Jumat, 31 Oktober 2008

Tersengat Masa Lalu di Penyengat

Raudal Tanjung Banua
http://www.korantempo.com/

Betapa pulau kecil ini ajaib, hampir di tiap jengkal ada situs bersejarah peninggalan sejumlah sultan.

Jika hendak mengenal orang berbangsa, Lihat kepada budi dan bahasa

Itulah cuplikan dari "Gurindam Dua Belas" karya Raja Ali Haji yang termasyhur. Gurindam 83 bait yang sarat pesan moral itu ikut mengukuhkan masa lalu Pulau Penyengat Indra Sakti sebagai salah satu pusat kerajaan dan budaya kebanggaan orang Melayu. Betapa senangnya, akhirnya saya bisa bertandang ke pulau tempat Raja Ali Haji dimakamkan, awal Februari 2008, sehari menjelang perayaan Imlek.

Kota terdekat untuk mencapai Penyengat adalah Tanjungpinang, Bintan. Maskapai Merpati dan Batavia Air sebenarnya sudah melayani penerbangan langsung Jakarta-Bintan via Bandara Kijang, namun saya memilih terbang ke Hang Nadim, Batam. Barulah dari Batam saya naik feri ke Bintan. Perjalanan laut selama 1,5 jam menyuguhkan pemandangan pulau-pulau kecil nan eksotis: hijau bakau, nyiur melambai, laut yang jernih. Kapal nelayan dan feri saling berselisih jalan. Di sini, laut dan selat betul-betul menjelma jadi jalan raya bagi kapal-kapal.

Setelah lama menyaksikan ombak memecah pukul-memukul di buritan, feri yang saya tumpangi akhirnya merapat di Pelabuhan Sri Bintan Pura, Tanjungpinang. Pelabuhan ini tempat bertolak dan merapatnya kapal-kapal dari dan ke negeri jiran, Singapura dan Malaysia. Dari pelabuhan itu, pulau mungil sepanjang dua kilometer itu terlihat manis menggoda. Menara masjid kerajaan dan rumah-rumahnya yang kelabu terasa dekat saja, hanya dipisahkan selat sempit yang ramai.

Secara administratif, Penyengat masuk Kecamatan Tanjungpinang Kota dengan status kelurahan (bandingkan dengan statusnya di masa silam sebagai pusat kerajaan!)

Untuk ke Penyengat, kita berpindah dermaga dan mencari kapal kecil bermesin tempel alias klotok. Untuk pindah dermaga, kita harus berjalan memutar ke arah pusat kota Tanjungpinang. Naik becak tentu lebih cepat, tapi saya memilih jalan kaki melewati Jalan Pos yang merupakan bagian terpadat kota Tanjungpinang. Hotel, restoran, toko pakaian, kedai cendera mata, kantor agen perjalanan, tempat penukaran uang asing, dan toko emas berderet di kedua sisi jalan, membentuk sebuah lorong panjang yang artistik. Apalagi dengan hiasan ratusan lampion pelbagai bentuk dan ukuran, merah menyala.

Klotok yang akan berangkat ke Penyengat penuh sesak oleh penumpang yang akan menghadiri pesta perkawinan di pulau itu. Saya sempat khawatir melihat dinding kapal cuma sejengkal dari air. Apalagi langit berawan dan riak agak besar. Tampaknya itu hal lazim di sini. Tukang klotok sudah berpengalaman. Maka, tak sampai 25 menit, kami selamat sampai di seberang.

Klotok merapat di sebuah dermaga kecil, tak jauh dari Masjid Sultan Riau. Selanjutnya saya menyusuri jalan konblok selebar dua meter ke arah masjid, tapi sebelum sampai, deretan becak motor telah menunggu dengan rute yang telah ditentukan. Sebuah papan bernukilkan peta Penyengat di pangkalan itu mencantumkan tarif becak motor Rp 20 ribu sekali keliling pulau. Tanpa menawar, saya naik becak paling depan sesuai dengan urutan antrean, apalagi hujan rintik-rintik mulai turun. Engku Nurdin yang ramah segera memacu becak motornya.

Dalam rute wisata becak motor, masjid dekat dermaga justru menjadi obyek kunjungan terakhir. Kunjungan pertama adalah ke kompleks makam Raja Hamidah (Engku Putri), permaisuri Sultan Mahmud Syah III, sultan Riau-Lingga (1760-1812). Di sini juga dimakamkan beberapa bangsawan, termasuk Raja Ali Haji sendiri, sang pujangga Kerajaan. Bangsawan di sini bergelar Raja, termasuk bangsawan perempuan.

Meski dikenal sebagai kompleks makam Engku Putri, yang menonjol justru atribut formal untuk penghormatan Raja Ali Haji. Semasa hidupnya, Raja Ali Haji (1808-1873) tidak hanya menghasilkan "Gurindam Dua Belas", tapi juga buku Bustan al-Katibin (1850) dan Kitab Pengetahuan Bahasa (1858).

Dua baliho terlihat merujuk kepada kebesaran sang pujangga: "Raja Ali Haji Pahlawan Nasional Bidang Bahasa Indonesia" dan sebuah lagi: "Raja Ali Haji Bapak Bahasa Melayu-Indonesia, Budayawan di Gerbang Abad XX". Ia ditabalkan sebagai pahlawan nasional berdasarkan Keppres RI Nomor 089/TK/2004.

Terletak di kaki bukit kecil, dikelilingi pohon rindang ambacang, mengkudu, dan jambu, kompleks ini sangat asri, juga unik: ada bangunan utama berbentuk masjid mini, berkubah dan bermihrab. Bercat kuning dengan jendela bulat seperti jendela kapal. Barisan nisan berbentuk gada dibungkus kain yang juga berwarna kuning. Di dalam cungkup atau bangunan utama yang dindingnya berhiaskan cuplikan "Gurindam Dua Belas", terdapat makam Raja Hamidah dan permaisuri yang lain. Makam para raja perempuan terletak di dalam bangunan utama. Adapun makam raja laki-laki, seperti Raja Ahmad, Raja Abdullah Yang Dipertuan Muda Riau-Lingga IX dan Raja Ali Haji, terdapat di luar bangunan utama. Di luar pagar terdapat lagi makam orang-orang yang punya hubungan dengan kerajaan.

Secara simbolis, Pulau Penyengat sebenarnya milik Raja Hamidah, karena merupakan maskawin yang diterimanya saat dipinang Sultan Mahmud Syah. Itulah sebabnya, Penyengat disebut juga Pulau Pinangan atau Pulau Maskawin.

Setelah puas berziarah di kompleks makam Engku Putri, saya beranjak ke kompleks makam Yang Dipertuan Muda Riau VI, Raja Ja'far. Masa pemerintahannya berlangsung ketika Belanda dan Inggris berebut daerah jajahan. Toh, Raja Ja'far sukses mengembangkan pertambangan timah di Singkep. Lokasi makamnya jauh lebih luas, berpagar beton di sekeliling. Bangunan utamanya tetap berupa masjid kecil, tempat makam Raja Ja'far dan kerabatnya berada.

Meski pulau ini hanya sepanjang dua kilometer, untuk mengunjungi semua situs, Anda butuh waktu cukup panjang. Maklum, hampir di tiap jengkal ada situs yang menggoda. Saya sendiri kelabakan. Di samping waktu yang singkat, cuaca juga kurang bersahabat. Untunglah, becak-motor Engku Nurdin setia mengantar. Tak lupa saya mampir di Istana Raja Ali (1844-1857) yang terlihat sangat modern dan kukuh. Lantai duanya masih bersisa dan dipertahankan di salah satu sayap gedung yang sekaligus berfungsi sebagai gapura.

Tak lama kemudian, becak pun berhenti di depan sebuah kompleks makam Yang Dipertuan Muda Riau VII, Raja Abdul Rahman (1832-1844), yang menuntaskan pembuatan Masjid Raya Sultan Riau. Untuk mencapai makam, kita harus mendaki jalan setapak dengan terlebih dulu melewati situs Gedung Mesiu. Bangunan ini berfungsi menyimpan serbuk mesiu pasukan perang kerajaan. Ini satu-satunya gedung mesiu yang tersisa, dari sebelumnya empat buah. Selebihnya roboh karena lama tak terawat, senasib dengan beberapa situs yang terlambat dipugar.

Jalan menuju makam melewati tangga semen yang landai. Di gerbang makam, saya disambut juru kunci, Suhadi, yang ternyata asli Prambanan, Yogyakarta. Hampir 20 tahun ia tinggal di Penyengat.

"Maaf cakap orang rumah awak keturunan langsung raja-raja Penyengat," ujarnya sambil mengantar saya berkeliling makam.

"O, di tengah laut biru pun, Bapak berhasil menyunting perempuan berdarah biru!" canda saya.

Ia tertawa dan menunjukkan bekas benteng di timur makam, tapi minat saya terlerai akibat hujan kian lebat. Kepada Engku Nurdin, saya minta diantar ke Masjid Raya yang menjadi rute terakhir saya.

Kebetulan, azan asar sudah berkumandang. Sebelum berwudu saya mengamati bangunan masjid yang sangat anggun dan cantik berkat kubah bulat dengan dua pasang menara runcing. Menurut catatan, masjid kuning ini dibangun pada 1832, dalam rintisan Yang Dipertuan Muda VI Raja Ja'far dan diselesaikan Yang Dipertuan Muda VII Raja Abdul Rachman. Konon, bahan utama bangunan, pasir dan tanah liat, sengaja dicampur putih telur supaya kuat dan mengkilap. Di sebelah kiri dan kanan masjid terdapat bangunan dari kayu yang disebut Rumah Sotoh, tempat istirahat dan bermufakat. Pemandangan ke pantai dari lokasi masjid (yang fondasinya ditinggikan) sungguh elok; Kota Tanjungpinang seperti terapung di seberang, di antara perahu dan kapal yang lalu-lalang.

Selesai berwudu, saya masuk ke dalam masjid dan mendapati sentuhan interior yang nyaman: ukiran tiang, kaligrafi, dan lampu antik. Di dekat kotak amal ada sebuah peringatan: "Dilarang berfoto di dalam masjid". Iseng-iseng saya langgar. Klik! Blitz kamera mengundang garin masjid mendatangi saya. "Saya tidak berfoto, Pak, tapi memfoto!" jawab saya. Ia pergi bersungut-sungut. Rasain! Ini daerah asal bahasa Indonesia, jadi mesti benar menggunakannya.

Selesai salat berjemaah, batuk saya yang pertama meletus, disusul batuk berikutnya. Pastilah cuaca buruk dan hujan yang melembapkan pakaian telah menyebabkan kerongkongan gatal dan hidung berair. Tapi selintas saya teringat "dosa" saya: berbuat iseng pada garin masjid. Wah, gawat! Alih-alih mencari Pak Garin yang masih khusyuk berzikir, saya memilih istirahat ke warung di samping masjid. Memesan gado-gado dan segelas jeruk hangat.

Sambil menunggu hujan reda, saya mengingat rute yang dilalui. Saat itulah terasa, betapa "ajaibnya" pulau kecil ini. Bayangkan, dengan lebar hanya satu kilometer dan panjang dua kilometer, terdapat puluhan situs bersejarah peninggalan sejumlah sultan. Masih banyak yang hanya bisa saya saksikan sambil lewat. Sebut saja Istana Kedaton tempat sultan terakhir tinggal; Gedung Hakim Mahkamah Syariah Raja Haji Abdullah dengan tiang-tiang kukuh menyerupai bangunan Yunani kuno; Istana Bahjah tempat tinggal Raja Ali Kelana, Gedung Tabib, bekas tempat praktek Engku Haji Daud, tabib kerajaan; dan Perigi Kunci, tempat mandi putri istana.

Ini belum termasuk situs yang tidak terlihat ketika lewat karena agak jauh dari jalan utama, semisal makam Yang Dipertuan Muda Riau IV Raja Haji Fisabilillah yang dipindahkan dari Melaka; Tapak Percetakan Kerajaan dan sisa sekretariat Rusdiyah Klub (1884), sebuah organisasi cendekiawan Melayu Riau antipenjajah, lama sebelum Budi Utomo (1908) terbentuk. Percetakan kerajaan sendiri bernama Mathba'atul Riauwiyah. Kedua wadah intelektual ini digerakkan, antara lain, oleh Raja Ali Kelana dan Raja Khalid Hitam. Belum lagi keberadaan Benteng Bukit Kursi dan Bukit Penggawa yang keterangannya kelak terpaksa hanya bisa saya baca di katalog. Tepatnya, setelah Akib memberi saya sejumlah buku dan katalog yang diterbitkan kantornya.

O, ya, masih ada makam Embung Fatimah di Bukit Bahjah, bangsawan Melayu yang menikah dengan bangsawan Bugis. Ini penting digarisbawahi untuk menyibak lebih lanjut sejarah dan silsilah bangsawan Penyengat; ternyata mereka memiliki darah campuran dengan bangsawan Bugis, termasuk Raja Ali Haji sendiri, dari Upu Daeng Celak. Sejarah mencatat, bangsawan Bugis dan Melayu sudah lama bersatu (termasuk tentu intrik dan seteru), termasuk membangun Penyengat Indra Sakti. Bukankah ini modal sejarah yang perlu diaktualkan? Yang jelas, berkunjung ke Pulau Penyengat, kita benar-benar akan tersengat kebesaran masa lalu sebuah bandar Melayu.

RAUDAL TANJUNG BANUA, PENIKMAT PERJALANAN, TINGGAL DI YOGYAKARTA

Selasa, 28 Oktober 2008

LAMONGAN BERTERIAK LEWAT SENI DAN SASTRA

Imamuddin SA

Lamongan! Mungkin nama ini terlalu tabu di tengah-tengah semua gendang pendengaran anak manusia. Atau bisa jadi anda akan mengerutkan dahi dan bahkan merasa takut ketika nama tersebut disebut. Ya, bagi saya itu wajar. Kota kecil yang terletak antara kota pudak Gersik dan kota Bojonegoro ini memang pada mulanya dipandang sebelah mata oleh kota-kota lain di sekitarnya. Kota yang belum memiliki talenta lokalitas yang mampu menyuarakan namanya di kanca perkembangan zaman. Namun, menjelang peristiwa peledakan bom di Bali, nama kota ini berkibar di ujung daun. Entah pada waktu itu daunya tergerogoti ulat atau daun hijau muda yang segar. Yang jelas, kebanyakan orang yang mendengar nama Lamongan, hati mereka akan nggiris, ciut, dan takut. Mereka saling mengasumsikan akan betapa kerasnya jiwa-jiwa orang Lamongan. Tapi tidak apalah, yang penting sudah terkenal bahkan secara internasional. He....he....he...

Entah apa yang terjadi? Semenjak peristiwa peledakan bom itu seolah-olah hati dan jiwa masyarakat Lamongan terlecuti oleh cambuk membara. Mereka semua terbakar untuk berlomba-lomba mengibarkan panji Lamongan di muka publik lokal, nasional dan bahkan internasional. Bahwa Lamongan itu indah, damai, dan lembut. Dari berbagai lini, masyarakat dan Pemkot Lamongan berjuang sekuat tenaga serta semampunya untuk menjunjung tinggi nama Lamongan. Salah satu bentuk usaha tersebut adalah membangun tempat pariwisata WBL (Wisata Bahari Lamongan) dan Goa Istanah Maharani yang bertaraf internasional, menyuarakan Lamongan lewat olahraga sepak bola, ada juga yang melalui seni dan sastra dan lain-lain.

Untuk yang lain tidak perlu disinggung sebab Pemkot Lamongan tengah serius menangani dan terjun di dalamnya. Jangan keras-keras, kita omongkan dari hati ke hati saja. Bagaimana nasib kesenian dan kesusastraan Lamongan kemarin, sekarang, dan ke depan?

Dari sisi kesenian tradisional. Pada mulanya cukup banyak kesenian tradisional yang berkembang di kota Lamongan. Mulai dari ludruk, sandur, wayang, kentrung dan lain-lain. Dalam bidang-bidang tersebut cukup banyak komunitas yang berdiri di dalamnya. Namun sekarang ini banyak yang udzur diri. Entah sebab apa, juga tidak mengerti. Yang jelas mungkin sebab kesejahteraan sosial-ekonomi yang kurang dapat dipenuhi. Kini keberadaannya hanya tinggal segelintir saja. Jika hendak dihitung; sandur hanya ada di Modo Kecamatan Ngimbang, Kentrung Ki Dalang Kusairi desa Solokuro, Paguyuban Wayang Kulit Ki Dalang Kasiran desa Randu Bener, Paguyuban Wayang Kulit Ki Dalang Sudikno desa Moro kecamatan Sekaran. Generasi muda sekarang terasa ogah dan gengsi untuk menekuti seni-budaya semacam itu. Hal itulah yang juga menyebabkan semakin menurunnya keberadaan seni-budaya di Lamongan.

Selain kesenian tersebut, dewasa ini yang sangat berkembang di Lamongan adalah seni teater. Keberadaan teater di Lamongan dapat di katakan telah menjamur. Entah itu komunitas teater yang eksistensinya dilakukan secara serius dan sungguh-sungguh atau hanya sekedar momental dan bahkan hanya sekedar mengisi kegiatan ekstra sekolah. Komunitas-komunitas tersebut di antaranya adalah teater Taman Babat (pelajar sekolah MAN Babat), Aum (pelajar sekolah MA. Matholi’ul Anwar Simo), Rekat (SMUN Mantup), Intan (SMA 3), Mata Es, Roda (Unisda), STNK (Unisda), Kentrung Formalin (Unisla dan SMA 3), teater MATA (Kranji Paciran), teater KENTUT (Payaman Solokuro), Cicak, Sangbala (pelajar SD Canditunggal Kalitengah). Beberapa nama penggerak di dalamnya adalah Pringgo HR, Sutardi Cempet, Javed Paul Syata, Heri Ambon, Paidi, Rokim Edan, Luqman Tohek, Kadjie Bitheng MM, Rodli TL, Heru Kusubiantoro, dan lain-lain.

Akhir-akhir ini nama Lamongan terbang membumbung tinggi ke angkasa sambil menebar wewangi kasturi melalui bidang teater. Teater Sangbala yang diasuh oleh Rodli TL berhasil mengantongi juara dalam festival teater internasional. Anak-anak Sangbala dengan naskah yang berjudul Past Game berhasil menyingkirkan rival mainnya baik yang dari dalam negeri maupun luar negeri. Semua itu tidak lepas dari kerja keras, perjuangan dan pengorbanan, serta ridha Tuhan Yang Maha Kuasa. Perjuangan yang dilakukan Sangbala tidak hanya dari segi tenaga, pikiran, material, melainkan juga dengan korban perasaan.

Konon dijelaskan oleh pembina Sangbala bahwa komunitas mereka berjuang mati-matian secara personal untuk dapat mengikuti even tersebut. Meskipun mereka sangat dipusingkan dengan masalah biaya pemberangkatan. Bagaimana tidak pusing, komunitas yang notabenenya bernaung dalam lembaga sekolah kecil serta terpencil dan masyarakat yang relatif berekonomi menengah ke bawah, harus memberangkatkan siswa yang cukup lumaya banyaknya. Segala usaha dilakukan demi mengikuti festival tersebut sebagai wakil Lamongan. Anehnya, saat mengajukan permohonan dana ke Pemkot Lamongan, komunitas ini justru malah dipingpong yang pada akhirnnya berakhir bolong. Tapi ada satu sukarelawan yang mungkin merasa iba, ia rela memberikan bantuan secara pribadi. Meskipun demikian, biaya masih kurang banyak. Jadi ya pembina Sangbala terpaksa harus ngutang dulu untuk menutup kekurang biaya pemberangkatan itu. Walhasil, Sangbala pun menang. Lantas apa yang dilakukan Pemkot Lamongan! Sambuatan hangat yang bagaimana yang diberikan! Penghargaan apa yang disandangkan! Sangbala telah mengharumkan nama Lamongan!

Selain Sangbala, keberadaan komunitas teater yang lain juga tidak boleh di pandang sebelah mata. Dengan eksistensi mereka, baik di lokal sendiri maupun di luar kota, perlahan tapi pasti, kredebilitas Lamongan akan terangkat dengan sendirinya. Mereka telah turut meramaikan kota Lamongan. Bahkan kerap mengadakan festival teater antarkota. Yang sungguh aneh dan riskan, pengayoman terhadap pekerja seni dan komunitas teater tersebut masih menunjukkan intensitas yang kurang. Buktinya, gedung kesenian saja masih belum terbangun di Lamongan. Masak, ada orang kok gak punya rumah! Padahal dari sisi kesenian, nama Lamongan berkompeten menyemburatkan sinar gilang-gemilang. Tapi sudah lumayan, sebab sudah ada janji dari pihak Pemkot Lamongan. Tapi kapan terealisasinya? Entah! Ini kalau tidak salah dengar sudah hampir tiga tahunan bahkan lebih, janji itu diujarkan. E.....nyatanya sepetak tanahnya saja masih kabur! Mudah-mudahan tanah di Lamongan tidak habis dibuat bangunan toko dan perumahan. Paling tidak, masih ada dua meter persegi untuk pemakaman kesenian di Lamongan. Maaf salah omong. Maksud saya dua puluh meter persegi untuk pembangunan gedung kesenian di Lamongan. He...he...he...

Dari bidang kesusatraan misalnya. Para pekerja dan penggiat sastra sangat montang-manting dalam membudayakan membaca, menulis, dan bekarya kepada masyarakat Lamongan khususnya. Mereka senantiasa mencari dan membentuk regenerasi penulis Lamongan dewasa ini. Selain itu juga menanamkan kepribadian yang menghargai karya dan kreatifitas orang lain. Bentuk usaha yang dilakukannya ada yang mengadakan even lomba menulis puisi tingkat SLTA se-Lamongan (Van Der Wijck Award ke-1), membuat antologi puisi tingkat SLTA, Seminar sastra di sekolah-sekolah, diskusi Candrakirana dan lain-lain. Hal itu tentunya juga tidak lepas dari peranan guru di sekolah-sekolah tertentu yang memposisikan diri sebagai pekerja sastra yang bergerak secara mendasar dan juga para sastrawan serta penulis Lamongan yang lain. Di sana ada Hery Lamongan, Nurel Javissyarqi, Pringgo HR, Bambang Kempling, Rodli TL, Alang Khoiruddin, Haris Del Hakim, Javed Paul Syata, A. Sauki Sumbawi, A. Rodli Murtadho, Rian Sindu, Joko Sandur, Imamuddin SA. Selain mereka masih ada sekian banyak sastrawan Lamongan baik yang bereksistensi di Lamongan sendiri maupun di luar Lamongan. Mereka di antaranya adalah Satyagraha Hoerip, Mashuri, Gaidurrahman El Mistsri, Isnaini Komaruddin, Nur Aziz Asmuni, Aris, Raslayno, Sutardi Cempet, N yeas, Heru Kusubiantoro, Edy Maherul Fata, D. Zaini Ahmad, Heri Kurniawan, Ridwan Rachid, Anis CH, M Bagus Pribadi, Ariandalu, Atrap S. Munir, Ali Makhmud, Ghaffur al-Faqqih, Heri Listianto, Arina Habaidillah, Dijah Lestari, Hartiwi, dan lain-lain. Entah eksistensi mereka saat ini masih mengalir laksana gemericik air atau telah membatu, yang jelas mereka semua pernah mengisi khasanah kesusastran di Lamongan.

Kajian dan diskusi sastra di Lamongan secara intens dilakukan setiap malam lima belas bulan purnama. Sebab itulah kegiatannya dinamakan Candrakirana. Kegiatan ini digerakkan oleh Kostela (Komunitas Sastra Teater Lamongan). Selama beberapa tahun kegiatan ini berjalan dengan lancar dan bergairah. Yang menghadiri acara tersebut cukuplah banyak, bahkan sastrawan luar kota sempat menyinggahkan diri di dalamnya. Beberapa di antaranya ada Mas Gampang Prawoto (Bojonegara), HU Mardi Luhung (Gersik), dll. Namun belakangan ini sempat fakum beberapa saat sebab menurunnya greget regenerasinya. Puncaknya pada dua tahun terakhir yaitu tahun 2006 dan 2007. Tak ada suatu usaha itu yang bebas dari hambatan. Itulah yang mungkin berlaku bagi Candrakirana waktu itu. Sekarang dengan format dan strategi yang baru, Candrakirana kembali mengibarkan benderanya. Semoga menemukan kembali keharuman namanya.

Buku-buku karya sastra yang menjadi tolok ukur kontribusi pengarang Lamongan cukup banyak. Entah itu dicetak secara terbatas atau disebar di kawasan lokal. Beberapa buku tersebut di antaranya adalah Memecah Badai (1999), Negeri Pantai (2000), Rebana Kesunyian (Kostela 2002), Imajinasi Nama (Kostela 2003), Bulan Merayap (DKL 2004), Lanskap Telunjuk (DKL 2004), Mozaik Pinggir Jalan (antologi puisi SLTA, DKL 2005), Absurditas Rindu (Sastra Nesia 2006), Khianat Waktu (DKL 2006), Memori Biru (DKL 2007), Jalan Cahaya (sajak-sajak SMA, DKL 2007), Gemuruh Ruh (Antologi Sastra Lamongan, 2008).

Di lembaga-lembaga sekolah SLTP dan SLTA tertentu ada juga yang menerbitkan buku antologi sendiri. Semua itu dilakukan hanya semata-mata untuk memotivasi dan menumbuhkan gairah membaca dan menulis sejak dini juga sebagai salah satu bentuk usaha regenerasi sastrawan Lamongan. Selain itu juga diupayakan dengan cara mengundang penulis-penulis ternama seperti Raudal Tanjung Banua, KH. Zainal Arifin Toha (di MA Matholi’ul Anwar) dll, di lokalitas kampus Unisda ada Tengsu Cahyono, Setya Yuwana Sudikan, dll. Di antaranya buku-buku yang diterbitkan adalah, MTs Putra-Putri Simo; antologi puisi dan esai ringan Enjelai (bunga rampai catatan harian siswa 2005), Rinai Sukma dan Guratan Pelangi (Teater Mata Es 2005), Ponpes dan MA. Matholi’ul Anwar Simo; antologi cerpen Mawar Putih (2007), antologi cerpen dan puisi Kristal Bercahaya dari Surga (2008), antologi cerpen The Power of Love (2008).

Secara individual, para sastrawan Lamongan juga membukukan karya-karyanya. Di antaranya adalah Herry Lamongan; Lambaian Muara (1988), Latar Ngarep (2006), Surat Hening (2008), Nurel Javissyarqi; Ujaran-Ujaran Hidup Sang Pujangga, Ada Puisi Di Jogja, Tabula Rasa Kumuda, Tubuh Jiwa Semangat, Kekuasaan Rindu Sayang, Segenggam Debu Di Langit, Kajian Budaya Semi, Sarang Ruh, Sayap-Sayap Sembrani, Kulya Dalam Relung Filsafat, Batas Pasir Nadi, Kumpulan Cahaya Rasa Ardana, Trilogi Kesadaran, Balada Takdir Terlalu Dini, Kitab Para Malaikat, Mashuri; antologi puisi Jawadwipa 3003 (2003), Pengantin Lumpur (2005), Ngaceng (2007), Hubbu (novel 2007), Gaidurrahman El Mitsri; Kitab Dusta dari Surga, Langit Mekah Berwarna Jingga (novel 2008) dll, Pringgo HR; Sungai Asal (2005), Bambang Kempling; antologi puisi Kata Sebuah Sajak (2002), Alang Khoiruddin; Lorong Cinta (2000), Perjamuan Embun, Fenomena Sajak Religius (2003), Kontemplasi Sufistik (2004), Oase Cinta (2004), Majenun Mencari Kekasih (2004), Wanita: Pesona Paling Melati (2004), Seruling Cinta (2002), Percikan-Percikan Cinta, Haris Del Hakim; novel Berlabuh di atas Gelombang, Lars-liris, dll, Javed Paul Syata; Syahadat Sukma (2004), Tamasya Langit (2007), The Lamongan Soul (kumpulan sajak dan cerpen 2008), A. Sauki Sumbawi; Interlude di Remang Malam (puisi, 2006), Tanpa Syahwat (cerpen 2006), #2 (cerpen 2007), Dunia Kecil, Panggung dab Omong Kosong (novel 2007), Waktu di Pesisir Utara (novelet 2008), Maskerade (prosa pendek 2008), Rodli TL; novel Dozedlove (Pustaka Ilalang, 2006), Imamuddin SA; Esensi Bayang-Bayang, Sembah Rindu Sang Kekasih, Kidung Sang Pecinta, dan Sasmita Kembang Widerda, M. Rodli Murtadho; Pameran Makam (Pustaka Ilalang, 2008), Kadjie Bitheng; Negeri Dongeng (puisi 2006) dll.

Ada yang unik dari eksistensi sastrawan Lamongan. Keunikannya terletak pada bentuk dan gaya kreatifitas karya yang dihasilkannya. Meski dalam satu paguyuban Lamongan, dari setiap sastrawan memiliki ciri khas masing-masing secara personal. Memang cukup variatif. Tentunya variasi tersebut bertumpu pada latarbelakang sosial dan kedekatan emosional serta psikologi dari tiap pribadinya. Mereka tidak mencipta genosis sastra. Tapi mereka berdiri dengan kekuatannya sendiri-sendiri. Berdiri dengan selera masing-masing. Dan tetap bergerak dalam satu langka bersama dalam menuju muara yang sama pula; kesusastraan Lamongan dalam kanca pergulatan dunia.

Di Lamongan juga ada beberapa media cetak yang tengah menampung karya-karya dari luar daerah. Ambil saja Indupati, Tabloid Telunjuk (alm), Jurnal Sastra Timur Jauh, dan Jurnal Kebudayaan The Sandour. Tidak jarang penulis-penulis besar nasional berkenan menggoreskan karyanya di media tersebut. Beberapa di antaranya adalah Budhi Setyawan, Raudal Tanjung Banua, S. Yoga, Alfiyan Harfi, Y. Wibowo, Hamdy Salad, Gugun El-Guyanie, Iman Budhi Santosa, Fahrudin Nasrullah, Teguh Winarso AS, KH. Zainal Arifin Toha, KRT Suryanto Sastroatmodjo, dll (di jurnal kebudayaan The Sandour). Selain itu di Lamonngan juga ada penerbitan yang telah memiliki ISBN, yaitu Pustaka Pujangga, Pustaka Ilalang, Sastra Nesia, dan La Rose. Semua penerbitan itu bergerak pada wilayah kesusastraan. Tidak jarang para penulis terkemuka menerbitkan karya-karyanya di penerbitan Lamongan. Seperti: dari Pustaka Pujangga ada Hudan Hidayat (esai, Nabi Tanpa Wahyu), Teguh Winarsho (novel, Kantring Genjer-Genjer), Binhad Nurrahmat (esai, Sastra Perkelaminan), Amuk Tunteja (cerpen, Marhalim Zaini), dari Pustaka Ilalang ada Supaat I Lathief (Sastra: Eksistensialisme-Mistisme Religius 2008 dan Psikologi Eksistensialisme 2008), dll.

Sejalan dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, pergerakan sastrawan Lamongan juga turut berkembang. Demi menjalin relasi dan menyuarakan nama Lamongan di kawasan regional dan internasional, generasi muda sastrawan Lamongan mengambil inisiatif untuk membuat blog di internet. Mereka membentuk komunitas blog yang bernama Forum Sastra Lamongan (FSL). Seluk-beluk dan perkembangan sastra di Lamongan dan sekitarnya mereka dokumentasikan di sana guna memberi infomasi kepada pengunjung blog. Prioritas utamanya adalah para penulis dan sastrawan Lamongan. Anggota FSL pada dasarnya jarang bertemu secara bersama-sama. Mereka menjalin relasi dan persaudaraan dengan jalan lewat email, hand phone, dan bahkan kunjung ke rumah-rumah anggotanya. Itu sih dilakukan bagi mereka yang tengah memiliki sedikit kelonggaran waktu. Paling tidak, paling cepat sebulan ada yang kunjung ke rumah dan itu kadang dilakukan secara bergantian. Sebab semuanya bertumpu pada kondisional waktu dan kesibukan masing-masing. Selain itu juga sebab pengaruh tempat tinggal yang cukup berjauhan. Ada yang tinggal di Surabaya dan ada juga yang di Lamongan. Yang kerap mereka bahas tidak lain adalah bagaimana kesusastraan Lamongan ke depan. Bagaimana kesusastraan Lamongan dapat dikenal hingga taraf internasional. Hal itu kadang dilakukan sambil ngopi bareng di warung pinggir jalan raya atau sekedar di rumah saja. Nama-nama yang tergabung dan bergerak dalam FSL di antaranya adalah Nurel Javissyarqi, Rodli TL, Haris Del Hakim, A Sauki Sumbawi, Javed Paul Syata, dan Imamuddin SA.

Spirit Perlawanan dalam Sastra 'Post'- Kolonial

http://www.lampungpost.com/
Judul: Post-Kolonialisme Indonesia, Relevansi Sastra
Penulis: Prof. Dr. Nyoman Kutha Ratna, S.U.
Penerbit: Pustaka Pelajar, Yogyakarta
Cetakan: I, Februari 2008
Tebal: xii + 450 halaman
Peresensi: Fatkhul Anas

MEMBUKA kembali ragam file ingatan tentang zaman kolonialisme di Indonesia merupakan hal "berani". Sekali membuka berarti siap dengan kisah-kisah dramatis seputar penderitaan bangsa. Kelaparan, kerja paksa, pembodohan massal, penganiayaan, pembunuhan secara sadis adalah pemandangan yang lazim. Perbudakan, gundik, serta pemungutan pajak secara paksa tak luput pula menjadi sejarah yang memilukan. Kekalahan bangsa Indonesia memaksa mereka tunduk dalam kekejaman, menikmati kesengsaraan, dan terpenjara dalam kebodohan. Tidak sedikit pun bangsa ini dibiarkan menikmati indahnya kehidupan, kecuali segelintir orang. Orang-orang itu adalah mereka yang patuh dengan pemerintahan kolonial Hindia-Belanda.

Zaman kolonialisme memanglah menjadi "abad penggelapan" bagi bangsa ini. Abad ini memaksa bangsa Indonesia mengadakan pembelaan diri dengan melakukan perlawanan.

Dari aspek fisik, bangsa ini melakukan serangan balasan dengan model peperangan. Meski dengan bersenjatakan bambu runcing, nenek moyang Indonesia tak sedikit pun gentar menghadapi penjajah. Kendala apa pun diterjang. Harta, benda, bahkan nyawa menjadi taruhan. Orang-orang terdidik atau kaum intelektual mendirikan organisasi sebagai wadah penggalangan ide.

Organisasi-organisasi seperti Budi Utomo, Sarekat Islam adalah sebagian dari organisasi yang setia meneriakkan semangat antikolonialisme. Tidak ketinggalan para sastrawan Indonesia juga turut mewarnai perjuangan. Dengan karya sastra post-kolonialismenya, mereka menyulut api perlawanan secara berkobar-kobar.

Semangat sastrawan post-kolonialisme menandingi kolonialisme akan dibahas tuntas dalam buku ini. Buku dengan judul Post-Kolonialisme Indonesia, Relevansi Sastra karya Prof. Dr. Nyoman Kutha Ratna, membeberkan secara rinci, serta memberikan analisis mendalam seputar karya sastra post-kolonial. Dilihat dari istilah post-kolonial, ini berarti terjadi setelah zaman kolonial. Post-kolonial atau pascakolonial, memberikan pemahaman bahwa masa ini adalah masa serangan balik terhadap kolonial. Kalau kolonial banyak mengeksploitasi Indonesia, post-kolonial memberikan umpan balik dengan melawan kolonial. Dalam kaitannya dengan sastra, sastra post-kolonial adalah sastra perlawanan terhadap kolonial.

Sastra-sastra post-kolonial di Indonesia banyak jumlahnya. Dalam buku ini, disebutkan ada dua kategori untuk mengklasifikasi karya sastra post-kolonial.

Pertama, karya sastra sebelum perang. Masa ini dibagi empat periodisasi: Sastra melayu rendah (Tionghoa), sastra Hindia Belanda, sastra Balai Pustaka, serta sastra Pujangga Baru. Kedua, masa sesudah perang (setelah Pujangga Baru). Masa ini tidak dibagi dalam periodisasi, dengan pertimbangan telah berakhirnya kolonialisme (hal 261).

Karya sastra post-kolonialisme sebelum perang, dalam buku ini berjumlah delapan. Di antaranya: Cerita Nyai Dasima (G. Francis, 1896), Cerita Nyai Paina (H. Kommer, 1900), Max Havelaar (Multatuli, 1860, 1972), Manusia Bebas (Suwarsih Djojopuspito, 1940, 1975), Siti Nurbaya (Marah Rusli, 1922), Salah Asuhan (Abdoel Moeis, 1928), Layar Terkembang (Sutan Takdir Alisjahbana, 1937), serta Belenggu (Armijn Pane, 1940).

Sastra post-kolonial sesudah perang berjumlah lima buah; Ateis (Achdiat Karta Miharja, 1949), Pulang (Toha Mochtar, 1958), Bumi Manusia (Promoedya Ananta Toer, 1981), Burung-Burung Manyar (Y.B. Mangunwijaya, 1981), serta Para Priayi (Umar Kayam, 1992).

Dari keseluruhan karya sastra post-kolinialisme ini, Bumi Manusia-lah yang ditengarai memiliki citra perlawanan tinggi. Karya sastra hasil kreativitas Pram ini, memiliki banyak aspek perlawanan.

Sesuai analisis pendek Prof. Nyoman, ada banyak perlawanan yang diteriakkan Pram terhadap praktik kolonialisme lewat Bumi Manusia-nya. Pram mengkritik praktek pengucilan terhadap bangsa Indonesia. Ini disimbolkan Pram lewat tokoh Nyai Ontosoroh. Ontosoroh dalam versi Pram adalah perempuan berkualitas. Perempuan ini berhati keras, disiplin, serta pemberani. Meski ia tidak mengenyam pendidikan tapi cerdas berkat pembelajaran otodidaknya (hal 334).

Ontosoroh memiliki semangat baja, sebagai akibat perlakuan tidak pantas terhadap dirinya, sebagai gundik, bahkan dijual sebagai budak. Berkat keberaniannya, ia berhasil menyelamatkan perusahaan suaminya sehingga pada zamannya perusahaan tersebut terbesar di Surabaya.

Di sini, Pram memberikan gambaran bahwa sesuungguhnya bangsa Indonesia adalah bangsa yang berkualitas, pemberani, dan pantang menyerah. Tidak boleh bangsa ini dianggap rendah oleh bangsa penjajah. Penjajahlah yang semestinya merasa berdosa telah mengeksploitasi Indonesia secara besar-besaran.

Mengenai eksploitasi, Pram juga memberikan sindiran keras di dalam Novel Bumi Manusia-nya. Pram menulis sebuah kalimat "Ingat-ingat ini: Eropa yang menelan pribumi sambil menyakiti secara sadis. E-ro-pa.....Hanya kulitnya yang putih," ia mengumpat," hatinya bulu semata." (Bumi Manusia, 2006: 489--490).

Kalimat ini adalah sindiran sekaligus hinaan yang keras seorang Pram terhadap para kolonialis. Pram hendak menyampaikan bahwa praktik kolonialisme harus dihentikan. Apa yang dilakukan Pram dalam karya sastranya merupakan bentuk perlawanan nyata terhadap kolonialisme. Termasuk juga dengan karya sastra lainnya. Karya-karya Multatuli, Suwarsih Djojopuspito, Marah Rusli, Abdoel Moeis, Sutan Takdir Alisjahbana, Armijn Pane, Achdiat Karta Miharja, Toha Mochtar, Y.B. Mangunwijaya, Umar Kayam, serta lainnya merupakan karya-karya penentangan. Karya-karya tersebut membawa misi perlawanan serta penolakan terhadap kolonialisme.

Melalui karya-karya ini, bangsa Indonesia diajari bagaimana seharusnya bersikap terhadap kolonialisme. Tak sekedar dikecam, tetapi kolonialisme harus dilawan. Dan pada akhirnya, praktik kolonialisme harus dihentikan dari bumi pertiwi maupun di seluruh dunia.

Memang saat ini praktik kolonialisme sudah lenyap, tapi jiwa-jiwa kolonialis masih bersarang di tubuh orang-orang Barat. Jiwa-jiwa itu sekarang berubah menjadi imperialisme. Praktek kolonialisme dalam bentuknya yang halus ini masih menyelimuti bumi Indonesia. Untuk mencegahnya diperlukan energi yang cukup. Tidak mungkin imperialisme dapat dicegah jika perangkat SDM bangsa masih lemah. Dengan mengambil semangat perlawanan pada postkolonialisme, semoga bangsa ini segera mampu menghentikan praktik imperialisme.
----------------

*) Peresensi adalah staf pada Hasyim Asyari Institute Yogyakarta

Balada-Balada, Suryanto Sastroatmodjo

BALADA GAGAK RIMANG

_
Pada jelaga paling hitam, Gusti
Sandang lelakon telah semayam
Biar nanti malam bintangku ketawa
lantaran pentil mempelam jatuh tengah hari
mengusik tidurku di kerakal jalanan desa

_
Akulah penikam itu, bapa! Akoni akon terlongok
Lha wong belum sepertiga menit doaku terbang
dan sang penunggang datang tergopoh
Kini lengkap pelana dan jubah pradah
O, bakal menembus malam kakiku nyongklak

_
Dan tida ‘kan gamang perlawanan
ada di sanggar-sanggar jumagar. Leleh lili kakang
Kala langkah kuayun, dan pagi cengkring
meninggalkan senyap berdering

_
Lebih bakal tempelak-menempelak nanti
pabila kisah Dang Mantri Pamungkas
terakhir menggiring cicak
terakhir melingsir tandak berpupurtebal!

_
Kilah dan kiat di pupuk
sedang tongkat punden terobat-abit
Alangkah panjang gores pengakuan di
kais di anjungan griya rongsok
Menyanyikan demam geraham, kala Jum’at Kliwon
loncatan senyap malamcengkar. Diriku terpenggal

_
Santuni dia,para kanak dolanan
yang mengimbang juluk-jaluk taktercurah
Kemudian, pada tawar-menawar liar. Tikam jangkar ,
atilah Dang Mantri Pamungkas
Kugelintir butir pelanangannya
hingga tales-tales apesnya merembes

_
Pagut-rengkuh pada subuh taubat
Gagak Riamg rebah bagai bersujud
Ah, ah, ah-depan kubur Den Ayu Manyul
menyatakan senapa tawar. Ada yang dinanti
Sang Penunggang yang terpenjara dalam kandung!



BALADA JAGO KEPRUK

_
Nilai dan semburan garam
kusangkut di tenggorok berborok
Tapi kenapa tuan tak gumregah
buat kentong pincang gelagapan?
Aduh, ‘nak jabang, lihat sepinggan ceper
gumletak tak terjamah
Sementara gurung asat, hidung terjongkat
upil-upil yang mengering congkal

_
Ayuh, para sahabat-di mana gapaian mawar
dalam demam kita, dalam dendam serokah
Melilitkan sabuk gatal di perut
Melilitkan bengkung di sengkelut
Tengok, biyung, ada gelagah terbentang wiyar
di kaki lazuardi nan sepuh nian!

_
Aku membilang terimakasih pada sungai dan kedung
atau batang-batang alang-alang, bebatang genjer
Mematahkan sorak dalam dada
memalang kayu glugu dikuncungan pondok
takkan berpaling pada dunia lain

Mungkin Dursasana dan Kartamarma
memasrahkan topeng kepada bunda semasa bocah
Dan Demang Sapujagat, pemilik aji Singabanda
baru kini menyeleh selendang ke pundak sengkleh!

_
Warna bukit lorkulon tak lagi kunyit
tapi kembara si anak manusia dipungkasi
Selewat satu oktaf dari gending Pandelori
tarian sukmaku nan lilipit
jadi cuwer dan terus menetes: tes, tes, tes,tes, toooos!
Galap cuaca musim gugur
kutabuh dongeng senggang-ladang
Hanyapun pabila kentong pincang memalik
maka aku diseret pulang oleh poyangku

_
O, Allah, dubillah setan! Siapa pernah durhaka
tak sekelumit jeritku di Lebaran tanpa puasa.



BALADA SI BAGUS

1
Dan daratlah maka laut mati
menangkap bumi, menyeka butir-butir keringat
nan membilang kesyukuran syahdu
Sampai senggama pun enggan dicopot
dari liang cahaya gupita

Mungkin sebuah lanskap wening
tak lagi memburai nuansa cengkar
Gebalai si miskin hingkang
dari wilayahtubuh kawitan

2
Tiada yang menyerupai maut
diundi oleh curiga dan kendala
lamun gumingsirnya peradaban
pada juang kirbalik ratu rawit
yakni si kecil, juga si bagus
Kawula masa nan menabuh genderang

Jurai suminar lagu sasmita
demikian sayuk dalam relungcita
Suara segera menjauh,kian jauh
tinggal puing kenangan pada maya

3
Si Bagus, justru dari si paling alit
di kala kobaran api menukik pemantik
Lalu sapa darinya, dan tarik tali kekang
biar bak kuda bendi menuju pesisir
Aku rangkum lawatan gumulir

Wasana kata-di sini ornamen sendu
makin mengocak geliat-gemulut lindur
Sampai pun rasa getun menyiksa
khalayak yang mengasihi satwa-satwa

4
Maka inilah Si Bagus: ikhlas berada di antara lembu jantan
atau mengunyah dedak seperti mulut anjing belang
Karena lepas berbaring letih di bawah pohon zaitun
Si Bagus memanggil bapak dan emak
yakni: dekap dan tiarap di alun-alun kebungahan.



BALADA RAHADYAN AMBARKATON

I
Cekar-cekor ‘lah dituliskan pada lempeng tembaga
Dan padu sudah tuang-tindihan tatah-sungging
Kala batin bergempa,oleh kerinduan sarat

II
Dicebgkal oleh lindu, dilindas musibah nasib
Rahadyan Amabarakaton oncat dari dalem-ageng
Semilir-anglir langkahnya lilir
Waktu gunem diugemi para penagih pajak negeri

III
Pesanku pusat memusing pengot
Atas landasan kayu-kayu atos dan garing
Dekatlah padaku, buahhati.di samping Nyi Ratu Sepuh
Mendekap romo, mendendang syair Kusumastuti

IV
Riak-riak Bengawan Sore. Olak-alik pagina lontar
Menyepuh ungu tubuh kita yang telanjang, oh, oh, oh
Menjelang panen cangkih nan akbar
Menjelang tunainya tugaswenang Dang Wali Negeri

V
Dan sang denok, dulu lelap di pangkuan gusti
Sekadar mencantekan waham gairah perawan sayuk
Dengan kalam tajam menggurat lontar
Secoret kemakluman terhadap dongeng purba

VI
Mengakencana, kulanuwun, Denmas! Satu suara bergema
Aku membisu sampai pupuh ketiga suwuk
Lantas iketku gadungmlati kibuka pelan
Laras jiwa temungkul, sigeng malam macapatan ini
-Lerem,lerem ayem, dan wedang jahe, kuih bolu
Menggelontar tenggorokanku. Kuingan kisah Wong Agung Menak
Pemenang langgeng hayati. Hmmm,kuolak-aliklontarputih!

VII
Rakit batangpisang membelah riak Bengawan Sore
Denmas ngapurancang, tapi mata menyelidik senja dingin
Di bekas dermaga,seekor anjing batuk-batuk kecil
Mengajak bercanda juragan: Rahadyan Ambarkaton

VIII
Tamu-tamu tersibak waktu melepas jenazah Kanjeng
Sementara antara poyang-payingan Sang Ambarkaton
Menutupkori dengan selarak hijautua. Wajah merengut
-Alangkah sepi, diajeng Kusumastuti enggan kembali

IX
Sudah tertebussekarmayang dari kubur pengantin muda
Ada kumandang guyubmu: mamapah Dyan Ambarkaton ranjangnya.

Senin, 27 Oktober 2008

Sketsa, Syrup, Syahwat

S.Jai
http://ahmad-sujai.blogspot.com/

PAGI hari di halaman belakang sebuah rumah kontrakan. Separuh matahari mengintip di balik salah sebuah bangunan. Tertahan tiang-tiang jemuran. Lantas cahayanya lepas.
Terdengar kokok ayam jantan. Suara kecipak air dari bak di bibir sumur. Perempuan Kunti membilas pakaian. Siaran radio. Berita aksi demo menolak kenaikan BBM.
Suara perempuan Kunti menggergaji ranti kayu, memecahkan siaran berita radio. Tubuh Kunti melintas lalu bersimpuh menyalakan api di tungku. Api membara. Gelomban siaran berita radio digeser musik hiburan. Mengalun sepotong lagu dangdut.
Kunti bersijingkat.
“Jangan diganti, Kunyuk!”

***

DI UJUNG gang tersembunyi. Bocah lelaki Alif Lam girang. Dia melompat cepat lalu ndoprok di tanah. Digaulinya semut-semut berbaris yang keluar masuk lorong hingga dinding bangunan tua. Didekatinya moncong mulut semut, didengarkanya bisik dan sungut-sungut yang bertubrukan. Dia mendengar hiruk pikuk dan kegelisahan. Dia merasa bisa mendengar berontak kemarahan, kegaduhan sekawanan semut.
Sorot mata tajam Alif Lam mencari kawan baru angkrang, kecoa, tikus atau anjing atau apa saja. Giliran Alif Lam mendobrak. Ia merogoh sebentuk cangkir bekas yang disimpannya di balik rerimbunan kembang.
Bocah itu berdiri dan cepat membuka resleting celana pendeknya. Lalu mengencingi setiap baris binatang-binatang malang itu. Sebagian dari sisa kencingnya, ia tampung di cangkir bekas itu. Sebelum akhirnya, ia lempar untuk mengusir anjing kudisan milik tetangga.
Alif Lam makin jalang. Ia mengerang iba. Seekor bebek kecil di dekatnya diatangkap. Diseretnya kemudian kepalanya ia pisahkan dari badannya dengan tangannya.
“Uhh!!!! Kapok!!!” Wajahnya nanar.

***

PULANG sekolah, sepatu bocah Alif Lam belepotan lumpur tanah. Persis di depan pintu, ia ragu-ragu. Sebentar duduk di muka daun pintu yang sedikit ngangga itu. Rasa lapar menyergap, membuat Alif Lam hilang sabar. Cepat dia ingin menyantap makanan di meja.
Di sisi nganga lubang pintu ia mengintip. Terus mengintip hingga terbuka lebar daun pintu rumahnya dan muncul keberanian Alif Lam mencuri waktu melihat ibunya di kamar.
Dibukanya pintu kamarnya yang tanpa daun. Jemari Alif menarik korden kain tipis. Maksud hati begitu hati-hati.
Betapa terhenyak bercampur takut, ketika Alif melihat sesuatu yang sama sekali belum pernah disaksikannya. Dia melihat dua tubuh, ibunya dan seorang lainnya lelakibukan bapaknya sehabis bersetubuh.
Dipan yang membelakangi korden, menjadikan sorot mata tajam ibunya jatuh persis mengarah lubang nganga korden, lalu melesat lepas.
Di tangan kanan ibunya, masih nikmat menggenggam benda sebentuk gergaji. Gergaji dan raut wajah Kunti.

***

DI BENAK Alif Lam, tubuh lelaki bukan bapaknya itu hendak dibenamkan ke dalam rongga-rongga tubuh ibunya.
“Ahh!!! Ampun!!! Brrrr!!!” Lelaki itu berteriak sampai suaranya tertekan sendiri.
Sebentuk benda keras baru saja dibenamkan di leher laki-laki bukan bapaknya itu.
Kamar gelap, tidak ada sinar matahari. Karena itu tidak jelas betul ada genangan darah mengalir. Sebagian mengering di atas kain sprei.
Cepat Alif Lam menutup korden dan menahan nafas, mata merah Alif Lam. Alif Lam bergegas melompat. Tubuh mungilnya menghantam daun pintu. Keringatnya yang sebesar biji-biji kacang mendadak muncul dan berserakan di lantar.
Bocah itu berlari kuat sepanjang gang, melempar sepatu dan tasnya. Menyusul kemudian seragamnya. Dia tak sadarkan diri begitu melempar seragamnya, ternyata didapatnya dirinya sudah jauh di luar rumah.
Sepasang seragam satu-satunya itu terbang melayang sebelum akhirnya jatuh terjerembab di sungai basah berbau sengak sampah dan kotoran manusia di seberang jalan.
Air kali yang hitam cepat melumat seragamnya. Bercampur plastik-plastik bungkus shampo, kaleng bekas, kawat gawat, dedaunan membusuk, gelas pecah dan karet-karet bau menyumbat selokan.
“Huh!! Hukkk!!! Alif Lam memegangi kerongkongannya yang sedang kumat.

***

ISAK tangis Alif Lam.
Di kamar perempuan Kunti, tak setespun darah menetes. Sprei dan tempat tidur masih teratur rapi dengan bantal guling di tempatnya.
Laki-laki masih segar dengan nafsu liar.
Silhuet lampu. Muncul bayang-bayang tubuh Alif Lam ditendang hingga terjengkang. Sepotong tempe goreng kering semula untuk membujuk bocah itu terjatuh di tanah berpasir.
Giliran laki-laki itu yang acuh. Di luar dugaan dengan wajah berapi, jari telunjuknya tajam diarahkan persis di depan hidung Alif Lam.
“Kowe boch cilik, jangan sekali-kali ganggu saja!”
Dia tidak mengangguk. Tidak pula menggeleng.
“Ini urusan laki-laki. Kamu masih kecil tahu apa. Ngerti?”
Alif Lam menangis sejadi-jadinya.
Lama tangisnya tidak berhenti.
Laki-laki bukan bapaknya kian berang. Alif ditendangnya sampai bibirnya mencium dinding berjurang.
Untuk kali pertama anak itu melihat darah keluar dari lubang hidungnya, setelah bekas-bekas luka menghitam di kulit tubuhnya.

***

DI TEPI kali menjelang petang. Seorang penyair berkhayal dan memperkenalkan keseharian jiwanya tentang Kunti.
“Kunti, akulah kemerdekaan bagimu. Seperti laut semua suara. Karena akulah laki-laki jalang yang sepakat bersetubuh dengan alam. Selamanya. Bukan dengan perempuan.”
Tiba-tiba penyair itu bertanya pada dirinya sendiri.
“Ah, apa aku sudah mabuk? Hei, aku cuma mabuk oleh kata. Bukan mabuk minuman.”
Lantas ia kembali membacakan syair-syairnya.
“Tak satu pun gang di daerah pinggiran yang miskin ini tak kukenal. Semenjak syair-syair tajam kubacakan semenjak itu pula aku berjalan menyusuri kemiskinan karena inilah jalan hidupku. Tubuhku akrab dengan alam, sorot mataku seperti sebilah pedang dan syair-syairku anak panahnya.”
Sebotol sisa bir masih di tangannya. Penyair mempertontonkan gairah hidup dan semangat jiwa bersahabat dengan imajinasi anak-anak.
“Satu dari bapakmu yang mengecewakan ibumu. Bapakmu tumbuh jadi manusia yang menahan diri dan puncaknya ia jadi penidur saban hari-harinya,” ungkap penyair itu.
“Menahan diri?”
“Ya. Bukankah bila Tuhan sebentar saja menahan diri, pasti dunia berhenti berputar dan semesta kacau dibuatnya? Karena itu Tuhan tak pernah menahan diri untuk bertindak, menciptakan, menjaga, mengatur dan membunuh sepanjang masa. Betul-betul Tuhan tak pernah kehilangan momen.”
“Jadi ibu tak suka orang yang menahan diri?”
“Lebih dari itu. Seorang ibu, ibumu yang benci setiap manusia yang mengumbar nalar tanpa menajamkan hati. Kamu tahu apa yang terjadi bila ini dibiarkan terus hidup? Bila bumi dipimpin orang-orang yang curang, kecurangan akan menjadi penduduknya.”
“Ibu tidak pernah terlalu jauh bicara seperti itu.”
“Itu hanya karena kamu tak pernah mendengarnya, bukan?” tandas penyair itu.
Alif Lam diam dengan mata yang tajam, penuh sesak pertanyaan.
“Tapi kamu mulai biasa dengan bicara ibumu, Nak. Tentang bapakmu, atau agar jangan seorang pun boleh mengganggu keluargamu.”
Laki-laki bermata tajam setajam syair itu mengisahkan tentang pribadi Kunti.
Sementara Alif Lam memainkan jari-jari tangannya dengan botol sisa minuman sang penyair.
”Kunti, perempuan ibumu itu berbicara bukan lagi sebagai ibu atau sepotong manusia, tetapi seorang ksatria. Laiknya seorang ksatria, setiap orang bakal dibuat percaya. Apa yang terjadi padanya bila semakin tumbuh rambutnya yang putih, semakin pula Kunti berbicara dan bertindak sebagai seorang ksatria. Ksatria bagi keluarga dan anak-anaknya.
Mendadak penyair itu cekikikan, barangkali bermaksud hendak meledek sebelum melanjutkan penuturannya.
“Lucunya, Kunti bukanlah ksatria yang memilih pedang samurai, keris, golok, panah atau tombak untuk dijadikan nyawa keduanya. Melainkan sepotong gergaji karatan yang dipilih mendampingi bagian dari sisa-sisa lakon hidupnya yang nyaris putus asa.
“Akan tetapi,” kali ini mata penyair itu menerawang lebih jauh. “Lebih dari sekali Kunti menyelamatkan nyawa bapakmu. Dasar bapakmu tak tahu diri untuk terimakasih! Bagi Kunti, terimakasih cukup dengan membuka mata saja.
“Ya,” kenang penyair itu. “Ketika asyik duduk di bantaran rel kereta, bapakmu pernah tertidur beberapa waktu lamanya sampai badan kereta yang seperti ular raksasa itu. Mulutnya terbuka nyaris menyambar daging dan tulangnya.
“Pernah pula,” lanjutnya. “Waktu itu di emperan rumahnya, tidur suaminya dibuyarkan Kunti beberapa saat sebelum truk besar bermuatan besi beton mampir dan nyaris meremukkannya. Pada saat seperti itu Kunti seringkali tampil melebihi seorang manusia, melebihi seorang ksatria yang menjaga keluarganya.”
Lalu apa? Siapa dia?
Moncong mulutnya menenggelamkan bibir botol. Sayang isinya telah terkuras habis.

***

LAGI, malam itu ranjang kamar rumah kontrakan Kunti kusut. Dua tubuh laki perempuan tergolek diam. Nafasnya kacau, badannya meringkuk seperti mengendusi bau busuk. Tinggal kaki-kaki yang bergerak mencari kain-kain pembungkus badan yang semula terlempar. Kebingungan seperti kehilangan celana dalam dan juga kutang.
“Dulunya suamiku seorang yang penuh gairah,” kenang Kunti.
“Gairah?” desah lelaki tak peduli.
“Ya.”
“Kenapa sampai Alif sebegini besar, belum juga ada adik baru di rahimmu?”
“Ah, kamu polos sekali pertanyaanmu. Adik baru. Rahim.” Diam-diam hati perempuan Kunti amat terpukul. “Mustinya, ini juga yang harus aku sampaikan pada suamiku. Terus terang sama sepertimu.”
“Aku tahu ada masalah besar pada diri kamu dan suamimu sampai seperti sekarang, Kunti.”
“Tidak sepenuhnya kamu tahu. Ini akibat suamiku banyak menahan diri.”
“Menyiksa diri, maksudmu?”
“Nggak ada bedanya memang.”
“Terus?”
“Perasaanku ada yang hilang.”
“Perasaan?”
“Sudahlah, berkali-kali aku katakan padamu. Kamu tidak akan mengerti perasaan perempuan, ibu, istri dari suami seperti itu.”
“Ayolah. Jangan kamu sembunyikan sesuatu.”
“Seperti penyair, suamiku seorang yang luar biasa menghidupkan kata. Setiap kali merayu sebelum tidur, perasaanku tak bisa digambarkan karena bila hendak senggama dibisikkannya sesuatu ke telingaku. Kamu tahu apa itu?”
Seperti ada yang menghentikan hidup lelaki itu, otaknya serasa tak berfungsi dan jaringan syarafnya yang asing berdenyut di bawah perutnya. Pelan-pelan dia menggeleng.
“Gergaji!! Seperti ini,” tandas Kunti mempertontonkan benda yang dimaksud dengan menarik barang itu dari balik kain di atas bufet.
Laki-laki itu cepat melompat. Lalu tertawa ngakak. Kunti pun bangkit cekikikan. Tak peduli bila segalanya tak berarti.
“Sungguh,” imbuhnya. “Dia sebut beberapa kali. Kadang-kadang dia juga minta aku duduk di atas kompor.”
Keduanya masih cekikikan. Tanpa baju tanpa celana.
“Untuk apa?” lelaki itu memburu tahu.
“Seperti juga aku, dia ternyata suka sesuatu yang panas.”
Kunti dan lelaki itu makin hebat tertawa. Tidak peduli tetangga. Seperti halnya lelaki itu, sama sekali perempuan Kunti tak menahan diri. Sebelum akhirnya sama-sama membeku. Serasa syaraf otaknya dihantui sebentuk benda penuh gerigi karatan. Persis gergaji.
“Sekarang…” Kunti meledakkan dendam, gairah, nafsu, obsesi dan pelbagai perasaan. “Kamu bisakah bayangkan bila sejak sepuluh tahun lalu bisikan itu tak lagi ada. Bila sejak lebih sepuluh tahun lalu, setiap kali melakukannya, hanya dalam hitungan menit suamiku lalu tertidur mendengkur, telungkup di atas tubuhku.”
Kunti menghunjamkan perasaannya.
Di kepala laki-laki itu, seperti ada bagian tubuh suami Kunti yang hendak di benamkan habis ke dalam rongga tubuh Kunti. Bersamaan itu seperti baru saja ada sebentuk benda tajam bergerigi habis ditanam di leher dia sendiri. Pembunuhan adalah kosa kata yang berdiam di benak lelaki itu.
Kamar gelap, tidak ada sinar matahari sore. Karena itu tidak jelas adakah gerangan darah mengalir atau mengering di sprei.

***

PINTU rumah kontrakan Kunti meledak. Petang itu berbarengan dengan tubuhnya yang terbang tak terkendali, membelah daun pintu. Dengan rambutnya yang tergerai bebas, mengenakan selendang berkeliaran, tubuh Kunti tenggelam dalam sukmanya yang liar. Tubuhnya nyaris lupa bila sedang menggenggam sebilah gergaji.
Di pekarangan itu berkumpul penduduk kampung. Tanpa suara. Mematung dengan sorot mata berkaca-kaca namun nyaris tanpa makna.
“Aku peringatkan kalian, jangan coba ganggu keluargaku! Segala yang terjadi di keluargaku tak seorang pun boleh ikut campur—sekalipun itu tentara. Jangankan untuk menghadapi kalian, mulutku ini bisa pula melebihi kilatan petir. Kalau kalian punya nyali menyebutku perempuan jalang, aku nggak ragu-ragu memperlakukan dagingmu seperti daging anjing. Jangan remehkan aku. Aku katai seperti ini karena aku hanya ingin membalas cara kalian yang melihat keluargaku lebih rendah dari anjing. Apa kamu kira keluargaku makan daging anjing? Aku peringatkan kepada kamu, sayangilah nyawamu. Kamu lihat apa yang kubawa? Kalian mau kurebus daging kalian dengan bumbu kaldu lalu kuhidangkan pada anjing, hueeh? Jawab!”
Kunti mempertontonkan gigi-gigi gergaji setajam taring macan. Demikian akrab tangannya menggenggam. Dia meringis bermaksud memperkenalkan senyum dan gerakan seorang pembunuh berdarah dingin.
“Kalian perlu tahu, sekali saja sorot mataku tak pernah tergelincir dari ujung tiap gigi gergaji yang tajam karatan ini. Itu karena mata-mata jemari tanganku ini tak pernah ada yang menandingi biarpun oleh mata buta seekor kelelawar. Ya, mata jemari ini telah bertahun-tahun terlatih ketangkasannya, tak silau oleh mentari, tak rabun oleh kabut malam dan tak lekang dimakan zaman. Biarpun mata jemari yang telah menumbangkan ratusan pohon di ujung gigi-gigi gergaji tetapi tak pernah sejenak saja lupa mana anyir getah pohon dan amis darah manusia.”
Sepenggal calon korban nyata-nyata lari tunggang langgang membayangkan kengerian. Persis seekor nyamuk sial berhadapan muka dengan pemburu mengokang sebilah tebah.
“Kalau aku mau, jangan dikira aku tidak bisa menghapus matahari. Dengan tanganku ini aku bisa,” perempuan Kunti makin sulit mengendalikan diri.
“Apalagi cuma mengganti tubuh suami yang tamat riwayat. Apalagi cuma mengambil alih peran kepala rumah tangga dari tangan pria yang hitam kulitnya oleh bekas koreng. Enteng!! Kalian tahu jelek-jelek perempuan seperti Kunti ini oleh yang maha hidup dibekali hati dan perasaan tajam. Aku bisa menangis seperti perermpuan lain, tapi tangisku ini seperti jarum-jarum hujan dihempaskan dari langit dan yang ditaburkan ke tengah laut. Jangankan sebatang tubuh manusia atau binatang. Sepercik bayangan hitam atau suara saja, yang terbukti mengganggu, aku tak segan cepat membunuhnya. Kalian bisa pilih, sekali lagi ada yang mengusik manusia Kunti dari kehidupannya di bumi, gergaji ini akan kubenamkan di batang leher kalian. Sebelum kemudian tanganku yang giras ini memotong satu persatu daging tubuh dan mengumpulkan penis kalian untuk campuran sayur rawon dan pelengkap rempeyek kering.
“Ah, tentu kalian mengira perempuan Kunti ini kesurupan. Terserah kalian karena aku sendiri juga tidak pernah mengerti mengapa terjadi seperti ini bahkan setiap hari hingga bertahun-tahun. Seperti kalian juga yang sama-sama punya anak, aku sedikit beruntung bisa bercermin pada diri putraku. Aku selami jiwanya dan aku rasuki otaknya. Aku bisa melihat bagaimana perempuan ibunya ini masuk tak terkendali dalam bagian tubuh Alif Lam, putraku. Entah sadar atau tidak dia kagumi ibunya—kekaguman sorang anak tentu tanpa ucapan terimakasih. Aku terus bercermin dari hari ke hari, dari pagi, siang, petang maupun malam hari. Bahwa bagi Alif Lam, putraku, seperti juga kemauanku sejak melahirkannya, lebih dari sekadar tahu, ibunya adalah sorang ibu yang dinamis, perempuan yang ruang gerakknya demikian leluasa, sekaligus istri yang tak pernah tidur. Begitu dinamisnya, seolah-olah tak ada yang berhenti dalam tubuhku ini seperti halnya semesta dengan ruh hidupku yang tak pernah mati. Inilha ruh hidup dari seorang ksatria yang setia, seonggok daging manusia pembela kebenaran dan keadilan yang dipilih Tuhan untuk mewakili dunia. Dia Berdiri dalam keheningan keluarga dan yang dikirimkan untuk Alif Lam agar mengasihi anak-anak dengan mulut dan dada terbuka.
“Apakah ada yang masih meragukan perempuan Kunti ini kesurupan atau tidak? Di luar rumah saja, orang seperti kalian boleh kesulitan menentukan kebenaran dan keadilan. Di luar sana masih banyak perempuan atau lelaki yang kebingungan mencari arti bagaimana ksatria itu bekerja, hidup dan menghidupi dirinya. Tapi itu semua tidak terjadi dalam rumahku ini. Di tempat ini segalanya itu jadi gamblang, tak perlu diperdebatkan. Kedatangan kalian kemari memang mengganggu aku, tapi aku juga harus berterimakasih kepada kalian karena sudi membuka pagar rumahku meskipun tanpa permisi. Sekarang pulanglah. Hari sudah malam. Malam adalah waktu yang tepat untuk kesempatan mencari jawab siapa sebenarnya di antara kalian semua yang kesurupan. Wajar kalau terjadi ada ayam-ayam kalian yang sulit mencari pintu masuk untuk pulang ke kandang, karena itu perlu diselamatkan. Tapi kalau ini terjadi pada manusia macam kita dan kesulitan mencari jalan pulang untuk bis selamat sampai di rumah, itu berarti malapetaka. Pulanglah! Kalau kalian tetap ngotot mau mencampuri kehidupan pribadi dan keluargaku, apa boleh buat. Kalau kalian memaksaku untuk memberi tahu pintu keluar masuk kehidupanku, datanglah bila aku punya waktu senggang dan akan kutunjukkan, di sini!”
Kunti memegangi kuat-kuat vulva vaginanya. Musik dangdut dari tape recorder di pasang keras-keras.

***

MALAM. Di sebuah ruangan rumah Kunti. Alif Lam mengusik ibunda Kunti.
“Ibu masih muda. Gergaji di tangan itu membuat ibu dianggap bukan lagi manusia. Mengapa ibu nggak buang gergaji itu. Untuk apa ini semua?” pintanya.
“Kamu nggak ngerti bagaimana jadi seorang perempuan seperti ibu. Kamu nggak akan pernah mengerti perasaan seorang istri sampai lebih percaya kepada gergaji daripada kepada suaminya sendiri,” Kunti berkata dengan kelembutan seorang ibu.
“Kalau ibu diam, terang saja nggak akan pernah aku mengerti.”
“Apa mau kamu sekarang, Nak?”
“Ceritakan kepadaku, tentang gergaji itu.”
Kunti mulai menceritakan pada Alif Lam asal muasal gergaji itu.
“Gergaji itu membuat ibu sulit bisa tidur.”
“Kok bisa begitu, Bu?”
“Karena ibu nggak bisa tinggalkan gergaji ini nganggur di tempatnya. Ibu harus kerja. Kerja dan terus kerja. Ibu percaya gergaji ini sahabat ibu yang sanggup ibu pergunakan untuk apa saja, memotong apa saja.”
“Ibu tidak tersiksa?”
“Hanya orang sehat yang tidak punya siksaan. Sepanjang hidup ibu. Ini penyakit yang amat menyiksa.”
“Jujurlah ibu, ada apa sebenarnya?”
“Tanyakan itu pada bapakmu. Sebelum tumbuh dewasa, kamu harus tahu ini. Rahasia apapun telah ibu buka di luar rumah, tapi ibu nggak ingin anaknya sendiri telat mengetahui isi rumahnya,” Kunti tak bisa sembunyikan mata tajamnya.
“Ibu tahu bukan, bapak tidak pernah buka matanya, seperti mata ibu. Bagaimana bisa aku dapat jawaban dari bapak, Bu?”
“Begitulah bapakmu. Bukan bapakmu, jika tidak begitu. Dia selalu tidur sepanjang waktu. Satu-satunya alasan bagi dia untuk bisa bangun cuma menyantap makanan.”
“Kalau cuma makan saja, bapak nggak perlu buka mata, ibu. Mulutnya mengunyah nasi seperti sapi tapi jiwa raganya tidur mendengkur persis babi.”
Kunti terus bercerita. Bahkan lebih menyayat.
“Bapakmu yang tertidur tak pernah bangun sampai usianya di ujung senja, bila parak pagi tiba…
Laki-laki suami Kunti menunggui tungku. Setiap Kunti usai memasaik, laki suaminya itu sebentar bangun menyantap hidangan. Lalu kembali mendengkur. Bangun di siang hari mengisi perut yang kosong, lantas berak terus molor lagi. Bangun lagi di sore hari, makan, kemudian tewas lagi.
Kejengkelan perempuan Kunti menghebat di saat kelakuan lelaki suaminya masih dengan mata tertutup melempar komentar-komentar tak bermutu sampai berbusa di moncong mulutnya. Betapa sakit hati Kunti mendengarnya.
“Itulah sebabnya, mustahil ibu mengurus dapur keluarga tetangga, seperti halnya ketika ibu bicara setiap yang bertamu ke rumahnya selalu dia ingatkan agar tak coba-coba mencampuri bahtera rumah tangga kita. Di rumah ibu percaya gergaji. Siapa tahu di luar banyak cerita tentang istri-istri yang bersahabat dengan kapak, parang, cangkul atau pistol.”
“Maafkan Alif, ibu. Alif belum mengerti maksud ibu.”
“Ibu tidak akan menyalahkan kamu, Nak.”
Pagi selanjutnya, di dapur rumah Kunti.
“Hebatnya, apa yang dialakukan dalam tidur? Sungguh tidur atau bersandiwara? Apa dia mampu terus bermain untuk masa bertahun lamanya semenjak sepuluh tahun silam? Mungkinkah dalam tidur, dia mengeja masa silamnya? Ataukah tidur adalah semacam pil penyembuh sakitnya dalam hidup di dunia yang sebentar ini? Bukankah sesuatu yang mungkin, tidur baginya ibarat perahu yang membuang jangkar ke pinggir pantai, dengan tidur dirinya ingin melucuti pakaiannya yang bernama tanggungjawab itu? Mati surikah?”
“Mana yang betul, Ibu?”
“Semuanya bisa betul. Kamu tahu, tidak ada yang salah dalam hidupnya. Satu-satunya kesalahannya, dia punya mata. Kesalahan kedua, dia punya nyawa. Nyawanya sendiri. Itulah sebabnya, kenapa setiap kali ibu bermaksud membunuh bapakmu selalu gagal. Ibu tak punya hak…”
“Apa maunya ibu?”
“Ibu biarkan bapakmu agar mati sendiri di kasur.”
“Ngak berhasil?”
“Nggak.”
“Kenapa ibu?”
“Justru itu yang membuat ibu sedih.”
“Ibu yakin bapak itu manusia? Bagaimana kalau hantu?”
“Di kampung ini memang banyak hantu. Tapi bapakmu bukan hantu. Buang jauh pikiran kamu itu!”

***

MALAM itu terjadi keributan di pekarangan rumah orangtua Rukbi. Jerit setengah tangis bocah perempuan sahabat Alif Lam itu bertubrukan dengan teriakan bapaknya. Bunyi sepatu sandal yang dilempar persis mengenai daun pintu.
Kegaduhan isak dan jerit tangis berebut nyaring lengking suara adzan isyak di masjid ujung gang.
Rukbi cepat berhamburan keluar. Tanpa sandal. Sebentuk tabungan ia genggam ke luar pintu. Berlari sepanjang gang untuk bertemu di suatu tempat dia membuat janji dengan sahabatnya—Alif Lam.
Sepanjang jalan tak ada suara kecuali suara malam dan sisa tangis perempuan kecil Rukbi. Sesampai di tempat yang dituju, pelang-pelan nyaris berbisik memanggil sahabatnya Alif Lam. Menyusul kemudian bocah itu muncul dari balik tembok bangunan tua.
Disodorkannya sebentuk tabungan itu pada sahabatnya.
“Kenapa menangis?” Alif Lam ragu-ragu buka suara.
“Belilah seragam sekolah dengan ini,” bujuk Rukbi.
“Dimarahi ibumu, ya?”
“Bukan. Bapak,” jawab Rukbi.
“Soal ini?”
“Ya. Tapi ini duitku. Bukan duit bapak.”
“Kamu kerja?”
Rukbi mengangguk. Entah benar atau tidak.
“Kamu seperti ibuku. Bekerja. Tapi ibuku tidak pernah menangis.”
“Apa kerja ibumu?” Rukbi tak kalah polos.
“Ibu tak pernah cerita kamu?”
Gadis cilik itu diam. Lalu tersenyum.
“Bantu ibumu jualan, ya?”
Gadis itu mengangguk. Diusapnya wajah dan airmukanya. Lalu dirangkulnya Alif untuk beranjak pergi.
“Besok cepatlah beli seragam, agar tak dimarahi ibumu.

***

“AKU bisa sekolah lagi. Bisa belajar mengarang lagi di sana. Jangan menangis lagi, ya?”
“Ya. Aku janji,” tandas Rukbi.
“Main ke rumah sebentar mau?”
“Biar kamu nggak dimarahi, ya?”

***

SUATU pagi lelaki menyelinap ke dapur Kunti. Derit engsel pintu kayu dan derak papan terinjak mengagetkan perempuan Kunti yang sedang mengoreng ikan asin.
Dari arah belakang, memunggungi daun pintu laki-laki itu langsung membekap kasar perempuan Kunti.
“Suamimu?”
“Ngorok! Mau apa lagi kemari, ha?”
“Ssstt…Nggraji!”
“Utang kemarin belum kamu bayar. Jangan macam-macam.” Sesuatu membuat Kunti bertindak lebih kasar.
“He, aku kemari juga mau melunasi utang, sialan!”
Sejenak Kunti biarkan tubuhnya diperlakukan bukan seperti perempuan biasa. Utang membuat nyali keperempuanannya cuma setengah badan. Sedikit ia mendongak ke arah bambu, nampak tangannya merogoh syrup jeruk segar dalam bungkus plastik, gelas dan kemudian sedotan bekas. Dibukanya plastik itu dan diseduhnya syrup biarpun dengan air dingin.
Laki-laki itu kian ganas menyerang sekalipun berdiri dekat api panggang.
Kunti pelan-pelan menyedot minuman rasa syrup jeruk segar. Tangan kanannya riang memegang segelas air dingin dan segar. Sebelah kirinya, melumat sebentuk batangan yang hangat, menggenggam kuat dan terjepit sumpek mencari lubang sempit yang terhimpit.
Dua pasang mata mengintip dari balik sisa pintu yang terbuka. Bocah. Dua pasang mata milik Alif Lam dan Rukbi yang mencari jawab pekerjaan Kunti. Di benaknya sama-sama tumbuh perintah Tuhan untuk tidak boleh menyaksikan persetubuhan. Sesuatu telah memaksa keduanya. Dari punggung kedua pasang persetubuhan tak ada pilihan lain kedua bocah menunggu untuk sama-sama melihat dada.
Dengan sesak nafas yang tertahan, kedua bocah yang terbiasa mendengar mulut mendesah atau mengintip dua tubuh yang menumpuk itu sabar menanti.
Kunti dan laki-laki itu saling berputar menukar tempat. Mendadak Rukbi terhenyak. Cepat dia balik badan dan ambil langkah seribu. Disusul kemudian Alif Lam.
“Siapa itu?” lelaki berbisik berat.
“Anakku.”
“Ah, persetan!”
Cuilan ikan asin sisa kucing mengerin di penggorengan.

***

DI UJUNG gang, pagi itu dalam pelarian. Kembali Alif Lam kehilangan. Sebentuk tabungan yang dia genggam jatuh tergelincir dan berguling-guling sebelum akhirnya terjun ke rahang sungai. Dilahap sampah-sampah basah.
Alif Lam kalap. Bocah itu tak peduli. Dia terus mengejar sahabatnya, Rukbi yang melupakan janjinya untuk tidak lagi menangis.
Kian mendekat, persis di punggungnya ditariknya kuat-kuat kemeja gadis cilik itu. Dia terjatuh. Demikian pula dengan Alif Lam. Berguling-guling di tanah. Bertubrukan masih dengan sedu sedan tangis yang liar.
Keduanya duduk berpelukan kasar laiknya tidak seperti anak-anak, untuk beberapa saat. Kekejian terjadi antara dua tubuh bocah itu.
Selama itu Alif Lam memandangi teliti seonggok tubuh tua tidak jauh dari tempatnya. Matanya, rambut putinya. Keriput kulit mukanya, tangannya, dadanya. Ia menikmati sebagai benda yang rusak tak berguna.
Entahlah, lantas bocah lelaki itu mencari sesuatu yang sama sekali tak ia temukan. Jalan. Sekolah. Gedung tinggi. Langit. Bulan. Bintang.
“Kamu masih temanku Alif?”
Alif Lam mengangguk.
“Janji?” desak Rukbi.
“Janji.”
Rukbi menahan bicaranya. Dia sadar pertanyaan ini jadi tidak penting. Dia sadar dirinya juga tak penuhi janji untuk tak lagi menangis.
“Kamu yang ingkar janji,” tandas Alif Lam.
“Maaf. Memang sebaiknya anak kecil seperti kita dilarang berjanji.”
“Apakah kita masih perlu merasa seperti anak-anak, Rukbi?”
Lagi Rukbi dibuat tertegun. Diam-diam suatu keberanian telah tumbuh dalam diri bocah perempuan iu. Barangkali ia kemudian merasa jadi laki-laki.
“Ya. Tumbuh dewasa saat ini atau nanti sama saja.”
“Mungkin kita dicap nakal. Tapi kita merasa jadi pintar.”
“Kalau aku laki-laki, tentu aku berani kasaar pada ibumu. Seperti bapakku memperlakukan ibumu tadi.”
“Itu bapakmu?” Alif Lam tersentak.
Dia jawab pertanyaan Alif Lam itu bersamaan tangisnya yang datang kembali. Tangis itu makin menghebat saat Alif Lam melempar Rukbi dan mendorongnya kuat.
Mendadak emosi Alif Lam menghebat bukan lantaran tangis itu, tapi karena mulai tumbuh benih dendam.
Rupanya, dia betul-betul seperti bukan lagi nak-anak.
Begitu gadis cilik itu roboh, bocah lelaki itu langsung berani memiting, membekap. Rukbi tak berdaya. Sampai diam tak ada perasaan mengiba. Diam-diam pula dia berlajar sesuatu yang sudah biasa.
Bocah laki-laki itu berani menusukkan jari tangannya ke bagian tubuh gadis cilik itu. Tidak ada perasaan apa-apa. Juga iba.
Tak selayaknya keduanya untuk membuat janji.

***

GEMA adzan subuh bergemuruh. Bocah lelaki itu mengendap-endap untuk keluar. Diintipnya tubuh bapaknya yang lelap tertidur. Dia tak peduli, mati dengan darah atau nanah di tanah. Sekalipun mengering campur sisa taiyeng.
Di luar pintu, adzan subuh tertumbuk musik dangdut dari tape recorder murahan.
Alif Lam berjalan cepat ke arah sungai mencari tempat seragam darn celengan yang lama tergelincir di lahap sampah.
Di tepian bibir kali, dilihatnya di tempat jauh langit menguning keemasan. Cahayanya jatuh di permukaan sungai. Di matanya, sinar itu hidup di sana. Berbiak dan pemandangan yang luar biasa kaya bumi ini.
Didengarnya bunyi kencing laki-laki. Ibu-ibu membuang sampah.
Dijumpainya perempuan setengah tua berak di gigir kali, menginjak kayu-kayu menyerupai tangga. Dia intip sebentar. Merasa percuma.
“Sudah apa belum?” teriak Alif Lam.
“Kamu anak kecil, mau berak? Di sini saja di samping saya.”
Alif Lam, bocah itu merasa tidak lagi anak-anak. Girang . Dia merasa berdekatan rapat dengan daging perempuan keemasan.
Sebentar kemudian, Alif Lam menuruni tangga kali. Perasaannya tidak berubah. Menginjak tisu kusut, bungkus kardus, kondom bekas dan plastik-plastik berisi sisa darah janda pengangguran.
Di pinggir kali, tangannya menari, merogoh, mencari seragam dan celengan. Alif Lam tak pedulikan emas-emas yang mengambang di permukaan kali.
Di belahan sisi yang lain, Rukbi menatap sedih wajah langit yang kemerahan. Di balik tempat lainnya, penyair lamat-lamat menyuarakan syair-syair tajamnya.

kepada matahari subuh yang akan menerangi dunia.

lebih lima miliar nyawa manusia telah huni bumi yang menua.
kencing dengan rupa-rupa warna, bau dan mungkin rasa.
bayi, anak-anak, remaja, orang dewasa, kakek nenek, laki perempuan, presiden, menteri, hakim, jaksa, tentara, politikus, profesional, buruh, petani, mahasiswa, domonstran.

Tanpa keluh rela dirinya menampung ribuan kubik liter air kencing menjadi ponten umum bagi mereka. Binatang lain cerita bila bicara. Manusia penghuni ruang angkasa. Seperti halnya, lain pula bila politikus jadi berita.

bagaimana ia kencing
melompat pintu pagar dan melirik jalan
satu-satunya pelajaran terpenting selama kencing di jalan
jadi tahu bagaimana orang miskin

menjadi politikus sebetulnya adalah berjuang melawan kencing.

sayang, betapa politik bagi tuan
ruang meja makan di restoran,
segala menu tersedia tanpa beranjak
pesan demokrasi? Kekerasan? Jalan ke surga? Wanita?
atau mayat?
--------------------

Surabaya, 2005 - 2007

Minggu, 26 Oktober 2008

MAOS-PATI

Nurel Javissyarqi*

Cerita ini terjadi tahun 2000 kalau tidak keliru. Saat itu saya mengajak cerpenis Satmoko Budi Santosa (asli Yogya) dan penyair Marhalim Zaini (asli Riau) ke rumah saya di Lamongan. Tanggal, bulan saat itu seakan terlupakan, sebab masa-masa tersebut, diri tengah menjalani sebuah lelampahan ganjil, lelaku tak logis bagi faham pelajar atau mahasiswa, tapi sangat riel di mata keseimbangan bathin.

Saya mengajak keduanya; SBS & MZ berangkat ke Lamongan, tengah malam berangkat dari kota kami diami sebagai tanah sumber, sumur bagi menimbah keilmuan, Yogyakarta. Keinginannya agar sesampai di ruang tujuan mencapai pepintu fajar pencerahan, hari baru kemungkinan anyar, kesempatan terang serba gemilang bagi mata bening keoptimisan.

Di tengah perjalanan itu, diri berbicara banyak mengenai keelokan daerah saya, yang penuh pengunungan, pohon-pohon pinusnya sebelah utara dekat jalan Pantura, di sana ada dusun Dadapan, penyimpan legenda Yuyu Kangkang dan mbok rondo, Joko Tingkir di desa Pringgoboyo. Di selatannya, gunung Pegat bersegala panorama mistis serta perjuangan anak-anak bangsa atas kegiatan Romusa, Rodi, bukannya Roro Mendut, hehe. Sebelah timur dan utaranya Lamongan sebelum mendekati bengawan Solo, berjajar tambak atas keringat petani padi dari ladang pesawahan awalnya.

Kota tua Babat sebelah baratnya Lamongan, bagi saksi perdagangan masa-masa lalu hingga kini, pasar tradisional yang kalau di Yogyakarta seperti pasar Ngasem, namun sayang, orang-orang Jawa Timur kurang ngurus bangunaan peninggalan sejarah. Tengoklah itu, masak Jembatan Merah Surabaya, penuh nilai perjuangan menjadi kalah dengan JMP, inikan sangat pembodohan, tidak menciptakan kilatan kritis fikiran bagi anak-anak terhormat selanjutnya nanti. Kebanyakan orang Indonesia itu lucu (lupa cucu), tengok itu budaya korupsi, penebangan pohon seperti tak perlu tabungan hari tua.

Juga tak lupa saya ceritakan keindahan Tanjung Kodok, Goa Maharani serta mitosnya di samping sejarah berdirinya Lamongan atas persetujuan para Wali dititahkan kepada Mbah Lamong. Dari beberapa keelokan itulah, saya sesekali bercanda, menyombongkan diri pada kedua teman tersebut, bahwa menjadi pantas di sebuah daerah cantik, lahir seorang penyair, wilayah penuh atmosfir penciptaan serta pergulatan bathinniah kalau memang diniatkan sangat, tak leha-leha lalu distempel jadi seorang gawat, nanti malah bisa darurat, hehe.

Bus kami tumpangi terus melaju ke timur, membelah pesawahan Jawa malam itu, pulau Jawa memang bertanah bencah matang atas pengolahan ribuan tahun silam, subur bagi rumput pepadian mekatak, mbobot menjelma nasi jika ditanak, kalau kelamaan jadi bubur ajur. Malam itu bus melewati jalan raya beraspal klamis, pohon-pohon di pinggiran jalan kami lalui, seakan mendengar kelebatan suara kami yang renya bak kerupuk baru dari penggorengan. Tak lama kemudian memasuki kota Solo, yang terkenal para gadisnya bersebutan putri Solo. Sebagaimana mistis, kecantikan itu daya dorong memasuki keindahan lebih hakiki, rana kelembutan jiwa bagi memijaki rerumputan perasaan kala pencarian jati diri.

Tidak terasa, obrolan terus bergulir seputar saling membesar-besarkan kedaerahan kami masing-masing, masuklah bus menyibak hutan Ngawi, berlika-liku bagai perempuan genit menggoda hati dan malam semakin mantabkan kehitamannya dengan cemerlangkan gemintang di angkasa. Hawa meningkat dingin, sesekali kami terkantuk kelelahan berkisah.

Sebenarnya saya berkeputusan turun di terminal Ngawi, namun karena rasa kantuk tambah memberat dan tersadarkan kala telinga mendengar suara, “Maospati-Maospati,” diri saya tersentrak, berarti kami kebablasaan. Untung kondektur tak meminta uang tambahan sebagai jawaban keteledoran kami. Mungkin juga macam rasa maaf kondektur yang tak membangunkan kami di terminal Ngawi. Lalu diri putuskan berhenti di terminal Maospati. Karena saya senantiasa membaca gerak-gerik, tanda-tanda perjalanan, menyelidiklah diri ke kedalaman hati; kenapa kami harus kebablasan di Maospati? Ada apakah gerangan? Jangan-jangan ini petanda akan hal kematian? Atau, apa yang terjadi?

Kami turun di terminal Maospati, terus mencari warung kopi. Minum kopi itu hal biasa bagi seorang lelaki Jawa Timur dan bagi orang-orang senang begadang. Tapi ini lain ceritanya di Yogyakarta, atau khususnya Gunung Kidul, minuman paling legit dan menjanjikan aroma bukanlah kopi, namun teh bergula batu. Di kota GK, tiap malam warung-warung menyuguhkan wedang teh bergula batu ditambah gorengan. Kalau anda ingin ngincipi suasana berbeda, cakrawala layaknya lukisan-lukisannya H. Harjiman (almarhum) yang kebanyakan berobyek keadaan alam Gunung Kidul, saya sarankan ke sana, biar tidak sekedar minum kopi saja. Kan kalau kebanyakan duduk sambil minum kopi dan terus-terus ngerokok, bisa kembung perutnya, hehe.

Di terminal Maospati, saya bertemu orang aneh; ia seorang pengemudi becak. Anehnya ia seakan bisa membaca apa yang sedang saya kerjakan dan akan diri lakukan. Kalau tidak keliru, bernama Slamet. Nama itu seakan menolong diri dari pengertian Maospati di atas. Ia ibaratkan saya seperti dirinya; ada keterikatan dengan sebangsa burung, macam pralambang perjalanannya kembara. Ia terus berkisah lewat hal-hal berbau mistis dan seakan ngelantur di telinga Satmoko juga Marhalim, sebab kedua teman itu kurang begitu yakin dengan hal bernada ganjil atau jangan-jangan kedua teman itu iri sebab hanya saya yang diramal. Yang menjadi keheranan saya lainnya; ia sering gonti-ganti bahasa daerah; bahasa Madura, Jawa Kuno, Jawa blakraan juga terkadang terkesan seperti resih memberi wejangan ke muridnya. Karena sering berfariasi bahasa dalam runtutan permasalahan, mau tidak mau kalau ingin mengetahui, saya sering kerutkan dahi, menterjemah bahasa-bahasa asing itu bersegala dimensi dan gelombang spiritualitasnya dengan keterbatasan diri saya.

Pak Slamet juga bercerita, rumahnya di lereng gunung, maaf saya lupa, tapi gunung itu salah satu gunung bernama di Jawa; apakah Lawu, Merbabu, Semeru atau apa? Penulis seakan dikaburkan saat ulas balik ini kisah. Ada satu permintaan pak Selamet pada saya malam itu; saya disuruh duduk di atas batu putih di sebrang jalan depan terminal Maospati. Namun diri ragu, olehnya tidak terlaksanakan sebab diri percaya, keraguan itu tentu memiliki alasan, tapi sayang, bantahan tersebut setelah diri selidik beratasdasar malu kepada kedua teman saya, kalau hendak menuruti pak tua ganjil tersebut.

Di hati paling dalam, diri tengah duduk di atas batu yang ditunjuk pak Slamet itu, hingga saya tidak merasa bersalah kepadanya, juga tak malu pada kedua temanku. Waktu menunjukkan jam tigaan, saya naik angkutan pedesaan, bersama kedua teman tersebut menuju balik terminal Ngawi, sebab kebablasan bertemu berkah atas pengajaran-pengajaran pak Slamet. Ada kata-katanya yang sering terngiang begini; Kamu masih enak le, berjalan masih bawa sepatu, waktu itu saya jawab; Ngak pak sama-sama, sepatu saya pakai ini pun sepatu bekas, lalu ia tak meneruskan perkataan.

Ketika saya berpisah darinya, ia memberi misteri senantiasa pada saya dan moga juga diri memberi misteri kepada pak Slamet, itulah bahasa hati di kala itu. Saya jarang sekali menemui seorang yang saya anggap aneh, lalu ingin mendatanginya lagi, saya malah tidak ingin bertemu, sebab kebertemuan kedua, kalau terencana, malah biasanya tidak dapatkan apa, atau sebab diri juga berkeinginan membangun keganjilan lewat hilangkan jejak, meski saya juga terkadang merasa kehilangan dari kehadirannya.

Selepas turun di terminal Ngawi, kami ngimbal naik bus jurusan Bojonegoro, dan keanehan-keanehan pak Slamet terus menghantui saya, dan mungkin perkataan saya, yang terkadang ceplas-ceplos dapat mengingatkan ia atas kepemudaannya yang lain. Diri terus menyelidik atas tanda apa? Kenapa kebablasan di Maospati, sebab ngantuk dan bertemu pak Slamet? Pertanyaan-pertanyaan itu menggelinding, membesar mencari permasalahan, berkebulatan pengertian.

Lalu mulailah saya otak-atik apa itu Maspati. Saya penggal nama itu jadi Maos dan Pati. Kalau tak keliru bahasa Jawa-nya membaca (maos), dan pati (berari ketiadaan atau mati). Terus diri teringat perjalanan di masa-masa lalu. Dalam hati tertanam; Apakah saat ini, diri sudah berada di ambang membaca ketiadaan? Menyinaui sesuatu tidak tertandakan atas kebertemuan materi? Apakah aku disuruh Sang Asih memyimak angin, memadatkan menjelma suatu pengertian inti? Apakah saya disuruh merangkum hawa semesta dalam diri masih belia ini? Apakah kesemestaan itu senyata-nyatanya maujud? Atau sekadar bayang-bayang kertas terbang atas kesalahan koreksi kehidupan?

Maos dan Pati, ya, membaca ketiadaan disekitar, saya kudu makin jeli menyingkap tabir perbendaharaan kata-kata serta warna pelangi hayat. Diri harus berusaha membuka hijab kemungkinan bagi kebaikan alam atau Sastra Jendra Ayuningrat, istilah R.Ng. Ronggowarsito. Namun apakah itu mungkin? Saya terus berjalan, entah sampai kapan? Apakah langklah ini sampai maut menjemput? Atau kata-kata yang pernah saya guratkan ini dan nanti, menggeliat dalam sanubari saudara? Atau segera menguap bersama embun pagi surya? Hanya kehendakNya kuasa atas kebertemaun serta perpisahan. Dan insan yang tangguh sanggup ikhlas, meski itu pahit sepahit wedang kopi kehabisan gula. Atau setawar ampas wedang kopi ditambah air panas kembali.

*)Pengelana, 3 Desembar 2005.

Relevansi Mantiq Al-Tayr Karya Sufi Persia Fariduddin Attar (2)

Abdul Hadi W. M.
http://kompas.co.id/

Farriduddin al-`Attar nama lengkapnya ialah Fariduddin Abu Hamid Muhammad bin Ibrahim, dilahirkan di Nisyapur pada tahun 1142 M dan wafat di kota yang sama pada tahun 1230 M. Menurut cerita sang sufi mati dibunuh oleh tentara Mongol, yang pada tahun 1220 M menyerbu Nisyapur. Dia lebih dikenal sebagai al-`Attar atau `Attar, yang artinya pembuat minyak wangi (parfum) dan obat-obatan (farmasi). Setengah riwayat menceritakan bahwa dia berubah pikiran untuk menjadi seorang sufi setelah mengalami peristiwa ganjil dalam hidupnya.

Pada suatu hari `Attar, bersama-sama seorang rekannya, sedang duduk di depan kedainya. Tiba-tiba datanglah seorang darwis (sufi pengembara) yang melihat ke dalam kedainya. Ketika sang darwis menghirup bau parfum dia menarik nafas panjang dan menangis. `Attar mula-mula berfikir bahwa faqir itu hendak meminta belas kasihan, lalu dia mengusir dari kedainya. Faqir itu kemudian menjawab, “Tidak ada yang dapat menghalang saya untuk meninggalkan tokomu ini. Tak sukar pula bagiku untuk mengucap selamat tinggal kepada dunia yang bobrok ini. Apa yang ada padaku hanyalah jubah bulu domba yang lusuh ini. Tetapi bagaimana dengan kau? Aku sangat kasihan justru pada kau. Bisakah kau mengubah pendirianmu tentang kematian dan bagaimana kau dengan lapang dada mau meninggalkan harta kekayaanmu yang berlimpah ini?”

`Attar terperangah, tetapi kemudian dengan spontan dia menjawab, ”Aku mau hidup sederhana dan karenanya sanggup meninggalkan harta bendaku ini untuk mencari kebenaran. Faqir itu berkata, ”Kuharap kau mau menjadi faqir dan bebas dari belenggu dunia!”. `Attar kembali terkejut, sebab setelah mengucapkan kata-kata itu sang faqir terjatuh dan setelah diperiksa sudah tidak bernyawa lagi. Kejadian ini memberikan pengaruh mendalam kepada `Attar. Selang beberapa hari kemudian dia meninggalkan Nisyapur dan mengembara ke berbagai kota untuk menemui guru-guru tasawuf yang terkemuka pada zaman itu. Sejumlah toko parfum miliknya dia serahkan kepada sanak saudaranya. Banyak guru dia temui, antara lain yang paling banyak memberi bimbingan kerohanian ialah sufi terkemuka Syekh Bukh al-Din.

Selama bertahun-tahun dalam pengembaraannya, `Attar menjalani hidupnya sebagai seorang darwish. Dia akhirnya kembali ke kota kelahirannya dan masa-masa akhir hayatnya sebagai guru kerohanian dan saudagar minyak wangi di kota kelahirannya. Dia bukan saja sukses dan tenar sebagai ahli tasawuf dan sastrawan, tetapi juga sebagai usahawan. Kekayaannya bertambah-tambah, tetapi tidak menyebabkan dia terbelenggu oleh masalah keduniaan. Sebaliknya dengan harta yang diperolehnya dia dapat mendirikan sekolah, pesantren, zawiyah, dan membesarkan gerakan tasawuf yang dipimpinnya. Pada masa ini pulalah karya-karyanya ditulis.

`Attar termasuk penulis yang subur pada zamannya. Dalam karya-karyanya dia banyak mengambil dan menyajikan semula ucapan Nabi Muhammad s.a.w. dan ucapan guru-guru sufi yang masyhur. Hal itu dimaksudkan karena ucapan-ucapan tersebut dapat mengukuhkan keimanan dan aspirasi pembacanya, serta dapat meruntuhkan kesombongan dirinya. `Attar sangat menyukai ucapan-ucapan spiritual para sufi, serta kisah-kisah mereka yang sangat berfaedah untuk pengajaran dan pendidikan akhlaq, sejak pada masa muda lagi. Terlebih-lebih, menurut `Attar, karya-karya yang berkenaan spiritualiti sangat penting ditulis pada zaman di mana dunia dikuasai oleh pemimpin-pemimpin yang jahat, haloba, tidak jujur dan tidak adil. Sedangkan manusia-manusia yang memiliki kearifan dan dapat membimbing manusia di jalan benar telah dilupakan banyak orang.

Di antara karyanya yang masyhur ialah Thadkira al-`Awliya (Anekdot Para Wali), Musibat-Namah (Kitab tentang Bencana), Ilahi-Namah (Kitab Ketuhanan atau Kesucian), Mantiq al-Tayr (Persidangan atau Musyawarah Burung), Asrar-namah (Kitab Rahasia Ketuhanan), dan banyak lagi. Sajak-sajaknya sebagian besar dia dalam bentuk qasidah (pujian), ghazal (sajak cinta) dan ruba`i (sajak empat baris berisi renungan atau pemikiran). Di antara qasidahnya yang terkenal ialah sajak-sajak pujian kepada Nabi Muhammad s.a.w. (madaih al-nabawiya) yang sampai sekarang dinyanyikan dalam perayaan Maulid Nabi Muhammad di negeri-negeri berbahasa Persia.

Mantiq al-Tayr menceritakan.penerbangan burung-burung mencari raja diraja mereka Simurgh yang berada di puncak gunung Qaf yang sangat jauh dari tempat mereka berada. Perjalanan itu dipimpin oleh Hudhud, burung kesayangan Nabi Sulaiman a.s. yang melambangkan guru sufi yang telah mencapai tingkat makrifat yang tinggi. Sedangkan burung-burung melambangkan jiwa atau roh manusia yang gelisah disebabkan kerinduannya kepada Hakekat Ketuhanan. Simurgh sendiri merupakan lambang diri hakiki mereka dan sekaligus lambang hakekat ketuhanan. Perjalanan itu melalui tujuh lembah, yang mrrupakan lambang tahap-tahap perjalanan sufi menuju cinta ilahi. Dalam tiap tahapan (maqam) seorang penempuh jalan akan mengalami keadaan-keadaan jiwa/rohani (ahwal, kata jamak dari hal). Uraian keadaan rohani yang disajikan `Attar menarik karena menggunakan kisah-kisah perumpamaan. Pada akhir cerita `Attar menyatakan bahwa ternyata hanya tiga puluh ekor burung (si-murgh) yang mencapai tujuan, dan Simurgh tidak lain ialah hakekat diri mereka sendiri.

Lembah-lembah yang dilalui para burung itu ialah: Pertama, lembah talab atau pencarian. Di lembah ini banyak kesukaran, rintangan dan godaan dijumpai oleh seorang salik (penempuh jalan) . Untuk mengatasinya seorang salik harus melakukan berbagai ikhtiar besar dan harus mengubah diri sepenuhnya, dengan membalikkan nilai-nilai yang dipegangnya selama ini. Kecintaan pada dunia harus dilepaskan, baru kemudian ia dapat terselamatkan dari bahaya kehancuran diri dan sebagai labanya dapat menyaksikan cahaya kudus Keagungan Ilahi. Hasrat-hasrat murni kita dengan demikian juga akan berlipat ganda. Seseorang yang berhasil mengatasi diri jasmani dan dunia akan dipenuhi kerinduan kepada yang dicintai dan benar-benar mengabdikan diri kepada Kekasihnya. Tidak ada masalah lain baginya kecuali mengejar tujuan murni hidupnya dan dia pun tidak takut kepada naga-naga kehidupan, yaitu hawa nafsunya. Ia tidak mempermasalahkan lagi keimanan dan kekufuran, sebab dia telah berada dalam Cinta. Kata `Attar, “Apabila kau gemar memilih di antara segala sesuatu yang datang dari Tuhan, maka kau bukan penempuh jalan yang baik. Apabila kau suka memandang dirimu sendiri dimuliakan karena memiliki intan dan emas segudang, dan merasa dihinakan karena hanya memiliki setumpuk batu, maka Tuhan tidak akan menyertaimu. Ingatlah, jangan kau sanjung intan dan kau tolak batu, karena keduanya berasal dari Tuhan. Batu yang dilemparkan oleh kekasih yang setia lebih baik dari intan yang dijatuhkan oleh seorang wanita perusak rumah tangga.”

Di lembah pencarian seseorang harus memiliki cinta dan harapan. Dengan cinta dan harapan orang dapat bersabar. Kata `Attar, “Bersabarlah dan berusahalah terus dengan harapan memperoleh petunjuk jalan (hidayah). Kuasailah dirimu dan jangan biarkan kehidupan lahiriah dan jasmaniah menawan serta menyesatkanmu!”
Kedua, lembah Cinta (`isyq). `Attar melambangkan cinta sebagai api yang bernyala terang, sedangkan pikiran sebagai asap yang mengaburkannya. Tetapi cinta sejati dapat menyingkirkan asap. Di sini `Attar mengartikan cinta sebagai penglihatan batin yang terang, sehingga tembus pandang, artinya dapat menembus bentuk-bentuk formal kemudian menyingkap rahasia-rahasia terdalam dari ciptaan. Orang yang cinta tidak memandang segala sesuatu dengan mata pikiran biasa, melainkan dengan mata batin. Hanya dia yang telah teruji dan bebas dari dunia serta kungkungan benda-benda, berpeluang memiliki penglihatan terang. Caranya ialah dengan penyucian diri.

`Attar sendiri mengatakan, “Dia yang menempuh jalan tasawuf hendaknya memiliki seribu hati, sehingga setiap saat ia dapat mengurbankan yang satu tanpa kehilangan yang lain.” Di sini Cinta dikaitkan dengan pengurbanan. Para sufi merujuk kepada kepatuhan Nabi Ismail a.s. kepada perintah Tuhan. yang bersedia dijadikan qurban oleh ayahnya Nabi Ibrahhim. a.s. Peristiwa inilah yang dijadikan landasan upacara Idul Qurban. Kata-kata qurban berasal dari qurb yang berarti hampir atau dekat. Jadi berkurban dalam cinta berarti berusaha memperdekat langkah kita untuk mencapai tujuan, yaitu Cinta Ilahi.

Salah satu ciri cinta sejati ialah dicapainya penglihatan hati yang terang. Dalam keadaan seperti itu seorang sufi memiliki pandangan yang visioner, dan mampu memahami hakekat terdalam kehidupan. Karena dapat melihat dari arah hakekat, maka seorang pencinta dapat memiliki gambaran yang berbeda dari orang lain tentang dunia dan kehidupan Pencinta sejati bebas dari kungkungan bentuk-bentuk lahir. `Attar menuturkan kurang lebih sebagai berikut:

Ketahuilah wahai yang tak pernah diberi tahu!
Di antara pencinta, burung-burung itu telah bebas
Dari kungkungan sangkarnya sebelum ajal mereka tiba
Mereka memiliki perkiraan dan gambaran lain tentang dunia
Mereka memiliki lidah dan tutur yang berbeda pula
Di hadapan Simurgh mereka luluh dan bersimpuh
Mereka mendapat obat demi kesembuhan mereka dari penyakit
Sebab Simurgh mengetahui bahasa sekalian burung

Relevansi Mantiq Al-Tayr Karya Sufi Persia Fariduddin Attar (1)

Abdul Hadi W. M.
http://kompas.co.id/

Alamat apa yang memerlihatkan adanya dunia lain
Di sebalik dunia yang tampak ini?
Perubahan-perubahan besar, terhapusnya masa lalu
Hari baru, malam baru, zaman baru
Dan bahaya-bahaya baru yang mengancam kehidupan
Dalam setiap zaman selalu ada pikiran baru
Kesenangan baru dan juga kekayaan baru
(Jalaluddin Rumi dalam Divan-i Shams Tabriz)

Yang paling dekat adalah Tuhan
Namun sukar dipahami dengan pikiran
Jika bahaya datang mengancam
Baru orang berbondong-bondong cari keselamatan
(Hoelderlin dalam “Patmos”)

DALAM forum ini saya diminta berbicara tentang spiritualitas dalam sastra Islam. Oleh karena pokok berkenaan dengan hal ini sangat luas, saya ingin batasi perbincangan ini dengan membahas salah satu karya sufi yang masyhur, yaitu Mantiq al-Tayr (Musyawarah Burung) karangan seorang sufi Persia terkenal Fariduddin `Attar (1132-1222 M). Hingga sekarang karya sufi dari Nisyapur ini masih jadi perbincangan hangat di kalangan sarjana dan masyarakat sufi internasional, di Timur maupun di Barat, disebabkan relevansinya. Tetapi sebelum itu ada baiknya diuraikan secara ringkas sejarah tasawuf sebagai bentuk spiritualitas Islam dan sumbangan sufi terhadap kesusastraan serta kebudayaan Islam secara umum.

Sebelum memperoleh namanya seperti yang kita kenal sekarang, tasawuf muncul awal mulanya sebagai gerakan sosial keagamaan yang dipelopori oleh ahli zuhud (asketik) pada awal abad ke-2 H. Oleh karena itu gerakan ini disebut juga gerakan kaum asketik, yaitu kelompok orang yang mengutamakan ibadah dan kesalehan sosial dalam menjalankan perintah agama. Di antara tokoh yang dipandang cikal baka kelahirannya ialah ahli zuhud seperti Hasan al-Basri, Makruf al-Karkhi, Rabi’ah al-Adawiyah, Hasan al-Muhasibi, Dhu al-Nun al-Misri, Sumnun, Hasan al-Nuri, dan lain sebagainya. Pada mulanya gerakan ini lahir sebagai protes terhadap kecenderungan pada hedonisme dan materialisme yang meluas dalam masyarakat Islam, terutama yang tinggal di kota-kota besar yang merupakan pusat kegiatan politik dan perdagangan ketika itu seperti Damaskus, Baghdad, Basra, dan lain sebagainya. Tetapi lambat laun, dengan berjalannya waktu dan keterlibatan para tokohnya dalam berbagai pemikiran keagamaan, filsafat dan ilmu pengetahuan, wacana pengetahuan dan pemikiran mereka juga meluas merangkumi berbagai aspek persoalan keagamaan dan sosial budaya.

Pada abad ke-10 – 12 M tasawuf muncul bukan saja sebagai gerakan kerohanian (tariqa) yang mengajarkan disiplin kerohanian dalam mencapai kebenaran. Tetapi juga menjadi disiplin ilmu tersendiri dalam Islam, yang dilandasi pula dengan corak pemikiran filsafat tersendiri pula. Demikianlah tasawuf tidak hanya menjelma sebagai gerakan kerohanian (tariqat) dan gerakan sosial keagamaan, tetapi juga sebagai gerakan ilmu keagamaan dan filsafat. Pada abad ke-13 M, karena banyaknya sufi Arab dan Persia mengekspresikan gagasan dan pengalaman kerohanian mereka dalam puisi dan alegori-alegori mistik yang menarik perhatian pembaca sastra, maka tasawuf pun menjelma menjadi gerakan estetik. Sejak itu sampai abad-abad akhir menjelang munculnya gerakan pembaruan dan munculnya pengaruh Barat dalam masyarakat Muslim, para sufi ini memainkan peranan penting dalam perkembangan sastra di Dunia Islam. Peranan penting mereka ini tidak hanya dapat dilihat dalam sejarah kesusastraan Arab dan Persia, tetapi juga dalam sejarah kesusastraan Turki Usmani, Melayu, Urdu, Sindhi, Swahili, dan lain-lain.

Sebagai cabang dari ilmu-ilmu Islam, ahli-ahli tasawuf yang disebut sufi ini menekankan pembahasan pada masalah-masalah berkenaan dengan dimensi batin atau spiritual ajaran Islam. Keseluruhan ilmu dan filsafat mereka mencakup bidang-bidang seperti metafisika, kosmologi, psikologi kerohanian, epistemologi, etika, filsafat ketuhanan, estetika, puitika, hermeneuitika (ta’wil), dan lain sebagainya. Sebagai disiplin kerohanian sering disebut sebagai ilmu suluk atau ilmu makrifat. Suluk artinya jalan kerohanian, dan orang yang menempuh ilmu suluk disebut salik. Disebut ilmu makrifat karena tujuan mereka mempelajari dan mempraktekkan ilmu suluk ialah mencapai makrifat, yaitu pengenalan masalah ketuhanan secara mendalam. Adapun perkumpulan tempat mereka mempelajari ilmu suluk dan prakteknya disebut tariqa (tarekat), yang sering diartikan juga sebagai persaudaraan sufi.

Kata-kata tasawuf sendiri dibentuk dari tiga kata yang artinya berbeda-beda, tetapi masing-masing memiliki kaitan makna dengan erat dengan kegiatan sufi. Pertama, kata suf yang artinya kain dari bulu domba atau wool. Ini berkaitan dengan kebiasaan para sufi yang awal yang selalu mengenakan baju dari bulu domba yang bersahaja, sebagai lambang kesederhanaan. Kebiasaan yang sama sebelumnya tampak di kalangan rahib-rahib Kristen. Bulu domba juga merupakan lambang pengurbanan diri demi tujuan-tujuan ilahiah. Kedua, kata safi yang artinya dalam bahasa Arab ialah suci. Jalan tasawuf ialah penyucian diri (thadkiya al-nafs), yaitu melenyapkan egonsentrisme atau pamrih indvidual dalam setiap laku sosial dan amal ibadah. Ketiga, kata sophia yang dalam bahasa Yunani artinya kearifan atau kebijaksanaan. Tetapi para sufi memandang bahwa kearifan tidak hanya diperoleh melalui logika dan penalaran akal (rasio), tetapi terutama juga menggunakan metode intuitif dan instrospeksi. Misalnya melalui kontemplasi (muraqabah) dan meditasi (tafakkur). Metode intuitif sering dipadankan dengan cinta, yaitu penyaksian mata hati secara langsung atas kebenaran yang ingin dicapai.

Pengertian-pengertian yang diberikan itu sesuai dengan hakikat tasawuf itu sendiri, yaitu sebagai ilmu yang membicarakan cara-cara terbaik jiwa manusia berhubungan dengan Realitas Tertinggi dan mengenal-Nya secara mendalam. Dalam perjalanan-Nya menapai Yang Haqq itu banyak pengalaman yang ditemui para sufi dan setiap pengalaman itu memberi dampak kepada jiwa sang pencari. Karena itu ilmu tasawuf pada dasarnya membicarakan tahapan-tahapan rohani (maqamat) dan keadaaan-keadaan jiwa (ahwal) yang dialami seorang penempuh ilmu suluk sehingga mencapai makrifat. Begitu pula dengan sastra sufi, yang dipaparkan ialah pengalaman dan gagasan sufi berkenaan dengan tahapan rohani dan keadaan jiwa, yaitu yang dialami secara langsung oleh penulisnya.

Pada abad ke-12 dan 13 M, yaitu masa berkecemuknya Perang Salib dan invansi Mongol, yang menyebabkan hancurnya kekhalifataan Baghdad dan terjadinya diaspora besar-besaran orang Islam; tarekat-tarekat sufi berkembang subur dan pecah ke dalam banyak aliran. Mereka memiliki jaringan-jaringan luas di seantaro Dunia Islam. Terdapat juga tarekat memiliki organisasi sosial keagamaan yang disebut futuwwa dan gilde-gilde (organisasi dagang) yang disebut ta`ifa dengan jaringan-jaringan yang luas pula. Pada masi inilah sastra sufi mulai mencapai puncak kesuburan dan kematangannya, yang terus tumbuh pesat setidak-tidaknya hingga abad ke-19 M. Pada abad ke-20 M sekalipun sebagai gerakan estetik telah terhenti, namun pengaruh sastra sufi dan estetikanya tetap tampak di kalangan penulis-penulis Muslim tertentu. Misalnya dalam karya Mohamad Iqbal, Ahmad Sawqi, Salah Abdul Sabur, Amir Hamzah, Sanusi Pane, Danarto, Kuntowijoyo, dan lain-lain.

Fariduddin `Attar adalah sufi Persia terkenal yang dipandang sebagai pelopor kebangkitan sastra sufi dalam kesusastraan Persia bersama-sama dengan Sana’i. Pengaruhnya sangat besar bukan hanya terhadap pengarang-pengarang sufi Persia seperti Jalaluddin Rumi, tetapi juga bagi penulis fusi di Turki, Asia Tengah, India, kepulauan Melayu, dan lain sebagainya. Dio kepulauan Melayu, pengaruh kepenyairannya tampak dalam karya Hamzah Fansuri, sufi Melayu dari Aceh yang hidup pada abad ke-16 M. Disebabkan relevansinya, terutama Mantiq al-Tayr (Musyawarah Burung), sampai sekarang karya-karya `Attar masih luas diperbincangkan di kalangan msyarakat tasawuf dan dijadikan bahan perbincangan di kalangan sarjana-sarjana Timur dan Barat.

Sabtu, 25 Oktober 2008

BELAJAR MENULIS DARI ADI W GUNAWAN

http://thereogpublishing.blogspot.com/
Sutejo

Adi W Gunawan adalah guru saya. Saya pernah secara ilmiah dapat pelatihan hipnosis dalam upaya pengembangan motivasi untuk sukses. Nah, sekarang apa yang menarik dari pengalaman tokoh ini dalam menulis? Jika kita mencermati dari pengalaman kepenulisan Adi tentunya membuat kita “iri” dan kepingin menirunya. Adi W Gunawan baru menulis buku pada tahun 2003, dan kini sudah belasan buku yang lahir dari tangannya. Rata-rata bestseller. Sementara, saya sendiri sudah menulis itu sejak mahasiswa, kira-kira pada tahun 1988. Tapi mengapa dia lebih berhasil? Inilah yang dapat kita petik dari membaca pengalaman proses kreatifnya sebagaimana dimuat di Matabaca (edisi Desember 2006:38-39).

“Menulis menurut saya pribadi,” akunya, “adalah proses belajar yang tanpa henti, mengembangkan diri ke arah yang lebih baik, aktualisasi diri, dan merupakan sarana efektif untuk menembus berbagai kemungkinan.” Apa yang dapat ditiru? Barangkali beberapa hal berikut (a) menulis itu proses, (b) menulis dapat dipakai untuk pengembangan diri, (c) menulis untuk aktualisasi, dan (d) menulis itu sarana untuk menembus berbagai kemungkinan. Luar biasa!

Keempat hal ini, tentunya, merupakan filosofi kepenulisan yang dapat disisir ke tepi-tepi pantai kepenulisan. Sebuah proses, misalnya, karena menulis adalah sebuah perjalanan panjang dari sebuah pribadi yang tidak dapat ditempuh seperti naik pesawat. Apalagi seperti mi instan, siap saji. Sama sekali bukan. Sebaliknya, menulis adalah proses panjang. Katakanlah, dari proses kesukaan berburu informasi seperti Pak Adi, sehingga pada saat kondisi flow, tinggal memfasilitasi persalinannya. “Ada masa di mana pikiran kreatif begitu aktif bekerja dan menghasilkan buah pikir yang mengalir deras seperti air. Kondisi ini adalah kondisi yang dicari oleh setiap penulis. Kondisi ini disebut dengan flow.” (Matabaca, desember 2006:39)
Sebagian penulis lain bilang, kondisi demikian ini dengan mood. In. Jika terbiasa, bahkan kondisi demikian bisa “diciptakan”. Untuk inilah, maka jika sudah memiliki keinginan besar untuk mengungkapkan pikiran, misalnya, cobalah memfasilitasinya dengan tanpa memikirkan salah atau tidak. Sebab, sebagaimana diungkapkan Adi Gunawan, ternyata menulis adalah untuk mengekspresikan diri.

Jika Adi Gunawan, dalam pengakuannya, hal tersulit yang menyebabkan dia mengalami kesulitan adalah karena dia tidak memiliki pengajar atau guru. Sehingga ia harus menempuhnya, perjalanan kepenulisan itu secara autodidak. Kelebihannya, karena itu, dia tidak terikat pada salah satu style, mengalir untuk mengekspresikan pengalaman yang telah dia tekuni dalam pelatihan-pelatihan. Apa yang menarik? Dari pengalaman empiriklah, materi kepenulisan itu akan sangat mudah mengalir seperti alir sungai yang deras. Bagaimana dengan Anda?

Jika sering saya kemukakan, bahwa menulis itu tidak pandang profesi, artinya apapun dan siapapun kita dapat menulis; maka dalam konteks ini ada baiknya kita coba merenungkan pengalaman perjalanan hidup masing-masing untuk dicoba dituangkan dalam materi kepenulisan. Hasilnya, bisa jadi, luar biasa seperti apa yang dilakukan oleh Adi Gunawan.

Motivasi lain yang dapat dipetik dari pengalaman kepenulisan Adi Gunawan adalah bahwa menulis itu dapat dipakai untuk pengembangan potensi diri. Pengalaman ini, dalam jejak pemikiran tokoh seperti Soekarno, Hatta, dan Soejatmoko, menjadi fakta penguatnya. Bukankah ketiga tokoh ini dikenal kuat pemikiran yang ditransformasikan ke dalam praksis kepemimpinan dan ketokohannya? Di sinilah, maka jika kita ingin mengembangkan potensi profesi dan kemampuan diri, tidak ada cara lain yang paling efektif kecuali menulis. Ulama-ulama besar dalam perjalanan sejarah budaya Islam adalah teladan hidup yang dapat terus digali. Ibnu Duraid, Ibnu Taimiyah, dan lain sebagainya adalah contoh ulama yang menjulang karena kebiasaan baca tulisnya.

Hal lain yang dapat dipetik dari Adi Gunawan, adalah bahwa menulis menjadi sarana aktualisasi diri. Aktualisasi diri yang membantu citra diri, paling tidak, merupakan ukuran intelektualitas seseorang. Kejernihan diri (termasuk dalam berpikir) dapat ditelisik dari tulisan seseorang. Tidak heran, kalau secara sederhana aktualisasi diri (termasuk dalam berbagai peran dan profesi orang) dapat disisir dari cara mereka mengakualisasi dirinya dalam tulisan. Bukankah sesungguhnya, menulis adalah puncak keterampilan hidup seseorang. Banyak orang begitu berat menyelesaikan kesarjanaannya karena tidak mampu mengembangkan kemampuan menulisnya?

Terakhir, menulis dapat memfasilitasi seseorang menembus berbagai kemungkinan hidup. Pengalaman saya, dalam menjalin networking di tanah air, 80% ditentukan oleh pengalaman saya di bidang kepenulisan. Sebab, dalam dunia kepenulisan relasi itu terbangun lintas waktu, lintas tempat, lintas ruang, dan lintas status. Sebuah dunia kejujuran, --yang barangkali—memang tidak ada duanya. Kalau profesi lain penuh intrik dan manipulasi ”politik” maka dunia kepenulisan relatif terhindar darinya. Termasuk, nasib mujur saya dalam memasuki program doktor, bukan karena lamaran saya, tetapi karena pengalaman itu yang memancing orang membantu saya untuk mendapatkan sesuatu yang lebih baik.

Masih ragu? Barangkali, penting bermenung setiap pagi kemudian kita penting bertanya dalam hati (a) mengapa orang lain mampu menulis saya tidak? (b) mengapa mereka begitu mudah merentas jalan hidupnya dibanding saya? dan (c) mengapa orang yang dulu saya lihat ”bodoh”, tidak berpotensi, sekarang mampu melejit jauh meninggalkan saya?

Di sinilah, barangkali kita penting merenungkan ungkapan Henry Miller yang mengatkatan begini, ”we are all creative”. Setiap manusia memiliki daya cipta. Tunggu apa lagi? Bagaimana mewujudkannya? Ada pesan penting dari Gerald Brenan, ”Awali setiap pagimu dengan menulis, itu akan membuatmu jadi seorang penulis!” (Roland Fishman, Creative Writing, 2005:7). Apa yang ditulis? Apa saja. Tentang siapa saja. Untuk apa? Untuk apa saja.

Saya sendiri, sekali lagi, tidak pernah bermimpi jadi penulis. Tetapi, perjalanan dan pergulatan adalah isteri setia yang melahirkan orok-orok yang luar biasa. Mau bukti? Melangkahlah dengan mengawali menulis setiap pagi, setiap bangun tidur, setiap sulit tidur, setiap Anda punya masalah. Tapi ingat, latihlah dengan balutan jernih pikir, sedikit imajinasi, dan kelembutan hati.

Di ujung pelayaran dengan perahu kepenulisan, Anda akan melewati beragam gelombang –kadang-kadang badai--, yang tentunya membutuhkan kearifan nahkoda dalam mengemudikannya. Jangan takut dengan para bajak laut kepenulisan, jangan kuatir Tuhan tidak mengerlingkan pandang pada niat suci Anda. Kayuh perahu kepenulisan itu, dan di ujung pandang (di pantai harapan), Anda akan menemukan ”rumah kedamaian” hidup –yang tidak semua orang mampu memasukinya--. Ingin bukti, berpuluh buku barangkali tak mampu untuk menunjukkan berapa ratus, berapa ribu, dan berapa juta penulis di dunia ini yang telah menikmati. Sebab, sebagaimana di tengah tulisan ini, telah kita pahami bahwa kepenulisan itu adalah lintas waktu. Apa yang akan kita tinggalkan dalam hidup kecuali gading? Dan gading itu hanya bisa bersanding dengan tulisan, bukan harta, bukan rumah mewah, apalagi mobil pribadi yang hanya menjadi manipulasi gengsi.
***

*) Pernah dimuat di Ponorogo Pos

A Musthafa A Rodhi Murtadho A Wahyu Kristianto A. Mustofa Bisri A. Qorib Hidayatullah A. Zakky Zulhazmi A.J. Susmana A.S. Laksana Aang Fatihul Islam Abdul Azis Sukarno Abdul Aziz Rasjid Abdul Hadi W. M. Abdul Kadir Ibrahim Abdul Malik Abdul Wachid BS Abdullah al-Mustofa Abdullah Khusairi Abdurrahman Wahid Abidah El Khalieqy Abimanyu Abimardha Kurniawan Abroorza A. Yusra Acep Iwan Saidi Acep Zamzam Noor Achmad Maulani Adek Alwi Adhi Pandoyo Adrian Ramdani Ady Amar Afrizal Malna Agnes Rita Sulistyawati Aguk Irawan Mn Agus R. Sarjono Agus Riadi Agus Subiyakto Agus Sulton Aguslia Hidayah Ahda Imran Ahm Soleh Ahmad Farid Tuasikal Ahmad Farid Yahya Ahmad Fatoni Ahmad Kekal Hamdani Ahmad Luthfi Ahmad Muchlish Amrin Ahmad Nurhasim Ahmad Sahidah Ahmad Syauqi Sumbawi Ahmad Yulden Erwin Ahmad Zaini Ahmadie Thaha Ahmadun Yosi Herfanda Ainur Rasyid AJ Susmana Ajip Rosidi Akhiriyati Sundari Akhmad Muhaimin Azzet Akhmad Sekhu Alan Woods Alex R. Nainggolan Alexander Aur Alexander G.B. Alfian Dippahatang Ali Audah Ali Rif’an Aliela Alimuddin Alit S. Rini Alunk Estohank Ami Herman Amich Alhumami Amien Wangsitalaja Aming Aminoedhin Aminudin TH Siregar Ammilya Rostika Sari An. Ismanto Anaz Andaru Ratnasari Andhi Setyo Wibowo Andhika Prayoga Andong Buku #3 Andrenaline Katarsis Andri Cahyadi Angela Anies Baswedan Anindita S Thayf Anjrah Lelono Broto Anton Kurnia Anton Sudibyo Anton Wahyudi Anwar Holid Anwar Siswadi Aprinus Salam Arie MP Tamba Arif Hidayat Arif Zulkifli Arti Bumi Intaran Asarpin Asep Sambodja Asvi Warman Adam Awalludin GD Mualif Ayu Utami Azyumardi Azra Babe Derwan Bagja Hidayat Balada Bandung Mawardi Bayu Agustari Adha Beni Setia Benni Setiawan Benny Benke Bentara Budaya Yogyakarta Berita Bernadette Lilia Nova Bernando J. Sujibto Berthold Damshäuser Bhakti Hariani Binhad Nurrohmat Bokor Hutasuhut Bonari Nabonenar Brunel University London Budaya Budhi Setyawan Budi Darma Budi Hutasuhut Budi P. Hatees Budi Winarto Buku Kritik Sastra Buldanul Khuri Bustan Basir Maras Camelia Mafaza Capres dan Cawapres 2019 Catatan Cecep Syamsul Hari Cerpen Chairil Anwar Chamim Kohari Choirul Rikzqa D. Dudu A.R D. Dudu AR D. Zawawi Imron Dahono Fitrianto Dahta Gautama Damanhuri Damar Juniarto Damhuri Muhammad Damiri Mahmud Dantje S Moeis Darju Prasetya Darma Putra Darman Moenir Darmanto Jatman Dedy Tri Riyadi Delvi Yandra Denny JA Denny Mizhar Dewi Anggraeni Dian Basuki Dian Hartati Dian Sukarno Dian Yanuardy Diana AV Sasa Dinar Rahayu Djenar Maesa Ayu Djoko Pitono Djoko Saryono Doddi Ahmad Fauji Dody Kristianto Donny Anggoro Donny Syofyan Dorothea Rosa Herliany Dwi Cipta Dwi Fitria Dwi Pranoto Dwi S. Wibowo Dwicipta Edeng Syamsul Ma’arif Edi Warsidi Edy Firmansyah EH Kartanegara Eka Alam Sari Eka Budianta Eka Kurniawan Eko Darmoko Ellyn Novellin Elnisya Mahendra Emha Ainun Nadjib Emil Amir Engkos Kosnadi Esai Esha Tegar Putra Evan Ys F. Budi Hardiman Fadly Rahman Fahmi Fahrudin Nasrulloh Faisal Kamandobat Fani Ayudea Fariz al-Nizar Faruk HT Fatah Anshori Fatah Yasin Noor Fatkhul Anas Fatkhul Aziz Felix K. Nesi Film Fitri Yani Franditya Utomo Fuska Sani Evani Gabriel Garcia Marquez Gandra Gupta Garna Raditya Gde Artawan Geger Riyanto Gendhotwukir George Soedarsono Esthu Gerakan Surah Buku (GSB) Goenawan Mohamad Grathia Pitaloka Gunawan Budi Susanto Gunawan Tri Atmojo H. Supriono Muslich H.B. Jassin Hadi Napster Halim H.D. Hamberan Syahbana Hamidah Abdurrachman Han Gagas Hardi Hamzah Haris del Hakim Haris Priyatna Hasan Aspahani Hasan Gauk Hasan Junus Hasnan Bachtiar Helvy Tiana Rosa Helwatin Najwa Hendra Junaedi Hendra Makmur Hendriyo Widi Ismanto Hepi Andi Bastoni Heri Latief Heri Listianto Herry Firyansyah Heru Untung Leksono Hikmat Darmawan Hilal Ahmad Hilyatul Auliya Holy Adib Hudan Hidayat Hudan Nur Husnun N Djuraid I Nyoman Suaka Ibnu Rizal Ibnu Rusydi Ibnu Wahyudi IGK Tribana Ignas Kleden Ignatius Haryanto Iksan Basoeky Ilenk Rembulan Ilham khoiri Imam Jazuli Imam Nawawi Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Iman Budi Santosa Imelda Imron Arlado Imron Tohari Indiar Manggara Indira Margareta Indra Darmawan Indra Tjahyadi Indra Tranggono Indrian Koto Ingki Rinaldi Insaf Albert Tarigan Intan Hs Isbedy Stiawan ZS Ismail Amin Ismi Wahid Ivan Haris Iwan Gunadi Jacob Sumardjo Jafar Fakhrurozi Jajang R Kawentar Janual Aidi Javed Paul Syatha Jean-Marie Gustave Le Clezio JJ. Kusni Joko Pinurbo Joko Sandur Joko Widodo Joni Ariadinata Jual Buku Paket Hemat Julika Hasanah Julizar Kasiri Jumari HS Junaidi Jusuf AN Kadir Ruslan Kartika Candra Kasnadi Katrin Bandel Kenedi Nurhan Ketut Yuliarsa KH. Ma'ruf Amin Khaerudin Khalil Zuhdy Lawna Kholilul Rohman Ahmad Komunitas Deo Gratias Komunitas Teater Sekolah Kabupaten Gresik (KOTA SEGER) Korrie Layun Rampan Krisandi Dewi Kritik Sastra Kucing Oren Kuswinarto Langgeng Widodo Lathifa Akmaliyah Latief S. Nugraha Leila S. Chudori Lenah Susianty Leon Agusta Lina Kelana Linda Sarmili Liston P. Siregar Liza Wahyuninto M Shoim Anwar M. Arman A.Z. M. Fadjroel Rachman M. Faizi M. Harya Ramdhoni M. Kasim M. Latief M. Wildan Habibi M. Yoesoef M.D. Atmaja Mahdi Idris Mahmud Jauhari Ali Mahwi Air Tawar Malkan Junaidi Maman S. Mahayana Mardi Luhung Marhalim Zaini Maria hartiningsih Maria Serenada Sinurat Mario F. Lawi Maroeli Simbolon S. Sn Marsus Banjarbarat Marwanto Mas Ruscitadewi Masdharmadji Mashuri Masriadi Mawar Kusuma Wulan Max Arifin Melani Budianta Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia Mezra E. Pellondou Micky Hidayat Mihar Harahap Misbahus Surur Moh Samsul Arifin Moh. Syafari Firdaus Mohamad Asrori Mulky Mohammad Afifuddin Mohammad Fadlul Rahman Muh Kholid A.S. Muh. Muhlisin Muhajir Arifin Muhamad Sulhanudin Muhammad Al-Fayyadl Muhammad Amin Muhammad Azka Fahriza Muhammad Rain Muhammad Subhan Muhammad Yasir Muhammad Zuriat Fadil Muhammadun A.S Muhidin M. Dahlan Musa Ismail Musfi Efrizal Mustafa Ismail Nafi’ah Al-Ma’rab Naskah Teater Nezar Patria Nina Setyawati Nirwan Ahmad Arsuka Nirwan Dewanto Noor H. Dee Noval Maliki Nunuy Nurhayati Nur Haryanto Nurani Soyomukti Nurel Javissyarqi Nurhadi BW Nurudin Octavio Paz Oliviaks Orasi Budaya Akhir Tahun 2018 Pablo Neruda Pamusuk Eneste Panda MT Siallagan Pandu Jakasurya PDS H.B. Jassin Philipus Parera Pradewi Tri Chatami Pramoedya Ananta Toer Pramono Pranita Dewi Pringadi AS Prosa Puisi Puisi Menolak Korupsi PuJa Puji Santosa Puput Amiranti N Purnawan Andra PUstaka puJAngga Putri Utami Putu Fajar Arcana Putu Wijaya Qaris Tajudin R Sutandya Yudha Khaidar R. Sugiarti R. Timur Budi Raja R.N. Bayu Aji Rachmad Djoko Pradopo Radhar Panca Dahana Rahmadi Usman Rahmat Sudirman Rahmat Sularso Nh Rahmat Sutandya Yudhanto Raihul Fadjri Rainer Maria Rilke Raja Ali Haji Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Raudal Tanjung Banua Reiny Dwinanda Remy Sylado Resensi Revolusi Riadi Ngasiran Ribut Wijoto Ridha al Qadri Ridwan Munawwar Rikobidik Riri Riris K. Toha-Sarumpaet Risang Anom Pujayanto Rizky Andriati Pohan Robert Frost Robin Al Kautsar Robin Dos Santos Soares Rodli TL Rofiqi Hasan Rohman Budijanto Romi Febriyanto Saputro Rosihan Anwar RR Miranda Rudy Policarpus Rukardi S Yoga S. Jai S.I. Poeradisastra S.W. Teofani Sabam Siagian Sabrank Suparno Saiful Amin Ghofur Sainul Hermawan Sajak Sakinah Annisa Mariz Salamet Wahedi Salman Rusydie Anwar Samsudin Adlawi Sapardi Djoko Damono Sartika Dian Nuraini Sastra Sastra Gerilyawan Sastri Sunarti Satmoko Budi Santoso Saut Situmorang Sejarah Sekolah Literasi Gratis (SLG) SelaSastra SelaSastra ke #24 Selasih Seno Gumira Ajidarma Seno Joko Suyono Sergi Sutanto Shadiqin Sudirman Shiny.ane el’poesya Sidik Nugroho Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Simo Sungelebak Karanggeneng Lamongan Siti Sa’adah Sitok Srengenge Siwi Dwi Saputro Sjifa Amori Sofyan RH. Zaid Soni Farid Maulana Sony Prasetyotomo Sosiawan Leak Sri Wintala Achmad Sri Wulan Rujiati Mulyadi Subhan SD Suci Ayu Latifah Sulaiman Djaya Sulistiyo Suparno Sunaryo Broto Sunaryono Basuki Ks Sungatno Sunlie Thomas Alexander Sunudyantoro Suriali Andi Kustomo Suryadi Suryansyah Suryanto Sastroatmodjo Susi Ivvaty Susianna Susilowati Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Suwardi Endraswara Syaifuddin Gani Syaiful Bahri Syam Sdp Syarif Hidayatullah Tajuddin Noor Ganie Tammalele Tan Malaka Taufik Ikram Jamil Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat Teguh Trianton Tengsoe Tjahjono Th Pudjo Widijanto Thayeb Loh Angen Theresia Purbandini Tia Setiadi Tito Sianipar Tiya Hapitiawati Tjahjono Widarmanto Tjahjono Widijanto Toko Buku Murah PUstaka puJAngga Tosa Poetra Tri Joko Susilo Triyanto Triwikromo Tu-ngang Iskandar Udo Z. Karzi Uly Giznawati Umar Fauzi Umar Kayam Undri Uniawati Universitas Indonesia UU Hamidy Vyan Tashwirul Afkar W Haryanto W.S. Rendra Wahyudin Wannofri Samry Warung Boenga Ketjil Waskiti G Sasongko Wawan Eko Yulianto Wawancara Web Warouw Wijang Wharek Wiko Antoni Wina Bojonegoro Wira Apri Pratiwi Wiratmo Soekito Wishnubroto Widarso Wiwik Hastuti Wiwik Hidayati Wong Wing King WS Rendra Xu Xi (Sussy Komala) Y. Thendra BP Y. Wibowo Yani Arifin Sholikin Yesi Devisa Yohanes Sehandi Yona Primadesi Yosi M. Giri Yusi Avianto Pareanom Yusri Fajar Yusrizal KW Yuval Noah Harari Yuyu AN Krisna Zaki Zubaidi Zalfeni Wimra Zawawi Se Zehan Zareez Zen Hae Zhaenal Fanani Zuarman Ahmad Zulfikar Akbar Zulhasril Nasir