Rabu, 15 Oktober 2008

Anugerah Pena Kencana; Gak Usah Serius Amat!

Jawa Pos, 5 Okto 2008
Isbedy Stiawan ZS (Sastrawan Lampung)

SETELAH buku Anugerah Sastra Pena Kencana 2008 (cerpen dan puisi) dilepas di pasar, kedua buku itu langsung menuai kritik. Setumpuk kritik tersaji di milis-milis. Belum lagi pesan pendek yang beredar melalui handphone ke handphone. Intinya, kalau tidak mempertanyakan ya menghujat cara penjaringan dan penilaian --termasuk kepada dewan juri dan panitia yang karyanya masuk dalam buku.

Pemberian anugerah karya sastra di Tanah Air bukan kali ini saja yang panen kritik, tapi sudah berulang-ulang seiring bergulirnya anugerah. Contoh yang sangat dekat ialah KLA (Katulistiwa Literary Award), SEA Write Award, dan sebagainya.

Tradisi kritik memang sudah mendarah daging di negeri ini. Tetapi, ''tradisi'' tersebut muncul tersebab ''budaya'' kita juga yang kerap abai pada aturan-aturan yang telah disepakati. Atau longgar dan menyepelekan persyaratan yang sudah diteken; aji mumpung dan menganggap masyarakat dapat ''dipaksa'' untuk menyetujui setiap keputusan yang diambil.

Sampai kini KLA tak sepi oleh kritik. Misalnya, soal penjurian tingkat awal untuk ''memburu'' buku-buku sastra di toko buku (konon, prioritas TB Gramedia) yang ada di Jakarta. Mereka ''dimodali'' untuk membeli sejumlah buku, kemudian mengajukan judul buku yang dipilihnya untuk mengikuti penyaringan.

Sampai di sini, kelihatannya tak ada masalah. Pertanyaan pun lalu muncul: siapa (mereka) yang dipercaya penyelenggara untuk memburu buku sastra? Berapa ''modal'' yang diberikan kepada mereka dan dengan modal itu berapa buku yang harus dibeli dan dibaca. Apakah panitia mengaudit modal dan buku yang dibeli? Sikap ''saling percaya'' rasanya tidak tepat dilakukan di sini.

SEA Write Award yang ditaja Pusat Bahasa juga tak terelakkan menuai kritik. Bahkan acap sulit diterima akal, kenapa si Fulan mendapat SEA Write Award tahun ini dan mengapa si Bolan yang nyata-nyata buku-buku karyanya --secara kuantitas dan kualitas-- dapat dipertanggungjawabkan, justru tidak terpilih? Sebab itu, SEA Write Award lalu dianggap ''anugerah arisan'' karena memang yang sudah pernah mendapat tidak akan mendapat lagi. Seorang teman tatkala memeroleh anugerah itu, melalui pesan pendek, dengan gurau berujar: ''Kali ini giliran aku yang mendapat arisan.''

Itulah sedikit gambaran fenomena award-award di ranah sastra Tanah Air. Sebenarnya masih banyak, termasuk Ahmad Bakrie Award, Akademi Jakarta, dan seterusnya. Pemberian anugerah sama tipisnya dengan penetapan sastrawan yang (akan) diundang ke luar negeri: sama-sama berisiko dikritik dan sama-sama ''bermain''.

Ya! Bicara soal ''bermain'' memang kehidupan ini adalah permainan. Karena permainan, lakoni saja dengan penuh keriangan. Dengan kata lain, gak usah serius amat, bermain-main saja, santai. Meminjam moto konco-konco di KoBer (Komunitas Berkat Yakin): rock n roll hahaha.

Lalu, apakah karya sastra bukan lahir dari keseriusan? Soal ini, siapa pun setuju 100 persen. Antara karya sastra dan penilaian award acap tak dapat dicari titik temu dan titik tujunya. Lha wong sekelas Nobel saja tak bebas kritik, kok.

Aturan-aturan dalam penentuan suatu pilihan dibuat sangat ideal. Tetapi, seideal apa pun tetap punya celah untuk ''dimainkan'', lalu jadi ''ketetapan baru''. Undang-undang, AD-ART, dan apa pun namanya selagi yang buat manusia, ia punya ruang untuk dilanggar.

Demikian pula dengan Anugerah Sastra Pena Kencana (ASPK) 2008. Setahu saya dari milis-milis, puisi-puisi Joko Pinurbo -penyair yang juga salah seorang dewan juri ASPK-- melanggar deadline antara pemuatan di koran dan kesepakatan dalam penjurian (Maafkan kalau apa yang saya kemukakan ini salah).

Tulisan ini tak akan jauh memasuki masalah puisi-puisi Jokpin. Saya --dan barangkali banyak pembaca sastra-- hanya mempertanyakan kepatutan apa sehingga para juri juga berhak menilai karyanya? Pertanyaan ini kita sempitkan saja: pantaskah juri merangkap menjadi peserta, meskipun berdalih juri tersebut tak ikut menilai ketika karyanya diajukan; artinya juri-juri lain yang menilai, dan seterusnya.

Kelihatannya tak ada masalah. Namun, sesungguhnya di situlah masalahnya. Analoginya demikian: puisi Fulan (bukan juri) dinilai oleh seluruh juri, sedangkan puisi Bolan (kenetulan juga menjadi juri) dinilai juri lain (minus dirinya). Kenetralan dirinya --kalau mau dikatakan netral-- sekaligus berpihak. Betapa tidak, ketidakikutsertaan dalam menentukan karyanya sendiri, sesungguhnya ia sudah memberi nilai pada karyanya. Tinggal teman-teman jurinya yang lain yang memberi bobot atas karyanya. Adilkah itu, dan di mana keadilannya?

Lalu, kritik yang juga meruak adalah ihwal karya-karya dari panitia yang lolos dalam buku tersebut. Rupanya panitia juga tak hendak dipisahkan dirinya sebagai kreator. Karena itu, dia ''minta keadilan'' agar karyanya ikut dalam bursa pemilihan. Soal ini juga kelihatannya tidak bermasalah. Para panitia akan berdalih: sebagai sastrawan karya kami juga punya hak untuk dinilai, dan jangan dikaitkan statusnya sebagai kreator dan bagian dari penyelenggara. Jika dalih ini terus dipelihara, bisa sangat berbahaya. Bagaimanapun kedekatan emosional antara panitia, juri, dan sebagai kreator tidak bisa dianggap sepele.

Kritik lain, saya pernah dikirimi pesan pendek dari seorang sastrawan Riau. Ia meragukan keakuratan saat perekrutan karya-karya yang terpublikasi setahun berjalan itu dari bebagai koran di sejumlah kota di Tanah Air. Pasti ada yang luput. Ia ambil gampang saja. Satu koran akan menurunkan beberapa puisi dan satu cerpen setiap pekan. Dikalikan setahun, jadilah 48 kali terbit (tak termasuk hari libur yang mungkin bertetapan pada Minggu). Lalu dikalikan minimal 5 puisi atau 7 puisi. Jadi, untuk satu koran saja, setahun bisa menginventarisasi sedikitnya 240 puisi. Nah, berapa koran yang ditelisik panitia ASPK? Dan, apakah setiap pekan dari media-media yang ditetapkan panitia tersebut dijamin tidak akan luput dari penyaringan panitia?

Seorang penyair lain berkelakar, ASPK tak lebih hanyalah ''permaianan''. Ia sepakat dengan contoh-contoh seperti yang sudah dikemukakan di atas. Itu sebabnya, teman penyair itu --kebetulan karyanya masuk dalam 100 Puisi Pilihan ASPK 2008 mengaku tak tetarik mengikuti babak pilihan pembaca buku itu melalui SMS (short message system).

Dari awal saja sudah permainan, karena itu tak perlu serius-serius amat, teman penyair itu menegaskan. Sebab, kalau kita mau ikut dalam permainan itu, kudu punya modal.

Sampai di sini, kita berkalkulasi dengan modal. Harga buku karya ASPK 2008 Rp 50 ribu per eksemplar. Sekiranya memiliki modal Rp 30 juta, kita akan mengantongi minimal 600 suara. Kalau menang, masih untung Rp 20 juta. Sebab, pemenang anugerah ini mendapatkan Rp 50 juta. Lumayan kan? Namun, dengan perolehan suara yang cuma 600 itu belum apa-apa. Posisinya masih gambling. Karena itu, perlu siasat lainnya: mengontak saudara, teman, kolega, dan seterusnya agar bersedia memberi dukungan.

Mari berandai-andai. Penyair Fulan kebetulan seorang karyawan (lebih baik lagi karyawan yang memunyai jenjang komando semisal di kepolisian atau TNI). Penyair yang karyawan itu bisa mengerahkan konco-konconya untuk membeli 1 atau 2 eksemplar buku lalu mengirimkan SMS dengan memilih puisi Fulan sebagai puisi terbaik.

Apabila dalam satu instansi saja, si Fulan bisa mendapatkan 300 orang pendukung, sudah lebih dari lumayan suara terkumpulkan, yakni 600 suara. Belum lagi, teman dari keluarganya yang kebetulan juga karyawan di instansi lain. Dan, akan lebih menguntungkan jika penyair Fulan bekerja di suatu instansi yang garis komandonya kuat. Ia cukup ''memerintahkan'' juniornya dan ''merayu'' seniornya untuk membeli buku dan mengirim SMS dukungan ke panitia!

Maka, penetapan ASPK memang bukan diukur sebagai prestasi. Tetapi, sekali lagi, cumalah permainan --seperti juga permainan dalam Akademi Fantasi Indonesia (AFI) di Indosiar dulu.

Kecuali kelalaian panitia, kalau saya tidak salah, antara perolehan suara untuk Inggit Putria Marga dan Dahta Gautama (juga Jimmy Maruli Alfian, ketiganya dari Lampung), mestinya Dahta berada di atas Inggit. Selebihnya, untuk apa kita sikapi secara serius final Anugerah Pena Kencana? Ya, anggaplah ini sebuah permainan, maka gak usah serius amat! Lalu lupakan, tapi tetap berkarya dan mengharap-harap pada ASPK jilid 2 nanti karya kita masuk nominie pemenang dan dibukukan. Syukur kalau kemudian karya kita dipilih pembaca sebagai karya terbaik dan memeroleh hadiah Rp 50 juta. Wah, bisa bikin rumah baru atau naik kuda nipon. (*)

Lampung, 2 Oktober 2008; 00.42

Tidak ada komentar:

A Musthafa A Rodhi Murtadho A Wahyu Kristianto A. Mustofa Bisri A. Qorib Hidayatullah A. Zakky Zulhazmi A.J. Susmana A.S. Laksana Aang Fatihul Islam Abdul Azis Sukarno Abdul Aziz Rasjid Abdul Hadi W. M. Abdul Kadir Ibrahim Abdul Malik Abdul Wachid BS Abdullah al-Mustofa Abdullah Khusairi Abdurrahman Wahid Abidah El Khalieqy Abimanyu Abimardha Kurniawan Abroorza A. Yusra Acep Iwan Saidi Acep Zamzam Noor Achmad Maulani Adek Alwi Adhi Pandoyo Adrian Ramdani Ady Amar Afrizal Malna Agnes Rita Sulistyawati Aguk Irawan Mn Agus R. Sarjono Agus Riadi Agus Subiyakto Agus Sulton Aguslia Hidayah Ahda Imran Ahm Soleh Ahmad Farid Tuasikal Ahmad Farid Yahya Ahmad Fatoni Ahmad Kekal Hamdani Ahmad Luthfi Ahmad Muchlish Amrin Ahmad Nurhasim Ahmad Sahidah Ahmad Syauqi Sumbawi Ahmad Yulden Erwin Ahmad Zaini Ahmadie Thaha Ahmadun Yosi Herfanda Ainur Rasyid AJ Susmana Ajip Rosidi Akhiriyati Sundari Akhmad Muhaimin Azzet Akhmad Sekhu Alan Woods Alex R. Nainggolan Alexander Aur Alexander G.B. Alfian Dippahatang Ali Audah Ali Rif’an Aliela Alimuddin Alit S. Rini Alunk Estohank Ami Herman Amich Alhumami Amien Wangsitalaja Aming Aminoedhin Aminudin TH Siregar Ammilya Rostika Sari An. Ismanto Anaz Andaru Ratnasari Andhi Setyo Wibowo Andhika Prayoga Andong Buku #3 Andrenaline Katarsis Andri Cahyadi Angela Anies Baswedan Anindita S Thayf Anjrah Lelono Broto Anton Kurnia Anton Sudibyo Anton Wahyudi Anwar Holid Anwar Siswadi Aprinus Salam Arie MP Tamba Arif Hidayat Arif Zulkifli Arti Bumi Intaran Asarpin Asep Sambodja Asvi Warman Adam Awalludin GD Mualif Ayu Utami Azyumardi Azra Babe Derwan Bagja Hidayat Balada Bandung Mawardi Bayu Agustari Adha Beni Setia Benni Setiawan Benny Benke Bentara Budaya Yogyakarta Berita Bernadette Lilia Nova Bernando J. Sujibto Berthold Damshäuser Bhakti Hariani Binhad Nurrohmat Bokor Hutasuhut Bonari Nabonenar Brunel University London Budaya Budhi Setyawan Budi Darma Budi Hutasuhut Budi P. Hatees Budi Winarto Buku Kritik Sastra Buldanul Khuri Bustan Basir Maras Camelia Mafaza Capres dan Cawapres 2019 Catatan Cecep Syamsul Hari Cerpen Chairil Anwar Chamim Kohari Choirul Rikzqa D. Dudu A.R D. Dudu AR D. Zawawi Imron Dahono Fitrianto Dahta Gautama Damanhuri Damar Juniarto Damhuri Muhammad Damiri Mahmud Dantje S Moeis Darju Prasetya Darma Putra Darman Moenir Darmanto Jatman Dedy Tri Riyadi Delvi Yandra Denny JA Denny Mizhar Dewi Anggraeni Dian Basuki Dian Hartati Dian Sukarno Dian Yanuardy Diana AV Sasa Dinar Rahayu Djenar Maesa Ayu Djoko Pitono Djoko Saryono Doddi Ahmad Fauji Dody Kristianto Donny Anggoro Donny Syofyan Dorothea Rosa Herliany Dwi Cipta Dwi Fitria Dwi Pranoto Dwi S. Wibowo Dwicipta Edeng Syamsul Ma’arif Edi Warsidi Edy Firmansyah EH Kartanegara Eka Alam Sari Eka Budianta Eka Kurniawan Eko Darmoko Ellyn Novellin Elnisya Mahendra Emha Ainun Nadjib Emil Amir Engkos Kosnadi Esai Esha Tegar Putra Evan Ys F. Budi Hardiman Fadly Rahman Fahmi Fahrudin Nasrulloh Faisal Kamandobat Fani Ayudea Fariz al-Nizar Faruk HT Fatah Anshori Fatah Yasin Noor Fatkhul Anas Fatkhul Aziz Felix K. Nesi Film Fitri Yani Franditya Utomo Fuska Sani Evani Gabriel Garcia Marquez Gandra Gupta Garna Raditya Gde Artawan Geger Riyanto Gendhotwukir George Soedarsono Esthu Gerakan Surah Buku (GSB) Goenawan Mohamad Grathia Pitaloka Gunawan Budi Susanto Gunawan Tri Atmojo H. Supriono Muslich H.B. Jassin Hadi Napster Halim H.D. Hamberan Syahbana Hamidah Abdurrachman Han Gagas Hardi Hamzah Haris del Hakim Haris Priyatna Hasan Aspahani Hasan Gauk Hasan Junus Hasnan Bachtiar Helvy Tiana Rosa Helwatin Najwa Hendra Junaedi Hendra Makmur Hendriyo Widi Ismanto Hepi Andi Bastoni Heri Latief Heri Listianto Herry Firyansyah Heru Untung Leksono Hikmat Darmawan Hilal Ahmad Hilyatul Auliya Holy Adib Hudan Hidayat Hudan Nur Husnun N Djuraid I Nyoman Suaka Ibnu Rizal Ibnu Rusydi Ibnu Wahyudi IGK Tribana Ignas Kleden Ignatius Haryanto Iksan Basoeky Ilenk Rembulan Ilham khoiri Imam Jazuli Imam Nawawi Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Iman Budi Santosa Imelda Imron Arlado Imron Tohari Indiar Manggara Indira Margareta Indra Darmawan Indra Tjahyadi Indra Tranggono Indrian Koto Ingki Rinaldi Insaf Albert Tarigan Intan Hs Isbedy Stiawan ZS Ismail Amin Ismi Wahid Ivan Haris Iwan Gunadi Jacob Sumardjo Jafar Fakhrurozi Jajang R Kawentar Janual Aidi Javed Paul Syatha Jean-Marie Gustave Le Clezio JJ. Kusni Joko Pinurbo Joko Sandur Joko Widodo Joni Ariadinata Jual Buku Paket Hemat Julika Hasanah Julizar Kasiri Jumari HS Junaidi Jusuf AN Kadir Ruslan Kartika Candra Kasnadi Katrin Bandel Kenedi Nurhan Ketut Yuliarsa KH. Ma'ruf Amin Khaerudin Khalil Zuhdy Lawna Kholilul Rohman Ahmad Komunitas Deo Gratias Komunitas Teater Sekolah Kabupaten Gresik (KOTA SEGER) Korrie Layun Rampan Krisandi Dewi Kritik Sastra Kucing Oren Kuswinarto Langgeng Widodo Lathifa Akmaliyah Latief S. Nugraha Leila S. Chudori Lenah Susianty Leon Agusta Lina Kelana Linda Sarmili Liston P. Siregar Liza Wahyuninto M Shoim Anwar M. Arman A.Z. M. Fadjroel Rachman M. Faizi M. Harya Ramdhoni M. Kasim M. Latief M. Wildan Habibi M. Yoesoef M.D. Atmaja Mahdi Idris Mahmud Jauhari Ali Mahwi Air Tawar Malkan Junaidi Maman S. Mahayana Mardi Luhung Marhalim Zaini Maria hartiningsih Maria Serenada Sinurat Mario F. Lawi Maroeli Simbolon S. Sn Marsus Banjarbarat Marwanto Mas Ruscitadewi Masdharmadji Mashuri Masriadi Mawar Kusuma Wulan Max Arifin Melani Budianta Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia Mezra E. Pellondou Micky Hidayat Mihar Harahap Misbahus Surur Moh Samsul Arifin Moh. Syafari Firdaus Mohamad Asrori Mulky Mohammad Afifuddin Mohammad Fadlul Rahman Muh Kholid A.S. Muh. Muhlisin Muhajir Arifin Muhamad Sulhanudin Muhammad Al-Fayyadl Muhammad Amin Muhammad Azka Fahriza Muhammad Rain Muhammad Subhan Muhammad Yasir Muhammad Zuriat Fadil Muhammadun A.S Muhidin M. Dahlan Musa Ismail Musfi Efrizal Mustafa Ismail Nafi’ah Al-Ma’rab Naskah Teater Nezar Patria Nina Setyawati Nirwan Ahmad Arsuka Nirwan Dewanto Noor H. Dee Noval Maliki Nunuy Nurhayati Nur Haryanto Nurani Soyomukti Nurel Javissyarqi Nurhadi BW Nurudin Octavio Paz Oliviaks Orasi Budaya Akhir Tahun 2018 Pablo Neruda Pamusuk Eneste Panda MT Siallagan Pandu Jakasurya PDS H.B. Jassin Philipus Parera Pradewi Tri Chatami Pramoedya Ananta Toer Pramono Pranita Dewi Pringadi AS Prosa Puisi Puisi Menolak Korupsi PuJa Puji Santosa Puput Amiranti N Purnawan Andra PUstaka puJAngga Putri Utami Putu Fajar Arcana Putu Wijaya Qaris Tajudin R Sutandya Yudha Khaidar R. Sugiarti R. Timur Budi Raja R.N. Bayu Aji Rachmad Djoko Pradopo Radhar Panca Dahana Rahmadi Usman Rahmat Sudirman Rahmat Sularso Nh Rahmat Sutandya Yudhanto Raihul Fadjri Rainer Maria Rilke Raja Ali Haji Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Raudal Tanjung Banua Reiny Dwinanda Remy Sylado Resensi Revolusi Riadi Ngasiran Ribut Wijoto Ridha al Qadri Ridwan Munawwar Rikobidik Riri Riris K. Toha-Sarumpaet Risang Anom Pujayanto Rizky Andriati Pohan Robert Frost Robin Al Kautsar Robin Dos Santos Soares Rodli TL Rofiqi Hasan Rohman Budijanto Romi Febriyanto Saputro Rosihan Anwar RR Miranda Rudy Policarpus Rukardi S Yoga S. Jai S.I. Poeradisastra S.W. Teofani Sabam Siagian Sabrank Suparno Saiful Amin Ghofur Sainul Hermawan Sajak Sakinah Annisa Mariz Salamet Wahedi Salman Rusydie Anwar Samsudin Adlawi Sapardi Djoko Damono Sartika Dian Nuraini Sastra Sastra Gerilyawan Sastri Sunarti Satmoko Budi Santoso Saut Situmorang Sejarah Sekolah Literasi Gratis (SLG) SelaSastra SelaSastra ke #24 Selasih Seno Gumira Ajidarma Seno Joko Suyono Sergi Sutanto Shadiqin Sudirman Shiny.ane el’poesya Sidik Nugroho Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Simo Sungelebak Karanggeneng Lamongan Siti Sa’adah Sitok Srengenge Siwi Dwi Saputro Sjifa Amori Sofyan RH. Zaid Soni Farid Maulana Sony Prasetyotomo Sosiawan Leak Sri Wintala Achmad Sri Wulan Rujiati Mulyadi Subhan SD Suci Ayu Latifah Sulaiman Djaya Sulistiyo Suparno Sunaryo Broto Sunaryono Basuki Ks Sungatno Sunlie Thomas Alexander Sunudyantoro Suriali Andi Kustomo Suryadi Suryansyah Suryanto Sastroatmodjo Susi Ivvaty Susianna Susilowati Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Suwardi Endraswara Syaifuddin Gani Syaiful Bahri Syam Sdp Syarif Hidayatullah Tajuddin Noor Ganie Tammalele Tan Malaka Taufik Ikram Jamil Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat Teguh Trianton Tengsoe Tjahjono Th Pudjo Widijanto Thayeb Loh Angen Theresia Purbandini Tia Setiadi Tito Sianipar Tiya Hapitiawati Tjahjono Widarmanto Tjahjono Widijanto Toko Buku Murah PUstaka puJAngga Tosa Poetra Tri Joko Susilo Triyanto Triwikromo Tu-ngang Iskandar Udo Z. Karzi Uly Giznawati Umar Fauzi Umar Kayam Undri Uniawati Universitas Indonesia UU Hamidy Vyan Tashwirul Afkar W Haryanto W.S. Rendra Wahyudin Wannofri Samry Warung Boenga Ketjil Waskiti G Sasongko Wawan Eko Yulianto Wawancara Web Warouw Wijang Wharek Wiko Antoni Wina Bojonegoro Wira Apri Pratiwi Wiratmo Soekito Wishnubroto Widarso Wiwik Hastuti Wiwik Hidayati Wong Wing King WS Rendra Xu Xi (Sussy Komala) Y. Thendra BP Y. Wibowo Yani Arifin Sholikin Yesi Devisa Yohanes Sehandi Yona Primadesi Yosi M. Giri Yusi Avianto Pareanom Yusri Fajar Yusrizal KW Yuval Noah Harari Yuyu AN Krisna Zaki Zubaidi Zalfeni Wimra Zawawi Se Zehan Zareez Zen Hae Zhaenal Fanani Zuarman Ahmad Zulfikar Akbar Zulhasril Nasir