ungkapan itu. Mereka takut bahwa warga telah tahu tentang ulah Madun yang memakan sesajen para danyang. Tapi tidak, warga beranggapan lain. Mereka berfikir kalau wabah itu dipicu oleh sikap dan ulah anak-anak yang kerap bermain di kali dengan seenaknya saja. Anak-anak kerap merigis dan membuat mainan kali sesuka hati mereka. Bagi mereka, sebab itulah anak-anak banyak yang sakit. Dan kali harus segera diberi sajen yang lebih banyak.

Hampir seluruh orang mengiyakan dan menyiapkan sajen untuk kali tempat mandi Madun, Pri, dan Kawan-kawannya. Mereka menyiapkan sesajen dan akan melakukan upacara di kali malam hari secara bersama-sama. Tak ketinggalan juga dengan Bapak dan Ibu Madun. Biarpun mereka berdua sudah tak percaya lagi dengan balak dan danyang, namun mereka takut akan keirian warga yang akan menimbulkan masalah. Jadi ibu Madun menyiapkan sesajen sederhana. Bapak pun mengikuti upacara di kali dan menaruh sesajen di sana bersama warga yang lain.

Suasana seperti itu masih kental dilakukan oleh masyarakat Desa Woh. Ritual untuk para danyang dan sesajen-sesajen kerap dilakukan ketika ada setiap permasalahan yang timbul di desa itu. Mereka masi merasa bahwa permasalahan-permasalahan yang menimpa warga desa adalah balak dari danyang akibat dari perilaku yang menyimpang oleh masyarakat atau anak-anak. Selain itu ritual untuk para danyang dengan sesajen-sesajen itu dilakukan ketika warga desa banyak memperoleh keberuntungan yang melimpah ruah dari hasil pertanianya. Namun seiring dengan berjalannya waktu, dengan masuknya ajaran agama Islam di desa itu, praktik ritual untuk para danyang sedikit bergeser persepsi dan pelaksanaannya. Sesajen kini tidak lagi dibiarkan membusuk dan sia-sia tak termakan. Ritual itu selanjutnya bergeser menjadi upacara doa-doa yang dilanjutkan dengan memakan seluruh sesajen yang ada oleh warga yang hadir. Fenomena itu terasa diakhir ceritanya. Diakhir cerita, para warga mengadakan syukuran atas kondisi desa yang gema ripa lohjinawe. Masyarakatnya tentram dan damai. Selain itu, di desa tersebut kemudian didirikan sebuah masjid sebagai tempat ritual keagamaan ajaran agama Islam yang lahan-perlahan mulai dipeluk oleh setiap warga.

Novel Delusi ini dibangun dari beberapa sub judul. Ada dia belas sub judul di dalamnya. Kedua belas sub judul itu adalah: Tingkah Sumbang, Simpang Keindahan, Tengah Kumamang, Tepian Langkah, Padang Rimba, Runtuhan Senyum, Lukisan Kedamaian, Lukisan Fatamorgana, Tarian Termanis, Pekat Kepalsuan, Samar Keutuhan, dan terakhir ditutup dengan Perayaan Delusi. Secara keseluruhan, novel ini enak untuk diapresiasi oleh pembaca. Di dalamnya terdapat nilai-nilai katarsis yang layak direnungkan. Tentang nilai-nilai budaya Jawa dan tentang waham atau tahayul yang kemudian tercerajkan oleh iman Islami. Alur yang dibangunnya begitu juntrung. Bahasanya sederhana dan komunikatif sehingga tak melelahkan saat dilakukan proses apresiatif.

Akan tetapi, novel ini tampaknya kurang memberi keleluasaan penikmat untuk berimajinasi lebih jauh. Kisahan novel ini tersaji sangat hitam putih. Bahkan untuk proses percintaan antara Karmin dan Pasinem hingga menjadi suami istri pada kehidupan masyarakat tahun 70-an terlalu sederhana. Tidak ada kesan yang menggigit dalam perjalanan ke pelaminan. Padahal mereka notabenenya adalah berasal dari desa yang kultur masyarakatnya berbeda jauh, baik dari pendidikan, agama, kebudayaan, dan lain-lain. Selain itu suasana batin Karmin dan Pasinem hampir tidak tersentuh. Dari setting antara Desa Woh dan Desa Legi terasa berat sebelah. Padahal desa ini bersebelahan. Kedua desa itu memiliki kultur masyarakat yang berbeda jauh. Seolah-olah Desa Woh berada di bawah permukaan bumi. Desa Legi jauh lebih maju dan warna-warni, tak sebanding dengan Desa Woh yang berantakan lahir-batin. Meskipun begitu, pembaca akan menemukan sesuatu yang lain dan lebih dari novel ini. Sebab novel ini berusaha menggali, mengungkapkam, dan menawarkan persoalan etnisitas yang dikemas dalam kisah nostalgia: tentang potret anak desa, sistem kepercayaan, dan segala aspek yang hidup dalam ingatan kolektif masyarakat pedesaan di Jawa. Di dalamnya, pembaca akan berjumpa dengan sesuatu yang eksotik dan menawan. Selanjutnya, selamat menikmati dan mengapresiasi.

A Musthafa A Rodhi Murtadho A Wahyu Kristianto A. Mustofa Bisri A. Qorib Hidayatullah A. Zakky Zulhazmi A.J. Susmana A.S. Laksana Aang Fatihul Islam Abdul Azis Sukarno Abdul Aziz Rasjid Abdul Hadi W. M. Abdul Kadir Ibrahim Abdul Malik Abdul Wachid BS Abdullah al-Mustofa Abdullah Khusairi Abdurrahman Wahid Abidah El Khalieqy Abimanyu Abimardha Kurniawan Abroorza A. Yusra Acep Iwan Saidi Acep Zamzam Noor Achmad Maulani Adek Alwi Adhi Pandoyo Adrian Ramdani Ady Amar Afrizal Malna Agnes Rita Sulistyawati Aguk Irawan Mn Agus R. Sarjono Agus Riadi Agus Subiyakto Agus Sulton Aguslia Hidayah Ahda Imran Ahm Soleh Ahmad Farid Tuasikal Ahmad Farid Yahya Ahmad Fatoni Ahmad Kekal Hamdani Ahmad Luthfi Ahmad Muchlish Amrin Ahmad Nurhasim Ahmad Sahidah Ahmad Syauqi Sumbawi Ahmad Yulden Erwin Ahmad Zaini Ahmadie Thaha Ahmadun Yosi Herfanda Ainur Rasyid AJ Susmana Ajip Rosidi Akhiriyati Sundari Akhmad Muhaimin Azzet Akhmad Sekhu Alan Woods Alex R. Nainggolan Alexander Aur Alexander G.B. Alfian Dippahatang Ali Audah Ali Rif’an Aliela Alimuddin Alit S. Rini Alunk Estohank Ami Herman Amich Alhumami Amien Wangsitalaja Aming Aminoedhin Aminudin TH Siregar Ammilya Rostika Sari An. Ismanto Anaz Andaru Ratnasari Andhi Setyo Wibowo Andhika Prayoga Andong Buku #3 Andrenaline Katarsis Andri Cahyadi Angela Anies Baswedan Anindita S Thayf Anjrah Lelono Broto Anton Kurnia Anton Sudibyo Anton Wahyudi Anwar Holid Anwar Siswadi Aprinus Salam Arie MP Tamba Arif Hidayat Arif Zulkifli Arti Bumi Intaran Asarpin Asep Sambodja Asvi Warman Adam Awalludin GD Mualif Ayu Utami Azyumardi Azra Babe Derwan Bagja Hidayat Balada Bandung Mawardi Bayu Agustari Adha Beni Setia Benni Setiawan Benny Benke Bentara Budaya Yogyakarta Berita Bernadette Lilia Nova Bernando J. Sujibto Berthold Damshäuser Bhakti Hariani Binhad Nurrohmat Bokor Hutasuhut Bonari Nabonenar Brunel University London Budaya Budhi Setyawan Budi Darma Budi Hutasuhut Budi P. Hatees Budi Winarto Buku Kritik Sastra Buldanul Khuri Bustan Basir Maras Camelia Mafaza Capres dan Cawapres 2019 Catatan Cecep Syamsul Hari Cerpen Chairil Anwar Chamim Kohari Choirul Rikzqa D. Dudu A.R D. Dudu AR D. Zawawi Imron Dahono Fitrianto Dahta Gautama Damanhuri Damar Juniarto Damhuri Muhammad Damiri Mahmud Dantje S Moeis Darju Prasetya Darma Putra Darman Moenir Darmanto Jatman Dedy Tri Riyadi Delvi Yandra Denny JA Denny Mizhar Dewi Anggraeni Dian Basuki Dian Hartati Dian Sukarno Dian Yanuardy Diana AV Sasa Dinar Rahayu Djenar Maesa Ayu Djoko Pitono Djoko Saryono Doddi Ahmad Fauji Dody Kristianto Donny Anggoro Donny Syofyan Dorothea Rosa Herliany Dwi Cipta Dwi Fitria Dwi Pranoto Dwi S. Wibowo Dwicipta Edeng Syamsul Ma’arif Edi Warsidi Edy Firmansyah EH Kartanegara Eka Alam Sari Eka Budianta Eka Kurniawan Eko Darmoko Ellyn Novellin Elnisya Mahendra Emha Ainun Nadjib Emil Amir Engkos Kosnadi Esai Esha Tegar Putra Evan Ys F. Budi Hardiman Fadly Rahman Fahmi Fahrudin Nasrulloh Faisal Kamandobat Fani Ayudea Fariz al-Nizar Faruk HT Fatah Anshori Fatah Yasin Noor Fatkhul Anas Fatkhul Aziz Felix K. Nesi Film Fitri Yani Franditya Utomo Fuska Sani Evani Gabriel Garcia Marquez Gandra Gupta Garna Raditya Gde Artawan Geger Riyanto Gendhotwukir George Soedarsono Esthu Gerakan Surah Buku (GSB) Goenawan Mohamad Grathia Pitaloka Gunawan Budi Susanto Gunawan Tri Atmojo H. Supriono Muslich H.B. Jassin Hadi Napster Halim H.D. Hamberan Syahbana Hamidah Abdurrachman Han Gagas Hardi Hamzah Haris del Hakim Haris Priyatna Hasan Aspahani Hasan Gauk Hasan Junus Hasnan Bachtiar Helvy Tiana Rosa Helwatin Najwa Hendra Junaedi Hendra Makmur Hendriyo Widi Ismanto Hepi Andi Bastoni Heri Latief Heri Listianto Herry Firyansyah Heru Untung Leksono Hikmat Darmawan Hilal Ahmad Hilyatul Auliya Holy Adib Hudan Hidayat Hudan Nur Husnun N Djuraid I Nyoman Suaka Ibnu Rizal Ibnu Rusydi Ibnu Wahyudi IGK Tribana Ignas Kleden Ignatius Haryanto Iksan Basoeky Ilenk Rembulan Ilham khoiri Imam Jazuli Imam Nawawi Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Iman Budi Santosa Imelda Imron Arlado Imron Tohari Indiar Manggara Indira Margareta Indra Darmawan Indra Tjahyadi Indra Tranggono Indrian Koto Ingki Rinaldi Insaf Albert Tarigan Intan Hs Isbedy Stiawan ZS Ismail Amin Ismi Wahid Ivan Haris Iwan Gunadi Jacob Sumardjo Jafar Fakhrurozi Jajang R Kawentar Janual Aidi Javed Paul Syatha Jean-Marie Gustave Le Clezio JJ. Kusni Joko Pinurbo Joko Sandur Joko Widodo Joni Ariadinata Jual Buku Paket Hemat Julika Hasanah Julizar Kasiri Jumari HS Junaidi Jusuf AN Kadir Ruslan Kartika Candra Kasnadi Katrin Bandel Kenedi Nurhan Ketut Yuliarsa KH. Ma'ruf Amin Khaerudin Khalil Zuhdy Lawna Kholilul Rohman Ahmad Komunitas Deo Gratias Komunitas Teater Sekolah Kabupaten Gresik (KOTA SEGER) Korrie Layun Rampan Krisandi Dewi Kritik Sastra Kucing Oren Kuswinarto Langgeng Widodo Lathifa Akmaliyah Latief S. Nugraha Leila S. Chudori Lenah Susianty Leon Agusta Lina Kelana Linda Sarmili Liston P. Siregar Liza Wahyuninto M Shoim Anwar M. Arman A.Z. M. Fadjroel Rachman M. Faizi M. Harya Ramdhoni M. Kasim M. Latief M. Wildan Habibi M. Yoesoef M.D. Atmaja Mahdi Idris Mahmud Jauhari Ali Mahwi Air Tawar Malkan Junaidi Maman S. Mahayana Mardi Luhung Marhalim Zaini Maria hartiningsih Maria Serenada Sinurat Mario F. Lawi Maroeli Simbolon S. Sn Marsus Banjarbarat Marwanto Mas Ruscitadewi Masdharmadji Mashuri Masriadi Mawar Kusuma Wulan Max Arifin Melani Budianta Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia Mezra E. Pellondou Micky Hidayat Mihar Harahap Misbahus Surur Moh Samsul Arifin Moh. Syafari Firdaus Mohamad Asrori Mulky Mohammad Afifuddin Mohammad Fadlul Rahman Muh Kholid A.S. Muh. Muhlisin Muhajir Arifin Muhamad Sulhanudin Muhammad Al-Fayyadl Muhammad Amin Muhammad Azka Fahriza Muhammad Rain Muhammad Subhan Muhammad Yasir Muhammad Zuriat Fadil Muhammadun A.S Muhidin M. Dahlan Musa Ismail Musfi Efrizal Mustafa Ismail Nafi’ah Al-Ma’rab Naskah Teater Nezar Patria Nina Setyawati Nirwan Ahmad Arsuka Nirwan Dewanto Noor H. Dee Noval Maliki Nunuy Nurhayati Nur Haryanto Nurani Soyomukti Nurel Javissyarqi Nurhadi BW Nurudin Octavio Paz Oliviaks Orasi Budaya Akhir Tahun 2018 Pablo Neruda Pamusuk Eneste Panda MT Siallagan Pandu Jakasurya PDS H.B. Jassin Philipus Parera Pradewi Tri Chatami Pramoedya Ananta Toer Pramono Pranita Dewi Pringadi AS Prosa Puisi Puisi Menolak Korupsi PuJa Puji Santosa Puput Amiranti N Purnawan Andra PUstaka puJAngga Putri Utami Putu Fajar Arcana Putu Wijaya Qaris Tajudin R Sutandya Yudha Khaidar R. Sugiarti R. Timur Budi Raja R.N. Bayu Aji Rachmad Djoko Pradopo Radhar Panca Dahana Rahmadi Usman Rahmat Sudirman Rahmat Sularso Nh Rahmat Sutandya Yudhanto Raihul Fadjri Rainer Maria Rilke Raja Ali Haji Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Raudal Tanjung Banua Reiny Dwinanda Remy Sylado Resensi Revolusi Riadi Ngasiran Ribut Wijoto Ridha al Qadri Ridwan Munawwar Rikobidik Riri Riris K. Toha-Sarumpaet Risang Anom Pujayanto Rizky Andriati Pohan Robert Frost Robin Al Kautsar Robin Dos Santos Soares Rodli TL Rofiqi Hasan Rohman Budijanto Romi Febriyanto Saputro Rosihan Anwar RR Miranda Rudy Policarpus Rukardi S Yoga S. Jai S.I. Poeradisastra S.W. Teofani Sabam Siagian Sabrank Suparno Saiful Amin Ghofur Sainul Hermawan Sajak Sakinah Annisa Mariz Salamet Wahedi Salman Rusydie Anwar Samsudin Adlawi Sapardi Djoko Damono Sartika Dian Nuraini Sastra Sastra Gerilyawan Sastri Sunarti Satmoko Budi Santoso Saut Situmorang Sejarah Sekolah Literasi Gratis (SLG) SelaSastra SelaSastra ke #24 Selasih Seno Gumira Ajidarma Seno Joko Suyono Sergi Sutanto Shadiqin Sudirman Shiny.ane el’poesya Sidik Nugroho Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Simo Sungelebak Karanggeneng Lamongan Siti Sa’adah Sitok Srengenge Siwi Dwi Saputro Sjifa Amori Sofyan RH. Zaid Soni Farid Maulana Sony Prasetyotomo Sosiawan Leak Sri Wintala Achmad Sri Wulan Rujiati Mulyadi Subhan SD Suci Ayu Latifah Sulaiman Djaya Sulistiyo Suparno Sunaryo Broto Sunaryono Basuki Ks Sungatno Sunlie Thomas Alexander Sunudyantoro Suriali Andi Kustomo Suryadi Suryansyah Suryanto Sastroatmodjo Susi Ivvaty Susianna Susilowati Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Suwardi Endraswara Syaifuddin Gani Syaiful Bahri Syam Sdp Syarif Hidayatullah Tajuddin Noor Ganie Tammalele Tan Malaka Taufik Ikram Jamil Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat Teguh Trianton Tengsoe Tjahjono Th Pudjo Widijanto Thayeb Loh Angen Theresia Purbandini Tia Setiadi Tito Sianipar Tiya Hapitiawati Tjahjono Widarmanto Tjahjono Widijanto Toko Buku Murah PUstaka puJAngga Tosa Poetra Tri Joko Susilo Triyanto Triwikromo Tu-ngang Iskandar Udo Z. Karzi Uly Giznawati Umar Fauzi Umar Kayam Undri Uniawati Universitas Indonesia UU Hamidy Vyan Tashwirul Afkar W Haryanto W.S. Rendra Wahyudin Wannofri Samry Warung Boenga Ketjil Waskiti G Sasongko Wawan Eko Yulianto Wawancara Web Warouw Wijang Wharek Wiko Antoni Wina Bojonegoro Wira Apri Pratiwi Wiratmo Soekito Wishnubroto Widarso Wiwik Hastuti Wiwik Hidayati Wong Wing King WS Rendra Xu Xi (Sussy Komala) Y. Thendra BP Y. Wibowo Yani Arifin Sholikin Yesi Devisa Yohanes Sehandi Yona Primadesi Yosi M. Giri Yusi Avianto Pareanom Yusri Fajar Yusrizal KW Yuval Noah Harari Yuyu AN Krisna Zaki Zubaidi Zalfeni Wimra Zawawi Se Zehan Zareez Zen Hae Zhaenal Fanani Zuarman Ahmad Zulfikar Akbar Zulhasril Nasir