Sabtu, 28 Maret 2009

Pergolakan PRRI dalam Cerpen

Damhuri Muhammad*
http://cetak.kompas.com/

”Saya hadir dalam pertemuan Dewan Banteng di Bukittinggi (1956). Malam itu telah mengubah wajah Sumatera Tengah, dan menyeretnya ke suatu medan laga mengerikan,” begitu pengakuan Soewardi Idris (1930-2004), satu-satunya jurnalis yang menyaksikan pertemuan rahasia tokoh-tokoh PRRI.

Setelah itu Soewardi bergabung dengan PRRI, tiga tahun masuk-keluar hutan hingga akhirnya ”turun gunung” setelah mendapat amnesti dari pemerintah. Soewardi bukan ”pembangkang” biasa. Ia wartawan, juga sastrawan—bukan tentara atau bekas tentara seperti pemberontak lainnya. Setelah lelah bergerilya, ia menukilkan asam- garamnya perjuangan PRRI melawan pemerintah pusat, tulisan-tulisan itu digarapnya menjadi karya sastra. Soewardi telah menulis novel Dari Puncak Bukit Talang (1964), dan dua antologi cerpen; Di Luar Dugaan (1964) dan Istri Seorang Sahabat (1964). Dua buku terakhir, baru-baru ini diterbitulangkan oleh penerbit Beranda (Yogyakarta, 2008) dengan tajuk Antologi Cerpen Pergolakan (senarai kisah pemberontakan PRRI).

Menurut kritikus HB Jassin (1985), cerita tentang pemberontakan PRRI yang meletus pada 1958 itu tidak banyak karena para pengarang menganggap pemberontakan itu kurang menarik, dianggap tabu. Karena itu, mereka takut membicarakannya. Beberapa cerpen karya A Bastari Amin memang menyinggung soal ini, juga sajak-sajak Mansur Samin, tapi hanya Soewardi Idris yang keseluruhan karyanya mengambil tema pemberontakan PRRI. Itu sebabnya, Wisran Hadi (2008) hendak menyejajarkan kepengarangan Soewardi dengan AA Navis, khususnya dalam pilihan tematik, pergolakan daerah. Lagi pula, keduanya sama-sama berasal dari Sumbar dan masa kekaryaan mereka berada pada kurun yang sama.

Sisi menarik dari Soewardi adalah ketertarikannya yang begitu intens pada moralitas para pejuang PRRI, menjelang kegagalan gerakan itu. Semacam sisi lain dari individu-individu pemberontak yang tidak tercatat di buku-buku sejarah. Ia tidak membincang sebab-musabab pemberontakan itu, tapi menukik untuk sedalam-dalamnya mengeksplorasi situasi mental para pejuang akibat perang saudara itu. Ia seperti hendak menakar berapa banyak istri yang telah menjanda lantaran suaminya tewas, berapa banyak anak-anak yang telah yatim lantaran bapaknya terbunuh, berapa banyak orangtua yang telah kehilangan anak lantaran terlibat dalam pergolakan. Karya-karya Soewardi banyak memaklumatkan ”mudarat” ketimbang ”maslahat” dari pergolakan itu. Kalah jadi arang, menang jadi abu.

Strategi literernya jauh dari pengisahan yang dramatik dan heroik sebagaimana teks-teks sastra yang menggambarkan kemelut perang. Ia pencerita yang memang sedang memikul, namun serasa tiada berbeban, karena kuatnya sense of humor dalam cerita-ceritanya. Cerpen ”Di Luar Dugaan” dapat mencontohkan keterampilan artistik yang unik dari cerpenis ini. Dikisahkan seorang pejuang PRRI yang mencegat kendaraan umum yang melintas di sekitar persembunyian mereka. Begitu bis berhenti, mereka mengepung, menurunkan semua penumpang, melucuti pakaian, merampas benda-benda berharga. Ini mereka lakukan karena penduduk setempat tidak sanggup lagi menyuplai logistik, sementara perlawanan tak boleh padam.

Dalam kekalutan itu, Hadi (tokoh rekaan) berhadapan dengan seorang wanita yang sudah dilucuti pakaiannya. Ia berusaha membela diri dengan mengatakan bahwa kakak iparnya juga sedang berada di hutan, bergabung dengan PRRI. Hadi mengurungkan niat ”menggarap” wanita itu setelah ia mengaku bahwa kakak iparnya itu bernama Hadi, asal Solok. Hadi gugup. Ia nyaris ”menggagahi” perempuan yang tak lain adalah istri adik kandungnya. Inilah yang dimaksud dengan ”kemudaratan” akibat pergolakan PRRI yang ditakar oleh Soewardi. Orang-orang yang semula teguh berpegang pada idealisme perlawanan, saat terdesak dan terkepung oleh APRI, bisa menghalalkan segala cara dan tak segan-segan memerkosa gadis-gadis kampung di wilayah yang ”konon” sedang mereka perjuangkan.

Akibat terlalu berani menyingkap mentalitas bobrok para pejuang PRRI, buku-buku Soewardi ditarik dari peredaran, master cetaknya dimusnahkan. Itu tidak datang dari pemerintah, tapi dari sejumlah mantan pejuang PRRI yang merasa dipermalukan. Tentang pemberangusan ini AA Navis menulis ”Tingkah Laku Bangsa Kita Mengganggu Penciptaan” (Kompas, 14/7/1981). Sejarahwan Taufik Abdullah juga mencatat, pada pertengahan dekade 1950- an, Soewardi pernah diadili secara in absentia oleh sejumlah sastrawan Yogyakarta karena karya-karyanya dianggap terlalu ”terbuka”. Terbuka di sini tentu saja ”jujur” atau dalam cemoohan khas Minang; ”lurus-tabung”.

Sebaliknya, cerpen ”Isteri Seorang Sahabat” (1964) memperlihatkan etos kesetiakawanan antarsesama pemberontak dalam keadaan terdesak sekalipun. Berkisah tentang Aku yang tercampak sebagai pecundang, gagal dalam perjuangannya, juga kehilangan istri. Karena tak kunjung pulang, Tini (istri tokoh Aku) menganggap suaminya sudah gugur, ia menikah dengan lelaki lain, lalu merantau ke Jawa. Sementara itu, Aku yang dengan mata kepala sendiri menyaksikan Martunus, teman seperjuangannya, ditembak mati oleh APRI, berusaha menutup-nutupi kabar kematian itu pada Nani (istri Martunus). Ia bahkan berpura-pura menyerahkan titipan uang dari Martunus untuk Nani, padahal uang itu dari kantongnya sendiri agar Nani teryakinkan bahwa suaminya benar-benar masih hidup. Namun, dari seseorang Nani beroleh kabar bahwa Martunus sudah tiada. Tapi kesedihannya berangsur-angsur hilang karena sejawat Martunus itu memberikan perhatian penuh kepada Nani, juga kepada anaknya. Nani ingin lelaki itu menggantikan posisi Martunus. Berkali-kali Nani bermohon, berkali-kali pula ia menolak ajakan menikah. Bukan karena tidak mencintai Nani, tapi karena ia tidak akan pernah mengkhianati sahabat karibnya sesama pejuang PRRI, Martunus.

Cerpen tentu bukan fakta sejarah dan mustahil menjadi buku sejarah. Bila sejarah mengacu pada kepastian epistemologis (benar-salah, terjadi-tidak terjadi), sastra berkiblat pada pencapaian kualitas estetik yang tak perlu diverifikasi keabsahannya. Meski cerpen-cerpen Soewardi memuat sejumlah fakta keras tentang ”sisi lain” pergolakan PRRI yang latar belakang dan tendensi politisnya masih diperdebatkan, itu hanya satu sudut pandang yang berbeda, yang lebih unik ketimbang perspektif sejarah yang dibebani kaidah keilmiahan, juga tendensi politis tertentu. Soewardi, lewat karya-karyanya, dengan cara yang bersahaja, memberikan warna baru pada konsep historiografi perihal sejarah PRRI agar tidak menjadi fakta yang baku dan beku, dan tidak disepakati secara tergesa.

*) Cerpenis, Bermukim di Pinggiran Jakarta

Jumat, 27 Maret 2009

TEROR

AS. Sumbawi
 
Dua puluh tahun yang lalu, aku dilahirkan oleh seorang yang kukenal sebagai ibu. Ibuku seorang perempuan. Akan tetapi, hingga saat ini, belum pernah terjadi percakapan tentang seorang perempuan di antara kami. Padahal, aku sudah bukan kanak-kanak lagi, melainkan seorang laki-laki. Barangkali karena tinggal jauh dari rumah, aku jadi jarang bertemu dan berbicara dengannya. Hanya sekali dalam sebulan, dan itupun lewat telepon.

Sabtu, 21 Maret 2009

Menuju Pulang

Indrian Koto
http://www.kendaripos.co.id/

Semakin jauh kau diseret perjalanan, semakin besar debar yang menimpamu. Matamu berpacu dengan laju. Di luar, dari kaca bis yang separuhnya dibiarkan terbuka --angin dan debu menerpa wajah dan kulitmu, menerbangkan anak-anak rambutmu-- kau melihat segalanya begitu baru. Pohon-pohon manis yang tampak rindang, kampung-kampung santun dengan penghuninya yang anggun, petak-petak sawah dan gunung, rumah-rumah yang dipisahkan badan jalan, jalanan mendaki dan tikungan tajam. Setiap melewatinya, setiap kali itu pula kau ingin mengulang dari awal. Lagi dan lagi.

Semakin jauh, semakin kau terseret warna baru. Segala yang tampak menjadi begitu akrab bagimu. Jalan kecil dan sempit, tikungan dan belokan, bukit dan jurang dalam, kampung, hamparan padang, sungai jernih dengan batu-batunya yang hitam-tajam, jembatan kayu, sawah dan taratak, pondok dan bukit yang terkungkung kabut putih. Kau merasa begitu mengakrabinya, begitu mengenalnya. Setiap tempat yang rasanya begitu manis kau rasa sebagai akhir perjalanan. Kau merasa semakin terikat di tempat ini.

Bis tetap melaju, matamu semakin kuat menyapu. Selalu ada yang indah, selalu ada yang mendebarkan.

Setiap itu pula, kau ingin seseorang yang ada di sampingmu terbangun dan berteriak pada sopir, ''Kiri, Pir. Kiri!'' sebagaimana teriakan penumpang yang hendak turun. Tapi tidak. Tempat-tempat yang kau rasa sebagai puncak perjalanan ini belum juga tiba. Kau berdebar, di tanah mana kiranya bis ini akan berhenti, pintu yang mana pula kiranya nanti akan kalian masuki? Setiap pintu, kau lihat, selalu terbuka. Seperti menampung siapa saja dan mempersilahkan dirimu masuk dan tenggelam di dalamnya.

Kau tak berani bertanya. Kau tak berani mengusik debar hatimu. Dia seolah ikut membiarkan dirimu larut dalam debar semacam itu.

Setiap simpang, setiap belokan kau harap sebagai pemberhentian terakhir. Bagian lain hatimu tetap penasaran, setelah ini, di balik jalan ini, tersimpan kejutan apalagi? Adakah yang baru setelah ini? Uuh, perjalanan yang baru, selalu menyisakan debar dan kau yakin, kau tak akan begitu saja bisa melupakannya. Di tanah ini, segalanya serupa pekasih, serupa mantra yang membuatmu selalu merindukan apa pun, mengenang apa pun, dan mengajakmu selalu ingin pulang.

Kau melirik ke bangku di sampingmu. Dia masih tetap terpejam. Kau berpikir, jangan-jangan perjalanan ini seharusnya sudah selesai dari tadi. Di sebuah tempat yang tadi kau rasa begitu akrab, seharusnya di sanalah kalian turun. Tapi, melihat ketenangan di wajahnya, kau meragukan itu semua. Sebagaimana dia bilang, ''Ingatan tak bisa ditipu. Aku akan tahu di mana kita nanti berhenti tanpa perlu diingatkan. Dari aromanya aku tahu, sedang berada di kampung mana.'' Dan kau yakin, dia tidak akan bisa ditipu rasa kantuk dan melewati halaman rumahnya begitu saja.

Tetapi bagaimana kalau seandainya benar-benar dia tertidur dan lupa akan tempat di mana seharusnya kalian berhenti? Dan itu bisa saja terjadi mengingat begitu lamanya ia tak lagi menjejak tanah ini.

Seperti membaca pikiranmu, ia menggeliat bangun. Membuka mata dan menatapmu. ''Sampai di mana ini?''

Kau mengangkat bahu. Bagaimana kau tahu ini di mana, karena segala tempat benar-benar asing bagimu. Kau tak tahu bis sedang menuju ke mana. Kau tak sepenuhnya mengerti arah, meskipun kau tahu bis ini pasti mengarah ke Selatan. Tapi kau tak tahu di mana Taratak, di nama Lansano, di mana Surantih. Dan, sekarang, di antara laju kendara, kau tak tahu tempat apa yang sedang kalian lewati ini. Tak ada petunjuk yang mampu membuatmu paham ujung perjalanan. Satu-dua tempat memang memiliki papan mana yang kecil dan kelabu. Kau tak bisa menjadikannya sebagai petunjuk. Kalaupun terbaca Tarusan, Pasar Baru, Salido atau Painan, kau tak tahu itu ada di mana. Dan Lansano entah berada di titik sebelah mana pula pada bagian jalan ini.

''Ngantuk? Tidurlah.'' Katanya setelah sesaat melirik ke luar jendela. Setelah itu ia meluruskan duduknya. Dari sikapnya, kau tahu, dalam sekejap dia sudah mengenali daerah yang sedang kalian lewati.
Kau mengurungkan pertanyaan, ''masih jauh?'' Kau tak ingin debarmu berhenti sampai di sini.

''Bagaimana perjalanannya? Cukup melelahkan bukan?''

Kau menanggapi dengan senyum. Kau melirik wajahnya yang seketika tampak cerah. Rasanya ia jauh lebih muda dari usianya yang sebenarnya.

Kau merasa cemburu padanya. Dirinya seperti dilemparkan jauh ke masa remaja. Kau merasakannya sejak kalian meninggalkan terminal bayangan siang tadi. ''Bagaimana mungkin sebuah kota tidak memiliki terminal?'' Kau meledeknya tadi ketika kalian diseret-seret calo angkutan. Tapi dia tak terusik sama sekali.

Di bis, dia melupakan panasnya kota. Kaca bis yang dibiarkan terbuka tak cukup membuat tubuh kalian berhenti dari keringat. Tetapi dia, di antara hujan keringat masih saja bisa bercerita dengan riang, tentang perjalanan yang nanti akan kalian lewati; laut, gunung, kampung, sawah, gunung, laut, kampung, sawah gunung... Dia sama sekali tidak terusik dengan penjual bengkoang, ia seperti melupakan pedangang keripik balado, pengamen dan peminta-minta.

Suaranya tenggelam bersama dentuman musik yang diputar dengan keras dan mesin bis yang digas dengan kencang. ''Beginilah cara mereka memaksa penumpang naik. Padahal mereka baru akan jalan kalau bis ini penuh.'' Katanya, ''Sejak terminal kami dipindah dan diganti plaza, sejak itu pula kami kehilangan sesuatu yang berharga.''

''Kota tanpa terminal,'' katamu, ''semakin memperlihatkan identitas kota ini; keras, kasar, dan kurang disiplin.''

Dia hanya tertawa. ''Sehabis ini, kau akan melihat laut dan semata-mata laut. Kemarahanmu akan digantikan rasa kagum.''

Kau tak bisa menebak apa yang ada di kepalanya saat ini. Sebuah pulang, tentu memiliki hasrat yang tersembunyi. Tapi setidaknya dia benar, sepanjang jalan kau diusik pemandangan di luar jendela yang tak pernah kau temukan sebelumnya; jalan membentang di pinggir laut, teluk yang serupa danau, di mana ombak hanya riak kecil di celah batu. Tikungan, jurang terjal yang membuatmu merinding. Di bawah semata laut, batang kelapa, perahu nelayan, dan bis yang berselisih di jalan sempit.

Kau merasa begitu cemburu padanya. Mencemburui kepulangannya. Meskipun kau beserta, tapi kau ragu, apakah kau akan tetap muncul di antara bayang-bayang kampung halamannya? Ia sering menceritakan kampungnya padamu, tempat ia dilahirkan tumbuh dan dibesarkan. Tempat ia mengenal banyak perempuan.

Sebuah pulang, kau merasa seperti mengumpulkan serpih kenangan.

''Kenapa? Berdebar ya?'' Dia bertanya sambil tertawa.
''Aku tidak bisa membayangkan suasananya.''

Dia tergelak. ''Tentu saja kau akan jadi pusat perhatian. Bukan hanya karena kamu perempuan yang cantik. Orang baru akan disambut berlebihan.''

Ah, dia tak pernah tahu apa yang ada di pikiranmu. Dia tidak akan pernah tahu. Kepulangan yang tanggung. Ini lebih dari kerinduanmu pada sebuah tempat asing dan jauh. Lebih dari sebuah keinginan untuk bertamu.

''Kenapa melamun?''

Kau tersenyum. ''Ya. Aku cemburu padamu. Pada kepulanganmu. Kerinduanmu pada masa lalu akan segera terobati.''

Dia menatapmu tak mengerti.

''Kau masih memiliki tempat untuk pulang. Tempat di mana kau tak hanya bertemu ayah-ibu dan menumpahkan rindu pada rumah. Kau masih memiliki tempat mengeja silsilah. Di tanahmu, bisa kau temukan jejak leluhur. Tempat yang masih bisa kau ziarahi berkali-kali.'' Ucapanmu terdengar begitu pilu.

Dia mengusap rambutmu. ''Tak mesti begitu. Banyak yang punya kampung halaman tapi tak berniat menengoknya. Dan aku juga tidak sedang pulang. Bukankah kita hanya sekadar singgah?''

Kau diam.

''Setidaknya kini kau punya alamat baru yang tak hanya sekadar kau hapal di kepala. Kau boleh merindukannya, mendatanginya dan menjadikannya rumah baru. Bayangkanlah kau menuju pulang, menuju rumahmu, menuju kampung leluhur.''

Dia mengambil tanganmu, meremasnya dengan lembut. ''Aku pernah bilang bukan, nanti setelah kita menikah, ketika hidup kita lebih baik, kita akan menyusuri kampung halamanmu. Mengenali seluruh riwayat yang barangkali masih sisa.''

''Sudah tak ada yang sisa.'' Ucapmu, nyaris tersedu. ''Aku ingin menyalahkan Bapak yang tak berniat mengenalkan aku pada kampung halaman. Setelah aku besar dan ingin menyusuri garis keturunan, segalanya sudah tak ada. Hanya puing dan bangunan asing tertanam di sana. Tak ada makam leluhur lagi.''

Dia mendesah. ''Kepulangan ini, semoga --dan itu harapanku-- bisa mengenalkanmu pada kampung baru. Setidaknya kelak bagi anak-anak kita. Mereka akan belajar mengarang dan menulis cerita ''Berlibur ke Desa'', atau ''Berlibur ke Rumah Nenek''.

Kau tersenyum lalu menyandarkan kepala di bahunya.

''Aku berdebar, sayang,'' bisikmu di antara berisik lagu-lagu Melayu dari tape bis yang menderu kencang.

''Aku juga. Aku berpikir tentang banyak hal. Rumah, keluarga, kawan-kawan...''

''Masa lalumu, juga?''

Dia tersenyum. ''Tentu saja. Aku merindukan semuanya.''

Kau mendesah pendek. Jujur, tiba-tiba kau merasa iri. Kepulangannya adalah semacam balas dendam untuk sekian tahunnya yang hilang. Tentu akan disusurinya banyak hal sekaligus. Peristiwa-peristiwa yang berserak di mana pun nanti dia menginjak tanah. Ia punya tanah kelahiran, kampung leluhur, tentu dia memiliki banyak peristiwa yang bersisa di sana.

Dan dia, aduh, tidakkah para gadis yang sering dibicarakan padamu dulu akan ia temui pula kini. Gadis kampungnya sendiri, tetangga rumah yang manis. Mengajarkannya rindu dan berharap. Kalaupun mereka sudah berkeluarga tentu saja kesempatan bertemu itu besar. Bukan tak mungkin peristiwa-peristiwa manis akan berjatuhan satu-satu, merangkai kisahnya sendiri.

Kau mengingat beberapa nama yang sering dibicarakannya. Maria, Yuni dn Inof. Bagaimanakah reaksi mereka atas kepulangan kalian ini? Ah, ah, kau tak bisa menebak apa pun kini. Segalanya begitu penuh. Segalanya terasa penuh. Membuat debar jantungmu semakin kencang. Pulang, setelah hampir dua tahun pernikahan kalian. Sebuah pulang yang entah bisa disebut apa.

Apa yang akan pertama kau lakukan? Kau kembali teringat roman-roman lama. Roman-roman yang sesekali kalian tertawakan. Entahlah, kali ini segalanya memenuhi perutmu, serupa bayi yang bersembunyi di baliknya.

Dulu, kalian pernah merencanakan sebuah pulang untuk bulan madu. Singgah di kampungnya selanjutnya menyusuri sisa riwayat keluargamu di ujung pulau. Tetapi kau sudah tak berniat melanjutkan rencana itu. ''Sudah tak ada yang sisa. Kampung-kampung baru bermunculan menghapus riwayat lama.''

Tetapi demikianlah. Kalian akhirnya memutuskan untuk pulang ke kampungnya. Sebuah pulang yang kalian rancang begitu lama. Kau mengenal keluarganya dari cerita yang mengalir dari mulutnya. Dan kini, pada kepulangan ini, dadamu berdegup kencang, bagaimana reaksi keluarganya? Dan kalian sepakat untuk tidak mempercakapkan hal ini. Kalian telah menghabiskan banyak waktu membahasnya.

Dia menyikut bahumu. ''Hampir sampai,'' bisiknya padamu. ''Pir, kiri. Pir! Kiri!!'' Dia berteriak lantang.

Bis menepi, bergerak pelan, kau berdebar lebih kencang. (*)

Yogya, Mei 2008

Jumat, 20 Maret 2009

Suap

Putu Wijaya
http://putuwijaya.wordpress.com/

Seorang tamu datang ke rumah saya. Tanpa mengenalkan dirinya, dia menyatakan keinginannya untuk menyuap. Dia minta agar di dalam lomba lukis internasional, peserta yang mewakili daerahnya dimenangkan.

“Seniman yang mewakili kawasan kami itu sangat berbakat.”katanya memujikan, “keluarganya memang turun-temurun adalah pelukis kebangaan wilayah kami. Kakeknya dulu adalah pelukis kerajaan yang melukis semua anggota keluarga raja. Sekarang dia bekerja sebagai opas di kantor Gubernuran, tetapi pekerjaan utamanya adalah melukis. Kalau dia menang, seluruh dunia akan menolehkan matanya ke tempat kami yang sedang mengalami musibah kelaparan dan kemiskinan, karena pusat lebih sibuk mengurus soal-soal politik daripada soal-soal kesejahteraan. Dua juta orang yang terancam kebutaan, tbc, mati muda, akan terselamatkan. Saya harap Anda sebagai manusia yang masih memiliki rasa belas kasihan kepada sesama, memahami amanat ini. Ini adalah perjuangan hak azasi yang suci.”

Saya langsung pasang kuda-kuda.

“Maaf, tidak bisa. Tidak mungkin sama sekali. Juri tidak akan menjatuhkan pilihan berdasarkan kemanusiaan, tetapi berdasarkan apakah sebuah karya seni itu bagus atau tidak.”

“Tapi bukankah karya yang bagus itu adalah karya yang membela kemanusiaan dan bermanfaat bagi manusia?”

“Betul. Tapi meskipun membela kemanusiaan, tetapi kalau tidak dipersembahkan dengan bagus, atau ada yang lebih bagus, di dalam sebuah kompetisi yang adil, yang kurang bagus tetap tidak akan bisa menang.”

Orang yang mau menyuap itu tersenyum.

“Bapak mengatakan itu, sebab kami tidak menjanjikan apa-apa?”

“Sama sekali tidak!”

“Ya!”

Lalu dia mengulurkan sebuah cek kosong yang sudah ditanda-tangani. Saya langsung merasa tertantang dan terhina. Tetapi entah kenapa saya diam saja. Kilatan cek itu membuat darah saya beku.

“Kalau wakil kami menang, Bapak boleh menuliskan angka berapa pun di atas cek kontan ini dan langsung menguangkannya kapan saja di bank yang terpercaya ini.”

Saya bergetar. Itu sebuah tawaran yang membuat syok.

“Kalau ragu-ragu silakan menelpon ke bank bersangkutan, tanyakan apakah ada dana di belakang rekening ini, kalau Anda masih was-was. Kami mengerti kalau Anda tidak percaya kepada kami. Zaman sekarang memang banyak penipuan bank”

Saya memang tidak percaya. Tapi saya tidak ingin memperlihatkannya.

“Anda tidak percaya kepada kami?”

“Bukan begitu.”

“Jadi bagaimana? Apa Anda lebih suka kami datang dengan uang tunai? Boleh. Begitu? Berapa yang Anda mau?”

Saya tak menjawab.

“Satu milyar? Dua milyar? Lima milyar?”

Saya terkejut. Bangsat. Dia seperti sudah menebak pikiran saya.

“Kita transparan saja.”

Saya gelagapan. Apalagi kemudian dia mengeluarkan sebuah amplop. Nampak besar dan padat.

“Kami tidak siap dengan uang tunai sebanyak itu. Tapi kebetulan kami membawa sejumlah uang kecil yang akan kami pakai sebagai uang muka pembelian mobil. Silakan ambil ini sebagai tanda jadi, untuk menunjukkan bahwa kami serius memperjuangkan kemanusiaan.”

Dia mengulurkan uang itu. Kalau pada waktu itu ada wartawan yang menjepret, saya sudah pasti akan diseret oleh KPK, lalu diberi seragam koruptor. Saya tak berani bergerak, walau pun perasaan ingin tahu saya menggebu-gebu, berapa kira-kira uang di dalam amplop itu.

“Silakan.”

Tiba-tiba saya batuk. Itu reaksi yang paling gampang kalau sedang kebingungan. Tetapi batuk saya yang tak sengaja itu sudah berarti lain pada tamu itu. Dia merasa itu sebagai semacam penolakan. Dia merogoh lagi tasnya, lalu mengeluarkan sebuah amplop yang lain.

“Maaf, bukan saya tidak menghargai Anda, tapi kami memang tidak biasa membawa uang tunai. Kalau ini kurang, sore ini juga kami akan datang lagi. Asal saya mendapat satu tanda tangan saja sebagai bukti untuk saya laporkan. Atau Anda lebih suka menelpon, saya hubungkan sekarang.”

Cepat sekali dia mengeluarkan HP dan menekan nomor-nomor sebelum saya sempat mencegah.

“Hallo, hallo …… .”

Saya memberi isyarat untuk menolak. Tapi orang itu terlalu sibuk, mungkin sengaja tidak mau memberi saya kesempatan. Waktu itu anak saya yang baru berusia 4 tahun berlari dari dalam. Dia memeluk saya. Saya cepat menangkapnya. Tapi sebelum tertangkap, anak itu mengubah tujuannya. Dia mengelak dan kemudian mengambil kedua amplop yang menggeletak di atas meja.

“Ade, jangan!”

Tapi amplop itu sudah dilarikan keluar.

“Adeee jangan!”

Saya bangkit lalu mengejar anak saya yang ngibrit ke halaman membawa umpan sogokan itu.. Merasa dikejar anak saya berlari. menyelamatkan diri.

“Ade jangan!”

Anak saya terus kabur melewati rumah tetangga. Para tetangga ketawa melihat saya berkejar-kejaran dengan anak. Mereka mungkin menyangka itu permaianan biasa.

“Ade jangan itu punya Oom!”

Terlambat. Anak saya melemparkan kedua amplop itu ke dalam kolam. Kedua-duanya. Ketika saya tangkap, dia diam saja. Matanya melotot menentang mata saya. Seakan-akan dia marah, karena bapaknya sudah mengkhianati hati nurani. Padahal saya sama sekali tidak bermaksud menerima suapan itu. Saya hanya memerlukan waktu dalam menolak. Saya kan belum berpengalaman disuap. Apalagi menolak suap. Itu memerlukan keberanian mental. Baik menerima mau pun menolaknya.

Kedua amplop itu langsung tenggelam. Sudah jelas sekali bagaimana beratnya. Perasaan saya rontok. Dengan menghilangkan akal sehat saya lepaskan anak saya, lalu terjun ke kolam. Dengan kalap saya gapai-gapai. Tapi kedua amplop itu itu tak terjamah.

Pata tetangga muncul dan bertanya-tanya. Heran melihat saya yang biasa jijik pada kolam yang sering dipakai tempat buang hajat besar itu, sekarang justru menjadi tempat saya berenang. Bukan hanya berenang, saya juga menyelam untuk menggapai-gapai. Tidak peduli ada bangkai ayam dan kotoran manusia, mplop itu harus ditemukan.

Dengan berapi-api saya terus mencari. Kalau kedua amplop itu lenyap, berarti saya sudah makan suap. Hampir setengah jam saya menggapai-gapai menyelusuri setiap lekuk dasar kolam.Tak seorang pun yang menolong. Semua hanya memperhatikan kelakuan saya. Saya juga tidak bisa menjelaskan, bahaya. Hari gini, siapa yang tidak perlu uang?

Ketika istri saya muncul dan berteriak memanggil baru saya berhenti.

“Bang! Tamunya mau pulang!”

Cemas, gemas dan kecewa saya keluar dari kolam. Badan saya penuh lumpur. Di kepala saya ada tahi. Orang-orang melihat kepada saya dengan jiiiiiiiigik bercampur geli. Istri saya bengong. Tapi saya tidak peduli. Anak saya hanya ketawa melihat bapaknya begitu konyol.

“Eling Dik, eling,” kata seorang tetangga tua sebab menyangka saya kemasukan setan.

“Abang kenapa sih?” tanya istri saya galak dan penuh malu.

Saya tidak berani menjawab terus-terang. Kalau saya katakan anak saya melemparkan dua amplop uang, semuanya akan terjun seperti saya tadi untuk mencari. Ya kalau dikembalikan. Kalau tidak? Mereka yang akan kaya dan saya yang masuk penjara.

Untuk menghindarkan kemalangan yang lain, saya hanya menggeleng.

Diinjak pikiran kacau saya pulang. Tapi tamu itu sudah kabur. Tak ada bekasnya sama sekali. Seakan-akan ia memang tidak pernah datang. Sampai sekarang pun ia tidak pernah muncul lagi.

Saya termenung. Apa pun yang saya lakukan sekarang, saya sudah basah. Tak menolak dengan tegas, berarti saya sudah menerima. Ketidakmampuan saya untuk tidak segera menolak, karena kurang pengalaman, tak akan dipercaya. Siapa yang akan peduli. Masyarakat sedang senang-senangnya melihat pemakan suap digebuk. Kalau bisa mereka mau langsung ditembak mati tanpa diadili lagi.

Dan kenapa saya terlalu lama bego. Melongo adalah pertanda bahwa saya diam-diam punya keinginan menerima. Aduh malunya. Tapi coba, siapa yang tidak ingin ketimpa rezeki nomplok. Orang kecil memang selalu tidak beruntung. Sedekah ikhlas pun sering difitnah sebagai suap. Seakan-akan orang kecil memang paling tidak mampu melawan naswibnya. Sementara pada orang gedean sudah jelas sogokan masih diposisikan semacam tanda kasih.

“Sudah jangan kayak orang bego, cepetan madi dulu, bau!” bentak istri saya.

Saya terpaksa cepat-cepat masuk ke kamar mandi. Setelah telanjang dan mengguyur badan, baru saya sadari betapa kotor dan busuknya saya. Berkali-kali saya keramas dan membarut tubuh dengan sabun, tapi bau kotoran itu seperti sudah masuk ke dalam daging.

“Cepat mandinya, bungkusannya sudah ketemu!” teriak istri saya sambil menggendor pintu.

Darah saya tersirap. Hanya dengan menyelempangkan handuk menutupi aurat, saya keluar.

“Mana?”

Seorang anak tetangga, teman main anak saya mengacungkan kedua amplop itu. Badannya kuyup penuh kotoran. Rupanya dia nekat terjun meneruskan misi saya yang gagal karena dia tidak rela Ade saya strap.

“Terimakasih!” kata saya menyambut kedua amplop itu, sambil kemudian memberikan uang untuk persen.

“Limapuluh ribu?” teriak istri saya memprotes.

Lalu ia mengganti uang itu dan menggantikannya dengan tiga lembar uang ribuan.

“Masak ngasih anak limapuluh ribu, yang bener aja!”

“Tapi .. .”

“Ah sudah! Tidak mendidik!”

Saya tidak berdebat lagi, karena anak itu sudah cukup senang dengan tiga ribu. Lalu ia melonjak dan berlari keluar seperti kapal terbang, langsung ke warung. Pasti membeli makanan chiki-chiki sampah yang membuat usus bolong..

Kedua amplop uang itu saya bawa ke kamar mandi. Dengan hati-hati saya bersihkan tanah dan kotorannya. Untung amplopnya kuat terbuat dari semacam kertas plastik jadi tahan air. Uang tidak akan turun harganya hanya karena belepotan kotoran.

“Apa itu?” sodok istri saya ingin tahu.

Saya cepat-cepat menghindar sambil menyembunyikan amplop itu dalam handuk. Kalau dia tahu itu uang, ide-ide busuknya akan muncul. Kalau itu dibiarkan berkembang, akhirnya saya akan masuk penjara. Saya tidak percaya bahwa hanya wanita yang lemah pada uang. Laki-laki sama saja. Tetapi saya kenal betul dengan ibu si Ade. Dia sudah terlalu capek hidup dalam kampung kumuh. Sudah lama dia menginginkan masa depan yang lebih baik terutama setelah Ade lahir, yang belum mampu bahkan mungkin tak akan bisa saya berikan. Baginya pasti tidak ada masalah suaminya masuk penjara, asal masa depan anaknya cerah.

Saya naik ke atap rumah untuk menjemur amplop itu supaya benar-benar kering. Saya tunggu di sana dengan menahan panas matahari, takut kalau ada tangan jahil mengambilnya. Keputusan sudah diambil, saya tidak akan menerimanya. Saya akan mengembalikan, kalau orang itu datang lagi. Dia pasti sengaja pergi untuk menjebloskan saya terpaksa menerima. Tidak, saya tidak pernah mimpi akan menjadi pelaku suap.

Tapi sepuluh hari berlalu. Orang itu tidak muncul-muncul juga. Lomba pun memasuki saat penentuan. Melalui perdebatan yang sangat sengit, akhirnya dicapai kata sepakat. Dengan sangat mengejutkan pemenangnya adalah calon yang dimintakan dukungan oleh penyuap daerah itu.

Terus-terang saya termasuk yang ikut memberikan suara pada kemenangan tersebut. Bukan karena suap. Jagoan daerah itu memang berhak mendapatkannya. Bahkan juara kedua apalagi ketiga masih jauh di bawahnya. Kemenangan itu dinilai wajar oleh semua orang. Diterima baik oleh masyarakat. Sama sekali tidak ada suara-suara kontra.

Satu bulan berlalu. Lomba itu sudah menjadi lampau. Saya pun memperoleh jarak yang cukup untuk menyiapkan perasaan menghadapi kedua amplop itu. Meski sudah saya sembunyikan dengan begitu rapih, tapi kalau lagi sepi, kadang-kadang amplop itu saya bawa ke tempat sunyi di depan rumah dan timang-timang. Rasanya aneh, kunci untuk mengubah masa depan ada di tangan, tapi saya cukup hanya memandangi. Kemiskinan terasa tidak begitu menggasak lagi, didekat senjata yang bisa membalikkan semuanya setiap saat. Mau tak mau saya terpaksa mengakui, betapa dahsyatnya arti uang. Suka tidak suka ternyata harus diakui memang uang mampu menenteramkan. Namun saya sudah bersikap menolak.

Sayang sekali roda kehidupan yang membenam saya di bawah terus, akhirnya mulai menang. Memasuki bulan kedua, ketika pemilik amplop itu tidak muncul-muncul juga, pikiran saya bergeser. Suap adalah dorongan yang membuat kita terpaksa melakukan sesuatu yang bertentangan dengan hati nurani dan merugikan orang banyak. Saya tidak melakukan itu. Orang juga tidak memprotes keputusan yang diambil juri. Apa perlu saya cek, adakah semua juri juga sudah disodori amplop seperti saya? Saya kira itu berlebihan. Keputusan kami yang diterima baik, adalah bukti bahwa kemenangan itu tepat. Orang tidak berhak menuduh saya atau kami disuap hanya karena kebetulan kemenangannya sama dengan yang dikehendaki penyuap itu. Maksud saya orang yang mencoba menyuap itu.

Pada bulan ketiga, saya capek menunggu. Lelah juga dipermainkan oleh ketegangan. Kenapa saya mesti menolak nasib baik yang sudah di tangan. Istri saya sudah tidak mau lagi tidur dengan saya. Anak saya kontet karena gizinya kurang. Utang di warung sudah tak terbayar sehingga lewat saja sudah rasa dihimpit oleh hina dan malu.

Akhirnya setelah berdoa berkali-kali dan meminta ampun kepada Tuhan, saya memutuskan nekat. Apa boleh buat biarlah saya masuk penjara kalau saya memang terbukti nanti makan suap. Tapi sedikitnya saya sudah sudah bisa membahagiakan keluarga dengan memperbaiki rumah dan membeli motor seperti tetangga saya. Kenapa orang lain boleh bahagia dan saya hanya kelelap kemiskinan karena membela kesucian. Jauh lebih baik makan suap meskipun dihukum, daripada dihukum sebab kena suap tanpa sempat tanpa selembat pun menikmati manis suapnya.

“Baiklah, hari ini kita memasuki sesuatu yang baru.”kata saya pada anak-istri malam itu sambil menunjukkan kedua amplop uang itu, “aku sudah mengambil keputusan bahwa ini adalah hak kita, karena sudah 3 bulan 10 hari pemiliknya tidak kembali. Bukan salah kita. Masak hanya tetangga yang berhak betulin rumah dan beli motor, kita sendiri makan tahi sampai mati. Ini!”

Saya terimakan kedua amplop itu ke tangan istri saya. Istri saya diam saja. Anak saya nampak menahan diri. Dia tidak berani menyambar lagi seperti dulu.

“Ayo dibuka saja!”

Istri saya tiba-tiba menunduk dan menangis.

“Lho kok malah nangis.”

“Abang jangan salah sangka begitu.”

“Salah sangka bagaimana?”

“Jangan menyangka yang tidak-tidak.”

“Yang tidak-tidak apa?”

“Aku tidak capek karena kita miskin, tapi karena aku sakit. Aku juga sudah mulai tua sekarang, Bang. Aku diam karena tidak mau memberati perasaan Abang. Bukan apa-apa. Aku tidak mau Abang memaksa diri menerima suap hanya untuk menyenangkan hatiku. Jangan. Aku masih kuat menderita kok. Masih banyak orang lain yang lebih jelek nasibnya dari kita.”

Dia berdiri dan meletakkan kedua amplop itu di depan saya.

“Jangan memaksakan sesuatu yang tidak baik, nanti tidak akan pernah baik.”

Dia menggayut tangan Ade, lalu membawanya ke dapur. Anak saya menurut tapi dia melirik kepada saya lalu menatap ke kedua amplop itu. Kemudian diam-diam menunjuk dengan telunjuknya.

Saya menghela nafas dalam. Disikapi oleh istri seperti itu, kenekatan saya justru bertambah. Memang anak dan istri saya tidak usah ikut bertanggungjawab. Biar saya sendiri nanti yang masuk neraka, asal mereka tidak. Dari jendela saya lihat perbaikan rumah tetangga menjadi dua lantai sudah hampir rampung. Suara motornya kedengaran yang nyaring melengking menusuk malam, membuat saya panas.

Tiba-tiba terpikir sesuatu. Kenapa anak saya tadi menunjuk ke amplop. Apa maksudnya? Apa itu sebuah peringatan? Saya menatap amplop yang menjadi bersih karena sering saya belai itu. Tiba-tiba saya terperanjat. Di satu sisinya ternyata ada belahan. Dari situ nampak terbayang isinya.

Tangan saya gemetar. Saya sambar amplop itu dan intip isinya. Kemudian dengan bernafsu, barang yang sempay saya berhalakan itu saya kupas. Darah saya seperti muncrat keluar semua ketika menemukan di dalamnya bukan uang tetapi hanya tumpukan kertas-kertas putih.

Dengan kalap saya terkam bungkusan kedua dan preteli. Sama saja. Isinya juga hanya kertas. Di situ mata saya mulai gelap. Ini pasti perbuatan tetangga jahanam itu. Dia temukan amplop itu, lalu gantikan isinya, baru dia suruh anaknya supaya menyerahkan kepada saya. Bangsat. Kalau tidak begitu, bagaimana mungkin dia bisa meningkatduakan rumahnya dan membeli motor? Saya S2 dia SMP saja tidak tamat.

Dengan gelap jelalatan karena geram saya keluar rumah. Jelas sekali sekarang. Mungkin ketika anak saya lari-lari berkejar-kejatan dengan Ade, kedua amplop itu sudah direbut oleh tetangga. Setelah tahu isinya, mereka langsung ganti. Dan ketika saya mencebur ke dalam kolam mereka punya kesempatan untuk memeriksa isinya dan mengganti. Itu kejahatan. Manusia sekarang sudah rusak moralnya karena uang. Tidak ada lagi perasaan persaudaraan, menjarah, merampok uang orang lain sudah jadi semacam kiat dan keberanian.

Dengan kalap saya sambar batu-batu. Tak peduli apa kata orang, lalu saya lempari rumah tetangga bajingan itu. Kaca-kaca pintu yang baru dipasang saya hancutkan. Motornya juga saya hajar.

“Bangsat! Aku yang disuap! Aku yang dijebloskan ke bui dan neraka, kamu yang enak-enak menikmati! Bajingan!”

Hampir saja rumah barunya saya bakar, kalau saja para tetangga tidak keburu menyerbu dan kemudian menghajar saya habis. Mata saya bengkak, tak mampu melihat apa-apa. Hanya telinga saya masih bisa menangkap isak tangis istri dan jerit histeris anak saya.

JEJAK ALAM DALAM PROSA INDONESIA

Maman S. Mahayana *

Adakah jejak alam dalam prosa Indonesia mutakhir? Jika frase jejak alam itu dimaksudkan sebagai latar cerita, tentu saja cukup berlimpah novel Indonesia yang coba mengangkat perkara itu. Tetapi, jika jejak alam itu dimaksudkan sebagai problem manusia dalam berhadapan dengan alam, maka itulah yang terjadi dalam novel Indonesia modern. Novel Indonesia jadinya semacam potret pandangan dan sikap sastrawan Indonesia yang berbeda pandangan dan sikap sastrawan Eropa atau Amerika.

DIALOG ANAK LAUT

Catatan Kecil tentang Puisi Mardi Luhung

Imamuddin SA
http://forum-sastra-lamongan.blogspot.com/

Siapa yang tidak kenal dengan Mardi Luhung! Penyair yang kerap dipanggil Hendry ini adalah seorang guru sebuah lembaga pendidikan di Gersik. Selain ia tekun dalam dunia pendidikan, yang tidak kalah lagi adalah ketekunannya dalam dunia kesusastraan. Ia dapat dikatakan sebagai motor kesusastraan di Gersik. Perjuangan sastranya di kota tersebut sungguh luar biasa. Hal itu terbukti dari eksistensinya sebagai gerilyawan sastra. Ia mencoba memasyarakatkan sastra mulai dari lingkungan bawah sampai atas. Dari sekolah sampai jalanan.

Mardi dalam karya-karyanya, khususnya puisi kerap menyuarakan realitas sosial kemasyarakatan kotanya. Ia kerap menyuarakan kultur sosial masyarakat kota Gersik yang notabenenya adalah kota pantai atau pelabuhan. Itu tecermin dari logat bahasa dalam puisinya. Yaitu keras tanpa dihalus-haluskan, ujaran atau kosa kata nelayan, suasana pelabuhan dan pantai, narasi keseharian masyarakatnya di pasar, jalan, dan gang, serta ruang publik lainnya.

Berbicara kultur masyarakat pesisir, memang tidak dapat dipungkiri bahwasannya kita akan banyak menemukan nuansa kehidupan yang keras. Mulai dari logat bicara sampai perilaku masyarakatnya. Kondisi semacam itu tampaknya secara dominan dipengaruhi oleh letak geografis daerahnya. Dirujuk dari segi nenek moyangnya, masyarakat pesisir dalam realitas kesehariannya dituntut untuk melaut. Dalam kondisi semacam itu, pada dasarnya dalam kesehariannya, mereka dihadapkan dengan tantangan kematian, gemuruh ombak, dan nasib yang tidak menentu. Mereka masih dibayang-bayangi oleh ketidak mengertian bahwa ia akan dapat kembali ke darat atau tidak. Untung atau tidak.

Hal itulah yang pada dasarnya membentuk karakter dan mentalitas masyarakat pesisir yang keras dan berani. Mentalitas dalam kesehariannya dipertaruhkan dengan maut. Setiap hari mereka ditraining oleh kematian. Itu adalah makanan dan terapi mentalnya. Bayang-bayang akan kematian dan maut sudah terbiasa melingkupinya sehingga hal itu kurang terhiraukan lagi. Hal itu mampu mejadikan mereka berkemauan keras dan lantang menghadapi segala bentuk tantangan hidup.

Aspek tersebut juga dapat mempengaruhi logat bahasa mereka. Jika mentalitas selalu dicekoki dengan training-training semacam itu, maka lambat laun logat bahasa yang tercipta adalah logat bahasa yang bernada tinggi. Logat bahasa yang mencerminkan egosentris yang jika dirasa-rasa atau didengarkan mengandung nilai kesombongan. Padahal itu tidak sama sekali. Itu adalah logat bahasa alamiah yang terbentuk oleh alam. Belum lagi pengaruh deru ombak yang menyebabkan intonasi suara harus keras. Sebab kalau tidak keras, suara tidak akan sampai dengan jernih pada respondennya. Dan itu menyebabkan komunikasi terhambat. Jadi, logat yang keras, kasar, dan egosesntris merupakan harmonisasi bahasa yang terbangun dalam kultur masyarakat pesisir.

Puisi-puisi Mardi sangat kental menyuarakan masyarakat pesisir. Ia kerap menggambarkan bagaimana realitas sosial yang melingkupi pribadi-pribadi mereka. Dalam puisinya, Mardi pernah menyatakan kebenciannya terhadap orang-orang yang mengaggap bahwa masyarakat pesisir merupakan masyarakat yang tidak tahu aturan dan tidak memiliki unggah-ungguh dalam berperilaku. Terutama dari segi ungkapan bahasanya. Orang-orang tersebut kerap menganggap mereka kosro dan kasar. Bahkan kerap dianggap sebagai masyarakat yang kurang memperhatikan kebersihan lingkungannya.

…… “dan tahukah kau yang paling aku benci? // adalah ketika kita sama-sama ke sekolah // dan sama-sama disebut: “Orang Laut.”
Orang yang dianggap sangat kosro // kurang adat dan keringatnya pun seamis // lendir kakap yang sebenarnya sangat mereka sukai”…… (Pengantin Pesisir, bait: 5-6 dalam Ciuman Bibir Yang Kelabu, 2007:3).

Anggapan-anggapan orang semacam itulah yang sangat dibenci oleh Mardi. Jika ditelisik lebih jauh, bahwa sesungguhnya mereka sendirilah yang pada dasarnya tidak memiliki unggah-ungguh bahasa. Mereka dengan seenaknya mengklaim dan menilai masyarakat pesisir tanpa memperhitungkan sebab-musabab pembentukan dialek bahasa mereka. Mereka tidak sadar bahwa dialek orang pesisir semacam itu merupakan bentukan alam yang berfungsi sebagai balance dalam kehidupan ini. Jadi, bagi Mardi tidak perlulah seseorang mengklaim ini dan itu kepada masyarakat pesisir. Biarkan saja mereka mengembangkan dialektika masing-masing. Toh pada dasarnya dialektika semacam itu tidak mengganggu harmonisasi antara masrakat yang satu dengan yang lainnya. Justru itu adalah rahmatal lil alamin.

Kehidupan orang-orang pesisir tidak terlepas dari ikan. Dalam kesehariannya, mereka selalu menumpahkan pikiran dan keringatnya untuk melaut. Untuk menangkap ikan yang sebanyak-banyaknya sebagai usaha dalam mempertahankan hidup.

Sebab terlalu kentalnya hubungan mereka dengan ikan, aroma tubuhnyapun mengandung aroma ikan. Itu secara alamiah dan tidak dimanipulasi dengan parfum-parfum pada umumnya. Baunya sedikit amis.

Fenomena semacam ini yang mungkin menyebabkan timbulnya tindakan pengucilan terhadap anak-anak laut ketika mereka membaurkan diri dalam masyarakat luas yang berada sedikit jauh dari lingkungannya. Ini biasanya terjadi ketika anak-anak laut melakukan urban ke kota. Entah itu ketika menuntut ilmu ataupun yang lainnya. Kalau di Afrika Selatan ada yang namannya Politik Apartheid mungkin di sini ada Politik Ikan Pahit. Dan Mardi seolah bertindak sebagai Nelson Mandelanya. Dengan suara-suaranya, ia berusaha menghapus kesenjangan sosial yang ada. Melenyapkan perbedaan parfum ikan dengan parfum moderen. Menanamkan image persamaan harkat dan martabat antara masyarakat kota dengan masyarakat pesisir.

Menanamkan persamaan harkat dan martabat dalam pribadi seseorang sangatlah penting. Tidak membeda-bedakan antara yang satu dengan yang lainnya merupakan sebuah keutamaan. Ini adalah sebagian dari proses pemahaman diri. Memahami pribadi orang lain untuk diselami dan mencoba memposisikan diri sendiri pada posisi orang lain. Sebagaimana Abel Bonnard menyatakan bahwa persahabatan itu butuh pemahaman. Dengan sikap semacam itu, nilai solidaritas dan persahabatan akan terbangun kokoh. Jika solidaritas dan persahabatan telah terjalin antarindividu, maka persatuan dan kesatuan masyarakat dan bahkan bangsa akan tercipta. Sehingga perpecahan tidak akan terjadi. Tampaknya ini tidak sekedar tertuju pada masyarakat kota dengan masyarakat pesisir saja. Tapi juga untuk suku, agama, dan ras.

Kita kembali pada masyarakat pesisir. Bagi masyarakat pesisir, ikan adalah segala-galanya. Ikan adalah penopang hidupnya. Ikan adalah bulan. Dan bulan adalah ikan. Begitu kata mardi.

…… “Padamulanya bulan adalah ikan // yang menggeliat dan berdenyut // lewat jantung-tak-terbilangnya” …… (Pada Mulanya Bulan Adalah Ikan, bait:1dalam Ciuman Bibir Yang Kelabu, 2007:61).

Ikan sangat berarti bagi kehidupan masyarakan pesisir. Semua tawa dan kebahagiaan bermula dari ikan. Ikan dapat dikatakan roh bagi masyarakat pesisir. Yang namanya roh, berarti ia menjadi perantaraan kehidupan. Orang yang rohnya melayang, secara otomatis ia tidak dinamakan orang. Tetapi mayat. Itulah eksistensi ikan bagi masyarakat pesisir. Kehidupannya bertumpu pada ikan. Mata pencahariaanya berorientasi pada ikan. Jika sehari saja mereka tidak mendapatkan ikan, duka bersarang tak tertahan. Tidak ada lagi bulan di pantai. Tidak ada lagi senyum masyarakat pesisir. Dan dapat dikatakan pula, ikan adalah separuh nyawa dari masyarakat pesisir. Separuh nyawanya lagi adalah wanita.

…… “Tiga ratus anak laut membuntuti. // anak-anak laut yang separuh badannya adalah ikan. // Dan separuh lagi adalah kemontokan keremajaan.// Seperti ke montokan gadis-gadis pinggir pantai. // Yang percaya pada maut dan laut.” …… (Orang Tenggelam, bait:1 dalam Ciuman Bibir Yang Kelabu, 2007:133).

Orientasi wanita di sini cukup luas. Wanita dapat merujuk pada istri-istri dan gadis-gadis pesisir yang pada dasarnya keduanya itu berkonotasi pada cinta. Ikan bukan sekedar penyambung hidup sendiri, tapi ikan juga untuk menyambung hidup para wanita yang notabenenya tak mungkin melaut. Dengan mendapatkan ikan yang banyak, kesejahteraan keluarga akan tercapai. Begitu juga dengan cinta gadis-gadis remaja pun akan tegapai. Itu bagi mereka yang belum beristri.

Konon, secara mayoritas, orientasi wanita adalah materi. Siapa yang mengantongi uang banyak, dialah yang bakal menggenggam totalitas cintanya. Lihat saja, sebagaimana yang terjadi dalam kehidupan rumah tangga. Ketika sang suami banyak uang, kasih sayang dan cinta sang istri begitu menyeluruh. Namun ketika uang tidak ada, yang banyak terjadi adalah emosional dan kemarahan. Dan ini sudah wajar, sebab wanita dikatakan sebagai kaum hawa. Kaum yang selalu menomorsatukan hawa nafsunya. Menomorsatukan materi dan fisik kemanusiaannya. Lebih jauh lagi, coba tengok lokalisasi. Siapa yang berkantong tebal, dialah yang bakal dimuliakan oleh para wanitanya.

Tapi tidak perlu dipikir panjang. Keberadaan wanita adalah sebuah keniscayaan. Ia sebagai penanda kesempurnaan manusia. Sebab wanita merupakan bagian dari laki-laki yang telah terbelah. Penyatuan laki-laki dan wanita, entah itu secara jasmani maupun rohani merupakan sebuah usaha dalam melengkapi kepribadian masing-masing. Berusaha menutup ruang kosong kepribadian. Jadi tidak ada lelaki yang tidak suka dengan kewanitaan. Dan tidak ada wanita yang tidak suka dengan kelelakian. Ini adalah kodrat umum kemanusiaan. Jauh dari pada itu, setiap lelaki pasti sedikit banyak memiliki sifat kewanitaan. Dan wanita juga pasti sedikit banyak memiliki sifat kelelakian. Sebab pada mulanya mereka adalah satu tubuh.

Setiap manusia pasti memiliki keseimbangan diri. Sekasar-kasarnya orang, pasti memiliki kelembutan. Dan selembut-lembutnya pribadi seseorang, kadang kala memunculkan tabiat yang keras. Entah sedikit atau banyak, itu pasti terjadi. Begitu juga dengan masyarakat pesisir, meskipun tampak terlihat kasar, ia masih memiliki kelembutan hati. Tinggal respondenya saja yang harus mampu memasuki ruang kosong itu. Dan mengambil kelembutannya. Entah dengan cara apa dan bagaimana, pikirkan saja. Sebab setiap individu itu memiliki cara yang berbeda-beda dalam memasuki kepribadian individu lain. Tentunya disesuaikan dengan karakter masing-masing.

Secara sekilas, bagi orang yang baru membaur dengan masyarakat pesisir, ia akan merasakan aura kepribadian yang keras. Itu wajar saja. Sebab ia belum terlalu akrab dan belum menjalin hubungan emosional yang kuat. Jika keakraban dan hubungan emosional telah terbangun, maka secara alamiah pasti merasakan kelembutan aura kepribadiannya. Dan bahkan cinta dan kasih sayangnya. Paling tidak kita akan mengetahui kelembutannya yang tercurah pada keluarganya. Dan bahkan lingkungan kemasyarakatannya. Sebagaiman tecermin dalam ungkapan Mardi berikut.

…… “Sejauh mata memandang, sejauh itu pula aku // memandang yang berjalan di atas laut. Siapa gerangan // mereka? Wajah dan pakaian mereka seperti gelombang // lembut yang menyisir pantai dan rumah-rumah, bakau // dan perahu-perahu yang dibalik, yang warnanya sedang // dibatik, dan lambungnya ditambal dengan keringat, cinta // dan lendir ikan yang terpukat” …… (Yang Berjalan Di Atas Laut, bait:1 dalam Ciuman Bibir Yang Kelabu, 2007:131).

Perlu diketahui, bentuk solidaritas masyarakat pesisir itu sangat tinggi. Dan itu baru muncul jika seseorang mampu mengambil kelembutan hati mereka. Jarang seseorang mampu menyelami kepribadian masyarakat pesisir. Boro-boro menyelami, mendengar logat bicara dan perawakannya saja seseorang kebanyakan ogah bergaul. Alasan takutlah, mereka tak punya sopanlah, dan masih seribu alasan lagi diungkapkannya. Ini sebenarnya sebuah pandangan yang kurang objektif. Kebanyakan orang menilai dari segi luarnya saja dan melupakan kebatinannya. Bagi yang akrab bergaul tentunya pasti akan mengetahui hal itu.

Kamis, 19 Maret 2009

Mengais Realitas dalam Novel Sejarah

Misbahus Surur
http://www.jawapos.co.id/

Dewasa ini, begitu banyak novel bertemakan sejarah. Novel tersebut tidak sulit kita dapatkan di deretan rak toko buku. Antara lain, novel serial Gajah Mada oleh Langit Kresna Hariadi (LKH), lima jilid yang tebalnya lumayan menguras pikiran. Lalu sebuah novel tentang sejarah kehidupan kongsi dagang zaman Hindia Belanda, VOC, berjudul Rahasia Meede; Misteri Harta Karun VOC, yang ditulis E.S. Ito. Tak ketinggalan novel Diponegoro-nya Remy Sylado, salah satu pengarang yang dikenal setia menekuni genre sejarah, yang sebelumnya sukses dengan duo novel berlatar belakang sejarah, Ca Bau Kan dan Parisj van Java.

Ramainya pasar novel sejarah tersebut, kita harapkan juga meramaikan wacana perbukuan di dalam negeri, khususnya dunia kesusastraan yang masih mengalami kelesuan kritik. Meskipun kenyataannya, novel bergenre sejarah bukan lagi barang baru dalam sejarah novel Indonesia. Kembalinya novel berlatar belakang sejarah ini, tak ayal akan memancing persoalan lama, tentang keafdolan sejarah yang menempel pada sastra: mungkinkah sastra sejarah menjadi rujukan sejarah?

Pada mulanya sastra memang terkait erat dengan masalah kreativitas dan intens dengan wilayah imajiner. Akan tetapi, pada era belakangan, dengan hadirnya metode-metode baru dalam menelaah karya sastra, ternyata dokumen (karya) sastra dapat dijadikan sumber sejarah (buku teks sejarah). Sebagaimana kata Asvi Warman Adam, sejarawan LIPI, kurang tepat bila mengatakan sastra tidak dapat dijadikan sumber sejarah. Dengan alasan, zaman sekarang sebagian orang tidak lagi memandang sastra sebagai kajian estetika secara otonom. Novel genre ini telah menakdirkan sejarah sebagai objeknya, bahkan telah memasrahkan diri untuk berenang pada serakan-serakan sejarah yang sering disembunyikan oleh rentang waktu. Peran baru karya sastra ini masih dipertentangkan, karena walaupun bisa dijadikan sumber sejarah, pada sisi lain karya sastra tetap tidak lepas dari substansinya yang imajinatif sekaligus fiktif.

Menurut Kuntowijoyo, begawan ilmu sejarah yang juga seorang maestro kesusastraan (Pengantar Ilmu Sejarah, 1995), sejarah itu berbeda dengan sastra dalam hal: cara kerja, kebenaran, hasil keseluruhan, dan kesimpulan. Sastra adalah pekerjaan imajinasi, kebenaran di tangan pengarang, dengan perkataan lain bersifat subjektif. Sastra bisa berakhir dengan pertanyaan, sedang sejarah harus memberikan informasi selengkap-lengkapnya. Masih menyoal perbedaannya, menurut Kuntowijoyo, bahasa sejarah adalah bahasa yang sederhana dan langsung, persis seperti dalam bahasa sastra modern. Tidak ada bahasa yang berbunga-bunga. Tidak ada “rambutnya bak mayang mengurai”, juga tidak “hutan itu selebat jenggot orang Arab” dan seterusnya.

Bahasa sejarah adalah bahasa sehari-hari. Kalau sejarah melukiskan para gerilyawan minum air, sejarah tidak akan bilang bahwa mereka minum H2O. Dalam pengantar buku Telaah Sastra (2002), Zainuddin Fananie berpendapat dengan keluarnya sastra dari kreativitas imajiner ke wilayah sejarah, maka sastra secara tidak langsung bisa diletakkan sebagai dokumen sejarah atau dokumen sosial yang kaya dengan visi dan tata nilai suatu masyarakat. Dengan begitu, kajian sastra tidak hanya mengulas persoalan sastra saja, melainkan dapat dikembangkan pada telaah-telaah lain yang bersifat multi dan interdisipliner. Penelitian yang memasuki kawasan ini harus punya cukup bekal. Di samping menguasai teori dan metode, peneliti juga harus mumpuni pada bidang yang lain, semisal psikologi, politik, sosiologi, dan sejarah itu sendiri.

Bicara sastra di satu sisi dan sejarah pada sisi lain, mengingatkan kita pada kasus sastra realis, terutama realisme-sosial yang diusung Pramoedya Ananta Toer. Para kritikus sastra pada taraf mula Indonesia, seperti H.B. Jassin, Arief Budiman, Goenawan Mohamad dkk, menyuarakan genre realisme-sosial yang mewarnai karya-karya Pram sebagai karya yang tidak memenuhi ketentuan seni dan sastra. Ini, karena realisme sosial yang tanpa tedeng aling-aling memotret objek, seperti adanya. Kejujuran penulis realisme untuk menggambarkan setiap detail objek tanpa melibatkan perasaan, pikiran, atau keinginannya ke dalam objek yang digambarkan, membuat sastra realisme kena tuduh kehilangan watak khas sastra yang selalu dikelilingi oleh selubung keindahan. Pram bersikeras bahwa keindahan sastra itu bukan dalam mengutak-atik bahasa, tetapi terletak pada kemanusiaan. Artinya perjuangan untuk pengabdian pada kemanusiaan. Bahkan semakin dekatnya sastra realisme sosial dengan realitas, berbuntut polemik panjang di eranya.

Terlepas dari kasus realisme, harus diakui, sastra memang tak pernah jauh berkutat dengan fiksi. Tetapi kita juga tidak bisa menampik, apa yang diolah dan dihasilkan sastra merupakan bentuk peniruan terhadap realita (berangkat dari kenyataan sehari-hari). Dalam hal inilah sastra dikatakan sebagai memesis alam nyata. Seorang pengarang mengolah karya sastra dari apa yang dialami dan dilihatnya. Plato dalam bukunya Republik, yang membicarakan dunia ide, berpendapat, bahwa karya sastra tidak akan sama dengan dunia ide, karena sifatnya meniru. Tiruan sendiri sejatinya tidak akan pernah sama dengan apa yang ditiru (dunia realita). Dalam hal ini Plato membagi realita menjadi tiga tingkatan. Yakni dunia ide, lalu apa yang kita jalani ini (kehidupan sehari-hari), dan tingkatan tiruan (memesis), yang diolah apik oleh ranah kesusastraan. Tingkatan kedua dan ketiga tidak pernah ideal. Karena kebenaran tertinggi menurut Plato hanya ada pada yang ideal (dunia ide).

Karya sastra di satu sisi dibangun atas dasar fakta-fakta yang berkelebat dalam diri pengarang, dan menampilkannya ke permukaan sebagai sebuah fiksi. Pada sisi lain sejarah terkadang menyembunyikan kebenarannya. Dan anehnya banyak yang hanya berani menampilkannya lewat dunia fiksi. Hakikat sejarah pada umumnya adalah kenyataan, tetapi justru kenyataan itulah kadang yang sering dimanipulasi hingga menimbulkan berbagai versi dan terlihat kontroversi. Akhirnya, sejarah akan tergiring dalam ranah subjektif sebagai sebuah kenyataan objektif.

Dalam sastra, teks dan maknanya menjadi otoritas pengarang sepenuhnya. Berbeda dengan sejarah, data-data yang ditampilkan tidak dalam wilayah otoritas pengarang. Data-data sejarah bermula dari pertanyan-pertanyaan yang diajukan sejarawan. Walaupun sejarah berkutat dengan fakta, sejarah tak dapat mengelak dari tuntutan dan kebutuhannya akan corak/pencitraan sastra. Dalam hal ini Kuntowijoyo menyebut sejarah sebagai seni.

Sejarah pernah dianggap sebagai cabang sastra pada zaman romantik. Yakni pada akhir abad 18 dan permulaan abad 19. Penulisannya pun disesuaikan dengan menulis sastra, harus melibatkan emosi. Penulis sejarah dituntut pandai membuat pembaca sejarah seolah hadir dan merasakan sendiri berbagai peristiwa yang ia baca. Sejarah juga memerlukan imajinasi. Sejarawan yang meneliti sejarah harus dapat membayangkan apa sebenarnya, apa yang sedang terjadi, dan apa yang terjadi setelah itu. Ketika sejarawan ingin mempelajari sebuah perlawanan gerilya di hutan, misalnya, ia harus mampu mengimajinasikan tentang hutan, sungai, malam hari, dan seterusnya.

Dalam sejarah, tugas utama sejarawan bukanlah menghafal fakta-fakta di luar kepala saja, akan tetapi yang lebih utama adalah merekonstruksi fakta-fakta sejarah. Untuk itulah akurasi (ketepatan) dan objektivitas adalah dua hal yang harus dipenuhi dalam penulisan sejarah. Cara pengungkapan sejarah yang terbilang apresiatif melalui data-data empiris dan tulisan (narasi) tak berbeda jauh dari pengungkapan karya sastra. Cuma yang dikhawatirkan jika sejarah terlalu dekat dengan seni maka sejarah akan kehilangan keakuratan dan keobjektivitasannya. Menampilkan fakta sejarah dalam kemasan fiksi bukanlah untuk menunjukkan bahwa sejarah yang selama ini kita pahami adalah palsu. Hal tersebut dimunculkan dengan tujuan menawarkan berbagai kemungkinan. Yang dengan itu pula dapat mengganggu kemapanan fakta sejarah yang selama ini ada dan mapan dalam pikiran kita. Dunia yang tertutup oleh akurasi data diobrak-abrik oleh warta kemungkinan-kemungkinan. Layaknya kerja dekonstruksi yang mencurigai adanya berbagai kemungkinan di balik bercokolnya teks otoritatif, dengan menawarkan pembacan ganda terhadap kemapanan logosentrisme.

Terlepas dari polemik di atas, yang bisa menjadi catatan, kita tetap percaya ada kejernihan di balik terjadinya polemik. Ketika karya sastra dapat dijadikan sebagai rujukan sejarah, dengan begitu maka sastra telah membuktikan dirinya sebagai ilmu yang bukan hanya bicara persoalan kreativitas dan rentetan imajinasi, tetapi dapat pula berfungsi sebagai dokumen sejarah. Dari sini, ilmu sastra akhirnya dapat menembus kungkungan kodratnya sebagai ilmu yang mengikat. Di samping sastra sendiri memang tidak pernah lepas dari masalah kemanusiaan yang diolahnya (sastra menjadi satu-satunya kajian yang elegan dalam mengungkap sisi lain diri manusia). Begitu pula kita harus mengusahakan membaca buku sejarah layaknya membaca novel, mengalir dan mudah untuk mencerna. Hal tersebut bisa terwujud dengan menciptakan alur dalam sejarah layaknya yang ada dalam novel, yaitu dengan membaginya dalam tiga tahap: pengenalan, krisis dan solusi. Maka, tak pelak novel sejarah sangat mungkin menjadi salah satu jalan untuk mendalami sejarah. Karena penceritaan dengan latar belakang sejarah, sejauh ini dapat membuat pembaca seakan-akan hidup di zaman sejarah tersebut. Bahkan novel yang dibawakan akan lebih nyaring bila penulisnya adalah pelaku ataupun saksi sejarah itu sendiri.

Konon, novel-novel Pram sangat kental dengan nuansa perjuangan (sejarah), bahkan dengan sangat baik dan berhasil menghipnotis pembacanya, terutama dari kalangan kaum muda (baca: mahasiswa), dikarenakan ia sendiri adalah pelaku sekaligus saksi sejarah yang ia tulis. Mungkin seribu penulis novel sejarah sekarang tak ada yang bisa menandingi cara bertutur Pram.

Terakhir, saat ini ternyata banyak sekali sejarah yang belum ditulis. Salah satu penyebabnya mungkin kentalnya budaya lisan masyarakat. Jika sejarah adalah kenyataan itu sendiri, maka perjalanan hidup kita hari ini dan juga negeri ini harus bisa sampai pada anak cucu kita kelak, meskipun melalui novel. Sejarah seringkali diingkari bahkan dilupakan oleh bangsa ini. Sebab minimnya greget membaca atau dengan alasan yang lain. Sejarah juga amat sering direkayasa, dibelokkan dari relnya demi kepentingan politik semata. Dengan hadirnya novel-novel bermuatan sejarah, kita baru tersadar, betapa sejarah sangat penting untuk menakar arus balik atau maju mundur kehidupan ini. (*)

*) Penggiat dunia sastra, tinggal di Malang.

Sabtu, 07 Maret 2009

Limin Jadi Dukun

Esha Tegar Putra
http://www.riaupos.com/

Tiba-tiba tubuh Limin terlentang, rubuh ke tanah, ia terkulai lemas tidak berdaya. Segelas kopi yang baru saja ingin diseruputnya tertuang membasahi pakaian lelaki paruh baya itu. Di genggaman tangan kirinya kulihat batu, pipih seukuran telur ayam kampung, berwarna hitam dan kesat. Batu itu erat digenggamnya.

Orang-orang di lepau tersentak melihat kejadian yang menyiratkan keanehan tersebut. Sesekali tubuh Limin menggelepar seperti ayam yang baru saja disembelih. Dari mulutnya air liur membusa, matanya membelalak. Pandangan dari gelap pupilnya tertuju pada sesuatu yang jauh, sesuatu yang mengarah pada kedalaman alam bawah sadarnya. Arah yang dalam dan hitam, sehitam batu di genggaman tangan kirinya. Aku dan beberapa orang yang duduk di lepau menggotong tubuh Limin yang sedang tidak sadarkan diri ke rumahnya, di pinggiran sawah, tidak jauh dari lepau.

Malam diam membatu, hanya sesekali terdengar cericit murai batu terdengar dari julaian daun pohon kelapa. Cericit yang membuat tengkukku dingin. Sebelumnya sudah kudengar cerita sepintas lalu, tentang batu yang kulihat di genggaman tangan Limin dari orang-orang yang juga duduk di lepau. Ya, setiap hari ada saja yang diceritakan orang-orang tersebut, termasuk aku, pengunjung wajib lepau. Maklumlah, sebagian besar orang yang duduk malam-malam di lepau (seluruhnya laki-laki) adalah peladang dan petani. Kami berusaha menghabiskan malam setelah seharian bekerja di lahan garapan masing-masing. Dan cuma di lepau, kami bisa mendengar informasi terbaru seputar kampung atau berita tentang luar kampung. Dari mulut ke mulut berita akan disampaikan sambil menyeruput segelas kopi, goreng pisang, menghisap rokok kretek murahan. Tentunya sambil menonton televisi milik si empunya lepau yang berukuran 14 inci dengan saluran terbatas.

Konon kabarnya Limin mendapatkan batu tersebut siang hari —sebelum kejadian rubuhnya tubuh Limin di lepau— seketika matahari tepat di ubun-ubun, di sekitar kuburan tua dekat ladang tempatnya bekerja. Tapi aku tak bisa memastikan lokasi tepatnya. Limin yang bekerja sebagai peladang upahan sedang beristirahat untuk makan siang. Lalu ia mendengar sesuatu memanggilnya, menyeru namanya, dan menyuruhnya untuk mengambil sebuah batu dekat kuburan tua; panggilan yang konon seperti desiran angin lalu. Hanya itu cerita yang kudengar, muasal Limin yang mendapatkan batu hitam pipih sebesar telur ayam kampung. Oh, sedikit cerita penyambung. Setelah batu tersebut digenggamnya, ada suara lain yang menyeru dari arah yang entah. Seruan itu menyatakan bahwasanya batu tersebut bisa membantu orang banyak dan cuma Limin yang bisa menjadi perantaranya! Cerita ini kudengar dari seseorang yang bersebelahan ladang dengan Limin. Seseorang yang langsung mendengar cerita dari mulut Limin.

Tubuh kurus Limin masih saja menggelejang seketika ditelentangkan di dipan rumahnya yang berkasur tipis. Aku memegang kepalanya, mengusap-usap keningnya, sambil membaca ayat-ayat pendek Alqur’an yang kuhafal di luar kepala. Mungkin saja ia kerasukan, sebab setahuku memang seperti itu gejala kerasukan. Beberapa orang lainnya memegang kaki dan tangannya untuk menghindari gelejang tubuhnya yang tidak menentu. Tapi gelejang tubuh itu makin menjadi sehingga membuat kami kewalahan. Kurasakan gelejang tubuh itu tidak datang dari tenaga tubuh Limin.

Dipan tempat kami menelentangkan Limin seakan mau roboh karena gelejangannya. Rumah kecil, atau lebih tepatnya pondok kayu kecil yang dipinjamkan oleh seseorang juragan sawah agar Limin bisa tinggal sambil menunggui sawahnya itu pun serasa akan rubuh dibuatnya. Kucari segelas air putih di cerek dan kuusahakan agar ia mau meminumnya. Kusuruh ia istigfar, nyebut.

Selang beberapa lama tubuh Limin mulai biasa, tenang tanpa gerakan. Pastinya tubuh itu mulai tidak sanggup menahan kekuatan yang datang dari luar tubuhnya, kukira begitu adanya. Di tanggan kirinya batu hitam pipih sebesar telur ayam kampung masih tergenggam dengan erat. Kami biarkan tubuhnya yang kelelahan itu. Matanya tidak lagi membelalak dan dari mulutnya tidak mengeluarkan buih air ludah. Tapi ceracau yang tidak kudengar dengan jelas digumamkannya. Ceracau yang kukira juga bukan datang dari alam sadarnya, tapi dari luar dirinya, entah siapa itu. Kurasakan kejadian ini benar-benar aneh dan aku belum bisa menebak dengan pasti bahwa penyebabnya adalah batu hitam tersebut.
***

Inilah kejadian aneh selanjutnya yang kulihat dan kudengar sendiri dengan mata kepalaku. Beberapa hari berselang setelah Limin jatuh tergelepar di lepau. Aku mendapat cerita dari salah seorang yang duduk minum kopi di lepau. Ia mengatakan bahwa Limin mendapatkan kekuatan dari sebuah batu yang dikatakan datang dengan sendiri kepadanya. Aku mulai menduga-duga, tapi baru sepintas dugaan, bahwa malam itu benar-benar batu tersebut yang membuat tubuh Limin kehilangan kesadarannya—maksudku sesuatu yang mejadikan batu tersebut perantaranya, sesuatu yang entah, sesuatu yang mempunyai kekuatan yang tidak biasa. Bagiku tidak mungkin sebuah batu bisa datang pada Limin jika tidak didatangkan.

Aku mulai mencari tahu, menanyakan pada orang yang memberitahukan bahwa Limin mendapat kekuatan tersebut. Tentang kekuatan apakah yang didapatkan oleh Limin. Ia menyatakan bahwa Limin bisa mengobati orang-orang dengan menggunakan batu tersebut. Ah, mustahil bagiku. Tidak mungkin Limin dan batu tersebut bisa mengobati orang. Di benakku terfikir hal-hal yang lain, sesuatu yang aneh. Mungkinkah Limin telah mempelajari ilmu hitam? Ilmu yang didapat dari sesuatu yang hitam, dari sesuatu yang tidak bisa diterima akal sehat.

Ah, apa yang kumengerti tentang ilmu hitam. Yang kutahu di kampung ini orang-orang selalu taat beribadah, di surau selalu ramai orang mengaji, setiap perayaan agama selalu banyak infaq yang terkumpul, dan tentunya setiap tahun —setiap Idul Adha atau bulan haji— orang-orang yang ke Makah selalu ramai. Masih adakah kiranya orang di kampung ini yakin dengan apa yang dikatakan Limin?
***

Dari jarak jauh kulihat mulai banyak orang yang berdatangan ke pondok Limin. Awalnya aku aku tak menduga bahwa orang-orang tersebut datang untuk berobat padanya. Tapi setelah kudengar lagi cerita di lepau kopi, memang benar begitu adanya, orang-orang tersebut benar-benar datang untuk berobat. Ini benar-benar mustahil, tidak bisa kucerna dengan akal sehatku. Limin bisa mengobati orang sekarang? Padahal aku tahu sekali siapa dia. Ia datang beberapa tahun lalu ke kampung ini untuk mencari pekerjaan. Tanpa keluarga dan sanak saudara ia hidup. Bertani dan berladang, itulah pekerjaan yang dilakukannya karena keahliannya sama seperti aku. Sama seperti kebanyakan lelaki di kampung ini.

Tapi memang benar begitu cerita yang keluar dari mulut orang banyak. Sekali lagi: orang-orang pergi berobat ke tempat Limin, ia memberikan obat tapi tak seperti dokter biasa memberikan obat, lebih tepatnya seperti ‘orang pintar’ atau dukun! Konon Limin telah menyembuhkan banyak penyakit: tumor, kangker, sipilis, masuk angin, angin duduk, dan banyak penyakit lainnya. Ini pernyataan dari pasien yang sudah berobat kepadanya.

Makin hari, makin banyak saja yang datang ke pondok Limin. Mereka semua pergi meminta obat penyembuhan. Berita ini menyebar dari mulut ke mulut, dari kampung ke kampung, dan tersebar ke luar daerah. Sudah tiga pekan lebih semenjak kejadian rubuhnya tubuh Limin di lepau. Makin banyak saja pasiennya. Beragam orang yang kulihat datang ke pondoknya, mulai dari peladang, petani, buruh, pegawai negri, anak sekolahan, pejabat, bahkan orang kampungku sendiri yang tahu pekerjaan Limin sebelumnya juga ikut berobat —belakangan aku tahu beberapa orang di antara kami yang biasa duduk di lepau juga minta diobati oleh Limin, padahal mereka tahu benar muasal Limin mendapatkan batu tersebut.

Kubayangkan bagaimana cara Limin mengobati pasiennya. Dengan segelas air dari sumur belakang pondoknya. Lalu ia menyiramkannya pada batu hitam yang diletakkannya di atas talam pipih. Dibiarkannya air itu menggenang sebentar di talam, tanpa mantra-mantra, tanpa doa-doa, selang beberapa lama air tersebut dimasukkan ke dalam plastik bening untuk diminum oleh pasiennya di rumah masing-masing. Dan sembuhlah pasiennya tidak beberapa lama setelah meminum air tersebut—begitulah cerita yang kudengar dari orang-orang yang pernah berobat kepadanya. Aku tidak tahu pasti, sebab tidak pernah mendatangi pondok Limin setelah kejadian malam itu. Kejadian aneh yang membuat tubuhnya rubuh tak berdaya dan matanya memandang ke arah yang hitam dan jauh.

Kampung makin ramai oleh pasien Limin dan lokasi di sekitar pondoknya tidak memungkinkan lagi untuk menampung pasien yang antre tumpah ruah. Ratusan, barangkali ribuan orang minta diobati. Mobil-mobil beragam tipe diparkir jauh dari pondok karena tidak mungkin diparkir dekat keramain. Kudengar aparat kepolisian akan mengambil inisiatif pemindahan tempat praktek Limin ke tempat yang lebih luas dan terkondisi. Karena beberapa hari belakangan beberapa calon pasien Limin yang sedang antre banyak yang pingsan sampai terinjak-injak oleh calon pasien lain. Ada yang patah tangan, patah kaki, luka-luka, dan pasien tersebut dilarikan ke rumah sakit —aku pikir kenapa tidak diobati saja oleh Limin? Begitulah berita yang kudengar di lepau dari orang-orang dan di berita televisi yang kutonton. Bagiku kini ia bukan lagi Limin si peladang, tapi dukun selebritis dadakan yang mengobati orang dengan batunya. Ya, Limin kini jadi selebritis karena tiap sebentar berita tentang pengobatannya muncul di televisi.

Rencana pemindahan tempat praktek Limin pun terlaksana berkat bantuan berbagai aparat, tidak hanya aparat kepolisian, tentara pun turun tangan membereskan. Kini ia praktek tidak lagi di pondok kayu yang dipinjamkan oleh juragan sawah untuk menunggui sawahnya. Tapi di sebuah rumah besar di kampung sebelah, rumah yang di depannya terletak lapangan sepak bola. Konon, rumah ini disumbangkan oleh orang kaya dari kampung sebelah karena Limin berhasil mengobati anaknya yang sakit perut berkepanjangan.

Lapangan di depan tempat praktek baru Limin dalam bayanganku diisi oleh orang-orang sakit. Orang-orang yang tidak sanggup berobat ke rumah sakit karena tidak punya biaya. Dan mereka memilih pergi berobat ke sana, ke tempat praktek si pemilik batu beruah.

Lewat televisi —karna aku benar-benar tahu sebelum Limin menjadi juru obat dan tidak ingin ke tempatnya— aku melihat orang-orang makin sesak di lapangan depan tempat prakteknya itu. Persis seperti lapangan tempat diadakannya pentas dangdutan, atau barangkali pasar malam —calon pasien itu benar-benar tangguh, meraka menunggu antrean siang dan malam. Ada para penjual nasi bungkus, penjual makanan ringan, pedagang es, rokok ketengan, mainan anak, mereka membuka lapak yang menjual beragam kebutuhan calon pasien selama antre di lokasi tersebut.

Berita tentang Limin dan cara pengobatannya yang ajaib makin mendengung karena pemberitaan di televisi. Banyak orang yang berdecak kagum padanya, termasuk para pengunjung tetap lepau kopi tempat Limin biasa duduk dan pernah terlentang sebelum jadi dukun selebritis dadakan. Di lain sisi, kubayangkan kerumunan orang-orang di depan tempat praktek Limin mengharapkan semacam penyembuhan pada dirinya. Dari yang kaya sampai yang melarat, kulihat mereka seperti memohon untuk sembuh pada Limin.
***

Terhitung kurang lebih sudah dua bulan Limin membuka praktek pengobatan. Pastinya ia mendapat penghasilan yang lebih, bahkan berlebihan, daripada penghasilannya sebagai petani atau peladang yang sudah ditinggalkannya. Cerita tentang Limin kini tentu sudah menjadi hal yang biasa, tapi tidak basi. Cerita terus didengungkan dari mulut ke mulut dan pemberitaan televisi.

Di lepau tempat aku biasa duduk setiap malam, kupesan kopi, lalu kuhisap sebatang rokok kretek murahan. Ingatanku sampai pada muasal Limin mendapatkan batu bertuahnya. Batu hitam pipih sebesar telur ayam kampung, batu yang kesat. Batu yang kukira bukanlah penyebab rubuhnya tubuh Limin pada malam itu, tapi sesuatu di luar batu itu. Juga bukanlah batu itu yang kukira bisa menyembuhkan orang-orang. Hal yang tidak kumengerti, tidak Limin mengerti, juga tidak dimengerti oleh orang-orang yang minta pengobatan pada Limin.

Kulihat ke arah televisi, berita tentang Limin, tetapi kali ini lain. Wawancara reporter sebuah stasiun televisi dengan salah seorang keluarga bekas pasien Limin yang sakit parah setelah berobat kepadanya. Bekas pasien Limin tersebut diberitakan baru saja meninggal ketika dilarikan ke rumah sakit.

Aku membayangkan batu hitam tersebut terletak di atas talam dan menyiramnya dengan air. Lalu air tersebut dimasukkan ke dalam plastik bening untuk dibawa pasiennya pulang. Kubayangkan jauh ke dalam hitam batu tersebut. Jauh melebihi pandangan gelap pupil mata Limin seketika ia terlentang dan tak sadarkan diri. Segalanya kulihat hitam, legam, beranjak mengesat. Lalu di sesuatu yang hitam dan kesat tersebut kulihat batu itu menjadi banyak. Makin banyak. Hingga setiap orang yang datang ke tempat praktek Limin memilikinya, bahkan aku juga memilikinya.***

Padang, Februari 2009

Minggu, 01 Maret 2009

Para Ahli Kubur dari Jombang

Emha Ainun Nadjib
http://www.tempointeraktif.com/

Tulisan ini saya bikin dengan asumsi dasar bahwa para pembaca percaya ada Allah dengan kekuasaan-Nya. Di salah satu tayangan televisi, muncul seorang kiai dengan nasihat sangat bijak, kurang-lebih begini: "Jangan minta kepada Ponari, Ponari itu makhluk. Jangan minta kepada batu, batu itu makhluk. Jangan berlaku syirik sehingga menjadi manusia musyrik. Mintalah Khaliq, Allah Swt...."

Sangat pendek tapi cespleng. Media massa sangat mengerti kecerdasan masyarakat, sehingga cukup pendek saja. Setiap yang mendengarkan fatwa itu meneruskan sendiri dalam hati dengan logikanya: "Jangan minta kesembuhan kepada dokter, dokter itu makhluk. Jangan minta kepada pil dan obat-obatan, pil dan obat-obatan itu makhluk. Jangan berlaku syirik, sehingga menjadi manusia musyrik."

Ya Allah ya Rabbi ya Karim, wahai saudara-saudaraku sebangsa dan setanah air. Kalau Nabi Musa pegang tongkat, bersama pasukannya dikejar tentara Firaun, mendapat perintah dari Allah, "Pukulkan tongkatmu ke air laut!" Lantas laut terbelah, pasukan memasuki belahannya, kemudian Firaun dan tentaranya mengejar ke belahan itu, namun tenggelam karena air menutup kembali, mohon dengan sangat jangan simpulkan bahwa yang dipegang Musa itu "tongkat sakti", sehingga Nabi Musa juga "Maha Dukun" yang sakti.

Mohon dengan sangat, jangan rumuskan bahwa tongkat Nabi Musa mampu membelah laut, mampu menerbitkan mata air dari batu kering, meskipun insya Allah bisa bikin pecah kepala kita. Apalagi lantas dengan metodologi ilmiah tertentu, para pakar meneliti tongkat itu mengandung zat dan energi apa sehingga air samudra terbelah olehnya. Kalau besok paginya Anda minta kepada Nabi Musa untuk membelah air laut lagi, percayalah air laut tak akan terbelah. Sebab, yang membuat laut terbelah bukanlah Musa atau tongkatnya, melainkan perintah atau perkenan Allah.

Lha Allah ini pemegang saham dan the only resources dari seluruh "alam semesta ini dengan segala ketentuan hukum dan perilakunya”. Hak absolut Allah untuk menyuruh orang membelah laut dengan tongkat atau dengan meludahinya. Kalau Musa pukulkan tongkat lagi ke laut tanpa perintah-Nya, dijamin tak terjadi apa-apa. Atau besoknya Tuhan suruh Musa "Berteriaklah keras-keras!", lantas tiba-tiba laut terbelah lagi ditambah gunung ambruk dan air sungai membalik arah arus airnya, itu sepenuhnya terserah-serah Tuhan.

Makhluk, juga dokter atau dukun, batasnya adalah mengobati atau menjadi sarana proses menuju kesembuhan. Tapi pengambil keputusan untuk sembuh atau hak dan kuasa untuk menyembuhkan ada pada Allah. Terserah Dia juga mau bikin sembuh orang sakit pakai cara bagaimana dan alat apa. Bisa tongkat, bisa batu, bisa air, bisa karena ditempeleng, bisa dengan apa pun saja semau-mau Tuhan. Yang diperintah oleh Tuhan untuk menjadi sarana penyembuhan terserah Dia juga. Mau kiai, pendeta, pastor, rabi, tukang sol sepatu, Ponijo, Rasul, Nabi, Markesot, atau siapa pun dan apa pun saja. Kalau Anda dan saya tidak setuju, Tuhan "tidak patheken" juga. Dia Maha Pemilik Saham segala sesuatu dalam kehidupan, Dia berhak ambil keputusan apa saja.

Kalau seorang suami pergi lama tugas ke kota yang jauh, sehingga bawa celana dalam istrinya, mohon jangan simpulkan bahwa dia penggemar celana dalam, kemudian Anda coba rebut celana dalam itu untuk Anda selidiki, bahwa dia mengandung zat-zat dan bebauan apa, sehingga seorang tokoh besar membawa-bawanya ke mana pun pergi. Kalau pas di kamar hotel sendirian suami itu mencium-ciumi celana dalam, mohon jangan dikonklusikan bahwa ternyata ia punya penyakit jiwa dan harus dibawa ke psikiater. Ya Allah ya Rabbi ya Karim, yang diciumi oleh suami itu bukan celana dalam, melainkan cintanya kepada sang istri dan komitmen kesetiaan di antara mereka.

Wahai saudara-saudaraku sebangsa dan setanah air, kalau saudara-saudaramu naik haji dan berebut mencium Hajar Aswad, itu bukan karena mereka stone-mania atau ngefans sama batu. Mereka sedang meneguhkan kesadaran bahwa mereka sangat butuh Allah dalam hidupnya, maka mereka mengukuhkan cinta kepada makhluk yang paling dicintai Allah, yakni Rasulullah Muhammad Saw. Dan karena dulu Muhammad juga mencium batu hitam itu, padahal jelas beliau tidak punya hobi makan batu, maka mereka menyatakan di hadapan Allah cinta mereka kepada Muhammad. Mudah-mudahan dengan itu mereka kecipratan cinta Allah kepada Muhammad, sehingga Allah memperlakukannya sebagai bagian dari yang paling Ia cintai.

Kabarnya Nabi Musa ketika memimpin pasukan kejaran Firaun itu mendadak sakit perut di tengah lari-lari. Musa mengeluh kepada Allah, dan Allah memerintahkan agar Musa naik bukit ambil daun dari sebatang pohon untuk menyembuhkan sakit perutnya. Musa naik dan, sebelum menyentuh daun, perutnya sudah sembuh. Tolong jangan ambil konklusi "Itu daun mujarab banget, belum disentuh, perut udah sembuh". Musa balik ke pasukannya, mendadak sakit perut lagi. Ia langsung naik ke bukit, tapi sesudah makan sekian lembar daun perutnya tak sembuh-sembuh juga. Musa protes kepada Allah. Dalam logika saya, Allah menjawab dengan penuh kegelian: "Hei, Sa. Emang siapa yang bilang bahwa daun bisa menyembuhkan perutmu? Meskipun daun itu mengandung unsur-unsur yang secara ilmiah memang rasional bisa menyembuhkan perutmu, Aku bisa bikin tetap tidak menyembuhkan. Tadi waktu sakit perut yang pertama kau mengeluh kepadaku, tapi pada yang kedua kau tak mengeluh dan langsung saja lari ke bukit ambil daun. Karena kamu salah cara berpikirmu. Salah pandangan ilmu dan cintamu kepada segala sesuatu. Kamu salah peradaban. Kamu pikir daun bisa menyembuhkan. Itu tergantung mau-Ku. Aku menyembuhkanmu bisa pakai daun, air putih, batu, lewat Gaza, Tursina, Jombang, atau mana pun semau-mau-Ku.... Berapa lama sebuah anugerah Kuberikan, itu rahasia-Ku, bisa sesaat, sebulan, setahun, terserah Aku."

"Datanglah ke dokter, minta obat, sebagaimana ratusan juta orang telah melakukannya. Datanglah ke kiai, bawa air putih. Atau datanglah ke mana pun kepada siapa pun. Asalkan kau tak posisikan mereka semua pada maqam-Ku. Engkau berlaku musyrik atau tidak, terletak tidak pada pil dan dokternya, tongkat dan Musa, air dan kiai, atau batu dan siapa pun yang kutitipi batu sejenak. Letak syirik ialah pada pola pandangmu, pada cara berpikirmu. Jangan percaya kepada Ponari, Dukun, Ponari atau Kiai, tapi hormatilah mereka, karena siapa tahu mereka adalah hamba-hamba-Ku yang Kutitipi sarana untuk kesembuhanmu. Minumlah pil dokter dan air batu Ponari dengan kesadaran memohon kepada-Ku...."

Tiba-tiba aku dibentak oleh sebuah suara: "Ngurusi Ponari aja nggak becus! Mau sok-sok berlagak mengurusi NKRI!" Terperangah aku. Terpaksa kupotong di sini tulisanku ini, sebab aslinya panjang sekali. Kucari siapa berani-berani membentakku. Tak ada siapa-siapa. Tapi malam di Kendari menjelang aku tidur kelelahan usai bersalaman dengan ribuan undangan pengantin anakku, bentakan itu datang lagi: "He! Perhatikan itu para ahli kubur dari Jombang!" Ahli kubur? Aku tak ngerti.

"Kemarin pandangan-pandangan dan anggapan-anggapan dalam hidupmu dikubur habis oleh mutilasi-mutilasi dari tangan seorang yang tersisih secara sosial, yang menderita secara kejiwaan, yang terasing secara politik dan sejarah. Sekarang kalian sedang dikubur oleh sebongkah batu yang nenek itu menyebutnya Watu Gludug, yang dititipkan beberapa waktu kepada anak SLB yang kesepian dan menderita tatkala dipindahkan ke SD. Pelajarilah hari-hari besok dengan meluangkan waktu memperhatikan siapa saja dari tempat itu yang tingkat ketersisihan dan keteraniayaannya lebih dahsyat...." Mendadak ada suara lain yang membungkam suara itu: "Husysy! Shut up!" *

A Musthafa A Rodhi Murtadho A Wahyu Kristianto A. Mustofa Bisri A. Qorib Hidayatullah A. Zakky Zulhazmi A.J. Susmana A.S. Laksana Aang Fatihul Islam Abdul Azis Sukarno Abdul Aziz Rasjid Abdul Hadi W. M. Abdul Kadir Ibrahim Abdul Malik Abdul Wachid BS Abdullah al-Mustofa Abdullah Khusairi Abdurrahman Wahid Abidah El Khalieqy Abimanyu Abimardha Kurniawan Abroorza A. Yusra Acep Iwan Saidi Acep Zamzam Noor Achmad Maulani Adek Alwi Adhi Pandoyo Adrian Ramdani Ady Amar Afrizal Malna Agnes Rita Sulistyawati Aguk Irawan Mn Agus R. Sarjono Agus Riadi Agus Subiyakto Agus Sulton Aguslia Hidayah Ahda Imran Ahm Soleh Ahmad Farid Tuasikal Ahmad Farid Yahya Ahmad Fatoni Ahmad Kekal Hamdani Ahmad Luthfi Ahmad Muchlish Amrin Ahmad Nurhasim Ahmad Sahidah Ahmad Syauqi Sumbawi Ahmad Yulden Erwin Ahmad Zaini Ahmadie Thaha Ahmadun Yosi Herfanda Ainur Rasyid AJ Susmana Ajip Rosidi Akhiriyati Sundari Akhmad Muhaimin Azzet Akhmad Sekhu Alan Woods Alex R. Nainggolan Alexander Aur Alexander G.B. Alfian Dippahatang Ali Audah Ali Rif’an Aliela Alimuddin Alit S. Rini Alunk Estohank Ami Herman Amich Alhumami Amien Wangsitalaja Aming Aminoedhin Aminudin TH Siregar Ammilya Rostika Sari An. Ismanto Anaz Andaru Ratnasari Andhi Setyo Wibowo Andhika Prayoga Andong Buku #3 Andrenaline Katarsis Andri Cahyadi Angela Anies Baswedan Anindita S Thayf Anjrah Lelono Broto Anton Kurnia Anton Sudibyo Anton Wahyudi Anwar Holid Anwar Siswadi Aprinus Salam Arie MP Tamba Arif Hidayat Arif Zulkifli Arti Bumi Intaran Asarpin Asep Sambodja Asvi Warman Adam Awalludin GD Mualif Ayu Utami Azyumardi Azra Babe Derwan Bagja Hidayat Balada Bandung Mawardi Bayu Agustari Adha Beni Setia Benni Setiawan Benny Benke Bentara Budaya Yogyakarta Berita Bernadette Lilia Nova Bernando J. Sujibto Berthold Damshäuser Bhakti Hariani Binhad Nurrohmat Bokor Hutasuhut Bonari Nabonenar Brunel University London Budaya Budhi Setyawan Budi Darma Budi Hutasuhut Budi P. Hatees Budi Winarto Buku Kritik Sastra Buldanul Khuri Bustan Basir Maras Camelia Mafaza Capres dan Cawapres 2019 Catatan Cecep Syamsul Hari Cerpen Chairil Anwar Chamim Kohari Choirul Rikzqa D. Dudu A.R D. Dudu AR D. Zawawi Imron Dahono Fitrianto Dahta Gautama Damanhuri Damar Juniarto Damhuri Muhammad Damiri Mahmud Dantje S Moeis Darju Prasetya Darma Putra Darman Moenir Darmanto Jatman Dedy Tri Riyadi Delvi Yandra Denny JA Denny Mizhar Dewi Anggraeni Dian Basuki Dian Hartati Dian Sukarno Dian Yanuardy Diana AV Sasa Dinar Rahayu Djenar Maesa Ayu Djoko Pitono Djoko Saryono Doddi Ahmad Fauji Dody Kristianto Donny Anggoro Donny Syofyan Dorothea Rosa Herliany Dwi Cipta Dwi Fitria Dwi Pranoto Dwi S. Wibowo Dwicipta Edeng Syamsul Ma’arif Edi Warsidi Edy Firmansyah EH Kartanegara Eka Alam Sari Eka Budianta Eka Kurniawan Eko Darmoko Ellyn Novellin Elnisya Mahendra Emha Ainun Nadjib Emil Amir Engkos Kosnadi Esai Esha Tegar Putra Evan Ys F. Budi Hardiman Fadly Rahman Fahmi Fahrudin Nasrulloh Faisal Kamandobat Fani Ayudea Fariz al-Nizar Faruk HT Fatah Anshori Fatah Yasin Noor Fatkhul Anas Fatkhul Aziz Felix K. Nesi Film Fitri Yani Franditya Utomo Fuska Sani Evani Gabriel Garcia Marquez Gandra Gupta Garna Raditya Gde Artawan Geger Riyanto Gendhotwukir George Soedarsono Esthu Gerakan Surah Buku (GSB) Goenawan Mohamad Grathia Pitaloka Gunawan Budi Susanto Gunawan Tri Atmojo H. Supriono Muslich H.B. Jassin Hadi Napster Halim H.D. Hamberan Syahbana Hamidah Abdurrachman Han Gagas Hardi Hamzah Haris del Hakim Haris Priyatna Hasan Aspahani Hasan Gauk Hasan Junus Hasnan Bachtiar Helvy Tiana Rosa Helwatin Najwa Hendra Junaedi Hendra Makmur Hendriyo Widi Ismanto Hepi Andi Bastoni Heri Latief Heri Listianto Herry Firyansyah Heru Untung Leksono Hikmat Darmawan Hilal Ahmad Hilyatul Auliya Holy Adib Hudan Hidayat Hudan Nur Husnun N Djuraid I Nyoman Suaka Ibnu Rizal Ibnu Rusydi Ibnu Wahyudi IGK Tribana Ignas Kleden Ignatius Haryanto Iksan Basoeky Ilenk Rembulan Ilham khoiri Imam Jazuli Imam Nawawi Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Iman Budi Santosa Imelda Imron Arlado Imron Tohari Indiar Manggara Indira Margareta Indra Darmawan Indra Tjahyadi Indra Tranggono Indrian Koto Ingki Rinaldi Insaf Albert Tarigan Intan Hs Isbedy Stiawan ZS Ismail Amin Ismi Wahid Ivan Haris Iwan Gunadi Jacob Sumardjo Jafar Fakhrurozi Jajang R Kawentar Janual Aidi Javed Paul Syatha Jean-Marie Gustave Le Clezio JJ. Kusni Joko Pinurbo Joko Sandur Joko Widodo Joni Ariadinata Jual Buku Paket Hemat Julika Hasanah Julizar Kasiri Jumari HS Junaidi Jusuf AN Kadir Ruslan Kartika Candra Kasnadi Katrin Bandel Kenedi Nurhan Ketut Yuliarsa KH. Ma'ruf Amin Khaerudin Khalil Zuhdy Lawna Kholilul Rohman Ahmad Komunitas Deo Gratias Komunitas Teater Sekolah Kabupaten Gresik (KOTA SEGER) Korrie Layun Rampan Krisandi Dewi Kritik Sastra Kucing Oren Kuswinarto Langgeng Widodo Lathifa Akmaliyah Latief S. Nugraha Leila S. Chudori Lenah Susianty Leon Agusta Lina Kelana Linda Sarmili Liston P. Siregar Liza Wahyuninto M Shoim Anwar M. Arman A.Z. M. Fadjroel Rachman M. Faizi M. Harya Ramdhoni M. Kasim M. Latief M. Wildan Habibi M. Yoesoef M.D. Atmaja Mahdi Idris Mahmud Jauhari Ali Mahwi Air Tawar Malkan Junaidi Maman S. Mahayana Mardi Luhung Marhalim Zaini Maria hartiningsih Maria Serenada Sinurat Mario F. Lawi Maroeli Simbolon S. Sn Marsus Banjarbarat Marwanto Mas Ruscitadewi Masdharmadji Mashuri Masriadi Mawar Kusuma Wulan Max Arifin Melani Budianta Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia Mezra E. Pellondou Micky Hidayat Mihar Harahap Misbahus Surur Moh Samsul Arifin Moh. Syafari Firdaus Mohamad Asrori Mulky Mohammad Afifuddin Mohammad Fadlul Rahman Muh Kholid A.S. Muh. Muhlisin Muhajir Arifin Muhamad Sulhanudin Muhammad Al-Fayyadl Muhammad Amin Muhammad Azka Fahriza Muhammad Rain Muhammad Subhan Muhammad Yasir Muhammad Zuriat Fadil Muhammadun A.S Muhidin M. Dahlan Musa Ismail Musfi Efrizal Mustafa Ismail Nafi’ah Al-Ma’rab Naskah Teater Nezar Patria Nina Setyawati Nirwan Ahmad Arsuka Nirwan Dewanto Noor H. Dee Noval Maliki Nunuy Nurhayati Nur Haryanto Nurani Soyomukti Nurel Javissyarqi Nurhadi BW Nurudin Octavio Paz Oliviaks Orasi Budaya Akhir Tahun 2018 Pablo Neruda Pamusuk Eneste Panda MT Siallagan Pandu Jakasurya PDS H.B. Jassin Philipus Parera Pradewi Tri Chatami Pramoedya Ananta Toer Pramono Pranita Dewi Pringadi AS Prosa Puisi Puisi Menolak Korupsi PuJa Puji Santosa Puput Amiranti N Purnawan Andra PUstaka puJAngga Putri Utami Putu Fajar Arcana Putu Wijaya Qaris Tajudin R Sutandya Yudha Khaidar R. Sugiarti R. Timur Budi Raja R.N. Bayu Aji Rachmad Djoko Pradopo Radhar Panca Dahana Rahmadi Usman Rahmat Sudirman Rahmat Sularso Nh Rahmat Sutandya Yudhanto Raihul Fadjri Rainer Maria Rilke Raja Ali Haji Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Raudal Tanjung Banua Reiny Dwinanda Remy Sylado Resensi Revolusi Riadi Ngasiran Ribut Wijoto Ridha al Qadri Ridwan Munawwar Rikobidik Riri Riris K. Toha-Sarumpaet Risang Anom Pujayanto Rizky Andriati Pohan Robert Frost Robin Al Kautsar Robin Dos Santos Soares Rodli TL Rofiqi Hasan Rohman Budijanto Romi Febriyanto Saputro Rosihan Anwar RR Miranda Rudy Policarpus Rukardi S Yoga S. Jai S.I. Poeradisastra S.W. Teofani Sabam Siagian Sabrank Suparno Saiful Amin Ghofur Sainul Hermawan Sajak Sakinah Annisa Mariz Salamet Wahedi Salman Rusydie Anwar Samsudin Adlawi Sapardi Djoko Damono Sartika Dian Nuraini Sastra Sastra Gerilyawan Sastri Sunarti Satmoko Budi Santoso Saut Situmorang Sejarah Sekolah Literasi Gratis (SLG) SelaSastra SelaSastra ke #24 Selasih Seno Gumira Ajidarma Seno Joko Suyono Sergi Sutanto Shadiqin Sudirman Shiny.ane el’poesya Sidik Nugroho Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Simo Sungelebak Karanggeneng Lamongan Siti Sa’adah Sitok Srengenge Siwi Dwi Saputro Sjifa Amori Sofyan RH. Zaid Soni Farid Maulana Sony Prasetyotomo Sosiawan Leak Sri Wintala Achmad Sri Wulan Rujiati Mulyadi Subhan SD Suci Ayu Latifah Sulaiman Djaya Sulistiyo Suparno Sunaryo Broto Sunaryono Basuki Ks Sungatno Sunlie Thomas Alexander Sunudyantoro Suriali Andi Kustomo Suryadi Suryansyah Suryanto Sastroatmodjo Susi Ivvaty Susianna Susilowati Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Suwardi Endraswara Syaifuddin Gani Syaiful Bahri Syam Sdp Syarif Hidayatullah Tajuddin Noor Ganie Tammalele Tan Malaka Taufik Ikram Jamil Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat Teguh Trianton Tengsoe Tjahjono Th Pudjo Widijanto Thayeb Loh Angen Theresia Purbandini Tia Setiadi Tito Sianipar Tiya Hapitiawati Tjahjono Widarmanto Tjahjono Widijanto Toko Buku Murah PUstaka puJAngga Tosa Poetra Tri Joko Susilo Triyanto Triwikromo Tu-ngang Iskandar Udo Z. Karzi Uly Giznawati Umar Fauzi Umar Kayam Undri Uniawati Universitas Indonesia UU Hamidy Vyan Tashwirul Afkar W Haryanto W.S. Rendra Wahyudin Wannofri Samry Warung Boenga Ketjil Waskiti G Sasongko Wawan Eko Yulianto Wawancara Web Warouw Wijang Wharek Wiko Antoni Wina Bojonegoro Wira Apri Pratiwi Wiratmo Soekito Wishnubroto Widarso Wiwik Hastuti Wiwik Hidayati Wong Wing King WS Rendra Xu Xi (Sussy Komala) Y. Thendra BP Y. Wibowo Yani Arifin Sholikin Yesi Devisa Yohanes Sehandi Yona Primadesi Yosi M. Giri Yusi Avianto Pareanom Yusri Fajar Yusrizal KW Yuval Noah Harari Yuyu AN Krisna Zaki Zubaidi Zalfeni Wimra Zawawi Se Zehan Zareez Zen Hae Zhaenal Fanani Zuarman Ahmad Zulfikar Akbar Zulhasril Nasir