Sabtu, 28 Februari 2009

Musik sebagai Bahasa Universal

Purnawan Andra*
http://www.lampungpost.com/

SIAPA yang lupa lagu Imagine karya John Lennon? Lagu itu selalu menjadi soundtrack penayangan berita kekerasan di televisi seperti perang.

Dekade 80-an, Michael Jackson bersama banyak musisi kulit hitam menyanyikan We are the World untuk merespons kelaparan dan politik apartheid di Afrika Selatan.

Festival Glastonburry di Inggris, Woodstock di Amerika Serikat, LiveAids Festival adalah contoh beberapa festival musik yang selalu mengusung isu-isu mutakhir dunia seperti masalah lingkungan, kesehatan atau politik.

Bruce Springsteen dan Bono (U2) adalah contoh penyanyi yang mengkritisi kondisi politik dunia lewat lirik lagu-lagunya. Dengan lagu, mereka bersuara dan mampu berdialog sejajar dengan para pemimpin dunia.

Kesenian dalam masyarakat memang mempunyai posisi, fungsi, dan pemaknaan yang lekat dengan kebutuhan akan estetika, etika, spiritualitas, identifikasi, komunalitas juga ekonomi. Kekayaan multidimensi yang dimiliki seni termasuk musik sesungguhnya mampu membuka kemungkinan yang mampu dilakukan dalam kehidupan lokal bahkan global.

Eksistensi musik dapat dilihat dari kedudukannya sebagai teks dan konteks dalam masyarakat (Shin Nakagawa, 2000). Musik bukan hanya ekspresi bunyi (teks) yang menghibur secara dangkal atau semata tontonan. Musik adalah ruang pembacaan yang lebih kritis tentang identitas, tradisi, modernitas, dan sejarah musik itu sendiri (konteks).

Musik juga mampu berperan sebagai sebuah tuntunan laju dan arah peradaban manusia yang lebih baik. Usaha ini menjadi salah satu praktek penting untuk memproduksi kebudayaan sebagai sebuah "pengalaman berbagi" (Stuart Hall, 1997).

(Pem)bingkai(an)

Selama ini perkembangan dan pandangan tentang musik tidak dapat dilepaskan dari semangat zaman yang memberinya makna. Dalam sejarah perkembangannya, musik ditempatkan dalam aneka "bingkai" (frame) dan "pembingkaian" (framing) yang di dalamnya konsep, bentuk, prinsip, definisi, dan ekspresinya dibatasi baik melalui bingkai antropologis, sosiologi, ekonomi maupun kultural.

"Pembingkaian" adalah proses pembentangan "horizon" atau "dunia kemungkinan" (possible worlds) sekaligus penutupannya (Piliang, 2008), dalam konteks sosiologis, antropologis, politik, ekonomi, dan budaya.

Modernitas mendekonstruksi cara pandang seperti ini dengan meletakkan musik dalam sebuah medan transkultural, menekankan kaitan antara "struktur suara musik" dan "struktur kebudayaan" di mana musik itu hidup dan berkembang.

Musik berada dalam ruang yang memungkinkannya bertemu, bersilangan, bersimbiosis, berdialog, bercampur dengan unsur lain yang beragam, membuka aneka "ruang kemungkinan" dan pandangan baru tentang musik itu sendiri.

Dalam horizon yang tak terbatas tersebut, orang dapat menemukan "potensialitas" pemahaman tentang musik, yang tak terbayangkan, tak terpikirkan, dan tak terimajinasikan sebelumnya. Musik dapat menjadi sarana mencari hubungan antara struktur suara musik di satu pihak, serta masyarakat dan budaya di pihak lain.

Pembukaan ruang bagi reinterpretasi musik untuk menelusuri apa yang tersembunyi di dalam bahasa, apa yang ditangguhkan melalui tanda, apa yang ditunjuk, apa yang direpresikan (Fisher, 1986). Pembacaan musik membuka ruang bagi persandingan dua atau lebih tradisi kebudayaan melalui kolaborasi dengan hal lain.

Musik mampu berlaku sebagai wacana dan wahana urun suara dalam pusaran ide dunia kontemporer. Musik adalah sebuah "percakapan besar kebudayaan", representasi beragam maksud dan pemikiran, yang luruh menampung semua pendekatan artistik. Alat musik hanyalah media, sementara spirit yang mendasarinya adalah kebersamaan. Dan kebersamaan akan membangun dan menumbuhkan sesuatu yang baik.

Musik seharusnya bisa dilihat sebagai sebuah prinsip aransemen, susunan, dan ekspresi tanpa bingkai; sebagai susunan dinamis. Sebuah "himpunan" yang dibangun elemen-elemen musik (suara, nada, alat musik, aransemen, panggung) serta elemen-elemen lain nonmusik (elemen sosial, psikis, politik, budaya bahkan spiritualitas) dengan membentangkan cakrawala dan horizon luas yang mengintegrasikan musik dengan makna eksistensi kita.

Dalam musik tanpa bingkai itu kita mendapatkan visi pencerahan, arti kehidupan manusia dalam kemenyeluruhannya. Musik tanpa bingkai adalah bentuk disorganisasi hal-hal yang membingkainya. Yang dipentingkan di dalamnya adalah hubungan dinamis dan jejaring antara elemen-elemen pembangunnya (alat, teknologi, tubuh, sosial, politik, ekonomi, kultural) membuka ruang perbedaaan tanpa akhir.

Dengan itu musik dapat bekerja di luar dikotomi yang selama ini membangunnya, dan memperluas segala horizonnya: epistemologi, ekonomi, sosil, politik, kultural dan spiritual. Musik tidak lagi berurusan dengan musik an sich, tapi dengan segela elemen yang selama ini dianggap nonmusik seperti panggung, fashion, tata rias, desain komunikasi menusik, material, dan teknologi musik.

Industri Kreatif

Perluasan horizon pada saat yang sama membuka kemungkinan "industri kreatif". Terlebih saat ini tuntutan budaya post-modern dan masyarakat industri kreatif telah menuntut musik memperluas horizon, dengan membuka kemungkinan dunia yang beraneka ragam.

Memperluas horizon berarti menyintesa horizon masa lalu (sejarah) dan masa depan, memperluas medan kerja dan cara kerja musik. Musik kini tidak lagi melulu berurusan dengan suara, tapi mungkin juga dengan gerak, bentuk, bau-bauan dan citra. Tidak lagi dengan seni budaya, tapi juga dengan politik.

Inilah dasar pemikiran multikulturalisme kritis (Danusiri, 2004) yang tidak mengeksploitasi makna kebudayaan, tapi mengeksplorasinya di masyarakat sehingga relevan dengan nilai-nilai kebenaran dan keadilan. Musik dalam rangka multikulturalisme kritis adalah musik yang melampaui batas-batas dan menawar keragaman.

Musik menjadi tonggak sebuah rekonsiliasi kultural yang menumbuhkan pemahaman bahwa musik bukan sekadar instrumen dan bunyi, melainkan sarana komunikasi mempererat relasi antarwarga, suku, golongan, bahkan bangsa.

*) Civitas academica Fakultas Seni Pertunjukan ISI Surakarta

'Perempuan Berkalung Sorban' dalam Diskursus

Rahmat Sudirman, Wiwik Hastuti
http://www.lampungpost.com/

BERAWAL dari pergulatan fiktif putri kiai salafiah Jawa Timur, pro-kontra itu datang. Lika-liku Anissa yang hidup dalam tradisi patriarki pesantren Jawa Timur membuka kembali diskursus lawas tentang subordinat perempuan di negeri ini. Film Perempuan Berkalung Sorban besutan Hanung Bramantyo pun jadi sorotan.

Film yang dibintangi Revalina S. Temat (Anissa), Oka Antara (Khudori), dan Joshua Pandelaky (Kiai Hanan)--diperkuat artis senior Widyawati dan Ida Leman--ini mengadopsi novel Perempuan Berkalung Sorban karya sastrawan kelahiran Jombang, Jawa Timur, Abidah El Khalieqy.

Dalam tayangan berdurasi 120 menit itu, dikisahkan sosok Anissa sebagai putri kiai yang bergulat dengan perannya sebagai seorang ibu dan istri. Anissa hidup di lingkungan keluarga kiai di pesantren salafiah putri Al Huda, Jawa Timur. Bertahun-tahun ia hidup dalam alam pikir (world view) salafiah. Kosmologinya menyatakan kemodernan adalah menyimpang.

Tradisi yang diterimanya melarang seorang perempuan menunggangi kuda. Perempuan juga tidak boleh hidup sendirian, jauh dari orang tua dan keluarga. Maka itu, keinginan Anissa kuliah di Yogyakarta pun kandas karena larangan orang tuanya. Wanita dewasa yang hidup sendiri hanya akan memunculkan fitnah, begitu kata Kiai Hanan, orang tua Anissa.

Ketidakberdayaan perempuan terus digambarkan Hanung lewat perjodohannya dengan Samsudin (Reza Rahadian), yang sama-sama keturunan kiai besar. Anissa tak bisa menolak. Ketika kehidupan keluarganya bersama Samsudin juga berjalan panas, Anissa tak bisa apa-apa, begitu pun ketika terus-terusan ia diperlakukan kasar oleh suami.

Sampai akhirnya dipoligami, Anissa belajar "ikhlas" menyaksikan Samsudin menggandeng Kalsum (Francine Roosenda) sebagai istri muda.

Harapan bergantung pada Khudori, pamannya dari pihak ibu. Cinta yang tumbuh sejak di pesantren kembali memunculkan kepercayaan pada Anissa. Lalu, dari sini, putri sang kiai yang dulu hidup dalam subordinasi pun menyebarkan pembebasan pada santri-santri Al Huda, termasuk perlawanan terhadap suami yang membuat istri tak berdaya.

Pro-Kontra

Pergulatan Anissa terhadap tradisi pesantren memicu polemik. Majelis Ulama Indonesia (MUI), seperti disampaikan Ali Mustafa Yaqub, menilai film garapan Hanung Bramantyo itu menjelek-jelekan Islam dan pesantren. Islam dibayangkan sebagai agama yang menindas dan membatasi perempuan.

Bagi MUI, penggambaran ini harus diluruskan. Agar tidak memunculkan keresahan di masyarakat, MUI pun meminta penayangan film ini distop sampai ada perbaikan beberapa bagian.

Hanung bertahan. Bagi sineas muda kelahiran Yogyakarta ini, Perempuan Berkalung Sorban adalah film keluarga. Kisahnya seputar peran seorang bapak yang dominan dalam tradisi patriarki.

Perempuan Berkalung Sorban juga bukan menyorot pesantren salaf, pesantren modern maupun Alquran. Film ini mengangkat tentang orang yang memakai Alquran untuk melegalkan kepentingan-kepentingan patriarki kepada anaknya yang perempuannya, begitu argumen Hanung.

Hanung tidak sendiri. Staf Ahli Departemen Agama, Siti Musdah Mulia, mendukung Perempuan Berkalung Sorban. Ia tidak searah dengan MUI dan seruan memboikot film yang dinilainya mengungkap realitas penindasan terhadap perempuan dengan mengatasnamakan agama.

"Saya membenarkan film ini mengangkat realitas. Dalam prakteknya seperti itu. Sebagai umat Islam kita tidak suka agama kita membelenggu perempuan, ketinggalan zaman. Tapi pada kenyataannya memang masih banyak yang seperti itu," kata dosen UIN Syarief Hidayatullah itu, seperti dilansir detikcom, awal Februari.

Bukan Satu-Satunya

Perempuan Berkalung Sorban bukan satu-satunya film bernuansa Islam dan mengangkat kehidupan pesantren ke layar perak. Film-film yang berangkat dari novel maupun latar pesantren faktanya mendapat sambutan hangat.

Satu lagi, film-film bernapaskan Islam juga begitu cepat menuai kontroversi. Sebelumnya, Ayat-Ayat Cinta yang digarap Hanung dari novel fenomenal karya Habibburahman El Shirazy juga sukses sekaligus menuai pro-kontra.

Memang kasusnya berbeda dengan 3 Doa 3 Cinta. Film besutan Nurman Hakim ini juga mengangkat dunia pesantren. Jika Perempuan Berkalung Sorban berlatar pesantren Jawa Timur, film dengan pemeran utama Dian Satro dan Nicholas Saputra ini berangkat dari kultur pesantren Demak, Jawa Tengah.

3 Doa 3 Cinta memang tidak fokus pada dekonstruksi patriarki dalam pesantren seperti diceritakan Hanung dalam Perempuan Berkalung Sorban. Film ini berkisah tentang gambaran masa depan tiga santri: Huda (Nicholas Saputra), Rian (Yoga pratama), dan Syahid (Yoga Bagus).

Seperti tergambar pada Huda yang jatuh cinta pada penyanyi dangdut (Dian Sastro), bukan linearitas cita-cita santri yang dihadirkan Nurman Hakim dalam film ini. Konsepsi ini dikemas Nurman dalam scene sosial dengan permasalahan yang kompleks. Acting Dian sebagai penyanyi dangdut membuat kontras cerita berjalan menarik.

Kerja Nurman menghadirkan film berlatar pesantren dengan kontras sosialnya ini pun tak sia-sia. Film 3 Doa 3 Cinta mendapat Grand Prize of the International Jury pada ajang International Festival of Asian Cinema Vesoul, Prancis. Dalam pandangan Ketua Juri Festival, Fatemeh Motamed-Arya, 3 Doa 3 Cinta sukses mendeskripsikan hal-hal kompleks dengan bahasa sederhana.

International Festival of Asian Cinema Vesoul adalah ajang penghargaan yang dikhususkan untuk film-film dari Asia. Festival yang diadakan pada 10--17 Februari lalu merupakan salah satu festival film tertua di Prancis.

Sukses Ayat-Ayat Cinta dan 3 Doa 3 Cinta seperti mengukuhkan pergantian dominasi film-film cinta ber-setting urban dan film-film horor yang sempat booming di Tanah Air sejak lima tahun terakhir. Tentu saja, bukan lantaran film-film itu bernapas Islam maka diminati; setting pesantren yang dekat dengan sosiologis Indonesia juga yang menguatkannya.

Satu lagi, bahwa film-film itu diangkat dari novel karya penulis-penulis kuat, ini juga menjadi unsur penjamin kualitas yang menarik minat dan penasaran publik.

Ketika Sandal Dimerdekakan

Membaca Sajak-Sajak Okky Sanjaya

Budi P. Hatees
http://www.lampungpost.com/

Sandal bisa menjadi apa saja yang pembaca inginkan. Okky Sanjaya memanfaatkan kekuasaan akan kemerdekaan personal untuk membebaskan sandal dari kungkungan makna.

SANDAL di tangan kapitalis bermetamorfosis; metamorfosis yang mirip idiom sandal dalam sejumlah sajak dalam manuskrip Belajar Memasak Sajak. Manuskrip ini berisi sajak-sajak Okky Sanjaya yang muncul di sejumlah media cetak di Lampung maupun luar provinsi; lahir dari proses panjang kepenyairannya sejak masih di SMA.

Metamorfosis sandal dalam sajak Okky bukan pada wilayah medan makna idiomatik, melainkan ranah pribadi. Okky memanfaatkan kekuasaan akan kemerdekaan personal untuk membebaskan sandal dari kungkungan makna. Okky membebaskan makna yang mengekang sandal dari sesuatu yang diterima sebagai alas kaki menjadi hal-hal lain di luar fungsi yang disandang sandal selama ini. Okky memberi ruang sebebas-bebasnya bagi sandal menjadi apa saja.

Sandal tak perlu manut, hanya mengusung makna tunggal, menggadang-gadang makna itu, dan memaksakan diri agar segala bentuk penafsiran berakhir dengan makna tunggal itu. Tidak ada otoritas dan karenanya tidak ada sikap otoriter memaksakan makna tunggal. Yang ada kebebasan dan kemerdekaan, sesuatu yang diidam-idamkan umat manusia.
***

SANDAL bisa menjadi apa saja yang pembaca inginkan. Kita baca sajak Bila Sandalku Telah Tiba: bila sandalku telah tiba, dinda, hadapi saja_dunia yang serba ingin/tetap tertulis bersih. Sebagai tamu, nantinya kau akan mengerti pergi. /beranjak dari sekian tema, dari sekian kepiting kembara. Tak ada/salak anjing malam ini. Purnama belum tiba. Reranting mangga/tak terdengar patah di ujung seketika. Kecuali bila kau anggap/ini setia.

Sandal berada pada kedudukan metaforis. Diksi ini akrab dengan keseharian pembaca. Tapi, orang pasti membela diri bahwa setiap sajak memang tumpukan metafora karena hakikat bahasa sesunguhnya metaforis.

Sambil mengutif Roland Barthes dalam The Death of the Author, orang akan memberi pembenaran bahwa makna yang diniatkan seorang penyair dalam sajak-sajaknya belum tentu akan diamini pembaca. Pembaca punya kebebasan menafsir teks berdasarkan ranah pengetahuan, pengalaman, dan kebudayaan yang membentuknya tanpa dibayang-bayangi sosok penyair.

Tapi, sulit mengabaikan bahwa tafsir dan tradisi menafsirkan teks sastra akan memerdekakan manusia. Tafsir merupakan bentuk lain dari penjajahan terhadap manusia, di mana manusia mesti taklit dan patuh pada teori-teori tafsir sehingga mengabaikan kemungkinan-kemungkinan metaforis lain dalam berbahasa.

Orang tidak sepenuhnya menjadi merdeka menafsirkan teks sastra. Mereka membiarkan diri dijajah konvensi penafsiran, mengutip Barthes, Foucault, Saussure, Derrida, dan para pembawa post-strukturalis. Lebih usang lagi, mengungkit sejarah bahasa, lalu sampai pada khazanah paling tradisional dari bahasa yang mantra.

Dalam sejarahnya, bahasa (kata) adalah penjajahan terhadap manusia. Aktivitas manusia dalam berbahasa merupakan penyakit pikiran. Manusia berusaha menamai benda-benda di sekitarnya, lalu penamaan itu menjadi konvensi tanpa reserve, manut, dan tunduk.

Maka, kata sandal diterima manusia sebagai alas kaki. Tapi, makna itu dimasabodohkan dalam sajak Okky. Sandal bukan cuma alas kaki.

Kalau pemikiran Derrida dipakai, maka cara berbahasa Okky menemukan relevansia. Makna dalam kata tidak sepenuhnya mampu menggambarkan realitas. Sebab itu, dalam berbahasa, kita mesti membebaskan diri dari "logosentris". Artinya, penanda (signs) dan petanda (signified) dapat digabung dalam tahapan yang sama dalam praktek tindak tutur (act of speaking).

Tulisan merupakan model yang lebih baik untuk memahami bahasa berfungsi. Dalam tulisan, penanda selalu produktif, mengenalkan aspek sesaat ke dalam penandaan yang menentukan berbagai penggabungan antara sign dan signified.

Apa yang dikemukakan Paul de Man, seorang teoritikus terkemuka dari Yale University, tentang bahasa sebagai teks sastra, layak dimunculkan di sini. De Man berpendapat, ada devisi radikal dalam teks sastra antara gramatikal atau struktur logika bahasa dan aspek retorisnya. Ini menciptakan signifikansi (penandaan) dalam teks sastra yang pada akhirnya tak dapat ditentukan. De Man berpendapat bahwa sastra digabungkan oleh permainan (play) yang tak dapat ditentukan secara gramatikal dan retoris dalam teks dan tidak dengan pertimbangan estetis.
***

Okky merupakan generasi baru kepenyairan Lampung. Mengawali keterlibatannya dalam khazanah kesusastraan sebagai pembaca puisi yang serius (ia sering mendapat penghargaan karena kemampuannya "membaca" puisi begitu luar biasa). Ia membaca Sutan Takdir Alisjahbana yang merupakan penganut renaisans Barat sampai Sutardji Calzoum Bachri yang memberi makna baru pada mantra (magis kata).

Ia juga membaca Isbedy Stiawan Z.S. yang menjadi ikon sastra kontemporer Lampung sampai Udo Z. Karzi yang tampil sebagai ikon sastra tradisi Lampung. Semua sajak yang dibacanya, membawa Okky pada simpul bahwa "penyair bukan entitas yang merdeka".

Tak puas pada sajak yang berangkat dari konvensi bahasa, membuat sajak Okky memiliki cara ungkap berbeda dari kebanyakan penyair Lampung saat ini; tidak hanyut dalam keseragaman pola ucap lirik naratif yang diwariskan turun-temurun dari tradisi bersastra ala Unit Kegiatan Mahasiswa Bahasa dan Seni (UKMBS) Universitas Lampung.

Okky muncul dengan kesadaran penuh untuk memerdekakan penyair dari kekangan konvensi berbahasa. Mari kita baca sajak Mengikat Pinggul Gorden: cahaya apalagi yang kau persilahkan masuk/bukankah sejak tadi kita tak mematikan lampu,/mematikan gigi palsu?/ Apakah kau tak ingin ikut/melihat rembulan? Tidak. Aku takut cemburu.

Satu hal yang bisa ditangkap dari sajak itu, sebuah anjuran yang pernah dikeluhkan Alan A. Stone dan Sue Smart Stone dalam The Abnormal Personality Through Literature. Kita mesti memperlakukan sastrawan (pengarang) sebagai kolega, yakni orang yang dengan kerja keras berusaha mengungkapkan pengalaman hidupnya. Sastrawan adalah juru bicara realitas, tetapi tidak ada masyarakat yang memberi aplaus atas usaha mereka.

“Gandrung”-nya Gus Mus Jadi Teori Baru

Judul : Gandrung Cinta
Penulis : Abdul Wachid BS
Penerbit : Pustaka Pelajar, Yogyakarta
Cetakan : Pertama, 2008
Tebal : xvii + 261
Peresensi: Arif Hidayat
http://www.kr.co.id/

MELALUI buku ini, kita dapat mengenal sosok A Mustofa Bisri yang sebenarnya. Selain sebagai ulama besar di Indonesia, Mustofa Bisri (Gus Mus, panggilan akrabnya) juga dikenal sebagai penyair yang ternama dalam ranah kesusastraan Indonesia. Hal itu terbukti dengan telah diterbitkannya tujuh buku puisi, salah satunya yaitu sajak-sajak cinta Gandrung, yang kemudian dibedah kandungan makna serta paradigma berpikirnya oleh Abdul Wachid BS.

Puisi-puisi Gus Mus dalam sajak-sajak cinta Gandrung adalah ekspresi Gus Mus mengenai cinta. Namun cinta tersebut bukanlah cinta antara manusia dengan manusia, melainkan ekspresi cintanya dengan Tuhan. Abdul Wachid BS, meyakini bahwa kandungan makna dalam sajak-sajak Gandrung berkaitan dengan etika tasawuf karena terdapat konsep cinta sebagai perwujudan dari tingkatan ruhani, yang dalam tradisi sufisme disebut cinta Ilahiah (mahabbah).

Dalam ilmu tasawuf, cinta ilahi diyakini sebagai tingkatan yang tinggi. Pemahaman mengenai cinta ilahi sangat disadari oleh seorang yang sedang menempuh kehidupan ruhani karena cinta dapat memberikan sugesti untuk melakukan perbuatan tanpa mengenal lelah, khususnya dalam beribadah. Pada pemahaman inilah ekspresi cinta seirama dengan keimanan seseorang sehingga memiliki tingkatan tertentu, sesuai dengan kadar keikhlasannya. Sementara itu, representasi dari cinta sebagai pengalaman rohani mendekati menuju Yang Satu, dituliskan oleh Gus Mus dalam bentuk puisi.

Akan tetapi, puisi-puisi Gus Mus sering diabaikan oleh orang awam. Penyebabnya, kegagalan memahami kode budaya di dalam puisi Gus Mus. Dengan kata lain bahwa yang tampaknya sederhana tersebut harus dipahami secara hermeneutik. Pada tipikalis puisi-puisi semacam ini, oleh Abdul Wachid BS menyebutnya sebagai ‘kesederhanaan yang menipu’ (deceptive simplicity).

“Kesederhanaan yang Menipu” sungguh sangatlah menarik untuk kita baca, karena muncul menjadi teori baru dalam kesusastraan Indonesia. Selama ini kebanyakan orang berasumsi bahwa puisi haruslah yang sulit-sulit. Pengakuan bahwa puisi tak harus memperindah kata-kata’ juga diungkapkan oleh Gus Mus dalam sajak ‘Aku Tak Akan Memperindah Kata-kata’: ‘Aku tak akan memperindah kata-kata Karena aku hanya ingin menyatakan/Cinta dan Kebenaran//Adakah yang lebih indah dari/Cinta dan kebenaran/Maka memerlukan kata-kata indah’.

Dalam buku ini, teori mengenai ‘kesederhanaan yang menipu’-lah hal yang paling menonjol dan baru karena teori tersebut belum pernah dituliskan oleh kritikus-kritikus di Indonesia, bahkan di dunia. Selama ini beberapa kritikus di Indonesia, dalam mengkaji puisi-puisi, hanya mencari maknanya, namun melewati apa yang dimilikinya sebagai keistimewaan tertentu. Oleh karena itu, buku karya Abdul Wachid BS ini layak dibaca.

Kalau Evi Bahagia Dipoligami, ”Lha mbok Biarin Aja..”

Abdul Wachid BS
http://www.kr.co.id/

MEMBACA buku cerpen Mahar karya Evi Idawati, ada hal yang menjadi perhatian saya. Dari gaya penceritaan, ekspresi bahasa secara umum, cerpen Evi tidak menunjukkan kebaruan. Tidak serevolusioner cerpen Joni Ariadinata yang mendobrak struktur kalimat menjadi frase-frase demi merebut ekspresi dan aksentuasi pikiran dan peristiwa agar selaras dengan emosi peristiwa yang dibangun. Memang, kelebihan cerpen Joni membangun miniatur “dunia” dengan cara memilih peristiwa paling penting saja. Hal itu, tak ubahnya penyair melakukan pemadatan kata-kata, sedangkan cerpenis melakukan pemadatan peristiwa. Dalam cerpen Evi, saya tidak mendapatkan hal itu. Cerpen Evi tak berpretensi melakukan pembaruan ekspresi kebahasaan, ia “hanya” pencerita yang komunikatif dan “sederhana”

Namun, syarat sebagai prosa yang baik sudah meng-ada dalam cerpennya, selaras ungkapan Satyagraha Hoerip, yang terpenting dalam prosa adalah berkisah atau ceritanya, yang lain nomor dua. Cerpen Evi memang demikian, mengalir perahu pikirannya, membawa pembaca ke seberang, mungkin daerah baru, barangkali desa imajinasi, barangkali sesuatu terindah dalam hidup manusia kita.

Mengapa Evi tak menggunakan kemampuan kepenyairannya secara penuh untuk seluruh cerpennya? Dalam prosa umumnya, hal yang disebut “puisi” memang perlu ada. “Puisi” itu ekspresi seni yang menyisakan ruang-kosong bagi penikmatnya agar dapat memberi makna, karenanya tiap pemaknaan mengalami perkembangan sesuai kejiwaan si Pembaca. Memaknai puisi “Doa” Chairil Anwar di saat SD, tentu berbeda dengan di saat menjadi mahasiswa Fakultas Sastra, akan sejajar dengan bertambahnya wawasan pembacaan. “Puisi” dalam prosa itu mewujud melalui ekspresi kebahasaan seperti halnya Saman karya Ayu Utami, atau Perempuan Berkalung Sorban karya Abidah el-Khalieqy. Namun hal itu bisa juga meruang-mewaktu di dalam peristiwa, mendekonstruksi pikiran-pikiran umum seperti halnya Khutbah di Atas Bukit karya Kuntowijoyo.

Dalam hal ini, kekecewaan saya agak terobati. Pada cerpen Evi, yang “puisi” itu dari bangunan peristiwa dan pikiran yang dekonstruktif seperti cerpen “Pernikahan Malikha” (pernah di Kedaulatan Rakyat). Dalam cerpen itu, Evi mampu mengemas dramatisnya peristiwa, keadaan batin Malikha sebagai tokoh utama, gadis berusia 12 tahun sebab ketaatan kepada orangtua dan tradisi harus menerima pernikahan dini. Percakapan batin Malikha, percakapan Malikha dengan Kakak, ekspresi Malikha menghadapi nasib di hadapan orangtuanya, kebingungan Malikha mencari kawan “curhat”, akhirnya membawa pada dunia kanak-kanaknya, berperahu ke sunyi pantai, bersembunyi di rumah bakau. Di situ, Evi mampu menciptakan suasana, peristiwa, konflik batin, penyelesaian cerita, semua itu dikemas bagai “puisi” yang mengharubiru, dan unik. Dalam “Pernikahan Malikha”, Evi tak sekadar menguapkan asap tanpa api, tapi api itu ada dan mengirim gelombang panasnya airmata kepada pembaca.

Pada hemat saya, jika menjawab tanya, di mana letak “api” dari cerpen Evi dalam Mahar ini? Jawabnya, di cover Mahar. Seorang wanita rambutnya panjang terurai, di hadapannya api menyala-nyala, di atas api ada tulisan menjadi judul “Mahar”, juga nama “Evi Idawati” dengan huruf-huruf merah metalik, inilah “api” pertama yang nyala dari dalam buku Mahar.

“Api” selanjutnya, wanita di depan api itu apakah semacam Siti Fatimah RA putri Nabi Muhammad SAW, yang menjawab tanya, bagaimana jika Sayidina Ali RA (suaminya) menikah lagi? Dijawabnya, kalau saja telor ditaruh di atas tungku hatiku, maka akan matang... Barangkali cover Mahar terinspirasi riwayat itu sehingga wanita di situ dihadapkan pada “api”? Namun ternyata, membaca cerpen “Mahar” dan “Titik Balik”, dua cerpen yang paling problematis di buku ini, pembaca justru tidak memperoleh gambaran panasnya api poligami yang membakar perempuan. Sebaliknya, api itu, perempuan sendirilah yang memantinya, bukan untuk membakar diri, melainkan lambang kehidupan yang tercerahkan (Bukankah unsur yang mengharmonikan kehidupan adalah air, tanah, udara, dan api?)
***

CERPEN “Titik Balik” lebih syariat, tokoh Ibu tidak melakoni kehidupan asketik (zuhud), kehidupannya biasa saja sebagai umumnya wanita mencintai lelaki yang dicintainya. Namun, dalam pikiran anaknya, mengapa Ibu bisa menerima diperlakukan Ayah sebagai istri kedua tanpa tuntutan neko-neko? Di cerpen itu Evi tidak sedang berdakwah, ia membangun peristiwa kesadaran tokoh Ibu; bukankah logis sebagai orang yang datang nomor dua tidak begitu banyak tuntutan? Apalagi tokoh Ibu berposisi dilematis, di satu sisi ia sadar telah “merebut” kebahagiaan wanita lain, di segi lain ia tak kuasa oleh kuasa cinta yang mengharubiru, yang ditumbuhkan Tuhan di taman hatinya. Cinta, memang, tak perlu didramatisir, namun cinta kerap menjadi misteri sekalipun tiap cinta-sejati selalu hakikatnya jiwa-yang-tenang (nafs al-muthmainnah), selalu dalam hubungannya dengan Tuhan, bahkan dalam percintaan profan sekalipun. Jika cinta-sejati diteruskan perawatannya hingga benar-benar sampai pada Cinta-Sejati, karenanya tak sebatas soal kelon. Yang semula hanya arti (meaning) sebab pukau megahnya tubuh, dari situ cinta-sejati akan meningkat pada makna (significance) megahnya tubuh.

Tokoh Ibu dalam “Titik Balik” tidak mengalami married by accident (MBA), tidak pula selingkuh (“hubungan-gelap” yang didahului zina), melainkan “hubungan-gelap-yang-terang”. Ini takdir yang tak kuasa ditolaknya, tokoh Ibu menyikapi dengan sumarah dan transendental. Justru, tokoh “Aku” (anak) tak mau mengerti selama 29 tahun, sampai akhirnya ia sendiri merasakan cinta yang sama, mencintai lelaki yang sudah beristri.

APAKAH cinta-sejati ada dalam poligami? Cinta-sejati dalam poligami hanya bisa dirasakan dan diterima oleh orang yang memiliki pengalaman sama, yang lain menganggapnya nonsens, syukur-syukur tak mengatainya, “Aaah, ngrebut suami orang!” Atau, “Perempuan matre!”. Bahkan, “Sundal!” Di situlah simalakama, di satu sisi cinta itu meng-ada melalui kuasa upaya, di segi lain cinta meng-ada melalui karunia langsung dari “Yang di Atas Sana” (Transenden). Dua fenomena itu selalu hadir di tengah jutaan hubungan lelaki-perempuan, dengan begitu, definisi, ukuran, dan cara pencapaiannya juga tidak sama. Mengapalah diharuskan sama? Katanya mengagungkan Hak Asasi Manusia?

Dari situ, ada pembenaran tersirat, poligami bukan suatu anjuran (oleh Islam), namun menyediakan ruang bagi keadaan darurat dari realitas kehidupan manusia semacam Unit Gawat Darurat (UGD) sehingga tatkala orang dihadapkan pada kondisi tersebut (pilihan-sadar atau malu-malu), maka hubungan lelaki-perempuan tidak perlu melanggar hati nurani dan nilai-nilai yang disepakati sesama manusia.

Cinta (mahabbah) dipahami dalam prespektif “Jalan”-nya (tarekat), ada yang melalui upaya-upaya konkret manusia (maqamat), dan ada yang bahkan tanpa upaya campur tangan manusia berupa keadaan mental yang mencenderungi cinta (hal). Barangkali ada yang menanyakan, bukankah perspektif demikian hanya berlaku dalam kehidupan sufisme? Boleh balik bertanya, bukankah “upaya” dan “anugerah” juga terjadi pada siapapun? Dalam perspektif ini, cerpen “Titik Balik”, merepresentasikan cinta sebagai upaya-upaya (maqamat) perjuangan dan pengetahuan sekaligus keadaan mental (hal) yang dikaruniai Allah; dan, hal tidak memandang siapa orang yang akan ketiban ndaru cinta, dan alamat cinta pun tidak pandang apa orang yang dicintai sudah memiliki istri atau belum (kita tidak bicara hal sebaliknya, seorang istri memiliki lima suami Pandawa, yang mendapat legalisasi adat sebagaimana di Tibet!). Hanya “orang yang cinta” saja yang dapat merasakan cinta dan Cinta, karenanya di saat supralogis cinta itu niban ndaru kepada tokoh “Aku” (anak), barulah ia dapat menghayati, dan mengetahui makna cinta, selanjutnya memperjuangkan cinta.
***

DALAM cerpen “Mahar”, Maya mempersepsi dan memposisikan cinta lebih pada perspektif mahabbah, yang datangnya secara hal, yang sebab kuasa Tuhan sehingga memiliki kekuatan mengubah seseorang secara tiba-tiba. Wanita yang melakoni hidup pernikahannya 13 tahun ketiban ndaru mahabbah. Tokoh istri, Maya, di satu sisi telah merasakan nikmatnya limpahan cinta suami, ia ingin berbalas budi dengan memberinya kebahagiaan biologis. Namun, saat mengevaluasi hidupnya dengan mendekatkan pada Allah, ia mengalami nikmat cinta dari Yang Mahakekasih. Hal ini menimbulkan kesadaran baru, bagaimanapun secara syariat ia seorang istri, yang mengharuskan antar-keduanya saling memberi nafkah lahir-batin. Dilema ini dijawab dengan kesadaran syariat Maya, agama memberi alternatif dengan poligami. Kesadaran poligami ini didasarkan pada adanya kesepakatan antar-pelaku yang akan melakoninya, jika tidak, maka bukan poligami, melainkan selingkuh. Dari itu sepertinya Evi mengetahui (semoga juga menghayati) perjalanan maqamat cinta: tatkala mabuk-mabuknya cinta kepada Allah, seseorang melupakan semuanya kecuali Allah (fase “kemabukan”); setelah tersingkap hijab-Nya, seseorang itu akan kembali pada pelaksanaan seluruh syariat tanpa terkecuali (fase “ketakmabukan dalam kemabukan”); kemudian ia meng-Esa-kan tauhid, tiada suatu realitas pun jika tidak dimaknakan kaitannya dengan Allah (laailaha illallaah), maka fana.

Di sinilah “api” cerpen “Mahar”, ia memposisikan nilai hubungan lelaki-perempuan didasarkan pada realitas manusia, dan maqamat kemanusiaannya. Tak perlu apriori terhadap poligami, tak perlu emosional mengklaim sebagai hal yang tak beradab dan dampak buruk dari budaya patriarkhal, tapi juga tak perlu mengadakan “Poligami Award”. Nilai hubungan lelaki-perempuan bukan pada kuantitasnya, melainkan kualitasnya; dan kebutuhan, kemampuan, cara masing-masing orang tentulah tidak sama dalam memaknai kebahagiaan.

Dengan demikian, dalam cerpen Mahar (juga lainnya), cinta lelaki-perempuan bukanlah “kepemilikan” mutlak wadag sebab cinta suatu proses yang “menjadi”, proses belajar-mengajar tiada habisnya. Pada proses “menjadi”-kan cinta inilah berlangsung sekaligus “kepemilikan” kreatif dari jati diri yang dicintai. Karenanya, cinta dimaknai dan ditempatkan di antara tingkatan (maqamat) dan keadaan mental dicerahi Cinta Allah (hal). Jadi bukannya “asap tanpa api” sebab nilai “api” orang per orang juga tidak sama tingkatannya. Kalau Evi bahagia dipoligami, “Lha mbok biarin aja”.

Cerita dari Zaman yang Merana

Judul buku : Senarai Batanghari
Penulis : Bunga Rampai Temu Sastrawan Indonesia
Cetakan : 1, Juli 2008
Penerbit : Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Provinsi Jambi
Tebal : 135 Halaman
Peresensi : Susilowati
http://www.lampungpost.com/

KETIKA sastra disebut sebagai anak kandung realitas, berarti setiap karya yang lahir tidak bisa lepas dari kondisi sosial. Hal ini tergambar pada cerita-cerita yang terkumpul dalam Senarai Batanghari. Kegelisahan pengarang dengan kegalauan zaman terungkap pada sebagian cerita.

Karentile, cerpen Joni Ariadinata yang menjadi judul keempat dalam kumpulan cerpen ini, menyuguhkan kegelisahan kaum intelektual pada realitas sosial Indonesia. Tokoh-tokohnya para intelektual yang tidak hanya piawai berdiskusi, tetapi sekaligus mereka menjadi kaum yang "diuntungkan" dengan carut-marutnya kondisi sosial yang ada. Karena dari masalah itu, ide-ide mereka untuk menulis dan berceracau terus mengalir hingga mendatangkan proyek-proyek yang menopang gaya hidup mewah mereka. Kegelisahan itu terkesan sebagai kamuflase yang semakin menandaskan kemunafikan sempurna pada zaman ini.

Joni Ariadinata meramu dengan piawai ironisme kehidupan di negeri ini, bagaimana kaum intelektual begitu terpisah dengan realitas sosoal. Simbol-simbol warteg-kafe, menjadi penanda jauhnya jurang pemisah kaum menengah dan pinggiran di negeri ini.

Kaum intelektual yang identik dengan kafe dan kaum pinggiran yang hidup pada titik nadir persoalan identik dengan warteg atau bahkan tidak makan. Rakyat kecil bukan hanya kesusahan mencari kerja, melainkan untuk makan sehari-hari saja mereka kesulitan karena naiknya harga BBM. Putus asa dan perilaku kriminal menjadi pilihan dari orang-orang pinggiran.

Keriuhan pemasalahan sosial makin sempurna dengan penghancuran kafe yang dilakukan segerombolan orang atas nama agama. Dalam cerpen ini, pengarang meracik dengan apik kompleksitas masalah, selain gaya cerita yang beragam, membuat cerpen ini menonjol dari yang lain.

Cerpen lain yang juga berangkat dari ironisme realitas sosial adalah Tamu, karya Hamsad Rangkuti. Cerpen ini menceritakan kesibukan penduduk di kawasan lereng Gunung Lawu menyambut kedatangan Bupati Karang Anyar Hj. Riana Iriani untuk memulai panen buah naga. Bagaimana rakyat kecil begitu sibuk mempersiapkan kedatangannya yang hanya sejenak.

Segala ruah dipersiapkan, dari makanan hingga perlengkapan tetabuhan tradisioal untuk membangun kesan asri dan meyakinkan daerah yang akan diorbitkan sebagai daerah wisata itu. Ternyata, keriuhan para penduduk ini sangat tidak sebanding dengan kenyataan. Karena Bupati tidak datang dengan "hati". Sang Bupati nan cantik itu khawatir tertusuk duri saat diminta memulai memanen buah naga yang pohonnya penuh duri.

Sang ajudan pun berjanji akan menyediakan pohon yang sudah dibersihkan dari duri saat kulit putihnya hendak memetik. Kalau idealnya pejabat adalah pelayan rakyat, dalam cerpen Tamu, pengarang dengan tandas menggambarkan kondisi yang sebenarnya, bagaiman pun rakyat adalah para pelayan dari keagungan sang pejabat.

Hal ini dikuatkan bagaimana pengarang menggambarkan sang Bupati tak lebih dari artis yang berada dalam skenario protokoler karena kepentingan proyek. Dia harus bersusah payah menghapal apa yang akan diucapkan ketika kamera membidiknya.

Rakyat kecil sudah cukup senang melihat kehadirannya. Cerpen ini lebih menyerupai traveling ke kaki Gunung Lawu dibanding sebuah cerita. Tapi dengan halus mengangkat kepura-puraan masyarakat ketika menyambut seorang pejabat. Mengada-adakan yang tidak ada, seolah ini adalah negeri yang aman-makmur sejahtera untuk menyenangkan sang pejabat.

Pada cerpen Payung yang ditulis Melina K. Tansri, lebih lugu memaparkan realitas sosial, bagaimana sang tokoh, Uning, terharu sekaligus sedih dengan ketulusan anaknya yang masih kecil harus menyewakan payung, demi menyambut kelahiran adiknya. Anak kecil yang seharusnya polos bermain harus ikut merasakan kesulitan ekonomi. Permasalahan ekonomi menjadi ruh pada cerpen ini. Tapi wong cilik, terbiasa menyikapinya dengan arif, sebagaimana digambarkan sang pengarang.

Selain tema sosial, beberapa cerpen lain mengangkat persoalan cinta dan peselingkuhan, di antaranya cerpen Atik Sulistiowati; Secangkir Kopi Penuh Dusta. Bercerita tentang seorang perempuan yang bertemu dengan lelaki masa lalunya. Mereka dipertemukan dalam kehambaran keluarga masing-masing. Yang membawa mereka dalam perselingkuhan. Sang tokoh harus merana saat laki-laki yang menyanjungnya dan mampu mempersembahkan kebahagian dengan begitu saja meninggalkannya.

Tinggallah dia mengenang masa lalu sambil duduk ditemani secangkir kopi yang dulu dinikmati berdua. Nestapa akhirnya milik perempuan, meskipun sang tokoh adalah seorang aktivis tegar, tetapi harus luluh dalam kedukaan ketika cinta meninggalkannya.

Tema serupa tapi tak sama di jumpai dalam cerpen Episteme karya Linda Harahap. Menguarai hubungan segitiga dari seorang lelaki yang melakukan poligami. Lukisan Angsa karya Fakhrunas M.A. Jabbar juga mengangkat tema cinta. Sedang tema cinta yang mengambil setting pedalaman Jambi muncul dalam kisah Melangun karya Purhendi.

Mengisahkan seorang antropolog dari Australia yang melakukan penelitian pada suku anak dalam di Jambi. Hutan Jambi mempertemukannya dengan anak kepala suku yang menghantarkannya pada hubungan terlarang. Upacara adat pernikahan dilangsungkan antara kedua insan berbeda bangsa juga peradaban saat diketahui Meliang, anak sang kepala suku itu hamil.

Namun, kenyataan pahit terjadi saat demontrasi besar-berasan, para mahasiswa dan aktivis LSM protes pada kehadiran para peneliti Australia dan kerusakan hutan. Keluarga Meliang harus melangun, mencari tempat baru untuk mencari kehidupan. Meliang terpisah dengan Steve yang sedang mengandung. Ini satu-satunya cerpen yang mengisahkan kehidupan anak dalam. Menjadi warna tersendiri pada Senarai Batanghari yang memang membawa kearifan lokal Jambi.

Secara umum Senarai Batanghari mengusug tema-tema realis, beberapa tema realis magis tampak pada cerpen Anjing Penjaga Puri karya Kurnia Efendy, Randu karya Kusprihyanto Namma, Monolog Angin karya Ratna Dewi, Malaikat Tanah Asal karya Triyanto Tiwikromo, kumpulan cerpen ini ditutup dengan Serau karya Yupnical Saketi.

Cerpen-cerpen dalam Senarai Batanghari secara umum tidak hirau dengan estetika. Hingga pencapaian estetika bahasa tidak dapat dibilang "wah", selain ada kesan terburu-buru dalam penerbitan. Hal ini terlihat pada cerpen Hamsad Rangkuti, Tamu, yang banyak terjadi kesalahan penulisan tiap kata. Meksi secara umum cerita-cerita dalam cerpen ini mengalir, tapi tidak ada pencapaian "beda" untuk ukuran bunga rampai temu sastrawan Indonesia.

Tapi bagaimanapun ini adalah usaha maksimal yang layak mendapat apresiasi dari para pembaca.

”Cemplon”: Menakik Melalui Lelucon

Donny Anggoro
http://www.sinarharapan.co.id/

Pers Indonesia sebenarnya sudah pernah memiliki bibit unggul yang menjadi gagasan Tom Wolfe sejak 1973 dalam The New Journalism. Kala itu Wolfe mengawinkan disiplin dalam jurnalisme dengan kecantikan karya sastra. Lewat Cemplon yang lahir dari tangan Umar Nur Zain aspek tersebut sudah ada, walau di dalamnya lebih terkandung humor bernuansa parodi, bukan pada kedalaman berita yang ditulis dengan berkisah. Kendati demikian, Umar sudah memilikinya pada Cemplon yang ditulis dengan gaya cerpen (yang dengan hormat kita menyebutnya sebagai sastra). ”Kolom” atau ”esai” Cemplon adalah cerpen faktual yang mampu mencerahkan dari sisi humornya yang segar, cerdas dan menakik.

Ya, inilah ”jurnalisme sastra” ala Cemplon. Ia tak menggurui laiknya kolom yang ditulis tiap Minggu (Cemplon hadir setiap hari Minggu di Sinar Harapan sejak 1979, kemudian dilanjutkan di Suara Pembaruan ketika Sinar Harapan ditutup). Ia tak menjadi kisah mengharu-biru laiknya cerita bersambung di koran. Ia faktual tapi juga fiktif berbekal perkawinan penulisnya yang berlatar belakang jurnalistik dengan kemampuan literer. Ia pun nakal dengan memasukkan penulisnya sebagai pengemban misi sekaligus tokoh bersama Cemplon ciptaannya. Cemplon adalah cerpen, setengah esai karena muatan pribadi penulisnya. Kedalamannya bukan dari keberanian mengelola hal yang sulit. Justru dari kisahnya yang ”cuma” secuil (tulisan Cemplon paling-paling tak lebih dari 2-3 halaman spasi tunggal di layar komputer) terdapat kejernihan penulisnya mengelola hal faktual dalam kerangka humor sebagai cermin perkembangan dan kegagapan masyarakat kita.

Dalam Sederhana-isme (h.71, dalam Cemplon, Maaf, Anda Boleh Lewat, Puspa Swara, 1994) Cemplon didaulat berpidato untuk Hari Kebangkitan Nasional. Cemplon bersiap-siap. Dikenakannya longdres biru asal Eropa, parfum semerbak, dan sepatu yang dibeli di Italia sampai orang dari kejauhan melihatnya seperti berkilauan ditimpa terik matahari. Usai pidato Cemplon yang begitu berapi-api, ia malah kerepotan mencari butiran kalung perhiasannya yang gemerlap tiba-tiba copot dan berceceran di lantai. Ironis, padahal ia baru saja gembar-gembor menyerukan gaya hidup sederhana dalam pidatonya!

Kisah lain lagi, Film Televisi (h.23, Ny. Cemplon, Sinar Harapan, 1981) Cemplon yang mentang-mentang punya stasiun televisi merencanakan peliputan kunjungannya ke daerah yang baru saja tertimpa bencana alam gempa bumi. ”Lha, kok kamu sendiri yang jadi pemeran utama? Kan banyak bintang berbakat yang cantik-cantik?” tanya saya (‘saya’ di sini adalah Umar, si penulis).

”Sekali-sekali boleh dong! Masak yang punya televisi nggak boleh?” jawab Cemplon ngotot.

Maka, jadilah pembuatan film dengan program peng-cover-an profil desa yang terkena gempa bumi. Tapi begitu film selesai, 70 persen adegannya habis untuk Cemplon. Di antaranya Cemplon sedang merenungi nasib korban gempa, Cemplon sedang memberi selamat, Cemplon geleng-geleng kepala dan seterusnya sampai wartawan yang diundang menonton memaki-maki. Maklum, Cemplon sudah menyiapkan berbagai kostum. ”Supaya penonton jangan bosan,” ujarnya genit. Ah, dengan mudah pembaca dapat menebak kisah ini adalah sindiran bagi pemilik stasiun televisi yang aji mumpung ingin jadi selebritis atau pejabat yang hanya ingin dilihat peduli kepada rakyat kecil…
Maka, dalam membaca Cemplon kita tak akan tergopoh-gopoh mencoba mengkaitkannya dengan kejadian aktual yang kebanyakan diambil dari suasana khas Jakarta. Ia mampu menyentil laiknya Sketsa Massa sebagai tulisan karikatural. Ia jenaka tapi cerdas tak kalah dengan kolom yang ditulis seorang budayawan. Bedanya, sentilan tersebut ditampilkan berkisah ala cerpen. Personifikasi tokohnya begitu fleksibel. Cemplon digambarkan cantik, langsing, seksi, centil, genit, kadang judes, pemarah, pemurung, ambisius, idealis dan lain-lain. Ia pun muncul sebagai tokoh yang multidimensi. Hari ini muncul di Bangkok, besok di Amerika, lusa ada di Afrika. Begitu juga pekerjaannya mulai dari penyiar radio, polantas, mucikari, pemilik stasiun televisi, istri pejabat sampai tukang santet! Sosok suaminya tak pernah digambarkan dengan jelas walau ia sudah berstatus ”nyonya”.

Cemplon karya Umar Nur Zain selanjutnya semakin bernyawa lewat gambaran kartunis senior Pramono dan S. Poerwono yang dalam setiap edisi selalu membubuhkan inisial ”Non-O” di sudut gambarnya. Popularitas Cemplon yang melambung era 1980-an di Sinar Harapan kontan membuat harian ini bak harian Kompas punya Oom Pasikom sebagai maskot. Bedanya, Oom Pasikom karya GM Sudarta lahir sebagai editorial cartoon dalam kerangka ”the art of protest”, Cemplon malah hadir dalam dua kerangka sekaligus, kartun dan kisah (yang notabene tentu juga bagian dari ”the art of protest” tadi!) Seperti Oom Pasikom (diperankan Didi Petet tahun 1992) yang diangkat ke film, Cemplon sempat diangkat ke layar kaca pada 1995 dengan Kris Dayanti sebagai pemerannya.

”Pada waktu Sinar Harapan Minggu pertama terbit, terpikir untuk menulis semacam Sketsa Massa dengan menggambarkan tulisan karikatural penduduk Jakarta yang bermacam-macam ini. Seorang guru saya, Soemarsono almarhum dari LKBN Antara yang memberi inspirasi. Ia pernah memberi keterangan, alangkah hebatnya Jakarta! Kalau kita berjalan ke mana saja tampak suasana karikatural. Dari situlah kemudian terpikir bahwa memang Jakarta adalah gudang sketsa tiada habisnya,” jelas Umar Nur Zain menceritakan proses kreatif Cemplon dalam pengantar buku Ny. Cemplon yang diterbitkan Sinar Harapan tahun 1981.

”Karena tulisan ini berkesinambungan, teman-teman menganjurkan untuk mencari tokoh tetap dan tiba-tiba saja nama Cemplon (yang memang tidak ada artinya itu) tak sengaja turun dari alam bawah sadar, ” tambah Umar.
***

Umar Nur Zain lahir di Cirebon, 15 April 1939 dan wafat tahun 1996. Kiprahnya memang lebih banyak di bidang jurnalistik, walau tanpa disadari lewat Cemplon sesungguhnya ia berhasil menunjukkan kemampuan literernya. Ia mendapat gelar Bachelor of Arts tahun 1962 di Akademi Teater Nasional yang kemudian menjadi Sekolah Tinggi Publisistik. Istrinya, Retno Himawati seorang jurnalis di LKBN Antara. Ia pernah mengikuti Advance Editorial Course Thomson Foundation di Cardiff, Inggris. Menjadi wartawan serta redaktur di Berita Indonesia, Berita Yudha, Proklamasi, Sinar Harapan, dan terakhir di Suara Pembaruan sampai akhir hayatnya.

Selain Cemplon, ia juga menulis beberapa buku seperti Rissa (novel, dari cerita bersambung Suara Pembaruan tahun 1990), Piccadilly, dr. Anastasia, Namaku Wage, Bu Guru Dwisari, dan Belantara Ibu Kota. Ia juga menulis buku nonfiksi Penulisan Feature. Semua bukunya selain Cemplon kebanyakan diterbitkan Grafikatama Jaya, penerbit yang digagas dan dikelola sastrawan Satyagraha Hoerip - sampai Hoerip wafat.

Karya lainnya, semisal Rissa, adalah kemampuannya mengolah wacana literer walau ditulis dengan populer. Ceritanya sangat sederhana, bahkan jika merujuk istilah zaman sekarang sangat kosmopolit. Rissa menceritakan seorang mahasiswa yang ketika terbangun mendapati dirinya berubah menjadi burung meliwis. Dalam pengembaraannya ia bertemu Rissa seorang wanita muda, cantik dan kaya, istri simpanan seorang pejabat. Mereka kemudian bersahabat karena Rissa lebih sering ditinggal sendirian oleh suaminya. Ada humor, suspens bahkan roman di Rissa. Sayang, karena dibuat sebagai cerita bersambung (dan barangkali ditulis kemudian langsung dimuat) endingnya terlampau keburu tuntas sehingga Rissa gagal menjadi serangkaian kisah yang menggigit sampai akhir.

Kendati demikian, Umar Nur Zain layak dikenang sebagai satu dari penulis yang kuat di negeri ini. Memang, ia tak sampai membuat karya yang lantas menuai pujian atau penghargaan sastra (namanya tak tercatat dalam Leksikon Sastra Indonesia Modern). Mungkin karena novel-novelnya semacam Rissa bukan karya yang penuh permenungan, namanya cenderung luput dalam kesusastraan Indonesia modern. Padahal lewat Cemplon yang sangat menggelitik ia telah berhasil menorehkan gaya baru yang tak begitu banyak ditekuni penulis-penulis kita di masa kini. Gagasan humor yang dipadu dalam cerita pendek itulah yang sesungguhnya mampu meretas dua bentuk kepenulisan sekaligus: sastra (ada kisah, tokoh sentral, imaji) dan jurnalistik (kejadian aktual, satire dan sarkasme).

Hikmat Kurnia, penyunting buku Cemplon, Maaf Anda Boleh Lewat yang diterbitkan Puspa Swara dalam pengantarnya menulis, ”Dengan cara ini ia bisa memasuki dan menelusuri semua peristiwa yang dijumpainya melompati batas-batas ruang, waktu bahkan logika,”
***

Di masa kini ada Sengklirip yang berkisah mirip Cemplon (menggunakan tokoh sentral dan memparodikan kejadian aktual) di majalah Djakarta! Namun kurang menjadi kritik sosial yang menyentil. Ada Surat dari Palmerah di Jakarta Jakarta, tapi itu pun tak selalu menggunakan figur Sukab yang juga gemar ganti profesi. Sukab lebih banyak muncul dalam cerpen Seno Gumira Ajidarma (belakangan ia malah jadi serial komik). Ada esai Harry Roesli di Kompas atau kolom Sujiwo Tejo di Sinar Harapan yang lugas dan menyentil - tapi itu pun tak mempunyai figur, pun benang merah karena tidak ditulis berkesinambungan.

Cemplon sebagai masterpiece Umar Nur Zain di bidang jurnalistik, bahkan sastra sesungguhnya mengingatkan kita pada banyak hal. Di luar kritik sosial yang jika dibaca sekarang masih terasa kontekstual, kita belum lagi memiliki penulis andal yang mampu mengolah lelucon khas dan idiomatik. Wajarlah begitu Umar Nur Zain wafat, berakhir pula serial Cemplon - pun sampai harian Sinar Harapan, koran tempat pertama kali Cemplon muncul - terbit kembali pada 2002. Kepergian Umar nyaris belum tergantikan walau di masa kini muncul esais -kolomnis sosial -budaya atau politik yang cenderung serius dan tekstual - bahkan elitis, terutama yang ditulis budayawan.

Kepergian Umar seolah menunjukkan bahwa masih ada ragam kepenulisan kita yang tertinggal - karena ketidakbetahan dan nafsu banyak penulis untuk melebur segala khazanah seni, pemikiran atau apa pun juga ke masyarakat luas serta rasa penting tentang peran diri dalam sejarah.

Cemplon adalah salah satu contoh bentuk tulisan yang hidup tanpa menjadi keminter. Ia jenaka tapi juga satire mirip Art Buchwald, seorang satiris kondang Amerika. Ia begitu lugas seperti A. Samad Ismail, penulis terkenal dari Malaysia (Samad adalah cerpenis dengan latar belakang jurnalistik yang kuat seperti Umar).

Membaca serial Cemplon sebenarnya akan sangat membantu kita dalam proses ”menjadi Indonesia” di tengah-tengah masyarakat kita yang tak dapat dipungkiri lagi sedang mengalami ”gegar budaya”. Ia menjadi sarana menertawakan diri sendiri agar dalam kehidupan yang ditulis Umar di pengantar Ny. Cemplon, unik, indah, semarak meski kadang pahit dan sengsara, kita bisa tersenyum kecut, meringis, mengumpat, bahkan bersyukur.***

*) Penulis adalah editor sebuah penerbit, tinggal di Jakarta.

Masa Lalu Ada di Sini

Maria hartiningsih
http://kompas-cetak/

Tragedi Mei di satu sisi juga membangkitkan solidaritas lintas ras, kelas, agama, dan etnis. Masa-masa itu juga merupakan kebangkitan intelektual, khususnya perempuan, untuk menolak rasisme dan segala bentuk kekerasan terhadap perempuan.

Meskipun pengungkapan mengenai kasus-kasus pemerkosaan masih tetap sulit, dan teror serta ancaman masih terus dilancarkan, banyak penulis, penyair, artis, pekerja seni, melahirkan karya- karyanya untuk mengekspresikan keprihatinan mereka dan menyelenggarakan kegiatan kebudayaan.

Ilmuwan susastra Melani Budianta mencatat, pada tahun 1999, cerpen Seno Gumira Ajidarma mengenai pemerkosaan dalam kerusuhan Mei dibacakan di banyak kampus di berbagai kota di Jawa, sebagai bagian dari upaya membangkitkan kesadaran melawan rasialisme dan kekerasan terhadap perempuan.

Pada bulan Juli tahun 1999, para seniman teater menyelenggarakan diskusi publik pertama di Taman Ismail Marzuki Jakarta dengan topik China di Indonesia.

Diskusi yang penuh keterbukaan itu merupakan yang pertama setelah 30 tahun, berlangsung damai, diakhiri pembacaan puisi dan doa bersama di depan lukisan untuk memperingati setahun tragedi Mei.

Peristiwa yang bak halaman kosong dalam sejarah resmi bangsa ini diisi dengan penuh imajinasi oleh sastra. Marga T tahun ini akan meluncurkan Nozuma III.

Novel ini mengisahkan tentang gambaran mengerikan yang telah diketahui luas: perkosaan brutal yang dialami seorang perempuan Tionghoa di Indone- sia, pembunuhan saksi yang akan melakukan testimoni di New York dan testimoni yang tidak manusiawi dari psikolog—akibat tekanan yang berwajib—untuk menyatakan bahwa korban meninggal akibat penyimpangan seksual oleh ayahnya sendiri.

Richard Oh, salah satu dari novelis pertama Indonesia yang menulis dalam bahasa Inggris, menulis Pathfinders of Love pada tahun 1999, yang merangkai cerita dengan bahan-bahan yang didapatkan dari berbagai kejadian yang beredar di kalangan teman dan aktivis.

Dengan cara bertutur yang novelistik, Seno Gumira Ajidarma dalam Clara dan Yusrisal KW dalam Imajinasi Buruk melalui narasinya mengisahkan tentang kebenaran hakiki yang sulit dipahami.

Chavchay Syaifullah, penulis novel Sendalu, menurut Melani, mengakui ia menulis cerita tentang bagaimana seseorang menjadi pemerkosa karena dibayang-bayangi peristiwa yang sangat buruk, setelah bertemu dengan laki-laki yang dengan bangga membual tentang keterlibatannya dalam tragedi Mei sebagai pemerkosa bayaran.

Semua ini memperlihatkan bagaimana sejarah bisa ditulis dengan cara lain....

Dari benua lain, seorang perempuan terus berteriak mencari keadilan melalui berbagai tulisan. "Aku mengalami peristiwa yang jauh dari norma keadaban manusia pada tanggal 14 Mei di pinggir jalan sekitar Jelambar. Duniaku terbalik hanya dalam waktu kurang dari satu jam…."

Saat itu, Kenanga, sebut saja begitu, sedang mempersiapkan ujian negara untuk mendapatkan gelar dokter. "Dan bulan depan… aku menikah. Usiaku 26.…

"Aku tidak tahu siapa yang membawaku ke rumah sakit. Ketika tersadar, aku merasakan kesakitan yang luar biasa di bagian bawah perut. Aku bahkan sama sekali tidak bisa menggerakkan kedua kakiku. Aku sangat ketakutan dan berharap ini hanya mimpi buruk. Aku terus berkata pada diriku, ’Aku harus mempersiapkan ujian negara. Waktunya tinggal 11 hari….’"

Kenanga berangkat ke benua lain pada bulan Januari tahun 1999. Luka batinnya menganga dalam. Ia mengalami penderitaan yang menetap karena organ reproduksi di bagian bawah tubuh yang mencirikan simbol keperempuanannya, dihancurkan.

Psikiaternya di tempat yang baru itu memintanya untuk terus menulis untuk mengungkapkan segenap perasaannya. Satu tulisannya masuk dalam daftar pendek suatu kompetisi penulisan yang diselenggarakan oleh suatu yayasan internasional untuk orang cacat. "In my case, womb damage…."

Menolak pelupaan

Bagi keluarga korban tewas yang distigma sebagai "penjarah" dan dikambinghitamkan dalam kerusuhan Mei, perjuangan melawan pelupaan, dipahami sebagai perjuangan melawan otoritarianisme.

Salah satu cara untuk terus mengingat adalah melakukan kegiatan setiap tahun di tempat- tempat di mana banyak korban tewas. "Tetapi, saya belum bisa upacara tabur bunga di mal, karena belum berani masuk mal," ujar Ruminah, tentang upacara setiap tahun di halaman Mal Citra Klender yang dibangun di atas bekas reruntuhan Jogya Plaza.

Ruminah adalah ibu dari Igun (12) yang tewas ketika Jogya Plaza di Klender dibakar pada tanggal 14 Mei 1998. Diperkirakan, sekitar 400 orang dewasa dan anak-anak tewas di tempat itu.

Perempuan ini adalah salah satu warga yang menyaksikan apa yang terjadi sebelum Jogya Plaza dibakar. Ia melihat dengan jelas bagaimana bangunan besar itu dibakar, dan menengarai tipe orang-orang yang melakukannya.

Ia sempat dikejar sebuah mobil kijang ketika memutuskan pergi ke kantor polisi Pulo Gadung untuk melaporkan hilangnya Igun. "Ada cewek... ada cewek...." Ia mendengar teriakan laki-laki di dalam mobil itu. Karena melihat gelagat tidak baik, ia bersembunyi di balik semak- semak. Mobil kijang itu berhenti. Penumpangnya berusaha mencari, tetapi gagal. "Saya dengar mereka mengumpat ’diancuk’!"

Igun "ditemukan" di RSCM di antara tumpukan mayat yang terbakar. Di situ Ruminah menyaksikan pemandangan yang sangat mengerikan. "Ada mayat seorang ibu yang sedang hamil," ujarnya.

Meski tidak terlalu yakin mayat yang ia bawa pulang itu adalah mayat Igun, ia tetap bertekad membawanya. Niatnya membuatkan makam buat Igun supaya kalau rindu bisa mengunjunginya setiap saat.

Sekitar 12 hari setelah Igun dimakamkan, beberapa kali ia menerima telepon dari orang tak dikenal pada tengah malam. Ia diancam untuk tidak bercerita kepada siapa pun soal musibah yang ia alami.

Selama beberapa bulan Ruminah mengalami trauma yang serius. Ia tidak bisa makan, tidak bisa tidur. Berkat bantuan dokter, kondisi fisiknya mulai pulih, tetapi tidak kondisi kejiwaannya.

Menolak pembandingan

Dalam proses penyembuhan itu, ia bertemu dengan para relawan yang mendampinginya. Ruminah kemudian mengalami proses pembangkitan kesadaran tentang peristiwa politik di balik tewasnya Igun. Sejak itu, ibu empat anak itu memasuki dunia aktivisme.

Bergandengan tangan dengan keluarga korban yang lainnya, ia merasakan berkeringat dalam terik matahari ketika melakukan aksi. Cintanya kepada Igun bertransformasi menjadi energi untuk memperjuangkan hak korban dari berbagai peristiwa politik.

Dengan pemahamannya tentang kerusuhan Mei, Ruminah menolak kalau korban yang tewas dalam kerusuhan Mei dibandingkan dengan perempuan Tionghoa korban perkosaan. Ia tidak mau memperbandingkan penderitaan. Ia juga memahami penderitaan keluarga korban pemerkosaan dan penyerangan seksual yang tidak berani bersuara sampai sekarang.

Namun, perjalanan mencari keadilan dan menegakkan kebenaran adalah perjalanan sangat panjang dan terjal. "Sepertinya tidak ada perubahan. Saya sering lelah," ujarnya, seraya memaparkan upayanya supaya tidak kehabisan energi.

Apalagi, banyak keluarga korban sudah jarang berkumpul karena disibukkan oleh upaya menyiasati hidup yang kian sulit. "Cari kerja susah. Banyak orang susah makan. Saya juga semakin sering waswas dan cepat bingung kalau anak saya terlambat pulang," sambungnya.

Namun, Ruminah tidak berhenti. Ketika dihubungi Kamis (11/5) malam, ia masih berada di Kantor Kontras (Komisi Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan), organisasi nonpemerintah tempat ia ikut melakukan aktivismenya.

Di situ ia bertemu teman- temannya dan para aktivis. Di situ, nyala harapannya dijaga. Di situ pula ia menguatkan keyakinannya akan apa yang dikatakan penyair Chile, Pablo Neruda, "Action is The Mother of Hope."

Jumat, 27 Februari 2009

Sajak-Sajak Acep Zamzam Noor

http://www.korantempo.com/
KEKUASAAN

Ketika namamu meresap ke dalam pori-pori
Aku merasa aliran darah seolah terhenti
Udara bergetar bukan karena menjauhnya ufuk pagi
Tapi karena langit mempertontonkan kemolekan senja
Di celah payudara. Ketika suaramu mengaliri urat-urat nadi
Aku mendengar pulau-pulau di tenggara beranjak pergi
Lalu ketika napasmu memompa setiap degup jantung
Perahu-perahu tenggelam di tengah laut, gelombang pasang
Menghempas daratan dan angin puting beliung menghantam
Pegunungan. Bumi berantakan bukan karena api cemburu
Tapi karena cinta tengah memamerkan kekuasaannya pada kita



SUARAKU

Suaraku hanyalah gema dari sepi yang sumbernya berada jauh
Di dalam dada. Gaung yang memantul dari luka parah di lubuk hati
Yang perihnya terasa hingga ke ujung kaki. Sepiku memerlukan suara
Untuk sekedar bernyanyi dan lukaku membutuhkan bunyi agar bisa
Menyatakan diri. Ketika daun-daun jatuh dan langkahmu menjauh
Terasa ada yang berlabuh diam-diam di pipi. Kuraba paras bumi
Udara bagaikan embun yang pecah disentuh jemari pagi



ADA DETIK MENETES

Ada detik menetes dari matamu, ada menit
Meleleh dari telingamu. Dan dingin mengental
Menyumbat hidung serta jantungmu
Langit menggigil, udara membungkus musim
Dengan selimut kabut. Ada sungai mengalirkan luka
Ada muara yang sesak oleh berita duka cita
Ada pasang menghampiri usiamu, ada surut
Menarik hari-hari sepimu. Kemudian tahun bergerak
Menyobek lembar-lembar almanak. Seperti kipas angin
Kerling matamu berputar mengelilingi waktu
Lalu sebuah ceruk indah melingkar di sudut pipimu:
Ruang yang kembali menyimpan semua keabadian itu



KUTUSUK MATAKU

Kutusuk mataku setiap teringat padamu
Kuasah belati jika aku merindukanmu
Tapi sunyi yang memuntahkan pelurunya
Selalu membuatku tersungkur. Dari teratak ini
Kulihat langit semakin bungkuk ke barat
Menyelimuti bukit dengan genangan kabut
Yang likat. Kunyalakan sebuah tungku
Setelah seharian memanggul palang kayu
Menyusuri jejakmu. Rasanya kita tak akan bertemu
Rasanya kita tak akan pernah bertemu, sayangku
Maapkan jika tak kupanggil lagi namamu
Atau kuhapus wajahmu sebelum dingin isya
Menutupkan jendela. Tak ada jalan pulang
Tak satu pun kampung yang menjadi tujuan
Darahku tak terbendung dan kata-kata saktiku
Menguap di udara. Jangan bisikkan lapar atau dahaga
Telah buta mataku membaca cakrawala yang jauh
Perutku kenyang dihuni para pengungsi dan pesakitan
Yang meminjam mulutku untuk sekedar menuntut
Keadilan. Kukerat nadiku setiap ingin melupakanmu



MASIH KUDENGAR

Masih kudengar ledakan-ledakanmu
Seakan meruntuhkan langit serta susunan
Cahayanya. Dari tatapanmu kubaca sisa pertempuran
Kobaran berlangsung reda pada ketelanjanganmu
Yang murni. Cakrawala mengelam seperti warna darah
Menyelimuti tidur bumi yang senantiasa gelisah
Dan ketika kususuri keheninganmu yang memendam bara
Aku seperti terlempar ke tengah belantara yang rahasia
Pohon-pohon bicara sebagai sampah, sungai-sungai
Menerjang seperti limbah. Hutan-hutan menggelepar
Bukit-bukit menjadi kiasan dunia yang terbakar
Tapi masih kudengar ledakan-ledakanmu
Sepanjang malam. Pemberontakan paling sopan
Yang menggeserkan letak bintang-bintang



SAMBIL MEMERAM

Sambil memeram keperihan lambung yang sobek
Aku pergi mengikuti angin entah ke mana
Melewati tahun-tahun yang sepi, melampaui jerit
Burung-burung yang terusir dan terkapar
Di bawah matahari. Pohon-pohon kering menatapku
Bukit-bukit kerontang mengurungku dalam semadi
Tak ada tangga atau tali. Tak ada jalan setapak
Yang akan menuntunku kembali
Kesepian tak lagi bisa diterjemahkan
Dengan ucapan. Aku bersujud mengingat hujan
Membayangkan banjir yang merebut musim panen
Dari masa depan. Bergulingan dari tebing ke tebing
Sambil menyiangi kenangan yang tumbuh
Di batu karang. Dan jika kelak airmatamu jatuh
Mungkin itulah sarapan pagiku yang pertama
Setelah gemetar mememdam lapar
Dan dahaga. Miskin dan buta



MENGUBUR DUNIA

Waktu adalah ruang yang menyimpan seluruh
Kenangan. Aku tak tahu bagaimana melupakanmu
Tanpa harus kehilangan atau merasa terbuang
Seperti langit yang menurunkan tingkapnya
Tanpa tarikan bumi. Atau sungai
Mengalir tanpa undangan muara yang sunyi
Ingatanku masih tersangkut di ranting-ranting malam
Di sulur-sulur hari. Dan tahun melebat di kepalaku
Seratus angin sakal yang dikirimkan ke mari
Hanya kubutuhkan untuk meredakan hati
Atau harus kupanggil banjir, kupanggil lindu
Untuk bunuh diri
Kini limpahilah aku lahar dan lumpur yang panas
Ingin kukubur dunia dengan ciuman paling garang
Atau kubongkar musim dan kuledakkan seluruh cuaca
Udara bergolak dan malam dipenuhi aroma arak
Bintang-bintang pun mabuk dan berjatuhan
Ke bumi. Antara kita hanyalah sebuah kerajaan sepi



NEGERIKU

Negeriku tak lagi tumbuh dari kata-kata
Semakin gemuruh oleh teror dan bencana
Di pasar aku menari sampai pingsan
Berlari ke utara dan selatan
Memuja bumi dan mengutuknya
Kembali. Aku bangkit dan tersuruk
Bersama putaran matahari
Keringatku menjadi lelehan aspal
Dilindas roda-roda besi, sedang napasku
Menghirup serbuk udara yang panas
Pabrik-pabrik mengisi dadaku yang riuh
Asap ganja mengepul dari pori dan paruku
Ususku terbakar lempengan baja yang merah
Sedang darah hitamku menggenangi halaman istana
(Bau anyirnya telah mengaumkan sekawanan serigala
Yang mengintai sepotong daging di puncak tiang bendera)
Kini kumakan bangkai dan kuminum racun
Jantungku sarang dendam dan benci, dan cintaku mekar
Di antara lalat dan kotoran sapi

Senin, 23 Februari 2009

Babi dalam Dompet

A Rodhi Murtadho
http://forum-sastra-lamongan.blogspot.com/

Dompet lengket di saku celana. Babi terus mendengkur. Paijan terus berjalan dari rumah ke rumah. Sales. Bukan kerja yang sembarangan. Tak semua orang bisa menekuni profesi ini. Paling tidak harus punya mulut yang kuat bicara. Lidah yang pandai bersilat. Tatapan mata meyakinkan. Bau badan tidak kecut. Baju rapi. Sepatu mengkilat. Senyum menawan dengan gigi putih dan bau nafas tidak apek. Potongan klimis biasanya ikut mendukung.

Setiap kali Paijan mengetuk pintu, dia harus memegang erat dompetnya. Setiap ketukan mengakibatkan dengkur yang keras Babi yang ada di dompet. Kalau sampai tiga kali lebih ketukan, biasanya Babi itu berusaha meloncat keluar. Menggedor pintu dan menyeruduknya hingga jebol.

“Selamat siang, Bu!” ucap Paijan lembut.

“Siang, ada apa ya?” sahut Salamah, Ibu rumah tangga. Leher, tangan, dan kaki berkilatan penuh dengan emas. Biar paras tak begitu lembut tapi kilau benda yang ada di tubuhnya membuat para lelaki berpikir dua kali. Ingin mengambil semua perhiasan dan menjualnya.

“Saya punya kosmetik. Lengkap, Bu. Ada bedak, gincu, per…”

“Sudah…Sudah. Saya tidak mau membeli. Saya sudah punya banyak. Lemari saya sudah penuh dengan barang-barang seperti itu.”

“Tapi ini bagus lho, Bu. Asli buatan negeri tropis. Sejuk. Menjadikan kulit mulus, cantik. Apalagi parfum ini. Hidung lelaki akan mengikuti Ibu. Apalagi yang hidung belang. Banyak artis yang menggunakan ini, Bu. Wah, pokoknya dijamin Ibu akan cantik. Kalau tidak percaya, boleh Ibu coba.”

Jurus terakhir ketika ada penolakan dari calon pembeli. Mencobakan. Paijan mulai mengeluarkan satu set kosmetik. Mulai melukis dengan hati-hati wajah Salamah. Menyemprotkan minyak wangi pada area bebas biar tidak bercampur peluh. Menghindari kontaminasi. Menjaga agar minyak wangi tidak berbau tak karuan. Apek.

“Nah, Ibu lihat kan. Ibu bertambah cantik. Makin cantik. Saya yakin suami Ibu bakal betah di rumah. Tidak akan selingkuh karena sudah melihat Ibu yang aduhai memikat hati. Eh…sampai-sampai saya sendiri juga tertarik pada Ibu.”

“Ah, Mas, bisa saja. Boleh saya pinjam cerminnya?”

Paijan mendekatkan cermin ke tangan Salamah. Kanan kiri Salamah memandangi wajahnya dengan bergaya manja. Cantik, lirih ucapnya. Rasanya juga sejuk dan nyaman.

“Ehm…! Oke! Saya membeli kosmetik ini tapi uangnya lusa. Kosmetiknya ditinggal di sini saja. Uangnya ada di kotak dalam lemari. Saya mau mengambil tapi kuncinya dibawa suami saya. Bisa ya, Mas. Pasti saya bayar.”

Babi yang ada di dompet Paijan meronta keluar. Seakan tak terima barang dagangan dikredit. Dicegah Paijan. Dipegang erat dompetnya. Tak membiarkan Babi itu nyruduk keluar atau dengkurannya terdengar.

“Ya, bolehlah, Bu. Lusa saya akan datang lagi.”
***

Malam bertambah kalut. Bau kemenyan lekat dan menyengat. Senyum Lasmini terus menghiasi mata Paijan. Lasmini sudah mengerti isyarat dari Paijan. Babi dalam dompet segera keluar. Lasmini harus terlentang membuka seluruh pembungkus badan. Menyeringai. Mengangkang. Babi keluar dari dompet lantas meloncat keluar dan mendarat di atas Lasmini. Dengkurannya membuat tubuh Lasmini bergetar. Moncong hidung dihenduskan di sekujur tubuh. Menggeliatkannya. Lasmini terpejam merasakan kehangatan yang menempel di selangkangan masuk ke tubuh. Babi itu menghilang.

Lasmini lantas menyalakan lampu ublik. Kemenyan ditambahkan pada bara arang membara. Mantra diucapkan. Ia ingat pesan suaminya kalau rumah tujuan babi adalah rumah Bu Salamah. Telanjang tubuh Lasmini beraromakan kemenyan membuat nyamuk tak doyan menempel. Lasmini duduk bersila. Berkonsentrasi.

“Ambil, ambil, hisap, hisap. Hisap semuanya,” perintah Lasmini dalam mantranya.

Uang bertebaran dari langit-langit kamar yang jelas tak berlubang. Entah dari mana. Ia tak mempertanyakannya. Hanya melihat uang berlembar-lembar bertaburan. Lasmini tersenyum.

Ada suara di balik pintu kamarnya. Dengkuran Babi. Mungkin hanya perasaan saja, pikirnya. Mas Paijan belum selesai menghisap uang. Aneh yang dirasakan Lasmini. Uang bertaburan tak henti-henti. Banyak sekali. Namun yang ada di lantai hanya sedikit. Ke mana uang itu? Lasmini hanya keheranan. Pasrah. Mungkin memang sedikit yang didapatnya.
***

Salamah terus mendesak suaminya, Parman, untuk pergi ke rumah Paijan. Sales Kosmetik. Sudah sejak sore Salamah menyiapkan kembang, kemenyan, dan lilin. Namun suaminya menolak. Salamah tak peduli dan langsung memantrai suaminya yang tidur-tiduran. Menjadikannya babi. Dengan begitu, Salamah mudah memerintahnya.

“Pergi kau ke rumah Paijan. Hisap semua uangnya. Aku tunggu hasilnya di kotak dalam lemari.”

Rupa binatang membuat jiwa binatang ada dalam diri Parman. Babi Parman bergegas keluar rumah. Tanpa membuka pintu. Dalam perjalanan, Babi Parman menjumpai banyak babi berkeliaran. Saling menyapa dengan dengkuran. Tak memperdulikan arah mereka. Biarpun ada salah satu babi yang menuju rumahnya. Babi Parman tak peduli.

Babi Parman memasuki rumah Paijan. Tanpa permisi atau mengetuk pintu dan langsung menuju kamar yang berbau uang. Membenturkan kepala di pintu dan mendengkur. Dengan begitu uang yang ada dalam kamar langsung masuk ke kotak dalam lemari.
***

Proses penghisapan Babi Paijan dan Babi Parman terus berlangsung mungkin selamanya akan tetap berlangsung. Sampai kiamat pun mungkin terus berlangsung. Uang Parman di kotak dalam lemari dihisap Babi Paijan kemudian masuk ke kamar Lasmini. Setelah uang masuk ke kamar Lasmini, dihisap Babi Parman masuk ke kotak di dalam lemari Salamah.

Lilin di hadapan Salamah mulai habis meleleh. Merasa khawatir dengan suaminya yang tak kunjung kembali. Lilin segera habis. Kalau tidak kembali sebelum lilin habis, Parman harus menunggu malam berikutnya untuk dimantrai lagi untuk menjadi manusia.

Salamah tak mampu berbuat apa-apa lagi. Lilin telah habis. Merasa putus asa. Salamah keluar membuka pintu kamar. Tak disangka seekor babi terus mengeluskan kepala di dinding kamar. Salamah menghampiri babi itu. Menggendong masuk. Memperlakukannya seperti bayi. Mengelus, mencium, dan menimang di dadanya. Salamah menuju kamar. Babi itu menyeruduknya dengan dengkuran. Ekornya berkibas tak tentu arah. Mungkin sedang bernafsu. Salamah pun segera membuka pembalut tubuh. Takut kalau keinginan Babi itu tidak dituruti, dirinya akan terkena kutuk. Berdosa.

Minyak tanah lampu ublik Lasmini mulai habis. Tubuhnya mulai merasa dingin. Adzan subuh akan datang sebentar lagi. Kalau suaminya tak kembali berarti ia tidak akan bisa keluar rumah. Harus telanjang terus. Menunggu sehari untuk memantrai Babi. Lasmini bingung. Tak ada tanda bahaya. Uang masih bertebaran. Tapi lampu mulai redup dan mati. Menghentikan tebaran uang. Mungkin Mas Paijan menggoda, pikirnya.

Lasmini beranjak dari duduknya. Melangkahkan kaki dan membuka pintu. Ia menemui babi yang menempelkan kepalanya pada dinding luar kamar.

“Mas. Mengapa tidak masuk. Sekarang lihat rupa mas. Babi. Sungguh babi. Kalau Mas masuk sebelum lampu mati tadi, pasti bisa berubah lagi. Sekarang, lampu sudah mati. Mas harus menjadi babi seharian. Sementara aku juga harus telanjang seharian.”

Lasmini menggendong Babi itu masuk ke kamar. Mencoba memantrainya tapi gagal. Lasmini pun memutuskan untuk menunggu esok malam. Ia merebahkan tubuhnya di ranjang. Memposisikan dirinya di samping Babi.

Babi itu mulai berulah. Lasmini pun tak segan lagi. Membiarkan tubuhnya diendus dengan dengkuran babi. Dijilati lidah yang penuh liur babi. Lasmini membuka selangkangan. Mengangkang di atas ranjang. Tanda Lasmini mengizinkan babi untuk menindihnya. Kadang dari atas. Kadang dari kiri. Kadang dari kanan. Kadang dari belakang. Tetapi kadang juga di bawah, ditindih Lasmini.
***

Malam kembali mengalir. Babi Paijan dan Babi Parman tak dimantrai oleh istri mereka untuk menjadi manusia. Mereka langsung diperintah untuk menghisap uang dari tetangga yang banyak uangnya.

Babi Paijan yang berada dalam genggaman Salamah kembali ke rumah. Kepada istrinya, Lasmini. Babi Parman yang berada dalam buaian Lasmini juga kembali ke rumahnya. Alasan yang sama yang mereka utarakan kepada istri mereka. Capek dan besok harus bekerja. Agar tetangga dan teman kerja tak banyak menaruh curiga.

Pagi hari, Parman berangkat bekerja di pabrik. Paijan juga berangkat bekerja menjadi sales sambil meniliki rumah hartawan.

Paijan mengetuk pintu rumah Salamah. Suara langkah mengalun dari dalam. Membukakan pintu. Senyum dari gigi berlarik menyeringai. Menyambut Paijan yang juga lekat dengan senyum. Saling mengangguk dan menyapa. Salamah mempersilahkan Paijan masuk.

“Eh. Begini, Bu. Saya mau…”

“Ya, saya sudah mengerti. Tunggu sebentar. Saya ambil uangnya dulu. Tunggu sebentar. Pasti cepat kok.”

Sekelebat Salamah masuk kamar. Salamah keluar dengan membawa sejumlah uang dan diberikan kepada Paijan.

Paijan, dengan tersenyum, menerimanya. Diambil dompet. Berniat untuk memasukkan uang yang baru diterima dari Salamah. Tiba-tiba Babi yang ada di dompetnya nyruduk keluar. Belum sempat Paijan memasukkan uang. Paijan lupa karena terlalu bahagia menerima uang. Babi itu meloncat kesana kemari. Mengitari Salamah lantas menyeruduknya. Babi itu kembali berada di atas tubuh Salamah.

Surabaya, 7 Juni 2006.

Perjalanan Panjang nan Sejenak

Judul Buku : Kitab Para Malaikat
Pengarang : Nurel Javissyarqi
Pengantar : Maman S. Mahayana
Epilog : Herry Lamongan
Jenis Buku : Antologi Puisi Tunggal
Penerbit : PUstaka puJAngga
Tebal Buku : x+130hlm;15,5x23,5cm
Peresensi : Imamuddin SA
http://forum-sastra-lamongan.blogspot.com/

Hidup di dunia ini merupakan sebuah rangkaian perjalanan panjang namun sejenak. Dikatakan panjang sebab kehidupan manusia di dalamnya harus melalui beberapa fase. Secara fisikal, dimulai dari fase pembentukan jasad. Kelahiran dalam wujud balita. Kanak-kanak. Dewasa. Tua. Lanjut usia. Lantas tiada. Belum lagi perjalanan secara ruhaniah. Yaitu yang dimulai dari tataran syariat, hakikat, ma’rifat, serta fase penyatuan. Kesemuanya itu merupakan sebuah proses pencarian kesempurnaan dan jati diri kemanusiaanya. Dan rentang waktu antara fase satu ke fase yang lain itu cukuplah lama. Berpuluh-puluh tahun.

Dikatakan sejenak sebab dunia ini fana yang bersifat tidak kekal. Begitu juga dengan manusianya. Secara jasadiah, manusia pasti mengalami kematian di dalam dunia ini. Ia tidak kekal. Suatu saat ia pasti lenyap dari keberadaan kehidupan materi ini. Yang demikian itulah fenomena hidup di dunia yang merupakan sebuah rangkaian perjalanan panjang yang sejenak.

Dalam rangkaian perjalanan panjang yang sejenak ini, seorang manusia pastilah menemukan sesuatu yang lebih dalam hidup dan kehidupanya. Ia sudah barang tentu menemukan hikmah-hikmah tersendiri yang tidak sama dengan penemuan manusia yang lain. Yang lebih dulu hidup daripadanya. Namun jika ada satu kemiripan, itu merupakan suatu kewajaran. Sebab realitas kehidupan manusia sekarang tidak lain adalah hasil pengulangan realitas kehidupan yang silam. Yang menjadi pembedanya adalah cara pengungkapan dan penuangannya dalam realitas sosial. Tentunya dipengaruhi oleh setting suasana dan tempat yang berbeda. Jadi yang sama adalah akar konsep pemahaman idenya. Bukan sama secara realitas fisiknya. Hanya saja konsep ide yang lalu dalam realitas sekarang mungkin terdapat satu pengembangan sesuai dengan prifasi dan lingkungan fisiknya.

Penemuan sesuatu yang lebih dan hikmah-himah oleh seorang manusia itu berpangkal pada tindak pemaknahan terhadap simbol-simbol realitas yang ada. Simbol-simbol yang terdapat di sisi sayap kanan dan kirinya. Dengan adanya pemaknahan itu, maka beroleh manfaatlah dalam pribadi orang tersebut. Tidak menutup kemungkinan, orang lain pun turut merasakannya.

Hal itu tampaknya telah dicapai oleh seorang Nurel dengan menghadirkan karyanya Kitab Para Malaikat. Rangkaian hikmah yang dicakup dalam hidup dan kehidupanya berpangkal dari pemaknahan akan realitas yang melingkupi pribadinya. Perjalanan yang relatif panjang. Kurang lebih hampir sepuluh tahun ia mengumpulkan hikmah-hikmah tersebut hingga kini hadirlah sebuah buku yang berjudul Kitab Para Malaikat. Tempaanya tidak pada satu tempat melainkan di berbagai tempat. Seperti di pesantren Waticongol, Muntilan (Magelang), Tegal Sari, Jetis, (Ponorogo), Yogyakarta, Selat Sunda, Gersik, Lamongan, dan lain-lain. Ia laksana memungut satu demi satu kerikil makna kehidupan yang berserakan sebagai amunisi menelanjangi peradaban zaman.
Falsafah hidup sangat kental dalam Kitab Para Malaikat. Dalam tiap bagianya tersebar luas nilai-nilai falsafahnya. Falsafah tentang wanita misalnya. Siapa yang dapat menghormati dan menjujung martabat rumah tangga, masyarakat, bangsa, dan bahkan leluhur seseorang? Semuanya itu yang berperan adalah seorang wanita. Dialah panutannya. Dialah tulang punggungnya. Jika pribadi seorang wanita itu rusak, maka rusaklah semuanya. Martabat pun akan mengalami degradasi dengan indahnya.

Mengapa wanita sebagai penentu dan tulang punggug semuanya? Ini bukan merujuk pada tindak emansipasi wanita secara mutlak. Tidak mengunggulkan wanita harus memimpin segalanya. Memimpin rumah tangga, masyarakat, maupun bangsa dan negara. Ini melainkan berorientasi pada hakekat dasar wanita. Obsesi wanita sebagai seorang ibu dari anak-anaknya. Cinta kasih harus ditanamkan oleh seorang ibu kepada anaknya secara mendalam. Pendidikan dasar seorang anak tercermin lewat karakter ibunya. Sebab seorang ibu pada dasarnya lebih dekat secara psikologi dengan anak-anaknya. Seorang anak akan mempelajari secara alamiah kebiasaan-kebiasaan ibunya. Jika ibunya sering bersikap kasar, apatis, nakal, kurang sopan, dan sering keluar rumah, sudah barang tentu kelak karakter anak tidak jauh berbeda dari semua itu. Bahkan bisa berbuat lebih. Tidak ingatkah ketika seorang ibu mengalami sakit, maka bayinya pun turut merasakanya jua. Seorang ibu yang sedang guncang jiwa dan perasaanya, maka bayinya pun merengek tak henti-hentinya. Ini sebagai bukti bahwa kedekatan psikologi seorang anak cenderung mengarah pada kepribadian ibunya..

Jadi peranan wanita sebagai penentu kepribadian generasi berikutnya yang menjadi sorotan utamanya. Wanita harus bisa memberdayakan eksistensi pribadinya. Yaitu sebagai seorang ibu yang mencurahkan segenap kasih sayang, cinta, dan pendidikan dasar kepada anak-anaknya. Bukan memberi contoh buruk. Biar kelak tercipta generasi penerus yang lebih unggul. Generasi yang mampu menyemikan harkat dan martabat neneng moyangnya. Wanitalah panutanya. Tampaknya hal itu yang menjadi titik tolak ungkapan seorang Nurel; “Bagi bangsa-bangsa menghormati moyangnya, wanita // menjadi panutan, selendang panjangnya menyeret lelangkah // dan dunia setuju walau berkali-kali terhempas prahara” (Membuka Raga Padmi, I; XI, hal:5).

Pengajaran akan nilai-nilai keikhlasan juga semerbak dalam karya ini. Dalam perjalanan hidupnya, manusia harus senantiasa melangkah dengan penuh keikhlasan. Mengabdi dengan bekal keikhlasan lewat ketetapan hati, perkataan, maupun perilaku. Keikhlasan itu diwujudkan dalam bentuk ikhlas kala memperoleh kenikmatan. Dan ikhlas kala mendapatkan musibah. Hal itu memang terjadi secara bergantian. Ini sebuah kewajaran. Orang tidak akan merasakan kenikmatan sebelum ia pernah merasakan musibah atau sengsara. Begitu juga dengan sebaliknya. Ini merupakan sesuatu yang berkala. “Sakit serta nikmat ia terima sejauh tidak mengurangi kekhusyukan, // kesungguhan hayatmu mengabdi berbekal puja keikhlasan” (Anak Sungai Filsafat, IX; XXI, hal:52).

Nilai vitalitas juga terdapat dalam Kitab Para Malaikat. Ini seolah cermin dari pribadi pengarangnya. “Bara revolusi berasal dari rindu terkumpul gagasan sebelum bertemu, // dan akhirnya bentuklah yang menciptakan melodi ruangan takdirmu” (Musik-Tarian Keabadian, V; XI, Hal:31). Ungkapan ini bermaksud memberi dorongan dan semangat hidup. Bahwa sesungguhnya perubahan besar yang terjadi dalam pribadi seseorang itu bermula dari kerinduan untuk menggapai suatu hal. Di mana pencapaian terhadap suatu tujuan itu belum terwujud. Oleh sebab itu dorongan batin harus segera dituangkan dalam bentuk tindakan dan kesungguhan usaha. Adapun takdir di esok hari akan mengikuti kekuatan tindakan dan kesungguhan usaha dalam proses penggapaian suatu hal yang telah dirindu-impikan. Intinya, seseorang tidak boleh berhenti di tengah jalan saat hendak merengkuh sebuah impian dan cita-cita. Kuatkan tekad sampai muara.

Karya ini merupakan karya yang dituangkan dalam bentuk romantisme perjalanan hidup. Adapun yang menjadi selimutnya adalah romantisme filosofis. Disusun ke dalam beberapa bagian. Lebih tepatnya dua puluh bagian ditambah satu bagian muqaddimah sebagai pembuka awalnya. Bagian-bagianya adalah; Muqaddimah (Waktu Di Sayap Jibril), Membuka Raga Padmi; I, Hukum-Hukum Pecinta; II, Bait-Bait Persembahan; III, Ruang-Ruang Mengabadikan; IV, Musik-Tarian Keabadian; V, Diruapi Malam Harum; VI, Keinginan-Keinginan Mulia; VII, Di Atas Tandu Langitan; VIII, Anak Sungai Filsafat; IX, Sekuntum Bunga Revolusi; X, Penampakan Do’a Semalam; XI, Duka Tangis Busa, XII, Gelombang Merawat Pantai; XIII, Mengembalikan Niat Suci; XIV, Pembangunan Dunia Ganjil; XV, Siang Tubuh Malam Jiwanya; XVI, Secercah Cahaya Kurnia; XVII, Tanah Kelahiran Masa; XVIII, Ruang Waktu Padat; XIX, Muakhir (Kesaksian-Kesaksian); XX.
Dalam setiap bagianya tersusun secara panjang. Namun dibatasi dengan angka-angka romawi sebagai bentuk pemisahan baitnya. Hal itu tampaknya sebagai wujud ekspresi yang menyimbolkan bahwa karya ini digurat dalam rentang waktu yang relatif lama. Dan dalam ruang-waktu yang berbeda-beda.

Tampilan fisik Kitab Para Malaikat cenderung mengelabuhi penikmatnya. Penikmat akan terpancing untuk memaknai dan memahami dalam tiap baitnya secara terpisah. Tiap bait yang dicipta seolah mengusung topik yang baru. Padahal tidak. Itu sebenarnya merupakan satu kesatuan yang utuh dalam tiap sub bagiannya. Walaupun juga ada sedikit yang meloncat. Namun pada akhir bagianya bisa kembali pada topik pembahasan semula. Jika pola pemahaman penikmat dilakukan secara terpisah-pisah, maka benar apabila karya ini disebutnya sebagai karya yang pengguratanya menggunakan ritme Jurus Dewa Mabuk. Ritme yang tidak beraturan dan tak berarah. Namun mengandung kekuatan yang dahsyat dan mematikan lawan-lawanya.

Bahasa yang dipaki tidak sederhana dan terlalu sublim. Jadi butuh pemahaman ekstra untuk menguak intinya. Dan tiap bagianya pun terlalu panjang. Ini bagi penikmat yang kurang sabar, sering mengalami kejenuhan dan bosan. Serta sedikit mengambil hikmah yang terkandung di dalamnya. Yang paling sering akan menganggap ungkapan dalam karya ini minim makna dan pesan. Sekedar keromantisan bahasa yang disajikan. Namun bagi beberapa kalangan penikmat, ini sangat menyenangkan. Sebab ada tantangan yang lebih untuk menguak kesublimannya.

Selanjutnya, selamat menikmati. Selamat menerjemahkan inti. Semoga kesahajaan akan melingkupi jiwa-jiwa sang pencari.

Kamis, 19 Februari 2009

Politisasi Media Sastra

Binhad Nurrohmat
http://www.sinarharapan.co.id/

Pluralitas media komunikasi sastra sama sekali bukan indikator dominan bagi munculnya kehebatan inovasi karya sastra dan singularitas media komunikasi sastra juga sama sekali bukan tanda adanya bencana kejumudan mutu sastra.

Pluralitas media komunikasi sastra akan memberi ruang lebih luas bagi usaha publikasi karya sastra tapi tak selalu menjamin adanya usaha eksplorasi mutu sastra yang lebih jauh dan luas. Sedangkan singularitas media komunikasi sastra kadang justru bisa menciptakan kompetisi bersastra yang liat dan mampu memunculkan maestro-maestro sastra sekaligus melahirkan para ”pecundang” sastra yang tersingkir karena tak bisa memenangi kompetisi kreatif yang ketat.

Sesungguhnya sastra tak pernah tergantung hanya pada media tertentu untuk ”mewujudkan” dirinya secara bagus sehingga sangat tak fair menciptakan anggapan adanya hierarki mutu sastra didasarkan jenis medianya. Sastra yang bagus akan tetap bagus dikomunikasikan lewat media apa pun. Tapi sudah menjadi niscaya bahwa sastra tak bisa dipaksa menjadi media bagi dirinya sendiri. Sastra tetap butuh media komunikasi verbal maupun nonverbal untuk menghadirkan dirinya sebagai artefak budaya yang bisa diakses secara representatif.

Para sastrawan sebenarnya lebih berkewajiban bekerja keras menciptakan karya yang bagus dan tak perlu disibukkan, apalagi sampai mati-matian, pada persoalan politisasi media sastra.

Bagi sastrawan, media apa pun yang digunakan untuk mengomunikasikan karyanya semestinya berfungsi hanya sebagai alat, perkakas, bagi pengomunikasian karyanya supaya tak mandek pada wilayah gagasan yang abstrak dan personal. Dan media apa pun sama sekali bukan parameter mutu sastra selain sebagai (sekali lagi) perkakas untuk mengomunikasikan ide sastrawi kepada orang lain.

Jenis media apa pun yang digunakan mengomunikasikan karya sastra punya kedudukan yang sama di hadapan nilai sastra. Tak ada kasta dalam perkara ini.

Belakangan muncul sebuah upaya mewacanakan semacam gerakan politisasi hierarki mutu sastra berdasarkan jenis media komunikasinya dari segelintir nama yang bergerak di bidang penerbitan buku sastra yang menganggap media buku adalah perkakas komunikasi sastra yang seolah-olah paling representatif ketimbang yang lain.

Juga ada sebuah manifesto gegabah tentang ketakpercayaan dari aktivis sastra di internet terhadap eksistensi karya sastra di koran dengan anggapan (tepatnya buruk sangka) bahwa para editor atau redaktur sastra di koran fasistik, tak demokratis, selera sastranya tak sedap, kelewat fanatik pada ”estetika modernis” dan lain sebagainya untuk menolak atau meloloskan karya sastra. Juga ada sebuah gerakan penolakan terhadap sebuah pusat media sastra (baca: Jakarta) oleh mereka yang bergerak di luar pusat (periferal) yang menamai diri Revitalisasi Sastra Pedalaman.

Semua wacana hierarkisasi dan ketidakpercayaan itu entah kenapa lagi-lagi menjadikan karya sastra di koran jadi bidikan serangan utama, menjadikan sastra di koran sebagai sebuah musuh besar yang harus dilawan.

Euforia Pluralitas Media

Pluralitas media komunikasi sastra mengandaikan meluruhnya sebuah kekuatan monopoli dan hegemoni kekuasaan media komunikasi sastra tertentu yang sebelumnya dianggap menjadi semacam rezim status quo yang punya otoritas menentukan ukuran mutu sastra yang bagus atau yang buruk. Tapi benarkah ada kekuatan monopoli dan hegemoni kekuasaan media komunikasi sastra semacam itu sehingga perlu diluruhkan?

Rasanya sungguh aneh, terasa politis serta mengada-ada memahami media komunikasi sastra dengan kaca mata politik kekuasaan seperti itu.

Pluralitas media komunikasi sastra rupanya membawa sebuah efek gegar, sebuah euforia, kegirangan yang luar biasa besarnya yang juga menjangkiti sejumlah sastrawan dan kemudian bergerak dengan usaha mempolitisasi kondisi itu untuk membangun ”wilayah sastra” sendiri dan menghancurkan ”wilayah sastra” yang lain dengan sejumlah dalih bahkan manifesto yang cool maupun gusar.

Gejala ini tak menarik dan jauh dari sikap produktif. Sebab segala polemik dan perdebatan kusir atau tak kusir mengenai persoalan itu tak akan memperbaiki cara dan wawasan kepenulisan sastra selain sebuah kenyataan adanya gejala mengondisikan terciptanya blok-blok subjektif sastrawan yang fanatik mengidentifikasi dirinya berdasarkan media komunikasi karya sastranya.

Polemik dan perdebatan itu cuma jadi semacam pertarungan antar- ”kubu sastra” yang tujuannya bukan memperjuangkan mutu sastra melainkan nafsu kepentingan kekuasaan antarkelompok sastrawan yang terlibat di dalamnya secara diam-diam maupun terang-terangan.

Politisasi media komunikasi sastra hanya akan menjebak sastrawan pada persoalan politik kepentingan, menjauh dari lingkaran pertaruhan sastra yang sesungguhnya. Ini adalah salah sebuah tanda belum matangnya eksistensi kesastrawanan kita sehingga harus berkeringat dan tegang menghadapi persoalan yang sebenarnya kurang relevan dengan kerja kreasi sastra yang sesungguhnya.

Semangat kelompok dan ketegangan eksistensial para sastrawan itu bisa berdampak pada mutu produk-produk sastra akibat fanatisme yang tumbuh terlampau berlebihan terhadap eksistensi media komunikasi sastra tertentu.

Kenapa di tengah maraknya media komunikasi sastra yang tumbuh justru konflik-konflik yang tak produktif bagi sastra? ***

Penulis adalah penyair

Selasa, 17 Februari 2009

Sajak-Sajak Fitri Yani

http://www.lampungpost.com/
Pesta Dansa

Dik, pertemuan kita ibarat pesta dansa
Penuh irama
Serupa anggur memabukkan
yang musykil dibuang setelah dituang
ke dalam gelas-gelas kesepian

Juli 2008



Seperti Batu di Jurang

Jurang itu memintaku
untuk tetap tinggal di situ
sementara langit begitu menghiba
menungguku tiba
tak pernah kulihat cahaya
hanya kelam
dan sebuah batu
aku tak begitu tahu
aku atau batu
yang lebih dulu di situ
di tempat amat dalam
lebih gelap ketimbang malam
tiba-tiba aku dikejutkan
oleh derai yang
memeluk tubuhku
ialah hujan
tempat petama kali kusimpan harapan
"pergilah, dan jadilah awan"
ujar batu kepadaku
tapi entah mengapa
aku merasa hampa
mungkin karena terbiasa
"apakah benar-benar
kau mencintai jurang ini?"
tanya hujan amat lirih
"entahlah hujan,
aku ingin sekali pergi"
"aku mencintaimu
aku ingin kau tetap di sini"
ujar jurang
mendengar pengakuanku
hujan pergi
meninggalkan genangan di kakiku
"di langit aku menunggumu"
serunya sebelum berlalu
tapi aku hanya ingin setia
seperti batu

Agustus 2007



Mimpi Pengantin

di langit yang tengah pesta pora cahaya
ada sepasang merpati mabuk asmara
bulu-bulu putih mereka berguguran
serupa hujan salju
menjadi suara-suara di sisi telaga bening;
auman singa, lolong anjing
kepak kelelawar, desis ular
"lihat, itu bulu-bulu kita!"
kata merpati pertama kepada pasangannya
(auman singa, lolong anjing
kepak kelelawar, desis ular
seketika terdiam)
tak lama kemudian
sepasang merpati yang tengah mabuk asmara
terbang merendah ke sisi telaga
meletakkan satu per satu telur mereka
lalu terbang lagi
sebelum lenyap
mereka sempat menoleh ke sisi telaga
seperti tak akan lagi berjumpa
"terbanglah dengan bulu-bulu putih itu kelak"
pesan sepasang merpati dengan mata bercahaya
sementara dari cangkang telur-telur itu
terdengar suara-suara;
"apakah kita satu keluarga?"
"entahlah, rahim kita berbeda"
"aku ingin ke luar saja"
ada yang bergerak-gerak, lalu cangkang pun retak

Juni-Agustus 2008



Penjaga Pelabuhan

"bapak, biarkan kami bersaksi
bahwa kau pernah menjadi ombak
di dada kami
kelak, kami kabarkan kepergian kepada burung laut
sebagai isyarat bagi pelabuhanmu
yang mulai tunai mengatakan perjumpaan"
debur ombak
bergemuruh di dada sepasang remaja
selalu ada tanda bagi segala yang akan tiba
lewat bayang karang dan matahari yang bertegur sapa

Tanjungkarang, Februari 2008



Enam Hari Setelah Tahun Baru

bahagiakah kau sekarang?
bertahun-tahun aku mencari jawaban yang tepat,
dari pesan-pesan singkat yang kau kirimkan
kutelusuri buku catatan lama kalau-kalau kau tinggalkan
isyarat atau semacam laknat jumpa pertama, namun tak juga ada
aku mencintaimu, entah bagaimana mulanya
aku hanya bangun sekali, dan tidur kembali setelah kau pergi
sedikit sekali kulihat kenyataan dalam terjaga yang begitu sebentar
selebihnya aku terus-menerus bermimpi
dan terus-menerus kulihat kau menjelma jurang
jurang yang amat dalam, lebih gelap ketimbang malam
apa pun tak bisa tumbuh di situ, sekali pun sebaris puisi
dan perasaan-perasaan yang kau tinggalkan
tak mampu mengantarkan tubuhku kepadamu
atau pun mengembalikan kau yang kian membatu
dalam sangkar waktu
adakah jembatan bagi asmara yang terlunta?
aku berbisik kepada langit,
ia kirimkan benih-benih bambu bersama musim-musim yang baru,
lalu benih bambu tumbuh seperti usia yang tak terduga
namun bambu bagiku hanyalah bambu; sembilu waktu
ia lebih mencintai rumpunnya ketimbang menjadi jembatan
bahagiakah kau sekarang?
bertahun-tahun kucari jawaban yang tepat
akh, adakah jawaban yang sebenarnya tepat untuk ditemukan
entah bagaimana caranya, terkadang ia amat kuat
dan lebih pandai mengatur pilihan
kau mungkin tak mengerti mengapa cinta adalah luka yang tersisa
seperti harum kopi di meja pagi hari.

Tanjungkarang. Desember 2008



Kisah di Jalan Tanah

di jalan tanah tengah malam
kau dan aku terantuk batu
yang diam sejak dua abad silam
percakapan hanya melintas-lintas
seperti suara angin yang bergerak lekas
dari celah ranting akasia yang renta
mukamu pucat
seperti bulan hampir bulat
lenganmu kaku merengkuh tubuhku
yang terjatuh berkelimun peluh
lalu menghapus embun
yang menitik di mataku
padahal sebagai perempuan
tak pernah kuminta apa pun padamu
selain tatapan yang lekat
sekejap nikmat bagi kebersamaan kita
saat pagi nanti tiba
kita akan berpisah
bukan lantaran asmara
sungkan memberikan belaian
namun kau bukan alasan
bagi kekasih yang kutinggalkan
jejaknya telah kusimpan
sejak awal pertemuan kita di jalan tanah ini
sebelum akhirnya terantuk batu
yang diam sejak dua abad silam
kau yakin aku tak akan menderita
karena dipaksa mengerti makna getar dada
yang tak mungkin disampaikan
oleh jalan tanah yang basah
dan malam menjelang subuh
kapan kita akan kembali bertemu
tanyamu sambil dengan cemas memungut
daun akasia di tepi jalan itu
kapan daun ini diterbangkan angin
ke tepi telaga sebuah kota
kapan akan sampai di tujuan,
pada alamat di segulung peta tua
yang hampir tak terbaca?
jangan ajari aku menghafal nama jalan asmara
yang mungkin tak ada di peta
jangan sesatkan aku dalam dekapmu
jika yang kaukenang adalah lelaki yang pergi berulang
barangkali gelembung udara
sempat mencatat perjalanan kita
mengaitkan rindu pada rintik-rintik sunyi
yang berbulir di daun akasia
ada bau parfummu
melekat di kemeja putihku

Bandar Lampung 29 Juni 2008

Jumat, 13 Februari 2009

Estetika Puitis Nirwan

Tito Sianipar
http://www.tempointeractive.com/

Lalu dengarlah topan malam
ketika aku mengintai di sudut terjauh
ketika kau mengasah kuku
ketika kau perawankan tubuhmu
ketika bundaku menjadi bundamu
ketika kau mencuri terang dari kulitku
ketika aku mencuri gelap dari kitab-kitabmu

Puisi itu dibacakan oleh Andi Alfian Mallarangeng saat peluncuran buku himpunan puisi Jantung Lebah Ratu di Goethe Haus, Jakarta, Kamis malam lalu. Namun, puisi itu bukanlah milik Presiden Yudhoyono, tempat Mallarangeng bertindak sebagai juru bicaranya. Puisi tersebut adalah karya Nirwan Dewanto yang berjudul Harimau. "Saya sudah janji sama Nirwan, dan kebetulan saya memang bisa," tuturnya.

Selain Andi Mallarangeng, sejumlah nama besar lainnya hadir dalam acara peluncuran tersebut. Sebut saja Ketua Umum Partai Amanat Nasional Soetrisno Bachir, budayawan Goenawan Mohamad, Sitok Srengenge, dan Djenar Maesa Ayu. Bambang Harymurti, Direktur Utama PT Tempo Inti Media Tbk., tempat Nirwan bekerja, pun tak ketinggalan. Kehadiran mereka seakan memberi penekanan akan kualitas puisi-puisi Nirwan.

Simak saja pendapat Sitok soal puisi karya pria lulusan Jurusan Geologi Institut Teknologi Bandung itu. Menurut Sitok, karya Nirwan kaya akan imajinasi dengan meramu banyak metafora. Semua itu, ia menambahkan, masih digabungkan ke dalam satu harmonisasi imaji yang apik. "Penuh makna dan ungkapan-ungkapan baru. Tidak sekadar nyentrik-nyentrikan," ujar Sitok.

Hal senada diungkapkan oleh Melani Budianta, guru besar Fakultas Sastra Universitas Indonesia. Menurut Melani, puisi-puisi Nirwan memberikan sumbangan yang berarti bagi kekayaan kosakata bahasa Indonesia. Bahkan Melani berniat menugasi murid-muridnya mencari kata-kata yang belum ada di Kamus Besar Bahasa Indonesia. "Puisi-puisinya mencerminkan kekayaan wawasan, mulai dari biologi, geografi, sejarah, hingga budaya pop," ujar Melani.

Nama Nirwan memang lekat di dunia sastra. Pasalnya, karyanya sudah sering menghiasi halaman-halaman beberapa media massa sejak 1980-an. Kepiawaiannya merangkai kata membentuk metafora indah menjadi ciri tersendiri. Liris yang terkandung dalam barisan kata-katanya juga menjadi semacam penguat identitas sastrawan ulung buat Nirwan, yang juga pendiri jurnal kebudayaan Kalam.

Buku Jantung Lebah Ratu, yang diterbitkan Gramedia Pustaka Utama, merupakan buku kumpulan puisi pertama yang diterbitkan Nirwan setelah sebelumnya urung menerbitkan Buku Cacing. "Buku Cacing adalah masa lalu saya, yang hendak saya tolak namun ternyata selalu hadir kembali. Bahwa tak sedikit yang masih berminat, itu mungkin menyatakan bahwa Buku Cacing ada juga nilainya," tutur Nirwan dalam buku kecil yang dibagikan pada acara peluncuran.

Nilai dalam puisi itulah yang menjadi kelebihan karya-karya Nirwan. "Ia memiliki estetika yang luar biasa dengan makna yang mendalam," ujar Andi Mallarangeng. Dan estetika itu juga dihadirkan dalam panggung yang benar-benar estetis, berhiaskan dua pot bunga rumput setinggi 2 meter dan disiram cahaya minim. Kepala-kepala yang memenuhi auditorium Goethe Haus menyimak rapi setiap penampil yang membacakan puisi Nirwan, di antaranya Maya Hasan, Sitok, dan Linda Christianty.

Rabu, 11 Februari 2009

Lidah Gatal Sang Presiden

Judul: Presiden Guyonan
Penulis: Butet Kartaredjasa, kumpulan kolom
Penerbit: Kitab Sarimin, Yogyakarta, 2008, 286 halaman
Editor: Agus Noor
Peresensi: Yusi Avianto Pareanom
http://www.ruangbaca.com/

Butet ndobos tentang segala hal. Bahasanya lumayan segar, tetapi polanya repetitif.

Sewaktu menjadi mahasiswa di Yogyakarta pada 1980-an, ada ritual hari Selasa yang saya jalani bersama kawan-kawan kuliah. Begitu pelajaran pertama selesai, kami turun ke lantai bawah untuk bergantian membaca koran Kedaulatan Rakyat yang dipajang di panel kaca. Hari itu adalah harinya Umar Kayam alias Pak Ageng. Kolomnya nyaris tidak pernah tidak segar. Oleh sebab itu, jika karena satu dan lain sebab Pak Ageng absen, biasanya karena sakit, hari Selasa jadi kurang menghibur. Bisa dibayangkan rasa kehilangan pembaca kolom itu ketika Pak Ageng akhirnya pamit untuk selamanya pada 2002.

Lima tahun kemudian, kerinduan lama itu lumayan terpupus dengan hadirnya kolom Butet Kartaredjasa di koran Suara Merdeka. Kolom-kolom itu kini terbit dalam buku Presiden Guyonan. Penyebutan Umar Kayam di atas tak terelakkan karena Pak Agengisme menjelujur di tulisan Butet. Gaya penulisan, pemilihan bahasa compar-campur yang segar, maupun ”dramaturginya” sangat ”kekayam-kayaman”. Bisa jadi pola ini disengaja Butet, bisa juga tidak. Yang pasti, kemiripan ini tak mengagetkan mengingat kedekatan Butet dengan Pak Ageng dan hampir semua seniman Yogyakarta memang anak rohani Umar Kayam.

Bila Umar Kayam menggunakan adegan Pak Ageng dan Mister Rigen, kepala staf rumah tangganya, sebagai sarana untuk ngrasani berbagai hal, Butet menggunakan gerejegan Mas Celathu versus Mbakyu Celathu untuk mengomentari, seringnya dengan nada mencela, aktor-aktor peristiwa aktual. Pokoknya, yang sedang ”bermain di bibir” di pekan itulah yang ditulis Butet. Maka, Mas Celathu pun ndobos tanpa batas: dari jaksa yang suka ”memajak dengan paksa”, kegilaan pada anthurium, budaya kekerasan, sampai raja yang kebelet jadi presiden.

Beberapa kolom sangat tajam. Semisal ”Tiga Shio” yang menceritakan diskriminasi ras. Ceritanya, Mas Celathu main-main ke negara tetangga. Di tempat itu ia menjumpai seorang wanita yang mengemis bersama bayinya. Rupanya, si peminta-minta itu pendatang dari Jawa. Memelasnya gaya mengemis si wanita tak menyusahkan hati Mas Celathu, malah ia geli sendiri ketika nada permohonan itu makin lama makin melodius. Ia baru kemropok begitu orang-orang yang diminta derma itu menunjuk si bayi dan berujar, ”Kasihan, kecil-kecil sudah jadi orang Jawa.” Telak, karena sikap ini sering kita tunjukkan kepada saudara sebangsa.

Secara umum, Butet lebih berhasil --lebih lucu --ketika ia bercerita tentang hal-hal yang ia alami langsung. Semisal ketika anak ragil Mas Celathu, Jeng Genit, yang tak pernah mencicipi kegayengan Orde Baru, menyesalkan keputusan Gus Dur membubarkan Departemen Penerangan sehingga sekarang akibatnya listrik sering byar pet. ” Oallahhh nduk...kowe ora ngerti, Menteri Penerangan dulu itu malah bikin semua gelap gulita,” ujar Mas Celathu (”Menteri Penggelapan”).

Namun, format yang menempatkan Mas Celathu sebagai komentator sosial menghadirkan persoalan: Butet jadi ”bebas terpenjara”. Di satu sisi, ia bebas ngoceh apa saja --salah satu kemewahan yang tak dimiliki Umar Kayam sewaktu itu --tetapi setiap minggunya ia ”dipaksa” harus berkomentar dan mencari atau mencantelkan makna, yang tak jarang tak optimal, sehingga kurang segar. (Malah, saking bersemangat menjelas-jelaskan, buku Presiden ini menampilkan pemancing satu alinea sebelum tulisan utama, ditambah lagi dengan pembesaran font di kalimat-kalimat yang diangap penting.) Padahal, tidak usah begitu ya tidak apa-apa. Umar Kayam, misalnya, bisa nyaman-nyaman saja cerita tentang nasi goreng yang kebanyakan garam atau penjual ayam panggang dari Klaten dengan teriakan khasnya ” penggeeeng...eyem!” Kadang-kadang dimaknai, seringkali tidak.

”Baju” Mas Celathu itulah yang memberatkan Butet. Terutama di kolom-kolom awal ketika Mas Celathu ini diceritakan sebagai orang lain (ada adegan Butet bertemu dengan Mas Celathu). Pada kolom-kolom yang lebih belakangan, ketika Mas Celathu tak lain adalah Butet sendiri, tulisan lebih personal dan lancar.

Satu hal lagi yang cukup mengganggu dari buku yang dicetak sangat bagus ini adalah penyuntingan yang kurang rapi. Aturan penulisan kata-kata yang dicetak miring tidak konsisten. Terdapat pula kesalahan penulisan seperti event-orgenizer, costumer, dan frustasi yang semestinya ditulis event organizer, customer, dan frustrasi.

Bagi saya, Butet lebih lunyu --bukan sekadar licin, melainkan juga berdaya bujuk --ketika ia menulis tanpa beban pitutur. Tulisannya tentang tongseng mercon (http://kabarbanana.multiply.com/photos/albu /12/Tongseng_Mercon_Prajurit_Kraton_Butet_Kartaredjasa_), sate klatak, bungkus rokok, bahkan obituari Ateng sekalipun, terasa gurih. Dan, Butet punya persediaan segudang cerita beginian (Kalau suatu saat ketemu dia, minta ia bercerita tentang pengusaha Jakarta yang kaget dengan harga ”aduhai” gudeg di Patangpuluhan.) Secara keseluruhan, perndobosan Mas Celathu sangat layak dikeploki. Membawakan humor di panggung itu sulit, menuangkan humor di tulisan lebih sulit lagi.

A Musthafa A Rodhi Murtadho A Wahyu Kristianto A. Mustofa Bisri A. Qorib Hidayatullah A. Zakky Zulhazmi A.J. Susmana A.S. Laksana Aang Fatihul Islam Abdul Azis Sukarno Abdul Aziz Rasjid Abdul Hadi W. M. Abdul Kadir Ibrahim Abdul Malik Abdul Wachid BS Abdullah al-Mustofa Abdullah Khusairi Abdurrahman Wahid Abidah El Khalieqy Abimanyu Abimardha Kurniawan Abroorza A. Yusra Acep Iwan Saidi Acep Zamzam Noor Achmad Maulani Adek Alwi Adhi Pandoyo Adrian Ramdani Ady Amar Afrizal Malna Agnes Rita Sulistyawati Aguk Irawan Mn Agus R. Sarjono Agus Riadi Agus Subiyakto Agus Sulton Aguslia Hidayah Ahda Imran Ahm Soleh Ahmad Farid Tuasikal Ahmad Farid Yahya Ahmad Fatoni Ahmad Kekal Hamdani Ahmad Luthfi Ahmad Muchlish Amrin Ahmad Nurhasim Ahmad Sahidah Ahmad Syauqi Sumbawi Ahmad Yulden Erwin Ahmad Zaini Ahmadie Thaha Ahmadun Yosi Herfanda Ainur Rasyid AJ Susmana Ajip Rosidi Akhiriyati Sundari Akhmad Muhaimin Azzet Akhmad Sekhu Alan Woods Alex R. Nainggolan Alexander Aur Alexander G.B. Alfian Dippahatang Ali Audah Ali Rif’an Aliela Alimuddin Alit S. Rini Alunk Estohank Ami Herman Amich Alhumami Amien Wangsitalaja Aming Aminoedhin Aminudin TH Siregar Ammilya Rostika Sari An. Ismanto Anaz Andaru Ratnasari Andhi Setyo Wibowo Andhika Prayoga Andong Buku #3 Andrenaline Katarsis Andri Cahyadi Angela Anies Baswedan Anindita S Thayf Anjrah Lelono Broto Anton Kurnia Anton Sudibyo Anton Wahyudi Anwar Holid Anwar Siswadi Aprinus Salam Arie MP Tamba Arif Hidayat Arif Zulkifli Arti Bumi Intaran Asarpin Asep Sambodja Asvi Warman Adam Awalludin GD Mualif Ayu Utami Azyumardi Azra Babe Derwan Bagja Hidayat Balada Bandung Mawardi Bayu Agustari Adha Beni Setia Benni Setiawan Benny Benke Bentara Budaya Yogyakarta Berita Bernadette Lilia Nova Bernando J. Sujibto Berthold Damshäuser Bhakti Hariani Binhad Nurrohmat Bokor Hutasuhut Bonari Nabonenar Brunel University London Budaya Budhi Setyawan Budi Darma Budi Hutasuhut Budi P. Hatees Budi Winarto Buku Kritik Sastra Buldanul Khuri Bustan Basir Maras Camelia Mafaza Capres dan Cawapres 2019 Catatan Cecep Syamsul Hari Cerpen Chairil Anwar Chamim Kohari Choirul Rikzqa D. Dudu A.R D. Dudu AR D. Zawawi Imron Dahono Fitrianto Dahta Gautama Damanhuri Damar Juniarto Damhuri Muhammad Damiri Mahmud Dantje S Moeis Darju Prasetya Darma Putra Darman Moenir Darmanto Jatman Dedy Tri Riyadi Delvi Yandra Denny JA Denny Mizhar Dewi Anggraeni Dian Basuki Dian Hartati Dian Sukarno Dian Yanuardy Diana AV Sasa Dinar Rahayu Djenar Maesa Ayu Djoko Pitono Djoko Saryono Doddi Ahmad Fauji Dody Kristianto Donny Anggoro Donny Syofyan Dorothea Rosa Herliany Dwi Cipta Dwi Fitria Dwi Pranoto Dwi S. Wibowo Dwicipta Edeng Syamsul Ma’arif Edi Warsidi Edy Firmansyah EH Kartanegara Eka Alam Sari Eka Budianta Eka Kurniawan Eko Darmoko Ellyn Novellin Elnisya Mahendra Emha Ainun Nadjib Emil Amir Engkos Kosnadi Esai Esha Tegar Putra Evan Ys F. Budi Hardiman Fadly Rahman Fahmi Fahrudin Nasrulloh Faisal Kamandobat Fani Ayudea Fariz al-Nizar Faruk HT Fatah Anshori Fatah Yasin Noor Fatkhul Anas Fatkhul Aziz Felix K. Nesi Film Fitri Yani Franditya Utomo Fuska Sani Evani Gabriel Garcia Marquez Gandra Gupta Garna Raditya Gde Artawan Geger Riyanto Gendhotwukir George Soedarsono Esthu Gerakan Surah Buku (GSB) Goenawan Mohamad Grathia Pitaloka Gunawan Budi Susanto Gunawan Tri Atmojo H. Supriono Muslich H.B. Jassin Hadi Napster Halim H.D. Hamberan Syahbana Hamidah Abdurrachman Han Gagas Hardi Hamzah Haris del Hakim Haris Priyatna Hasan Aspahani Hasan Gauk Hasan Junus Hasnan Bachtiar Helvy Tiana Rosa Helwatin Najwa Hendra Junaedi Hendra Makmur Hendriyo Widi Ismanto Hepi Andi Bastoni Heri Latief Heri Listianto Herry Firyansyah Heru Untung Leksono Hikmat Darmawan Hilal Ahmad Hilyatul Auliya Holy Adib Hudan Hidayat Hudan Nur Husnun N Djuraid I Nyoman Suaka Ibnu Rizal Ibnu Rusydi Ibnu Wahyudi IGK Tribana Ignas Kleden Ignatius Haryanto Iksan Basoeky Ilenk Rembulan Ilham khoiri Imam Jazuli Imam Nawawi Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Iman Budi Santosa Imelda Imron Arlado Imron Tohari Indiar Manggara Indira Margareta Indra Darmawan Indra Tjahyadi Indra Tranggono Indrian Koto Ingki Rinaldi Insaf Albert Tarigan Intan Hs Isbedy Stiawan ZS Ismail Amin Ismi Wahid Ivan Haris Iwan Gunadi Jacob Sumardjo Jafar Fakhrurozi Jajang R Kawentar Janual Aidi Javed Paul Syatha Jean-Marie Gustave Le Clezio JJ. Kusni Joko Pinurbo Joko Sandur Joko Widodo Joni Ariadinata Jual Buku Paket Hemat Julika Hasanah Julizar Kasiri Jumari HS Junaidi Jusuf AN Kadir Ruslan Kartika Candra Kasnadi Katrin Bandel Kenedi Nurhan Ketut Yuliarsa KH. Ma'ruf Amin Khaerudin Khalil Zuhdy Lawna Kholilul Rohman Ahmad Komunitas Deo Gratias Komunitas Teater Sekolah Kabupaten Gresik (KOTA SEGER) Korrie Layun Rampan Krisandi Dewi Kritik Sastra Kucing Oren Kuswinarto Langgeng Widodo Lathifa Akmaliyah Latief S. Nugraha Leila S. Chudori Lenah Susianty Leon Agusta Lina Kelana Linda Sarmili Liston P. Siregar Liza Wahyuninto M Shoim Anwar M. Arman A.Z. M. Fadjroel Rachman M. Faizi M. Harya Ramdhoni M. Kasim M. Latief M. Wildan Habibi M. Yoesoef M.D. Atmaja Mahdi Idris Mahmud Jauhari Ali Mahwi Air Tawar Malkan Junaidi Maman S. Mahayana Mardi Luhung Marhalim Zaini Maria hartiningsih Maria Serenada Sinurat Mario F. Lawi Maroeli Simbolon S. Sn Marsus Banjarbarat Marwanto Mas Ruscitadewi Masdharmadji Mashuri Masriadi Mawar Kusuma Wulan Max Arifin Melani Budianta Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia Mezra E. Pellondou Micky Hidayat Mihar Harahap Misbahus Surur Moh Samsul Arifin Moh. Syafari Firdaus Mohamad Asrori Mulky Mohammad Afifuddin Mohammad Fadlul Rahman Muh Kholid A.S. Muh. Muhlisin Muhajir Arifin Muhamad Sulhanudin Muhammad Al-Fayyadl Muhammad Amin Muhammad Azka Fahriza Muhammad Rain Muhammad Subhan Muhammad Yasir Muhammad Zuriat Fadil Muhammadun A.S Muhidin M. Dahlan Musa Ismail Musfi Efrizal Mustafa Ismail Nafi’ah Al-Ma’rab Naskah Teater Nezar Patria Nina Setyawati Nirwan Ahmad Arsuka Nirwan Dewanto Noor H. Dee Noval Maliki Nunuy Nurhayati Nur Haryanto Nurani Soyomukti Nurel Javissyarqi Nurhadi BW Nurudin Octavio Paz Oliviaks Orasi Budaya Akhir Tahun 2018 Pablo Neruda Pamusuk Eneste Panda MT Siallagan Pandu Jakasurya PDS H.B. Jassin Philipus Parera Pradewi Tri Chatami Pramoedya Ananta Toer Pramono Pranita Dewi Pringadi AS Prosa Puisi Puisi Menolak Korupsi PuJa Puji Santosa Puput Amiranti N Purnawan Andra PUstaka puJAngga Putri Utami Putu Fajar Arcana Putu Wijaya Qaris Tajudin R Sutandya Yudha Khaidar R. Sugiarti R. Timur Budi Raja R.N. Bayu Aji Rachmad Djoko Pradopo Radhar Panca Dahana Rahmadi Usman Rahmat Sudirman Rahmat Sularso Nh Rahmat Sutandya Yudhanto Raihul Fadjri Rainer Maria Rilke Raja Ali Haji Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Raudal Tanjung Banua Reiny Dwinanda Remy Sylado Resensi Revolusi Riadi Ngasiran Ribut Wijoto Ridha al Qadri Ridwan Munawwar Rikobidik Riri Riris K. Toha-Sarumpaet Risang Anom Pujayanto Rizky Andriati Pohan Robert Frost Robin Al Kautsar Robin Dos Santos Soares Rodli TL Rofiqi Hasan Rohman Budijanto Romi Febriyanto Saputro Rosihan Anwar RR Miranda Rudy Policarpus Rukardi S Yoga S. Jai S.I. Poeradisastra S.W. Teofani Sabam Siagian Sabrank Suparno Saiful Amin Ghofur Sainul Hermawan Sajak Sakinah Annisa Mariz Salamet Wahedi Salman Rusydie Anwar Samsudin Adlawi Sapardi Djoko Damono Sartika Dian Nuraini Sastra Sastra Gerilyawan Sastri Sunarti Satmoko Budi Santoso Saut Situmorang Sejarah Sekolah Literasi Gratis (SLG) SelaSastra SelaSastra ke #24 Selasih Seno Gumira Ajidarma Seno Joko Suyono Sergi Sutanto Shadiqin Sudirman Shiny.ane el’poesya Sidik Nugroho Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Simo Sungelebak Karanggeneng Lamongan Siti Sa’adah Sitok Srengenge Siwi Dwi Saputro Sjifa Amori Sofyan RH. Zaid Soni Farid Maulana Sony Prasetyotomo Sosiawan Leak Sri Wintala Achmad Sri Wulan Rujiati Mulyadi Subhan SD Suci Ayu Latifah Sulaiman Djaya Sulistiyo Suparno Sunaryo Broto Sunaryono Basuki Ks Sungatno Sunlie Thomas Alexander Sunudyantoro Suriali Andi Kustomo Suryadi Suryansyah Suryanto Sastroatmodjo Susi Ivvaty Susianna Susilowati Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Suwardi Endraswara Syaifuddin Gani Syaiful Bahri Syam Sdp Syarif Hidayatullah Tajuddin Noor Ganie Tammalele Tan Malaka Taufik Ikram Jamil Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat Teguh Trianton Tengsoe Tjahjono Th Pudjo Widijanto Thayeb Loh Angen Theresia Purbandini Tia Setiadi Tito Sianipar Tiya Hapitiawati Tjahjono Widarmanto Tjahjono Widijanto Toko Buku Murah PUstaka puJAngga Tosa Poetra Tri Joko Susilo Triyanto Triwikromo Tu-ngang Iskandar Udo Z. Karzi Uly Giznawati Umar Fauzi Umar Kayam Undri Uniawati Universitas Indonesia UU Hamidy Vyan Tashwirul Afkar W Haryanto W.S. Rendra Wahyudin Wannofri Samry Warung Boenga Ketjil Waskiti G Sasongko Wawan Eko Yulianto Wawancara Web Warouw Wijang Wharek Wiko Antoni Wina Bojonegoro Wira Apri Pratiwi Wiratmo Soekito Wishnubroto Widarso Wiwik Hastuti Wiwik Hidayati Wong Wing King WS Rendra Xu Xi (Sussy Komala) Y. Thendra BP Y. Wibowo Yani Arifin Sholikin Yesi Devisa Yohanes Sehandi Yona Primadesi Yosi M. Giri Yusi Avianto Pareanom Yusri Fajar Yusrizal KW Yuval Noah Harari Yuyu AN Krisna Zaki Zubaidi Zalfeni Wimra Zawawi Se Zehan Zareez Zen Hae Zhaenal Fanani Zuarman Ahmad Zulfikar Akbar Zulhasril Nasir