Wira Apri Pratiwi
http://www.lampungpost.com/
TAK satu pun warga Pulau Panggung, tidak mengenal nama Haji Ebod. Juragan sawah, juragan tanah, dan juragan kawin menjadi gelar yang melekat untuk Haji Ebod. Tiga perempat sawah di kampung kami dimiliki Haji Ebod. Begitu juga dengan tanah di kampung ini, hampir seluruhnya dikuasainya. Dan untuk perkara kawin, tak ada yang bisa menandingi Haji Ebod. Di usianya yang kini menginjak 55 tahun, Haji Ebod sudah sebelas kali kawin. Tapi Ngah Dati, istri pertama Haji Ebod, masih menjadi perempuan yang paling disayang Haji Ebod.
Meskipun sudah sebelas kali kawin, Haji Ebod tak pernah hidup dengan lebih dua kali istri. Tiap kali Haji Ebod mau kawin, satu istrinya pasti dicerai duluan. Tapi itu tak pernah terjadi pada Ngah Dati.
Tiap kali Haji Ebod kawin lagi, hati kecil Ngah Dati menangis. Namun, didikan agama yang kental di dadanya, pada akhirnya bisa melapangkannya.
Suatu hari ada seorang warga di Pasar Baru yang iseng bertanya tentang seringnya Haji Ebod kawin, Ngah Dati hanya menjawab, "biar saja poligami, itu kan sunah Rasul." Sehabis itu, tak ada lagi yang berani bertanya padanya.
Kemasyhuran Haji Ebod, sebenarnya bukan hanya karena kekayaan dan seringnya beliau kawin. Namun, Haji Ebod jauh termasyhur sebagai pedagang minuman keras di kampung kami. Warga tidak berani menegur Haji Ebod, begitu juga kepala desa kami yang sama-sama takut melarang Haji Ebod untuk tidak menjual minuman keras itu. Maklum, dengan kekayaannya yang melimpah, Haji Ebod jadi banyak pengikutnya. Pengikutnya ini dijadikan Haji Ebod sebagai centengnya.
Satu kali memang pernah ada satu warga yang mengingatkan Haji Ebod. Dia adalah Ustaz Endang, satu-satunya guru ngaji yang ada di kampung kami. Tapi malang, sehari setelah mengingatkan Haji Ebod, malamnya Ustaz Endang didatangi orang-orang bertopeng. Dia dipukuli habis-habisan, rumahnya yang juga dipakai tempat ngaji anak-anak di kampung kami ludes dibakar. Meskipun mereka memakai topeng, warga sudah tahu orang-orang itu adalah centeng Haji Ebod.
Setelah kejadian itu, tak ada lagi warga yang berani melarang Haji Ebod, bahkan hingga bulan Ramadan tiba pun masih belum ada warga yang berani lagi melarangnya. Karenanya tak heran, meskipun di bulan suci, masih banyak pemuda di kampung kami yang mabuk-mabukan. Hampir tiap malam kami jumpai para pemuda mabuk-mabukan.
Dan sebaliknya, di masjid-masjid menjadi sepi dari pemuda yang tarawihan. Hingga pada suatu hari di bulan suci, datanglah Adin Nana ke kampung kami. Ia adalah anak angkat Haji Ebod. Konon, 23 tahun yang lalu, dia ditemukan Haji Ebod dalam keranjang di kebun pisangnya. Saat itu, Nana kecil terlihat diendus anjingnya Haji Ebod yang telah mati beberapa tahun lalu. Bayi itu lantas dijadikan anak angkat Haji Ebod karena memang Haji Ebod mandul. Anak itu lalu diberi nama Adin Nana. Di usianya yang ke-sepuluh, Adin Nana ikut pesantren di Banten sekaligus kuliah di sana, dan kini setelah 13 tahun menempa ilmu, ia kembali ke pangkuan orang tuanya.
Betapa gembira keluarga Haji Ebod dengan kedatangan Adin Nana, begitupun sebaliknya, Adin Nana begitu senang bisa berkumpul kembali dengan kedua orang tuanya.
Haji Ebod mengadakan syukuran, seluruh warga diundang. Syukuran itu diisi pengajian dan makan-makan. Pada kesempatan itu ternyata juga hadir keluarga Pak Lurah yang diwakili anaknya, Udo Jafar. Sebuah kehormatan yang luar biasa dikunjungi Udo Jafar. Konon, kata orang Udo Jafar adalah dosen, ia juga dekat dengan jajaran pemerintahan serta anggota Dewan. Ia dihormati warga sekampung, dan atas kedatangannya di acara syukuran, haji Ebod sangat tersanjung.
Di sesi terakhir, pas acara makan-makan, Udo Jafar diberi kesempatan bicara. Kesempatan itu tidak ditolak, dan segera Udo Jafar berdiri, lalu berpidato yang garis besarnya begini:
"Perlu bapak-ibu ketahui, bahwa sebentar lagi Lampung akan mengadakan pesta demokrasi pemilihan gubernur baru. Kita sebagai warga Lampung tentunya harus ikut andil untuk menentukan siapa pemimpin yang pantas untuk Ruwa Jurai. Nah, sekarang partisipasi bapak ibu sekalian bisa langsung disalurkan dengan memilih calon kita di pilkada nanti. Kaya pemilu kemarin, tentunya bapak ibu sekalian sudah tahu kan?"
Begitu kira-kira isi pidatonya. Warga bertepuk tangan. Suasana syukuran menjadi riuh. Haji Ebod tersenyum. Baginya, itu adalah bentuk pengakuan dari pejabat akan eksistensinya di kampung Bojong. Haji Ebod tidak tahu, kalau acaranya digunakan kendaraan politik oleh Udo Jafar. Warga pun tersenyum karena tidak lama lagi mereka akan dapat kaus, beras serta uang. Maka setelah malam itu. Rumah Haji Ebod sering dikunjungi warga, pasalnya warga mendengar kalau Udo Jafar memberi banyak beras dan uang pada Haji Ebod.
Benar saja, tak lama kemudian. Seluruh kampung penuh dengan poster, berisi gambar dua orang berpeci lengkap dengan nama, nomor dan partainya. Terutama di rumah Haji Ebod, ada baliho dan poster besar juga stiker. Rupanya, rumah Haji Ebod dijadikan posko cagub-cawagub majikan Udo Jafar.
Apa yang dilakukan Udo Jafar sangat cerdik. Ada banyak alasan untuk melibatkan Haji Ebod. Pertama, Haji Ebod dianggap orang kampung yang udik, yang pasti akan merasa bangga didekati politikus macam Udo Jafar. Dosen pula. Kedua, adalah kekayaannya.. Setidak-tidaknya Haji Ebod juga akan membantu mendanai kampanye di kampung. Untuk yang satu itu, Udo Jafar menjanjikan perlindungan terhadap bisnis Haji Ebod. Terakhir, adalah para centeng dan pengikutnya yang banyak dan dikenal sebagai preman. Kekuatan mereka akan dijadikan sebagai kekuatan eksternal untuk menakut-nakuti warga yang akan memilih calon lain. Begitu skema yang tergambar di otak Udo Jafar.
***
Ngah Dati sekarang sangat sibuk, ia mendadak rajin ke desa, sama Bu Lurah, ia kembali menghidupkan ibu-ibu PKK dan Dharma Wanita. Mengadakan latihan paduan suara, memasak, merangkai bunga dan acara lainnya. Haji Ebod sendiri kini banyak tinggal di rumah, bersama Udo Jafar ia sering kedatangan tamu. Ada dari kecamatan, kabupaten, sampai provinsi. Bahkan orang-orang sudah mendengar kabar tentang cagub dan cawagub yang tak lama lagi akan datang ke kampung mereka. Haji Ebod tentu akan semakin berbunga-bunga. Karena sudah barang pasti rumahnya yang dipilih sebagai tempat kunjungan. Halaman rumahnya yang luas akan disulap jadi tempat yang nyaman untuk tamu kehormatan.
Kabar itu memang benar adanya, seminggu lagi cagub dan cawagub akan hadir di kampung Pulau Panggung, seluruh warga turun ke jalan, membersihkan jalan dan selokan. Spanduk ucapan selamat datang sudah dipasang di gapura, umbul-umbul dipasang di sepanjang jalan. Suasana kampung menjadi meriah layaknya agustusan. Apalagi rumah Haji Ebod, selain ditempeli poster berukuran besar, Haji Ebod memasang lampu-lampu kerlap-kerlip berwarna-warni. Agar indah dan mewah, katanya.
Panggung kecil dibuat di halaman rumah. Karpet dan tikar digelar, ada sound system, dan dekorasi lain yang unik dan kreatif karya anak-anak karang taruna. Semuanya dibikin sesuai instruksi Udo Jafar. Padahal tadinya Haji Ebod hendak membeli sofa baru, juga menyewa kursi. Namun, kata Udo Jafar lebih baik lesehan saja, biar terlihat merakyat.
***
Menjelang magrib, warga sudah bersiap-siap. Jam tujuh rombongan datang. Tim penjemput yang sudah disiapkan segera bergerak menuju gapura. Malam itu adalah malam yang bersejarah bagi warga Pulau Panggung. Selain ceramah dari calon, acara itu juga akan diisi jaipong, teater, dan kasidahan sebagai jamuan untuk tamu.
Di rumah Yu Entin, suasana sangat heboh. Pasalnya kedua anak Yu Entin, Sari dan Suminten akan menari jaipong malam itu. Di depan pejabat, juga di depan keluarga Haji Ebod. Sungguh membuat mereka semakin bersemangat. Dua bersaudara itu teman Adin Nana sewaktu kecil. Mereka dari kecil sudah bersaing menarik hati Adin Nana, maka malam itu mereka akan tampil sebagus mungkin di depan Adin Nana. Dalam benak mereka, mungkin malam itu juga Adin Nana akan memilih satu dari keduanya.
"Kalo milih dua-duanya pun, kita mau ko!" celetuk mereka sambil tertawa.
Langit sangat cerah, bulan terang tepat di atas halaman rumah Haji Ebod. Orang-orang berduyun-duyun memadati halaman rumah haji Ebod. Bapak-bapak, Ibu-ibu, sampai anak-anak malam itu tumpah di satu tempat. Para centeng dengan mengenakan jaket kulit dan kaca mata hitam siap sedia berjaga-jaga, ditambah beberapa polisi dan tentara yang biasa mangkal di arena judi sintir di sawah bersama para penjudi di desa.
Iring-iringan rombongan telah tiba, lima mobil mewah memasuki lokasi. Warga berdesak-desakkan ingin menyalami para pejabat yang baru turun dari mobil. Para centeng dan aparat keamanan sibuk bukan main menghalau warga. Para tamu kehormatan itu segera duduk di barisan terdepan bersama keluarga pak Lurah dan Haji Ebod. Acara pun digelar. Layaknya hajatan pernikahan anak presiden, malam itu Kampung Pulau Panggung diselimuti pesta akbar. Namun, ada juga beberapa warga yang memilih diam di rumah, mereka yang sama sekali tak tertarik urusan politik atau mereka para pendukung calon lain. Apalagi mantan isteri dan gundik Haji Ebod. Mereka malah berkumpul di sebuah tempat untuk menggunjingkan kelakuan Haji Ebod. Bagi mereka, Haji Ebod adalah sosok jahat yang tak tahu malu. Mereka para korban poligami, malah bermaksud merencanakan sesuatu untuk menghancurkan Haji Ebod.
***
Termasuk di antara mereka yang tak menyukai perilaku Haji Ebod adalah anak angkatnya, Adin Nana. Malam itu ia bergeming di kamarnya. Dari awal memang ia tak suka keluarganya dimanfaatkan Udo Jafar untuk alat politik. "Ini pembodohan," pikirnya.
Haji Ebod celingukan mencari anaknya, ia ingin sekali mengenalkan anaknya pada pak cagub, ia berharap anaknya kelak bisa diangkat jadi PNS di pemda. Namun, orang yang dicari tidak kunjung muncul. Ngah Dati pun bolak-balik ke kamar memanggil Adin Nana. Akhirnya dengan langkah berat Adin Nana keluar, namun ia tetap tak mau duduk di depan.
Pembawa acara memberikan kesempatan terlebih dahulu pada Pak cawagub. Dalam pidatonya pak cawagub mengingatkan kalau Lampung saat ini membutuhkan sosok pemimpin yang saleh, jujur, dan amanah. Dan itu ada pada mereka. Di akhir pidato pak cawagub juga mengingatkan pada warga untuk mencoblos foto mereka.
"Bapak-bapak, ibu-ibu sekalian. Biar gampang, carilah foto yang berkumis, itu adalah pilihan bapak ibu sekalian. Itulah wajah kami."
Selanjutnya, giliran Pak calon gubernur yang pidato. Pak cagub bicara panjang lebar soal kondisi Lampung yang penduduknya masih mengalami kemiskinan dan kesengsaraan. Untuk itu ia memberikan beberapa solusi yang dijanjikan akan ia lakukan jika terpilih.
"Kenapa kita miskin? Itu karena kita bodoh. Masih banyak masyarakat Lampung yang buta huruf, itu disebabkan sulitnya masyarakat mengenyam pendidikan. Sekolah kita terlalu mahal, maka jika saya terpilih nanti, saya akan menggratiskan pendidikan!" Ucap Pak cagub berapi-api.
Tepuk tangan warga bergemuruh diiringi teriakan-teriakan. "Hidup, hidup, hidup!"
Malam semakin larut, seisi kampung hanyut dalam kegembiraan. Acara dilanjutkan dengan makan-makan.. Sebelum bubar, Udo Jafar sibuk membagi-bagikan amplop pada warga.
***
Menjelang pilkada, suasana kampung Pulau Panggung semakin ramai dan panas. Pasalnya calon lain pun berdatangan, tawuran antarcenteng terjadi. Tiap malam, motor para preman meraung-raung berkeliling kampung. Warga bingung harus memilih siapa, semua calon memberi mereka barang yang setara jumlahnya.. Adin Nana semakin tak betah di kampung. Akhirnya ia memutuskan untuk pergi kembali ke pesantren. Ia disuruh mengajar oleh Pak Kiai.
Haji Ebod sedih bukan kepalang ditinggal anaknya. Ia sakit-sakitan dan kemudian penduduk Pulau Panggung gempar, telah ditemukan sesosok mayat yang tak lain adalah Haji Ebod terdampar di tepi waduk bersama puluhan dus minuman keras yang biasa ia jajakan di warung. Warga menduga-duga kalau Haji Ebod jatuh terpeleset ketika hendak membuang semua miras sebagai tanda tobat.
Tanggamus, 2008
Wahyaning wahyu tumelung, tulus tan kena tinegor (wirid hidayat jati, R.Ng. Ronggowarsito)
Jumat, 28 November 2008
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
A Musthafa
A Rodhi Murtadho
A Wahyu Kristianto
A. Mustofa Bisri
A. Qorib Hidayatullah
A. Zakky Zulhazmi
A.J. Susmana
A.S. Laksana
Aang Fatihul Islam
Abdul Azis Sukarno
Abdul Aziz Rasjid
Abdul Hadi W. M.
Abdul Kadir Ibrahim
Abdul Malik
Abdul Wachid BS
Abdullah al-Mustofa
Abdullah Khusairi
Abdurrahman Wahid
Abidah El Khalieqy
Abimanyu
Abimardha Kurniawan
Abroorza A. Yusra
Acep Iwan Saidi
Acep Zamzam Noor
Achmad Maulani
Adek Alwi
Adhi Pandoyo
Adrian Ramdani
Ady Amar
Afrizal Malna
Agnes Rita Sulistyawati
Aguk Irawan Mn
Agus R. Sarjono
Agus Riadi
Agus Subiyakto
Agus Sulton
Aguslia Hidayah
Ahda Imran
Ahm Soleh
Ahmad Farid Tuasikal
Ahmad Farid Yahya
Ahmad Fatoni
Ahmad Kekal Hamdani
Ahmad Luthfi
Ahmad Muchlish Amrin
Ahmad Nurhasim
Ahmad Sahidah
Ahmad Syauqi Sumbawi
Ahmad Yulden Erwin
Ahmad Zaini
Ahmadie Thaha
Ahmadun Yosi Herfanda
Ainur Rasyid
AJ Susmana
Ajip Rosidi
Akhiriyati Sundari
Akhmad Muhaimin Azzet
Akhmad Sekhu
Alan Woods
Alex R. Nainggolan
Alexander Aur
Alexander G.B.
Alfian Dippahatang
Ali Audah
Ali Rif’an
Aliela
Alimuddin
Alit S. Rini
Alunk Estohank
Ami Herman
Amich Alhumami
Amien Wangsitalaja
Aming Aminoedhin
Aminudin TH Siregar
Ammilya Rostika Sari
An. Ismanto
Anaz
Andaru Ratnasari
Andhi Setyo Wibowo
Andhika Prayoga
Andong Buku #3
Andrenaline Katarsis
Andri Cahyadi
Angela
Anies Baswedan
Anindita S Thayf
Anjrah Lelono Broto
Anton Kurnia
Anton Sudibyo
Anton Wahyudi
Anwar Holid
Anwar Siswadi
Aprinus Salam
Arie MP Tamba
Arif Hidayat
Arif Zulkifli
Arti Bumi Intaran
Asarpin
Asep Sambodja
Asvi Warman Adam
Awalludin GD Mualif
Ayu Utami
Azyumardi Azra
Babe Derwan
Bagja Hidayat
Balada
Bandung Mawardi
Bayu Agustari Adha
Beni Setia
Benni Setiawan
Benny Benke
Bentara Budaya Yogyakarta
Berita
Bernadette Lilia Nova
Bernando J. Sujibto
Berthold Damshäuser
Bhakti Hariani
Binhad Nurrohmat
Bokor Hutasuhut
Bonari Nabonenar
Brunel University London
Budaya
Budhi Setyawan
Budi Darma
Budi Hutasuhut
Budi P. Hatees
Budi Winarto
Buku Kritik Sastra
Buldanul Khuri
Bustan Basir Maras
Camelia Mafaza
Capres dan Cawapres 2019
Catatan
Cecep Syamsul Hari
Cerpen
Chairil Anwar
Chamim Kohari
Choirul Rikzqa
D. Dudu A.R
D. Dudu AR
D. Zawawi Imron
Dahono Fitrianto
Dahta Gautama
Damanhuri
Damar Juniarto
Damhuri Muhammad
Damiri Mahmud
Dantje S Moeis
Darju Prasetya
Darma Putra
Darman Moenir
Darmanto Jatman
Dedy Tri Riyadi
Delvi Yandra
Denny JA
Denny Mizhar
Dewi Anggraeni
Dian Basuki
Dian Hartati
Dian Sukarno
Dian Yanuardy
Diana AV Sasa
Dinar Rahayu
Djenar Maesa Ayu
Djoko Pitono
Djoko Saryono
Doddi Ahmad Fauji
Dody Kristianto
Donny Anggoro
Donny Syofyan
Dorothea Rosa Herliany
Dwi Cipta
Dwi Fitria
Dwi Pranoto
Dwi S. Wibowo
Dwicipta
Edeng Syamsul Ma’arif
Edi Warsidi
Edy Firmansyah
EH Kartanegara
Eka Alam Sari
Eka Budianta
Eka Kurniawan
Eko Darmoko
Ellyn Novellin
Elnisya Mahendra
Emha Ainun Nadjib
Emil Amir
Engkos Kosnadi
Esai
Esha Tegar Putra
Evan Ys
F. Budi Hardiman
Fadly Rahman
Fahmi
Fahrudin Nasrulloh
Faisal Kamandobat
Fani Ayudea
Fariz al-Nizar
Faruk HT
Fatah Anshori
Fatah Yasin Noor
Fatkhul Anas
Fatkhul Aziz
Felix K. Nesi
Film
Fitri Yani
Franditya Utomo
Fuska Sani Evani
Gabriel Garcia Marquez
Gandra Gupta
Garna Raditya
Gde Artawan
Geger Riyanto
Gendhotwukir
George Soedarsono Esthu
Gerakan Surah Buku (GSB)
Goenawan Mohamad
Grathia Pitaloka
Gunawan Budi Susanto
Gunawan Tri Atmojo
H. Supriono Muslich
H.B. Jassin
Hadi Napster
Halim H.D.
Hamberan Syahbana
Hamidah Abdurrachman
Han Gagas
Hardi Hamzah
Haris del Hakim
Haris Priyatna
Hasan Aspahani
Hasan Gauk
Hasan Junus
Hasnan Bachtiar
Helvy Tiana Rosa
Helwatin Najwa
Hendra Junaedi
Hendra Makmur
Hendriyo Widi Ismanto
Hepi Andi Bastoni
Heri Latief
Heri Listianto
Herry Firyansyah
Heru Untung Leksono
Hikmat Darmawan
Hilal Ahmad
Hilyatul Auliya
Holy Adib
Hudan Hidayat
Hudan Nur
Husnun N Djuraid
I Nyoman Suaka
Ibnu Rizal
Ibnu Rusydi
Ibnu Wahyudi
IGK Tribana
Ignas Kleden
Ignatius Haryanto
Iksan Basoeky
Ilenk Rembulan
Ilham khoiri
Imam Jazuli
Imam Nawawi
Imamuddin SA
Iman Budhi Santosa
Iman Budi Santosa
Imelda
Imron Arlado
Imron Tohari
Indiar Manggara
Indira Margareta
Indra Darmawan
Indra Tjahyadi
Indra Tranggono
Indrian Koto
Ingki Rinaldi
Insaf Albert Tarigan
Intan Hs
Isbedy Stiawan ZS
Ismail Amin
Ismi Wahid
Ivan Haris
Iwan Gunadi
Jacob Sumardjo
Jafar Fakhrurozi
Jajang R Kawentar
Janual Aidi
Javed Paul Syatha
Jean-Marie Gustave Le Clezio
JJ. Kusni
Joko Pinurbo
Joko Sandur
Joko Widodo
Joni Ariadinata
Jual Buku Paket Hemat
Julika Hasanah
Julizar Kasiri
Jumari HS
Junaidi
Jusuf AN
Kadir Ruslan
Kartika Candra
Kasnadi
Katrin Bandel
Kenedi Nurhan
Ketut Yuliarsa
KH. Ma'ruf Amin
Khaerudin
Khalil Zuhdy Lawna
Kholilul Rohman Ahmad
Komunitas Deo Gratias
Komunitas Teater Sekolah Kabupaten Gresik (KOTA SEGER)
Korrie Layun Rampan
Krisandi Dewi
Kritik Sastra
Kucing Oren
Kuswinarto
Langgeng Widodo
Lathifa Akmaliyah
Latief S. Nugraha
Leila S. Chudori
Lenah Susianty
Leon Agusta
Lina Kelana
Linda Sarmili
Liston P. Siregar
Liza Wahyuninto
M Shoim Anwar
M. Arman A.Z.
M. Fadjroel Rachman
M. Faizi
M. Harya Ramdhoni
M. Kasim
M. Latief
M. Wildan Habibi
M. Yoesoef
M.D. Atmaja
Mahdi Idris
Mahmud Jauhari Ali
Mahwi Air Tawar
Malkan Junaidi
Maman S. Mahayana
Mardi Luhung
Marhalim Zaini
Maria hartiningsih
Maria Serenada Sinurat
Mario F. Lawi
Maroeli Simbolon S. Sn
Marsus Banjarbarat
Marwanto
Mas Ruscitadewi
Masdharmadji
Mashuri
Masriadi
Mawar Kusuma Wulan
Max Arifin
Melani Budianta
Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia
Mezra E. Pellondou
Micky Hidayat
Mihar Harahap
Misbahus Surur
Moh Samsul Arifin
Moh. Syafari Firdaus
Mohamad Asrori Mulky
Mohammad Afifuddin
Mohammad Fadlul Rahman
Muh Kholid A.S.
Muh. Muhlisin
Muhajir Arifin
Muhamad Sulhanudin
Muhammad Al-Fayyadl
Muhammad Amin
Muhammad Azka Fahriza
Muhammad Rain
Muhammad Subhan
Muhammad Yasir
Muhammad Zuriat Fadil
Muhammadun A.S
Muhidin M. Dahlan
Musa Ismail
Musfi Efrizal
Mustafa Ismail
Nafi’ah Al-Ma’rab
Naskah Teater
Nezar Patria
Nina Setyawati
Nirwan Ahmad Arsuka
Nirwan Dewanto
Noor H. Dee
Noval Maliki
Nunuy Nurhayati
Nur Haryanto
Nurani Soyomukti
Nurel Javissyarqi
Nurhadi BW
Nurudin
Octavio Paz
Oliviaks
Orasi Budaya Akhir Tahun 2018
Pablo Neruda
Pamusuk Eneste
Panda MT Siallagan
Pandu Jakasurya
PDS H.B. Jassin
Philipus Parera
Pradewi Tri Chatami
Pramoedya Ananta Toer
Pramono
Pranita Dewi
Pringadi AS
Prosa
Puisi
Puisi Menolak Korupsi
PuJa
Puji Santosa
Puput Amiranti N
Purnawan Andra
PUstaka puJAngga
Putri Utami
Putu Fajar Arcana
Putu Wijaya
Qaris Tajudin
R Sutandya Yudha Khaidar
R. Sugiarti
R. Timur Budi Raja
R.N. Bayu Aji
Rachmad Djoko Pradopo
Radhar Panca Dahana
Rahmadi Usman
Rahmat Sudirman
Rahmat Sularso Nh
Rahmat Sutandya Yudhanto
Raihul Fadjri
Rainer Maria Rilke
Raja Ali Haji
Rakai Lukman
Rakhmat Giryadi
Raudal Tanjung Banua
Reiny Dwinanda
Remy Sylado
Resensi
Revolusi
Riadi Ngasiran
Ribut Wijoto
Ridha al Qadri
Ridwan Munawwar
Rikobidik
Riri
Riris K. Toha-Sarumpaet
Risang Anom Pujayanto
Rizky Andriati Pohan
Robert Frost
Robin Al Kautsar
Robin Dos Santos Soares
Rodli TL
Rofiqi Hasan
Rohman Budijanto
Romi Febriyanto Saputro
Rosihan Anwar
RR Miranda
Rudy Policarpus
Rukardi
S Yoga
S. Jai
S.I. Poeradisastra
S.W. Teofani
Sabam Siagian
Sabrank Suparno
Saiful Amin Ghofur
Sainul Hermawan
Sajak
Sakinah Annisa Mariz
Salamet Wahedi
Salman Rusydie Anwar
Samsudin Adlawi
Sapardi Djoko Damono
Sartika Dian Nuraini
Sastra
Sastra Gerilyawan
Sastri Sunarti
Satmoko Budi Santoso
Saut Situmorang
Sejarah
Sekolah Literasi Gratis (SLG)
SelaSastra
SelaSastra ke #24
Selasih
Seno Gumira Ajidarma
Seno Joko Suyono
Sergi Sutanto
Shadiqin Sudirman
Shiny.ane el’poesya
Sidik Nugroho
Sigit Susanto
Sihar Ramses Simatupang
Simo Sungelebak Karanggeneng Lamongan
Siti Sa’adah
Sitok Srengenge
Siwi Dwi Saputro
Sjifa Amori
Sofyan RH. Zaid
Soni Farid Maulana
Sony Prasetyotomo
Sosiawan Leak
Sri Wintala Achmad
Sri Wulan Rujiati Mulyadi
Subhan SD
Suci Ayu Latifah
Sulaiman Djaya
Sulistiyo Suparno
Sunaryo Broto
Sunaryono Basuki Ks
Sungatno
Sunlie Thomas Alexander
Sunudyantoro
Suriali Andi Kustomo
Suryadi
Suryansyah
Suryanto Sastroatmodjo
Susi Ivvaty
Susianna
Susilowati
Sutardji Calzoum Bachri
Sutejo
Suwardi Endraswara
Syaifuddin Gani
Syaiful Bahri
Syam Sdp
Syarif Hidayatullah
Tajuddin Noor Ganie
Tammalele
Tan Malaka
Taufik Ikram Jamil
Taufiq Ismail
Taufiq Wr. Hidayat
Teguh Trianton
Tengsoe Tjahjono
Th Pudjo Widijanto
Thayeb Loh Angen
Theresia Purbandini
Tia Setiadi
Tito Sianipar
Tiya Hapitiawati
Tjahjono Widarmanto
Tjahjono Widijanto
Toko Buku Murah PUstaka puJAngga
Tosa Poetra
Tri Joko Susilo
Triyanto Triwikromo
Tu-ngang Iskandar
Udo Z. Karzi
Uly Giznawati
Umar Fauzi
Umar Kayam
Undri
Uniawati
Universitas Indonesia
UU Hamidy
Vyan Tashwirul Afkar
W Haryanto
W.S. Rendra
Wahyudin
Wannofri Samry
Warung Boenga Ketjil
Waskiti G Sasongko
Wawan Eko Yulianto
Wawancara
Web Warouw
Wijang Wharek
Wiko Antoni
Wina Bojonegoro
Wira Apri Pratiwi
Wiratmo Soekito
Wishnubroto Widarso
Wiwik Hastuti
Wiwik Hidayati
Wong Wing King
WS Rendra
Xu Xi (Sussy Komala)
Y. Thendra BP
Y. Wibowo
Yani Arifin Sholikin
Yesi Devisa
Yohanes Sehandi
Yona Primadesi
Yosi M. Giri
Yusi Avianto Pareanom
Yusri Fajar
Yusrizal KW
Yuval Noah Harari
Yuyu AN Krisna
Zaki Zubaidi
Zalfeni Wimra
Zawawi Se
Zehan Zareez
Zen Hae
Zhaenal Fanani
Zuarman Ahmad
Zulfikar Akbar
Zulhasril Nasir
Tidak ada komentar:
Posting Komentar