Senin, 04 Mei 2009

Dekonstruksi “Rasisme” Sastra Buruh

Gendhotwukir
http://batampos.co.id/

Sastra adalah sastra. Karya sastra adalah karya sastra. Karya sastra tidak boleh dilacurkan pada determinasi-determinasi profesi. Jika demikian yang muncul tendensi “rasisme” karya sastra ditempatkan pada profesi-profesi pencipta karya sastra.

Fenomena determinasi karya sastra pada tataran profesi akhir ini mulai tampak. Tendensi ini berkaitan erat dengan maraknya kehadiran penulis-penulis muda dari kalangan kaum buruh migran. Kenyataan demikian melahirkan satu terminologi baru yang biasa disebut sastra buruh. Sastra buruh diartikan sebagai karya-karya sastra yang dilahirkan kaum buruh.

Tidak jelas kapan secara kronologis istilah sastra buruh ini muncul. Satu hal yang pasti, istilah ini telah menjerumuskan karya sastra pada pelacuran yang jelas-jelas melahirkan wacana serius ke gelombang “rasisme” sastra. Bagi penulis jelas, karya sastra adalah karya sastra dan pemecahbelahan karya sastra secara arogan dengan menempelkan profesi pada karya diciptakannya adalah tindakan berbau “rasis”. “Rasisme” dalam konteks ini penulis artikan secara baru. “Rasisme” dalam koridor tulisan ini berarti sikap meremehkan dan memandang rendah hasil karya kelompok tertentu (kaum buruh) tanpa dasar-dasar pembelaan estetika dan jalan pikiran rasional.

Kecenderungan “rasisme” ini tampak nyata dari reaksi-reaksi segelintir orang selalu mempertanyakan kualitas sastra dilahirkan penulis-penulis dari kalangan buruh. Segelintir orang ini beranggapan karya sastra dilahirkan kaum buruh tidak nyastra. Satu hal dilupakan segelintir orang yang sinis ini yaitu justifikasi mereka secara terselubung dilatarbelakangi anggapan mereka bahwa karya yang nyastra lahir dari tangan orang-orang dengan latar belakang status pendidikan. Pikiran mereka ini terlalu picik karena tidak mau secara serius mendalami karya sastra kaum buruh. Kalau penulis amati, beberapa karya sastra dari kalangan buruh nyastra dan mencapai puncak estetikanya.

Penulis tidak bermaksud memberikan apologi (pembelaan) atas karya-karya sastra dari kalangan buruh. Penulis hanya ingin menelaah pemahaman estetika pada umumnya. Dengan pemaparan ini, penulis menaruh harapan besar pembaca bisa menilai sendiri karya-karya sastra marak beredar dari kalangan buruh dari aspek estetikanya.

Materi Pembentuk Suatu Karya

Pada suatu karya perlu dibedakan antara materi (matter) dan material (materials). Materi dari suatu karya adalah materinya bahan-bahan pembentuk suatu karya. Materi sumber asli yang menjiwai pengalaman estetis. Materi ada di dalam, bukan hadir di luar. Material (materi kasar) hanya mendukung materi asli. Material harus terintegrasi keseluruhan karya bagi penikmat yang menikmatinya agar penikmat mencapai pengalaman estetis.

Materi menjiwai cita rasa seni sebuah karya. Meski demikian, rasa perasaan seni tak boleh terikat oleh materinya. Rasa itu bebas dari punya realitasnya sendiri. Keindahan sebagai unsur rasa dalam karya sastra tidak boleh disimpulkan dari tampilan. Keindahan seorang gadis tidak boleh disempitkan pada postur tubuhnya (tampilan luaran). Keindahan totalitas kehadiran gadis tersebut. Pengandaian demikian mau mengatakan pengalaman estetik lantas bisa menimbulkan pengalaman katarsis pada penikmat tidak hanya didasarkan pada penikmatan tampilan luaran.

Dr. Mudji Sutrisno dalam bukunya Estetika (Kanisius: 1993) memaparkan dengan tajam bangunan sebuah karya. Menurutnya, setiap karya punya bangunan sedemikian rupa sehingga secara umum dapat diterima secara ekuivok. Bangunan karya tersebut struktur harmoni dan struktur ritme. Fungsi struktur harmoni (kesesuaian) menegaskan dan menggolongkan unsur-unsur bahasa estetisnya sehingga karya memiliki keunikannya. Pemakaian kata-kata estetik dalam karya sastra memiliki peranan penting membentuk totalitas keindahan lantas bisa dinikmati oleh penikmat. Kehadiran kata-kata estetik yang harmonis menawarkan bangunan keindahan bagi penikmat.

Fungsi struktur ritme menentukan unsur diarahkan pada gerak. Gerakan ini memberikan wujud menjadikan gerakan tersebut hidup. Ritme yang baik tercapai manakala terjadi titik-titik temu pelembutan, pengaturan kata-kata tanpa menyingkapkan secara terus terang dan tanpa mereduksinya dalam pengulangan-pengulangan yang monoton. Ekspresi yang paling kuno dari struktur ritme misalnya selang-seling baris dalam stanza dan puisi. Integrasi struktur harmoni dan ritme memberikan sumbangan khusus pada obyek suatu karya.

Elaborasi Keindahan

Sumber pokok pengalaman estetis adalah pengamatan pancaindera yang diolah dalam rasa, lalu dicoba-ekspresikan dalam berbagai bentuk pengucapan. Manusia dengan segala indera dan kemampuan-kemampuan lainnya terbawa masuk dalam pengamatan itu. Kontemplasi akan karya secara mendalam akan melahirkan pengalaman estetis.

Karya sastra itu berharga dan bisa menghadirkan keindahan karena karya itu sendiri bernilai. Nilai keindahan terletak pada karya itu sendiri, teristimewa karena ada tanda khusus yang bermakna di balik karya itu. Adalah Edward Bullough yang menggagas pengalaman estetis dengan konsepsinya mengenai distansi atau “jarak”. Distansi dicapai dengan memisahkan karya dan daya pesonanya dari selera penikmat dengan cara menaruhnya di luar lingkaran tujuan dan keperluan praktis semata-mata. Distansi memungkinkan kontemplasi terhadap karya dalam keheningan. Distansi tidak bermaksud membuat pengalaman estetis menjadi impersonal, tetapi sebaliknya mau memberikan suasana yang membuat pengalaman estetis semakin menjadi pribadi, dirasakan sepenuhnya dalam kekhasan cirinya.

Suatu datum umum menyatakan karya biasanya diharapkan punya nilai estetis atau menjadi bagus. Penulis melihat munculnya karya sebaliknya jangan pertama-tama dikaitkan pengalaman estetis mau diabadikan atau disampaikan pada orang lain, perlu dikaitkan dengan usaha penyempurnaan karya hingga orang lain dapat menyukai dan menikmati karya tersebut.

Catatan Kritis

Maraknya kehadiran karya sastra berupa novel, cerpen, prosa dan puisi dari kalangan buruh perlu mendapat perhatian khusus karena adanya fakta tak terbantahkan karya-karya mereka telah ikut menyemarakkan sastra nusantara. Bagi penulis, polemik genre sastra buruh perlu dilihat sebagai tantangan baru dalam kerangka kemajuan proses kreatif, proses terus-menerus penyempurnaan karya-karya dari kalangan buruh. Penulis lantas teringat debat panjang di PDS HB Jassin Jakarta tahun 2006 yang lalu pada kesempatan bedah buku dari kalangan buruh migran. Pada dasarnya sebagian besar peserta menolak definisi-definisi sastra yang dikaitkan dengan profesi. Betapa runyamnya sastra kalau sudah ada tendensi pemisahan berdasarkan profesi atau golongan: ada sastra buruh, sastra becak, sastra pengusaha, sastra wartawan dll. Pada bedah buku atau diskusi, wacana genre sastra buruh muncul dari segelintir orang, mereka asal ngomong tidak mau serius mendalami dan meneliti dalam nilai-nilai estetis karya-karya buruh. Penulis memang menolak pengembleman sastra berdasarkan profesi dan atau golongan. Alasannya, sastra adalah sastra, karya sastra adalah karya sastra dan karya sastra tidak boleh dilacurkan pada determinasi-determinasi profesi.***

Bukittinggi di Peta Sastra

Adek Alwi*
http://www.suarakarya-online.com/

KOTA Bukittinggi, Sumatera Barat, boleh jadi sudah lenyap dalam peta sastra Indonesia. Atau bulatan-merahnya yang dulu tegas, nyata, sekarang samar saja. Tidak terdengar lagi aktivitas sastra di kota itu.

Juga tak terbaca karya sastrawan yang ada di kota itu, misalnya dalam jurnal dan majalah sastra atau ruang-ruang sastra surat kabar. Beda dengan kota tetangganya, dan yang lebih kecil, Payakumbuh. Payakumbuh satu-dua dasawarsa terakhir bersinar dengan kegiatan sastra serta karya sastrawan yang berdomisili di sana, seperti Gus tf, Adri Sandra, Iyut Fitra dan banyak yang lainnya.

Sebenarnya, pada dasawarsa 1950-an dan paling tidak sampai penggal pertama 1960-an, Bukittinggi justru kota penting dalam atlas sastra Indonesia. Keberadaannya tak hanya patut ditandai bulatan-merah, melainkan bulatan yang dikurung segi-empat. Persis keberadaan kota itu pada peta bumi Indonesia masa itu, yakni ibu kota Provinsi Sumatera Tengah (Sumatera Barat-Riau-Jambi); atau beberapa tahun sebelumnya, yaitu sebagai ibu kota PDRI (Pemerintah Darurat Republik Indonesia), ketika ibu kota RI, Yogyakarta, diduduki oleh Belanda.

Bukittinggi pada dasawarsa 1950-an dan 1960-an bercahaya dalam jagat sastra Indonesia tentu tak ada kaitannya (secara langsung) dengan statusnya sebagai ibu kota provinsi berdaerah luas, atau ibu kota pemerintah darurat republik. Tapi, lebih karena, (1) di kota itu tinggal sejumlah sastrawan yang menghidupkan kegiatan sastra, dan (2) adanya penerbit yang memiliki komitmen menakjubkan terhadap kehidupan sastra.

AA Navis dkk

Sastrawan yang menetap di Bukittinggi pada dekade 1950-an diantaranya ialah AA Navis, juga sastrawan yang lebih muda, seperti Rusli Marzuki Saria, Nasrul Sidik, Motinggo Busye (sebelum kuliah sekaligus pindah ke Yogya). Merekalah, antara lain, yang menghidupkan kegiatan sastra di kota itu, dengan berbagai diskusi, pembacaan serta ulasan puisi di RRI Bukittinggi, dan (sudah tentu) penulisan karya-karya sastra secara individual. Cerpen Robohnya Surau Kami Navis yang terkenal itu juga dia tulis di kota itu, bulan Maret 1955, dan dimuat dalam Majalah Kisah edisi No.5/Th III Mei 1955. Lalu meraih Hadiah Majalah Kisah, pada tahun yang sama.

Rusli Marzuki Saria kemudian kita kenal sebagai penyair yang tak putus-putus berkarya, sehingga melahirkan banyak sekali kumpulan puisi (diantaranya: Pada Hari Ini Pada Jantung Hari; Ada Ratap Ada Nyanyi; Sendiri-Sendiri, Sebaris-Sebaris dan Sajak-Sajak Bulan Februari; Sembilu Darah). Rusli juga pernah jadi anggota DPRD Tk II Kodya Padang, dan redaktur kebudayaan (kini pensiun) Harian Haluan, Padang. Selama di Haluan pula (puluan tahun) ia menyediakan ruang untuk tempat anak-anak muda berolah sastra, dan kemudian tumbuh sebagai pengarang ataupun penyair andal.

Nasrul Sidik tokoh pers di Padang, dan terakhir Pemimpin Redaksi Mingguan Canang. Sedangkan Motinggo Busye adalah seniman sangat produktif, menunjukkan reputasinya di berbagai cabang kesenian: sastra (cerpen, novel, sajak, naskah drama), penulisan skenario maupun sutradara film, dan juga seni rupa dengan melukis.

Penerbit Nusantara

Mungkin tak banyak yang tahu bahwa Rendra, selain penyair, pemain film dan dramawan, adalah juga pengarang cerpen. Kumpulan cerpennya, Ia Sudah Bertualang (yang memuat sembilan cerpen) diterbitkan oleh NV Nusantara, Bukittinggi, tahun 1963.

Penerbit (juga percetakan) Nusantara berkantor pusat di Bukittinggi (cabang di Jakarta), dan sejak pertengahan 1950-an hingga pertengahan ‘60-an aktif menerbitkan karya sastra. Dedikasi Nusantara dalam hal ini sungguh menakjubkan (apalagi dilihat dari kacamata masa kini yang amat berorientasi ekonomis), karena menerbitkan karya sastra merupakan proyek rugi. Namun, langkah Nusantara itu dapat dimaklumi bila tahu siapa di balik penerbit tersebut.

Penerbit NV Nusantara didirikan Anwar Sutan Saidi, kelahiran Sungai Puar, Bukittinggi, 1910. Ia seorang saudagar, aktivis pergerakan, pejuang. Dia juga tokoh utama pendiri Bank Nasional tahun 1930 di Bukittinggi, yang latar belakang kelahiran bank ini khas mencerminkan semangat zaman itu: memajukan perekonomian rakyat yang tertindas oleh penjajah.

Pertengahan 1950-an Anwar Sutan Saidi menjabat Presdir NV Nusantara, dan anaknya, Rustam Anwar, selaku direktur. Sang anak rupanya tidak kalah idealis dari ayah. Maka mengalirlah lewat Penerbit NV Nusantara karya para sastrawan Indonesia yang tumbuh dan berkembang pada dekade 1950-an hingga paruh pertama 1960-an.

Di samping kumpulan cerpen Rendra di atas misalnya, Nusantara menerbitkan kumpulan cerpen Robohnya Surau Kami dan Hujan Panas (AA Navis); Di Tengah Padang (A Bastari Asnin); Pertemuan Kembali (Ajip Rosidi); Malam Bimbang dan Supir Gila (Ali Audah); Datang Malam (Bokor Hutasuhut); Umi Kalsum (Djamil Suherman); Pesta Menghela Kayu dan Dara Di Balik Kaca (Dt B Nurdin Jacub); Dua Dunia (Nh Dini); Lukisan Dinding (M Alwan Tafsiri); Keberanian Manusia dan Matahari Dalam Kelam (Motinggo Busye); Sekelumit Nyanyian Sunda (Nasjah Djamin); Mabuk Sake (Purnawan Tjondronagoro); Di Luar Dugaan dan Istri Seorang Sahabat (Soewardi Idris); Perjuangan dan Hati Perempuan (Titie Said); Di Medan Perang (Trisnojuwono). Beberapa kumplan cerpen ini mengalami cetak ulang, paling tidak dua kali, oleh penerbit yang sama.

Selain itu juga diterbitkan NV Nusantara sejumlah novel asli Indonsia, antara lain Kemarau (AA Navis); Tidak Menyerah (Motinggo Busye); Hati Yang Damai (Nh Dini); Midah Si Manis Bergigi Emas (Pramoedya Ananta Toer); Mendarat Kembali (Purnawan Tjondronagoro); Di Balik Pagar Kawat Berduri (Trisnojuwono). Dan juga terjemahan karya-karya pengarang luar seperti karya “raksasa” sastra Rusia masa lalu, Maxim Gorki.

Dengan buku-buku terbitan Nusantara itu, tak pelak jagat sastra Indonesia pun semarak serta semakin kaya pada dasawarsa 1950-an dan 1960-an. Dan Bukittinggi, ditambah dengan aktivitas para sastrawan yang saat itu bermukim di sana, menerakan keberadaannya dalam peta sastra Tanah Air dengan bulatan merah yang tegas. Malah, bulatan yang dikurung tanda segi-empat, menyamai Yogya dan nyaris Jakarta!

Namun tanda itu belakangan pudar. Bukittinggi tinggal sejarah, persis posisi kota itu dalam sejarah Indonesia. Dan kita tidak tahu kenapa. Memang ironi, tetapi, bagaimana lagi? Sebab agaknya benar petuah orang bijak: mempertahankan lebih sulit ketimbang merebut. Apalagi, pada zaman yang menderas dengan semangat yang tak menyentuh (dan malah dapat membunuh) daya hidup sastra, seperti dewasa ini.***

*) Penulis, sastrawan dan wartawan

Kepenulisan Sastra dan Kewirausahaan

Uniawati*
http://www.kendaripos.co.id/

Pernahkah anda mendengar tentang kewirausahaan di bidang kepenulisan sastra? Barangkali dalam bidang ekonomi hal semacam ini tidak begitu asing didengar, tetapi dalam bidang kepenulisan sastra mungkin hanya segelintir orang yang memahaminya (kalau tidak bisa dikatakan tidak ada). Yang lazim orang pahami dalam bidang sastra adalah menulis sebuah karya yang bernilai sastra. Syukur kalau kemudian karya itu ada pihak yang berniat mempublikasikannya, sehingga karya itu dapat dikenal oleh masyarakat. Kalau tidak? Mungkin hanya akan jadi penambah koleksi karya pribadi yang tentu saja hanya diketahui olehnya sendiri.

Sesungguhnya, wilayah sastra memberi banyak peluang untuk dapat mengembangkan diri dan tentu saja dapat pula “memperkaya diri”. Lihat saja, sederetan nama pengarang seperti Ayu Utami, Djenar Mahesa Ayu, Dewi Lestari, dan beberapa nama lain penggelut sastra yang bisa menunjukkan eksistensinya di dunia kepengarangan. Jangan dilihat dari nama besar mereka saat ini, tetapi harus dipahami bagaimana proses yang mereka lalui untuk dapat sampai pada “kebesaran” nama mereka. Pramoedya Ananta Toer mengungkapkan bahwa segalanya bermula dari nol. Demikian pulalah kiranya keadaan yang dialami oleh mereka sebelum berada pada puncak ketenaran mereka sebagai seorang penulis. Mereka tentu saja memulai dari awal, dari keadaan di mana mereka belum lagi dikenal dan bukan siapa-siapa. Yang paling penting adalah niat dan tekad untuk berbuat.

Gambaran di atas paling tidak dapat menjadi suatu motivasi untuk berpikir bahwa kesuksesan itu diciptakan oleh kita sendiri. Bukan orang lain. Nah, kenapa kita kemudian tidak berpikir dan mencoba untuk percaya bahwa dunia sastra juga dapat menciptakan kemujaraban sehingga kita tidak memandang sastra itu sebagai momok menakutkan yang harus dihindari. Yang paling memprihatinkan adalah pendapat yang mengatakan bahwa menjadi seorang sastrawan itu sama saja dengan memasuki dunia orang gila. Bukankah dunia ini indah karena adanya sastra? Dari sini kita harus bernalar bahwa keindahan itu dinantikan oleh setiap orang. Untuk itu, kita harus bisa memanfaatkan keadaan ini untuk menyuguhkan keindahan pada setiap orang. Jangan berpikir bahwa tindakan ini ibarat seorang pelayan yang melayani majikannya. Sama sekali tidak. Yang harus dipikirkan adalah bagaimana kita berbuat untuk memperoleh “hasil usaha” di samping bisa mempertahankan ideologi. Inilah sesungguhnya kelebihan seorang sastrawan yang tentu saja tidak dimiliki oleh pihak lain. Oleh karena itu, harus ditanamkan pemikiran bahwa kewirausahaan di bidang sastra merupakan suatu prospek yang menjanjikan selama kita giat menjalaninya.

Selama ini, ada semacam anggapan bahwa kewirausahaan lebih cocok dikemukakan oleh orang-orang yang berkecimpung dalam bidang ekonomi saja. Pandangan ini cukup beralasan kiranya. Sewaktu masih duduk di bangku kuliah, beberapa teman yang sama-sama memilih pendidikan di bidang sastra, rata-rata berkeinginan untuk menjadi guru begitu selesai menamatkan pendidikan. Sama sekali tidak ada yang berpikir untuk memilih jalur kewirausahaan. Kemungkinan mereka tidak memiliki keyakinan yang cukup akan kemampuan mereka untuk menekuni dunia kewirausahaan karena merasa jalur pendidikan yang ditempuh tidak sejalan dengan dunia wirausaha. Ketidakyakinan tersebut kiranya cukup untuk menggambarkan minimnya pengetahuan masyarakat tentang kewirausahaan yang bisa dilakukan dalam bidang sastra. Dalam hal ini tidaklah terlalu disalahkan jika kemudian hanya segelintir orang yang ingin mengabdikan hidupnya untuk dunia sastra.

Patut dicatat bahwa dalam bidang ekonomi, kewirausahaan pada dasarnya bertujuan untuk memperoleh laba atau hasil yang diharapkan. Demikian pula jika istilah ini dibawa ke dalam bidang sastra. Artinya, ada produktivitas yang dilakukan untuk memperoleh hasil yang diinginkan yang bernilai ekonomi dan bisa dijual. Di sinilah sesungguhnya letak tujuan dari sebuah produksi. Setiap orang tentu saja selalu punya keinginan untuk berkarya dan karyanya mendapat pengakuan dan penghargaan dari masyarakat. Termasuk di bidang sastra tentu saja. Adalah suatu kemunafikan jika ada seorang sastrawan berkarya hanya semata-mata demi menuangkan ideologinya semata tanpa mengharapkan suatu “penghargaan” dari pihak lain. Jika ada yang berprinsip seperti itu, maka patut kiranya kita menghela nafas atau mengurut dada. Sepertinya jangan terburu-buru untuk memegang prinsip demikian, sebab tidak ada suatu karya besar yang dapat dibaca oleh masyarakat jika tidak melalui proses yang panjang termasuk menerima suatu “penghargaan”. Kalau setiap hati mau jujur, pasti semua mengharapkan mendapat “sesuatu” dari karya yang diciptakannya hanya saja belum adanya jalan untuk meraihnya.

Menulis sebuah karya sastra yang baik dan bermutu adalah salah satu upaya untuk memudahkan menembus jaringan pemasaran buku-buku sastra. Jika telah berhasil masuk ke dalam kancah pasar, maka tentu saja matahari akan bersinar untuk anda. Jadi, dunia kepenulisan sastra janganlah sekali-kali dianggap sebagai lahan yang tidak menjanjikan apa-apa. Justru, di dalam lahan inilah setiap orang yang berusaha dan bergelut di dalamnya akan mengalami panen sepanjang masa. Bukan hanya sekadar sebagai penyalur hasrat ideologi semata, akan tetapi penghargaan, pengakuan, dan kekuasaan akan dapat terengkuh. Kita bisa menjadi gemilang tanpa ke luar dari dunia sastra. Asal saja usaha untuk menulis, menulis, dan menulis terus dan giat dilakukan tentu saja akan membuahkan hasil. Semuanya harus dimulai dari diri sendiri. Bagaimana upaya yang dipilih untuk dapat menulis secara kreatif sehingga pembaca akan terkesan dan bersedia untuk “membeli” karya kita. Tidak sia-sia bukan?

*) Staf Kantor Bahasa Provinsi Sulawesi Tenggara

Problem Utama Dunia Sastra Kita

Edy Firmansyah
http://www.suarakarya-online.com/

Problem utama yang paling serius dalam kesusastraan kita ialah menumbuh kembangkan minat sastra pada generasi muda. Bahkan kalau perlu mencuci otak anak-anak muda menjadi setengah sastrawan. Sebab lingkungan mereka (keluarga, sekolah dan mungkin negara) sepertinya punya sikap sinis terhadap sastra dan sastrawan.

Dalam keluarga misalnya. Kebanyakan orang tua akan mengutuk diri sepanjang hidupnya kalau akhirnya kecolongan punya anak atau menantu seorang sastrawan. Sebab dimata mereka sastra adalah “bidang pekerjaan” paling gila yang pernah ada. Dan mereka yang nyemplung di dalamnya adalah “orang gila”.

Nada lembaga persekolahan terhadap sastra dan sastrawan juga tidak jauh beda. Bahkan lebih brutal. Prilaku kurikulum pendidikan kita malah terkesan ingin menghapuskan etika atau akal budi yang bersumber dari karya sastra. Hal ini dibuktikan sampai saat ini pelajaran kesusasteraan masih sebagai bagian dari mata pelajaran lain, seperti bagian Bahasa lndonesia dan porsinya pun hanya 10 persen. Kalau diperguruan tinggi ia hanya bagian dari mata kuliah budaya dasar, porsi materi sastra 0,1 persen.

Seakan-akan sastra hanyalah pelajaran sampingan yang jika dalam keadaan mendesak layak untuk ditiadakan. Bebeda dengan matematika, fisika, kimia dan akuntansi. Ironisnya lagi generasi muda seakan percaya bahwa sastra memang tak bisa memberikan apa-apa. Apalagi memberikan titik terang pada masa depannya.

Sebenarnya banyak problem lain dalam kesusastraan, tapi ringan. Seperti sempitnya jalan menuju singgana sastra karena system akomodasi yang terlunta-lunta, terutama bagi pemula. Tersumbatnya saluran regenerasi akibat pengapuran yang sengaja dibuat generasi tua dan media massa.

Ada juga problem tentang munculnya saluran baru kesusastraan yang sengaja dibuat generasi muda seperti gua bawah tanah dalam perang gerilya karena mampatnya saluran lama, yakni sastra cyber. Yang mana setelah diproklamirkan kemunculannya menjadi perdebatan. Bahkan dituding-tuding sebagai sastra “sampah”.

Tapi ini pun masih bukan problem serius. Yang menjadi problem utama kita bagaimana menumbuhkan minat sastra pada generasi muda. Sebab sastrawan generasi tua mulai bengok-bengok bahwa kita kekurangan sastrawan. Dari 1 juta penduduk hanya lahir satu sastrawan. Sedangkan idealnya dari 1 juta penduduk perlu 10.000 sastrawan baru.

Ini artinya kita kekurangan juru damai. Dan dampaknya akan sangat menyeramkan; jiwa manusia muda Indonesia akan mudah tersulut dan tenggelam dalam lautan bencana moral yang secara tiba-tiba membesar dan meluluh lantakkan etika negeri ini. Tawuran, pemerkosaan, free sex, pembunuhan dan narkoba yang kerap dilakukan generasi muda setidaknya bisa menjadi bukti kongkret.

Ya. Sebab sastra tidak menjadi panji utama penjaga etika di negeri ini. Padahal sastra berfungsi sebagai agen pendidikan membentuk pribadi keinsanan seseorang dan memupuk kehalusan adab dan budi kepada individu serta masyarakat agar menjadi masyarakat yang berperadaban. Fase-fase pemikiran ini jelas memberi pengetahuan bahwa sastra berkaitan dengan pemikiran, pendidikan, dan akal budi manusia.

Tegasnya Friedrich Schiller mengatakan sastra semacam permainan menyeimbangkan segenap kemamuan mental manusia berhubung dengan adanya kelebihan energi yang harus disalurkan. Dengan kesusastraan, seorang diasah kreativitas, perasaan, kepekaan dan sensitivitas kemanusiaannya, sehingga terhindar dari tindakan-tindakan yang destruktif, sempit kerdil dan picik (Darmaningtyas, 2004;81). Bahkan kalau kita mau melakukan refleksi lebih mendalam bahwa para sastrawan yang kaya secara material murni merupakan hasil jerih payahnya menciptakan karya yang berkualitas. Seorang Joni Andriadinata yang dulunya pernah menjadi tukang becak di Jakarta, kini telah punya rumah sendiri, mobil sendiri karena keseriusannya menekuni dunia sastra. Beda dengan Insinyur sipil yang kaya, kebanyakan karena terlalu besar mengkorup biaya konstruksi. Akibatnya bagunan menjadi buruk. Juga para dokter yang kaya pada umumnya karena ekslotatif terhadap pasien. Tapi mengapa cita-cita anak selalu ingin menjadi dokter atau insinyur. Tidak menjadi sastrawan?

Menurut hemat penulis, mungkin karena lambang kesenimanan di Indonesia adalah “binatang jalang” sehingga citra buruk pun terbentuk pada kaum sastrawan atau seniman; kumal, awut-awutan, berambut gondrong, mungkin malah tatoan seperti gali. Nah, penampilan luar inilah yang sering menjadi cercaan public tentang sastrawan.

Karena itu, jika kita menginginkan generasi muda punya minat terhadap sastra atau malah tertarik menjadi sastrawan, mengapa tidak mulai dari sastrawan atau seniman itu sendiri melakukan perubahan. Yakni dengan merubah penampilan luar para sastrawan ketika muncul dihadapan public. Dengan menyesuaikan cara berprilaku orang kebanyakan. Tujuannya untuk membangun citra positif bahwa tak semua sastrawan memilih jalan Chairil Anwar. ***

Novel Perjuangan Kemerdekaan

Sunaryono Basuki Ks
http://www.sinarharapan.co.id/

Perang Kemerdekaan 1945-1949 banyak diungkap oleh para sastrawan yang sering digolongkan sebagai Angkatan 45. Mereka mengungkapkan gejolak perjuangan itu sebab mereka memang terlibat dalam peristiwa tersebut. Mochtar Lubis menulis novel Jalan Tak Ada Ujung yang berkisah tentang sepak terjang pejuang di sekitar Jakarta. Pramoedya Ananta Toer juga menulis Perburuan, Mereka yang Dilumpuhkan,dll.

Yang menarik perhatian kita justru sejumlah novel yang menggambarkan kiprah para pejuang yang ditulis oleh seorang yang sebelumnya tak dikenal sebagai sastrawan, apalagi sebagai novelis. Namun, ternyata karya-karyanya mencengangkan, bukan lantaran deskripsinya yang jelas tetapi karena pengarang ini menulis sejumlah novel yang satu dengan yang lain saling kait-berkait.

Dia adalah Pandir Kelana, seorang pelaku Perang Kemerdekaan yang meniti karier militernya sampai berpangkat Mayor Jenderal. Nama aslinya RM Slamet Danusudirdjo adalah bekas pejuang yang kemudian menerima pendidikan militer di Eropa |Barat, Negeri Belanda dan Belgia, serta di Eropa Timur di Uni Sovyet. Jabatan non militer yang pernah diembannya adalah deputy Ketua BAPPENAS, Dirjen Bea dan Cukai, anggota DPA RI, dan rektor IKJ. Bayangkan saja, IKJ yang lembaga pendidikan kesenian, dipimpin oleh seorang jenderal tapi yang seniman.

Lantaran Pandir Kelana, nama yang dipilih RM Slamet Danusudirdjo untuk merendahkan dirinya, tak dikenal sebagai sastrawan, maka ketika novel-novelnya terbit silih berganti pada tahun 1991 dan 1992, publik pembaca dibuat terperangah. Ibu Sinder (1991), Kereta ApiTerakhir (1991), Bara Bola Api (1992), Rintihan Burung Kedasih (1992), Merah Putih Golek Kencana (1992), lalu Kadarwati Wanita dengan Lima Nama.

Novel-novel tersebut berketebalan antara 210 sampai 400 halaman, yang menunjukkan pengarangnya tidak main-main.. Novel-novel jenis lain, yakni novel sejarah, juga sudah terbit, antara lain Tusuk Sanggul Pudak Wangi (berlatar tahun 1291-1630) dan Subang Zamrud Nurhayati (berlatar tahun 1620-1630).

Waktu novel-novel tersebut terbit, Pandir Kelana berusia 66 tahun dan masih merencanakan untuk menulis beberapa novel lagi yakni Huru Hara di kaki Gunung Slamet, Quo Vadis, Di Sepanjang Garis Demarkasi, dan Madiun,Madiun!

Ciri Khas

Tema Perang Kemerdekaan menjadi salah satu ciri khas novelis gaek Pandir Kelana ini. Ciri yang kedua adalah, novel-novelnya saling terkait satu sama lain.

Dalam sejumlah novelnya, untuk menambah kejelasan wilayah kisahnya, Pandir Kelana menyertakan pula peta, seperti Peta Karesidenan Pati dan sekitarnya lengkap dengan gambaran mengenai Garis Demarkasi, Serangan Belanda, Kantong Gerilya, Jalur Komunikasi Gerilya, Serangan Balas TNI ke Semarang, dan Kedudukan Belanda. Peta ini disertakan dalam novel Rintihan Burung Kedasih. Pembaca mendapat gambaran yang lebih jelas mengenai gerakan para pelaku dalam novel itu bilamana novelis menyebut nama suatu tempat.

Novel Merah Putih Golek Kencana bahkan menyertakan dua buah peta, yakni, peta Pelayaran Andi Ra’uf di sekitar Riau dan Peta Wilayah Semarang.

Ciri kedua justru yang sangat jarang dilakukan oleh pengarang lain, yakni, tokoh dalam sebuah novel muncul dalam novel yang lain. Tokoh Suro Buldog muncul dalam novel Ibu Sinder, serta novel Bola Bara Api.

Tokoh Bargowo dalam Bara Bola Api muncul pula dalam Kadarwati:Wanita dengan Lima Nama dan Rintihan Burung Kedasih. Tokoh Herman dalam Kereta ApiTerakhir muncul juga dalam novel Ibu Sinder, Kadarwati, dan Rintihan Burung Kedasih.

Sejumlah novel karya Pandir Kelana sudah difilmkan atau ditelesinemakan, antara lain Suro Buldog (telesinema), Kadarwati (film).

Tema Perang Kemerdekaan sudah jarang ditulis, apalagi oleh pengarang yang lebih muda. Dari sedikit nama, tentu kita dapat menyebut Suparto Brata (lahir 27 Februari 1932), novelis yang banyak menulis kisah perjuangan dalam Bahasa Jawa, tetapi kemudian juga dalam bahasa Indonesia. Dia terkenal dengan novel perangnya antara lain Lara-lapane Kaum Republik, Kadurakan ing Kidul Dringu, juga sejumlah novelnya yang disiarkan dalam Bahasa Indonesia. Tahun 2005 ini novelnya Mencari Sarang Angin (726 halaman) diterbitkan oleh Grasindo. Ceritanya bergerak sejak masa sebelum Perang Kemerdekaan, masuk ke Masa Pendudukan jepang sampai ke Masa Perang Kemerdekaan. Rata-rata novel karya Suparto Brata, baik yang berupa novel berbahasa Jawa maupun bahasa Indonesia mempunyai ketebalan luar biasa. Novel berbahasa Jawa Dongane Wong Culika ( Doa Orang Culas) setebal 535 hal ( 35 baris per halaman) diterbitkan oleh Penerbit Narasi, Yogyakarta tahun 2004.
Sunaryono Basuki Ks (lahir th 1941) menulis Bumi Hangus dan Budiman Benggol (cerber Republika 1995-1996).

Tahun ini pula Budiman Benggol diterbitkan oleh Mizan dengan judul baru Maling Republik. Pengarang lain tentu saja YB Mangunwijaya dengan Burung-burung Manyar.

Seorang sastrawan eksil yang juga pelukis, Kuslan Budiman (lahir tahun 1933, mantan guru Sekolah rakyat di Pacitan) melontarkan novelnya Bendera Itu Masih Berkibar ( Penerbit Suara Bebas, Mei 2005). Novel setebal 308 halaman ini terbagi dalam tiga bagian: Benderra Itu Masih Berkibar, Malam berbintang, dan Pekarangan Rumah Wedana. Seluruh novel berkisah tentang Perang Kemerdekaan dengan suka dan dukanya.

Dalam merenungkan makna Hari Kemerdekaan serta mengenang jasa para pahlawan kita, sebaiknya kita membuka-buka novel-novel dengan latar Perang Kemerdekaan dan menaruh simpati dan terimakasih pada mereka yang telah memberikan segalanya untuk kemerdekaan yang sangat berharga ini.**

*) Penulis adalah novelis, dan Guru Besar Bahasa dan Seni, IKIP Negeri Singaraja.

Heroisme yang Menipis

Wishnubroto Widarso
http://www.bernas.co.id/

GAUNG perayaan ulang tahun ke-63 Kemerdekaan kita masih terasa. Baru beberapa hari berlalu. Seperti biasa, ada sederet lomba meriah, baik bagi anak?anak, remaja maupun orang tua; baik yang melibatkan otot (semacam lomba lari suami menggendong istri) maupun yang sedikit memerlukan cita rasa seni (semacam lomba nyanyi karaoke); baik yang berhadiah “hanya” seperangkat alat tulis maupun pesawat TV. Pendeknya, dari segi seru dan hebohnya, perayaan 17?an makin hari makin meningkat.

Tapi perayaan kemerdekaan mestinya bukan hanya soal “seru”, “heboh”, dan semacamnya. Mestinya perayaan kemerdekaan adalah terutama soal memahami sejarah nasional secara utuh (tidak hanya satu faset saja), menghargai perjuangan para founding fathers and mothers, tidak saja yang mempunyai nama besar dan bersinar tapi juga yang tak dikenal atau terpinggirkan, dan soal meneladani perjuangan para perintis negeri ini. Sayangnya dalam soal?soal ini kita lemah.

Mana heroisme itu?

Mendekati ulang tahun Kemerdekaan 17 Agustus setiap tahun sering ditulis dalam media cetak dan ditayangkan di layar kaca perjuangan “orang?orang besar” semacam Soekarno?Hatta?Syahrir. Sepak terjang “raksasa?raksasa” itu diulas lagi, tempat?tempat di mana mereka pernah diasingkan ditampilkan lagi, sering dengan bumbu keprihatinan karena pemerintah sekarang kurang care, kurang nguri?uri tempat?tempat bersejarah itu. Juga buku?buku tentang mereka atau yang mereka tulis sendiri dicetak atau dibahas ulang. Itu semua baik. Tapi bagaimana dengan “orang?orang kecil” yang juga ikut berjuang, yang juga ikut “sakit dalam melahirkan” republik ini? Mereka seolah tidak ada atau perannya dianggap tidak penting.

“Orang?orang kecil” yang dimaksud adalah, pinjam istilahnya Romo Mangun, “simbok?simbok dan pak?abang desa.” Dari tulisan beliau yang berjudul Sejarah dan Sejarah yang dipublikasikan hampir 30 tahun lalu itu kita tahu bahwa peran para petani kecil dan miskin di desa?desa tak kalah pentingnya dengan peran para pejuang yang memanggul senjata. Para pejuang yang berkelana di desa?desa atau hutan?hutan karena dikejar?kejar tentara Belanda biasanya dihidupi oleh para petani kecil dan miskin itu, sering tidak hanya satu?dua hari saja tapi sampai berminggu?minggu!

Jika ada sandiwara yang dipentaskan dalam acara perayaan kemerdekaan, baik di panggung?panggung kampung maupun di televisi, biasanya yang ditampilkan adalah tentara Belanda yang bicara Bahasa Melayu dengan kacau yang berperang melawan pejuang Indonesia yang bersenjata dan pakaiannya berlumur darah. Begitu dari tahun ke tahun. Sungguh klise. Kepahlawanan “orang biasa” semacam simbok dan pak tani miskin atau orang?orang kampung biasa yang sering jadi sasaran amuk para tentara Belanda karena gagal menangkap para pejuang bersenjata yang sudah terlanjur kabur, jarang atau hampir tak pernah ditampilkan, apalagi didudukkan dalam posisi yang semestinya.

Jika Anda tak percaya dengan apa yang dikatakan oleh Romo Mangun akan peran penting para simbok dan pak tani (atau: “orang biasa”), silakan baca karya?karya sastra yang bercerita tentang perjuangan di tahun 1945 (dan beberapa tahun sesudahnya). Cerita?cerita yang dapat menyadarkan kita akan betapa sakitnya, betapa menderitanya kakek?nenek kita dalam “melahirkan” republik kita tercinta ini, antara lain dapat dibaca dalam kumpulan cerita pendek berjudul Hujan Kepagian dan Tiga Kota karya Noegroho Notosoesanto, Laki?Laki dan Mesiu karya Trisno-yuwono, atau Daerah Tidak Bertuan karya Toha Mohtar.

Sayang, karya?karya seperti ini makin lama makin asing, bahkan dalam dunia pendidikan sekalipun. Apalagi di dunia umum. Karya?karya semacam itu sekarang sudah menduduki rak?rak berdebu dalam gedung perpustakaan dan pojok?pojok remang dalam ingatan orang?orang sekolahan. Sungguh memprihatinkan!

Peran internet

Dewasa ini komputer dengan akses ke internet sedang menjadi primadona. Tidak saja para pelaku bisnis yang getol memanfaatkannya, tapi juga para guru?dosen dan siswa?mahasiswa. Alangkah baiknya kalau “demam internet” ini juga dimanfaatkan untuk membeberkan perjuangan dan peran “orang kecil” dalam meraih kemerdekaan kita. Saya tidak tahu persis apakah ada situs di internet tentang para “pahlawan yang dilupakan” ini. Kalau sudah ada, bagus. Tinggal dipromosikan agar lebih banyak orang mengaksesnya.

Kalau belum, sudah saatnya dibuat situs semacam ini yang akan memuat feature para veteran yang tidak dikenal dan hidupnya memprihatinkan dan peta desa?desa di mana dulu para gerilyawan dari kota atau pejuang bersenjata kita mondok di rumah?rumah simbok dan pak tani selama berminggu?minggu, menikmati kudapan dan penginapan nan gratis. Sudah saatnya karya?karya sastra heroik yang menceritakan perjuangan merebut dan mempertahankan kemerdekaan di sekitar tahun 1945 ditampilkan lagi di situs?situs yang dibuat oleh Departemen Pendidikan Nasional atau oleh orang?orang yang mampu menggunakan teknologi internet sekaligus peduli pada peran penting “orang?orang kecil” dari desa dan kampung itu.

Menipis dan luntur

Jika kita tidak segera melengkapi faset sejarah kita dengan menampilkan peran orang?orang kecil atau biasa yang sekarang (hampir) terlupakan, generasi mendatang tidak akan tahu bahwa kemerdekaan yang kita capai 63 tahun lalu itu betapa mahal harganya. Bahwa berlaksa nyawa dan berbelanga darah para pejuang, baik yang bersenjata maupun yang tak bersenjata, tercecer?cecer sepanjang jalan menuju ke kemerdekaan, tak akan diketahui oleh generasi yang akan datang.

Mereka akan mengira kemerdekaan itu jatuh dari langit atau hadiah?atas?dasar?belas-kasihan penjajah kepada bangsa kita. Heroisme mereka akan menipis dan akhirnya luntur sama sekali. Mereka lalu tak mau peduli apakah bangsa ini akan lestari atau lampus. Mereka tak akan peduli apakah bangsa ini berprestasi atau miskin kreasi di era mendatang dan tersisih oleh bangsa lain yang bahkan serumpun. Heroisme kita semua harus ditumbuhkan lagi. ***

*) Penulis nonfiksi dan dosen ABA St. Pignatelli, Solo

Kekejaman Orde Baru di Mata Mochtar Lubis

Judul: Nirbaya, catatan Harian Mochtar Lubis dalam Penjara Orde Baru
Penulis: Mochtar Lubis
Penerbit: LSPP dan Obor
Tebal: xi +142 halaman
Tahun: April, 2008
Peresensi: A.J. Susmana*
http://www.lampungpost.com/

Dalam situasi yang sepi dan seakan tak ada yang dapat dikerjakan lagi, sering menulis catatan harian yang sering dianggap sepele justru suatu saat akan menjadi catatan yang penting dan berguna.

Sudah banyak contoh, terlebih catatan-catatan dari penjara. Misalnya catatan harian Anne Frank di saat sembunyi dari kejaran Nazi dan catatan harian Antonio Gramsci di dalam penjara fascis Mussolini. Di Indonesia pun kita kenal “catatan harian” Ahmad Wahib dan “catatan harian” Soe Hok Gie.

Kini setelah hampir 30 tahun beredar di luar negeri dan dalam Bahasa Belanda: Kampdagboek, rakyat Indonesia pun dapat membaca catatan harian Mochtar Lubis di dalam Penjara Orde Baru yang kini juga memasuki dunia perbukuan di Indonesia. Kali ini Mochtar Lubis menulis catatan hariannya dalam dua bahasa yang berselang-seling yaitu Indonesia dan Inggris.

Dengan hadirnya buku ini: NIRBAYA, Catatan Harian Mochtar Lubis dalam Penjara Orde Baru, rezim Orde Baru dibawah pimpinan Jenderal Soeharto semakin tak bisa mengelak dari berbagai tuduhan atas pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) di Indonesia. Mochtar Lubis dengan teliti dan cermat mencatat berbagai perlakuan keji aparatur Orde Baru selama menjadi tahanan Orde Baru di Nirbaya yang tak lebih dari dua bulan.

Mochtar Lubis sendiri bukan orang yang asing dengan penjara. Di bawah pemerintahan Soekarno, ia pun masuk penjara.

Tak tanggung-tanggung, sembilan tahun. Dan baru bebas pada tahun 1966, setelah Soekarno tak lagi berkuasa. Catatan harian Moctar Lubis selama dalam penjara pemerintahan Soekarno pun sudah dibukukan dengan judul Catatan Subversif, yang pertama kali diterbitkan tahun 1980 oleh Pustaka Sinar Harapan.

Dengan menjadi tahanan Orde Baru, mau tidak mau Mochtar Lubis pun bertemu dengan para tahanan Orde Baru lainnya yang berseberangan dengan Mochtar Lubis, terutama dalam hal pandangan ideologi dan politik. Seperti diketahui umum, Mochtar Lubis dikenal anti-Soekarno dan antikomunisme. Karenanya, catatan harian Mochtar Lubis ini layak dibaca oleh generasi kini untuk mengetahui pergulatan batin Mochtar Lubis sebagai seorang demokrat. Selama menjadi tahanan Orde Baru satu kamp dengan tahanan-tahanan Gestapu/PKI, seperti Omar Dani, Subandrio, Pranoto Reksosamudra dan lain-lain.

Dalam Kamp Nirbaya ini, ada juga Hariman Siregar yang dipenjarakan karena kasus Malari. Mochtar Lubis pun dimasukkan ke kamp tahanan Nirbaya atas tuduhan terlibat kasus Malari 1974. Dengan demikian, Kamp Nirbaya pun menjadi pertemuan lintas generasi dan lintas aliran politik dan ideologi. Karena itu, catatan harian Mochtar Lubis di dalam penjara Orde Baru menjadi semakin penting untuk dibaca. Ia memberikan data-data baru bagaimana sebenarnya situasi politik di bawah Orde Baru.

Nirbaya kini sudah tak ada. Lokasi Nirbaya ini dulunya terletak di samping Taman Mini Indonesia Indah. Karena itu, buku ini di samping menjadi salah satu saksi kekejaman Orde Baru, juga salah satu “onumen” kekejaman Orde Baru. Mochtar Lubis pun mengakui betapa Orde Baru berlaku semena-mena terhadap tahanan melebihi rejim Soekarno, terutama terhadap tahanan Gestapu/PKI seperti penahanan tanpa pengadilan, penyiksaan dalam berbagai bentuk dan pemberian jatah makanan yang sedikit dan tak bergizi.

Buku ini pun semakin meyakinkan: betapa jalan demokrasi yang menurunkan Orde Baru adalah benar. Dan betapa tak bermoralnya bila ada kehendak-kehendak atau keinginan untuk mengembalikan kembali “kejayaan” rezim Orde Baru.

*)Alumnus Fakultas Filsafat Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.

A Musthafa A Rodhi Murtadho A Wahyu Kristianto A. Mustofa Bisri A. Qorib Hidayatullah A. Zakky Zulhazmi A.J. Susmana A.S. Laksana Aang Fatihul Islam Abdul Azis Sukarno Abdul Aziz Rasjid Abdul Hadi W. M. Abdul Kadir Ibrahim Abdul Malik Abdul Wachid BS Abdullah al-Mustofa Abdullah Khusairi Abdurrahman Wahid Abidah El Khalieqy Abimanyu Abimardha Kurniawan Abroorza A. Yusra Acep Iwan Saidi Acep Zamzam Noor Achmad Maulani Adek Alwi Adhi Pandoyo Adrian Ramdani Ady Amar Afrizal Malna Agnes Rita Sulistyawati Aguk Irawan Mn Agus R. Sarjono Agus Riadi Agus Subiyakto Agus Sulton Aguslia Hidayah Ahda Imran Ahm Soleh Ahmad Farid Tuasikal Ahmad Farid Yahya Ahmad Fatoni Ahmad Kekal Hamdani Ahmad Luthfi Ahmad Muchlish Amrin Ahmad Nurhasim Ahmad Sahidah Ahmad Syauqi Sumbawi Ahmad Yulden Erwin Ahmad Zaini Ahmadie Thaha Ahmadun Yosi Herfanda Ainur Rasyid AJ Susmana Ajip Rosidi Akhiriyati Sundari Akhmad Muhaimin Azzet Akhmad Sekhu Alan Woods Alex R. Nainggolan Alexander Aur Alexander G.B. Alfian Dippahatang Ali Audah Ali Rif’an Aliela Alimuddin Alit S. Rini Alunk Estohank Ami Herman Amich Alhumami Amien Wangsitalaja Aming Aminoedhin Aminudin TH Siregar Ammilya Rostika Sari An. Ismanto Anaz Andaru Ratnasari Andhi Setyo Wibowo Andhika Prayoga Andong Buku #3 Andrenaline Katarsis Andri Cahyadi Angela Anies Baswedan Anindita S Thayf Anjrah Lelono Broto Anton Kurnia Anton Sudibyo Anton Wahyudi Anwar Holid Anwar Siswadi Aprinus Salam Arie MP Tamba Arif Hidayat Arif Zulkifli Arti Bumi Intaran Asarpin Asep Sambodja Asvi Warman Adam Awalludin GD Mualif Ayu Utami Azyumardi Azra Babe Derwan Bagja Hidayat Balada Bandung Mawardi Bayu Agustari Adha Beni Setia Benni Setiawan Benny Benke Bentara Budaya Yogyakarta Berita Bernadette Lilia Nova Bernando J. Sujibto Berthold Damshäuser Bhakti Hariani Binhad Nurrohmat Bokor Hutasuhut Bonari Nabonenar Brunel University London Budaya Budhi Setyawan Budi Darma Budi Hutasuhut Budi P. Hatees Budi Winarto Buku Kritik Sastra Buldanul Khuri Bustan Basir Maras Camelia Mafaza Capres dan Cawapres 2019 Catatan Cecep Syamsul Hari Cerpen Chairil Anwar Chamim Kohari Choirul Rikzqa D. Dudu A.R D. Dudu AR D. Zawawi Imron Dahono Fitrianto Dahta Gautama Damanhuri Damar Juniarto Damhuri Muhammad Damiri Mahmud Dantje S Moeis Darju Prasetya Darma Putra Darman Moenir Darmanto Jatman Dedy Tri Riyadi Delvi Yandra Denny JA Denny Mizhar Dewi Anggraeni Dian Basuki Dian Hartati Dian Sukarno Dian Yanuardy Diana AV Sasa Dinar Rahayu Djenar Maesa Ayu Djoko Pitono Djoko Saryono Doddi Ahmad Fauji Dody Kristianto Donny Anggoro Donny Syofyan Dorothea Rosa Herliany Dwi Cipta Dwi Fitria Dwi Pranoto Dwi S. Wibowo Dwicipta Edeng Syamsul Ma’arif Edi Warsidi Edy Firmansyah EH Kartanegara Eka Alam Sari Eka Budianta Eka Kurniawan Eko Darmoko Ellyn Novellin Elnisya Mahendra Emha Ainun Nadjib Emil Amir Engkos Kosnadi Esai Esha Tegar Putra Evan Ys F. Budi Hardiman Fadly Rahman Fahmi Fahrudin Nasrulloh Faisal Kamandobat Fani Ayudea Fariz al-Nizar Faruk HT Fatah Anshori Fatah Yasin Noor Fatkhul Anas Fatkhul Aziz Felix K. Nesi Film Fitri Yani Franditya Utomo Fuska Sani Evani Gabriel Garcia Marquez Gandra Gupta Garna Raditya Gde Artawan Geger Riyanto Gendhotwukir George Soedarsono Esthu Gerakan Surah Buku (GSB) Goenawan Mohamad Grathia Pitaloka Gunawan Budi Susanto Gunawan Tri Atmojo H. Supriono Muslich H.B. Jassin Hadi Napster Halim H.D. Hamberan Syahbana Hamidah Abdurrachman Han Gagas Hardi Hamzah Haris del Hakim Haris Priyatna Hasan Aspahani Hasan Gauk Hasan Junus Hasnan Bachtiar Helvy Tiana Rosa Helwatin Najwa Hendra Junaedi Hendra Makmur Hendriyo Widi Ismanto Hepi Andi Bastoni Heri Latief Heri Listianto Herry Firyansyah Heru Untung Leksono Hikmat Darmawan Hilal Ahmad Hilyatul Auliya Holy Adib Hudan Hidayat Hudan Nur Husnun N Djuraid I Nyoman Suaka Ibnu Rizal Ibnu Rusydi Ibnu Wahyudi IGK Tribana Ignas Kleden Ignatius Haryanto Iksan Basoeky Ilenk Rembulan Ilham khoiri Imam Jazuli Imam Nawawi Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Iman Budi Santosa Imelda Imron Arlado Imron Tohari Indiar Manggara Indira Margareta Indra Darmawan Indra Tjahyadi Indra Tranggono Indrian Koto Ingki Rinaldi Insaf Albert Tarigan Intan Hs Isbedy Stiawan ZS Ismail Amin Ismi Wahid Ivan Haris Iwan Gunadi Jacob Sumardjo Jafar Fakhrurozi Jajang R Kawentar Janual Aidi Javed Paul Syatha Jean-Marie Gustave Le Clezio JJ. Kusni Joko Pinurbo Joko Sandur Joko Widodo Joni Ariadinata Jual Buku Paket Hemat Julika Hasanah Julizar Kasiri Jumari HS Junaidi Jusuf AN Kadir Ruslan Kartika Candra Kasnadi Katrin Bandel Kenedi Nurhan Ketut Yuliarsa KH. Ma'ruf Amin Khaerudin Khalil Zuhdy Lawna Kholilul Rohman Ahmad Komunitas Deo Gratias Komunitas Teater Sekolah Kabupaten Gresik (KOTA SEGER) Korrie Layun Rampan Krisandi Dewi Kritik Sastra Kucing Oren Kuswinarto Langgeng Widodo Lathifa Akmaliyah Latief S. Nugraha Leila S. Chudori Lenah Susianty Leon Agusta Lina Kelana Linda Sarmili Liston P. Siregar Liza Wahyuninto M Shoim Anwar M. Arman A.Z. M. Fadjroel Rachman M. Faizi M. Harya Ramdhoni M. Kasim M. Latief M. Wildan Habibi M. Yoesoef M.D. Atmaja Mahdi Idris Mahmud Jauhari Ali Mahwi Air Tawar Malkan Junaidi Maman S. Mahayana Mardi Luhung Marhalim Zaini Maria hartiningsih Maria Serenada Sinurat Mario F. Lawi Maroeli Simbolon S. Sn Marsus Banjarbarat Marwanto Mas Ruscitadewi Masdharmadji Mashuri Masriadi Mawar Kusuma Wulan Max Arifin Melani Budianta Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia Mezra E. Pellondou Micky Hidayat Mihar Harahap Misbahus Surur Moh Samsul Arifin Moh. Syafari Firdaus Mohamad Asrori Mulky Mohammad Afifuddin Mohammad Fadlul Rahman Muh Kholid A.S. Muh. Muhlisin Muhajir Arifin Muhamad Sulhanudin Muhammad Al-Fayyadl Muhammad Amin Muhammad Azka Fahriza Muhammad Rain Muhammad Subhan Muhammad Yasir Muhammad Zuriat Fadil Muhammadun A.S Muhidin M. Dahlan Musa Ismail Musfi Efrizal Mustafa Ismail Nafi’ah Al-Ma’rab Naskah Teater Nezar Patria Nina Setyawati Nirwan Ahmad Arsuka Nirwan Dewanto Noor H. Dee Noval Maliki Nunuy Nurhayati Nur Haryanto Nurani Soyomukti Nurel Javissyarqi Nurhadi BW Nurudin Octavio Paz Oliviaks Orasi Budaya Akhir Tahun 2018 Pablo Neruda Pamusuk Eneste Panda MT Siallagan Pandu Jakasurya PDS H.B. Jassin Philipus Parera Pradewi Tri Chatami Pramoedya Ananta Toer Pramono Pranita Dewi Pringadi AS Prosa Puisi Puisi Menolak Korupsi PuJa Puji Santosa Puput Amiranti N Purnawan Andra PUstaka puJAngga Putri Utami Putu Fajar Arcana Putu Wijaya Qaris Tajudin R Sutandya Yudha Khaidar R. Sugiarti R. Timur Budi Raja R.N. Bayu Aji Rachmad Djoko Pradopo Radhar Panca Dahana Rahmadi Usman Rahmat Sudirman Rahmat Sularso Nh Rahmat Sutandya Yudhanto Raihul Fadjri Rainer Maria Rilke Raja Ali Haji Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Raudal Tanjung Banua Reiny Dwinanda Remy Sylado Resensi Revolusi Riadi Ngasiran Ribut Wijoto Ridha al Qadri Ridwan Munawwar Rikobidik Riri Riris K. Toha-Sarumpaet Risang Anom Pujayanto Rizky Andriati Pohan Robert Frost Robin Al Kautsar Robin Dos Santos Soares Rodli TL Rofiqi Hasan Rohman Budijanto Romi Febriyanto Saputro Rosihan Anwar RR Miranda Rudy Policarpus Rukardi S Yoga S. Jai S.I. Poeradisastra S.W. Teofani Sabam Siagian Sabrank Suparno Saiful Amin Ghofur Sainul Hermawan Sajak Sakinah Annisa Mariz Salamet Wahedi Salman Rusydie Anwar Samsudin Adlawi Sapardi Djoko Damono Sartika Dian Nuraini Sastra Sastra Gerilyawan Sastri Sunarti Satmoko Budi Santoso Saut Situmorang Sejarah Sekolah Literasi Gratis (SLG) SelaSastra SelaSastra ke #24 Selasih Seno Gumira Ajidarma Seno Joko Suyono Sergi Sutanto Shadiqin Sudirman Shiny.ane el’poesya Sidik Nugroho Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Simo Sungelebak Karanggeneng Lamongan Siti Sa’adah Sitok Srengenge Siwi Dwi Saputro Sjifa Amori Sofyan RH. Zaid Soni Farid Maulana Sony Prasetyotomo Sosiawan Leak Sri Wintala Achmad Sri Wulan Rujiati Mulyadi Subhan SD Suci Ayu Latifah Sulaiman Djaya Sulistiyo Suparno Sunaryo Broto Sunaryono Basuki Ks Sungatno Sunlie Thomas Alexander Sunudyantoro Suriali Andi Kustomo Suryadi Suryansyah Suryanto Sastroatmodjo Susi Ivvaty Susianna Susilowati Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Suwardi Endraswara Syaifuddin Gani Syaiful Bahri Syam Sdp Syarif Hidayatullah Tajuddin Noor Ganie Tammalele Tan Malaka Taufik Ikram Jamil Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat Teguh Trianton Tengsoe Tjahjono Th Pudjo Widijanto Thayeb Loh Angen Theresia Purbandini Tia Setiadi Tito Sianipar Tiya Hapitiawati Tjahjono Widarmanto Tjahjono Widijanto Toko Buku Murah PUstaka puJAngga Tosa Poetra Tri Joko Susilo Triyanto Triwikromo Tu-ngang Iskandar Udo Z. Karzi Uly Giznawati Umar Fauzi Umar Kayam Undri Uniawati Universitas Indonesia UU Hamidy Vyan Tashwirul Afkar W Haryanto W.S. Rendra Wahyudin Wannofri Samry Warung Boenga Ketjil Waskiti G Sasongko Wawan Eko Yulianto Wawancara Web Warouw Wijang Wharek Wiko Antoni Wina Bojonegoro Wira Apri Pratiwi Wiratmo Soekito Wishnubroto Widarso Wiwik Hastuti Wiwik Hidayati Wong Wing King WS Rendra Xu Xi (Sussy Komala) Y. Thendra BP Y. Wibowo Yani Arifin Sholikin Yesi Devisa Yohanes Sehandi Yona Primadesi Yosi M. Giri Yusi Avianto Pareanom Yusri Fajar Yusrizal KW Yuval Noah Harari Yuyu AN Krisna Zaki Zubaidi Zalfeni Wimra Zawawi Se Zehan Zareez Zen Hae Zhaenal Fanani Zuarman Ahmad Zulfikar Akbar Zulhasril Nasir