Selasa, 20 April 2010

SYEKH BEJIRUM DAN RAJAH ANJING

Fahrudin Nasrulloh
http://lembahpring.multiply.com/

Satu

Mulanya hanyalah sebuah pertemuan tak terduga. Perjumpaan sekilas yang menggebyar takjub ihwal sosok petualang tersohor ini, sebagaimana wiracarita yang berkembang ketika itu. Syekh Bejirum bertemu Ibnu Batuta Al-Tanji (lahir di Tangier 1304 M dan wafat 1377 M) di Fez, Maroko, pada 8 November 1369 M, di sebuah kedai minum kecil. Syekh Bejirum sungguh tak menyana dapat bertemu dengan sosok petualang ini. Benaknya mendesis, alangkah takdir ibarat sihir suci hingga dunia bak sebutir pasir dalam cermin di mana setiap manusia tak lain sekibas cermin dari manusia lainnya. Dengan takzim Syekh Bejirum memperkenalkan diri dan berbasa-basi sekena hati. Tapi Ibnu Batuta tak banyak mengumbar cakap; dengan raut tatap aneh dan senyum tertahan garing, ia hanya menyodorkan kepada Syekh Bejirum jilid kelima kitab berjudul Nur al-Yaqin fi Waswasi al-Sihr al-Dunya (Cahaya Keyakinan dalam Muslihat Sihir Dunia).

Pesan lain Ibnu Batuta kepada Syekh Bejirum, sebelum ia pergi tanpa salam pisah, agar meneruskan petualangannya, terutama demi menemukan kelima belas jilid kitab tersebut untuk selanjutnya diserahkan kepada seorang pembesar kerajaan Majapahit di Pulau Jawa. Sejenak Syekh Bejirum seperti dirogoh kesadarannya, memandang lepas bebayang Ibnu Batuta yang menghilang ditelan hirukbising para tuan yang menuntaskan lelah penat dalam mabuk arak dan canda bahak di kedai itu.

Alangkah pertemuan yang teramat singkat nan mencekat kerongkongan, terasa mampat pedat. Seakan arwah sosok ini menyurupi jasadnya. Dengan cambuk kutuk, tanpa ampun, ia bakal bersabung nyawa dalam samudra apiraya. Setidaknya, bagi Syekh Bejirum, ini bukan mimpi sunyi atau tipudaya peristiwa yang melembekkan tantangan sekaligus tugas kelewat muskil itu. Dan memang sejak berusia muda ia telah tersesap kagum akan cerita petualangan Ibnu Batuta. Pikirannya mengabut, kala desir angin mengibaskan kedipan matanya. Di pucuk bayangannya bergentayangan serentang perjalanan mahapanjang ke berbagai benua hingga kelak ia terdampar di pantai utara Pulau Jawa. Lalu dengan hati digentar ngilu, ia membuka kitab itu. Pada halaman pertama sebelum mukaddimah tertoreh:

Segala mata memuja mantra, langit menggelegak di benaman waktu, semesta mengapung dalam pucat dingin subuh. Lekaslah sirna segala bala dan muslihat bayangan dunia, cermin batin lampus menghisap raga, menista segenap tetirah di bumi merah di jiwaluka membara. Duhai iman dan syakwasangka, alangkah mulia pahala dan dosa membadai melebur mengelam diteluh gemuruh surga dan neraka. Selamat datang kisah silam, selamat tinggal kisah mendatang yang tersimpan dalam kitab akhirat. Wahai manusia senjakala, kelak, lenyapkanlah bisikan laknat kitab hitam yang dikobarkan syair maut mayapada dan Jinmenus[1] berajah anjing buta. (Ibnu Batuta Al-Tanji, Nur al-Yaqin fi Waswasi al-Sihr al-Dunya, Jilid V, 1326 M).

Mungkinkah setiap bacaan suci karangan manusia adalah ranah terlarang bagi pembaca yang luput memburu dirinya dan lalai menamai dunia. Atau semua bacaan adalah segala mengada yang sejak silam telah tersimpan di sebuah tempat yang dihuni para makhluk langit, yang tertulis secara azali, dan rahasianya sedikit demi sedikit tersingkap ketika manusia mencerap renik peristiwa namun akhirnya kembali dilelap gulita. Seolah aksara diperuntukkan hidup-mati menerangi kebaikan dan keburukan, dan segala yang hidup bakal terkutuk saat aksara dihirup. Mungkin saja, lantaran tergulung amukan kisah petualangan Ibnu Batuta dalam karya akbarnya Tuhfah al-Nuzaffi Gharaib al-Amsar wa al Ajaib al-Asfar (Persembahan Memabukkan Sang Pengembara tentang Kota-kota Asing dan Petualangan yang Mengagumkan), tak sangsi lagi Syekh Bejirum mulai tersedot untuk mengungkap rahasia ganjil yang terkandung dalam Nur al-Yaqin fi Waswasi al-Sihr al-Dunya. Ia yakin bahwa setiap petualangan bakal membuat si pengelana tergelincir, sampai ia kehilangan diri, tak bertuan tak bertanah, tanpa kubur tanpa nama.

Kedua kitab itu, di kedalaman rayabaca yang menyiksa, telah benar-benar melimbur Syekh Bejirum ke dalam sihirkata berselimut kisah, mengendusi tilas petualangan Ibnu Batuta selama 27 tahun. Bahkan menurut Sir Henry Yules, kendati sejarawan George Sarton agak meragukannya, ia telah mengarungi pelbagai benua sepanjang 75.000 mil melalui daratan dan lautan (melebihi Marco Polo, Hsien Tsieng, Drake dan Magelhain, dan sebelum munculnya mesin uap).

Dua

konon cerita perjalanan Syekh Bejirum hanya dikenal di Nusa Jawa, tapi kemudian beredar hingga mencapai wilayah-wilayah terjauh, dibawa oleh para petualang yang boleh jadi sempat bertemu dengannya. Walau demikian, kisah sosok ini hanya termaktub dalam dua kitab. Kitab pertama, Langgam Seribu Kisah Sehelai Dusta, karya pujangga Pasai, Mahmud Baidur, yang dibunuh tanpa sebab yang jelas oleh cucu Arya Tadah bernama Rakyan Arya Gadah, saat ia mengunjungi gurunya, Empu Candragupta, di Majapahit. Yang kedua, kitab Kidung Sabrang Sukma karya Pangeran Pekik dari Surabaya, kerabat Sultan Agung Mataram.

Selain menyarikan ihwal hikayat kembara Syekh Bejirum, Pangeran Pekik juga mendedahkan ajaran mistik Malamatiyyah[2] sang syekh. Paparan tentang ajaran mistik Malamatiyyah ini merujuk kepada tiga karangan Syekh Bejirum, Zubdatu Afaati al-Azazil fi al-Zuhrah al-Ahmar (Untaian Marabahaya Azazil di Dunia Bintang Merah), Kanzu al-Auliya (Harta Karun Para Wali), dan Qishas al-Ard al-Aswad (Himpunan Kisah dari Tanah Hitam). Konon, ketiga kitab ini merupakan rujukan terpenting dalam menelaah khazanah mistik Jawa di zaman kemudian.

Sejak Mahmud Baidur terbunuh, karyanya juga ikut raib. Maka, hanya karya Pangeran Pekiklah yang tersisa (menurut sebagian sejarawan), meski di kemudian hari, tanpa runtutan alasan yang pasti, memicu denyar kerancuan kisah berselimut dusta. Dalam mukaddimah kitab Kidung Sabrang Sukma, menurut pengakuan sang pengarang, ia sengaja menyalin hampir semua dari tiga karya Syekh Bejirum itu, atau justru di relung remang batin terdalamnya bangkit bisik licik untuk mengocok segala kitab bacaannya (tidak hanya karya Syekh Bejirum, namun juga milik pengarang lainnya). Yang jelas, dalam kitab itu, Pangeran Pekik dengan telaten dan rinci menguraikan beragam tradisi mistik Jawa dengan alegori gnosis India dan Arabia dalam bentuk kisah pengembaraan.

Barangkali Pangeran Pekik sekadar larut dalam kebebalan khayal kitab-kitab yang dibacanya (juga tokoh-tokoh di dalamnya), bahwa di sana terhampar ribuan kisah dalam gelap-terang cecabang mimpi di pejaman mata para pengelana, bayangan seabrek peristiwa tak berjejak yang terus menyesaki ingatan yang lambat laun pudar lalu diriwayatkan kembali dengan mengaca ke seperca cermin maya.

Tiga

Dikisahkan dalam kitab Kidung Sabrang Sukma. Tatkala iman tercerabut terbang mengangkasa, menghilang ditelan kehampaan, terbius kejur pijar bintang Zohrah, tersepuh peluh sabda. Tersebutlah di awal cerita sosok Zahlul Iskandar Tuqluq, seorang Muslim pemuja mantra dari Kalkuta, yang menemukan tumpukan kitab ganjil di sekotak peti yang terpendam di sebuah teluk tak bernama. Di antara tumpukan kitab itu terdapat kitab Nur al-Yaqin fi Waswasi al-Sihr al-Dunya. Ketika membuka dan mencermati lembar demi lembar kitab tersebut, tanpa sama sekali ia sangka, menguar abu beracun yang menggosongkan kedua matanya, dan ia pun seda seketika.

Dikisahkan pula bahwa pada kisaran Agustus 1398, saat tiba di Kalkuta, tiba-tiba Syekh Bejirum dihadiahi sepeti kitab (yang berjumlah lima belas jilid) oleh seorang saudagar asal Hijaz. Alangkah terkejut ia bercampur bahagia sewaktu menyadari bahwa kumpulan kitab itulah yang sedang dicarinya. Suatu berkah atawa maunah bahwa ia tidak mengalami nasib sebagaimana yang dialami Zahlul Iskandar Tuqluq.[3] Ia membawa serta kitab-kitab itu dalam perjalanan ke Swarnadwipa dan Jawa.

Empat

Sekerumun kisah mengabu di sebutir debu di rimba waktu, terhempas diamuk desah azan subuh. Mengekalkan cakap angin, saat bayangan tuhan mengambang di hening awan, menyelinap ke dalam mimpi manusia yang malang, dihembus fajar keabadian. Tak ada jejak kejadian, hanya gentar cermin pikiran, lalu dongeng remang berkabar fana merenggut ruh segala.

Selama kurang lebih sebulan di kapal. Di tengah perjalanan ke Jawa, Syekh Bejirum mempelajari lima belas jilid kitab itu. Setelah ia menyuntuki pasase ketiga dari bagian pendahuluan jilid pertama, ternyata kitab akbar itu dianggit oleh Ibnu Batuta bersama sejumlah pengarang lain, yaitu Huzaimah Tulal Bazimah al-Iraqiy (jilid VI sampai jilid X, Khurasan, 1327 M) dan Bagjaz bin Huzailil Kiram al-Andalusiy (jilid XI sampai XV, Basrah, 1328 M). Sementara pada jilid I sampai V tertoreh nama Ibnu Batuta sebagai pengarang tunggal.

Lima belas jilid kitab itu memuat serangkaian kronik petualangan lintas benua, ilmu alkemi, astronomi, ornitologi, aljabar, mistisisme, dan sejumlah ramalan tentang kejadian-kejadian janggal di Hari Kiamat serta sekelumit ihwal dunia arasy (yang mengisahkan bagaimana Tuhan merancang kehidupan baru di akhirat). Semua kisah, beragam ilmu, ajaran dan ramalan dalam kitab itu mereka tuliskan berdasarkan bisikan Hakhqahzail, Jakhsyakyail, Ghatzyail, Waqzalhail, Dagsyakzail, Kahfadzmahyuz dan Maithatharuz. Ketujuh nama ini menunjuk kepada nama malaikat dan jin muslim. Sebagian dari kitab itu (meski secara acak) diterjemahkan Syekh Bejirum ke dalam bahasa Melayu dan bahasa Jawa Kuno dengan bantuan seorang darmaputra tersohor dari Kahuripan, Wiragil Saketi, dan seorang China totok, Bah Siok Kong, paman bungsu Ma Huan.[4]

Lima

Pada saatnya kelak hingga akhir hayat. Ketika calangmata tersilap aneka kejadian dunia. Saat debur pikiran tersesat ke jurang mimpi yang tak mengenal gelap dan terang, dan ingatan meracau sendiri lewat sunyi lautan kubur api. Sesobek catatan kecil, sekadar tanda dari ajal yang singkat, dari sang abdi berkalung pedang laknat.

Demikianlah kiranya derai amuk dalam benak Rawujil, sosok bertubuh cebol berparas parut pucat asal Desa Bedander dekat Kotapraja Majapahit, yang bersetia sepenuh jiwa mengabdikan seluruh hidupnya kepada Syekh Bejirum. Ia ditugasi sebagai juru tulis, selain melayani keperluan sehari-hari sang tuan. Inilah catatan berharga (dengan aksen tutur yang khas) yang tersisa darinya sebelum kapal yang mereka tumpangi lebur disapu badai hantu ombak laut:

Kurang lebih dua minggu sebelum kapal yang kami naiki tinggal kepingremah dan nyaris tak bersisa di pantai utara Pulau Jawa. Gemuruh ombak bergulungan membadai dari segenap penjuru. Saat itu, langit menghitam dihempaskan taufan Jaljalut bersepuh arwah pahit hujan yang begitu buruk nan miris dikisahkan para malaikat yang dibantai keturunan Iblis Jasim. Dari sinilah asal-usul teka-teki mata tersihir kata, menggerakkan Syekh Bejirum untuk menerjemahkan dan mensyarah kitab entah itu. Selama empat puluh tahun yang lalu, kitab itu telah dipesan oleh Mahesa Wukirlawa, kakek buyut Jagur Banaspati, seorang ahli nujum Prabu Wikramawardana, demi memenuhi impiannya: menggabungkan ilmu kesaktian Jawa dengan sihir jahat dari dunia Arabia demi kelanggengan kejayaan Majapahit. Namun Syekh Bejirum tidak menggubris dengkingcerita itu. Baginya, mungkin, tujuan yang lebih mulia ke Jawa ialah menuntut ilmu sekaligus berdakwah. Kapal kami memang nahas bin celaka. Juga barangkali sudah menjadi takdir sang Hyang Widi Wasa. Nakhodanya pemabuk sableng dari Inggris, Peter Goldberg, dan kekasih lacurnya Panji Brahwala dari Pajajaran. Mungkin laknat mungkin nasib tiada sayang, atau sebab arwah Prabu Wirabumi yang tak tenang di alam barzah. Kami tenggelam di tengah laut. Tiga puluh awak dan seratusan penumpang terlalap badai hantu laut, jasad mereka lantak lalu menjelma menjadi kawanan burung bingis bersayap petir, berupas ular sanca, meraung-raung mengerikan di angkasa malam. Padahal kami kerap mendengar mereka melantunkan tasbih, tahmid dan takbir, bahkan mendaras Al-Quran saban bakda shalat. Bagi kami yang selamat, inilah kekejaman laut yang paling jahanam. Bukan karena kualat atau lantaran sebagian dari kami memendam niat jahat. Seperti tato tentara Tartar, penuh amis liur naga. Ah, Dewa selalu bisa saja merajut cerita dan menyelamatkan lelaki ringkih ini. Namun bagiku, yang lebih menyakitkan ternyata Panji Brahwala kesayanganku tapi lebih dicintai Peter Goldberg, juga ditelan laut bersamanya. Memang ada yang meramalkan, ia bakal mati muda, sebab taji lingganya telah memborok sejak kebiasaan bejatnya itu bermula.[5]

Enam

Di pesisir pantai Tuban, remah sisa bangkai kapal ditemukan. Puluhan prajurit Majapahit menyisir di sepanjang pantai. Dalam keadaan setengah telanjang, Wurajil diseret dua orang prajurit Panglima Cakrawangsa. “Wurajil, benarkah ini tulisanmu? Apakah Syekh Bejirum bersamamu dan membawa kitab Arab berajah anjing itu? Beruntung sekali sekarang kau masih hidup. Ketahuilah, saat ini aku adalah abdi Prabu Wikramawardana. Gustimu, Prabu Bhre Wirabumi, sudah mati. Selesailah Perang Paregrek[6] yang berkepanjangan ini.”

“Dasar pengkhianat, penghasut! Ribuan tentara Majapahit telah menjadi tumbal dalam perang saudara yang konyol ini, termasuk sisa-sisa pengikut Panglima Cheng Ho,” lengking Wurajil seraya menyambar catatan itu dari tangan Panglima Cakrawangsa lalu merobek-robek dan menelannya. Sontak Panglima Cakrawangsa bermurka durja dan terbakar dendam masa silamnya. Secepat kilat ia mencabut pedangnya, menebas leher Wurajil, menenteng kepalanya yang bersimbah darah itu seraya meledakkan bahak serapah, menenggak darah segarnya, lantas melemparkannya ke laut.

“Panglima, dilihat dari ciri-cirinya, tampaknya kami sudah menemukan Syekh Bejirum!” lapor salah seorang prajurit.

“Pinggirkan dia ke tepi pantai, cari kitab yang beraksara Arab dan bergambar rajah anjing. Pokoknya temukan kitab itu, sebelum kita semua dipenggal Gusti Jagur Banaspati. Kumpulkan semua barang apa saja. Pastikan apakah ia masih hidup atau sudah mati!” perintah Panglima Cakrawangsa kepada para prajuritnya yang sedari tadi bengong setelah lelah payah menunggu selama tujuh hari tujuh malam di pantai Tuban itu.

Lembaran-lembaran kertas berceceran. Sebagian basah, sebagian kering. Tampak selembar kulit kitab tertancap di pasir, nyunyut, amis, menguarkan percik asap air laut. Sejenak bau aneh merebak, sejenis aroma kemboja bercampur minyak zakfaran, beberapa saat kemudian berganti bau sangit singa laut lalu sengak busuk dubur orok gendruwo. Tak lama kemudian, hawa najis basin itu sirna. Kesiur angin pantai terasa membacok lunglaimata dan terik surya yang terasa gerah bersaput awan, sungguh menyiseti hati yang terajam gelisah.

Tujuh

Sekawanan burung layang-layang terbang menghiasi cakrawala. Merangsek hebat menghantam ombak. Menyambar-nyambar serpihan bangkai kapal dan isinya: pedang bermata zamrud, peti berukir Cina, perisai bergambar naga dan sura, ceceran rambut, sepotong jubah sutra, alat ukur bumi dan penunjuk arah, pena perunggu dari Kalkuta, terompah bermata delima merah, tombak bergagang cula badak. Semua benda itu bertebaran di pantai dalam selidik tajam mata Panglima Cakrawangsa. Kerongkongannya seperti tergorok gergaji saat membayangkan alangkah laknat badai hantu laut menghajar mereka. Perlahan-lahan ia menghampiri sesobek kertas basah, meski sedikit luntur, tapi pasti tulisan ini menggunakan tinta Arab yang dicampur minyak misik. Di situ tertulis:

Allah Maha Kuasa, kisah para wali dijaga Raja Tarmuz dan bala tentara Jin Bairuz. Tiga peti besar berisi kalung bertatah huruf Hijaiyah telah tiba di tlatah Jawa, Swarnadwipa dan Malaka. Hidayah melimpah berupa kaca benggala, teladan kebajikan dan kejahatan. Wahai kisanak, simaklah gerak-gerik kidang kencana bersisik ular, rantai emas dalam cengkeraman cakar burung bulbul beterbangan mengarungi ratusan candi yang mulai ditelan bumi. Hancurnya Recalanang, Butalacala dan pesihir Diyu Pacicilan yang dulu senantiasa berjaga di hening gunung Lawa Ijo dan rimba hutan Bajang Batu. Saudagar Jamal Khair Jahgsar dari Kalkuta telah bertandang ke Jawa. Berbondong-bondong para prajurit bertombak bermata Jahbazil, menyiapkan trisula dan gendewa, pula tampak bebocah buntung kaki bermata juling, mengelu-elukan arak-arakan sang putri saudagar, Dewi Surati Widasari. Ingatlah dan sadarlah, saat tajimani Dajjal menetesi mata manusia di setiap isya dan tarhim subuh, bersegeralah bangkit lalu berjunub dan berwudu. Lungsuran malam bertakbir akbar memusnahkan jejak lengking dedemit yang digusah gema azan dan aji sakti Qulhu Geni[7] Pangeran Jager, kerabat Ki Bondan Kalangjiman yang tak pernah terkalahkan itu. Tampak di ufuk barat, matahari bersabut angin gelewang, menggoyangkan ukiran kayu raksasa Batradewa yang dikerumuni rajah tetuyul dan rajakaya bertuliskan Hanacaraka, membius rasa gentar kaum kafir laknatullah. Menanahkan telinga segerombol siluman betina yang lorek dan cacat kubulnya, serentak lenyaplah itu semua, dan kini terpampang pesona alangkah elok dan menawannya bandar pelabuhan ini. Sungguh memukau, ketika bulan purnama sempurna di tengah laut, namun aneh dan giris, tatkala anjing-anjing berajah Arab berseliweran di sekitar kaki kuda Rimang Sembrani milik Raden Bogang Kaliwang. Masya Allah, seharusnya manusia berlindung kepada Allah dari cermin jahat dunia, meneladani kaum nabi dan wali, inilah orang-orang beriman yang benar-benar telah beriktikad menyebarkan Islam. Arca-arca sesembahan harus dihancurkan, tak ada lagi kitab hitam yang disebarkan Syekh Durga Brahala dan murid-muridnya, yang menyaru menjadi Kiai Alap-alap Jumput Pati dan semua pengikut setia Syekh Abdul Gani Dailami. Segala kemurtadan ini akan berakhir kisanak, seperti kisah peperangan dalam kitab langit dan kitab bumi. Yakinilah anggitan asli Syekh Bejirum ini, tanpa bimbang dan kecil hati. Inilah kebenaran atas kezaliman iblis dalam hati manusia. Tiada tuhan selain Allah, dan kalam qadim…[8]

Kertas basah itu hanya dua lembar, sebagian tintanya terkabur larut air laut. Sebagian lagi diterbangkan jahat angin malam. “Huh, ini hanya tulisan konyol Syekh Bejirum. Sadarkan dia segera, sebelum kita membawanya ke Majapahit. Atau bila perlu, jika dia tidak bisa diajak bekerja sama, kita rajang-rajang tubuhnya. Bawa dia kemari, cepat!” Panglima Cakrawangsa yang mulai kalut membentak para prajuritnya.

Di kejauhan sang panglima mendengar sayup teriakan salah seorang prajurit yang memberitahu bahwa Syekh Bejirum telah meninggal. Betapa murka dibayang petaka saat Panglima Cakrawangsa mendengar kabar buruk itu. Tak ada lagi saksi hidup yang bisa dibawanya ke hadapan Gusti Jagur Banaspati. Tapi ia tidak ciut hati, ia terus memerintahkan para prajurit untuk menemukan kitab berajah Arab itu.

Kemudian seorang prajurit lainnya mendekati sang panglima, menyodorkan selembar kertas dan sebuah botol berisi arca Agatsya berkepala tiga, yang masing-masing berupa kepala anjing, jenglot, dan ular sanca.[9] “Di mana kautemukan arca dan kertas ini? Agaknya kertasnya masih utuh dan tintanya seperti baru saja digoreskan,” selidik sang panglima.

“Di bawah bangkai pohon besar itu Panglima,” jawab prajurit itu dengan hati-hati.

Merasa usahanya sia-sia, Panglima Cakrawangsa merutuk sendiri dalam hati. “Ah, mengapa tugas masygul ini dibebankan kepadaku. Weladalah, lebih baik aku bertarung hingga mati dengan seratus jawara pilih tanding ketimbang berurusan dengan orang-orang sinting dan menyebalkan ini.”

Panglima Cakrawangsa dan para prajurit segera meninggalkan pantai suram itu. Demi maut yang mendengus di kaki kuda Sembrani yang menerbangkan percik dendam atas nama kehidupan. Demi angin sangit yang mendaraskan bismillah di ubun-ubun ruh jagat raya. Terkutuklah para pemburu kisah, yang mengabarkan sabda Ilahi di padang lantak reruntuhan candi, pada unggunan kitab hitam yang dihanyutkan ke tengah laut oleh gerombolan serdadu bercaping hitam berkalung harimaunaga. Sementara para pendekar Jagur Banaspati terus dikerahkan memburu kitab Arab itu. Kendati bebayang bangkai kapal dan para penumpangnya menghantui mereka selama-lamanya.

Jombang -Yogyakarta, 2004-2005

*) Lahir 16 Agustus 1976 di Jombang. Alumnus pesantren Denanyar Jombang (1995) dan UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta (2002). Bergiat di komunitas Lembah Pring Jombang. Bekerja sebagai editor lepas dan menulis puisi, cerpen dan esai di sejumlah media massa. Puisinya termuat dalam antologi Jogja 5,9 Skala Richter (Bentang Budaya, 2006, Yogyakarta). Cerpennya berjudul Nubuat dari Sabrang masuk nominasi dalam antologi cerpen Loktong (kerjasama CWI dan MENPORA, 2007, Jakarta). Beberapa buku yang bakal terbit Syekh Branjang Abang dan Lukisan Berdarah, Kiai dan Amplop, dan Subogel Gandrung Bola (kartun humor). Kini beralamat di Mojokuripan RT 1/RW 3, Jogoloyo Sumobito Jombang. Email: surabawuk@yahoo.com Kontak person. 081578177671. No Rekening BNI: 0106036459. Kacab. Jl. KH. Wahid Hasyim No. 176, Jombang, 61415. A.n. Fahrudin Nasrulloh.

Kematian Matali

Mashuri
http://mashurii.blogspot.com/

Matali bunuh diri! Peristiwa itu langsung menggemparkan kampung Gombalmukiyo. Kampung ini termasuk kampung kecil yang terletak di pinggiran kota, dikelilingi parit kecil, dipenuhi tanaman hijau nan perdu; kampung yang oleh media massa disebut sebagai kampung tempat orang menghilangkan penat karena udara masih murni dan suasananya bisa membuat orang bahagia.
Tetapi dengan kematian Matali yang tak wajar, banyak orang bertanya-tanya penyebabnya. Apalagi swa-pati Matali dengan cara gantung diri yang aneh: lehernya dijerat sarung yang diikatkan ke kayu blandar di dapur. Pakaian yang dikenakannya pun membuat siapa saja turut teriris: ia masih berbaju gamis, di sakunya seuntai tasbih, dan di kepanya masih bertengger kopyah putih. Hari kematiannya pun seakan terpilih: Jumat Legi.
Meski demikian, tentu kematian Matali dibarengi dengan pemandangan mengerikan: sepasang mata mendelik, lidah terjulur, tinja keluar, serta sperma yang muncrat membasahi paha. Tak urung desas-desus pun langsung tersebar ke seantero kampung. Desas-desus yang tak pasti ujung pangkalnya, terus terus berulir dan berkelindan dari mulut ke mulut. Serupa bola salju, semakin jauh semakin membesar dan sulit dikendalikan.
Memang, semua warga patut bertanya-tanya, jika Matali mengakhiri hidupnya setragis itu. Siapapun tahu siapa Matali. Lelaki yang bisa dikatakan sempurna baik secara materi maupun ruhani. Rukmi, istrinya cantik. Ketiga anaknya tumbuh menjadi anak-anak yang pandai, rumah, kendaraan dan perabotannya istimewa, belum lagi usaha bisninya yang maju bukan kepalang Tentu yang tidak boleh ketinggalan mengenai kemuliaan jiwanya. Ia termasuk lelaki yang taat. Selalu ke musalla dan penderma. Tak terhitung banyak orang fakir miskin, anak yatim dan janda terlantar yang pernah merasakan belaian kasihnya. Bahkan, ia juga menyantuni banyak keponakannya yang miskin, agar kelak bisa mandiri.
“Ia pasti dibunuh orang!” tegas Sembur, ketika ia berada di warung pojok kampung, bersama empat rekannya: Mulas, Kenthir, Jimat dan Ngahngoh. “Kalau tidak dibunuh, masak ada orang hidup tak kekurangan apa-apa, mengakhiri nyawanya sendiri.”
Sembur lalu berkisah soal orang-orang yang menginginkan Matali mati. di rumahnya, ia mengasuh keponakan lima. Anaknya sendiri tiga dan mulai tumbuh dewasa. Masing-masing sangat mungkin untuk bersekongkol membunuh Matali. Apalagi dari anak-anaknya yang meski pendiam-pendiam, dimungkinkan menyimpan bara, terutama soal harta warisan. Apalagi di antara anaknya itu ada yang royal dan doyan belanja. Istrinya yang masih terbilang muda pun bisa jadi ingin melenyapkan nyawa suaminya. Ia termasuk wanita yang masih suka daging laki-laki, suka berhura-hura dan bisa jadi menyimpan pria idaman lain (PIL), bisa dari karyawannya, sopirnya atau bujang-bujangnya yang rata-rata kekar dan tampan.
“Matali punya banyak musuh di rumahnya sendiri. Soalnya ia terlalu baik pada semua orang dan selalu berbaik sangka pada orang-orang yang dicintainya. Ini bisa menjebak dan menjadikannya mudah diperdaya, lalu dibunuh,” tegas Sembur.
Semua yang hadir di warung sederhana Mbok Ayem itu tepekur. Mereka juga tak percaya dengan kematian Matali yang begitu menyentak. Semua seakan-akan asyik dengan pikirannya sendiri-sendiri, berusaha menggali ingatan atau informasi sekecil apapun yang sempat terlintas di benak mereka. Sepi seakan-akan mengguncang di warung yang biasanya ditingkahi dengan tawa itu. Benarkah Matali dibunuh dan tidak bunuh diri?
“Tidak, dia tidak mungkin dibunuh. Ia jago silat. Memang jika ia dibius, itu bisa saja terjadi, lalu direkayasa seolah-olah bunuh diri. Tetapi berdasarkan otopsi medis dan penyidikan kepolisian, Matali memang bunuh diri,” tangkas Mulas, sambil menyeruput kopi selir buatan Mbok Ayem yang terkenal.
Ngahngoh yang sejak tadi asyik menghisap lisong sepertinya ingin mengungkapkan isi hatinya. Ditatapnya teman-temannya yang bingung, ia merasa paling tahu penyebab kematian Matali. Ia seperti menunggu sesuatu. Begitu melihat Mbok Ayem masuk ke rumah induk yang berada di belakang warung, Ngahngoh pun turut bicara.
“Aku tahu penyebab ia bunuh diri,” tegasnya dengan pongah.
Karuan saja, semua mata tersedot kepadanya. Semuanya menunggu dengan satu kepastian tak tentu. Siapapun tahu, siapa Ngahngoh. Alur pikirannya seperti namanya: goblok dan setengah berlendir.
“Tiga hari lalu, sebelum Matali mati, ia sempat ngobrol denganku. Ia ingin tahu alamat tabib yang handal. Persoalannya masalah laki-laki. Ia akhir-akhir ini merasa seperti Gatutkaca hilang gapitnya, alias loyo. Ia merasa kasihan sama Rukmi, istrinya yang masih kinyis-kinyis dan tokcer itu, sehingga ia perlu menambah kekuatan kelelakiannya,” Ngahngoh terus berceloteh.
Ngahngoh semakin yakin dengan dugaannya ini, ketika kemarin, sebelum kematian Matali, ia melihat dengan mata kepala sendiri Rukmi diboceng oleh seorang bujangnya yang paling tampan. Ketika Ngahngoh tanya, mereka baru saja dari kenduri seorang kenalan. Bisa jadi, kenduri itu hanya sekedar alasan, karena sebenarnya mereka baru saja berindehoi di hotel melati short time, karena Rukmi merasa tidak puas dengan layanan Matali yang sudah tidak seperkasa dulu, bahkan semakin tak bertenaga.
“Perempuan itu sedang garang-garangnya…,” tutur Ngahngoh.
“Aku tidak setuju kalau Rukmi menjadi kambing hitam,” potong Jimat. “Aku kenal betul siapa Rukmi. Aku dulu pernah menjadi kekasihnya sebelum ia kawin dengan Matali. Dia bukan perempuan yang mudah mengobral tubuh. Persoalan ini mutlak persoalannya Matali. Bukan orang lain. Apalagi Rukmi.”
Jimat pun menunjukkan bahwa saat ini Matali sedang dilanda gundah yang luar biasa. Usahanya yang sebenarnya makmur itu hanya kamuflase saja, karena hutangnya segunung dan sudah jatuh tempo untuk membayar hutang ke bank. Minggu lalu, ia ditelpon oleh Matali, untuk pinjam uang sekitar 200-an juta. Jika tidak begitu ia diminta untuk mencarikan pinjaman, dan ia akan mendapatkan 5 % persen dari jumlah pinjamannya itu.
“Ia mengatakan sangat mendesak, jika tidak begitu, rumah dan segala harta bendanya disita,” tutur Jimat. “Ini persoalan hutang, bukan persoalan Rukmi”.
Sembur dan Ngahngoh hanya geleng-geleng kepala. Mereka sebenarnya juga sudah mendengar soal itu, tetapi rasanyua mustahil ada orang seperti Matali bunuh diri gara-gara terbelit hutang. Apalagi selama ini Matali terkenal sebagai jago lobi. Malah, akhir-akhr ini ia mengembangkan usahanya di bidang baru: agrokultur dan angkutan. Bukan persoalan duit yang membuat dia senekat itu, begitulah kesimpulan mereka.
“Sepertinya aku tahu kenapa Matali bunuh diri. Kukira ia benar-benar bunuh diri. Ia mendapatkan pulung gantung,” tegas Kenthir, agak berbau mistis. Tentu saja teman-teman ngobrolnya langsung berpaling ke arahnya.
Kenthir pun mengaku lima hari lalu, ia bertemu dengan Matali di sebuah kuburan tua di tengah kampung. Kenthir memang dikenal sebagai pecandu nomor togel. Ia di sana memang untuk mencari nomor. Tetapi alangkah kaget dia karena ia melihat ada Matali juga di sana. Ia sedang khusyu’ berkirim doa kepada orang yang dikuburkan itu.
“Begitu selesai doa, saya tanya dia. Kenapa malam-malam. Ia mengaku akhir-akhir ini kedatangan sinar yang bisa bersuara. Katanya ia disuruh bunuh diri. Jadi ia ingin memastikan apakah suara itu suara setan apa wahyu alias suara tuhan. Kukatakan saja, di Jawa itu ada pulung gantung,” tegas Kenthir.
“Ngawur, kamu!” tegas Jimat, sambil menyeruput teh manis kentalnya.
“Tidak juga. Kupikir bisa jadi memag benar demikian. Tapi diam-diam aku tombok juga nomor kendat. Eh, ternyata yang keluar memang nomor bunuh diri. Kalian semua kebagian kan?!” terang Kenthir.
Semua yang hadir tak terasa tersenyum pula, karena mereka semua tahu bahwa nomor yang keluar memang nomor bunuh diri. Rata-rata mereka adalah pecandu togel. Mereka pun langsung menekuri suguhan di warung dengan dinding bambu dan terletak di atas parit itu. Tentu dengan bibir tersungging.
“Sudah, sudah. Masak orang mati malah dibuat main-main,’ Mbok Ayem yang entah sejak kapan hadir di sana dan menguping pembicaraan itu pun menengahi.
Suasana kembali bisa terkendali dan masing-masing lalu menyelam ke pikirannya sendiri-sendiri. Suasana memang semakin sensitif. Tapi itu tak berlangsung lama, seorang pemuda setempat yang setiap hari mangkal di terminal turut nimbrung juga.
“Ada apa kok ramai, Cak?” tanya pemuda yang biasa disebut Korak. Ia parkir di sebelah Sembur
“Kami sedang menerka penyebab kematian Matali,” tegas Sembur.
“Hasilnya?”
“Masing-masing orang punya pendapat sendiri-sendiri dan berbeda,” tegas Sembur, sambil mengungkap pendapat yang sudah dibicarakan. Dari perkiraan dia sendiri, Ngahngoh, Jimat, Kenthir dan Mulas.
“Aku punya usul. Bagaimana kalau kita taruhan 20-an ribu, siapa pendapat yang paling mendekati kebenaran!” usul Korak.
Kelimanya saling pandang. Diam sejenak. Lalu diam-diam merogoh saku pakaian mereka masing-masing.

****^****
Di rumah Matali, tepatnya di kamar pribadinya, tampak Rukmi di atas ranjang. Matanya tampak masih sembab. Pertanda ia telah mengeluarkan banyak air mata. Sambil tengkurap di ranjang, dipandangnya foto suaminya yang sejak tadi ia pegang erat-erat. Pandangan matanya demikian aneh. Sebuah pandangan yang tak bisa diterjemahkan dengan kata-kata.
“Pa, kepergianmu sungguh indah…” bisiknya, lirih.
Rukmi ingat pada janji suaminya, sebelum mereka mengikat ikatan pernikahan berpuluh tahun lampau. “Kelak, ketika kita menjadi suami isteri, aku akan mati lebih dulu. Dan kematianku tak pernah diketahui sengan pasti jawabannya. Bahkan, kau pun tak tahu. Hidup dan matiku adalah urusan pribadiku dengan Tuhanku. Ini rahasiaku.”

Surabaya, 2006
* Dimuat di antologi cerpen Gapus ‘Secangkir Kopi dan Sebatang Lisong’.

Nol: Angka—Manusia

Pringadi AS
http://reinvandiritto.blogspot.com/

I.
Saya sungguh tak pernah berbohong. Tak pernah menyebut satu sebagai dua. Dua sebagai tiga. Atau sebagai lainnya. Sebab saya yakin bahwa satu adalah satu, dua adalah dua. Tak boleh diganti-ganti. Saya juga tak pernah menyebutkan lima tambah lima sama dengan lima kali dua meski sama-sama sepuluh hasilnya. Sebab saya tahu keduanya tak sama: beda struktur aljabarnya. Seperti itulah saya, yang tidak pernah berbohong.

Sejujurnya saya tidak pernah mempercayai angka-angka, kecuali angka nol. Bayangkan, dua kali dua sama dengan dua tambah dua, sementara satu kali satu lebih kecil dari satu tambah satu, dan tiga kali tiga lebih besar dari tiga tambah tiga. Aneh bukan?

II.
Ini hari pertama saya bekerja. Pekerjaan yang saya benci sebenarnya. Sebab setiap hari saya harus berhadapan dengan angka-angka. Dan saya tidak menyukai angka-angka, kecuali angka nol tentunya. Kamu pasti bertanya, mengapa angka nol adalah pengecualian. Sebab angka nol itu istimewa. Ia adalah Tuhannya angka-angka. Kamu pasti tidak tahu, angka nol selalu menyertai angka-angka lainnya di dalam struktur aljabar. Yang umumnya kamu tahu cuma, berapapun angkanya, jika ditambah dengan nol maka akan tetap angka itu sendiri. Dan jika dikalikan dengan nol maka akan menjadi nol. Sebab itulah saya percaya dengan angka nol. Sebab nol sangat jujur, apa adanya. Seperti saya.

Tumpukan kertas itu berisi angka-angka. Harus saya selesaikan secepatnya. Saya tidak pernah memakai kalkulator untuk menghitungnya. Saya tidak percaya pada kalkukator. Sebab kalkulator adalah mesin. Bukan manusia. Tidak patut saya percayai. Seperti angka.

“Sudah selesai?” Tanya atasan saya yang badannya juga serupa angka nol itu. Sebab itulah mungkin saya agak hormat dengannya.

“Sedikit lagi, Pak.”

“Kamu pegawai yang baik,” saya cuma diam mendengarkan, “tapi kamu tidak akan bisa maju kalau kamu tetap seperti ini.”

Saya mengernyitkan dahi, tidak tahu apa maksudnya. Tampaknya beliau tahu kalau saya tidak mengerti yang ia bicarakan. “Kamu memang lugu, Nak.”

“Maksud Bapak?”

“Laporan yang sedang kamu kerjakan sekarang itu adalah laporan perusahaan milik sepupu saya.”

Saya masih diam.

“Sudah kamu hitung berapa pajaknya?”

“Hmm… dua ratus juta lebih, Pak.”

“Hapus saja satu angka nolnya.”

Saya mengernyitkan dahi. Tambah tidak mengerti. “Kalau dihapus satu nolnya, ‘kan jadi dua puluh juta, Pak?”

“Iya, saya tahu itu. Hapus saja. Sepuluh juta untuk kamu.”

Saya tambah bingung. Saya sangat menghargai angka nol, sangat mempercayai angka nol. Jadi, sangat tidak mungkin saya menghapus angka nol walau sebuah. Sebab saya tahu, angka nol begitu berharga.

“Saya tidak mau, Pak.” Jawab saya tegas.

“Kamu mau menentang saya?!” Bentaknya pada saya.

“Bukan begitu, Pak. Saya hanya…”

Belum sempat saya menyelesaikan kalimat saya, beliau sudah menyanggah. “Sebaiknya kamu kemasi barang-barangmu, bersiap untuk pindah dari kantor ini.”

Ternyata benar, satu minggu kemudian saya dipindahkan.

III.
Saya tidak mempercayai angka-angka, kecuali angka nol tentunya. Saya juga tidak percaya kalkulator, produk mesin praktis yang merupakan pembodohan publik. Penumpulan kinerja otak. Dan kini, saya menambah daftar ketidakpercayaan saya. Saya juga tidak percaya manusia selain saya. Manusia sama seperti angka. Suka memanipulasi dan dimanipulasi. Mungkin karena itulah, ada manusia yang membuat kalkulator. Sebab ia ingin pintar sendiri. Makanya ia bodohi manusia-manusia lainnya dengan label praktis yang menipu.

Kantor baru saya sangat sepi. Setiap hari saya ditugaskan membuat kopi dan absensi lalu merekapitulasinya. Tapi tetap saja saya bertemu angka-angka pada urutan absensi. Ibu tua yang duduk di sebelah meja kerja saya juga sama. Ia juga membuat kopi dan absensi. Saya ingin bertanya kenapa tetapi saya tidak berani memulai pembicaraan.

“Kenapa kamu menatap saya?” Ibu tua itu tiba-tiba bertanya, seolah tahu apa yang sedang saya pikirkan. “Kamu pasti heran kenapa saya melakukan pekerjaan yang sama seperti kamu.” tambahnya lagi.

Saya malah bertambah heran.

“Saya sama seperti kamu, Nak.”

“Maksud Ibu?”

“Saya juga tidak percaya angka-angka. Saya juga tidak percaya manusia, selain saya.”

Saya termenung sejenak, “Lalu kenapa Ibu mengajak saya bicara? Bukannya Ibu tidak percaya manusia selain Ibu sendiri?”

Beliau tersenyum. “Saya tidak bilang saya mempercayai kamu. Saya cuma tahu, kita bernasib sama. Sama-sama tidak mempercayai angka. Sama-sama tidak lagi mempercayai manusia. Sebab itulah kita di sini, mengerjakan hal yang sama, kopi dan absensi.”

IV.
Semakin hari, Ibu tua itu semakin sering bercerita kepada saya. Saya cuma bisa mendengarkan. Sebab saya tidak suka bercerita. Saya lebih suka diam. Diam dan diam. Sebab diam itu emas. Lagipula tidak ada gunanya lagi saya berbicara, mengaspirasikan pendapat dan keinginan saya. Sebab saya tahu, saya tidak akan didengarkan karena saya bukan apa-apa, dan bukan siapa-siapa.

“Kamu tahu dia?” Ibu tua itu menunjuk seorang laki-laki muda di ruangan sebelah. Dari tampang dan perawakannya, usianya paling jauh terpaut lima tahun dari saya.

“Dulu dia sama seperti kamu, seperti kita.”

“Tidak percaya angka-angka?”

Ibu tua itu mengangguk.

“Lalu kenapa dia berbeda? Tidak seperti kita, membuat kopi dan absensi?”

“Dua tahun yang lalu, dia berubah. Dia mulai berdamai dengan angka-angka.”

Saya perhatikan lagi laki-laki yang dimaksud. Ia masih gagah, sama seperti saya. Hanya saja kemejanya tampak lebih berkelas disbanding yang saya pakai.

“Kamu lihat, baru saja dia memanipulasi dana asuransi kita?”

“Maksudnya?”

“Sekarang dia kedatangan klien baru, dari pihak asuransi. Tahun lalu kita pakai AJB Bumiputera 1912, Tapi tahun ini, dia menggantinya. Kamu tahu kenapa?”

Saya menggeleng.

“Pihak Bumiputera tidak bisa diajak bernegosiasi. Tidak bisa diajak memanipulasi angka-angka.”

Braak!

Tiba-tiba saya menghentak meja. Marah. Pandangan pegawai lainnya beralih ke ruangan saya. Ke saya. Termasuk laki-laki itu yang memandang saya dengan ekspresi mencari tahu. Saya balas pandangannya. Sementara tangan saya sudah terkepal erat, ingin memukulnya. Sebab saya tidak suka pada pengkhianat, yang dengan begitu mudah tergoda angka-angka.

Saya langkahkan kaki saya menuju ruangannya. Ibu tua itu tampak memegangi tangan saya, berusaha mencegah. Tapi apa daya, tenaganya yang telah renta tidak sebanding dengan darah muda saya.

Tiba-tiba saya sudah mencengkram kerah bajunya.

“Kamu sudah gila ya?!” Tangannya menepis cengkraman saya. Lalu berganti dia yang mencengkram kerah baju saya.

“Saya ini atasan kamu di sini! Mengerti?!”

“Orang sepertimu, yang dengan begitu mudah tergoda angka-angka, tidak pantas ada di sini!” Saya balas membentaknya.

Plak!

Dia menampar saya. Saya balas meludahinya. Orang-orang mulai tampak melerai kami berdua. Saya masih ingin memukulnya, membalas tamparan yang baru saja dia hadiahkan dengan manis di pipi saya. Tapi tidak bisa. Orang-orang terlalu kuat untuk saya lawan

“Mulai besok kamu tidak akan bekerja lagi di sini. Karirmu sudah berakhir!” Teriak laki-laki itu di sebelah lain dari kerumunan yang melerai kami berdua.

Saya sempat menoleh ke arah ruangan saya. Ke arah ibu tua itu. Dan dia tersenyum. Menyeringai. Seolah menertawakan saya. Seolah menunjukkan kemenangan telah membodohi saya. Saya semakin sadar, ibu tua itu telah memprovokasi saya. Ibu tua itu telah menipu saya!

Dia mengangkat sebuah kertas. Samar terbaca.
“SAYA BEGITU MENCINTAI ANGKA NOL. DAN TELAH BERHASIL ME-NOL-KAN KAMU!”

(Seharusnya saya tetap tidak percaya manusia, selain diri saya sendiri. Sama halnya saya tidak percaya pada angka-angka, kecuali angka nol tentunya)

RONTAAN TANAH IBU

Sabrank Suparno
http://www.sastra-indonesia.com/

*** Surat surat luapan keluh

Ayah..Bunda..kalian tau gak! Sekarang aku bagaimana?, dan ada di mana? Dalam kembara rantauku, jauuuh sekali. Mengelanai ruang-ruang hampa. Ahirnya aku sampai di suatu tempat yang tak bernama. Tempat ini sunyi, pengap, pekat, sesak, berdinding plasma yang buntu, tak bercerca, tak berjendela. Berjuta tahun aku disini sendirian. Sepi..Ayah..aku takut.! Kian hari kian mencekam Bunda..!

Tak hanya tak bernama Ayah..tapi juga tak berwarna Bunda..! Seluruh hamparan tampak sringkah, kuning kemerah-merahan. Dan jika dipandangi terus, risauku kian geram, galauku numpuk berjubel berbebal-bebal. Judegku tak kunjung berujung. Ruangan ini kadar udaranya, nol koma sekian persen saja. Sesak, sengal. Nafasku sejengkal-jengkal. Hanya sebintik air dari titik nisbi uap yang mencair.

Ini bukan negeri Stepa atau Sabana, yang masih tumbuhkan kaktus dan lumut. Segala sesuatu ada disini, cuma tak bisa dijamah. Anak-anak sejawatku memang berkeliaran Ayah, tapi kami tak bisa sepermainan Bunda..! Anak-anak disini mengerti bertegur sapa, tapi tak punya bahasa. Andai bisa beroral fisik, masih asyik, tapi aku hanya bergumam monolog lirih dengan telanan lidah.

Ayah, Bunda, kalian mau tau gak? Ruang disini hanya dipenuhi kabut. Wulau tidak begitu tebal namun juga tidak terlalu tipis. Tiada siang, tiada malam. Gerak hanya tercerap ke satu arah. Dan pada ahirnya berfokus di satu titik muara. Mungkin Bunda bertanya! “Anakku, kalau tidak ada gerak, tidak ada suara, lantas dengan apa kamu mengerti perintah? Sesuatu telah dihunjamkan kepadaku, menancap dalam ke palung diri. Selaksa jemparing lusurkan busur.

Tepat. Selalu tepat dititik koordinat. Ahh, tapi tak mungkin, kenapa juga Bunda harus bertanya. Bukankah Ayah- Bunda sudah singgahi tempat ini sejak berjuta tahu lalu. Dan akan kembali ketempat ini untuk berjuta tahun lagi.

Ayah..! Ini penjara abad..Yaah. bukan hanya aku yang terkurung. Imaji yang telah kurangkai untuk mainan juga terkerangkeng. Meskipun tak susut, juga tak muai.
Seribu tahun sudah aku beranjak. Selama itu pula aku menumpuk seribu tanya. Apakah kalian masih mengenali wajahku? Tidakkah kalian lupa? Aku resah Ayah..Aku kawatir Bunda! Seribu tahun sudah aku tinggalkan kampung halaman. Kadang sampai letih juga rasananya.

***.Surat Letupan damba.

Antara iya dan tidak, sesungguhnya aku sudah diperkenankan pulang menjenguk kalian berdua. Aku retakkan dinding waktu dengan tenaga cinta. Aku memasuki atmosfer. Aku mengunjungi bumi, bermandian kilatan benderang matahari. Berbasuh kilauan bulan purnama. Saat udara pongah, aku diterpa angin dengan silirnya. Saat lidahku keluh, kualamatkan mimikku sekedar bergumam mencandai awan-awan berarak. Saat rabun rimang mataku, kubelalakkan di hijau dedaunan dan pucuk padi. Saat bising dengarku, aku plongkan di derunya ombak yang berdeburan. Saat gerah badanku, aku berbalur sketsa mega yang tergelar di sepanjang kaki cakrawala.

Ayah.. aku adalah garis-garis cinta yang berserakan. Garis yang di sadap dari perasan cahaya. Di awal kepulanganku, kan ku”sungkemi”lanskap putihmu yang kosong. Gubahlah aku menjadi jelma yang merona. Bubuhkan serbuk lembut tubuhku sebagai racun bisa busurmu. Semat dan rangkai busur itu di “jemparing cintamu”. Incar tepat di dada Ibundaku. Melesat dan tancap, sampai Ibunda terkapar. Aku mengerti lelahmu Ayah. Tak gampang memang membidik Ibu. Ingat! Ibu adalah wanita. Wanita yang selalu bersolek di depan kaca. Berpupur bedak Shinta, lipstick Juliet, baju Cinderella, dan pada ahirnya berparas Hawa. Mereka selalu berumus bahwa wanita berbanding sederajat dengan satu gen ovarium yang takberkembang. Saat Ibu sekarat , tangannya terus mendekap luka. Luka mengangah yang selalu dirawatnya dengan helaian kain putihnya.

Aku membawa hutang-hutang yang menumpuk di angkasa. Ajari aku melunasinya. Aku memanggili kalian tiap malam ketaman cinta,tuk mananam bunga penuh makna yang paginya bermekaran di halama rumah. Bebijian subur di lahan gembur. Aku tak ingin tumbuh sekeras aku memecah batu. Ayah ..aku tak perlu bunda seribu, cukup satu saja namun serasa seribu.
Aku kangen pada hujan yang menggelendengku ke tengah lapang. Sekedar berbasah kuyup, likatan lumpur sekujur badan. Diam-diam aku merancang tangis, maksa kalian membopongku. Aku belum tertawa sebelum kalian mendekat, aku baluri lumpur sesudahnya. Ha..ha..ha..kita bermain hujan bersama. Lumpur dan hujan adalah debu untuk bertayamum pengganti wudlu.

Antar tidurku diayunan ninabobo kisah percintaan kalian. Apa kehebatan Bunda, hingga Ayah merengkuh Bunda, padahal ada milyatan wanita. Setelah jauh lelap dan pulas, aku mengigau-ngigau minta boneka India. Esok kusapa pagi dengan tangisan. Kubuang.Kulelehkan. Kuhabiskan berpuluh-puluh tetes jatah airmata hidupku, agar jika berpacaran kelak,aku tak lagi kebagian linangan. Sesekali aku selahi hari dengan tangisan, aku takut dengan luka dan kecacatan. Cacat yang berakibat ulah Ayah- Bunda yang tak bisa saling menerima kekurangan.

Namai aku Bre`.Lahir dari rahim mulia, yang dibuai benih cinta penuh kasih. Kedahsyatan cinta kalian menghantarku goncangkan dunia.
Bunda.. air susumu bagaikan putauw, yang kutenggak tiap tiap aku ingin manja. Sembari aku merekam lagumu, yang kuputar ulang nanti didepan sejarah. Ahhh..Bunda, aku besarkan sel-sel kromosom tubuhku dengan cairnya cinta kasihmu. Ku kebalkan kependekaranku dengan putih sucinya ketulusanmu. Tak hanya manja, akupun bergenit mesrah. Aku tidak nakal Bunda, kalau aku sibukkanmu dengan hangat kencingku, agar bunda mengerti,setiap orang tua itu muara kekencingan masalah.

Ayah-Bunda. Terlampau jauh aku mengulum angan. Meski fatamorga serasa jatiku telah menjelma. Sementara aku tetap disini. Ditempat tak bernama, ada, namun tak nyata. Entah berapa hari, bulan, dan tahun lagi yang aku semai dengan ahiran hampa.
Ayah-Bundaku. Disini aku terus menjerit, meraung- raung lengking, meratap-ratap, menunggu kalian segera menjemput, bebaskan aku.
Tapi kalian malah sibuk bersolek tampang demi ambisi. Kalian terus berkilah demi gemuruhnya dunia. Kalian bersumpal telinga dari lengkingan ratapku. Entah berapa musim lagi tegamu mengelantangku dirantau ini. Apalah arti kalian tanpa hadirku. Waktuku jangan kalian curi.

Segeralah Ayah! Cari, taksir, tembak, cintai, pacari, pinang, nikahi Ibunda tanpa syarat apapun. Sebab syarat hanyalah buatku cacat.
Segeralah Bunda! Gaet Ayah dengan cantikmu, walau engkau tak jelita. Lantarmu pada Ayah, lantarku jua. Sedangkan baktimu adalah geriangku.
Kejam kejamnya kejam adalah Ibunda yang tak segera menyusuiku. Borgol kerangkengku akan berlepasan saat gending ditabuh dihari pelaminan kalian. Dan…sesudahnya..aku pasti datang.
Namai aku Bre`! lahir dari rahim wanita mulia, ditaburi benih cinta penuh kasih.
*****

*) Petani, Pencetak bata, Cerpenis, kolomnis, Pemerhati budhaya. Aktif di komunitas Padhang mBulan dan penulis Jombang, bergiat di Lincak sastra dowong. Tergabung bersama sasterawan muda Jawa Timur. Beralamat di Dowong, Ds. Plosokerep. Kec. Sumobito. Kab. Jombang Jawa Timur
Hp:081-359-913-627

Kamis, 01 April 2010

Enam Seri Puisi Gila Dwi S. Wibowo

http://sastrasaya.blogspot.com/
SAYA
Nama saya adalah saya

Saya adalah pria dengan penis yang tersesat masuk dalam hutan
Lebat

Dalam hutan ada saya, binatang-binatang, juga pohonan

Saya mencoba menyusuri jalan setapak yang biasa dilewati para pencari kayu bakar untuk menemukan jalan keluar dari hutan, namun semakin lama saya berjalan saya semakin masuk ke dalam rimbun pohonan.

Ranting-ranting yang menjulur
Mencabuki tubuh saya hingga berdarah-darah
Dan menetes ke seresah.

Tiga jam lebih saya menyusuri jalan setapak,
Alih-alih menemukan jalan keluar
Saya justru masuk semakin dalam ke ceruk hutan
Ternyata saya sudah ada di bibir jurang yang dalam

Hujan mulai turun…
saya terpeleset, jatuh ke jurang
Tubuh ini tercebur dalam sungai di dasar
Lalu hanyut terseret arus
Sampai akhirnya saya tersangkut pada akar sebuah pohon
Yang menjulur ke sungai…

“syukurlah, saya masih hidup. Meski tubuh saya terasa lemas”

2009



ambulance

gara-gara sarapan dan minum kopi di hotel terkenal
saya terpaksa masuk ruang ICU sebuah rumah sakit swasta
di jakarta

saya tidak tahu pasti kejadian yang menimpa diri saya
tapi menurut dokter dan suster yang cantik di rumah sakit
dan pernyataan pihak kepolisian di koran dan televisi nasional
ceritanya begini:

Sesesorang telah meledakkan bom di lobbi hotel tersebut,
Ledakkan itu membuat koki yang tengah memasak, kaget dan tanpa sengaja
Mencabut selang kompor gas, dan terjadilah ledakkan kedua
Hingga mengakibatkan semua orang panik dan langsung lari berhamburan
“sialnya, anda terpeleset tumpahan minyak goreng dan jatuh terinjak pengunjung lain” kata dokter, untungnya petugas keamanan hotel segera menyelamatkan saya
Dan memanggil ambulance untuk membawa saya ke rumah sakit.

Suster yang cantik mendekat dan membelai kepala saya
Yang terbaring lemah di bangsal rumah sakit, kemudian ia berkata begini:
“lebih sialnya lagi, sopir ambulance yang membawa anda tidak memiliki SIM
Dan baru saja seminggu lulus dari kursus menyetir. Naas, karena nyelonong di lampu merah, ambulance tersebut menabrak sebuah konteiner”
Itulah sebabnya saya mengalami gegar otak berat dan kedua kaki saya diamputasi.

2009



Yang Bernyanyi Di Kamar Mandi

Mulan jameela masuk ke kamar mandi
Awalnya cuma ingin buang air kecil
Namun ia melihat microphone yang menggantung
Tiba-tiba timbul niatnya bernyanyi
“aww..aw..aw..ich…ich…” begitu lagunya.

2009



Pak Kiai
cerita bodoh buat rozi & dea

Seusai mengaji
Pak kiai ingin tampil trendy
Seperti anak muda masa kini
Yang memakai rompi dan celana model pensil
Namun tiba-tiba
Ia ditegur seorang santri
“maaf pak kiai, anu”
“anu apa?” jawab kiai
“anu itu” kata santri setengah tak berani
“anu apa?!” pak kiai mulai emosi
“anu, anunya pak kiai keliatan”
“astaga!!!, si anu kegerahan” pak kiai terkejut
dan nampak malu-malu menutup resleting
yang lupa ditutupnya.

2010



Telepon Mama

“hallo…mama”
“hallo…, ini siapa?”
“ini ade ma…”
“ya, ada apa de?”
“ade mau bilang kalau hari ini
Ade lupa makan,
Lupa minum susu,
Lupa minum vitamin,
Lupa minum obat,
Ade juga lupa bilang ke mama
Kalau kemarin
ade lihat papa jalan berdua sama sekretarisnya”
“apa???
Kenapa kamu tidak langsung bilang sama mama???”
“soalnya, dari kemarin
ade lupa jalan pulang ke rumah…”

2010



Lagu Untuk Mama

Aku anak hebat
Tubuhku kuat
Karena ototku
Seperti kawat

Aku anak hebat
Tubuhku kuat
Karena gigiku
Selalu disikat

Aku anak hebat
Tubuhku kuat
Karena makanku
Sayur ketupat

Aku anak hebat
Tubuhku kuat
Karena hobiku
Minum jus tomat

Aku anak hebat
Tubuhku kuat
Karena temanku
Namanya mamat

Aku anak hebat
Tubuhku kuat
Karena lawanku
Pada sekarat

Aku anak hebat
Tubuhku kuat
Karena pacarku
Jumlahnya empat

Aku anak hebat
Tubuhku kuat
meskipun anuku
Belum disunat

2010

HIKAYAT KERIS GANDRING DAN TERBUNUHNYA TUNGGUL AMETUNG

Nurel Javissyarqi
http://www.sastra-indonesia.com/

Malam suram, tiada hadir secerca bintang pun wajah molek bulan. Ken Angrok dengan tubuh kesatria menunggangi kuda hitam, menembus alam tanpa bayangan. Menderu terjang tiada keraguan, seringkikan binatang. Menakut-nakuti kawanan srigala yang biasa bertengger di bukit kapur tua.

Hanya dedaun buta saksi geraknya. Dan angin dingin senafasan tersengal nafsu Angrok. Lewat sentakan kencang, menghabiskan malam panggang tanpa percakapan di tengah perjalanan. Bathin menggerutu nalarnya mendidih. Menguap sekabut pegunungan merapi yang mengepul seasap tobong terbakar.

Sampailah di jalanan pesisir lautan diam, batuan karang terinjang bersimpan dendam. Langkahnya terus maju menerjang, hadirkan nasibnya demi dapati ketentuan. Betapa darahnya bergolak serupa pemuda lajang tercuri hatinya, ditawan bingkai kalbu seorang wanita. Ia masih dihantui wajah cantik yang telah diperistri takdir jahannam.

Telah jauh dari tapal batas kota, pula tinggalkan bencah pasir memasuki gapura dusun. Teramat sunyi, darahnya tambah naik melampaui batas kerinduan sepi. Yang beterbangan setarikan awan-gemawan dijelmakan hujan amarah. Ia hentikan langkah kudanya di depan pendapa Empu Gandring. Sedang rumput-rumput bunga mengitari, awalnya penuh damai.

Tersentak kedatangan sang penakluk. Dengan kaki tegap turun dari kuda tanpa sungkan membuang segan, Angrok menghadap Pu Gandring. Sang Empu sudah tahu gelagat alam kurang sedap. Yang dikabarkan kembang prabusetmata atas sederet alisnya, seperti kumis kucing mengincar mangsa.
Ki Empu mencium musibah kan menimpa, pada dirinya juga pemuda tanggung yang datang tanpa sungkem.

Tapi benarkah demikian? Mari diteruskan mengikuti rekamanku kala terjaga. Ini sentakan telak menyadarkan. Bukan alur juntrung menghempas, tapi hakikat hikayat melampaui logika penembusan sejarah. Tanpa kesopanan Angrok berucap:

Buatkan aku sebilah keris terbaik kesaktiannya. Carikan batu granit demi mutu tempaan dalam, sebelum besi baja kau semat dikulitnya. Ciptakan luk tujuh, itu bilangan hari kisah kejayaan dunia. Gagangnya carikan kayu cendana yang tumbuh di tengah malam purnama. Jangan lupa rendam dengan kembang tujuh rupa, disamping taburan garam dari samudera Hindia.

Aku berharap keris tersebut tiada menandingi, setiap orang melihatnya terkesima hingga kaki-kakinya membatu setelah kesemutan. Perhatikan juga jangan lama. Setengah tahun cukup kukira. Rampung tidak aku kemari mengambilnya. Jikalau tak menurut, tentu sudah hafal siapa diriku, dan yang akan kuperbuat demi kemanusiaan kelak. Maka persiapkan keharusanmu, sebelum kunamai pengecut yang mempecundangi bakat luhur abadi.

Ki Empu minta tambahan waktu. Sebab dengan masa sesingkat itu, sebilah keris ampuh belumlah utuh. Namun perbincangan bertelingakan satu. Angrok tetap bersikeras ditepati. Dialog tidak imbang, mencederai telinga pun menjulingkan mata. Takdir berubah cepat. Angrok tinggalkan perkara tidak mudah bagi Empu juga dirinya. Yang teridam hanyalah dendam merebut Ken Dedes ke dalam pelukan.

Angrok dapat dibilang kurang gagah dibanding Tunggul Ametung. Tapi ketampanannya sanggup menyedot gravitasi para wanita, bagi memandang teriris hatinya. Semangatnya membara, menuntut keinginan jauh melampaui orang-orang sejaman.

Dengan raut kusam, Ki Empu melihat punggung Angrok tinggalkan pendapa. Seolah baru disergap malaikat maut dari segala arah, atas todongan gairah terus membuncah. Lalu Ki Empu bersemedi, menata bathiniah demi sebilah keris sakti gagasan pemuda brandal.

Siapa pembuat keris, apa benar Empu Gandring? Setiap pesanan khusus ialah sang pemesan penciptanya. Empu hanya menampilkan energi pemesan, diselusupkan dalam sebuah karya.

Denting batuan granit setempaan kekukuhan niat Angrok merebut Dedes. Olesan minyak di lempengan baja, cermin kejernihan Angrok menangkap situasi, mensiasati nasibnya menaiki gelanggang pergolakan. Setiap luk keris putaran berfikirnya Angrok dalam menyikapi tragedi jiwa, bertumpuk rindu mendendam.

Ki Empu hanyalah tangan panjangnya. Sebab tanpa keris, Ametung pun mati atas semangat Angrok. Dan perintah pembuatan senjata, sekadar penghormatan kepada keduanya. Angroklah penciptanya. Ki Empu hanya menyulap gairah Angrok menjelma lempengan bermutu sebanding sama menyala.

Siang hari, Pu Gandring mencari tetumbuhan ramuan ke hutan, malamnya melanjutkan ritual. Meliriti besi baja mengolesi minyak ajaib serta bermeditasi demi sempurna. Sebuah karya Angrok yang takkan pudar riwayatnya di tlatah Jawa Dwipa.

Di lain tempat Angrok menggalang kekuatan kudeta, agar disetujui khalayak. Para menteri ketakutan bagai tikus kali. Pengawal Ametung dianggapnya anjing-anjing lapar, sekali lempar daging memuji tuan. Angrok, insan faham meramu kesempitan berkesempatan, membalik ciut menjelma kelapangan. Selalu menilik gejala alam diri pula luaran.

Lama sudah setubuhi laguan hayat dianggapnya berdaya mengukuhkan, yang sudi menghisap makna perjalanan. Pemilik watak keras bukanlah karang, tetapi ombak melukis dinding terjal. Kesadaran bayu langkahnya. Hingga pemerhati sepak terjangnya mencemasi masa membadai tak terkendali.

Ia musikus keheningan bathin, pelukis aliran darahnya, penyair disetiap tarian lidahnya. Namun apa daya, keindahan seni mengalir di tubuhnya berasal rindu dendam paling purba. Laksana pemahat tak mapan menjadi tentara, berkesempatan terbaik mencium darah pesaingnya. Seorang ditakdirkan selalu sukses dalam suksesi. Semua jalur dilalui tertunduk nasib besarnya.

Angrok, sang revolusioner tanpa pengetahuan, referensinya tragedi sekitar dan tak diambil kecuali menggasak lebih; bibir merona, mata gemerlap, alis melengkung sepohonan bukit barisan, janggut lancip ke bawah ngarai disiram hujan. Haus percumbuannya segeraian cemara bercampur bau fajar.

Setiap malam, menghitung kalender di balik jendela remang. Sebilah keris setubuh cantik cahaya Ken Dedes, yang matanya sendu jikalau lama tak dikunjungi berkasih sayang. Enam bulan sudah menanti waktu panggilan hasrat. Di senjakala hari terakhir Pu Gandring meliritkan keris naas. Angrok menaiki kuda jantan bersuara deru mendebu beterbangan, awan-gemawan mengawasinya ketakutan.

Mengendarai kerinduan membukit pendendam akan waktu-waktu diperhitungkan. Langit makin legam, kala kalender tua tersobek hari kebangkitan. Melalui pohonan waru berkulit temali pecut, randu-randu sekapuk mayit. Melintasi pepohonan jati menegasi jati diri dan atas trembesi di bathinya membesi.

Ribuan jarak rumput terinjak, disapunya ilalang berangin juang. Batu-batu tangga kesaksian, telaga dilihatnya memalingkan air muka. Angin dingin berhembus jinakkan nyali tetumbuhan sekitar pendapa. Ki Empu gemetaran mendapati firasat pahit menjemputnya pulang, ke negeri sangat asing dari pesawahan.

Kesahajaannya runtuh atas perasaan berkecamuk tanpa tahu gerangan kan terjadi. Teringatlah siang-malam melilit keris demi pemuda deladapan menggapai keyakinan. Dan sebelum rampung menghafal raut Angrok. Turunlah sedari kuda takdir. Dehem keras seguntur menakuti langit, kilatan matanya selaksa petir menyambar ke sudut-sudut terpencil.

Sampailah suara Angrok ke telinga; wahai Ki Empu perkasa, penyimpan kearifan pendahulu utama, di manakah kerisku? Aku telah menunggu hingga membatu tekatku, penantianku menimbulkan kesurupan setiap kali mengingat.
Terngiang harapanku sejarah anak manusia tanpa penghulu, menghujam meminta seorang pujaanku. Nilai terkandung abadikan dirimu dalam catatan waktu. Bersyukurlah kuberi tugas, tak semua orang kuperintah selain yang mulia.
Itu keagunganmu, aku tak pernah mengangkat tinggi penghormatan sebelumnya. Maka di manakah hakku?

Sabar duru anak muda; kata Pu Gandring. Keris yang kau pesan itu belum kulambari asmak kepurnaan. Apa jadinya tanggung sekawanan mendung keraguan, kan mendatangkan petaka. Namun Angrok gelap mata, direbutnya keris dari tangan Gandring atas nafsu membara. Sang Empu bersikukuh memegangi.

Angrok lantang berkata; Hai Ki Empu, keris itu jiwaku. Kau tak mungkin bisa menciptanya tanpa semangatku. Itu bukan hakmu dan kewajibanmu memberikan padaku. Kau telah kuberi kebesaran mencipta apa maumu, namun kenapa sekarang angkuh. Adakah kau cemburu atas keris itu, dimana sebagai penjelmaan kepribadianku?

Kala Pu Gandring mendengar ocehan Angrok, terlena sebocah dirayu janji gula-gula. Tidak disia-siakan merebut paksa. Tapi Empu bukan sembarang orang, gesit menampilkan halau serbuan. Bertarung pun jadi. Keduanya berebut keris jati diri. Takdir telah digariskan, hari dimana Angrok membunuh. Maka segenap dinaya Gandring hanya pertahanan mencapai titik lelah. Sedang perburuan Angrok sudah tertandakan langit paling malam, pun kedalaman lautan sangat kejam.

Dalam sekarat melaknat; Angrok. Aku telah kau tikam keris itu, maka kau dan ketujuh anak turunmu, kelak binasa dengan keris itu juga. Angrok menyesali tindakannya terlalu gegabah, mencipta takdir lain dan kutukan menjadi kenyataan esok. Bukan lantaran kesaktian Gandring, tetapi sesal menghantui Angrok dibawahnya pulang terlaksana. Rasa bersalah, ialah maut bersimpan perasaan was-was gentayangan.

Angrok menemui Ken Dedes di puri. Tanpa sepengetahuan keduanya, Tunggul Ametung menyaksikan mereka saling berkasih rindu, menghabiskan waktu menjelang senja ungu. Ametung mengawasi serupa kelinci mengendap-endap. Senja larut mengumpulkan kesumatnya, tetapi tak mau menumpahkan saat itu juga. Lantas malam pun terjadi.

Malam kamis kliwon Ametung terjaga, mondar-mandir di ruang tengah. Menggaruk kepala bukan apa, serasa ada yang mau hilang darinya. Dedes tertidur pulas mengimpi hari esok bersua kembali, dengan Angrok pujaannya di puri. Malam itu Ametung tak melihat wajah istrinya, Dedes pun tak hawatir sama sekali. Seanak hilang menemui kejelasan pada raut Angrok, ialah kembang mendapati angin segar gerimis.

Ametung masih berlalu-lalang tak memasuki bilik Ken Dedes. Geramnya merencanakan pertarungan jantan, antar dirinya dengan pemuda keparat, Angrok. Dasar alur cerita telah ditentukan, Ametung tersirap ilmu megananda sang penggagas sejarah gemilang Shingosari. Tidak dapat menahan kantuk memberat, tetap tak beranjak ke pembaringan. Seolah tiada gampang menyirapnya meski sekejap.

Tapi sial, angin pagi menyergapnya dari segala penjuru. Terkantuk lelap di ruang tengah di atas kursi kuasanya. Angrok, yang menguntit sejak dari puri menyaksikan gerak-geriknya sudah mencium sedap maut. Darah Ametung telah diraup angin gerilya. Dengan leluasa, Angrok menancapkan keris Gandring atas hasratnya. Menusukkan ke uluh hati Ametung, sampai malaikat maut tak segan mencabut nyawa.

Segala endapan menerima ganjaran, yang tanggung menemui kejelasan, rindu bertemu ciuman merah. Akhirnya, penguasa tanpa diragukan takut peniruan waktu-waktu busuk, membakarnya dengan hasrat menyala. Memuji lawan sisi terang, menghargai sebagai kehormatan. Empu Gandring tanpa Ken Angrok tak kan dikenang.

Jawa, Malang – Lamongan.
Dasar tulisan dari buku “Penulisan Sejarah Jawa,” karangan C.C Berg, yang diterjemahan S. Gunawan, terbitan Bhratara Jakarta 1974.

A Musthafa A Rodhi Murtadho A Wahyu Kristianto A. Mustofa Bisri A. Qorib Hidayatullah A. Zakky Zulhazmi A.J. Susmana A.S. Laksana Aang Fatihul Islam Abdul Azis Sukarno Abdul Aziz Rasjid Abdul Hadi W. M. Abdul Kadir Ibrahim Abdul Malik Abdul Wachid BS Abdullah al-Mustofa Abdullah Khusairi Abdurrahman Wahid Abidah El Khalieqy Abimanyu Abimardha Kurniawan Abroorza A. Yusra Acep Iwan Saidi Acep Zamzam Noor Achmad Maulani Adek Alwi Adhi Pandoyo Adrian Ramdani Ady Amar Afrizal Malna Agnes Rita Sulistyawati Aguk Irawan Mn Agus R. Sarjono Agus Riadi Agus Subiyakto Agus Sulton Aguslia Hidayah Ahda Imran Ahm Soleh Ahmad Farid Tuasikal Ahmad Farid Yahya Ahmad Fatoni Ahmad Kekal Hamdani Ahmad Luthfi Ahmad Muchlish Amrin Ahmad Nurhasim Ahmad Sahidah Ahmad Syauqi Sumbawi Ahmad Yulden Erwin Ahmad Zaini Ahmadie Thaha Ahmadun Yosi Herfanda Ainur Rasyid AJ Susmana Ajip Rosidi Akhiriyati Sundari Akhmad Muhaimin Azzet Akhmad Sekhu Alan Woods Alex R. Nainggolan Alexander Aur Alexander G.B. Alfian Dippahatang Ali Audah Ali Rif’an Aliela Alimuddin Alit S. Rini Alunk Estohank Ami Herman Amich Alhumami Amien Wangsitalaja Aming Aminoedhin Aminudin TH Siregar Ammilya Rostika Sari An. Ismanto Anaz Andaru Ratnasari Andhi Setyo Wibowo Andhika Prayoga Andong Buku #3 Andrenaline Katarsis Andri Cahyadi Angela Anies Baswedan Anindita S Thayf Anjrah Lelono Broto Anton Kurnia Anton Sudibyo Anton Wahyudi Anwar Holid Anwar Siswadi Aprinus Salam Arie MP Tamba Arif Hidayat Arif Zulkifli Arti Bumi Intaran Asarpin Asep Sambodja Asvi Warman Adam Awalludin GD Mualif Ayu Utami Azyumardi Azra Babe Derwan Bagja Hidayat Balada Bandung Mawardi Bayu Agustari Adha Beni Setia Benni Setiawan Benny Benke Bentara Budaya Yogyakarta Berita Bernadette Lilia Nova Bernando J. Sujibto Berthold Damshäuser Bhakti Hariani Binhad Nurrohmat Bokor Hutasuhut Bonari Nabonenar Brunel University London Budaya Budhi Setyawan Budi Darma Budi Hutasuhut Budi P. Hatees Budi Winarto Buku Kritik Sastra Buldanul Khuri Bustan Basir Maras Camelia Mafaza Capres dan Cawapres 2019 Catatan Cecep Syamsul Hari Cerpen Chairil Anwar Chamim Kohari Choirul Rikzqa D. Dudu A.R D. Dudu AR D. Zawawi Imron Dahono Fitrianto Dahta Gautama Damanhuri Damar Juniarto Damhuri Muhammad Damiri Mahmud Dantje S Moeis Darju Prasetya Darma Putra Darman Moenir Darmanto Jatman Dedy Tri Riyadi Delvi Yandra Denny JA Denny Mizhar Dewi Anggraeni Dian Basuki Dian Hartati Dian Sukarno Dian Yanuardy Diana AV Sasa Dinar Rahayu Djenar Maesa Ayu Djoko Pitono Djoko Saryono Doddi Ahmad Fauji Dody Kristianto Donny Anggoro Donny Syofyan Dorothea Rosa Herliany Dwi Cipta Dwi Fitria Dwi Pranoto Dwi S. Wibowo Dwicipta Edeng Syamsul Ma’arif Edi Warsidi Edy Firmansyah EH Kartanegara Eka Alam Sari Eka Budianta Eka Kurniawan Eko Darmoko Ellyn Novellin Elnisya Mahendra Emha Ainun Nadjib Emil Amir Engkos Kosnadi Esai Esha Tegar Putra Evan Ys F. Budi Hardiman Fadly Rahman Fahmi Fahrudin Nasrulloh Faisal Kamandobat Fani Ayudea Fariz al-Nizar Faruk HT Fatah Anshori Fatah Yasin Noor Fatkhul Anas Fatkhul Aziz Felix K. Nesi Film Fitri Yani Franditya Utomo Fuska Sani Evani Gabriel Garcia Marquez Gandra Gupta Garna Raditya Gde Artawan Geger Riyanto Gendhotwukir George Soedarsono Esthu Gerakan Surah Buku (GSB) Goenawan Mohamad Grathia Pitaloka Gunawan Budi Susanto Gunawan Tri Atmojo H. Supriono Muslich H.B. Jassin Hadi Napster Halim H.D. Hamberan Syahbana Hamidah Abdurrachman Han Gagas Hardi Hamzah Haris del Hakim Haris Priyatna Hasan Aspahani Hasan Gauk Hasan Junus Hasnan Bachtiar Helvy Tiana Rosa Helwatin Najwa Hendra Junaedi Hendra Makmur Hendriyo Widi Ismanto Hepi Andi Bastoni Heri Latief Heri Listianto Herry Firyansyah Heru Untung Leksono Hikmat Darmawan Hilal Ahmad Hilyatul Auliya Holy Adib Hudan Hidayat Hudan Nur Husnun N Djuraid I Nyoman Suaka Ibnu Rizal Ibnu Rusydi Ibnu Wahyudi IGK Tribana Ignas Kleden Ignatius Haryanto Iksan Basoeky Ilenk Rembulan Ilham khoiri Imam Jazuli Imam Nawawi Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Iman Budi Santosa Imelda Imron Arlado Imron Tohari Indiar Manggara Indira Margareta Indra Darmawan Indra Tjahyadi Indra Tranggono Indrian Koto Ingki Rinaldi Insaf Albert Tarigan Intan Hs Isbedy Stiawan ZS Ismail Amin Ismi Wahid Ivan Haris Iwan Gunadi Jacob Sumardjo Jafar Fakhrurozi Jajang R Kawentar Janual Aidi Javed Paul Syatha Jean-Marie Gustave Le Clezio JJ. Kusni Joko Pinurbo Joko Sandur Joko Widodo Joni Ariadinata Jual Buku Paket Hemat Julika Hasanah Julizar Kasiri Jumari HS Junaidi Jusuf AN Kadir Ruslan Kartika Candra Kasnadi Katrin Bandel Kenedi Nurhan Ketut Yuliarsa KH. Ma'ruf Amin Khaerudin Khalil Zuhdy Lawna Kholilul Rohman Ahmad Komunitas Deo Gratias Komunitas Teater Sekolah Kabupaten Gresik (KOTA SEGER) Korrie Layun Rampan Krisandi Dewi Kritik Sastra Kucing Oren Kuswinarto Langgeng Widodo Lathifa Akmaliyah Latief S. Nugraha Leila S. Chudori Lenah Susianty Leon Agusta Lina Kelana Linda Sarmili Liston P. Siregar Liza Wahyuninto M Shoim Anwar M. Arman A.Z. M. Fadjroel Rachman M. Faizi M. Harya Ramdhoni M. Kasim M. Latief M. Wildan Habibi M. Yoesoef M.D. Atmaja Mahdi Idris Mahmud Jauhari Ali Mahwi Air Tawar Malkan Junaidi Maman S. Mahayana Mardi Luhung Marhalim Zaini Maria hartiningsih Maria Serenada Sinurat Mario F. Lawi Maroeli Simbolon S. Sn Marsus Banjarbarat Marwanto Mas Ruscitadewi Masdharmadji Mashuri Masriadi Mawar Kusuma Wulan Max Arifin Melani Budianta Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia Mezra E. Pellondou Micky Hidayat Mihar Harahap Misbahus Surur Moh Samsul Arifin Moh. Syafari Firdaus Mohamad Asrori Mulky Mohammad Afifuddin Mohammad Fadlul Rahman Muh Kholid A.S. Muh. Muhlisin Muhajir Arifin Muhamad Sulhanudin Muhammad Al-Fayyadl Muhammad Amin Muhammad Azka Fahriza Muhammad Rain Muhammad Subhan Muhammad Yasir Muhammad Zuriat Fadil Muhammadun A.S Muhidin M. Dahlan Musa Ismail Musfi Efrizal Mustafa Ismail Nafi’ah Al-Ma’rab Naskah Teater Nezar Patria Nina Setyawati Nirwan Ahmad Arsuka Nirwan Dewanto Noor H. Dee Noval Maliki Nunuy Nurhayati Nur Haryanto Nurani Soyomukti Nurel Javissyarqi Nurhadi BW Nurudin Octavio Paz Oliviaks Orasi Budaya Akhir Tahun 2018 Pablo Neruda Pamusuk Eneste Panda MT Siallagan Pandu Jakasurya PDS H.B. Jassin Philipus Parera Pradewi Tri Chatami Pramoedya Ananta Toer Pramono Pranita Dewi Pringadi AS Prosa Puisi Puisi Menolak Korupsi PuJa Puji Santosa Puput Amiranti N Purnawan Andra PUstaka puJAngga Putri Utami Putu Fajar Arcana Putu Wijaya Qaris Tajudin R Sutandya Yudha Khaidar R. Sugiarti R. Timur Budi Raja R.N. Bayu Aji Rachmad Djoko Pradopo Radhar Panca Dahana Rahmadi Usman Rahmat Sudirman Rahmat Sularso Nh Rahmat Sutandya Yudhanto Raihul Fadjri Rainer Maria Rilke Raja Ali Haji Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Raudal Tanjung Banua Reiny Dwinanda Remy Sylado Resensi Revolusi Riadi Ngasiran Ribut Wijoto Ridha al Qadri Ridwan Munawwar Rikobidik Riri Riris K. Toha-Sarumpaet Risang Anom Pujayanto Rizky Andriati Pohan Robert Frost Robin Al Kautsar Robin Dos Santos Soares Rodli TL Rofiqi Hasan Rohman Budijanto Romi Febriyanto Saputro Rosihan Anwar RR Miranda Rudy Policarpus Rukardi S Yoga S. Jai S.I. Poeradisastra S.W. Teofani Sabam Siagian Sabrank Suparno Saiful Amin Ghofur Sainul Hermawan Sajak Sakinah Annisa Mariz Salamet Wahedi Salman Rusydie Anwar Samsudin Adlawi Sapardi Djoko Damono Sartika Dian Nuraini Sastra Sastra Gerilyawan Sastri Sunarti Satmoko Budi Santoso Saut Situmorang Sejarah Sekolah Literasi Gratis (SLG) SelaSastra SelaSastra ke #24 Selasih Seno Gumira Ajidarma Seno Joko Suyono Sergi Sutanto Shadiqin Sudirman Shiny.ane el’poesya Sidik Nugroho Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Simo Sungelebak Karanggeneng Lamongan Siti Sa’adah Sitok Srengenge Siwi Dwi Saputro Sjifa Amori Sofyan RH. Zaid Soni Farid Maulana Sony Prasetyotomo Sosiawan Leak Sri Wintala Achmad Sri Wulan Rujiati Mulyadi Subhan SD Suci Ayu Latifah Sulaiman Djaya Sulistiyo Suparno Sunaryo Broto Sunaryono Basuki Ks Sungatno Sunlie Thomas Alexander Sunudyantoro Suriali Andi Kustomo Suryadi Suryansyah Suryanto Sastroatmodjo Susi Ivvaty Susianna Susilowati Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Suwardi Endraswara Syaifuddin Gani Syaiful Bahri Syam Sdp Syarif Hidayatullah Tajuddin Noor Ganie Tammalele Tan Malaka Taufik Ikram Jamil Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat Teguh Trianton Tengsoe Tjahjono Th Pudjo Widijanto Thayeb Loh Angen Theresia Purbandini Tia Setiadi Tito Sianipar Tiya Hapitiawati Tjahjono Widarmanto Tjahjono Widijanto Toko Buku Murah PUstaka puJAngga Tosa Poetra Tri Joko Susilo Triyanto Triwikromo Tu-ngang Iskandar Udo Z. Karzi Uly Giznawati Umar Fauzi Umar Kayam Undri Uniawati Universitas Indonesia UU Hamidy Vyan Tashwirul Afkar W Haryanto W.S. Rendra Wahyudin Wannofri Samry Warung Boenga Ketjil Waskiti G Sasongko Wawan Eko Yulianto Wawancara Web Warouw Wijang Wharek Wiko Antoni Wina Bojonegoro Wira Apri Pratiwi Wiratmo Soekito Wishnubroto Widarso Wiwik Hastuti Wiwik Hidayati Wong Wing King WS Rendra Xu Xi (Sussy Komala) Y. Thendra BP Y. Wibowo Yani Arifin Sholikin Yesi Devisa Yohanes Sehandi Yona Primadesi Yosi M. Giri Yusi Avianto Pareanom Yusri Fajar Yusrizal KW Yuval Noah Harari Yuyu AN Krisna Zaki Zubaidi Zalfeni Wimra Zawawi Se Zehan Zareez Zen Hae Zhaenal Fanani Zuarman Ahmad Zulfikar Akbar Zulhasril Nasir