Kamis, 25 Maret 2010

Globalitas dan Lokalitas dalam “Membayangkan Indonesia”:

Sebuah Kritik Pascakolonial

Saut Situmorang
http://www.sastra-indonesia.com/

Adalah studi terkenal dari Indonesianis asal Universitas Cornell, Amerika Serikat, Ben(edict) Anderson tentang nasionalisme yang membuat kita sadar bahwa konsep “nasionalisme” bukanlah lahir begitu saja dari langit biru di atas kepala, tapi merupakan sebuah realitas yang diciptakan oleh imajinasi di dalam kepala – sesuatu yang dibayangkan, sebuah konstruk kultural. Atau dalam definisi Hugh Seton-Watson yang dikutip Anderson dalam bukunya “Imagined Communities” dimaksud: “. . . [Sebuah] bangsa eksis ketika sejumlah penting anggota sebuah komunitas menganggap diri mereka membentuk sebuah bangsa, atau berlaku seakan-akan mereka membentuk sebuah bangsa” [italic saya]. Mengikuti anjuran Anderson, kita bisa menerjemahkan “menganggap diri mereka” sebagai “membayangkan diri mereka” pada kutipan di atas.

Apa yang tentu saja masih bisa dipertanyakan lagi tentang definisi “bangsa” sebagai “sebuah komunitas politik yang dibayangkan” itu adalah soal “siapakah” yang melakukan kegiatan “membayangkan” tersebut? Anderson menyatakan bahwa bangsa itu dibayangkan sebagai sebuah “komunitas” karena, “tidak persoalan kemungkinan adanya ketidaksetaraan dan eksploitasi yang aktual di dalamnya, bangsa selalu dipercayai merupakan sebuah persaudaraan yang mendalam dan horisontal”. Dari pernyataan tersebut bukankah tersirat atau terbayangkan adanya sebuah kelompok tertentu yang menganggap dirinya mempunyai hak karena, mungkin, merasa bertanggungjawab, berkewajiban untuk mewakili, menjadi penyambung lidah kelompok-kelompok lain dalam komunitas tersebut? Kelompok yang mendominasi ini – bisa disebabkan oleh faktor-faktor seperti garis keturunan, kelas sosial, dan tingkat pendidikan – percaya, disadari atau tidak, bahwa merekalah yang pantas untuk merepresentasikan kelompok-kelompok lain dalam komunitas dimaksud. Tentu saja rasa percaya mereka ini masih juga bisa dipertanyakan lagi kenetralannya: tidak mungkinkah ada kepentingan politik tertentu yang menjadi alasan dari timbulnya rasa percaya mereka itu? Tidak mungkinkah pula kepentingan politik tersebut berbeda dari kepentingan politik kelompok-kelompok lain dalam komunitas yang mereka representasikan sebagai “bangsa” tersebut?

Antologi pertanyaan semacam ini, saya yakin, cukup relevan dilontarkan dalam konteks pembentukan sebuah wacana (discourse) yang implikasinya menyangkut kepentingan beragam kelompok sosial seperti “bangsa” atau “nasionalisme” itu. Saya akan mengambil sebuah contoh dari dunia budaya pop kita.

Kita tentu masih ingat sebuah iklan Extra Joss di televisi sewaktu berlangsungnya Piala Dunia Sepakbola di Jepang/Korea beberapa tahun lalu. Iklan tersebut dimulai dengan sebuah shot seorang laki-laki muda Indonesia berpakaian seragam sepakbola di sebuah lapangan kosong yang kemudian memandang close up ke kamera dan bertanya, “Kapan sepakbola Indonesia ikut Piala Dunia?” Adegan berikutnya terjadi di ruang ganti pakaian di mana laki-laki muda tadi hendak mengambil minuman kaleng dari sebuah mesin minuman. Jendela kaca mesin minuman tersebut tiba-tiba berubah menjadi sebuah layar (televisi?) dan di situ muncul seorang pemain bola terkenal dari Italia, Del Fiero, yang menggapai ke arah laki-laki Indonesia tadi untuk masuk ke dalamnya. Laki-laki Indonesia itu masuk ke dalam layar tersebut. Kita kemudian menyaksikan betapa laki-laki Indonesia itu dipermainkan sebelum akhirnya dipantati keluar layar oleh Del Fiero. Del Fiero lalu mengucapkan sesuatu yang terjemahannya dalam subtitle di layar televisi kita berbunyi, “Jangan putus asa”. Apa yang muncul dalam kepala saya sehabis menonton iklan Extra Joss tersebut adalah pertanyaan-pertanyaan seperti: Untuk penonton mana iklan itu dibuat? Siapa yang membuat iklan tersebut? Siapa pemilik Extra Joss yang diiklankan itu? Kalau jawaban atas ketiga pertanyaan ini adalah “orang Indonesia”, maka saya berkesimpulan sudah terjadi sesuatu pada pandangan orang Indonesia atas dirinya sendiri. Representasi “Indonesia” yang dibuat orang Indonesia untuk konsumsi orang Indonesia seperti pada iklan Extra Joss itu adalah sebuah sadomasokhisme nasionalisme, karena para konsumennya pun ternyata tidak merasa “terhina” melihat dirinya dipermainkan pemain asing dalam sebuah permainan sepakbola, dipantati keluar dari permainan dan dinasehati untuk tidak putus asa!

Dalam iklan Extra Joss tersebut saya melihat sebuah isu lama tapi yang masih tetap hangat didebatkan ditawarkan kepada penontonnya, yaitu isu “kita” dan “mereka”, “Timur” dan “Barat”, atau apa yang saya sebut sebagai Lokalitas dan Globalitas dalam esei saya ini. “Kita” ketinggalan jauh dalam hal persepakbolaan dibanding “mereka”, makanya sudah pantas kalau “kita” dipermainkan “mereka”. Dari sini bisa juga ditarik sebuah kesimpulan, walau sangat umum, bahwa yang “global” itu lebih baik dibanding yang “lokal”.

Tentu saja pendapat bahwa yang “global” itu lebih baik dibanding yang “lokal” tidak selalu mendominasi di Indonesia. Dalam pergaulan sehari-hari, kita akan menemukan justru yang sebaliknyalah yang sering terjadi, yaitu yang “lokal” dianggap jauh lebih baik daripada yang “global”, “Timur” lebih bernilai positif dibanding “Barat”.

Dalam sejarah pemikiran kebudayaan kita, perdebatan penting tentang isu “globalitas” dan “lokalitas”, tentang “Barat” dan “Timur”, pernah terjadi di tahun 1930an, 1960an, dan 1980an, yaitu apa yang kita kenal sekarang sebagai Polemik Kebudayaan, Polemik Lekra/Manikebu (Prahara Budaya?!), dan Perdebatan Sastra Kontekstual. Saya melihat terdapat sebuah benang merah pemikiran yang menghubungkan ketiga peristiwa penting tersebut yaitu bagaimana “sekelompok elite intelektual” berusaha “membayangkan” apa yang mereka representasikan sebagai “Indonesia” itu sebagai sebuah realitas yang sesungguhnya, paling tidak sebuah realitas yang paling ideal.

***

Adalah Sutan Takdir Alisjahbana yang merupakan pemikir lokal pertama yang melontarkan isu “globalitas” dan “lokalitas”, dalam konteks sebuah usaha “membayangkan Indonesia”, lewat sebuah esei kontroversial yang dipublikasikannya di majalah yang didirikan dan dipimpinnya “Pujangga Baru” pada 1935. Dalam esei berjudul “Menuju Masyarakat dan Kebudayaan Baru” yang akhirnya menimbulkan apa yang oleh Achdiat K Mihardja disebut sebagai “Polemik Kebudayaan” tersebut (yang melibatkan tokoh-tokoh penting saat itu: Sanusi Pane, Dr Poerbatjaraka, Dr Sutomo, Tjindarbumi, Adinegoro, Dr M Amir, dan Ki Hajar Dewantara), Sutan Takdir memajukan tesisnya bahwa sejarah sesuatu yang bernama “Indonesia” itu harus dibedakan atas dua zaman, yaitu zaman “Indonesia” kontemporer abad duapuluh – yang dikarakterisasikannya sebagai “ketika lahir suatu generasi yang baru di lingkungan Nusantara ini, yang dengan insyaf hendak menempuh suatu jalan yang baru bagi bangsa dan negerinya”– dan zaman sebelum itu, zaman hingga penutup abad sembilanbelas, “zaman prae-Indonesia, zaman jahilliah keindonesiaan, yang hanya mengenal sejarah Oost Indische Compagnie, sejarah Mataram, sejarah Aceh, sejarah Banjarmasin dan lain-lain”.

Kita bisa membayangkan “ahistorisme” pasti akan dituduhkan atas pemahaman sejarah yang terkesan patah-patah macam begini. Tapi apa yang lebih memperparah “ahistorisme” Sutan Takdir di mata lawan-lawan polemiknya adalah pernyataan tegasnya bahwa:

“Ramuan untuk masyarakat dan kebudayaan Indonesia di masa yang akan datang harus kita cahari sesuai dengan keperluan kemajuan masyarakat Indonesia yang sempurna. Tali persatuan dari bangsa kita teristimewa sekali berdasarkan atas kepentingan bersama itu ialah sama-sama mencari alat dan berdaya upaya, agar masyarakat kepulauan Nusantara yang berabad-abad statisch, mati ini menjadi dynamisch, menjadi hidup. Sebabnya hanya suatu masyarakat yang dynamisch yang dapat berlomba-lomba di lautan dunia yang luas.

Maka telah sepatutnya pula alat untuk menimbulkan masyarakat yang dynamisch yang teristimewa sekali kita cahari di negeri yang dynamisch pula susunan masyarakatnya. Bangsa kita perlu alat-alat yang menjadikan negeri-negeri yang berkuasa di dunia yang dewasa ini mencapai kebudayaannya yang tinggi seperti sekarang: Eropah, Amerika, Jepang.

Demikian saya berkeyakinan, bahwa dalam kebudayaan Indonesia yang sedang terjadi sekarang ini akan terdapat sebagian besar elementen Barat, elementen yang dynamisch. Hal itu bukan suatu kehinaan bagi sesuatu bangsa. Bangsa kita pun bukan baru sekali ini mengambil dari luar: kebudayaan Hindu, kebudayaan Arab.

Dan sekarang ini tiba waktunya kita mengarahkan mata kita ke Barat.”

“Timur” statis makanya mati dan “Barat” dinamis makanya hidup, maka sudah waktunya kita berkiblat ke “Barat” untuk menghidupkan kembali “Timur” yang sudah mati itu, demikianlah kira-kira Sutan Takdir “membayangkan” komunitas “Indonesia” yang dilihatnya “sedang terjadi sekarang ini” itu. Polarisasi “Timur dan Barat” seperti ini akan kita temukan dengan kadar yang lebih kuat lagi pada pandangan lawan-lawan polemik Sutan Takdir, terutama Sanusi Pane dan Dr Sutomo. Tapi bedanya, mereka terutama kedua yang terakhir ini justru memandang “Barat” sebagai yang negatif makanya mesti dihindarkan, demi kemurnian “Timur” yang adiluhung itu.

Sanusi Pane dalam “Persatuan Indonesia”, tulisan tanggapannya atas esei polemis Sutan Takdir tersebut, menyatakan, dengan tidak kalah tegasnya pula, bahwa:

“Barat. . .mengutamakan jasmani, sehingga lupa akan jiwa. Akalnya dipakainya menaklukkan tenaga alam. Ia bersifat Faust, ahli pengetahuan (Goethe), yang mengorbankan jiwanya, asal menguasai jasmani.

Timur mementingkan rohani, sehingga lupa akan jasmani. Akalnya dipakainya mencari jalan mempersatukan dirinya dengan alam. Ia bersifat Arjuna yang bertapa di Indrakila.”

Walaupun Sanusi Pane beranggapan bahwa sesuatu yang ideal adalah “menyatukan Faust dengan Arjuna, memesrakan materialisme, intellectualisme, dan individualisme dengan spiritualisme, perasaan dan collectivisme”, kita masih bisa merasakan justru sifat idealisme-utopis yang mustahil untuk diwujudkan dari konsep penyatuan Faust/Arjuna itulah yang membuat dia akhirnya masih percaya bahwa “Timur, lebih baik” karena “materialisme, intellectualisme dan individualisme” – yang merupakan dasar berkembangnya budaya Barat tapi yang juga menimbulkan ketidakadilan (“ada orang yang kebanyakan dan ada yang kelaparan”) – boleh dikatakan tidak diperlukan. “Manusia merasa dirinya satu dengan dunia sekelilingnya,” demikianlah alasan Sanusi Pane dalam memilih “Timur” ketimbang “Barat”.

Cara memandang “Timur” secara mistik begini terefleksi juga pada isi beberapa prasaran dalam Kongres Permusyawaratan Perguruan Indonesia yang berlangsung di Solo pada tahun yang sama, yang membuahkan kritik yang bahkan jauh lebih keras lagi dari Sutan Takdir. Kritik Sutan Takdir yang diberi judul “Semboyan yang Tegas” itu ditujukan pada apa yang dilihatnya sebagai kecenderungan sikap “anti-intellectualisme, anti-individualisme, anti-egoisme, anti-materialisme” – atau anti-Barat secara umum karena isme-isme inilah yang dianggap sebagai dasar-dasar budaya Barat oleh kalangan elite intelektual kita saat itu, seperti juga sekarang – pada pidato sejumlah besar pembicara pada Kongres tersebut. Ki Hajar Dewantara misalnya menyatakan bahwa kecerdasan pikiran dan ilmu pengetahuan berpengaruh kuat atas tumbuhnya egoisme dan materialisme, sementara mengasah intelek 8 jam di sekolah menimbulkan intelektualisme yang memisahkan sekolah dari hidup keluarga hingga “sia-sialah usaha pendidikan budi pekerti dan budi khalayak di ruang keluarga itu”! Dr Sutomo mencela sistem pendidikan kolonial karena “terutama mementingkan kecerdasan akal”! Dr Wediodiningrat malah mengecam habis-habisan “kecerdasan otak cara sekarang” yang dikatakannya menciptakan “perasaan pertempuran antara ‘aku’ yang satu dengan ‘aku’ yang lain”. Untuk mencegah terjadinya “kekacauan bagi dunia” maka dianjurkannya “peleburan perasaan ‘aku’” tersebut. Bagi Sutan Takdir, sikap anti atas isme-isme di atas merupakan sikap yang mengada-ada, tidak relevan, karena mengesankan seolah-olah isme-isme tersebut sudah mapan, sudah mentradisi makanya mulai menjadi negatif pengaruhnya di negeri kepulauan ini, padahal:

“Kalau kita timbang benar-benar, soal bangsa kita bukannya soal intellectualisme, bukanlah soal egoisme, bukan pula soal materialisme. Kalau kita analyseeren masyarakat kita dan sebab-sebabnya kalah bangsa kita dengan perlombaan bangsa-bangsa di dunia, maka nyatalah kepada kita bahwa menjadi statischnya, menjadi matinya, tiada berjiwanya masyarakat bangsa kita ialah karena berabad-abad itu kurang memakai otaknya, kurang egoisme (yang saya maksudi bahagiannya yang sehat), kurang materialisme.”

Sambil sekaligus membantah Sanusi Pane, Sutan Takdir percaya bahwa “sesungguhnya soal bangsa kita yang sebenar-benarnya soal kekurangan intellect, soal kurang hidupnya individu, soal terlampau pemurahnya (kurang egoismenya) tiap-tiap orang, soal kurang giatnya orang mengumpulkan harta dunia”. Sutan Takdir mengunci kritiknya itu dengan sebuah serangan balik yang telak dalam bentuk sebuah isu baru yang sekali lagi dialah yang pertama melontarkannya untuk diperdebatkan di kalangan intelektual kita: “Dan sesungguhnya masyarakat bangsa kita telah mulai dynamisch dalam dua tiga puluh tahun yang akhir ini. Sebabnya ialah pendidikan Barat yang diejekkan intellectualistisch, individualistisch, egoistisch, dan materialistisch itu”.

***

Peristiwa “membayangkan” apa itu kolektivitas bernama “Indonesia” tentu saja sudah pernah terjadi sebelum Polemik Kebudayaan seperti yang bisa kita saksikan pada didirikannya lembaga penerbitan kolonial Belanda Balai Pustaka dengan konsep sastra Melayu Tinggi-nya itu. Atau pada pertemuan para intelektual muda kolonial yang menghasilkan Sumpah Pemuda yang terkenal itu pada 28 Oktober 1928. Tapi baru pada peristiwa Polemik Kebudayaan terlihat dengan jelas untuk pertama kalinya polarisasi konseptual antara globalitas dan lokalitas di kalangan kaum intelektual Indonesia dalam “membayangkan Indonesia”.

Terlepas dari setuju-tidaknya kita atas pandangan Sutan Takdir Alisjahbana dan lawan-lawan polemiknya tentang apa itu “Barat” dan “Timur”, apa yang menarik adalah bahwa polemik tersebut terjadi di kalangan mereka yang rata-rata memperoleh “pendidikan Barat”, sampai ke tingkat perguruan tinggi malah. Mereka adalah alumni pertama dari sistem pendidikan Barat dalam sejarah perkembangan intelektual kita. Tapi satu hal yang sangat mengherankan: walau bagaimanapun kerasnya (bahasa) kedua pihak membela diri sambil menyerang lawan polemik, tidak satu pun dari mereka pernah dengan kritis membicarakan kondisi masyarakat mereka saat itu, yaitu kolonialisme Belanda itu sendiri!

Perdebatan tentang “Barat” dan “Timur”, tentang yang “Universal” dan yang “Kontekstual”, tentang yang “Global” dan yang “Lokal” di sebuah masyarakat seperti Indonesia tidak bisa melupakan satu hal yang umum dimiliki oleh negeri-negeri Dunia Ketiga seperti Indonesia, yaitu kondisi pascakolonialnya, pascakolonialitasnya. Dunia Ketiga adalah dunia (bekas) jajahan Barat, yaitu Eropa Barat dan Amerika Serikat. Membicarakan segala sesuatu tentang Dunia Ketiga tidak akan memuaskan tanpa juga mempertimbangkan efek-efek kultural dari penjajahan, yang rata-rata berumur panjang itu. Dalam eseinya yang pertama, “Menuju Masyarakat dan Kebudayaan Baru”, yang jadi pemicu terjadinya perdebatan intelektual penting pertama dalam sejarah pemikiran modern Indonesia itu, Sutan Takdir Alisjahbana sebenarnya sudah menyinggung soal-soal yang saat ini dikenal sebagai isu-isu penting masyarakat pascakolonial, seperti mimikri dan hibriditas identitas, tapi satu hal pokok yang justru menjadi sebab dari kondisi pascakolonial tersebut anehnya luput dari pembicaraannya, yaitu realitas kolonialisme yang sedang dialami “Indonesia” yang sedang dibayangkan itu. Membaca kumpulan tulisan mereka dalam buku “Polemik Kebudayaan” yang disusun oleh Achdiat K Mihardja, tidak ada tertinggal kesan pada kita bahwa mereka itu sebenarnya hidup sebagai manusia terjajah di negerinya sendiri, padahal beberapa di antara mereka, menurut buku-buku sejarah, sangat terlibat dengan gerakan melawan penjajahan Belanda di negeri ini. Bangsa adalah sebuah masyarakat yang dikhayalkan, “imagined community”, yang berfungsi sebagai sebuah kekuatan resistensi terhadap kekuasaan hegemonik kolonialisme yang mendominasi masyarakat dimaksud, menurut Ben Anderson. Bukankah sesuatu yang ironis bahwa “kekuasaan hegemonik kolonialisme” itu sendiri sampai “terlupakan” dalam sebuah perdebatan di mana konsep “apa itu Indonesia” merupakan isu yang paling penting. Elitisme sekelompok terpelajar dari keluarga bangsawan atau kelas sosial tinggi justru terkesan sangat kuat mewarnai pandangan mereka walau mereka memakai kosakata yang menyebut-nyebut “bangsa”, “masyarakat”, dan “rakyat” malah.

***

Ada sebuah anekdot terkenal tentang seorang tokoh yang dianggap sebagai representasi dari segala sesuatu yang secara esensialis merupakan nilai keadiluhungan budaya Timur, Mahatma Gandhi. Dalam kunjungannya ke Inggris untuk menghadiri Konferensi Meja Bundar India Kedua pada 1931, Gandhi mendapat sebuah pertanyaan yang dilontarkan seorang wartawan setibanya di kota London: “Mr Gandhi, what do you think of Western civilization?” Jawaban Gandhi berikut ini membuat anekdot tersebut menjadi begitu terkenal, “I think it would be a very good idea”.

Cerita anekdot semacam ini telah menciptakan sebuah mitos “anti-Barat” pada diri Gandhi, apalagi kalau dihubungkan dengan konsep-konsep “anti-materialis”nya seperti swadesi, ahimsa, dan satyagraha, tapi di sisi lain melupakan identitas biografisnya sebagai seorang subjek pascakolonial par excellent.
Seperti diuraikan Robert Young dalam bukunya yang sangat bagus tentang pascakolonialisme, “Postcolonialism: An Historical Introduction”, warisan dari kritik Gandhi atas modernitas, dan atas pemakaian ide-ide Barat secara derivatif tanpa kritis, masih merupakan kekuatan besar dalam pemikiran beberapa pemikir kontemporer India seperti Partha Chatterjee, tanpa melihat paradoks betapa Gandhi mencapai semuanya itu sebagian besar melalui sintesis eklektik dari pemikiran para pemikir counter-culture Barat. Konsep hidup-mandiri swadesi, misalnya, banyak dipengaruhi oleh bacaannya atas pemikiran sosialisme utopia Barat dan teori ekonomi John Ruskin. Bahkan dari ideologi perjuangan nasionalis Irlandia, Sinn Féin, dan gerakan suffragette perempuan Inggris. Henry David Thoreau, Tolstoy, dan Edward Carpenter adalah pemikir-pemikir Barat lain yang sangat besar pengaruhnya pada pembentukan pemikiran “ke-Timur-an” yang diklaim sebagai “asli” ciptaan Gandhi. Seperti yang disimpulkan Young, sekaligus sebagai respons terhadap pemikir pascakolonial Amerika Serikat asal India, Gayatri C Spivak, “Gandhi adalah bukti hidup bahwa kaum subaltern bisa, dan bahkan sudah, bicara”.

Kondisi pascakolonial macam inilah yang gagal disadari oleh lawan-lawan polemik Sutan Takdir yang masih sibuk dengan romantisme “esensialisme” budaya “Timur” atau “lokal” yang mereka anggap masih utuh seperti sebelum terjadinya kolonialisme. Sementara pada Sutan Takdir “kesadaran” akan kondisi pascakolonial itu tidak benar-benar berdasarkan pemahaman akan hibriditas identitas subjek pascakolonial itu sendiri, seperti pada pemikir Aljeria asal Martinique, Frantz Fanon, atau Minke dalam Novel Pulau Buru Pramoedya Ananta Toer, tapi lebih kepada usaha untuk “mensejajarkan diri” dengan “Barat” yang sedang mendominasi tersebut. Atau dalam istilah Asrul Sani dkk lebih dari satu dekade kemudian: “Kami adalah ahli waris yang sah dari kebudayaan dunia dan kebudayaan ini kami teruskan dengan cara kami sendiri”. “Kesejajaran status dengan Barat” (Belanda); makanya mesti dicapai lewat pendidikan Barat – seakan-akan pendidikan Barat memang jaminan untuk itu, seakan-akan tidak ada politik alternatif lain di luar politik pendidikan yang bisa juga memungkinkan terjadinya kondisi kesetaraan tersebut. Makanya juga tidak terdapat pembicaraan yang kritis atas (politik) kolonialisme yang sedang dihadapi. Kesalahkaprahan Sutan Takdir ini kita lihat diulang lagi akhir-akhir ini dengan munculnya ide untuk membentuk apa yang disebut sebagai “Pusat Kebudayaan Indonesia” di luar Indonesia, hanya sebagai kenaifan untuk ikut-ikutan dalam sebuah perlombaan imperialisme kebudayaan ketimbang benar-benar demi kepentingan kebudayaan itu sendiri.

***

Pascakolonialitas masyarakat Dunia Ketiga, dalam konteks pembicaraan globalitas dan lokalitas dalam identitasnya, mungkin bisa dijelaskan secara umum seperti berikut ini.

Ekspansi kapitalisme-awal Barat berjalan mulus setelah terjadi dan menjadi kokohnya kolonialisme Barat di Asia, Afrika, dan benua Amerika. Sementara itu, untuk bisa hidup langgeng happily ever after, kolonialisme memerlukan terjadinya proses regenerasi, seperti organisme hidup lainnya. Khas watak kapitalisme, ideologi ongkos-produksi minimum dengan keuntungan sebesar-besarnya membuat para kapitalis-kolonialis memanfaatkan sumber daya manusia, setelah mengeruk sumber daya alam, negeri jajahan masing-masing. “Pendidikan kaum tertindas” pun dimulai, dengan mendirikan “sekolah rakyat” walau terbatas hanya untuk “para priyayi” – untuk menyediakan lapangan kerja yang lebih murah ketimbang mendatangkan pekerja dari negeri asal kaum kolonial itu sendiri. Alasan untuk memilih hanya kelompok “para priyayi” karena mereka ini memang yang paling banyak berkepentingan, sebagai kelas sosial yang berkuasa (sebelum dan bahkan sesudah terjadinya kolonialisme), untuk/atas terciptanya sebuah “kolaborasi penjajah-terjajah”, lewat pendidikan dan pekerjaan. Kolaborasi inilah yang akhirnya melahirkan “kaum elite koloni”. Mereka ini jugalah yang kelak di kemudian hari bermetamorfosis menjadi “the founding fathers” itu, seperti presiden atau perdana menteri pertama negeri-negeri koloni yang berhasil memperoleh “kemerdekaan”nya. Karena asalnya memang metamorfosis “kolaborasi penjajah-terjajah”, para “the founding fathers” negeri-negeri bekas koloni adalah subjek hibrid pascakolonial, fisiknya Bumiputra tapi “selera”nya Eropa Barat atau Amerika Serikat. Black skin, white masks, kata Fanon.

Ironisnya, justru setelah “merdeka” dan untuk “mengisi” kemerdekaan tersebut, menjadi pakem kebijaksanaan administrasi negara dan politik luar negeri setiap negeri pascakolonial untuk harus menggarisbesarkan orientasi eksistensinya ke kiblat Eropa Barat atau Amerika Serikat, kekuasaan yang pernah lama bercokol jadi hegemoni dominan di masing-masing negeri bekas koloni, yang telah berubah menjadi kekuatan hegemonik neo-kolonialisme politik, ekonomi dan budaya itu. Terutama lewat apa yang secara eufemistik disebut sebagai “globalisasi” ekonomi itu. Karena diciptakan di bumi budaya Barat, mau tak mau istilah “globalisasi ekonomi” tentu sarat dengan kandungan ideologi budaya Barat. Politik ekonomi tidak mungkin tidak memiliki politik budaya. Akhirnya, “pendidikan kaum tertindas” ternyata cuma awal dari “globalisasi” nilai-nilai budaya kaum kolonial belaka. Inilah paradoks dari “nasionalisme” hibriditas identitas subjek pascakolonial itu. La Trahison des Clercs?

GETIR CINTA; TERHALANG BALAS BUDI

Judul : ZALZALAH:Biarkan Cinta pada Akhirnya
Penulis : Masdhar Z
Penerbit : Semesta (Kelompok Pro-U Media), Yogyakarta
Tahun Terbit : 2009
Tebal : 325 Hlm
Peresensi : Denny Mizhar*
http://www.sastra-indonesia.com/

Perkembangan sastra relegius yang mengangkat tema agama ataupun hanya latar agama mengejala ketika novel ayat-ayat cinta beredar. Dibarengi dengan banyak munculnya penulis-penulis lahir dari pesantren, mereka banyak mengungkap pengalaman atas realitas yang di diaminya untuk diungkapkan dalam bentuk fiksi. Entah kisah sebuah semangat akan masa depan, atau hanya sekedar kisah cinta.

Begitu halnya novel yang ditulis oleh Masdar penulis yang beraktivitas di kota Malang, mengangkat latar pesantren dengan segala kehidupannya. Zalzalah sebuah novel yang mengajak pembaca menelisik kehidupan pesantren dari makan, tidur, pola pendidikan, serta ibadah-ibadah yang ada.

Bermula dari kisah Milati seorang gadis muda telah lama hidup dipesantren yang sekaligus panti asuhan. Melati adalah yatim piatu sejak kecil hidup dalam pesantren tersebut hingga dia mengabdikan diri pada yayasan yang telah membesarkannya. Sama halnya dengan Syaqib sahabat Milati dipesantren tersebut. Milati dan Syaqib sangat dekat, mereka berdua sama-sama mengerti kebiasaannya. Tetapi kehidupan pesantren yang mengedepankan ajaran Agama Islam, siapapun yang bukan mukhrim tidak boleh melebihi batas dalam bergaul (h.19). Melati dan Syaqib mendapat teguran hingga mereka membuat jarak diantaranya akhirnya.

Kisah dalam Novel Zalzalah ini menarik ketika kedatangan anak pengasuh pesantern dari studinya di Yaman. Pemuda yang tampan menggegerkan penghuni pesantren terutama santri perempuan yang beranjak dewasa serta para ustad yang masih belum punya pasangan. Beruntunglah Milati karena kedekatannya dengan pemilik pesantren hingga dia diajak menjemput anaknya dari bandara. Semua bertanya pada Milati bagaimana anak laki-laki Kyai pemilik pesantren tersebut.

Syaqib yang menaruh hati sejak awal pada Milati merasa tersingkirkan dalam hidup Milati. Walaupun Milati masih manganggap sahabat. Misas nama anak Kyai pemilik pesantren tersebut juga lama kelamaan menaruh hati pada Milati. Dengan gaya kehidupan pesantren Masdar mengemas kisah penaklukan Misas pada Milati. Melewati surat Misas mengunkapkan rasa hatinya pada Milati.

Seakan kita dibawah pada kisah cinta tempo dulu, surat adalah media menarik untuk saling bertukar perasaan. Syaqib sahabat Milati yang menaruh hati padanya semakin gusar atas perasaanya. Apalagi ketika Misas menitipkan surat untuk Milati padanya. Tak mampu melakukan dia pun menitipkannya kembali pada tukang masak di pesantren tersebut (h.93). Hal yang biasa kita temui dalam pesantren jika saling titip menitip surat dan sembunyi-sembunyi agar tak ketahuaan Kyainya. Walaupun Misas adalah anak Kyai dia tidak berani mengungkap terang-terangan persaannya tersebut.

Dengan sedikit dibubuhi narasi-narasi puitis Novel ini mengajak bermain-main keromantisan perasaan cinta dua anak manusia. Masdar mengajak pembacanya untuk menunggu dan terus menunggu bagaimana kelanjutan kisah Milati dan Misas.

Hingga pada suatu hari Misas terpukul atas perjodohan yang dilakukan oleh abahnya yakni meminang putrid Kyai Syafi’ dari Kediri. Begitupun Milati merasa terpukul atas rencana yang dilakukan oleh Kyainya yang sejak kecil mengasuh dirinya hingga tumbuh besar dan mengerti sedikit banyak tentang agama. Ketabahan tampak dari Milati walupun rasa cinta yang menderuh tertahan akibat sebuah balas budi yang dilakukan oleh Kyainya (h.139).

Kadang kita merasa bahwa balas budi tidak bisa dirupakan dengan apapun, sama dengan kita menolong orang yang telah menolong kita. Apapun yang kita punya akan kita berikan semua. Sakit hati terabaikan, rasa sungkan mengambang. Hal tersebut yang dialami oleh Milati.

Dalam Novel ini tokoh Milati harus rela berbohong demi balas budi dan menyenangkan orang yang menolongnya, ia mengorbankan cintanya. Sampailah pernikahan Misas dengan Hurin seorang gadis buta tetapi tidak kalah dengan Gadis normal untuk pemahaman agama dan hafalan al-quran. Tidak heran jika pesantren memiliki tardisi untuk jodoh menjodohkan. Di sinilah awal Gunjangan hati yang disebut Zalzalah oleh Masdar bermula.

Penulis tetap membawa pada rasa penasaran atas rasa cinta dua anak manusia yang mengelora antara Misas dan Milati. Di guncang-guncang terus dengan puisi-puisi yang juga banyak berserak dalam novel tersebut, serta surat-surat cinta yang romantis. Menguras air mata, menstimulus detak jantung, menguapkan kesediaan.Hingga akhirnya berujung pada maut yang tidak terkendaki melengkapi kata zalzala sebagai kisah penutup atas terjadinya gempa di Jogja dengan kematian Milati yang membawa cinta Misas. Cinta sejati, mungkin itu yang diharapkan oleh Milati hingga dia banyak mengorbankan diri, serta balas budi yang menjadikan ia menderita.

Novel Zalzalah: biarkan cinta pada akhirnya, banyak memberi refrensi dialek-dialek bahasa arab serta bahasa daerah dengan catatan kaki sebagi penuntun pembaca untuk mengerti arti dari dialek-dialek tersebut. Pesantren di daerah Nganjuk, Kediri serta Jombang terpotret dalam latar novel karya Masdar misalnya Pondok pesantren Nurul huda Pare, Lirboyo Kediri, Pondok Tebu Ireng Jombang, Pesantren Ilmu Al-Quran Malang. Tidak ketinggalan puisi-puisi juga menyapa pembaca getir, senang, sedih dimunculkan menjadi pemanis jalan cerita (h.291). Sebagai teman santai sambil mengingat kisah cinta masa lalu bagi alumni pesantren, serta sedikit pengetahuan tentang pesantren bagi yang tidak pernah menyinggahinya, Novel Zalzalah menarik untuk dibaca. Selamat Membaca.

*) Koordinator Divisi Pengkajian Sastra-Budaya Center For Relegiuos and Social Studies (ReSIST) Malang, Pegiat Komunitas Sastra-Budaya Lembah Ibarat Malang, Pegiat MOZAIK Comunity Malang.

MEMBACA JARAN GOYANG, HATI PUN BERGOYANG;

Catatan Kecil Sajak Samsudin Adlawi

Imamuddin SA
http://www.sastra-indonesia.com/

Waktu itu, kira-kira sehabis Isya’, saya menguhubungi kawan saya. Saya bermaksud mau ngobrol-ngobrol denganya. Seketika itu saya lansung mengambil motor dan memacunya ke rumah kawanku tadi. Bukan sekedar kawan, tapi lebih dari itu. Entah apalah, yang jelas dia istimewa bagi saya. Namanya Nurel Javissyarqi.

Sesampainya di rumahnya, saya langsung bertemu dengannya. Seperti biasa, saya menemukannya sedang khusyuk dengan leptopnya. Membuat esai dan berkutat dengan facebook.

Kami ngobrol-ngobrol panjang lebar tentang face book dan sastra. Kami berbicara masalah pempublikasian karya sastra lewat facebook. Tampaknya akhir-akhir ini karya sastra ramai diperbincangkan di face book. Padahal beberapa saat yang lalu, bloog-lah yang meramaikannya. Sungguh perputaran peristiwa yang begitu cepat.

Selain ngobrol tentang facebook, kami juga nyentil sedikit masalah memudarnya media cetak dalam kalangan sastra, khususnya puisi. Baik di surat kabar maupun perbukuan. Peredaran puisi dalam perbukuan perlu diperhatikan. Pasalnya pihak penerbit enggan menerimanya untuk dilakukan penerbitan. Alasnnya, puisi pangsa pasarnya sedikit. Konsumennya terbatas. Hawatir pihak penerbit mengalami kerugian. Ini tidak jauh berbeda dengan nasib cerpen dan novel serius. Penerbit enggan menerimannya sebab mereka mengikuti selera pasar. Dan dalam realitasnya, pasar menghendaki karya-karya picisan, tenlit, dan teklit. Hal itu menyebabkan para sastrawan harus ekstra memutar otak agar dapat mempublikasikan karya-karyanya. Hanya mereka yang memiliki kemauan kuat dan modal vinansial yang cukuplah yang pada akhirnya dapat menerbitkan karya-karyanya. Apalagi bagi sastrawan regenerasi.

Begitu juga dengan surat kabar. Staf redaksi kerap meng-cut karya-karya sastrawan regenerasi yang ingin berkembang. Konon ada seorang penulis yang tengah mengirimkan karya-karyanya hingga mencapai ratusan karya, namun tak kunjung dimuat juga. Entah alasannya bagaiman. Mendengar kabar burung, katanya ada ungkapan baru; kalau tak kenal, maka tak saya-terbitkan. Kalau tak semadzhab, maka tak usah dihiraukan. Kalau tidak selera, maka tak perlu saya cantumkan. Tampaknya tiga ungkapan ini yang berdasarkan kabar burung melingkupi pempublikasian karya-karya sastrawan regenerasi. Padahal jika mau jujur dan objektif, tidak sedikit karya-karya sastrawan regenerasi memiliki kekuatan dan enak dinikmati. Perlu rasanya bagi sastrawan regenerasi untuk merapatkan barisan agar namanya muncul dalam khasanah kesusastraan. Tapi kini sastrawan regenerasi bisa sedikit bernafas dengan lega. Nasib karyanya sedikit terselamatkan oleh adanya blog dan face book. Tinggal seberapa kuat mereka dapat on line di sana.

Beberapa saat setelah perbincangan kami, kawan saya, Mas Nurel, begitu saya akrab memanggilnya, beranjak dari leptopnya. Ia menuju kamar bacanya. Tak lama kemudian ia balik lagi kepada saya. Ia membawakan saya dua buah buku terbitan terbaru PUstaka puJAngga. Salah satu dari dua buku itu karya Samsudin Adlawi. Seorang wartawan Jawa Pos kelahiran Banyuwangi.

Buku itu merupakan suatu antologi tunggal dari Samsudin. Hati saya langsung terpikat ketika melihat cover buku tersebut. Cover yang mencerminkan judul antologinya. Yaitu Jaran Goyang. Dengan ilustrasi dua kuda bersayap, yang saling mengaitkat kaki depanya satu sama lain. Yang satu berwarna kuning keemasan, satu lainnya berwarna biru lembayung.

Saya lalu membuka buku itu. Dan membaca-baca kandungan isinya. Hati saya sempat bergoyang. Apalagi saat melihat para komentatornya. Yang memberi komentar adalah para penulis dan kritikus terkenal. Bahkan di antara mereka ada yang berasal dari luar negeri. Saya sempat minder dan berkecil hati dengan mereka. Mereka tengah menunjukkan antusiasme yang tinggi terhadap karya Samsudin.

Daisuke Miyoshi telah menyatakan bahwa puisi-puisi Samsudin adalah puisi yang sukses sebab maknanya telah sampai pada pembaca. Ini bukan puisi kosong dan layak dimaknai semua orang yang bertuhan. Anett Tapai mengatakan kalau dengan karya ini Samsudin layaknya Jalaluddin Rumi yang lahir di Banyuwangi. Ada lagi Ilham Zoebazary yang menegaskan bahwa puisi-puisi Samsudin segar, menaikan gairah, dan tak terkira kaya nuansa. Tengsoe Tjahjono juga menyatakan hal yang serupa, puisi-puisi Samsudin adalah puisi yang berhasil sebab tidak harus disusun dalam wacana yang rumit dan pilihan kata yang pelik, namun cukup diksi biasa yang oleh kecermatan merangkai jadilah teks yang menimbulkan gigil pada rasa, kenyang pada makna. Rida K Liamsi juga menyatakan bahwa membaca puisi-puisi Samsudin adalah membaca renungan yang dalam tentang hidup, tetapi dengan semangat yang nakal, kritis, sinis, bahkan bercanda. Samsudin berhasil menyampaikan renungannya dengan menggunakan simbol-simbol yang sangat ragam, ragam juga dalam tema sehingga sehingga dalam pesona kata, diksi, sehingga puisi-puisinya selain enak untuk direnungkan di dalam kesendirian, juga enak untuk dibaca dengan ekspresif.

Dengan adanya komentar-komentar semacam itu, antologi puisi ini tampak begitu hebatnya. Dahsyat. Sebab para komentatornya adalah orang-orang hebat dan orang-orang besar. Memang saya akui, saya juga menangkap hal yang sama seperti mereka ketika melakukan proses pembacaan antologi ini. Diksinya sederhana, tidak pelik, kritis, nakal, simbolnya beragam, temanya juga beragam. Tapi ada sedikit pesona sajak yang mengganggu pikiran saya. Saya dalam penyelaman, seolah-olah diajak kembali pada nuansa klasik persajakan. Ada beberapa puisi yang mengingatkan saya pada gaya angkatan Balaipustaka. Suasan seperti itu tampak terlihat dari sajak Air, Dansa Akar, Gua, Rokok, Rubaiyat Cinta, Sel Imut, dan Teman Sejati. Entah ini suatu kemunduran atau sebatas rotasi selera estetika persajakan. Gaya lama terhapus gaya yang baru, gaya baru kembali pada gaya yang lama. Seperti siang dan malam, berotasi seiring perjalanan zaman. Seperti manusia, kadang susah, kadang bahagia, kembali susah, dan bahagia lagi. Sesekali kaya, sesekali jatuh miskin, dan bangkit lagi. Ah namun ini hanya sisi kecil dari keragaman saja-sajak Samsudin saja.

Puisi-puisi Samsudin sangat variatif. Bisa dibilang yang diusung Samsudin dalam puisinya adalah kompleksitas masalah hidup dan kehidup. Hal itu tampaknya terpengaruh dari mobilitas Samsudin sendiri, yaitu sebagai seorang wartawan. Bisa jadi ia diilhami oleh peristiwa-peristiwa yang tengah digelutinya saban hari. Ia kerap bersinggungan dengan masyarakat yang lebih komplek dengan problematika hidup. Sehingga tema yang diangkat dalam puisinya turut beragam pula. Namun dalam pengungkapannya, sajak-sajak Samsudin terasa hambar dan kurang permenungan. Benar atau tidak, subjektivitas pembaca sendirilah yang merasakannya.

Saat membaca judul antologi ini, Jaran Goyang, memori saya kembali dibawa pada khasanah kejawen. Saya teringat akan mantra pengasihan orang Jawa. Konon dikisahkan, jika seseorang ingin menggaet hati lawan jenisnya, bagi orang Jawa bias merapal mantra pengasihan Jaran Goyang yang ditujukan langsung kepada orang yang dikehendaki. Usut punya usut, orang tersebut pun akan jatuh hati. Gandrung. Dan kesengsem.

Tampaknya citra mantra pengasihan itu melingkupi hadirnya antologi Samsudin ini. Samsudin bermaksud ingin menggaet hati setiap orang yang melihat dan membaca antologi puisinya. Dan itu terbukti dengan adanya komentar-komentar dari tokoh-tokoh kesusastraan di atas. Mereka pada gandrung dengan puisi-puisi Samsudin. Mungkin mereka juga tidak punya azimat penangkal Jaran Goyang Samsudin. Tapi entah dengan pembaca yang lain, punya azimat penangkal atau tidak. Yang jelas Jaran Goyangnya Samsudin begitu membius. Entah dari sisi apanya, pembacalah yang bakal menemukan daya usik di dalamnya.

Fenomena judul antologi ini dimantabkan dengan judul puisi yang berjudul Jaran Goyang. Dalam puisi tersebut diejawantahkan praktik ritual pengasihan jaran goyang. Dikisahkan bahwa ritual ini dilakukan pada waktu tengah malam. Orang yang melakukannya dalam kondisi telanjang bulat. Tanpa sehelai benang pun. Ini bukan berarti semata-mata telanjang fisik, melainkan juga mengarah pada kepolosan dan keikhlasan batin.

ini upacara malam // upacaranya badan tanpa sehelai benang // seperti malam yang senantiasa telanjang (Jaran Goyang, hal:45, bait 1).

Suasana yang dimunculkan pada upacara ini harus benar-benar dalam kondisi sunyi. Sepi. Senyap. Tanpa ada suatu suara pun yang mengusiknya. Suasana seperti itu tidak hanya tercipta dari lingkungan sekitar saja, melainkan kesunyian yang membawa pada kekhusukan batin pelakunya juga harus tercipta.

ini upacara sunyi // berjalan tanpa bunyi // berkata tanpa bunyi // menembus tembok sepi (Jaran Goyang, hal:45, bait 2).

Upacara ini adalah upacara yang bersifat pribadi. Jadi ritualnya harus dilakukan seorang diri. Yang muncul dalam upacara ini hanyalah hasrat dan kehendak batin pelakunya yang tertuju kepada hati orang yang dituju. Menebarkan mahabah atas nama cinta pada perjalanan hidup anak manusia.

ini upacara angin // tarik nafas hembus ingin (Jaran Goyang, hal:45, bait 3).

Ritual ini berusaha keras untuk mempengaruhi pikiran seseorang. Membutakan cara pandangnya sehingga yang terpikirkan dan tertuju hanyalah si dia. Orang yang terkena pengasihan jaran goyang biasanya akan bersifat lupa dengan orang-orang yang ada di sekelilingnya. Bahkan lupa pada dirinya sendiri. Ia hanya gandrung dan kepikiran pada orang yang memantrainya. Hatinya akan menjadi luluh. Yang diingat hanya si dia. Bayang-bayang wajah si dia akan melingkupi seluruh jiwanya.

dengan mantra kucuci otaknya // dengan mantra kutusuk matanya // dengan mantra kuganti hatinya (Jaran Goyang, hal:45, bait 4).

Orang yang tengah terpikat dengan mantra jaran goyang, tanpa sadar dalam batinnya tumbuh benih-benih cinta. Suasana kasmaran akan membias tanpa batas. Sebagaimana Davis menyatakan fenomena orang yang kasmaran. Orang kasmaran selalu beranggapan bahwa; “semua harapan di kepala hanya tahu namamu, lembaran putih hatiku mengenalmu, jerit tubuhku agar utuh, tangis itu milikmu, darahku mencucurkan namamu, mengalir, deras, namamu, namamu”.

Ketika seseorang dalam suatu malam telah merapal mantra pengasihan, dalam sajak Samsudin dikisahkan bahwa keesokan harinya orang yang jadi sasaran mantra akan gelap mata. Yang terpikir hanyalah orang yang merapal mantra saja. Hati dan pikirannya gelap. Ia terhipnotis. Seolah-olah yang ada dalam batinnya hanyalah nama si dia. Pesonanya meruang dalam kepribadiannya.

matahari menjelang // menggendong sekeranjang // otak mata dan hati yang // di dalamnya aku meruang (Jaran Goyang, hal:45, bait 5).

Gambaran puisi yang berjudul Jaran Goyang begitu jelas memberi isyarah bahwa daya magis yang terpancar dari mantra jaran goyang dapat menjadikan batiniah seseorang luluh-lantak. Hati seseorang dapat dengan seketika menjadi gandrung dan benih-benih cinta pun semakin bermekaran di sana. Semoga dengan adanya penyematan judul antologi ini, yaitu Jaran Goyang, seluruh hati orang yang memandang dan membacanya jadi turut bergoyang. Layaknya anting-anting, gontai dan bergelayutan, jika tak tergenggam kedalamannya. Laksana sang kembara gurun yang haus kejernihan air telaga maknanya.

Mantan Atase Militer Prancis Terbitkan Novel Berlatar Indonesia

Rofiqi Hasan
http://www.tempointeraktif.com/

Denpasar - Jean Rocher, 58, mantan atase militer Prancis di Indonesia, meluncurkan novel keduanya “Keping Rahasia Terakhir” , Senin (28/12) malam di Denpasar. Novel itu berkisah tentang petualangan seorang intelijen Prancis dalam menjalankan tugas di Indonesia.

“Sedikit banyak ada kaitannya dengan tugas saya sebagai aparat intelijen di negara ini,” ujarnya yang menjabat sebagai atase militer antara tahun 1993-1997.

Novel itu ditulisnya setelah ia pensiun dan kemudian menjadi konsultan sebuah perusahaan minyak yang bepusat di Balikpapan, Kalimantan.

Namun Jean menjelaskan, inti cerita hanyalah fiktif belaka. Yakni mengenai penugasan yang diberikan kepada seorang intel Prancis untuk mengejar seorang tokoh Al Qaidah. Dia harus menelusuri sejumlah daerah di Indonesia dari Kuta, Bali hingga ke pedalaman Kalimantan.

Belakangan si intel baru tersadar bahwa penugasan itu hanyalah rekayasa untuk melenyapkan dirinya karena rahasia yang diketahuinya mengenai para petinggi Dinas Intelijen Prancis.

Karena itu dia kemudian terpaksa meminta bantuan langsung kepada Presiden Prancis. Adapun sisi faktualnya, kata dia, adalah mengenai bagaimana cara kerja si intel. Mulai dari pola penugasan yang menyaru sebagai pengusaha hingga tehnik-tehnik untuk membuntuti seseorang. “Novel ini lebih mirip kisah detektif,” ujarnya seraya mengaku tidak terlalu mengeksplorasi latar belakang kondisi sosial politik di Indonesia.

Hal itu berbeda dengan novel pertamanya “Lelehan Musim Api” yang sepenuhnya bercerita mengenai kondisi Indonesia pada era tahun 90-an. Disitu dia memanfaatkan pergaulan dengan teman-teman Indonesia-nya untuk menggali berbagai informasi dan kesan pribadi seperti dari sopir, teman-teman dari kalangan militer, pegawai kedutaan, dll. “Saya mencatat informasi mereka dalam buku harian khusus,” ujarnya yang mengaku sudah memprediksi kejatuhan Soeharto 5 bulan sebelum kejadian dan menyampaikannya sebagai laporan resmi ke Duta Besar Prancis.

Pengamat seni Jean Couteau menyebut, penulisan novel dan buku sastra dari kalangan militer berpangkat tinggi kini menjadi tren baru di Prancis. “Ini bisa digunakan untuk mengangkat gengsi mereka,” ujarnya yang juga menjadi penerjemah buku itu dalam edisi bahasa Indonesia.

Cara itu juga untuk menunjukkan bahwa operasi militer yang digunakan bukan hanya mengandalkan pendekatan fisik tetapi juga pemahaman terhadap kondisi sosial budaya.

Novel itu juga menarik karena mencerminkan pandangan orang Prancis mengenai Indonesia yang disampaikan bukan dengan cara yang vulgar tetapi melalui bahasa sastra. Cara itu, menurutnya, akan jauh lebih menarik khususnya bagi kalangan orang Prancis yang membaca buku itu.

Triyanto Triwikromo Metamorfosis Bagong

Gunawan Budi Susanto
http://www.suaramerdeka.com/

ANDA benar, saya akrab dengan dia. Tetapi, sungguh, saya tak tahu banyak soal dia. Saya cuma tahu dia lahir di Salatiga, 15 September 1964, dari keluarga buruh pabrik. Tekanan kemiskinan membuat dia jadi kacung, berganti-ganti majikan. Karena mungkin jadi guru jalan meraih drajat lan semat, dia sekolah di SPG, lalu mulang SD, dan 1985 kuliah di IKIP Negeri Semarang (kini Universitas Negeri Semarang).

Kapan lulus? Entahlah. Boleh jadi dia tengah mbagong. Bagong memang sapaan dia suatu ketika. Saat kami makan di sebuah warung soto di Salatiga, perempuan pemilik warung terpekik, “Lo, sampean Bagong Koran to? Oalah, kok manglingi.” Dia nyengir. “Dulu saya selalu mengantar daging ayam dari majikan ke warung ini. Pulang, saya diberi koretan soto,” kenang dia.

Aha! Dia rupanya menikmati pula “fitnah” seorang kolega, yang menilai wajahnya mirip Denny Malik. Dia pun malih nama, bukan rupa. Semula cuma Triyanto. Jadi penulis, dia tambahkan Triwikromo. Sesekali dia pakai nama Teto. Pulang berhaji, ada imbuhan Musa. Haji Musa Triyanto Bagong Teto Denny Triwikromo?

Naik haji adalah hijrah moral-spiritual bagi dia. “Bayangkan! Aku anak keluarga besar umat kristiani, jadi mualaf, lalu tiba-tiba bisa naik haji,” ujar dia. Lalu dia emohi segala laku nak-enak ala seniman bohemian. Kini dia senantiasa merasa bahagia hidup bersama istri, Wiwik Triastuti. Jangan lupa, dia bapak bagi Anna, Prima, Sanrez, Ibrah, dan Jati serta kakek bagi Tami.

Penyair Terbaik

Kali pertama saya kenal dia dalam seminar mahasiswa sastra di UGM, 1987. Kesan saya: dia naif, berani bicara ngawur, energik, percaya diri, dan berimajinasi liar. Puisinya tersebar di berbagai media dan antologi. Ulasan dia soal puisi rutin muncul di Wawasan (1988). Dia pun terpilih sebagai penyair terbaik se-Indonesia versi Gadis (1989) dan Direktorat Jenderal Kebudayaan, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan (1990).

Eksponen Revitalisasi Sastra Pedalaman ini produktif pula menulis cerpen. Kini dia pun lebih dikenal sebagai cerpenis. Cerpen dia memang lebih nggetih. “Puisi dan cerpenku adalah anak-anakku. Dan aku ingin keduanya bersenyawa,” ujar Triyanto di sesela kerutinan kerja sebagai redaktur Edisi Minggu Suara Merdeka.

Ah ya, apa pula kata sang istri? “Wah, saya tak pernah membaca cerpennya. Saya cuma membaca jika dia bilang, ‘Iki apik tenan lo, Bu, bacalah!’ He he he…” kata Wiwik. “Habis bagaimana, wong saya awam soal sastra. Saya cuma membantu mendokumentasikan tulisan dia.”

Padahal cerpen Triyanto, “Anak-anak Mengasah Pisau”, telah disinetronkan Dedi Setiadi dengan judul sama. “Cerpen ini juga akan dibuat film layar lebar oleh Nana Mulyana,” ucap sastrawan yang sedang berusaha ikhlas dan semeleh ketika menghadapi persaoalan ini.

Medan Tato

Cerpen Triyanto, ujar Darmanto Jatman, ora umum. “Suatu dekonstruksi terhadap ideologi keindahan cerpen konvensional!” ujar “si Bilung” yang lupa bahwa Danarto, Putu Wijaya, Arifin C Noor, dan Budi Darma telah melakukan itu sejenak setelah Indonesia terkena wabah eksistensialisme dan absurdisme. Bagi Darmanto, Triyanto Triwikromo adalah “sebuah nama baru yang bersinar di dunia cerpen”.

Triyanto, tulis Afrizal Malna, memperlakukan cerpen sebagai media rekreasi puitika ke ruang prosa dengan berbagai kemungkinan medan teks yang didekonstruksi dan diciptakan kembali. Kekerasan dan seks sangat mewarnai cerpennya. Tingkat perusakan begitu tinggi membuat cerpennya mirip tubuh penuh tato yang melukiskan berbagai teks kekerasaan. Menorehkan segala keperihan sosial.

Apa pula kata Th Sri Rahayu Prihatmi, penulis novel di Atas Puing-puing dan Dekan Fakultas Sastra Undip? Datang sajalah esok malam ke Lengkongcilik. Di sana, dia bakal bicara dalam peluncuran kumpulan cerpen Triyanto: Ragaula.

Evi Idawati Luncurkan Novel Teratak

Ami Herman
http://www.suarakarya-online.com/

Evi Idawati pernah populer sebagai seorang artis layar kaca. Kedalaman pemahamannya tentang peran, bisa dilihat dalam aktingnya di sinetron dan film televisi Balada Dangdut, Dongeng Dangdut, Ketulusan Kartika, Wanita Kedua, Satu Kakak Tujuh Keponakan dan lain-lain.

Evi juga aktif main drama kolosal. Trilogi Oidipus, Cabik, Titik Titik Hitam, Sumur Tanpa Dasar dan Kapai Kapai adalah beberapa diantara sejumlah drama yang pernah dimainkannya di seputar Yogyakarta dan beberapa kota lainnya di tanah air.

Tetapi itu beberapa tahun yang silam. Kini alumni Institut Seni Indonesia Yogyakarta kelahiran tahun 1973 ini lebih banyak menghabiskan waktunya dengan menulis.

Dengan menikmati dunia penulisan kreatif, Evi merasa lega karena berhasil menumpahkan ide-idenya kedalam beragam karya tulis seperti puisi, cerita pendek, novel,skenario film dan sinetron. Ia juga menulis esai.

Satu persatu karya tulis Evi kemudian mengalir ke redaksi koran-koran dan majalah di Jakarta dan daerah. Halaman sastra dan budaya harian umum Suara Karya termasuk diantara sejumlah media nasional yang kerap memuat karya-karyanya.

Baru-baru ini, Evi meluncurkan novel terbarunya bertajuk Teratak. Novel 207 halaman itu diterbitkan oleh Puri Sewon Asri, Yogyakarta, sebuah penerbitan yang belakangan banyak merilis buku-buku sastra.

“Teratak mengisahkan tentang semangat berjuang seorang ibu yang hidup penuh dengan penderitaan,” ujar Evi.

Novel itu ditulis dalam bahasa gaul yang mudah dipahami warga pedalaman Jawa, khususnya Jawa Tengah dan Yogyakarta. Terdapat banyak dialek-dialek khas bahasa gaul wong Jogja di buku itu.

“Saya menghabiskan banyak waktu untuk menyelesaikan novel tersebut. Bahkan, selama menulis novel itu, banyak order Cerita Pendek dari sejumlah redaktur budaya nggak sempat tertangani,” ujar Evi yang untuk menulis Teratak ia sempat melakukan survei langsung ke beberapa lokasi yang ditulisnya.

“Mesti begitu agar ada kedalaman, ada hal-hal baru yang perlu dikabarkan kepada pembaca,” cerita Evi kemudian.

Teratak adalah buku kesekian instruktur drama ini. Beberapa waktu sebelumnya Ia juga merilis Mahar, buku kumpulan cerita pendeknya yang pernah dipublikasikan di sejumlah media nasional. Buku kumpulan cerpen Evi lainnya Dokumen Jibril (diterbitkan Republika) kemudian Malam Perkawinan (diterbitkan Grasindo) dan Perempuan Kedua (diterbitkan Pilar Media).

Jauh sebelum itu, ia juga meluncurkan beberapa antologi puisi seperti Pengantin Sepi, Puisi Tak Pernah Pergi (diterbitkan Kompas), Malioboro (diterbitkan Bulan Bahasa) dan banyak lainnya.

Anda ingin memiliki buku novel Teratak? Sejak beberapa watu yang silam buku tersebut sudah diedarkan di banyak toko buku, termasuk toko-toko buku Gramedia.

“Tetapi jangan buru-buru mengeluh jika tak lagi mendapatkan novel itu di Gramedia Blok-M, Jakarta Selatan. Soalnya sejak dalam proses pembuatannya, pesanan dari sejumlah kalangan terhadap novel itu deras sekali. Jadi,kalau nggak dapet di Gramedia cari di toko buku yang lain,” lanjutnya.

Lalu, apa yang dipetik Evi dari ketekunannya menggeluti dunia penulisan kreatif?

Ditanya demikian, enteng saja Evi menjelaskan bahwa dunia penulisan akan menjadi dunia yang paling menyenengkannya karena selalu memberikan kepuasan batin.

Di Balik Penerbitan Buku Sastra Swadaya

Adek Alwi
http://www.suarakarya-online.com/

BULAN-bulan terakhir saya menerima beberapa antologi cerpen dan puisi. Buku-buku itu tak cuma karya pengarang/penyair yang tinggal di Ibu Kota dan terbit di Jakarta, akan tetapi juga karya pengarang/penyair yang berdomisili di daerah, dan diterbitkan di daerah.

Dari Jakarta, saya terima antologi cerpen Papirus, berisi cerpen 24 mahasiswa/i Jurusan Teknik Grafika & Penerbitan Politeknik Universitas Indonesia. Lantas kumpulan puisi Di Antara Kita karya Salimi Ahmad; Antologi 20 Penyair yang berisi puisi 20 penyair usia 50-60 tahun; kumpulan cerpen Tina K Laki-laki Beroma Rempah-Rempah yang diterbitkan Kutubuku (milik Kurniawan Junaedhie, yang juga menerbitkan antologi cerpen saya, Nasihat-nasihat Cinta); dan Cerpen Kompas Pilihan 2008 Smokol yang memuat 15 cerpen dari 15 pengarang.

Dari daerah, ada antologi puisi Redi Lawu, memuat sajak-sajak 19 penyair yang tinggal di sekitar Gunung Lawu, diantaranya Beni Setia (Caruban), Hardho Sayoko SPB, Kusprihyanto Namma, Tjahjono Widarmanto, Tjahjono Widijanto (Ngawi), Jo Pakagula (Karanganyar), UE Wriasasmita (Ponorogo), juga Danarto (berdomisili di Jakarta lahir di Klaten). Lalu antologi cerpen Mimpi Jelang Pemilu berisi 10 cerpen dari 10 pengarang, yaitu Andi Dwi Handoko, Atmo Kanjeng, Dian Hartati, Gatot Prakosa, Gusmel Riyadh, Indrian Koto, Joko Purwanto/Jo Pakagula, Kusprihyanto Namma, Titik Andarwati, serta Yuditeha.

Selain buku-buku itu, saya percaya, tentu banyak lagi karya sastra terbit di paruh pertama 2009 dan tidak semua diterbitkan penerbit profesional. Buku-buku tadi misalnya, cuma Laki-laki Beraroma Rempah-rempah, Antologi 20 Penyair, dan Smokol yang terbit lewat penerbit benaran. Lainnya diterbitkan sendiri oleh para sastrawan, dibiaya sendiri atau patungan ramai-ramai, ataupun didanai sponsor tak mengikat.

Dan, bagi saya itu menarik, menggirangkan, mengharukan. Pertama, sebab hal itu melihatkan kehidupan sastra tetap ajek, bergairah, di Ibu Kota dan daerah. Frekuensinya tidak turun oleh aktivitas politik terkait pileg-pilpres, konsentrasi media cetak/ elektronik yang dijejali berita politik, cuapan pakar yang bak pengamat sepak bola. Di mata saya, itu sekaligus melihatkan buramnya visi media, lantaran lupa melihat manfaat yang disimpan sastra; pembangunan manusia dengan menyuburkan apa yang ada di dalam dada.

Tapi, itu pun tak aneh. Di zaman Orde Baru manusia Indonesia dibiasakan supaya pragmatis saja, berorientasi raga, sehingga jangan pula pelaku pers muda usia (lahir pada masa Orde Baru), elit politik/kekuasaan pun tidak akrab dengan kebudayaan, seni, sastra. Lain dengan pemimpin Indonesia tempo lalu (founding fathers); Sjahrir, Sukarno, banyak lagi, termasuk nama-nama yang bisa kita ikuti di Polemik Kebudayaan tahun 1930-an.

Para pelaku sastra sadar betul hal itu. Jauh dari berkecil hati, mereka justru terus berkarya; tulis puisi, cerpen, novel, galang dana lantas terbitkan sendiri atau ramai-ramai. Langkah ini ditempuh karena saat ini penerbit pun berorientasi laba melulu. Laba penting bagi penerbit. Tetapi kalau laba sama sekali meniadakan idealisme (sampai menerapkan subsidi silang buku yang bisa raup untung dan yang kurang pun tak sudi), maka tertutup pintu bagi buku puisi untuk diterbitkan. Itu yang kini terjadi, seperti jarum dalam jerami penerbit yang mau menerbitkan buku-buku puisi.

Nah, para sastrawan/penyair sisihkan penghasilan (sebagai guru, wartawan, dosen dll), atau cari donatur yang masih melek melihat makna di balik sajak, lalu terbitkan buku puisi. Buku itu dibagi-bagi gratis pada khalayak, karena mungkin hanya 99 koma sekian persen saja manusia Indonesia yang sadar guna puisi.

Proses terus berkarya itu, jelas tak sebatas ekspresi belaka. Dan menerbitkan buku sastra lalu membaginya secara gratis, jelas pula bukan didasari ingin populer. Keduanya dilandasi makna itu tadi: karena sastra berdampak pada pertumbuhan jiwa, menggetarkan dada, menggetarkan rasa.

Dada yang tidak mudah lagi bergetar, atau keringnya rasa, adalah persoalan gawat bangsa kita dewasa ini. Di kota-kota besar macam Jakarta, orang kini tak merasa apa-apa dengan kemewahan melimpah-ruah, sedang orang lain (yang tidak lain saudara sebangsa) buat makan apalagi untuk bersekolah, susah. Orang pun senyum terus di televisi, padahal jelas-jelas dia divonis korupsi, merampok uang negara, uang rakyat yang kini nestapa. Banyak lagi hal aneh, ganjil, mencemaskan, akibat jiwa yang tidak bisa lagi bergetar, rasa yang makin hari hilang dari dada.

Kedua, yang bikin saya girang sekaligus haru melihat beterbitannya antologi puisi dan cerpen dibiayai sendiri atau disponsori (akibat penerbit ogah sebab tak hasilkan laba), hal itu tidak saja terjadi di Ibu Kota, tapi juga di daerah-daerah. Malah, daerah tampaknya lebih bergairah, lebih ikhlas, misalnya sastrawan-sastrawan di lereng Gunung Lawu tadi. Di Ngawi, mukim Kusprihyanto Namma yang dulu aktif meneriakkan revitalisasi sastra pedalaman, dan hingga kini tampaknya tidak putus dengan menerbitkan buku-buku sastra berswadaya.

Ngawi, Caruban, di catatan saya memang telah tertera dengan bulatan merah di peta sastra Indonesia, seperti juga Payakumbuh, ataupun beberapa kota/daerah lainnya. Tahun 1970-an lebih-lebih sebelumnya, kota-kota seperti Ngawi, Caruban, Payakumbuh, belum terlihat di peta sastra Tanah Air. Para sastrawan di Nangroe Aceh Darussalam, dan Depok yang sepelemparan batu dari Jakarta, dari buku-buku mereka yang saya terima pada 2008, juga terlihat melakukan hal serupa. Menerbitkan buku sastra, sajak/cerpen, didanai sponsor, bagi-bagikan gratis.

Saya sendiri di Ibu Kota sudah dua kali melakukan itu. Pertama November 2008, untuk kumpulan cerpen Suara Rimba, disponsori pihak Departemen Kehutanan. Kedua, Agustus 2009, untuk kumpulan cerpen Rumah Yang Bercahaya dengan 6 sponsor: Bank BTN, PT Belaputra Intiland, PT Arwana Citamulia Tbk, Bapertarum-PNS, Perum Perumnas, DPP REI. Buku-buku itu dihadiahkan sponsor kepada relasi. Saya sendiri membagikan buku-buku itu ke berbagai pihak; teman-teman, relasi, perpustakaan, media massa, pejabat, rupa-rupa lembaga, dan sebagainya. Langkah itu akan saya tempuh terus sejauh penerbit profesional berorientasi laba melulu, tidak sudi kasih subsidi silang untuk buku-buku sastra.

Ada beberapa manfaat saya rasakan dengan langkah di atas. Pertama, karya-karya saya, yang selama ini bertaburan di berbagai media massa, terdokumentasi dalam wujud buku. Kedua, banyak-sedikit tentu saya dapat duit; bahkan berkali lipat dari royalti kalau buku itu ditangani penerbit. Ketiga, jalan ini akan merapatkan jarak antara pihak sponsor dan karya sastra (dan ini penting sekali, menurut saya). Keempat (kiranya ini tidak kalah penting dari yang ketiga), karya sastra saya dapat tersebar ke berbagai pihak, melalui sponsor dan saya. Moga-moga saja mereka yang kebagian serta membacanya (khususnya mereka yang selama ini masih awam sastra) bisa memetik manfaat yang dikandung karya sastra tadi, yaitu menyuburkan rasa, menghalangi kematian getar dalam dada.

*) Pengarang, wartawan, dan dosen.

Kamis, 18 Maret 2010

Sang Waskito R. Ng. Ronggowarsito (1802-1873)

Nurel Javissyarqi
http://pustakapujangga.com/

R. Ng. Ronggowarsito (15 Mar 1802 - 24 Des 1873), Bagus Burham nama kecilnya. Sang pemilik jiwa waskito;

nasibnya menyerupai batuan kali dijadikan jalan, bebatuan krucuk yang dipukuli, sebelum dibangun tempat berteduh.

Menerima waktu-waktu kebodohan diri, menguliti bathin menemukan kebuntuan hingga mempuni.

Seorang pujangga menangkap rintihan pertiwi, berdendang angin bermusik hewan-gemewan.

Mentaati perubahan masa-masa pelajaran, ke tapal batas pengetahuan, demi menjejakkan kaki di padang pengembaraan.

Dalam usia lima tahun, dididik Tanujaya memasuki lorong alam gaib, memperoleh pengalaman di balik wujud kebendaan.

Yang tampak tersenyum tidak segelora dada, pula kebencian tiada sanggup diukur sampiran kalimah.

Di sini hati timbangannya, meraup tempaan demi tempaan, tidak silap pandangan mata-mata sekilas.

Menginjak umur dua belas tahun, beserta Tanujaya menuju Tegalsari, Jetis, Ponorogo. Demi menimba keilmuan agama kepada Imam Besari.

Namun dasar anak bangsawan, menganggap remeh perjalanan nasib, seolah telah melihat kegemilangan akan takdir di hari kemudian.

Yang diperbuat di Gebang Tinatar, tidak sesuai harapan kakeknya R. T. Sastonagoro. Tak mau mengaji, namun beradu ayam jantan berjudi.

Berfoya-foya serta akrab para warok, bandit, begal sebangsanya. Ya, seorang keturunan darah biru, tergilas tipu daya keduniawian.

Bathin Besari sungguhlah letih, dan suatu masa bersama Tanujaya diusir dari Tegalsari. Berbalik ke Surakarta tak mungkin, sebab belum peroleh keilmuan sama sekali.

Berjalanlah mereka ke Madiun untuk menimba budhi pekerti di kota Kediri. Namun sebaik insan merencanakan, Tuhanlah menentukan.

Kesedihan Burham dari pengusiran, mempengaruhi alam raya; geramnya melayukan bunga-bunga. Air matanya membekukan masa, menjelma kutukan tidak disengaja.

Sang Imam pun merasakan dalam mimpi, maka sebelum sampai Kediri, disuruhnya pulang lewat seorang utusan, untuk kembali ke Tegalsari.

Tetapi Burhan tetap bengal, hingga umpat kyai menggelegar. Bathinnya bersedih, tertunduk pasrah menghadap Ilahi, bersimpuh menginsafi kebodohannya selama ini.

Datanglah Tanujaya menghibur kepiluannya; bahwa seorang berdarah biru takkan peroleh keilmuan tinggi, kecuali bertirakat terlebih dulu.

Seketika itu Burham melangkahkan kaki, bertapa di kali Keyang tepatnya Kedung Watu. Selama 41 hari tidak makan nasi, seharian hanya sebuah pisang atas kerendahan hati.

Malam terakhir tirakatnya. Turunlah cahaya kapujanggaan, pada periuk menjelma ikan matang, bersama bubur yang ditanak Tanujaya dari padepokan Besari.

Selepas itu berubahlah sikapnya, rajin mengaji pandai berkhotbah, seolah mendapati ilmu laduni, sehingga sang Imam menyebutnya Bagus Ilham.

Kabar ini tersiar sampai pelosok Ponorogo, Tuhan berkehendak atas usaha manusia;

kepedihan, penderitaan, mematangkan lelaku. Purnalah sebulan sabit purnama, pulang mereka ke Surakarta.

Kemudia hari menikahi R. A. Gombak, putri Kanjeng Adipati Cakraningrat, Bupati Kediri.

Namun dirasa keilmuanya belum tuntas, kembaralah ke Banyuwangi, dilanjutkan ke Giri menuju Tabanan Bali, kepada seorang waskito bijaksana, ki Ajar Sidalaku.

Dari sanalah peroleh keilmuan Serat Rama Dewa, Bimasuci, Baratayudha, Dharmasarana, serta buku paramasastra Budha lainnya.

Di bawah inilah rekamanku, mengenai kali Keyang Kedung Watu. Saat menelusuri jejak-jejak sang Pujangga di desa Tegalsari, Jetis, Ponorogo, Jawa Timur:

PERCAKAPAN DI KALI KEYANG

Gemericik arus sungai melantunkan fatwa
membawa ketenangan pejalan kaki
langkah demi langkah
daun-daun melambai
terdengar air membisik pada angin
serpihan cahaya matahari
menerobos dedahan.

Menyusuri bibir kali bersimpan kesaksian
ikan-ikan mungil berlomba melawan arus
demi kesenangan tiada tara.

Tak seharusnya berlalu
sebelum menapak tilas kebenaran sejarah
jasad bersentuh sukma di ketinggian uap
was-was dan ketakutan membumbung.

Kali Keyang Tegalsari
tak sejengkal membisu arusmu
terus menjelajahi lika-liku kehidupan
sampai ujung tlatah peraduan:

Apakah di sana
lenyapnya muara kedamaian?
Wahai tuanku, Ronggowarsito.

2002, Lamongan.

BAWEAN SENANDUNG DI ATAS AWAN

Judul Buku : Buwun
Pengarang : Mardi Luhung
Jenis Buku : Kumpulan Puisi
Epilog : Beni Setia
Penerbit : PUstaka puJAngga, Februari 2010
Tebal Buku : 66 hlm. 12 x 19 cm
Peresensi : Imamuddin SA.
http://www.sastra-indonesia.com/

Karya-karya besar kerap lahir dari tangan-tangan pengarang yang peka dengan segala sesuatu yang ada di sekelilingnya. Tengok saja Gibran, Tagore, Octavio Paz, Albert Camus, setiap kali mereka melakukan suatu perjalanan, dapat dipastikan ada sesuatu yang mengendap dalam pikirannya. Membuncah-ruah menjadi ide bercahaya. Dan bergerak menghasilkan karya.

Peristiwa itu terjadi entah disengaja atau secara alamiah. Yang jelas, sebuah karya kreatif lahir dari fenomena yang telah tersapa. Hal itu ternyata tidak hanya terjadi dalam diri tokoh-tokoh besar kesusastraan dunia, melainkan juga merambah pada pribadi seorang Mardi Luhung. Melalui perjalanannya ke pulau Bawean, lahirlah sebuah karya ekspresif-inspiratif dari tangannya. Karya tersebut diberijudul “Buwun”.

Buwun merupakan sebuah nama klasik dari pulau Bawean, Kecamatan Gresik. Pulau ini juga dapat dikatakan sebagai pulau Hawa. Sebab kebanyakan penghuninya adalah kaum wanita. Para pria pulau tersebut banyak yang melancong di luar pulau untuk bekerja.

Hadirnya kumpulan puisi yang berjudul Buwun ini merupakan sebuah isyarah bahwa Merdi mencoba menyuarakan kearifan lokal daerahnya. Yaitu Gresik. Selain itu, Mardi lahan-perlahan seolah meranggeh, memosisikan dirinya pada tangga kemasyhuran. Dalam Buwun diungkapkan cukup banyak realitas yang berkembang di pulau Bawean. Baik dari sisi kultur budaya, sosial kemasyarakatan, dan keadaan daerah. Istilah lokalitas bahasa sangat kentara melingkupi tiap guratan puisinya. Kisahan pulau Bawean yang diungkapkan Mardi penuh imajinasi yang tinggi. Fenomena yang diceritakan tidak sekedar realitas naratif fisual Bawean, namun ada kekuatan terselubung yang menjadikannya multi tafsir. Di samping itu, estetika sajak terbangun dengan eloknya melalui repetisi, asonansi, dan aliterasi bahasa. Inilah amunisi yang diusung Mardi dan mampu menjadi kekuatan dahsyat dalam perang sastra masa kini.

Sajian buku Buwun ini terasa sedikit kurang sedap dinikmati jika itu ditelisik melalui penulisan istilah bahasa lokalnya. Dalam buku ini, istilah-istilah bahasa lokal itu disajikan mengalir begitu saja tanpa adanya penjelasan dalam bentuk bahasa nasional. Entah itu sebagai suatu kesengajaan yang dilakukan pengarang dengan maksug mencapai bias makna atau tidak, yang jelas dalam proses apresiasi terasa mengganggu pemahaman pembaca. Pembaca disibukkan dengan penelisikan artian leksikalnya saja. Sedangkan secara leksikal, artian tersebut belum tercantum makna dan maksudnya. Karya ini terasa seolah-olah hanya diperuntukkan bagi masyarakat lokal Kabupaten Gresik, khususnya Bawean saja. Sebab yang tahu istilah lokalitas bahasa yang dinukilkan hanya mereka yang bernaung dalam satu daerah tersebut. Jika karya ini bermaksud menasionalkan atau menduniakan Bawean, alangkah renyahnya jika diikutsertakan artian istilah-istilah lokalnya. Dan akhirnya, “Meski tak pernah sampai, mereka tetap ingin jadi penyaksi!”. Selamat mengapresiasi dibalik makna tersembunyi.

Kado di balik Bencana

Wiwik Hidayati
http://suaramerdeka.com/

Rentetan peristiwa masih membekas di benak kita. Kerusuhan di Aceh, Poso, Maluku; tsunami yang memakan korban puluhan ribu orang; bencana di Yogyakarta, Sidoarjo, dan Pangandaran; belum lagi pengeboman di beberapa wilayah Indonesia; ditambah akhir-akhir ini bencana banjir melanda Jakarta.

Deretan derita serasa tak henti-hentinya mendera dan seringkali membuat trauma. Membuat diri semakin pesimis memandang hidup.

Tapi yang lalu biar berlalu. Hidup harus tetap jalan meski sulit. Dalam sebuah pepatah Inggris dikatakan bad weather makes good timber. Cuaca yang buruk memang hanya menyisakan pohon-pohon kuat yang berkualitas. Ini tentu tak salah.

Mahatma Gandhi dikenang harum hingga sekarang. Bagi yang mengenal Gandhi dari buku, film, cerita dll akan tahu betapa beratnya penderitaannya. Mulai dari siksaan-siksaan di Afrika Selatan, kemudian cemoohan saat sampai di India, sampai dengan kerasnya jalan kehidupan berhadapan dengan penjajah Inggris.

Kahlil Gibran juga tak jauh beda. Ia adalah salah satu penyair yang beberapa karyanya menjadi masterpiece. Kemiskinan, duka cita, kesedihan merupakan menu kesehariannya dalam rentang waktu lama.

Tokoh Indonesia, Muhammad Hatta juga serupa. Salah satu putrinya pernah bertutur bahwa gaji pensiunnya tidak cukup untuk membayar listrik. Ketika ada ketidakcocokan dengan mitra lainnya, ia lebih memilih mundur dan kembali jadi dosen UGM daripada bikin ribut memuaskan ego. Sang proklamator ini saat Indonesia mengalami krisis kepemimpinan, ketokohannya banyak dicari.

Begitulah orang-orang besar. Penuh dengan derita dan kesedihan. Namun mereka tetap hidup. Bahkan menjadi orang-orang hebat yang dikagumi. Berpuluh-puluh tahun namanya tak pernah lepas dari ingatan.

Cara memandang masalah menjadi pengaruh dalam kebahagiaan diri. Pengalaman kehidupan mana pun mirip dengan kotoran sapi. Bagi petani yang haus dengan kesuburan sawah, kotoran sapi adalah pupuk. Bagi orang kota yang menyukai bersih dan steril, kotoran sapi tidak lebih dari penyakit yang menjijikkan. Terlihat jelas, dalam kehidupan tidak selalu kita melihat apa yang kita lihat. Kerap kita melihat pandangan-pandangan kita sendiri. Cara kita memandang menentukan wajah kehidupan yang akan kita alami kemudian.

Kesedihan bisa menjadi keterpurukan maupun kekuatan membangkitan. Kembali lagi, tergantung cara pandang. Dalam buku ?Kesedihan, Kebahagiaan, Keheningan; Mengolah bencana menjadi vitaminnya jiwa? banyak tips bagaimana mengubah kesedihan menjadi kekuatan. Karya Gede Prama ini juga memuat kehidupan orang-orang besar yang bisa menjadi inspirator dalam mencari kebahagiaan.

Buku ini adalah hiburan bagi yang membutuhkan. Sangat diperlukan dan cocok untuk kondisi Indonesia yang sudah beberapa tahun dilanda kesedihan. Semoga dengan hadirnya buku ini, ada secercah semangat untuk masyarakat. Dan Indonesia kembali tersenyum. ****

Teror Syahwat dan Kearifan Tasawuf Jawa

Judul : Nafsu Terakhir
Penulis : Elizabeth D. Inandiak
Penerbit: Galang Press
Cetakan : Kedua, 2007
Tebal : 190 halaman
Peresensi: Muhamad Sulhanudin
http://suaramerdeka.com/

Ini adalah jilid ke sembilan dari kedua belas jilid Serat Centini yang sangat mashur itu. Hampir seluruh isinya bercerita tentang syahwat. Tapi ia terselamatkan oleh keluhuran tembang yang sarat muatan ajaran tauhid dan tasawuf. Ia mengajarkan nilai-nilai luhur kearifan jawa yang bijaksana. Meski kerap kali tak teralakkan dibawa ke kubangan nafsu syahwati yang liar, mewarnai pengembaraan Amongraga yang suci untuk mencapai kehadiranNya.

Nafsu Terakhir diadaptasi oleh Elizabeth D. Inandiak. Centini disusun atas perintah putra mahkota Kesultanan Surakarta Adiningrat untuk menyusun kembali sebuah cerita kuno dalam bentuk tembang yang menyarikan segala ngelmu Jawa. Tembang ini disusun dalam bahasa Jawa, dengan syair yang luar biasa indah. Syair yang mahadahsyat itu diberinama Suluk Tembangraras, tapi orang lebih mengenalnya dengan nama Serat Centini. Untuk melaksanakan misi ini, diutuslah tiga pujangga keraton: Sastranegara (Yasadipura II atau Ranggawarsita I), Ranggasutrasna dan Sastradipura.

Ranggasutrasna diberi tugas menjelajahi Jawa bagian Timur untuk mengecek keadaan dan menghimpun pengetahuan. Sastradipura mendapat tugas menunaikan ibadah haji dan menyempurnakan pengetahuannya tentang agama islam. Sedang Sastranegara mendapat tugas menjelajahi Jawa Barat sekaligus menghimpun pengetahuan lahir bathin.

Ranggasutrasna yang pulang terlebih dulu, segara memulai pekerjaannya. Hasil karyanya menjadi 4 jilid, berisi 321 buah lagu, menceritakan sejarah Giri hingga keruntuhannya dan tiga orang putra Giri dalam satu jilid. Namun karya Ranggasutrasna ini belum memuaskan keinginan Sang Pangeran karena bagian seksualnya masih kurang menonjol. Begitupula setalah kedua rekannya, Sastradipura dan Satranegara merampungkan bagiannya. Sang Pangeran masih belum juga puas. Bagian senggamanya masih kurang greget. Maka dikerjakanlah sendiri oleh Sang Pangeran dari jilid 5-10, kemudian penulisannya diserahkan kepada ketiga pujangga keraton itu (Wayan Susetya, 2007:109-110).

Dalam buku ini dikisahkan Tembangraras meratapi kepergian suaminya, Amongraga. Berhari-hari ia mengurung diri di kamar. Ia tak mau berkomunikasi dengan siapapun, termasuk abdi setianya, Centini, yang memahami setiap bahasa isyarat Tuan Putrinya. Ayahanda dan ibunda Tembangraras cemas tak karuan. Dibujuklah sang putri agar melupakan kesedihan. Tapi tetap saja tak meruntuhkan nestapanya. Hingga akhirnya ayahanda mengutus adiknya Kalawirya untuk mencari sang menantu. Bersama kedua adik Tembangraras, Jayengwesti dan Jayengraga, Kalawirya dan Nuripin pagi buta berangkat mengembara menyusuri hutan meninggalkan padepokan Wannamarta.

Ditengah pengembaraannya, berulangkali mereka dihadapkan pada godaan-godaan yang menjerumuskan mereka menuntaskan nafsu syahwatnya. Adegan seks dilukiskan begitu vulgar. Mulai pertemuanya dengan seorang janda kaya yang menjamu mereka hingga mabuk kemudian mencicipi satu-persatu zakar Nuripin, Kalawirya, dan kedua keponakannya. Di perjalanan lain kadang mereka menuntaskan syahwatnya dengan memasukkan alat kelaminnya ke dubur teman prianya. Dipersinggahan lain, mereka tiba di kediaman seorang peladang bernama Ki Nurbayin. Katiga putrinya yang buruk rupa diam-diam sudah lama memendam keinginan untuk mencoba zakar seorang pria. Beberapa kali mereka melihat Ayah dan ibu tirinya berhubungan intim dari balik tirai kamarnya. Maka begitu dirumahnya kedatangan tamu para pria, mereka bergerombol mengikuti ke tempat tidur para tamunya.

"Apa menurut kalian Jayengraga mau ditunggangi jika kita dekati," tanya Banem, sisulung kepada kedua adiknya, Banikem dan Baniyah.

Sesuai kesepakatan, sisulung diberi kehormatan mencoba zakar Jayengraga untuk yang pertama. Dalam kegelapan Banem memeluk Jayengraga. Adik Tembangraras itu pura-pura terkejut. Padahal ia sudah mendengar percakapan ketiga bersaudara itu. Dalam hati ia sebenarnya tak ingin menyerahkan alat kelaminnya menjadi percobaan para perempuan buruk rupa itu. Tapi karena tak ingin melukai hatinya, Jayengraga membiarkan saja ketika Banem naik di atas pahanya. Jayengraga dibuat geli karena Banem tak tahu bagaimana memulai permainan. Maka dibimbinglah ia oleh Jayengraga untuk memasukkan zakar yang sudah mulai mengeras itu ke vaginanya yang masih perawan. Usai Banem, Banikem dan Baniyah menggilir Jayengraga bergantian, hingga akhirnya subuh tiba dan Jayengraga segera mengambil air wudhu dan mengerjakan sholat subuh.

Adegan seks itu kendati dilukisakan begitu vulgar, tapi juga jenaka. Karya sastra ini memang hendak menampilkan seks secara polos, jujur, sebagai nafsu lahiriah yang lumrah terjadi pada manusia. Para pria itu beberapa kali tak mampu mengelak dari nafsu syahwati, tapi usai itu mereka tetap tak lupa menunaikan kewajiban sholat lima waktunya!

****

"Sayangku, jika kamu berkenan, mari kita kembali ke dunia makhluk dan rajanya," tutur Amongraga kepada Tembangraras, istrinya.

Amongraga baru saja tersadar dari pengembaraannya yang panjang. Dia telah menelantarkan Tembangraras, si cantik jelita putri kiai pesantren Ki Panurta, yang baru dinikahinya. Istri yang baru disetubuhinya setelah melewati empat puluh hari lamanya memberikan wejangan tentang ajaran tasawuf Jawa. Itu pun cuma dua hari. Kemudian ia melanjutkan pengembaraan mencari kedua adik kandungnya. Tapi malah terhanyut dalam kenikmatan pertapaan untuk mendekatkan diri kepadaNya. Ia lupa ada hal lain yang harus dia kerjakan selain melakukan jihad besar itu.

"Oh pangeran Giri! kamu telah membimbing jihad besarmu sedemikian jauhnya sehingga kamu alpa menjalankan jihad kecilmu," ujar Endrasena, pengembara yang ditemuinya di tengah pengembaraannya.

Syekh Amongraga, sebelumnya bernama Jayengresmi. Ia putra mahkota Sunan Giri. Ia mengembara mencari dua adiknya, Jayengsari dan Rencangkapti. Kerajaan Giri baru saja diserang Sultan Agung, raja tanah Jawa karena penguasa Giri tak mau bersujud kepadanya. Kerajaan Giri hancur dalam kobaran api. Ayahanda, sang Khalifatullah ditangkap dan dibawa ke Mataram sebagai tahanan perang Sultan Agung.

Usai penyerangan itu, Jayengresmi mencari kedua adiknya yang hendak diajaknya lari dari kejaran pasukan Sultan Agung. Tapi ia tak menemukannya. Hatinya hancur. Ia pergi meninggalkan Giri tanpa seorang pun tahu, ia sendiri tak tahu ke mana hendak dituju dalam pengembaraannya. Ia mengikuti petunjuk Allah yang mengarahkannya berkelana masuk Suluk.

Dikisahkan Jayengsari dan Rencangkepti tak terpisah. Mereka juga mencari kakaknya di reruntuhan Giri. Tapi pencarian mereka sia-sia. Merekapun mengembara jauh, menghilang dari kejaran pasukan Mataram di bawah komando Pangeran Pekik.

Dalam pengembaraannya, Jayengresmi sudah berubah nama menjadi Amongraga. Ia tiba di pondok Wanamarta dan di sana ia menikahi Tembangraras, putri Ki Bayi Panurta, Kiai pesantren di sana.

Selama empat puluh hari lamanya kedua pasang penganten itu menunda hubungan badan di malam pertamanya. Amongraga menyampaikan ajaran tasawuf Jawa kepada sang istri. Ini dilakukan agar keduanya menjadi jinak dalam ketelenjangan tubuh mereka, dan menyingkap cadar rohnya dengan ketegangan syahwat serta batin. Abdi setia Tembangraras, Centini menyimak wejangan tuannya dari balik tirai ranjang. Baru pada malam empat puluh satunya yang hujan, keduanya bersenggama. Tapi, usai bersenggama Amongraga meningalkan Tembangraras untuk mengembara mencari kedua adiknya.

****

Keempat utusan ayahanda Tembangraras mendengar kabar jika Amongraga dihukum oleh ulama Mataram karena dituduh telah menyesatkan ribuan pengikutnya di Gunung Kidul tempat Amongraga bertapa Brata. Para pengikut itu diduga menjadi kehilangan akalnya karena terpengaruh guna-guna kedua murid Amongraga, Jamal dan Jamil. Amongraga dibuang ke tengah samudra. Kabar ini segara diwartakan oleh ke empat pengembara itu ke padepokan. Seisi padepokan tak bisa berkata-kata kecuali menitikan air mata. Namun kabar ini justru membuat Tembangraras yakin bahwa suaminya masih hidup. Bersama Centini, Tembangraras pagi-pagi buta meninggalkan padepokan mengembara mencari belahan jiwanya.

Dalam pengembarannya, kedua perempuan itu menyamar sebagai laki-laki. Mengenakan kumis dan berpakian menyerupai laiknya pria. Ditengah jalan mereka menjumpai ke perkampungan para gali kelas kakap. Tembangraras cemas. Ia tak habis pikir jika para pria bengis itu mengetahui jika tamunya yang mengaku santri pengembara ini adalah perempuan. Mereka pasti tak cuma merampok barang berhaganya, tapi juga kehormatannya. kekhawatiran Tembangraras benar-benar terjadi. Para perampok itu tahu ketika meraba-raba pakian Tembangraras untuk mengambil barang berhaga yang dibawanya, salah seorang menyentuh bagian tubuh kewanitaan putri jelita itu. Tapi Centini tak kehabisan akal. Dia menyodorkan bokongnya, seraya menantang para pria itu agar memasukkannya keduburnya. Ketika salah seorang hendak memasukkan ke dubur Centini, abdi setia Tembangraras itu menyemburkan kentut semarnya hingga terpentallah para pria di depannya dan dibuatnya kalang kabut.

Begitu lama Tembangraras dan Centini larut dalam pengembaraan. Sang Tuan Putri putus asa. Ia menggali kuburnya sendiri dengan tangannya yang sudah lemah. Ia membungkukkan tubuhnya dalam posisi duduk dengan kaki selonjor. Centini membujuk tuan junjunganya agar mengurungkan niatnya, tapi tak digubris. Tembangraras memasuki alam roh, mengutus abdi setianya Centini ke cakrawala. Di sana Tembangraras bertemu dengan Mangunarsa yang tak lain adalah Jayengsari dan Rencangkapti, kedua adik Amongraga yang telah mati.

Atas kekuasaan Allah, Amongraga tiba-tiba disadarkan jika semua saudaranya telah mati. Segera saja ia menghentikan pertapaannya dan menemui mereka. Beruntung jenazah-jenazah itu belum dimandikan. Di depan mayat itu Amongraga bersujud, dan ketiga mayat itu bisa hidup kembali karena sebenarnya mereka cuma pingsan. Tembangraras segera mengenali suaminya, sementara itu kedua adiknya yang terpisah sejak mereka masih kecil, sama sekali tak mengenali jika yang ada dihadapannya itu adalah kakaknya yang selama ini dicari. Tembangraras memperkenalkan Amongraga kepada kedua adiknya.

Begitulah kisah pengembaraan panjang Amongraga yang dikisahkan dalam jilid ke sembilan Centini di buku ini. Hingga akhirnya ia bertemu dengan pengembara asal Cina yang beragama islam. Dia adalah Endrasena. Amongraga sempat tegang menemui ratusan pasukan bersenjata di belakang pengembara tampan itu.

"Endrasena! Saudaraku! Apa yang kamu lakukan di situ?"

"San kamu? Hai pangeran Giri! Jadi begitu, kamu menjauhi semua makhluk untuk mendekatkan diri kepadaNya. kamu berupaya berada di kehadiranNya tapi kamu belum bisa lepas dari dirimu sendiri!"

Endrasena kemudian menantang Amongraga bermain petak umpet. Bagi yang memenangkan permainan ini akan mendapat kehadiranNya. Amongraga kalah. Di antara sinar kegelapan , Amongaraga bersujud. Dengan suara terpatah-patah, dia mengakui kekalahannya. Endrasena mengingatkan Amongraga bahwa dirinya terlalu berambisi kepada jihad besarnya, tapi ia lupa akan jihad kecil.

"Jihad yang mana?" tanya Amongraga.

"Apa kamu lupa bagaimana ayah kita Sunan Giri, telah dikalahkan Sultan Agung?Tak tahukah kamu bahwa beliau telah wafat merana di enjara Mataram," jawab Endrasena. Amongraga masih belum juga paham. Endrasena kini benar-benar menghilang dari pandangannya.

Amongraga dan Tembangraras pergi ke Mataram menemui Aji Nyakrakusuma, panggilan Sultan Agung. Mereka menyatakan keinginannya untuk mencari kedamaian. Keingiannya itu disambut dengan santun oleh Sang Aji. Dikatakan oleh raja Mataram itu bahwa raja adalah orang yang terlalubesar yang dilanda rasa takut hebat. Ayah Amongraga mati karena terlalu menginginkan mahakuasa Allah ketimbang melayaninya.

"Badai telah menduduki tahta para raja,

Sebab untuk membuat gurun, Tuhan, Gusti kita semua.

Memulai dari raja dan mengakhiri pada angin."

Maka atas perintah Sang Aji kedua pasang suami istri itu berubah menjadi ulat. Satu jantan dan satunya betina. Yang jantan cincinnya berwarna gelap dan berbulu, yang betina gelangnya merah dan gembur. Ulat yang jantan dimakan Sultan Agung yang akan menjadi putranya dan kelak akan menjadi raja. Ulat yang betina dimakan Pangeran Pekik, ipar sang raja, yang kelak akan menikahi sepupunya.

Tapi keturunan raja, yang diberi nama arab, Sayidin, yang kemudiangkat menjadi raja Amangkurat I itu melakukan pembantaian para ulama hingga membuatnya tak layak menerima gelar Sultan. Ia mensinyalir ada persekonkolan untuk menjatuhkannya. Ia memerintahkan prajuritnya membunuh siapa saja yang dicurigainya termasuk pamannya sendiri, Pangeran Pekik. Ia membunuh para pejabat Tua dan menggantikannya dengan yang lebih muda.

Persaingan perebutan kekuasaan pun terjadi antara anak dan bapak. Pangeran Anom yang mendapatkan dukungan dari pangeran dari pulau Madura melancarkan serangan ke Mataram. Sang raja melarikan diri hingga akhirnya menemukan ajalnya dalam pelariannya sebelum mencapai pesisir. Mayatnya dimakamkan di Tegalwangi. Di batu nisannya tertulis, yang entah oleh tangan siapa: "Hampir mati pada dirinya sendiri, hanya nafsu terakhirnya yang menjelma.?

****

Serat Centini, sama halnya dengan Serat Darmogandhul dan Suluk Gatholoco pernah menjadi perdebatan sengit di kalangan umat muslim di nusantara. Selain dituduh mengumbar seksualitas secara vulgar, mereka juga dituduh menghina ajaran Islam. Pelecehan terhadap ajaran Islam itu dialamatkan terhadap Serat Darmogandhul dan Suluk Gatholoco. Kedua karya ini sempat dilarang beredar pada masa pemerintahan Orde Baru. Kedua karya ini melukiskan potret ?kaum abangan? yang awam terhadap Islam dan ?kaum santri? yang terlalu mendewakan syariat.

Kaum santri, dalam Suluk Gatholoco karya pujangga dan ulama besar jawa Ranggawarsita, digambarkan begitu mudah terpancing emosinya ketika menghadapi orang abangan macam Gatholoco (dalam bahasa jawa artinya asal ngomong, asal njeplak). Ini adalah gambaran kaum santri yang sebenarnya dalam penguasaan ilmu agama masih dangkal, sehingga mereka begitu mudah memberikan cap ?kafir? kepada orang lain. Berbeda dengan Sunan Kalijaga yang menyebarkan agama Islam dengan begitu lenturnya, bahkan bisa sambil bercanda, seperti ketika dirinya mengajak Prabu Brawijaya V masuk Islam. Sunan Kalijaga menjelaskan tentang islam, shalat dan makrifat layaknya pasangan yang sedang bersenggama.

Dalam konteks kekinian, karya-karya sastra besar Jawa itu bisa ditengok kembali untuk dijadikan sebagai refleksi perkembangan agama Islam di Indonesia dewasa ini. Bermunculannya gerakan-gerakan Islam yang cenderung radikal, yang menghalalkan segala cara belakangan ini sudah tercerabut dari ajaran-ajaran tasawuf Jawa yang arif dan bijaksana. Islam di Jawa dan nusantara pada umumnya, adalah agama yang secara historis berpijak dari akar budaya lokal yang sarat dengan laku dan budi pekerti luhur.

Mencermati perkembangan dunia kesusasteraan kontemporer di negeri ini, tampaknya mengalami kemunduran yang terlampau jauh. Terutama dalam hal kebebasan berekspresi. Dunia sastra kita sampai dengan hari ini masih sibuk mengkotak-kotakkan diri ke dalam kubu-kubu: sastra seks, sastra islami atau sastra moralis dan amoral. Masyarakat pembaca dan juga sastrawan terjebak dalam penafsiran-penafsiran dangkal atas suatu teks. Mengukur nilai-nilai sebuah karya sastra dengan ukuran moralitas yang semu.

Pertanyaanya, jika memang moral masih mau dijadikan sebagai ukuran baik-buruknya sebuah karya sastra, apakah dengan mengumbar seksualitas maka karya-karya sastra Jawa yang sudah tersohor hingga ke belahan penjuru dunia itu, dapat dikatakan tidak ber"moral"? Tidakkah mereka mengajarkan nilai-nilai budipekerti yang luhur? Wallohu alam bisyhowab?.

Tragedi Pergundikan di Tanah Surga

Judul: Dutch Culture Overseas, Praktik Kolonial di Hindia Belanda; 1900-1942
Penulis: Frances Gouda
Penerbit: Serambi Jakarta
Cetakan: Pertama, Februari 2007
Tebal: 523 halaman
Peresensi: A Musthafa
http://suaramerdeka.com/

MEMASUKI abad ke-16 dan 17, Barat masuk zaman "Akal-Budi". Zaman inilah yang mengantarkan Barat menggapai pencerahan gemilang pada abad ke-18. Para pemikir, filosof, ekonom, dan teknolog berkembang pesat.

Buku-buku kritis dan produksi teknologi bertebaran di Eropa. Sayang, kegemilangan itu tidak didukung oleh infrastruktur yang cukup. Wilayah Eropa sempit, tandus, dan miskin sumber daya alam. Akibatnya, alam pikir yang terhampar dalam rasio, ditebarkan di berbagai belahan dunia.

Awalnya, ekspansi kuasa akal untuk eksperimen keabsahan teori. Akan tetapi karena imbas kuasa politik lebih dominan, akhirnya ekspansi wilayah kuasa rasio itu dibarengi juga dengan kuasa politik. Dan akhirnya, kuasa politik lebih dominan mengalahkan kuasa akal. Jika kuasa akal, melahirkan pencerahan bagi negeri terbelakang, maka kuasa politik melahirkan intervensi, hegemoni, dan penjajahan. Politik etis, misalnya, yang awalnya untuk mencerdaskan, tetapi ternyata digunakan untuk mengelabuhi warga pribumi.

Buku ini berusaha menyingkap praktik kolonial Belanda pada saat Indonesia tengah menandai kebangkitan kaum cendekiawan. Gouda dalam karyanya ini lebih menekankan pada penjajahan budaya dan mental yang dilakukan Belanda. Belanda, bagi Gouda, adalah negeri kecil yang tidak terlalu diperhitungkan di Eropa. Tetapi Belanda mampu menguasai berbagai peradaban tua di dunia, termasuk Jawa. Negeri belanda yang miskin sumber daya alam dan banyaknya pengangguran kaum intelektual amat bersyukur karena mendapatkan tanah jajahan yang kaya, subur, dan melimpah ruah.

Itulah tanah surga bernama Indonesia. Sayang, alam raya yang subur itu tidak dimanfaatkan oleh warganya. Warga masih gagap dan galau dengan teknologi. Mereka masih menjadi masyarakat religius-partiarkat yang dipengaruhi oleh mistisisme. Meraih kekayaan, waktu itu, tidaklah terlalu dibanggakan. Masyarakat bangga dengan meraih kearifan, kesaktian, kepujanggaan, dan pengetahuan agama. Karena miskin pengetahuan modern, mereka mudah sekali dicerai-beraikan oleh Belanda. Politik devide et empera terbukti meredam berbagai perlawanan di berbagai daerah. Masyarakat gampang sekali dikelabuhi, sehingga Belanda semakin kuasa mengeruk kekayaan.

Hal menarik yang dikupas oleh Gouda dalam buku ini adalah ulah penjajahan Belanda dalam pergundikan. Dalam tragedi pergundikan ini, Belanda melihat warga pribumi sebagai kera atau monyet. Biar mengenakan cincin emas, monyet tetaplah monyet, buruk rupa, dan jahat (halaman 243). Doktrin ini digunakan untuk menjatuhkan mentalitas warga pribumi. Mentalitas inilah, yang oleh Clifford Geertz, dijadikan landasan untuk menempatkan warga pribumi sebagai warga kelas tiga. Karena kelas tiga, maka hak-haknya hidupnya juga tidak sama dengan kelas satu; warga berkulit putih, Belanda sendiri. Warga kelas dapat dipekerjakan seenaknya, sesuai kebutuhan warga kelas satu.

Doktrin inilah yang digunakan Belanda untuk melegalkan praktik pergundikan. Perempuan-perempuan pribumi diperlakukan seenaknya untuk memenuhi hasrat seksualnya. Mereka menklaim perempuan itu warga kelas itu, hasrat nafsunya yang besar karena makan rempah-rempah yang bergizi, atau untuk menambah kesehatan. Mereka melakukan itu dengan berahi dan membabi buta (halaman 204). Para wanita gundik ini kemudian melahirkan anak Indo, yang waktu itu menjadi beban berat di lingkungan warga pribumi.

Anak Indo dianggap sebagai anak haram hasil perzinahan dengan penjajah. Anak itu terasing dan teralienasi dari lingkungan. Tetapi berbeda jauh dari sekarang, anak-anak Indo malah menjadi aktris terkemuka dan menjadi idola warga Indonesia.

Penindasan terhadap perempuan ternyata tidak hanya dilakukan untuk warga pribumi. Perempuan Belanda pun memiliki aturan-aturan ketat untuk berkiprah di ruang publik. Para perempuan Belanda dipersempit peluangnya untuk ikut serta "berekspansi" ke Indonesia. Kalaupun sudah ada di Indonesia, kaum perempuan Belanda tak lebih hanya sebagai ibu rumah tangga yang sibuk dengan urusan masak dan perabot rumah. Para perempuan tidak diperbolehkan melihat praktik kolonialisasi yang dilakukan oleh para suami.

Tragedi pergundikan Belanda di Indonesia sampai sekarang masih sangat terasa. Peran perempuan di berbagai bidang kehidupan dibatasi. Perempuan adalah mereka yang harus taat kepada suami, mengurus anak, mengurus rumah, dan peran domestik lain. Marginalisasi perempuan seolah menjadi "hukum tak tertulis" masyarakat. Karena ketika perempuan keluar dari pakem tradisi, si perempuan pasti dianggap tidak sopan, melanggar aturan agama, dan sebagainya. Banyak justifikasi yang digunakan untuk mempersempit peran strategis perempuan, sehingga nasibnya terus terlunta. Walaupun sekarang sudah banyak gerakan feminisme, tetap saja budaya patriarkat membelenggu peran perempuan.

Doktrin warga pribumi sebagai kelas tiga yang digunakan untuk melegalkan praktik pergundikan atas perempuan, ternyata juga digunakan secara umum atas praktik kolonialisasi di seluruh Nusantara. Bumi pertiwi dianggap sebagai bumi kelas tiga, sehingga dapat dikuras semaunya, diboyong seenaknya menuju Belanda, dan dijajah selama yang diinginkan. Falsafah inilah yang kemudian menjadikan Belanda begitu betah, krasan, dan nyaman tinggal di Nusantara selama 350 tahun. Waktu yang amat lama, menguras sumberdaya alam Indonesia yang begitu banyak, dan membuat Indonesia terus mengingat beragam kekejaman yang menerpa dirinya.

Kini, Indonesia masih terus berjuang membebaskan diri dari sekian ragam "penjajahan". Pelajaran yang dihasilkan dipetik dari penjahan Belanda dalam buku ini dan pelajaran dari perjuangan warga Indonesia merebut tanah airnya dapat dijadikan bahan penting dalam merumuskan berbagai kebijakan bangsa memberikan kebebasan bagi warganya. Jangan sampai dialam kemerdekaan masih terjadi "penjajahan", terlebih penjajahan yang dilakukan saudara sendiri.

Di Balik Tragedi Lumpur Lapindo

Judul : Konspirasi di Balik Lumpur Lapindo; dari Aktor hingga Strategi Kotor
Penulis : Ali Azhar Akbar
Penerbit : Galang Press, Yogyakarta
Cetakan : Pertama, Juni 2007
Tebal : 250 halaman
Peresensi: Achmad Maulani
http://suaramerdeka.com/

SETAHUN lebih sudah lumpur menyembur di Porong Sidoarjo. Tiada terkira dampaknya. Belasan desa terendam, puluhan pabrik tutup, ratusan hektar sawah musnah. Bahkan lebih 27 ribu jiwa terlempar dari tanah kelahiran. Mereka kehilangan segala sumber penghidupan. Nyaris tak ada yang tersisa. Hari-hari ini mereka kosong menatap masa depan. Kerugian pun telah menyentuh angka Rp 27,4 triliun!

Itulah sepenggal potret malapetaka yang berawal dari kegagalan pengeboran gas di Blok Brantas, Jawa Timur, oleh Lapindo Brantas Inc --perusahaan di bawah kelompok usaha Bakrie-- yang berubah menjadi sebuah tragedi kebudayaan (meminjam istilah WS Rendra).

Buku yang ditulis jebolan Teknik Perminyakan ITB dan Hukum Perminyakan FH UI Jakarta ini menyuguhkan sebuah analisis ilmiah tentang penyebab awal hingga data mutakhir perkembangan semburan lumpur tersebut. Penulis yang pernah aktif di YLBHI, Walhi dan saat ini aktif di Koalisi HAM urusan bencana ini juga menunjukkan dengan gamblang aksi-aksi kotor beberapa pihak di balik petaka itu.

Dalam bahasa penulis buku ini, telah terjadi sebuah konspirasi besar di balik kasus lumpur Lapindo. Soal proses ganti rugi tanah penduduk yang dipenuhi kongkalikong sehingga menjadi terkatung-katung, upaya "diam-diam" pengalihan saham perusahaan Lapindo ke Freehold Group Limited --sebuah perusahaan di British Virgin Islands yang tak jelas pemiliknya, serta manipulasi simbolis, dengan misalnya memopulerkan istilah lumpur Sidoarjo dan bukan lumpur Lapindo, adalah contoh kecil sikap tak ksatria perusahaan hingga menyebabkan penanganan kasus ini semakin ruwet dan tak kunjung tuntas.

Dalam kasus lumpur Lapindo ini, satu hal ingin dikatakan penulis: kejahatan lingkungan sedang melenggang di depan mata. Kasus ini memperlihatkan betapa modal bisa bergerak sangat lincah untuk melangkahi serta menekuk "hajat hidup orang banyak" dan otoritas negara, yang menyebabkan rakyat tenggelam dan musnah...

Keuntungan Ekonomi

Di dalam buku setebal 250 halaman ini, penulis kelahiran Jakarta 46 tahun silam itu juga menunjukkan bahwa segala yang terjadi berkaitan dengan kasus lumpur Lapindo adalah sebuah ironi dan wajah gelap pembangunan. Sebuah praktik pembangunan yang menemui kebuntuan sendiri akibat kebijakan yang hiperpragmatis, yang hanya mempertimbangkan keuntungan ekonomi semata tanpa landasan etika yang mengawal.

Menurut Azhar Akbar yang juga pernah menjadi konsultan lingkungan untuk beberapa perusahaan minyak Indonesia, kasus lumpur Lapindo tentu saja bukan peristiwa alam yang singgah tanpa sebab yang mendahuluinya. Orang mungkin bisa menyebut peristiwa itu sebagai bencana alam. Tetapi lebih dari itu, ia adalah dampak eksploitasi alam yang berlebihan. Ia juga membuktikan bahwa pembangunan yang berjalan selama ini hanya mengenal satu berprinsip: pembangunan adalah bisnis!

Kelebihan buku ini adalah ia sangat kaya dengan data-data ilmiah yang mencoba merekam proses awal pengeboran di Blok Brantas Sidoarjo hingga terjadinya malapetaka yang mengerikan tersebut. Untuk memudahkan pembaca yang awam di bidang perminyakan, penulis yang memang berlatar belakang eksak perminyakan, sengaja menulis glossary tentang soal-soal di seputar perminyakan pada bagian awal buku ini. Dengan hal tersebut pembaca akan mampu melihat apa yang sesungguhnya yang terjadi dengan kasus Lapindo ini di luar isu-isu dampak sosialnya.

Selain tentu merekam isu-isu di seputar dampak sosial-ekonomi dari kasus lumpur Lapindo ini, buku ini saya kira dengan sangat bagus dan runtut juga memaparkan tentang sejarah risalah bisnis minyak di muka bumi ini.

Dimulai dari Colonel El Drake, yang memulai eksplorasi minyak dan gas bumi di Pennsylvania, AS tahun 1859, bisnis minyak kemudian menggurita dan mendiaspora ke seluruh dunia hingga masa awal kapitalisme dengan Maurice Clark dan John D Rockfleller sebagai pemain utama dengan perusahaan pengolah minyaknya (halaman 33-45). Adapun di Indonesia raja-raja minyak berputar di kelompok bisnis Bakrie, PT Energi Mega Persada Tbk, hingga Arifin Panigoro yang merupakan kombinasi politikus dan pengusaha (halaman 51-69).

Amburadul

Buku ini ditulis orang yang tidaknya hanya berkutat sebagai aktivis sosial yang punya kepekaan tinggi terhadap problem sosial, tetapi juga paham tentang seluk beluk perminyakan. Dengan demikian analisis yang dilahirkan pun tajam, kritis dan tidak lahir dari common sense belaka, baik dari sisi dunia perminyakan, sudut pandang ekonomi, politik, teknis maupaun hukum. Inilah saya kira kelebihan buku ini.

Dalam penanganan kasus Lumpur Lapindo yang amburadul serta salah urus sehingga menyebabkan rakyat semakin terjerembab dalam ketidakpastian (halaman 147), pertanyaan bernada gugatan yang dilontarkan penulis adalah: di mana peran negara?

Fakta-fakta yang terekam dalam buku ini dengan jelas menyodorkan sebuah kenyataan bahwa negara dalam konteks ini ternyata gagal menjalankan fungsinya melindungi kepentingan rakyat yang tersisih sebagai cermin komitmen sosialnya. Keserakahan modal ternyata telah menyandera peran negara dalam melindungi rakyat.

Drama getir serta implikasi mengerikan dari beberapa proyek pembangunan oleh korporasi besar (konglomerasi) seperti dalam kasus Lapindo ini tampaknya cukup menunjukkan tentang lenyapnya landasan etis dan poros kesejahteraan sosial dalam setiap kebijakan pembangunan yang diambil.

Belajar dari kasus Lapindo tersebut, menurut penulis yang harus dilakukan ke depan adalah mengagendakan strategi pembangunan ekonomi yang memberi nisbah secara proporsional bagi seluruh rakyat. Modal dengan segenap pirantinya tidak bisa dibiarkan berjalan tanpa koridor aturan main yang mengawalnya. Tanpa itu, pembangunan dengan jalan pengeksploitasian hanya akan menimbulkan kerusakan-kerusakan yang tidak terperikan. Dan, wajah pembangunan tak akan lagi menyisakan muka manusiawinya.

Seksualitas Standar Ganda ala Indonesia

Judul : Tangan Kuasa dalam Kelamin, Telaah Homoseks, Pekerja Seks, dan Seks Bebas di Indonesia
Penulis : Hatib Abdul Kadir Olong
Pengantar : Benedict R OG Anderson
Editor : Benedict R OG Anderson
Penerbit : Insist, Yogyakarta, 2007
Tebal : xxiii+310 halaman
Resensi: Kholilul Rohman Ahmad
http://suaramerdeka.com/

KAJIAN tentang seks, seksualitas, atau perkelaminan yang kerap menggiurkan pembaca dari berbagai kalangan memunculkan sikap yang menarik --juga sering munafik. Seksualitas yang menjadi salah satu faktor kehidupan manusia menjadi daya tarik untuk dikaji sepanjang peradaban manusia, kalangan muda hingga tua.

Sejarah dan seksualitas merupakan dua entitas yang beriringan dalam sebuah perjalanan evolusi manusia. Pada beberapa nenek moyang manusia, seks merupakan semacam bagian dari kepedulian (bahkan pemanjaan) terhadap genital. Pada waktu itu genital bahkan bukan merupakan sesuatu yang dianggap cabul meskipun ia nyaris tak tertutupi oleh pakaian atau pelindung layak kita sekarang.

Bahkan pada beberapa kebudayaan kuno upacara yang dilakukan dengan menggunakan simbolisasi phallus (kemaluan laki-laki) merupakan kultur tertua di muka bumi, demikian juga jika kita mengamati beberapa keramik kuno dengan ukiran yang menggambarkan tentang kejadian hidup sehari-hari. Beberapa gambar menceritakan laki-laki tengah bersenggama secara ramai-ramai (orgy). Terdapat pada gambar seorang Mesir Kuno mengenakan pakaian sedikit terbuka untuk menghindari cuaca panas. Pada kelanjutannya berbagai gaya pakaian tersebut ditirukan masyarakat kelas atas pada zaman Romawi.

Seksualitas Profan

Secara sederhana masyarakat memandang bahwa seksualitas yang bersifat sakral adalah sesuatu yang masuk dalam tangkup melahirkan (prokreasi) untuk membentuk dan menciptakan berbagai relasi sosial. Antara kedua belah pihak yang melakukan hubungan seksual harus melalui lembaga resmi yang membentuk perkawinan seperti agama dan negara.

Dalam seksualitas profan, tubuh benar-benar diliberasikan serta tidak didisiplinkan. Unsur nilai yang terkandung dominan dalam tipe atau jenis seks ini adalah hedonisme. Karena tidak dominan unsur agama yang memberi batasan jelas antara sakral-profan, disiplin tubuh, sehingga batasan bagi pelaku seksualitas profan menjadi lenyap dan abstrak.

Hingga saat ini pelaku seksual sakral lebih dipandang mulia oleh masyarakat Indonesia. Ranah wacana yang terjadi adalah menguatnya wacana pendosa bagi pelanggar rezim moral dan agama, serta kontrak sosial yang telah menjadi sebuah kesepakatan warga.

Sebagai contoh di Indonesia, ketika konsepsi seksualitas yang mendua tersebut dimenangkan oleh agama (dalam hal ini negara berperan sebagai aktor dengan berbagai undang-undang sebagai kaki tangan) maka agama dan negara berhak memaknai bahwa pelacuran yang bersifat promiskuitas, homoseksualitas serta perilaku seks bebas yang bersifat nonprokreasi akan dianggap sebagai perbuatan tak bermoral, berdosa, aib, patut dikucilkan, serta kelak pelakunya akan masuk neraka (halaman 23).

Luar Biasa tapi Biasa

Dualisme seksualitas akan berkelanjutan ketika seks itu sendiri dikuasai oleh sebuah lembaga (baca: agama). Di satu sisi persetubuhan manusia mempunyai kekuatan moral yang sah, dianggap bagian dari ibadah, pendekatan diri kepada Tuhan manakala ia telah disakralkan oleh upacara pernikahan, namun pada saat yang sama persetubuhan akan dianggap sebagai kegiatan yang bejat, amoral, jika ia dilakukan di luar kerangka "upacara pernikahan". Dalam dua kasus tersebut terdapat sebuah kesamaan esensi yakni hubungan badan (persetubuhan), namun yang menjadi faktor determinan adalah sebuah lembaga yang bernama upacara perkawinan (halaman 24).

Buku ini secara panjang lebar mengupas tiga fenomena luar biasa (tapi biasa) di Indonesia: homoseks, pekerja seks, dan seks bebas. Warga negara yang homoseks meskipun persentasenya kecil, namun ia mempunyai sejarah panjang dalam peradaban Nusantara hingga Indonesia. Demikian halnya dengan pekerja seka dan seks bebas yang catatannya dapat ditelusuri dalam deskripsi sejarah peradaban bangsa kita.

Buku ini tidak menyimpulkan ndakik-ndakik atas fenomena seksualitas di Indonesia yang disikapi masyarakat dengan standar ganda. Kelebihan buku ini terletak pada kejelian dan ketelitian penulis dalam menyajikan data secara rinci sehingga analisis-analisisnya dapat dipakai untuk memotret fenomena pergundikan atau perselingkuhan di kalangan pejabat, artis, wakil rakyat, pebisnis, maupun gelandangan.

Meskipun tiga entitas seks itu belum mewakili dunia perkelaminan --lesbi dan waria tidak masuk dalam kajian-- namun buku ini telah memberi sumbangsih berharga bagi dunia perkelaminan di Indonesia. Sebab dunia perkelaminan tidak mengenal batas waktu, tempat, dan strata sosial. Hampir setiap manusia mempunyai sikap sama terhadap seksualitas: berstandar ganda. Tidak percaya, coba tanya orang di samping Anda.

A Musthafa A Rodhi Murtadho A Wahyu Kristianto A. Mustofa Bisri A. Qorib Hidayatullah A. Zakky Zulhazmi A.J. Susmana A.S. Laksana Aang Fatihul Islam Abdul Azis Sukarno Abdul Aziz Rasjid Abdul Hadi W. M. Abdul Kadir Ibrahim Abdul Malik Abdul Wachid BS Abdullah al-Mustofa Abdullah Khusairi Abdurrahman Wahid Abidah El Khalieqy Abimanyu Abimardha Kurniawan Abroorza A. Yusra Acep Iwan Saidi Acep Zamzam Noor Achmad Maulani Adek Alwi Adhi Pandoyo Adrian Ramdani Ady Amar Afrizal Malna Agnes Rita Sulistyawati Aguk Irawan Mn Agus R. Sarjono Agus Riadi Agus Subiyakto Agus Sulton Aguslia Hidayah Ahda Imran Ahm Soleh Ahmad Farid Tuasikal Ahmad Farid Yahya Ahmad Fatoni Ahmad Kekal Hamdani Ahmad Luthfi Ahmad Muchlish Amrin Ahmad Nurhasim Ahmad Sahidah Ahmad Syauqi Sumbawi Ahmad Yulden Erwin Ahmad Zaini Ahmadie Thaha Ahmadun Yosi Herfanda Ainur Rasyid AJ Susmana Ajip Rosidi Akhiriyati Sundari Akhmad Muhaimin Azzet Akhmad Sekhu Alan Woods Alex R. Nainggolan Alexander Aur Alexander G.B. Alfian Dippahatang Ali Audah Ali Rif’an Aliela Alimuddin Alit S. Rini Alunk Estohank Ami Herman Amich Alhumami Amien Wangsitalaja Aming Aminoedhin Aminudin TH Siregar Ammilya Rostika Sari An. Ismanto Anaz Andaru Ratnasari Andhi Setyo Wibowo Andhika Prayoga Andong Buku #3 Andrenaline Katarsis Andri Cahyadi Angela Anies Baswedan Anindita S Thayf Anjrah Lelono Broto Anton Kurnia Anton Sudibyo Anton Wahyudi Anwar Holid Anwar Siswadi Aprinus Salam Arie MP Tamba Arif Hidayat Arif Zulkifli Arti Bumi Intaran Asarpin Asep Sambodja Asvi Warman Adam Awalludin GD Mualif Ayu Utami Azyumardi Azra Babe Derwan Bagja Hidayat Balada Bandung Mawardi Bayu Agustari Adha Beni Setia Benni Setiawan Benny Benke Bentara Budaya Yogyakarta Berita Bernadette Lilia Nova Bernando J. Sujibto Berthold Damshäuser Bhakti Hariani Binhad Nurrohmat Bokor Hutasuhut Bonari Nabonenar Brunel University London Budaya Budhi Setyawan Budi Darma Budi Hutasuhut Budi P. Hatees Budi Winarto Buku Kritik Sastra Buldanul Khuri Bustan Basir Maras Camelia Mafaza Capres dan Cawapres 2019 Catatan Cecep Syamsul Hari Cerpen Chairil Anwar Chamim Kohari Choirul Rikzqa D. Dudu A.R D. Dudu AR D. Zawawi Imron Dahono Fitrianto Dahta Gautama Damanhuri Damar Juniarto Damhuri Muhammad Damiri Mahmud Dantje S Moeis Darju Prasetya Darma Putra Darman Moenir Darmanto Jatman Dedy Tri Riyadi Delvi Yandra Denny JA Denny Mizhar Dewi Anggraeni Dian Basuki Dian Hartati Dian Sukarno Dian Yanuardy Diana AV Sasa Dinar Rahayu Djenar Maesa Ayu Djoko Pitono Djoko Saryono Doddi Ahmad Fauji Dody Kristianto Donny Anggoro Donny Syofyan Dorothea Rosa Herliany Dwi Cipta Dwi Fitria Dwi Pranoto Dwi S. Wibowo Dwicipta Edeng Syamsul Ma’arif Edi Warsidi Edy Firmansyah EH Kartanegara Eka Alam Sari Eka Budianta Eka Kurniawan Eko Darmoko Ellyn Novellin Elnisya Mahendra Emha Ainun Nadjib Emil Amir Engkos Kosnadi Esai Esha Tegar Putra Evan Ys F. Budi Hardiman Fadly Rahman Fahmi Fahrudin Nasrulloh Faisal Kamandobat Fani Ayudea Fariz al-Nizar Faruk HT Fatah Anshori Fatah Yasin Noor Fatkhul Anas Fatkhul Aziz Felix K. Nesi Film Fitri Yani Franditya Utomo Fuska Sani Evani Gabriel Garcia Marquez Gandra Gupta Garna Raditya Gde Artawan Geger Riyanto Gendhotwukir George Soedarsono Esthu Gerakan Surah Buku (GSB) Goenawan Mohamad Grathia Pitaloka Gunawan Budi Susanto Gunawan Tri Atmojo H. Supriono Muslich H.B. Jassin Hadi Napster Halim H.D. Hamberan Syahbana Hamidah Abdurrachman Han Gagas Hardi Hamzah Haris del Hakim Haris Priyatna Hasan Aspahani Hasan Gauk Hasan Junus Hasnan Bachtiar Helvy Tiana Rosa Helwatin Najwa Hendra Junaedi Hendra Makmur Hendriyo Widi Ismanto Hepi Andi Bastoni Heri Latief Heri Listianto Herry Firyansyah Heru Untung Leksono Hikmat Darmawan Hilal Ahmad Hilyatul Auliya Holy Adib Hudan Hidayat Hudan Nur Husnun N Djuraid I Nyoman Suaka Ibnu Rizal Ibnu Rusydi Ibnu Wahyudi IGK Tribana Ignas Kleden Ignatius Haryanto Iksan Basoeky Ilenk Rembulan Ilham khoiri Imam Jazuli Imam Nawawi Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Iman Budi Santosa Imelda Imron Arlado Imron Tohari Indiar Manggara Indira Margareta Indra Darmawan Indra Tjahyadi Indra Tranggono Indrian Koto Ingki Rinaldi Insaf Albert Tarigan Intan Hs Isbedy Stiawan ZS Ismail Amin Ismi Wahid Ivan Haris Iwan Gunadi Jacob Sumardjo Jafar Fakhrurozi Jajang R Kawentar Janual Aidi Javed Paul Syatha Jean-Marie Gustave Le Clezio JJ. Kusni Joko Pinurbo Joko Sandur Joko Widodo Joni Ariadinata Jual Buku Paket Hemat Julika Hasanah Julizar Kasiri Jumari HS Junaidi Jusuf AN Kadir Ruslan Kartika Candra Kasnadi Katrin Bandel Kenedi Nurhan Ketut Yuliarsa KH. Ma'ruf Amin Khaerudin Khalil Zuhdy Lawna Kholilul Rohman Ahmad Komunitas Deo Gratias Komunitas Teater Sekolah Kabupaten Gresik (KOTA SEGER) Korrie Layun Rampan Krisandi Dewi Kritik Sastra Kucing Oren Kuswinarto Langgeng Widodo Lathifa Akmaliyah Latief S. Nugraha Leila S. Chudori Lenah Susianty Leon Agusta Lina Kelana Linda Sarmili Liston P. Siregar Liza Wahyuninto M Shoim Anwar M. Arman A.Z. M. Fadjroel Rachman M. Faizi M. Harya Ramdhoni M. Kasim M. Latief M. Wildan Habibi M. Yoesoef M.D. Atmaja Mahdi Idris Mahmud Jauhari Ali Mahwi Air Tawar Malkan Junaidi Maman S. Mahayana Mardi Luhung Marhalim Zaini Maria hartiningsih Maria Serenada Sinurat Mario F. Lawi Maroeli Simbolon S. Sn Marsus Banjarbarat Marwanto Mas Ruscitadewi Masdharmadji Mashuri Masriadi Mawar Kusuma Wulan Max Arifin Melani Budianta Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia Mezra E. Pellondou Micky Hidayat Mihar Harahap Misbahus Surur Moh Samsul Arifin Moh. Syafari Firdaus Mohamad Asrori Mulky Mohammad Afifuddin Mohammad Fadlul Rahman Muh Kholid A.S. Muh. Muhlisin Muhajir Arifin Muhamad Sulhanudin Muhammad Al-Fayyadl Muhammad Amin Muhammad Azka Fahriza Muhammad Rain Muhammad Subhan Muhammad Yasir Muhammad Zuriat Fadil Muhammadun A.S Muhidin M. Dahlan Musa Ismail Musfi Efrizal Mustafa Ismail Nafi’ah Al-Ma’rab Naskah Teater Nezar Patria Nina Setyawati Nirwan Ahmad Arsuka Nirwan Dewanto Noor H. Dee Noval Maliki Nunuy Nurhayati Nur Haryanto Nurani Soyomukti Nurel Javissyarqi Nurhadi BW Nurudin Octavio Paz Oliviaks Orasi Budaya Akhir Tahun 2018 Pablo Neruda Pamusuk Eneste Panda MT Siallagan Pandu Jakasurya PDS H.B. Jassin Philipus Parera Pradewi Tri Chatami Pramoedya Ananta Toer Pramono Pranita Dewi Pringadi AS Prosa Puisi Puisi Menolak Korupsi PuJa Puji Santosa Puput Amiranti N Purnawan Andra PUstaka puJAngga Putri Utami Putu Fajar Arcana Putu Wijaya Qaris Tajudin R Sutandya Yudha Khaidar R. Sugiarti R. Timur Budi Raja R.N. Bayu Aji Rachmad Djoko Pradopo Radhar Panca Dahana Rahmadi Usman Rahmat Sudirman Rahmat Sularso Nh Rahmat Sutandya Yudhanto Raihul Fadjri Rainer Maria Rilke Raja Ali Haji Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Raudal Tanjung Banua Reiny Dwinanda Remy Sylado Resensi Revolusi Riadi Ngasiran Ribut Wijoto Ridha al Qadri Ridwan Munawwar Rikobidik Riri Riris K. Toha-Sarumpaet Risang Anom Pujayanto Rizky Andriati Pohan Robert Frost Robin Al Kautsar Robin Dos Santos Soares Rodli TL Rofiqi Hasan Rohman Budijanto Romi Febriyanto Saputro Rosihan Anwar RR Miranda Rudy Policarpus Rukardi S Yoga S. Jai S.I. Poeradisastra S.W. Teofani Sabam Siagian Sabrank Suparno Saiful Amin Ghofur Sainul Hermawan Sajak Sakinah Annisa Mariz Salamet Wahedi Salman Rusydie Anwar Samsudin Adlawi Sapardi Djoko Damono Sartika Dian Nuraini Sastra Sastra Gerilyawan Sastri Sunarti Satmoko Budi Santoso Saut Situmorang Sejarah Sekolah Literasi Gratis (SLG) SelaSastra SelaSastra ke #24 Selasih Seno Gumira Ajidarma Seno Joko Suyono Sergi Sutanto Shadiqin Sudirman Shiny.ane el’poesya Sidik Nugroho Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Simo Sungelebak Karanggeneng Lamongan Siti Sa’adah Sitok Srengenge Siwi Dwi Saputro Sjifa Amori Sofyan RH. Zaid Soni Farid Maulana Sony Prasetyotomo Sosiawan Leak Sri Wintala Achmad Sri Wulan Rujiati Mulyadi Subhan SD Suci Ayu Latifah Sulaiman Djaya Sulistiyo Suparno Sunaryo Broto Sunaryono Basuki Ks Sungatno Sunlie Thomas Alexander Sunudyantoro Suriali Andi Kustomo Suryadi Suryansyah Suryanto Sastroatmodjo Susi Ivvaty Susianna Susilowati Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Suwardi Endraswara Syaifuddin Gani Syaiful Bahri Syam Sdp Syarif Hidayatullah Tajuddin Noor Ganie Tammalele Tan Malaka Taufik Ikram Jamil Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat Teguh Trianton Tengsoe Tjahjono Th Pudjo Widijanto Thayeb Loh Angen Theresia Purbandini Tia Setiadi Tito Sianipar Tiya Hapitiawati Tjahjono Widarmanto Tjahjono Widijanto Toko Buku Murah PUstaka puJAngga Tosa Poetra Tri Joko Susilo Triyanto Triwikromo Tu-ngang Iskandar Udo Z. Karzi Uly Giznawati Umar Fauzi Umar Kayam Undri Uniawati Universitas Indonesia UU Hamidy Vyan Tashwirul Afkar W Haryanto W.S. Rendra Wahyudin Wannofri Samry Warung Boenga Ketjil Waskiti G Sasongko Wawan Eko Yulianto Wawancara Web Warouw Wijang Wharek Wiko Antoni Wina Bojonegoro Wira Apri Pratiwi Wiratmo Soekito Wishnubroto Widarso Wiwik Hastuti Wiwik Hidayati Wong Wing King WS Rendra Xu Xi (Sussy Komala) Y. Thendra BP Y. Wibowo Yani Arifin Sholikin Yesi Devisa Yohanes Sehandi Yona Primadesi Yosi M. Giri Yusi Avianto Pareanom Yusri Fajar Yusrizal KW Yuval Noah Harari Yuyu AN Krisna Zaki Zubaidi Zalfeni Wimra Zawawi Se Zehan Zareez Zen Hae Zhaenal Fanani Zuarman Ahmad Zulfikar Akbar Zulhasril Nasir