Sabtu, 04 April 2009

Ladang Terbakar

Raudal Tanjung Banua
http://www.kr.co.id/

APA pun kata orang, keputusan Sombiang sudah bulat, tak bisa diganggu-gugat: mengajak istrinya, Lanik, tinggal di ladang. Sebuah pondok kayu bertiang tinggi beratap rumbia-ditisik batang rengsam-kukuh dengan batang kayu pelawan, selesai sudah dibuat. Ada hamparan sahang seluas mata memandang. Sementara pohon-pohon karet tua di lahan arah ke lembah-warisan orangtuanya-sengaja ditebang, sebagai gantinya, kini ratusan batang anak karet kembali ditanam: di tengahnya pondok itu tegak berjaga.

Apalagi? Sekarang, tak ada yang perlu dirisaukan, kata sebuah lagu yang Sombiang simak diam-diam dari radio transistor yang tergantung di paku dinding, nyaris nyerocos seharian. Pada malam tertentu biasanya ada acara pantun kasmaran asuhan Saad Toyib dan Kario-dua pasangan pengasuh yang pas; satu gaek, satu muda; satu takzim yang lain kocak. Itulah yang menemani Sombiang selama ini di ladang dalam hari-hari yang panjang (ah, siapa bilang tak ada risau?). Kadang Sombiang terbahak sendirian, kadang tertegun sedih bila pantun yang dilantunkan menyentil perasaan.

Apelah daye bulan di dahan/Mau terbenam, eh, disamber buaye/Apelah daye badan sendirian/Di dingin malam berteman si air mate
Sombiang menggeliatkan badan di atas dingin tikar pandan.

Siang hari ia bekerja selayaknya petani sejati, mengolah tanah, merawat benih dan memetik apa yang layak dipetik, semuanya dengan kasih. Malam hari, kadang ia pulang ke rumah-jauh di kampung-tapi lebih sering bermalam di pondok-biasanya di pondok lama, dekat ladang durian dan sahang. Bila sesekali rasa sepinya tak tertahankan, tak jarang Sombiang berkunjung ke pondok peladang lain, atau berlama-lama di tepian sehabis bekerja agar bertemu sesama peladang sekadar bercakap-cakap. Tentang harga timah. Tentang tambang timah lepas pantai di Bubus yang sering diwarnai konflik. Sembahyang rebut di klenteng tua Batu Rusa. Sampai juga pada naiknya harga-harga dan bejibunnya partai baru tapi diisi orang-orang lama.

Meski mereka peladang, kebutuhan tak sebatas ladang yang subur atau harga membubung. Salah seorang di antara peladang yang fasih berdiskusi tentang hal itu adalah Datuk Bulian, seorangtua yang tetap perkasa, dengan anak dan istri yang rutin mengunjunginya sekali sepekan (terkadang dengan membawa koran). Ah, membuat Sombiang cemburu sebetulnya. Sedang Sombiang, siapa yang akan mengunjunginya? Lanik istrinya-yang sampai saat ini belum juga hamil-jangankan sekali sepekan, sekali sebulan saja tak pernah menginjakkan kakinya di ladang mereka. Kadang ia maklum, istrinya terlalu sibuk membantu ibunya mengurus warung yang buka hingga malam. Tapi, terkadang Sombiang juga berpikir, itu semua lebih disebabkan karena selaku anak tunggal di keluarga, istrinya terlalu disayang; jangankan ke ladang, ke kebun belakang rumah pun seolah ia berpantang. Pantang itu terutama justru digariskan ibunya sendiri yang memang kelewat memanjakannya.

Terkadang, di tengah keasyikkan bicara “bangsa” dan “dunia”, terbicarakan juga urusan keluarga masing-masing. Tentang anak-anak yang naik kelas. Istri yang gemar menabung. Dan di antara itu, kerap terlontar suara,”Sombiang, warung istrimu tambah maju tampaknya?” Sombiang mengangguk sedikit. Lalu,”Tak sempat lagi ia ke ladang ini, ya?” itu dari Sadeli.

Atau ini,”Istrimu belum hamil juga ya?” kata Rabius pula. “Kenapa tak pernah melirik Datuk kita? Datuk Bulian ‘kan bisa bikin ramuan kesuburan.”

Inilah yang paling tak disukai Sombiang dari acara kumpul-kumpul di tepian.

Tapi kini, mulai saat ini, tidak lagi! Ia telah bulat memutuskan: istrinya, Lanik, akan diajak tinggal di ladang, sementara warung di rumah biarlah ibu mertuanya yang mengurus. Sombiang sudah tak peduli. Sombiang merasa cukup jadi penurut: sejak menikah dengan Lanik, ia mau tinggal di rumah mertua hanya karena si mertua merengek-rengek minta pengertian,”Kalian tinggal di sini saja. Rumah di sini besar, warung sudah berjalan, semua untuk Lanik.” Tapi tidak kali ini!
***

KEPUTUSAN Sombiang mengajak istrinya menetap di ladang, serta-merta menerbitkan gunjing orang sekampung; usia perkawinan belum seumur jagung, kata mereka, tapi si istri sudah diserahkan kepada kerasnya untung-jauh dari keramaian. Lain kalau sudah tua, dan anak-anak sudah besar, barulah wajar tinggal di ladang, begitulah selama ini cara orang kampung berkebiasaan. Menjadi adat yang tak bisa ditawar.

“Sedang Datuk Bulian pun tak tega mengajak istrinya tinggal di ladang, padahal anaknya sudah besar-besar,” kata seseorang, dan tertawa-didengar ibunya Lanik dengan pedih dan geram.

“Sombiang punya anak saja belum, sudah ngajak istri bertanam di ladang. ”

“Garap dulu rahim istrimu!” seseorang memotong, membuat ibu Lanik tersirap. Tapi perempuan itu tak ingin melabrak mereka. Aneh, ia malah ingin melabrak menantunya saja. Sombiang! Gara-gara Sombiang terkutuklah, gunjing itu mengalir.

“Kasihan, warung Lanik sedang maju-majunya, malah ditinggal.”

Kembali ibu Lanik membayangkan wajah menantunya saat mengutarakan niatnya mengajak Lanik tinggal di ladang. Wajah yang kukuh dan tenang, tapi terasa dingin sebetulnya. “Begitulah, Mak, kuputuskan mengajak Lanik istriku tinggal di ladang. Kami ingin belajar hidup sendiri dengan lebih tenang.”
“Lanik anakku, anak tunggal!” si ibu berang.

“Ia istriku, tak ada lagi istriku selain dia. Ia anak Mak, semua orang tahu. Tapi bahwa ia tak lebih sebagai pembantu Mak di warung, mungkin hanya aku yang tahu. Kemudian gunjing dan tanya yang tiap hari hinggap di telinganya tentang kapan punya anak, yang membuat gendang telinganya serasa pecah dan hatinya tersayat, mungkin juga hanya aku yang tahu. Karena itu, kami ingin ke ladang setidaknya di sana ia bisa istirahat dengan lebih tenang.”

“O, anakku akan bungkuk dan hitam di ladang! Hentikanlah kekejamanmu!”

“Tidak, Mak. Ia akan bekerja sesuai tenaganya, tidak sampai larut malam seperti di warung, dan setiap kerja adalah atas maunya, aku tidak pernah main perintah. Dan tidak ada pula gunjing yang menyakiti hatinya.”

Perundingan itu (jika memang pantas disebut perundingan) tentu saja buntu. Tapi tidak keputusan Sombiang yang sudah bulat. Ketika hari baru terang tanah, Sombiang segera menarik tangan Lanik ke atas motor traill-nya, dan seketika melaju ke ladang itu. Lanik menangis, tapi jauh di lubuk hatinya, perempuan itu paham sepenuhnya.
***

BEGITULAH, sepasang peladang itu kini terus bertanam tidak hanya di lahan yang subur, tapi juga rajin bertanam di lahan yang lain: ladang rahim. Pondok ladang yang kukuh tinggi menjadi ruang paling hangat bagi mereka berbagi di malam-malam dingin, tak lagi bulan di dahan dimakan buaye seperti kata pantun. Tapi buayelah yang disihir bulan dengan terangnya umpama lampu; kini bahagie hidup berdue, sepanjang hari serasa berbulan madu, ai, ai, pantun di radio tua itu kini diubah sendiri oleh Sombiang, walau di dalam hati. Kalau saja Saad Toyib dan Kario, si pengasuh pantun di radio tahu, pastilah mereka akan bilang,”Madu Bangka pahit rasanya, Bung!”

Ya, ya, karena bersarang di pohon pelawan, madu di sini jadi lain rasanya. Pahit. Tapi ampuh untuk menggempur penyakit. Ibarat itulah hidup Sombiang dan Lanik, di atas pondok bertiang kayu pelawan, hari-hari yang mereka jalani sekilas mungkin terasa pahit-maklum, jauh dari keramaian, menempuh hidup tidak selazim orang berkebiasaan, dan mereka belum lagi punya anak-tapi sebenarnya hidup mereka begitu damai.

Mula-mula Lanik memang merasa canggung, namun hari-hari selanjutnya ia sudah biasa: bangun pagi-pagi, membawa cucian ke tepian, dan pulang dengan air bersih di dalam ember. Memasak, membuatkan kopi buat suami tercinta, yang sepagi hari juga telah melakukan prosesi kerja di lahan masa depan. Pagi yang damai, hari yang damai. Suara burung, kesiur angin, derak dahan pepohonan dan gemerisik daun gugur, irama suara tajak yang terdengar seperti tak-tik-tok jam, denting kayu kering di dapur, desis api yang menyala, semuanya, sungguh alangkah menyenangkan. Jauh dari bisik dan gunjing, jauh dari perburuan uang dan harta. Waktu jadi sepenuhnya milik mereka.

Lanik merasakan suasana di ladang bertolak belakang dengan suasana di rumahnya, di kampung yang mulai sibuk oleh tawar-menawar, tatapan penuh selidik, dan mimpi-mimpi. Di sini, kecuali radio transistor tua yang bernyanyi sepanjang hari, tak ada lagi suara luar yang menggoda dan membuatnya harus bekerja hingga larut malam-demi mimpi warung yang diperbesar menjadi toko swalayan; sebagaimana yang diangankan ibunya. Kelelahan bekerja agaknya, berdampak pada rahimnya. Padahal, selama hampir tiga tahun usia perkawinannya dengan Sombiang, pernah dua kali Lanik merasakan sesuatu tumbuh di rahimnya, tapi gugur lantaran perdarahan. Sombiang tak bisa berbuat apa-apa, kecuali semakin terperangkap dalam gunjing tak bersudah yang menyebut dirinya mandul, atau menuding rahim istrinya tak sesubur ladang sahangnya. Lanik pun tak berdaya dibuatnya, dan sebagai kompensasi atas semua itu, semakin ia membenamkan diri pada kesibukan kerja di warung, dari subuh hingga tengah malam!
Tapi tidak lagi sekarang. Hidupnya kini damai di ladang.
***

DAMAI? Ya. Pohon kopi berbunga, sahang menjuntaikan buah-buahnya dari pohon inang, anak-anak karet berlomba berangkat remaja, durian dan rambutan merayakan musim buah. Sombiang tersenyum ketika pada pagi-pagi sekali istrinya minta dipetikkan mangga muda di samping pondok. Sombiang tahu, sesuatu sedang terjadi pada istrinya. Maka sigap ia menjuluk buah mangga muda, dibersihkan getahnya, dan tak lama ia sudah melihat Lanik mencacah buah yang kecut itu-sepagi ini!-dan memakannya dengan tenang memakai garam dapur. Ya, sesuatu pasti sedang terjadi, Sombiang bergumam sendiri. Dan ia semakin yakin ketika beberapa hari kemudian istrinya muntah-muntah di tepian, disaksikan Rabius yang lewat dan singgah mengasah parang.

“Apakah kalian akan segera punya anak?” tanya laki-laki yang sampai sekarang belum juga menikah itu. Wajahnya tampak aneh.

“Sepertinya begitu, Kawan!” jawab Sombiang sambil menuntun lengan istrinya.
“Kok bisa ya?” Rabius bergumam, kian terasa aneh.

Sombiang menjawab sekenanya:”Ya, bisa. Tiap pagi kami minum madu pahit!”
Lengkap sudah. Di ladang harapan, mereka bertanam, dan semua tumbuh subur dalam kasih malaikat Tuhan. Sombiang merangkul istrinya, dan Lanik pun menyadari ada yang diam-diam bergerak di rahimnya.

Namun, seiring dengan itu, ada pula yang diam-diam bergerak di luar cinta kasih mereka: gunjing itu, bisik itu, dan tuduhan-tuduhan yang menyakitkan itu! Tersiar kabar, entah dari mana berpangkal, bahwa Lanik hamil karena campur-tangan Datuk Bulian!

“Ia menyerahkan istrinya pada dukun tua itu!”

“Itulah alasan tepat baginya mengajak perempuan malang itu tinggal di ladang!”

“Sombiang? Hanya ladang sahangnya yang subur, tidak benih lelakinya. Hanya tangkai cangkulnya yang kuat, tidak tongkat moyangnya!”

“Ya, ia mandul, mengapa istrinya kini mengandung?”

“Konon ia impoten, setelah jatuh dari motor traill-nya. Adakah di dunia ini seorang impoten punya putra?”

“Ya, Tuhan, terkutuklah kami kalau membiarkan ini semua!” seorangtua bersorban melenguh, menatap langit.

“Jangan sampai kita dikutuk, Ustadz. Perintahkanlah kami sekarang juga ke ladang sana, akan kami selamatkan perempuan malang itu, dan kami bakar ladang si suami terkutuk itu!” orang-orang merangsek.

“Jangan,” sang Ustadz mengibaskan tangannya, sambil matanya tetap menatap langit seperti mencari-cari petunjuk.

“Ya, jangan biarkan kutuk itu turun, Ustadz!”
“Apakah Ustadz bisa mempertanggungjawabkan maksiat ini kelak di akhirat?” seseorang menantang.

Ustadz terkesiap, dan segera mengusaikan diri menatap langit, lalu dengan satu kibasan, bergemalah suaranya,”Berangkatlah!”

Maka obor-obor pun disulut. Cahaya senter melesat-lesat. Mengiringi kegeraman orang-orang batas kampung. Sementara di barisan paling belakang, dalam kerumunan kain sarung, Rabius, laki-laki yang lama mendambakan Lanik yang cantik-yang membuatnya tak kunjung menikah hingga sekarang-setengah gigil membayangkan apa yang akan terjadi. Lantaran rindu-dendam, ia berhasil menyebarkan bisik dan tuduhan itu dari tepian hingga ke dalam kampung, dan disambar orang kampung sebagai kebenaran. Bahkan ibu Lanik pun diam-diam jadi sekutu Rabius: dendam sang ibu pada menantu, sudah cukup jadi alasan untuk menyulut restu menggerakkan orang-orang itu.
Orang-orang dengan api di tangan, kini memasuki batas ladang.

/ Bangka-Yogya, 2006-2008

Catatan:
- Sahang (Bhs Bangka): tanaman lada
- Pelawan: sejenis pohon berbunga pahit di Pulau Bangka tempat biasanya lebah bersarang, karena itu madu yang dihasilkan agak pahit.

Badut Ulang Tahun

Haris del Hakim
http://forum-sastra-lamongan.blogspot.com/

Basuki ingin istirahat dari pekerjaannya sebagai anggota dewan wakil rakyat. Dia jemu dengan kerja rapat setiap hari. Lagipula, sebentar lagi adalah pemilihan presiden yang akan menguras banyak tenaga dan pikiran. Karena itu, dia minta izin cuti seminggu.

Selama masa cuti Basuki berniat membantu istrinya yang bekerja sebagai penyedia jasa badut ulang tahun. Dia ingin lain dari kebiasaan teman-temannya sesama anggota dewan. Mereka cuti dari kewajiban dengan pergi ke luar negeri atau tempat-tempat wisata daerah lain dengan alasan studi banding, investigasi, dan lain-lain yang dianggap logis. Basuki selalu menolak bila diajak serta dalam kegiatan seperti itu dan mengembalikan tunjangan untuknya. Sehingga, di kalangan teman-temannya Basuki dikenal sebagai orang yang jujur dan lugu.

Istri dan keluarga Basuki sangat senang. Mereka merasakan lagi kebersamaan sebagai keluarga yang dilindas oleh kesibukan Basuki. Istri Basuki lebih senang lagi. Akhir-akhir ini dia mendapat pesanan badut dari beberapa rumah mewah dan hotel, namun semua dibatalkan karena mereka minta maskot perusahaannya sedangkan maskotnya sendiri adalah Basuki.

Sebenarnya, jasa penyedia badut itu adalah milik Basuki. Awalnya hanya pekerjaan iseng seorang yang di-phk, namun beberapa pengguna jasa badut merasa puas dan sering menggunakan jasanya meskipun bukan pada momentum ulang tahun. Dalam beberapa tahun usaha iseng itu pun berubah menjadi CV yang keberadaannya diperhitungkan di kalangan para even organizer. Memang, pada dasarnya Basuki adalah seorang tukang lawak dan jenaka, sehingga menjadi badut merupakan kerja yang sesuai dengan karakternya. Akhir-akhir ini saja Basuki lebih banyak menunjukkan raut muka berkerut, sejak dia terpilih sebagai wakil rakyat.

Satu hari masa cuti ada permintaan badut pada hari itu juga. Istri Basuki rupanya sudah menunggu kesempatan itu. Dia kangen melihat suaminya dengan wajah berlepotan make up, bibir yang dibuat sedemikian lebar, baju kedodoran, sepatu lars tinggi. Maka, dia segera menodong suaminya berperan sebagai badut. Basuki tentu menolak. Dia sekarang sudah menjadi anggota dewan dan badut adalah profesi lama yang tidak perlu diulangi lagi. Istrinya merayu bahwa dia bukan anggota dewan lagi, sebab dia sedang cuti. Basuki bersikukuh dia tetap anggota dewan meskipun sedang cuti. Istri Basuki terus merayu dan hampir sejam mereka berdebat. Akhirnya, Basuki mengalah pada waktu. Persiapan sebagai badut tinggal dua jam dan menghubungi para anak pekerja badut untuk waktu yang mepet sangat sulit; sebagian besar pekerja badut adalah kerja sampingan saja di waktu longgar.

Ternyata, Basuki masih tetap seorang badut. Dia bergerak lincah ke sana kemari, menyapa setiap yang datang dengan gerakan tangan melambai, bibir bergerak lebar-lebar, raut muka yang lucu disertai anggukan, dan perut yang ditonjolkan ke depan. Banyak anak yang dibuatnya terpingkal-pingkal.

Istri Basuki menyatakan kepuasan atas kebadutan suaminya. Dia juga mengatakan kalau pelanggan baru itu juga merasa puas dan berjanji akan merekomendasikan badutnya setiap ada acara di tempatnya. Janji rekomendasi badut bukan omong kosong. Tiga hari kemudian ada permintaan badut istimewa, sebab pemesan acara adalah salah seorang anggota dewan yang sedang merayakan ulang tahun anaknya.

Basuki menolak dan meminta agar orang lain saja yang berperan sebagai badut, tapi pemesan meminta badut yang kemarin. Perdebatan kembali berlangsung dan Basuki pun bersedia dengan syarat make up wajahnya dipertebal dari biasanya. Dia tidak ingin perannya sebagai badut ketahuan temannya. Lebih penting lagi, dia belum mengenal siapa temannya itu; apakah dia teman separtai, sekoalisi, atau sekadar teman sesama anggota dewan. Basuki sendiri sengaja mengubah warna suaranya yang ringan menjadi berat dan menggetarkan udara di tenggorokan.

Pada saat pintu gedung berlangsungnya acara dibuka, terdengar riuh rendah suara tepukan anak-anak yang menyambut kehadiran badut dan segera mengerumuninya. Basuki mengebas ringan pada tangan anak-anak yang ingin mencubitnya dengan gemas. Matanya melirik ke sana kemari dan melihat anggota dewan itu adalah ketua fraksi musuh politik partainya. Matanya melotot, membuat anak-anak tertawa terbahak, ketika melihat orang yang ada di samping musuh politiknya adalah ketua fraksinya; hanya orang yang sangat akrab bersedia hadir di acara ulang tahun anaknya di tengah kesibukan yang padat. Basuki ingat bagaimana ketua fraksinya bersemangat mencaci maki lawan politiknya dan bersumpah tidak akan bekerjasama selamanya, sebab mereka berbeda prinsip.

Keesokan harinya pelanggan baru itu minta badut kembali. Basuki langsung mengatakan tidak. Seperti kemarin, istrinya mencoba merayu tapi Basuki benar-benar tidak mau lagi menjadi badut. Dia bersikukuh pada penolakannya. Istrinya berharap pada detik-detik penentuan suaminya akan berubah pikiran, namun suaminya benar-benar tidak mau lagi menjadi badut. Akhirnya, dia menelepon anak buahnya yang siap menjadi badut sedangkan Basuki sendiri sebagai sopir pengantar.

Acara tersebut ternyata ulang tahun anak ketua fraksinya. Tamu-tamu yang datang sebagian besar adalah tamu yang kemarin juga. Basuki langsung menemui ketua fraksinya dan mengungkapkan selamat ulang tahun kepada putrinya. Ketua fraksinya tampak terkejut sesaat, “Saya tidak menyangka Pak Basuki perhatian dengan keluarga saya, bahkan tahu ulang tahun anak saya.”

Basuki menjelaskan kalau kehadirannya sekadar mengantarkan badut yang manajemennya dikelola oleh istrinya. Ketua fraksi lawan politik partainya berseloroh kalau-kalau tunjangannya kurang atau pajak partainya terlalu besar. Basuki segera menyanggahnya. Dan ketua fraksi partai Basuki menjelaskan, “Kamu tahu sendiri kami tidak pernah mau ada kenaikan gaji di tengah penderitaan masyarakat kita.”

“Ah,” cibir lawan politiknya. “Kita sama-sama tahu watak politikus. Pada mulanya menolak kemudian menerima dengan senang hati.”

“Saya kira ini bukan waktu yang tepat untuk berselisih pendapat?” kata ketua fraksi partai Basuki sambil mempersilakan Basuki dan lawan politiknya untuk mencicipi makanan.

“Pak Basuki,” kata ketua fraksi lawan politik partai Basuki dengan nada lebih menyenangkan. “Saya harap perbuatan Pak Basuki ini tidak terulang lagi. Sebagai sesama politisi saya kaget. Apakah tidak ada kegiatan sosial yang lebih bermanfaat bagi masyarakat dan Pak Basuki sendiri selain menjadi badut yang manfaatnya untuk kepentingan Pak Basuki sendiri.”

“Anda keliru,” sela ketua fraksi partai Basuki. “Perbuatan Pak Basuki ini patut menjadi teladan kita. Dia menunjukkan sikap rendah hati. Meskipun dia sebagai anggota dewan tapi masih mau bekerja yang nilainya kelihatan rendah.”

Basuki paham maksud ketua lawan partai politiknya dan dia juga paham arti lirikan ketua partainya. Lama kelamaan dia merasa tidak enak menjadi bahan pembicaraan. Kemudian dia melihat jam dan mohon pamit sebab dia harus mengantarkan badutnya pulang.
***
Sehari masuk kerja Basuki diminta menemui ketua fraksi. Ada persoalan penting yang harus dibicarakan. Basuki datang, duduk di kursi depan meja, dan menunggu ketua fraksinya menata map-map di mejanya.

“Pak Basuki pernah berperan sebagai badut?” tanya ketua fraksi memulai pembicaraan.

“Pernah, bahkan saya adalah maskotnya,” jawab Basuki.
Ketua fraksi mengangguk-anggukkan kepala. “Saya memanggil Pak Basuki untuk mencari kebenaran hal itu.”

Ketua fraksi berdehem. “Saya juga diberi wewenang teman-teman partai untuk menyampaikan hal ini kepada Pak Basuki.”

“Persoalan apa?”
“Pak Basuki diminta untuk mengundurkan diri.”
“Alasannya?” tanya Basuki tidak percaya. Dia merasa sengaja dibuat marah dan hal itu dimanfaatkan olehnya. “Apakah menjadi badut harus dipecat sebagai anggota dewan?”

“Bukan,” kata ketua fraksi menenangkan. “Kami tidak memecat Pak Basuki. Kami hanya minta Pak Basuki mengundurkan diri. Kami harap Pak Basuki melakukannya dengan senang hati, karena ini demi kepentingan partai.”

Basuki hendak protes kembali, namun ketua fraksi memintanya untuk mendengarkan apa yang akan dikatakannya. “Sejujurnya saya kecewa dengan tindakan Pak Basuki yang mohon cuti hanya sekadar sebagai badut. Saya juga malu dikatakan teman-teman dewan sebagai ketua yang beranggota tidak memiliki kepekaan sosial. Ketika semua anggota dewan sibuk memikirkan persoalan masyarakat, melakukan studi banding, investigasi ke luar negeri, tapi Pak Basuki minta izin cuti hanya menjadi b a d u t. Akan tetapi, Pak Basuki tenang saja. Kami sudah mengatur semua. Sebentar lagi muncul isu Pak Basuki melakukan korupsi. Saat itu Pak Basuki mengundurkan diri dengan pernyataan bahwa atas nama partai kami yang jujur dan berkerakyatan Pak Basuki mengundurkan diri, meskipun belum dinyatakan sebagai terdakwa. Persidangan akan digelar dan menunjukkan bahwa tuduhan itu tidak terbukti dan Pak Basuki bukan koruptor. Hak Pak Basuki kami kembalikan dan kami akan mencalonkan bapak sebagai ketua fraksi. Saya sendiri akan mengundurkan diri sebagai bentuk rasa penyesalan saya memecat Pak Basuki. Serangkaian tindakan ini akan meningkatkan suara partai kita dan menambah posisi tawar partai dalam pemilihan presiden. Saya harap Pak Basuki ikhlas melakukannya.”

Basuki tercenung beberapa saat. Dia tidak percaya semua itu terlaksana. Hanya satu yang akan dijalaninya bahwa dia akan dipecat sebagai anggota dewan. Dia mengelus wajahnya dan mencari bedak di sana. Setelah berkali-kali meraba dan tidak menemukan butiran bedak itu dia semakin yakin kalau dia tidak sedang menjadi badut.

Surabaya, juli 2007
Pernah dimuat di Surya, 18 November 2007

MENIMBANG SPIRIT LUDRUK

S. Jai
http://ahmad-sujai.blogspot.com/
Surabaya Post/15 Maret 2009

MENYAKSIKAN tiap bentuk pertunjukkan, seringkali kita dihadapkan pada sebuah pertanyaan—apa pesan yang dituturkan pertunjukan tadi? Menghadirkan pesan dan menghidupkan kesan tampaknya hingga kini terus dijadikan pergulatan dalam tradisi tutur kita—dan barangkali bermula dari sini pulalah cikalbakal kesulitan akan berkembangnya seni tradisi kita.

Tradisi Tutur seperti jadi bulan-bulanan sebagai korban yang menyebabkan seni tradisional berpotensi mati—kalaupun ada tak lebih hanya nostalgia yang fatalnya cukup laris dijual di pasar pariwisata bagi orang yang sebetulnya tengah kebingungan mencari dirinya sendiri berada di tengah hirukpikuk zaman.

Lantas apakah pesan dan kesan itu penting dan tepat diwujudkan dengan kosakata sebagai barang mahal? Memperjuangkan—bukan berarti membela mati-matian—tradisi seni tutur kita boleh dikata diawali dari berpegang pada pentingnya pesan dan kesan tersebut sebagai kunci. Karena tradisi tutur atau oral tradition sebetulnya lebih bertitik tolak secara historis dari adanya pesan tersebut yang dikemukakan dalam konteks tahap kebudayaan mitologis menurut istilah Van Peursen.

Meski demikian tradisi tutur, oral tradition alias tradisi lisan tak melulu berupa hal-hal yang berkaitan dalam gaya penyampaian tutur (verbal) belaka. Terlebih pada saat tradisi lisan itu memasuki ranah seni yang pada mulanya tumbuh subur sebagai sebuah upacara ternyata ada bentuk tarian di samping syair serta wayang dan kemudian menuju teater. Tentang yang terakhir disebut ini, banyak dituding mulai adanya campur tangan pola pikir barat ditandai sejak sandiwara (sandi dan swara?) Dardanela, meski di sisi lain orang barat macam Antonim Artaud justru menggali teater tradisi di Bali. Kesemuanya terus hidup hingga di zaman yang bukan lagi pre-historis tetapi pada saat orang mulai gemar menulis.

Teater tutur adalah cerita itu sendiri adalah dongeng, mitologi, monolog dari colectif-conciusnes (kesadaran kolektif). Sedyawati (1998) mengklasifikasikan tradisi lisan sejak dari yang paling murni bersifat sastra hingga ke pertunjukkan teater, antara lain: pertama, murni pembacaan sastra, seperti mebasan pada orang Bali dan macapatan pada orang Jawa, kedua pembacaan sastra disertai gerak-gerak sederhana atau iringan musik terbatas, seperti pada Cekepung dan Kentrung, ketiga, penyajian cerita disertai gerakan-gerakan tari seperti randai pada orang Minang dan keempat, penyajian cerita-cerita melalui aktualisasi adegan-adegan dengan pemeran-pemeran yang melakukan dialog dan menari disertai iringan musik.

Titik temunya pada apa yang digariskan Bertolt Brecht bahwa antara ilmuwan dan seniman itu memiliki tugas kemanusiaan yang sama yakni meringankan beban hidup manusia. Bila ilmuwan bertugas untuk menemukan jawaban persoalan-persoalan dalam mengungkap misteri keilmuan demi kesejahteraan hidup manusia di semesta, maka kehadiran kesenian sebagai penyeimbang karena keberadaannya dimaksudkan untuk “menghibur.” Bagi siapa yang bisa bertarung di situ, kepada mereka kita sudah selayaknya dan patut mengangkat topi karena sebetulnya mereka bergulat memaknai diri di tengah samudera alam semesta—sekecil apapun makna itu baginya—inilah kreativitas.

Perjuangan seperti ini pun telah dilakukan manusia primitif sejak zaman baheula untuk memecahkan kerumitan hidup sejak sebelum ada religi, ritual atau agama dan pengetahuan lain seperti seni dan moral. Dengan kata lain proses budaya mereka adalah sesuatu yang dihasilkan dari proses kreativitas yang digerakkan oleh badan manusia di dalam ruang dan waktu tertentu.

Bahwa di samping problem yang sudah melekat dalam diri manusia di semesta ini, lantas perasaan senasib dan sepenanggungan dalam perjalanan bangsa yang bertahun-tahun didera akibat masa kelam, penderitaan, tekanan dan kepahitan, secara tidak langsung juga turut membentuk sebuah tradisi lisan dalam arti kita lebih suka “diceritai” dari pada jadi “pencerita yang analitis.” Atau kita lebih terbiasa jadi “pendengar” atau jadi “pendongeng” saja dengan segala percikan-percikan yang dalam perkembangan hebatnya bisa dipelihara sedemikian cerdik. Tanpa bermaksud memposisikan “pendongeng” ke dalam makna eufimisme, jika pun benar betapa teater tutur yang lahir dari “zaman gelap” seperti itu sanggup berjuang dan mendapat tempat kuat di tengah masyarakat.

Sebaliknya tentu saja tak memperoleh simpati jika ditinjau dari tahap fungsionalnya Van Peursen. Kita tentu masih dibuat terkagum-kagum bagaimana paiwainya Kartolo Cs atau ludruk garingan Markeso, Cak Durasim yang sanggup memperjuangkan tradisi lisan justru di abad supercanggih seperti sekarang—menyampaikan pesan dengan rupa-rupa basa-basi verbal yang justru menurut Sindhunata mampu menghidupkan spirit hidup rakyat kecil dari hempasan penderitaan beban hidup.

Kesemuanya niscaya bisa ada dan bisa pula ditiadakan. Kesemuanya punya hak untuk secara terbuka hadir dalam sebuah proses panjang berteater. Cukup menarik adalah pernyataan Carl Gustav Jung, yang mengungkapkan bahwa setiap benda padat memiliki sisi-bayangnya sendiri. Bagian bayang dari pikiran adalah bagian esensial dari bentuknya. Mengingkari bayangannya sendiri berarti kehilangan kepadatan, menjadi semacam hantu. Menurutnya pengakuan atas sisi gelap manusia ini sangat penting kalau kita ingin mencapai kepenuhan integritas diri dan bertindak secara lebih realitis. Hal ini saya lebih cenderung menggunakan terminologi sikap terbuka dan membocorkan diri atas bahwa manusia memang memiliki sisi gelapnya sendiri, yakni kemampuan untuk melakukan kejahatan yang justru merendahkan dirinya sendiri.

Ada pandangan yang “spiritualis” atau “mistis” mengemuka dari pernyataan Jung, bahwa manusia memiliki kekuatan kompleks yang memungkinkannya untuk melakukan tindakan yang meniadakan kebaikannya sendiri. Dengan membocorkan diri tentang ruang-ruang gelap, dosa-dosa, kejahatan-kejahatan, keburukan-keburukan masa lalu dalam batin manusia, maka hal itu berarti aktif menciptakan kondisi ektrem manusia tanpa lebih dulu harus ditekan dan pojokkan. Karena dengan cara seperti ini seniman amat meyakini sebagai upaya untuk mengenali diri secara lebih dahsyat yang pada gilirannya barangkali justru akan menumbuhkan rasa percaya diri sebagai manusia menjalani fitrahnya.

*) Penulis adalah pengarang, bergiat di Komunitas Keluarga (Kelompok Intelektual Asal Lingkungan Jalan Airlangga), Kini bekerja selaku Head of Arts and Cultural Outreach, The Center for Religious and Community Studies (CeRCS) Surabaya.

Menampik Rasa Jengah Terhadap Bangsa

Judul Buku : Kagum Pada Orang Indonesia
Penulis : Emha Ainun Nadjib
Penerbit : Progress– Yogyakarta
Cetakan : Pertama, Januari 2008
Tebal : 56 Halaman
Peresensi : Liza Wahyuninto
http://media-sastra-nusantara.blogspot.com/

Langit akhlak rubuh, di atas negeriku berserak-serak/Hukum tak tegak, doyong berderak-derak/Berjalan aku di Roxas Boulevard, Geylang Road, Lebuh Tun Razak/Berjalan aku di Sixth Avenue, Maydan Tahrir dan Ginza/Berjalan aku di Dam, Champs Élysées dan Mesopotamia/Di sela khalayak aku berlindung di belakang hitam kacamata/Dan kubenamkan topi baret di kepala/Malu aku jadi orang Indonesia.

Potongan puisi “Malu (Aku) jadi orang Indonesia” yang ditulis oleh Taufiq Ismail pada tahun 1998 di atas menunjukkan betapa kekaguman terhadap bangsa ini telah lama pudar bahkan perlahan sirna. Ada rasa malu mengakui bahwa bangsa Indonesia sebenarnya pun patut untuk dikagumi. Bahwa di balik kebobrokan yang ditampilkan oleh Taufiq Ismail dalam puisinya tersebut, masih ada ruang untuk memberikan pujian kepada Indonesia sebagai bangsa besar dan memiliki kelebihan yang belum tentu dimiliki oleh negara belahan lain di dunia ini.

Kekaguman itulah yang disorot oleh budayawan, Emha Ainun Nadjib, dalam kumpulan esainya ini. Dengan ciri khasnya yang sangat pandai dalam memilih diksi, Cak Nun menunjukkan kekagumannya terhadap orang Indonesia. Dan kekaguman yang dinyatakan oleh Cak Nun dalam bukunya ini, semuanya merupakan kekurangan yang dimiliki oleh manusia Indonesia. Cak Nun menanggap bahwa kekurangan atau cela yang ada dalam diri manusia Indonesia, itulah yang perlu untuk dikagumi.

Untuk mengetahui karakter orang Indonesia tentu dibutuhkan banyak perjumpaan dengan mereka. Mustahil mengenal sifat orang Indonesia jika tidak ada interaksi dengan mereka. (Hal. 5) Dan Cak Nun dikenal sangat dekat dengan rakyat kecil (urban), bahkan tidak jarang pula menyuarakan suara mereka yang tidak sempat didengar oleh pemerintah. Sebagai satrio piningit di era globalisasi, Cak Nun memposisikan diri sebagai penyambung lidah rakyat. Kedekatan ini pulalah yang melahirkan kecintaan besar Cak Nun terhadap manusia Indonesia, hingga berbuah pada kekaguman terhadap manusia Indonesia.

Pengajian rutin yang dilakukannya di berbagai daerah juga ikut menjadi dokumentasi dari kelahiran buku ini, hingga banyak hal yang dapat disorot oleh Cak Nun dari manusia Indonesia. “Kunjungan” Cak Nun ke negara-negara lain juga ikut menjadi oleh-oleh untuk diceritakan dalam kumpulan esai ini.

Runtuhnya rasa kagum terhadap manusia Indonesia yang diungkapkan oleh Taufiq Ismail lewat puisinya “Malu (Aku) Menjadi Orang Indonesia”, tidak lain adalah kritik terhadap diri manusia Indonesia. Ada yang salah dalam diri manusia Indonesia atau dalam istilahnya Taufiq Ismail “orang Indonesia”. Bahwa setelah kemerdekaan Indonesia diperoleh, manusia Indonesia belum siap untuk menjadi penguasa Indonesia, hingga tidak mengherankan pada babak selanjutnya manusia Indonesia masih menjadi pekerja.

Tercatat bahwa Indonesia adalah negara paling banyak yang mengirimkan delegasinya untuk menjadi tenaga kerja ketimbang menjadi mahasiswa. Disinilah letak degradasi kebanggan terhadap Indonesia yang direkam oleh taufiq Ismail lewat puisi “Malu (Aku) Menjadi Orang Indonesia”. Bahwa manusia Indonesia masih lebih bangga memakai produk luar negeri daripada produk hasil negeri sendiri.

Cak Nun yang sangat mengerti manusia Indonesia merespon hal itu. Baginya, itu merupakan salah satu kelebihan manusia Indonesia yang patut untuk dikagumi. Ungkapan paradok semacam inilah yang sering dilontarkan Cak Nun, dan Cak Nun menilai bahwa dengan cara inilah rasa kagum dan rasa percaya diri kepada manusia Indonesia dapat kembali terangkat. Tidak salah jika dalam kumpulan esainya ini Cak Nun memberi judul pada salah satu esainya “Bangsa Besar Tak Butuh Kebesaran”.

Cak Nun berpendapat bahwa bangsa Indonesia adalah bangsa yang besar. Kebodohan yang merata dalam kehidupan bangsa kita di semua segmen dan strata, tidak mengurangi kebesaran bangsa Indonesia. Untuk menjadi besar, bangsa Indonesia tidak memerlukan kepandaian. Bodoh pun kita tetap besar. Dengan mental kerdil pun kita tetaqp besar. Dengan modal moralitas yang rendah dan hina pun bangsa kita tetap bangsa besar. Oleh karena itu kita tidak memerlukan kebesaran, karena memang sudah besar. (Hal. 21)

Pemahaman akan “siapa” orang Indonesia sebenarnya tidak hanya dilakukan oleh Cak Nun, pada tahun 1977, Muchtar Lubis berhasil mengidentifikasi lebih dari sepuluh sifat orang Indonesia. Namun kebanyakan bernada negatif. Di antaranya hasil identifikasi Muchtar Lubis yang bernada negatif yaitu, menilai bahwa orang Indonesia hipokrit, enggan bertanggung jawab atas perilakunya, bermental feodal, percaya takhayul dan tidak hemat. Sedangkan yang bernada positif yaitu orang Indonesia itu artistik, yang bermakna bahwa orang Indonesia mencintai seni.

Nampaknya hasil identifikasi yang dilakukan oleh Muchtar Lubis inilah yang kemudian dipakai sebagai tolak ukur untuk membaca apa dan siapa orang Indonesia selama ini. Wajar jika kemudian kritik berbalas selalu terjadi di negeri ini. Kritik tersebut lebih sering dilontarkan antar sesama orang Indonesia, namun ketika Negara lain yang mengkritik, mengolok atau menggunjingkan Indonesia, kita lebih banyak memilih diam. Bahkan ketika pulau Indonesia, kebudayaan Indonesia hingga pada produk yang dihasilkan oleh bangsa Indonesia diklaim sebagai milik bangsa lain, kitapun tetap memilih diam.

Sikap diam yang dilakukan oleh manusia Indonesia diinterpretasikan oleh Cak Nun bahwa bangsa Indonesia adalah bangsa besar yang tak butuh kebesaran. Kerendah hatian itulah yang digarisbawahi oleh Cak Nun sebagai sikap manusia Indonesia yang pantas untuk dikagumi. Dilain hal, yang patut dikagumi dari manusia Indonesia adalah sikap kerja keras. Tidak benar jika dikatakan bahwa manusia Indonesia adalah pemalas. Hal ini dibuktikan oleh Cak Nun ketika mendapati tenaga kerja Indonesia lebih disayang oleh pimpinan perusahaan di mana mereka bekerja daripada tenaga kerja dari bangsa lain. Untuk menegaskan bahwa bangsa Indonesia tidak pemalas, dalam salah satu esainya pada buku ini Cak Nun sengaja memberi judul “Bukan Bangsa Pemalas”.

Manusia Indonesia tidaklah harus menjadi manusia yang disegani atau bahkan ditakuti oleh bangsa lain, karena kekaguman terhadap manusia Indonesia adalah murni kekaguman akan potensi yang dimiliki oleh manusia Indonesia seutuhnya. Kehadiran buku ini cocok kiranya untuk ditampilkan sebagai perenungan bersama akan kekurangan yang dimiliki oleh manusia Indonesia untuk kemudian dijadikan sebagai kekuatan manusia Indonesia yang sesungguhnya. Karena bukanlah senjata berat atau kapal yang tangguh yang dapat melindungi bangsa ini, melainkan karakter dan jati diri manusia Indonesia untuk melindungi harga diri bangsanya.

Akhirnya, tidak perlu lagi kita mengumandangkan “Malu (Aku) Jadi Orang Indonesia”. Tapi, bangga aku menjadi orang Indonesia.

Solilokui Hidup Serampangan

A. Qorib Hidayatullah
http://indonimut.blogspot.com/

Bukan sebuah kebetulan bila Ponari —dukun cilik asal Jombang— berkat batu ajaib yang ia temukan, konon, mampu mengobati beragam penyakit. Dan konon pula Ponari adalah bocah yang gemar bermain di musim hujan, hingga petir menyambarnya sekaligus mengganjar Ponari dengan batu ajaib. Kini, masyarakat pun dibikin geger berduyun-duyun menyambangi rumah Ponari.

Ponari mendadak menjadi sang fenomenal. Media cetak maupun elektronik berebut melansir ketenaran sang dukun cilik itu. Yang menarik dari fenomena Ponarisme adalah ekspektasi masyarakat jamak ditengarai terancam solilokui (amal kesepian hidup yang berlarat) hingga berebut berobat kepada Ponari dengan biaya murah demi kesembuhan penyakitnya.

Saat ini masyarakat kita bisa dikata bergaya hidup serampangan. Rasionalitas telah menjadi mitos. Rasio masyarakat terjebak mempercayai bahwa batu ajaib Ponari bila dicelupkan ke air bisa bikin sembuh segala penyakit. Rasio medis lambat laun terkubur dalam-dalam, dan dianggap sudah tak ampuh lagi. Batu ajaib Ponari itulah yang malah oleh masyarakat dianggap ampuh bikin sembuh. Batu ajaib yang benar-benar ajaib. Tanpa diagnosa terhadap pasien, batu ajaib tersebut bisa menyembuhkan beragam penyakit.

Kegelisahan masyarakat yang demikian itu bukanlah tanpa muasal. Kendati masyarakat dalam hal penyakit melabuhkan kesembuhannya perantaraan Ponari, itu semata-mata tersebab kualitas pelayanan kesehatan pemerintah yang ditengarai lemah. Sehingga masyarakat pun lebih gesit memilih cara sembuh dengan berobat alternatif. Obat alternatif itulah yang dipilih masyarakat guna menjawab kecarut-marutan pemerintah di bidang kesehatan.

Apalagi, tahun-tahun ini Indonesia mengalami goncangan dua bencana dahsyat: pemanasan global dan krisis finansial, selain musim penghujan yang banyak mengirim penyakit/musibah baru bagi masyarakat. Tak ayal, masyarakat merasa komplit didera solilokui yang terus-menerus. Ditambah dengan daerah-daerah-daerah di Indonesia yang memang telah jadi langganan dikirimi banjir. Dari sini, apa benar tesis Sindhunata yang mengatakan, “Apokalipsme Hidup Harian?.”

Dalam Apokalipsme Hidup Harian, Romo Sindhu menarasikan keniscayaan kemelaratan dan kesedihan dalam hidup, hingga al-hasil kita hanya menjadi penunggu dari suatu kehancuran. Sehingga manusia kudu belajar kesahajaan dan kesederhanaan hidup untuk menangkis serangan apokalipsme atau solilokui. Dus, di tengah gempuran kuat dan amukan hebat zaman itu, hanyalah puing-puing kebersemangatan yang tak bisa hancur luluh lantak diterpa badai apokalipsme. Ya, hanya semangat yang tak bisa tergantikan.

Bagaimana pun, Ponari adalah fenomena jeda hidup yang patut disyukuri sekaligus ditertawai. Tatkala air telah dicelupkan batu ajaib Ponari, lalu diteliti di salah satu laboratorium Universitas Airlangga Surabaya, terbukti air tersebut mengandung kristal, berbeda dengan sample air biasa. Bukankah ini kemukjizatan?

RELIGIUITAS SANG PRIYAYI

Judul Buku: Serasi Denyutan Puri
Pengarang: Suryanto Sastroatmodjo
Penerbit: Pustaka Pujangga
Tebal Buku: 60 hlm; 13 x 20, 5 cm
Peresensi: Imamuddin SA
http://forum-sastra-lamongan.blogspot.com/

Religiuitas dewasa ini haruslah dinomorsatukan. Seorang anak manusia hauruslah senantiasa kembali pada hakekata religius yang sebenarnya. Bukan religius asal-asalan. Dan bukan religius kelembagaan semata. Melainkan religius yang mencerminkan pengagungan terhadap Tuhan Yang Maha Esa. Pengagungan yang bukan sekadar kembang bualan. Namun berslimutkan dalam tangan perjalanan. Biar realitas kehidupan mengalami penurunan intensitas kecarut-marutannya.

Bentuk pengagungan itu dapat dilakukan dengan jalan mematuhi segala perintah Tuhan serta meninggalkan segala larangan-Nya. Dalam hal ini adalah ingat kepada Tuhan dan tidak membuat kerusakan di muka bumi. Baik bumi sebagai makro kosmos maupun mikro kosmos.

Pada dasarnya, segala kerusakan yang berada pada makro kosmos itu bersumber pada kerusakan mikro kosmosnya; yaitu pribadi manusiannya. Dan kerusakan mikro kosmos itu dipicu oleh batiniah yang keropos. Yang selalu dilingkupi hawa nafsu. Memburu kesementaraan dunia. Meninggalkan kesejatian manusiannya. Menghapus eksistensi tuhannya. Oleh sebab itu, butuhlah kiranya dengan segera, seorang anak manusia kembali melakukan penyucian batinnya. Mencuci reget-reget hati agar dapat mengagungkan Tuhan Yang Maha Suci.

Balada Serasi Denyutan Puri merupakan suatu karya agung dari seorang pujannga besar keraton Surakarta dewasa ini. Penyair merupakan cucu dari Panembahan Adipati Poeger V Lumajang dan putra mantan Ragent Kota Kabupaten Bojonegoro yang bernama Pangeran Adipati Surya Hadi Negara III dengan istri Ray Sri Haluwiyah Wuryaningrum.

Dari cover buku yang bergambar teratai ini, dapat ditelisik bahwa Serasi Denyutan Puri mengandung suatu nilai keilmuan dan pemikiran yang bersumber dari kejernihan batin penulisnya. Teratai yang rekah mengambang di tengah tenangnya air kehidupan seolah akan memberikan keindahan dan kedamaian dalam batiniah anak manusia. Asumsi itu menyemburat dari pandangan terhadap kepribadian pengarang yang kerap melakukan penyucian hati lewat semedi dan tapabrata.

Dalam buku ini, nuansa religiuitas, falsafah, dan mistisme dibangun dengan kental yang kesemuanya itu berakar pada kebudayaan dan tradisi kejawen. Hal itu disebabkan oleh eksistensi beliau yang cenderung mengakrabi dan mengabdikan diri secara penuh dalam kekeratonan Surakarta dan juga bertumpu pada latar belakang beliau sendiri. Sehingga tidak jarang ketika membaca karya ini akan menemukan istilah-istilah bahasa Jawa yang dimasukkan ke dalamnya.

Masukknya unsur bahasa Jawa ke dalam karya ini bukanya melemahkan arti. Melainkan justru membentuk kekuatan tersendiri. Melaluinya, ungkapan bahasa yang dipakai dapat menjadi plural dan multi tafsir. Itu bagi pembaca yang mengerti dan paham bahasa Jawa. Namun bagi mereka yang tidak tahu-menahu dengan bahasa Jawa, ini bisa menjadi membingungkan dan menggaggu dalam proses pembacaan serta pemahaman maknanya. Jadi lebih enak lagi jika buku ini dilengkapi dengan catatan kaki tentang istilah-istilah bahasa Jawa.

Karya KRT. RPA. Suryanto Sastroatmodjo laksna lambaian angin. Bebas bergerak menelusup pada ruang tafsir pembacanya. Ia begitu menyejukkan, namun kadang kala menyentak-mendobrak bagi jiwa yang gerah mencari hakikat dan kesejatian hidup yang sesungguhnya. Ia memberi pemahaman akan tujuan dan makna hidup sekaligus menggugah jiwa untuk segera merengkuh kesejatiannya. Pemahaman yang disuguhkannya merupakan pemahaman khas kejawen yang menyemburat melalui kemurnian religiuitas orang Jawa sesungguhnya. Religiuitas yang tidak condong pada satu kelembagaan agama tertentu. Yaitu religiuitas yang hanya mengarah pada hakekat Tuhan Yang Maha Esa. Sungguh, karya-karya yang sarat akan makna, etika dan estetika, sekaligus sentuhan jiwa.

Kumpulan balada ini dicetak dengan sangat sederhana dan terbagi dalam tiga bagian. Sesederhana jiwa dan kepribadian penyairnya. Namun lebih dari itu, muatannya sungguh luar biasa yang tak tertakar oleh dahaga hati para perindu kesejatian raga. Bagian pertama buku ini berjudul Senandung Bukit dengan muatan sepuluh balada. Yaitu; Balada Segelas Kahwa, Balada Bronjong, Balada Si Lintang Telanjang, Balada Putra Aji, Balada Wiralodra, Balada Kong Gedah, Balada Gesang Geseng, Balada Rohana, Balada Perawan Sulung, dan Balada Si Bintang Timur. Bagian kedua berjudul Dalam Tungku yang berisikan empat belas balada. Yakni; Balada Wuragil Bugil, Balada Tuak Tempelak, Balada Lolong Sang Sono, Balada Kembang Kacang, Balada Kacung, Balada Julang Jalang, Balada Marmer Tembus, Balada Pulau Drini, Balada Nur Rasa, Balada Juntrung, Balada Si Bagus, Balada Rahadyan Ambarkaton, Balada Gagak Rimang, dan Balada Jago Keprok. Dan yang ketiga berjudul Ujung Ke Ujung yang di dalamnya terdapat delapan subjudul. Yaitu; Balada Cenayang, Balada Telawar, Balada Puring, Balada Bianglala, Balada Kepopongan, Balada Nilakandi, Balada Kucing, dan Balada Sang Bocah.

Selain yang terungkap sebelumnya, kekurangan buku ini yang lain adalah tidak adanya daftar isi sehingga sedikit menyulitkan dalam proses pendeteksian isinya. Selain itu, penyematan tiap bagian balada-baladanya kurang nyaman dinikmati sebab dalam pergantian subjudulnya tidak diletakkan dalam lembar yang berbeda. Penyusunan layout-nya dijeluntrungkan saja. Meskipun demikian, keindahan dalam isi dan muatanya tidak berkurang sedikitpun. Itu hanya dari sisi kemasannya dalam bentuk buku saja. Dan selanjutnya, selamat mendalami. Semoga kedamaian kan bersemi di kedalaman sanubari akan keindahan serasi denyutan puri. Salam.

Main-Main, tapi kok Serius

Arif Zulkifli
http://majalah.tempointeraktif.com/

Renny merayakan ulang tahunnya dengan mementaskan Tumirah Sang Mucikari. Sebuah naskah kritik sosial dalam teater yang digarap dengan kurang bermain-main.
Tumirah Sang Mucikari
Sutradara : Renny Djajoesman
Skenario : Seno Gumira Ajidarma
Penata Musik: Fariz R.M.
Pemain : Renny Djajoesman, Budi Setiono, Ria Probo, Andi Bersama
Produksi : Teater Yuka

“Tumirah namaku. Germo pekerjaanku. Sudah tua aku sebenarnya. Empat puluh tahun…. Dan aku sudah pensiun sejak beberapa tahun lalu…. Tidak ada lagi yang bisa kukerjakan sekarang selain jadi germo…. Yeah. Dunia selalu membutuhkan pelacur. Profesi yang tertua, kata orang. Aku bukan ahli sejarah, tapi aku setuju, selama manusia lahir masih dengan alat kelamin, pelacuran akan tetap ada.”

PANGGUNG gelap. Cahaya masuk remang-remang. Tumirah, sang muncikari, berkumpul dengan pelacur-pelacur anak asuhnya di sebuah rumah bordil di pinggir hutan. Ornamen panggung yang warna-warni tapi suram menunjukkan sebuah dunia hitam.

Lakon Tumirah Sang Mucikari garapan sutradara Renny Djajoesman di Gedung Kesenian Jakarta, Jumat pekan lalu, memang bercerita tentang perjalanan hidup seorang germo. Sehari-hari ia mengasuh pelacur-pelacur yang melayani nafsu tentara pemerintah dan gerilyawan yang bertempur di sebuah hutan. Nasib malang datang, serombongan ninja mengobrak-abrik rumah bordilnya. Para pelacur diperkosa. Suasana jadi kacau karena para ninja tak pernah bisa dikenali. Suasana jadi saling curiga. Dan ketika seseorang berpakaian hitam ditemukan, masyarakat yang sedang marah semakin mendidih. Mereka mengeksekusi para ninja. Belakangan, setelah ninja itu remuk, mereka baru sadar bahwa mereka salah pukul. Mayat itu ternyata adalah Sukab, pelanggan tetap rumah bordil dan pacar Tumirah. Para ninja tertawa. Politik adu domba telah mengalahkan akal sehat. Kemarahan telah menafikan cinta.

Sebagai sebuah cerita, lakon Tumirah Sang Mucikari tidak istimewa. Seno Gumira Ajidarma, penulis skenario, dipesan Renny untuk membuat naskah yang akan dipentaskan untuk merayakan ulang tahun ke-40 penyanyi itu. Seno mencicil naskahnya. Pertama-tama sebulan lalu. Sisanya baru ia rampungkan saat libur Lebaran. Walhasil, ini memang proyek kebut-kebutan.

Tapi bukan cuma karena soal itu kalau pementasan ini terkesan kurang marem. Seno dalam naskahnya ingin mengetengahkan persoalan serius dengan cara main-main. Ada pemerkosaan massal, ada pembunuhan misterius, ada ninja, ada politik adu domba. Ini memang ciri Seno yang terutama tampil dalam cerpen-cerpennya dalam beberapa tahun terakhir. Wakil Pemimpin Redaksi majalah Jakarta-Jakarta itu ingin menjadikan cerpen, juga sastra secara keseluruhan, sebagai bentuk lain dari penyampaian fakta. Ketika berita tidak bisa bicara, sastra yang harus menggantikannya, itu yang juga pernah disampaikannya melalui kumpulan eseinya, Ketika Jurnalisme Dibungkam, Sastra Harus Bicara.

Namun Renny mengolah guyonan Seno ini dengan main-main yang serba tanggung. Ia tidak serius bermain-main. Akibatnya, pengadeganan jadi kagok. Ada celetukan pelacur yang sarkastis dan menggelitik, tapi tiba-tiba Tumirah bangkit dengan pidato-pidato filosofis. Potongan adegan Tumirah diinterogasi intel, yang lucu dan ringan, yang dalam naskah digunakan Seno sebagai penutup pementasan, justru dipindah Renny ke bagian tengah. Seno ingin menutup pementasan dengan ringan, lucu. Tapi, di tangan Renny, penutupan jadi terlalu serius.

Tentu saja ”kesalahan” tidak bisa hanya dilimpahkan pada interpretasi Renny terhadap naskah. Di lain pihak, Seno sendiri tampak tidak mulus mengaduk ”keseriusan fakta” dan ”ketidakseriusan fiksi” dalam naskah teater, seperti yang—dengan apik—dilakukannya pada medium cerpen. Bagaimanapun, medium cerpen dan teater punya karakter yang berbeda. Dan Seno gagal menyiasati perbedaan ini.

Dalam hal kualitas pemain, pementasan ini tidak menunjukkan adanya aktor yang menonjol. Renny menjadi pusat pertunjukan, selain karena ia pemain utama, juga karena ia seolah memainkan dirinya sendiri. Vokal Renny yang kita temukan di panggung adalah vokal dirinya sehari-hari: cempreng, keras, dan menusuk. Ria Purbo, yang bermain sebagai pelacur bernama Lastri, berhasil membawakan peran dengan ringan. Yongki Dracula, yang memerankan intel, bisa dengan enteng mengocok perut penonton seperti dalam pentas Srimulat. Musik garapan Fariz R.M. mampu memberi aksentuasi adegan. Panggung garapan Roedjito, meski sederhana, bisa menunjang elemen estetis, terutama setelah digabung dengan permainan lampu dari depan dan belakang panggung.

Sebagai sebuah usaha berkesenian, apa yang dilakukan Renny dan kawan-kawan memang sudah lumayan. Tetapi akan lebih bagus lagi jika mereka bersedia untuk lebih serius bermain-main.***

A Musthafa A Rodhi Murtadho A Wahyu Kristianto A. Mustofa Bisri A. Qorib Hidayatullah A. Zakky Zulhazmi A.J. Susmana A.S. Laksana Aang Fatihul Islam Abdul Azis Sukarno Abdul Aziz Rasjid Abdul Hadi W. M. Abdul Kadir Ibrahim Abdul Malik Abdul Wachid BS Abdullah al-Mustofa Abdullah Khusairi Abdurrahman Wahid Abidah El Khalieqy Abimanyu Abimardha Kurniawan Abroorza A. Yusra Acep Iwan Saidi Acep Zamzam Noor Achmad Maulani Adek Alwi Adhi Pandoyo Adrian Ramdani Ady Amar Afrizal Malna Agnes Rita Sulistyawati Aguk Irawan Mn Agus R. Sarjono Agus Riadi Agus Subiyakto Agus Sulton Aguslia Hidayah Ahda Imran Ahm Soleh Ahmad Farid Tuasikal Ahmad Farid Yahya Ahmad Fatoni Ahmad Kekal Hamdani Ahmad Luthfi Ahmad Muchlish Amrin Ahmad Nurhasim Ahmad Sahidah Ahmad Syauqi Sumbawi Ahmad Yulden Erwin Ahmad Zaini Ahmadie Thaha Ahmadun Yosi Herfanda Ainur Rasyid AJ Susmana Ajip Rosidi Akhiriyati Sundari Akhmad Muhaimin Azzet Akhmad Sekhu Alan Woods Alex R. Nainggolan Alexander Aur Alexander G.B. Alfian Dippahatang Ali Audah Ali Rif’an Aliela Alimuddin Alit S. Rini Alunk Estohank Ami Herman Amich Alhumami Amien Wangsitalaja Aming Aminoedhin Aminudin TH Siregar Ammilya Rostika Sari An. Ismanto Anaz Andaru Ratnasari Andhi Setyo Wibowo Andhika Prayoga Andong Buku #3 Andrenaline Katarsis Andri Cahyadi Angela Anies Baswedan Anindita S Thayf Anjrah Lelono Broto Anton Kurnia Anton Sudibyo Anton Wahyudi Anwar Holid Anwar Siswadi Aprinus Salam Arie MP Tamba Arif Hidayat Arif Zulkifli Arti Bumi Intaran Asarpin Asep Sambodja Asvi Warman Adam Awalludin GD Mualif Ayu Utami Azyumardi Azra Babe Derwan Bagja Hidayat Balada Bandung Mawardi Bayu Agustari Adha Beni Setia Benni Setiawan Benny Benke Bentara Budaya Yogyakarta Berita Bernadette Lilia Nova Bernando J. Sujibto Berthold Damshäuser Bhakti Hariani Binhad Nurrohmat Bokor Hutasuhut Bonari Nabonenar Brunel University London Budaya Budhi Setyawan Budi Darma Budi Hutasuhut Budi P. Hatees Budi Winarto Buku Kritik Sastra Buldanul Khuri Bustan Basir Maras Camelia Mafaza Capres dan Cawapres 2019 Catatan Cecep Syamsul Hari Cerpen Chairil Anwar Chamim Kohari Choirul Rikzqa D. Dudu A.R D. Dudu AR D. Zawawi Imron Dahono Fitrianto Dahta Gautama Damanhuri Damar Juniarto Damhuri Muhammad Damiri Mahmud Dantje S Moeis Darju Prasetya Darma Putra Darman Moenir Darmanto Jatman Dedy Tri Riyadi Delvi Yandra Denny JA Denny Mizhar Dewi Anggraeni Dian Basuki Dian Hartati Dian Sukarno Dian Yanuardy Diana AV Sasa Dinar Rahayu Djenar Maesa Ayu Djoko Pitono Djoko Saryono Doddi Ahmad Fauji Dody Kristianto Donny Anggoro Donny Syofyan Dorothea Rosa Herliany Dwi Cipta Dwi Fitria Dwi Pranoto Dwi S. Wibowo Dwicipta Edeng Syamsul Ma’arif Edi Warsidi Edy Firmansyah EH Kartanegara Eka Alam Sari Eka Budianta Eka Kurniawan Eko Darmoko Ellyn Novellin Elnisya Mahendra Emha Ainun Nadjib Emil Amir Engkos Kosnadi Esai Esha Tegar Putra Evan Ys F. Budi Hardiman Fadly Rahman Fahmi Fahrudin Nasrulloh Faisal Kamandobat Fani Ayudea Fariz al-Nizar Faruk HT Fatah Anshori Fatah Yasin Noor Fatkhul Anas Fatkhul Aziz Felix K. Nesi Film Fitri Yani Franditya Utomo Fuska Sani Evani Gabriel Garcia Marquez Gandra Gupta Garna Raditya Gde Artawan Geger Riyanto Gendhotwukir George Soedarsono Esthu Gerakan Surah Buku (GSB) Goenawan Mohamad Grathia Pitaloka Gunawan Budi Susanto Gunawan Tri Atmojo H. Supriono Muslich H.B. Jassin Hadi Napster Halim H.D. Hamberan Syahbana Hamidah Abdurrachman Han Gagas Hardi Hamzah Haris del Hakim Haris Priyatna Hasan Aspahani Hasan Gauk Hasan Junus Hasnan Bachtiar Helvy Tiana Rosa Helwatin Najwa Hendra Junaedi Hendra Makmur Hendriyo Widi Ismanto Hepi Andi Bastoni Heri Latief Heri Listianto Herry Firyansyah Heru Untung Leksono Hikmat Darmawan Hilal Ahmad Hilyatul Auliya Holy Adib Hudan Hidayat Hudan Nur Husnun N Djuraid I Nyoman Suaka Ibnu Rizal Ibnu Rusydi Ibnu Wahyudi IGK Tribana Ignas Kleden Ignatius Haryanto Iksan Basoeky Ilenk Rembulan Ilham khoiri Imam Jazuli Imam Nawawi Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Iman Budi Santosa Imelda Imron Arlado Imron Tohari Indiar Manggara Indira Margareta Indra Darmawan Indra Tjahyadi Indra Tranggono Indrian Koto Ingki Rinaldi Insaf Albert Tarigan Intan Hs Isbedy Stiawan ZS Ismail Amin Ismi Wahid Ivan Haris Iwan Gunadi Jacob Sumardjo Jafar Fakhrurozi Jajang R Kawentar Janual Aidi Javed Paul Syatha Jean-Marie Gustave Le Clezio JJ. Kusni Joko Pinurbo Joko Sandur Joko Widodo Joni Ariadinata Jual Buku Paket Hemat Julika Hasanah Julizar Kasiri Jumari HS Junaidi Jusuf AN Kadir Ruslan Kartika Candra Kasnadi Katrin Bandel Kenedi Nurhan Ketut Yuliarsa KH. Ma'ruf Amin Khaerudin Khalil Zuhdy Lawna Kholilul Rohman Ahmad Komunitas Deo Gratias Komunitas Teater Sekolah Kabupaten Gresik (KOTA SEGER) Korrie Layun Rampan Krisandi Dewi Kritik Sastra Kucing Oren Kuswinarto Langgeng Widodo Lathifa Akmaliyah Latief S. Nugraha Leila S. Chudori Lenah Susianty Leon Agusta Lina Kelana Linda Sarmili Liston P. Siregar Liza Wahyuninto M Shoim Anwar M. Arman A.Z. M. Fadjroel Rachman M. Faizi M. Harya Ramdhoni M. Kasim M. Latief M. Wildan Habibi M. Yoesoef M.D. Atmaja Mahdi Idris Mahmud Jauhari Ali Mahwi Air Tawar Malkan Junaidi Maman S. Mahayana Mardi Luhung Marhalim Zaini Maria hartiningsih Maria Serenada Sinurat Mario F. Lawi Maroeli Simbolon S. Sn Marsus Banjarbarat Marwanto Mas Ruscitadewi Masdharmadji Mashuri Masriadi Mawar Kusuma Wulan Max Arifin Melani Budianta Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia Mezra E. Pellondou Micky Hidayat Mihar Harahap Misbahus Surur Moh Samsul Arifin Moh. Syafari Firdaus Mohamad Asrori Mulky Mohammad Afifuddin Mohammad Fadlul Rahman Muh Kholid A.S. Muh. Muhlisin Muhajir Arifin Muhamad Sulhanudin Muhammad Al-Fayyadl Muhammad Amin Muhammad Azka Fahriza Muhammad Rain Muhammad Subhan Muhammad Yasir Muhammad Zuriat Fadil Muhammadun A.S Muhidin M. Dahlan Musa Ismail Musfi Efrizal Mustafa Ismail Nafi’ah Al-Ma’rab Naskah Teater Nezar Patria Nina Setyawati Nirwan Ahmad Arsuka Nirwan Dewanto Noor H. Dee Noval Maliki Nunuy Nurhayati Nur Haryanto Nurani Soyomukti Nurel Javissyarqi Nurhadi BW Nurudin Octavio Paz Oliviaks Orasi Budaya Akhir Tahun 2018 Pablo Neruda Pamusuk Eneste Panda MT Siallagan Pandu Jakasurya PDS H.B. Jassin Philipus Parera Pradewi Tri Chatami Pramoedya Ananta Toer Pramono Pranita Dewi Pringadi AS Prosa Puisi Puisi Menolak Korupsi PuJa Puji Santosa Puput Amiranti N Purnawan Andra PUstaka puJAngga Putri Utami Putu Fajar Arcana Putu Wijaya Qaris Tajudin R Sutandya Yudha Khaidar R. Sugiarti R. Timur Budi Raja R.N. Bayu Aji Rachmad Djoko Pradopo Radhar Panca Dahana Rahmadi Usman Rahmat Sudirman Rahmat Sularso Nh Rahmat Sutandya Yudhanto Raihul Fadjri Rainer Maria Rilke Raja Ali Haji Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Raudal Tanjung Banua Reiny Dwinanda Remy Sylado Resensi Revolusi Riadi Ngasiran Ribut Wijoto Ridha al Qadri Ridwan Munawwar Rikobidik Riri Riris K. Toha-Sarumpaet Risang Anom Pujayanto Rizky Andriati Pohan Robert Frost Robin Al Kautsar Robin Dos Santos Soares Rodli TL Rofiqi Hasan Rohman Budijanto Romi Febriyanto Saputro Rosihan Anwar RR Miranda Rudy Policarpus Rukardi S Yoga S. Jai S.I. Poeradisastra S.W. Teofani Sabam Siagian Sabrank Suparno Saiful Amin Ghofur Sainul Hermawan Sajak Sakinah Annisa Mariz Salamet Wahedi Salman Rusydie Anwar Samsudin Adlawi Sapardi Djoko Damono Sartika Dian Nuraini Sastra Sastra Gerilyawan Sastri Sunarti Satmoko Budi Santoso Saut Situmorang Sejarah Sekolah Literasi Gratis (SLG) SelaSastra SelaSastra ke #24 Selasih Seno Gumira Ajidarma Seno Joko Suyono Sergi Sutanto Shadiqin Sudirman Shiny.ane el’poesya Sidik Nugroho Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Simo Sungelebak Karanggeneng Lamongan Siti Sa’adah Sitok Srengenge Siwi Dwi Saputro Sjifa Amori Sofyan RH. Zaid Soni Farid Maulana Sony Prasetyotomo Sosiawan Leak Sri Wintala Achmad Sri Wulan Rujiati Mulyadi Subhan SD Suci Ayu Latifah Sulaiman Djaya Sulistiyo Suparno Sunaryo Broto Sunaryono Basuki Ks Sungatno Sunlie Thomas Alexander Sunudyantoro Suriali Andi Kustomo Suryadi Suryansyah Suryanto Sastroatmodjo Susi Ivvaty Susianna Susilowati Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Suwardi Endraswara Syaifuddin Gani Syaiful Bahri Syam Sdp Syarif Hidayatullah Tajuddin Noor Ganie Tammalele Tan Malaka Taufik Ikram Jamil Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat Teguh Trianton Tengsoe Tjahjono Th Pudjo Widijanto Thayeb Loh Angen Theresia Purbandini Tia Setiadi Tito Sianipar Tiya Hapitiawati Tjahjono Widarmanto Tjahjono Widijanto Toko Buku Murah PUstaka puJAngga Tosa Poetra Tri Joko Susilo Triyanto Triwikromo Tu-ngang Iskandar Udo Z. Karzi Uly Giznawati Umar Fauzi Umar Kayam Undri Uniawati Universitas Indonesia UU Hamidy Vyan Tashwirul Afkar W Haryanto W.S. Rendra Wahyudin Wannofri Samry Warung Boenga Ketjil Waskiti G Sasongko Wawan Eko Yulianto Wawancara Web Warouw Wijang Wharek Wiko Antoni Wina Bojonegoro Wira Apri Pratiwi Wiratmo Soekito Wishnubroto Widarso Wiwik Hastuti Wiwik Hidayati Wong Wing King WS Rendra Xu Xi (Sussy Komala) Y. Thendra BP Y. Wibowo Yani Arifin Sholikin Yesi Devisa Yohanes Sehandi Yona Primadesi Yosi M. Giri Yusi Avianto Pareanom Yusri Fajar Yusrizal KW Yuval Noah Harari Yuyu AN Krisna Zaki Zubaidi Zalfeni Wimra Zawawi Se Zehan Zareez Zen Hae Zhaenal Fanani Zuarman Ahmad Zulfikar Akbar Zulhasril Nasir