Sabtu, 27 September 2008

Ucu Sam

Minggu Pagi,Juli 2002,Riau Mandiri, 20 April 2003
Marhalim Zaini

Ucu Sam mengamuk. Kebun karet seluas satu hektar dekat sungai Rambai itu, dini hari tadi habis dilahap api. Seperti orang kesetanan, Ucu Sam berteriak-teriak sambil mengacungkan parang panjang ke sekeliling kampung. Tak pelak, subuh yang biasanya damai dengan kicau burung murai, kini seperti dihantam badai. Orang-orang yang bersiap-siap berangkat ke batang karet untuk menunaikan rutinitas, tiba-tiba harus dikejutkan dengan suara petirnya Ucu Sam.

“Pukimak! Ini pasti ulah bule bedebah itu! Betul cakapku dulu, pasti budak-budak yang sok pandai tu telah mulai berani buat rusuh, telah berani membawa penjajah ke kampung kita ni. Tengoklah, kebun karetku satu-satunya telah mereka bakar. Mereka kira aku ni bengal, tak tahu menahu tentang politik kotor mereka tu. Pukimak! Mentang-mentang aku tak sekolah, mereka seenaknya nak menukar kebun karet aku tu dengan janji-janji busuk mereka tu. Oi…ke sinilah! Kubabat batang leher kalian…!”

Ucu Sam kalap. Matanya gelap. Lalu jatuh terjerembab.
Dalam waktu sekejap, orang-orang telah berkumpul di ujung kampung, di sebuah rumah panggung reot beratap rumbia. Matahari yang berangsur merangkaki celah-celah pohon kelapa yang berbaris, mulai menelusup ke celah jendela papan dan menyirami wajah Ucu Sam yang terbaring di tengah rumah. Seraut wajah keriput, dengan garis-garis jelas dan keras, legam dan penuh bekas jilatan matahari. Lelaki berumur mendekati satu abad, yang masa tuanya tak ditemani siapa pun. Ia sebatang kara sejak istrinya meninggal dan enam orang anaknya pergi dan tak pernah kembali. Ia sendiri tak tahu, kenapa semua anaknya satu persatu pergi dan tak kembali. Padahal ia merasa tak pernah mengusir mereka dari rumah. Tak pernah pula rasanya ia berkata-kata kasar kepada mereka, apalagi dengan sengaja menyinggung perasaan mereka. Meskipun demikian biarlah, ia tak pernah mengutuk anak-anaknya itu sebagai pendurhaka, sebab ia sadar bahwa setiap orang berhak menentukan jalan hidupnya masing-masing. Lagi pula, seekor burung Tiung dalam sangkar yang tergantung di teras depan rumah, masih tetap setia setiap pagi memanggil-manggil, “Ucu Sam Abahku…Ucu Sam Abahku….”

Sampai matahari naik sepenggalah, Ucu Sam belum juga sadarkan diri. Orang-orang bingung. Lurah, ketua RW, ketua RT dan semua perangkat desa yang hadir, hanya bisa menunggu. Sementara mantri Warno, satu-satunya tukang suntik di kampung itu, tampak tak berkutik menghadapi Ucu Sam. Tapi, yang pasti Ucu Sam masih bernafas. Itu artinya, masih ada harapan ia akan terjaga. Walau tak tahu, kapan saatnya.

”Ucu Sam mengalami defresi berat, ia sebaiknya kita bawa ke rumah sakit di kabupaten.” Mantri Warno nyeletuk sambil membenahi peralatannya.
Semua orang semakin bingung. Kalau saja Ucu Sam dibawa ke kabupaten yang jaraknya 83 kilometer itu, tentunya harus ada yang menanggung biaya dan semua kebutuhannya. Apalagi membawa orang sekarat di atas jalan penuh lubang dengan oplet tua satu-satunya milik Wak Karman, bukanlah hal yang mudah. Sementara Ucu Sam sendiri, selama ini tak pernah bertegur sapa dengan siapapun di kampung itu. Ucu Sam dikenal sebagai lelaki tua yang menyendiri, introvert. Apalagi dalam kondisi ekonomi kampung yang teruk, tentu tak mungkin ada yang berani berkorban hanya untuk seorang Ucu Sam.

“Sudahlah. Ucu Sam tu cuma pingsan saja, paling satu atau dua jam lagi bangunlah dia.” Kata si Bujang, pemuda kampung.
“Mungkin juga dia tu kemasukan hantu galah. Bolehlah kita panggilkan bomo Hasan di kampung sebelah!” usul yang lain.
“Atau jangan-jangan penunggu kebun karet Ucu Sam yang terbakar tu, mengamuk, dan masuk ke dalam tubuh Ucu Sam!” seru yang lain pula.
“Ya, benar juga tu…” sambut suara-suara yang lain.

Mantri Warno hanya geleng-geleng kepala. Tentu, setelah selama belasan tahun dia mengabdi, ia tahu benar bagaimana fikiran mayoritas masyarakat kampung itu. Meskipun ada juga yang sudah berfikiran agak maju, itu pun sebagian kecil, dan tentunya takkan mampu mempengaruhi sebuah faham yang turun-temurun menjadi kepercayaan yang telah mengakar dalam kehidupan masyarakat, seolah-olah telah menjadi semacam ideologi.

Kini bomo Hasan telah beraksi. Dengan berharap-harap cemas semua orang memperhatikan aktivitas Bomo Hasan. Bau asap kemenyan memenuhi ruangan. Daun-daun ramuan ditabur ke tubuh Ucu Sam. Semburan air sirih berkali-kali keluar dari mulut bomo Hasan ke wajah Ucu Sam. Jampa-jampi terdengar mendengung di telinga. Sungguh, waktu seketika terbius oleh suasana mistis.

Entah pada hitungan semburan air sirih ke berapa, tiba-tiba mata Ucu Sam terbuka, dan seketika itu juga ia memaki dengan lantang, “Pukimaaaaaak!” Semua orang tersentak, termasuk bomo Hasan. Apalagi mantri Warno yang sejak tadi hanya mengeleng-gelengkan kepala, dahinya berkerut seakan tak percaya.

Ucu Sam perlahan bangkit, dan duduk bersandar di tiang jati tengah rumah. Matanya kosong. Tubuhnya lunglai. Bibirnya berkomat-kamit, tapi tak bersuara. Orang-orang pun tak berani bersuara. Ucu Sam seperti bicara dengan dirinya sendiri. Orang-orang pun hanya berani bicara dalam hati. Lama Ucu Sam begitu. Orang-orang pun mulai gelisah, tapi tak satupun yang berani mengungkapkan kegelisahan dengan kata-kata. Orang-orang hanya saling pandang, bertanya lewat isyarat mata. Tapi jawaban hampir serupa, menggelengkan kepala.

Tapi tiba-tiba saja burung Tiung memecah kebekuan, “Ucu Sam Abahku…Ucu Sam Abahku….” Ucu Sam seperti tersadar, tapi tak mampu beranjak. Kini matanya membelalak. Nafasnya berpacu. Kedua tangannya mengepal. Ia kembali berteriak, ”Bedebah. Kalian penjajah. Kalian nak usir kami dari sini. Kalian nak rampas hidup kami. Tak cukupkah kekayaan kami yang kalian jual buat kenyang perut kalian sendiri. Tak sudahkah derita kami selama ini. Sekarang kalian nak bunuh kami pelan-pelan. Kalian bakar kebun karet kami dengan api dengki. Hati kalian telah mati!”

Orang-orangpun tersentak. Orang-orang tak paham kenapa Ucu Sam memakai kata kami, padahal yang terbakar hanya kebun karet milik Ucu Sam. Siapakah kalian yang dimaksud Ucu Sam? Kalaulah yang dimaksud kalian itu adalah orang-orang kampung, sepertinya tak satupun orang kampung yang pernah mengusir Ucu Sam, merampas hidup Ucu Sam, menjual kekayaan Ucu Sam. Dan tak pernah terniat di hati orang kampung untuk membunuh Ucu Sam secara perlahan. Lagi pula apalah gunanya membunuh Ucu Sam yang sudah dekat dengan pintu kubur itu. Wah, kejam sekali Ucu Sam menuduh orang kampung hatinya telah mati.

“Kalian memang haram jadah. Kalian kira kami tak tahu akal bulus kalian tu. Kalian cakap datang nak bertamu, tapi diam-diam kalian curi isi periuk kami. Tengoklah sekarang dapur kami tak lagi berasap. Anak-anak kami jadi pendatang haram di negeri orang, jadi kuli di negeri sendiri. Sementara kalian sibuk makan darah dan minum keringat kami. Oi, awas kalian, takkan selamat hidup kalian..!”

Orang-orang semakin bingung, dan seperti mulai terbawa emosi. Betapa tidak, setelah dimaki tak tentu ujung pangkalnya, kini Ucu Sam mulai menuduh yang bukan-bukan. Kalau tentang pendatang haram, mungkin orang-orang agak maklum, sebab bisa dikata semua anak laki-laki setamat Sekolah Dasar, paling tinggi tamat SMP, telah ikut tongkang Wak Birin ke Malaysia, bekerja secara illegal, Imigran Gelap kata orang kota. Tapi itukan namanya mereka berdikari. Daripada nganggur jadi preman simpang di kampung, lebih baik ke Malaysia cari untung. Paling tidak cari bekal buat berumah tangga, sekaligus bisa bantu orang tua. Yang jadi kuli di negeri sendiri pun banyak juga. Tapi, apakah Ucu Sam tak salah cakap bahwa orang-orang makan darah dan minum keringat sendiri?

Wak Loyang yang sejak tadi diam di sudut dekat pintu, lama-lama tak senang hati juga mendengar perkataan Ucu Sam yang tak tentu arah itu, “Ucu Sam, awak tu kalau cakap elok-eloklah sikit. Kampung kita ni kampung beradat, ada petatah-petitih kalau nak selamat. Apalagi awak tu sama tuanya dengan usia kampung ini, sama putihnya rambut di kepala kita!”

Tapi, Ucu Sam malah tertawa. Tawanya seperti orang geli kalau perutnya ditusuk-tusuk pakai jari. Wak Loyang tentu semakin panas hatinya. Tampak gigi Wak Loyang gemeretak menahan geram. Namun, sebelum Wak Loyang membuka mulutnya, Ucu Sam telah lebih dulu meracau. “Kalian memang pandai bersilat lidah. Sebab yang tak bertulang memang mudah melenggang. Dengan begitu, semua tipu dianggap madu. Kita ni, dianggap bengang, tak sepadan dengan rambut yang dah beruban.”

“Ucu Sam! Jangan gara-gara nila setitik rusak susu sebelanga!” seru Wak Loyang dengan berkacak pinggang di tengah pintu. Tapi belum sempat Wak Loyang menyambung kalimatnya, sebuah suara dari jauh memanggil-manggil nama Wak Loyang. Semua orang memandang siapa yang datang.

“Wak Loyang……Wak Loyang……” rupanya si Atan. Ia terengah-engah seperti dikejar setan.
“Ada apa Tan?” orang-orang tak sabar menanti kabar.
“Kenapa kau Tan?” Wak Loyang menggoyang bahu Atan.
“Anu Wak, anu…” Atan tergagap.
“Apa Tan?”
“Kebun karet Wak Loyang…”
“Kenapa kebun karetku?”
“Ter…ter…terbakar!”

Seperti disambar petir, tubuh Wak Loyang gemetar. Ia berlari melebihi dikejar setan. Orang-orang pun segera berlari mengikuti Wak Loyang. Siapa tahu, masih ada sepetak sisa kebun karet yang masih bisa diselamatkan. Tapi, mungkinkah memadamkan api yang mengamuk dengan jiwa yang remuk?

Senja kembali datang, menutup lembaran siang. Semburat merah, menyala di mata Ucu Sam. Ia masih bersandar di tiang jati. Mulutnya masih berkomat-komit. Tapi kini ia sendiri. Tak ada lagi yang sudi menemani.

Sorot matanya nyalang, memandang sisa asap kebun karet yang terbakar di langit malam. Memandang waktu yang segera menghilang dan segera pula datang. Ia sadar, umurnya takkan panjang. Ia tak mungkin bisa menyaksikan barisan pabrik di sepanjang tepian sungai. Ia tak mungkin dapat mendengar dan melihat kapal-kapal dari segala penjuru dunia berlabuh di sepanjang pantai. Ia pun tak pernah berharap akan bertemu dengan anak-anaknya. Sebab ia sangat tahu anak-anaknya pasti sangat sibuk melayani para pendatang dan meraup keuntungan di atas bekas kebun karet yang ter(di)bakar. Ia hanya berharap, semoga kelak anak-anaknya tak didustai (bukan didurhakai) oleh anak-anak mereka sendiri. Sebab, ia sangat tahu betapa tidak nikmatnya hidup dalam sejarah yang berulang. Ah, setelah ini entah kebun karet siapa lagi yang terbakar. Entah, hati siapa lagi yang terbakar.

“Ucu Sam Abahku……Ucu Sam Abahku……”

Riau-Yogyakarta, Maret 2002

Jumat, 26 September 2008

Bangkit, Bung!

Bernando J. Sujibto

Tanpa dinyana sebuah momen bersejarah yang telah menjadi titik tolak kemerdekaan bangsa ini, Indonesia, sudah di depan mata. Tepat 20 Mei 1908 silam, atas nama kemanusiaan dan kesadaran kebangkitan yang kuat pemuda Boedi Oetomo berkumpul di Yogyakarta dan membahas persoalan kebangsaan yang tergadai, pecah, dan lumpuh di bawah kolonial. Bagaimana bayangan Anda ketika coba memejamkan mata dan masuk ke tengah masa kelabu masa silam? Pada masa itu tidak ada Indonesia; cuma ada Jawa, Sumatera, Borneo, Bugis, Madura dll. Di tengah kondisi demikian, perkumpulan pemuda (kalau sekarang saya konotasikan pemuda adalah mahasiswa) yang datang dari berbagai latarbelakang itu menghasilkan embrio untuk masa depannya. Dan kita merasakan itu sekarang! Apakah Anda merasakan (menyadari) semua (?).

Pada masa itu sangat sederhana, tapi kuat dengan gelora semangat. Kualitas pemuda–pemuda yang hendak bertekad itu biasa-biasa saja. Memang, masa itu tidak ada yang bisa diistimewakan jika dibanding dengan kaum muda era ini. Tetapi, mengapa masa itu begitu penting? Dan sekarang kaum muda (mahasiwa) tidak mampu menemukan, lalu melakukan pekerjaan sesederhana itu, atau meskipun hanya sekedar meneruskan (atau menjaga) spiritnya saja kita tidak mampu? Ya saya akui, generasi muda kita memang sedang penyakitan, kena inamnesia.

Sebagai bukti, jika perkumpulan plus diskusi yang mereka lakukan melahirkan nasionalisme, apakah diskusi, demo, dan negosiasi yang kita lakukan juga telah melahirkan spirit yang setara? Bung, renungkan ini: bahwa kita berdiri di atas luka-darah-merah-sejarah yang tak mudah dan murah. Para pejuang negeri ini (nenek moyang kita yang putih tulangnya itu) semakin keras tangisnya ketika kemerdekaan yang mereka perjuangkan tidak dihargai begitu saja. Para pejuang itu tidak butuh dihargai dengan perayaan-perayaan atau upacara konyol dan hampa. Mereka hanya berteriak: bangun dan bangkitkan Indonesia! Sementara kita sekian lama telah merapuhkannya. Jadi, Indonesia bukan nbanun dan bangkit tetapi meratap sepanjang waktu. Masalah bangsa silih berganti memupus masa depan bangsa ini. Teman, apa langkahmu?

Pendekatan budaya hingga lahir kesadaran ‘menjadi satu bangsa’ dilakukan pemuda-pemuda dalam menggalang rasa kebangsaan yang berlandaskan kepada pola budaya tradisional. Jika mencermati secara seksama, kelahiran BO dilatarbelakangi oleh kesadaran budaya sebagai wujud dari kebanggaan terhadap tradisi dan warisan budaya yang ditinggalkan oleh nenek moyang mereka. Awalnya Radjiman menyebarkan isu tentang ‘kejayaan Jawa’ yang membangkitkan rasa nasionalisme masyarakat Jawa. Sebagaimana disinyalir Robert Van Niel dalam tulisannya berjudul The Course of Indonesian History, pada awalnya tujuan mendirikan BO adalah mengembangkan kebudayaan Jawa (to promote Javanese cultural ideals). Tetapi pada gilirannya langkah BO telah menggugah spirit nasionalisme kepada semua rakyat Indonesia yang terkapar di wabah penjajah Belanda waktu itu.

Langkah BO menjadi manifestasi kebangkitan kesadaran terhadap kebudayaan selanjutnya. Di berbagai daerah muncul semacam perkumpulan yang kembali menjunjung kearifan budaya lokal. Di Sumatera ada Sanusi Pane dan Muahmmad Yamin yang bergabung dalam barisan "pelawanan budaya". Di daerah lain juga muncul bemacam jargon: "identitas nasional", seperti disuarakan Soekarno, dan "kepribadian nasional" dengan maksud melanjutkan dan mewujudkan cita-cita yang telah digagas oleh BO.

Demi mengokohkan keyakinan dan spirit masyarakat Jawa tentang kebudayaannya, pada kongres BO tahun 1908 Radjiman mengatakan bahwa "orang Jawa tidak mungkin menjadi orang Belanda". "Provokasi" ini menjadi awal membuka kesadaran bagi orang Jawa untuk menggalang rasa kebersamaan atas nama Bangsa Indonesia.

Bangun
Memang tidak baik meratapi. Yang baik adalah merefleksi (rereflection) dan instropeksi. Dalam salah satu refleksi kritisnya tentang masa depan bangsa Romo Y.B. Mangunwijaya, seorang budayawan dan "abdi" (baca: pejuang) masyarakat kecil, menuliskan ihwal tahun-tahun simbolis yang musti diperhatikan generasi muda Indonesia dewasa ini, yaitu 2008, 2028, dan 2045 (1999, 7). Romo Mangun menyebut tahun-tahun di atas bukan sebuah omong kosong. Karena bagi yang sadar sejarah, simbol angka di atas, khususnya 2028 dan 2045, adalah titik tolak bagi bangsa Indonesia bisa terbebas dari "ketakutan-ketakutan" akibat penjajahan. Setidaknya, dua tahun itu (1928 dan 1945) telah melahirkan spirit Indonesia baru yang gemilang!

Hasil renungan tajam dan mendalam Romo Mangun tersebut adalah kado spesial buat generasi muda demi menyongsong tahun 2045, di mana Indonesia memasuki seabad HUT kemerdekaan yang diimpikan Romo Mangun kita dapat memiliki negara dan masyarakat hukum yang bersih dan dapat dibanggakan, bebas dari ketakutan. 2045 memang masih jauh. Tetapi jika tahun-tahun berlalu tanpa nyana (tidak ada langkah konkrit dari kita buat masa depan bangsa yang cerah), di tahun 2045 cita-cita almarhum di atas bisa saja kandas karena Indonesia sudah tidak ada lagi.

Ironis memang ketika dalam praktiknya kita menemukan banyak kenaifan yang paradoksal yang terus merundung perjalanan bangsa ini. Ketakutan-ketakutan tidak pernah terbebas dari bangsa Indonesia. Setiap saat kita selalu disuguhi realitas yang menakutkan dan mengancam tekad kebangsa-negaraan kita yang multi-etnis, multi-budaya, dan multi-agama. Baik itu berupa konflik etnis yang tidak pernah reda; perseteruan paham tentang agama yang tiba-tiba mencuat, ataupun bentuk-bentuk lain yang acap menjadi momok terhadap stabilitas keindoneniaan kita.

Ketika Indonesia dirundung luka murung semacam itu, maka mustahil cita-cita kemerdekaan yang sebenarnya yang telah menjadi tekad founding fathers kita bisa tergapai. Tahun 2008 sudah didicicipi, tetapi kenyataan berbicara lain. Beberapa jajak pendapat dan laporan yang dirilis banyak media mapun lembaga independen yang kompeten menyatakan bahwa pertumbuhan dalam semua sektor tidak seperti yang diinginkan. Semua seperti berjalan di tempat. Untuk tahun 2008 ini, cita-cita tentang masyarakat hukum yang bersih seolah tidak akan berubah selama sistem dan watak yang dimainkan tetap seperti sediakala.

Peran generasi muda pada hari yang dinilai bersejarah bagi bangsa, 28 Oktober 1928, mempunyai satu kesimpulan dan pertalian mata rantai peristiwa bahwa aksi massa yang pernah dimainkan generasi Boedi Oetomo 1908, generasi Sumpah Pemuda 1928, generasi Proklamasi Kemerdekaan 1945, masing-masing adalah periode dimana posisi pemuda menjadi justifikasi atas persoalan riil bangsa dan lingkungan sekitarnya. Peran positif yang disumbangkan generasi muda dalam Sumpah Pemuda dijadikan sebagai langkah awal (starting point) bagi generasi muda dalam penyatuan langkah menuju kehidupan bermasyarakat yang bersatu dan bermartabat. Aksentuasinya tentulah pada kesamaan landasan berpijak bagi normalisasi kehidupan bermasyarakat yang damai sejahtera, yang melintasi batas-batas entitas etnis dan agama, seperti telah dibuktikan generasi tahun awal.

Kehadiran generasi muda, sebagaimana disinggung Taufik Abdullah, bukan semata-mata gejala demografis, tetapi juga sosiologis dan historis. Ia memandang generasi muda tidak gisi sebuah episode generasi baru dalam sebuah komunitas masyarakat, tetapi merupakan subjek potensial bagi sebuah perubahan pada komunitas itu sendiri. Di tangan kitalah masa depan bangsa dan negara Indonesia.

Tokoh-tokoh pemuda yang telah menjadi bagian dari kemerdekaan Indonesia seperti Mohammad Yamin (Jong Sumatranen Bond), Amir Syarifuddin (Jong Batak), Senduk (Jong Celebes), J. Leimena (Jong Ambon), adalah peserta-peserta aktif dalam melahirkan Sumpah Pemuda. Peran dan peranan mereka pada masa awal kemerdekaan adalah menjadi harapan dan tumpuan sepenuhnya kemerdekaan bangsa ini.

Mengingat kembali tragedi dan penderitaan masa lalu sama dengan mengoyak luka lama dan membubuhkan garam ke dalamnya. Akan tetapi, Th. Adorno mengatakan bahwa ingatan kolektif akan penderitaan justru merupakan sebuah keharusan imperatif. Bukan saja agar kekejaman sebagai sebuah tragedi historis itu tidak boleh terulang kembali, akan tetapi lebih dari itu ingatan kolektif justru menjadi sebuah jalan sejarah pembebasan dan sarana emansipatoris. Ingatan kolektif itu berkaitan erat dengan kerinduan, kegelisahan, dan harapan akan masa depan yang lebih baik.
Memaknai

Sebuah bangsa terbangun dari ‘anggitan-angggitan’, kata Goenawan Muhamad, atau dalam terma Benedict Adderson sebuah bangsa adalah imaged commmunity. Bayangan-bayangan yang berpendar dari latar belakang kemanusian yang multi itu kemudian membentuk sebuah bangunan kesatupahaman dan kesaturasaan yang menganggit sebuah bangsa dengan tambal nasionalisme. Bayangan ini sangat tepat untuk Indonesia, sebuah negara-bangsa (nation-state) yang terbanguhn dari kekompakan budaya.

Karena aneka ragam sokongan budaya dan agama yang telah membentuk keutuhan negeri ini maka satu hal yang tidak boleh dilupkan adalah potensi dan basik kedaerahhan yang kita puntai sendiri. Di tengah pencaharian identitas nasionalisem yang sedang marak ini, apresiasi terahadp kekyaan lokal adalah sebentuk realitas yang dengan sendirinya mengejwantahkan sporot nasionalime itu.

Sutan Takdir Alisjahbana di masa mudanya pernah mengatakan bahwa wujud nasionalisme bagi bangsa Indonesia adalah dengan apresiasi dan penghargaan yang dominan bagi kebudayaann daerahnya masing-masing. Mencermati dinamika kebudayaan ini, menarik mengutip Fuaf Hassan, bahwa dinamika kebudayaan bukan merupakan proses singkir-menyingkirkan apa yang lama dan kemudian menggantinya dengan yang baru.

Dinamika kebudayaan merupakan penjelmaan dari pertentangan antara dua daya, yaitu daya pelestarian (preservative) dan pengembangan (progressive). Dengan demikian kita perlu mencurahkan perhatian ihwal kebudayaan, yaitu mana yang perlu dilestarikan dan bagian mana yang perlu dimajukan. Kecerobohan kita terbukti di sini. Masyarakat berambisi bagaimana kebudayaan kita harus dimajukan semua demi menyelaraskan dengan perkembangan zaman.
Memaknai Indonesia adalah memaknai lokalitas itu sendiri. Karena konsep Indonesia adalah konsep yang abstrak sebelum kita memahami konsep konkrit kedaerahan yang kita punyai.

Salam.... Bangkit.....

Minggu, 21 September 2008

Klandestin Setengah Hati

http://www.jawapos.com/
Judul Buku: Dalih Pembunuhan Massal
Penulis: John Rossa
Penerjemah: Hersri Setiawan
Penerbit: Institut Sejarah Sosial Indonesia dan Hasta Mitra
Cetakan : I, 2008
Tebal: xxiv+392 Halaman
Peresensi: Muhidin M. Dahlan*

Inilah misteri sejarah yang paling dinamik yang diulik banyak orang sampai kini: Gerakan 30 September (G 30 S). Sebab ia tak semata persoalan ''kup'' politik, melainkan juga berkait peristiwa sesudahnya: pembunuhan masal dan asasinasi total atas seluruh gerakan kiri di Indonesia. Dalam hal ini PKI dan seluruh aliansinya, termasuk pendukung setia Soekarno.

Buku yang disusun John Rossa ini mesti kita beri rak terhormat dalam tumpukan kepustakaan G 30 S. Ia tak saja menumbangkan banyak analisis sebelumnya yang selalu mencari siapa dalang sesungguhnya dari peristiwa G 30 S itu (PKI, Soekarno, Angkatan Darat, Soeharto, CIA); tapi ia menjalin kembali cerita baru yang segar dari serakan data yang membuat kita terhenyak. Betapa tidak, buku yang disusun laiknya roman detektif ini berkesimpulan bahwa G 30 S adalah gerakan militer paling ngawur dan iseng, klandestin setengah hati, dan sama sekali tak direncanakan secara matang. Tapi akibat yang ditimbulkan luar biasa parah. Ia dijadikan kelompok ''militer kanan'' sebagai dalih pembantaian masal yang sungguh tak terperikan.

Bagi sejarawan University of British Columbia, Vancouver, Kanada, ini, tak ada dalang utama yang mengerjakan proyek mengerikan itu. Yang ada adalah siapa yang paling diuntungkan setelah kejadian tersebut, ketika pada 1965 konfigurasi kekuatan politik tinggal dua kutub: PKI dan Angkatan Darat, di mana bandulnya ada pada Presiden Soekarno.

Gerak pertama yang coba dilakukan Rossa adalah mempertanyakan seluruh analisis dan kesimpulan dari buku-buku yang sudah ada. Dengan gaya laiknya pakar forensik, ia membedah kembali dokumen Jenderal Pardjo yang disebut Rossa sebagai ''sumber utama paling kaya serta paling bisa dipercaya'', selain karena ia memang tokoh inti dalam G 30 S. Hasilnya, gerakan putsch itu dipimpin Sjam. Fakta ''baru'' ini sekaligus menggugurkan pendapat Benedict Anderson dan Harold Crouch yang berpendapat bahwa gerakan itu dipimpin perwira-perwira militer yang berperan penting (Untung, Latief, Soejono, Soepardjo).

Dengan petunjuk itu, Rossa mengejar identitas Kamaruzaman (Sjam) dan menemukan bahwa orang itu bawahan setia Aidit selama 15 tahun -- kesimpulan ini sekaligus menampik spekulasi Wertheim dalam Indonesia's Hidden History bahwa Sjam adalah intel militer yang ditanam di tubuh PKI. Sjam adalah orang Biro Chusus yang dibentuk Aidit di luar ketentuan konstitusi partai. Tugasnya untuk mendekati militer dan bertanggung jawab semata kepada Aidit. Jadi wajar kalau kemudian anggota Politbiro dan Comite Central tak mengetahui secara detail kerja-kerja klandestin Biro Chusus ini.

Jika pun PKI terlibat, tulis Rossa, dua orang inilah yang mesti bertanggung jawab. Rossa percaya kepada kesimpulan Iskandar Subekti --panitera dan arsiparis Politbiro-- bahwa G 30 S bukan buatan PKI, dalam hal ini yang memikirkan, merencanakan, dan memutuskan. Sebab jika ia merupakan gerakan PKI, atau gerakan yang ''didalangi'' PKI, mestinya ia dibicarakan dan diputuskan badan pimpinan partai tertinggi, yaitu Comitie Central dengan jumlah anggota 85 orang, dan hal itu tak pernah dilakukan. Gerakan ini hanya diketahui beberapa gelintir orang dalam partai yang disebut Soekarno sebagai ''oknum-oknum PKI yang keblinger''.

Jika Aidit melakukan gerakan ''mendahului'' atas musuh utamanya (Angkatan Darat), apa alasannya? Aidit sangat insyaf bahwa partainya akan habis jika berhadapan muka dengan Angkatan Darat lantaran anggotanya nyaris tak bersenjata. Jalan klandestin yang diambilnya dengan bekerja sama dengan perwira-perwira dalam tubuh Angkatan Darat sendiri dimaksudkan untuk menyelamatkan warga partai dari amukan bedil tentara.

Lagi pula Aidit mulai gelisah, bagaimana partai yang kian hari kian membesar ini tak menemukan arena bermain yang demokratis, yakni pemilu. Soekarno pun tak menunjukkan tanda-tanda akan menyelenggarakan pesta demokrasi itu yang dijadwalkan akan dilangsungkan pada 1959. Alih-alih pemilu, yang muncul justru Dekrit Presiden 5 Juli 1959 yang membubarkan parlemen dan disponsori Angkatan Darat pimpinan Jenderal Nasution.

Dalam hitungan PKI, jika pemilu dilakukan pastilah mereka akan keluar sebagai juara. Sementara pimpinan teras Angkatan Darat dan sekutunya (AS) ketar-ketir melihat kerumunan besar semut-semut merah di jalanan. Tapi mereka tak berani melakukan tindakan mendahului karena berdasarkan pengalaman, semua tindakan mendahului akan kalah, seperti kudeta gagal Nasution pada 17 Oktober 1952.

Tapi rencana itu menyelimpang. Operasi G 30 S dilakukan dengan tergesa-gesa. Digerakkan secara militer memang, tapi dengan cara ngawur. Sebagai seorang militer berdisiplin, Soepardjo, misalnya, 3 hari sebelum operasi, berkali-kali menanyakan bagaimana kesiapan pasukan dari Jawa Barat. Tapi selalu dijawab Sjam dengan murka dan mencerca para pembimbang sebagai pengecut.

Pada hari ''H'', kesalahan terjadi beruntun. Pasukan yang menculik Nasution salah masuk rumah dan salah tangkap, karena mereka tak mengadakan ''gladi resik'' sebelumnya. Pasukan yang didatangkan dari Jawa Tengah dan ditugaskan ''mengamankan'' Istana di Monas akhirnya bergabung kembali dengan Kostrad lantaran perut keroncongan. Perempuan-perempuan yang ditugasi membuka dapur umum tak datang.

Pembunuhan para jenderal pun di luar skenario. Mestinya adalah: ''Tangkap. Jangan sampai ada yang lolos''. Tapi betapa kagetnya Omar Dani setelah tahu bahwa para jenderal dibunuh atas komando langsung dari Sjam. Saat itu Dani langsung berfirasat akan terjadi malapetaka besar. Apalagi disusul ketaksetujuan Soekarno atas gerakan ini yang membikin kalap penggeraknya. Sementara janji Sjam bahwa G 30 S disokong jutaan masa PKI yang akan turun ke jalan tak pernah ada karena memang cuma khayalan Sjam. Jutaan anggota PKI itu tak mendapatkan informasi yang jelas soal putsch.

Dan, inilah yang ditunggu-tunggu Angkatan Darat yang dibantu oleh CIA Amerika, biarkan lawan mendahului untuk menjadi dalih bumi-hangus. Di titimangsa ini Rossa tetap kukuh membantah spekulasi bahwa Angkatan Darat dan Amerika yang menjadi pengendali utama peristiwa ini. Termasuk spekulasi naif yang mengatakan Soeharto adalah otaknya.

Gerakan ini tetap berasal dari Aidit, Biro Chusus, dan sekelompok perwira dan dirancang untuk berhasil. Ia gagal bukan karena dirancang untuk gagal, tapi karena diorganisasi dengan cara sangat buruk; sementara Angkatan Darat sudah mempersiapkan pukulan balik jauh sebelumnya. Mereka dilatih, dipersenjatai, dan didanai oleh Dewan Keamanan Nasional (NSC, National Security Council) Amerika Serikat sejak 1957.

Peristiwa putsch ini hanya dijadikan dalih Angkatan Darat untuk menghancurkan seluruh gerakan kiri di Indonesia. Karena PKI lah yang jadi batu sandung terkuat menghalangi perwira-perwira seperti Nasution yang --meminjam ungkapan politikus veteran Sjahrir-- memendam ''cita-cita militeristik dan fasis'' untuk pemerintahan Indonesia. Kekuatan kiri ini juga yang jadi batu sandung berkuasanya modal asing Amerika.

Karena itu, Rossa menegaskan, bahwa sebetulnya Soeharto tak peduli siapa organisator G 30 S ini karena memang tak penting. Mahmilub yang dia dirikan juga bukan untuk mencari kebenaran, tapi manipulasi dan prasyarat formal belaka.

Momentum ini sudah ditunggu lama untuk menghantam PKI dan memakzulkan Soekarno. Maka langsung saja Soeharto menyerang PKI secara menyeluruh setelah empat hari kejadian, sambil pura-pura melindungi Soekarno yang sampai wafatnya tak sepatah kata pun menyebut PKI sebagai pengkhianat dalam peristiwa dengan skala kecil seperti G 30 S ini.

Angkatan Darat melancarkan gaya black letter (surat kaleng) dan ''operasi media''. Pelbagai bukti direkayasa untuk memperlihatkan kebencian atas orang-orang PKI, seperti kemaluan para jenderal disilet-silet Gerwani. Dengan agregasi dan modal kampanye hitam itu pasukan elite Angkatan Darat (Kostrad) kemudian terjun ke daerah-daerah dan memompa hasrat warga sipil untuk buas membunuh sesamanya.

Buku ini dengan terang membantu membaca silang-sengkarut interpretasi sekaligus membongkar hayat-sadar kita akan pengeramatan peristiwa G 30 S di mana justru menghapus ingatan akan peristiwa yang luar biasa jahatnya setelahnya, yakni pembunuhan masal yang tak terperikan. (*)

*)Kerani di Indonesia Buku (I:BOEKOE) dan penulis buku Lekra Tak Membakar Buku (2008).

Jumat, 19 September 2008

Membela Kaum Miskin Tabah Bencana

Judul Buku : Kagum Pada Orang Indonesia
Penulis : Emha Ainun Nadjib
Penerbit : Progress
Cetakan : I, Januari 2008
Tebal : 56 Halaman
Peresensi : A. Qorib Hidayatullah*

Meski banyak orang pesemis pada bangsa Indonesia, Emha Ainun Nadjib (akrab di panggil “Cak Nun”) malah merayakan optimisme bergelimang harap. Tahun 1998, penyair Taufik Ismail menggarit puisi “Malu (Aku) Jadi Orang Indonesia”, sedang Cak Nun pada 2008 menggubah buku “Kagum Pada Orang Indonesia”. Wujud filantropi budayawan, Cak Nun, mengipasi bara ketegaran rakyat saat centang perenang dan banjir problem tiba.

Cak Nun, --budayawan kelahiran Jombang Jatim itu--, terlihat sangat gigih meninggikan anten kepekaannya akan penderitaan masyarakat miskin tabah bencana. Ia menghayati betul tamsil yang diukir Elie Wiesel, novelis peraih Nobel Perdamaian dalam memoar Night (1958): “Pada saat Adam dan Hawa mengkhianati-Mu, Tuhan, Kau usir mereka dari Taman Firdaus. Saat dikecewakan generasi Nabi Nuh, Kau datangkan air bah. Saat kota Sodom dan Gomorah tak lagi menjadi kesayangan-Mu, Kau buat langit memuntahkan kutukan hujan api. Tapi lihatlah para korban yang nasibnya bagai beras sedang diayak dan ditampi ini. Mereka bersimpuh dihadapan-Mu. Mereka memuji kebesaran-Mu.”

Buku ini, Kagum Pada Orang Indonesia, merupakan kumpulan sembilan esai panjang Cak Nun yang sebelumnya sempat nangkring di beberapa koran. Lewat buku ini pulalah, Cak Nun, membesarkan hati rakyat Indonesia yang kini temukan rona kemurungannya. Betapa rakyat saat ini sukar memiliki zona untuk tentram, damai, serta makmur sejahtera. Rakyat kerap ketiban sial, kiriman bencana atau musibah tak henti-henti menghantam kehidupan rakyat Indonesia baru-baru ini.

Renungan Bencana
Bangsa Indonesia memanglah bangsa yang hidup dinegeri kaya akan bencana alam. Aceh, Nias, dan Pengandaran digulung Tsunami. Yogyakarta dan Klaten diterjang gempa. Sidoarjo direndam bencana korporasi-birokratik lumpur panas Lapindo tak usai-usai. Halmahera diguncang gunung meletus. Kalimantan Timur dan Sulawesi Barat disapu banjir bandang justru dimusim kemarau sedang menggila diseantero wilayah Nusantara. Sumatera Barat, Bengkulu, Jambi, Mentawai, dan Blitung, tak lepas disatroni lindu. Hingga kawasan Tapal Kuda (pantai utara Jawa), Situbondo dan Bondowoso pun diterjang banjir bandang pekan silam.

Ditengah keporakporandaan puing-puing bangunan yang melibas, dan hamparan ketakpastian yang harus dijalani para masyarakat korban, tugas manusia antar sesama, bagaimana ia mampu menarasikan penderitaan yang ditempa oleh masyarakat korban. Memberi wujud narasi penyelesaian sehingga mengurangi kesedihan masyarakat korban. Setiap narasi mesti temukan alur akhir. Mengakhiri kesedihan rakyat korban bencana dengan ketegaran dan kebahagiaan.

Alam sendiri bukanlah makhluk hidup yang bisa memperbaiki kerusakan sel-sel dalam tubuh. Tersirat dalam al-Qur’an bahwa, kerusakan alam juga tak lepas sebab ulah tangan jahil manusia. Dengan begitu, manusia yang hidup diatas permukaan bumi yang harus mencegah agar daya rusak ekologi tak semakin parah.

Disinilah pemantik kesadaran Cak Nun, dia langsung terjun mengadvokasi masyarakat korban di lapangan. Lewat mengisi acara pengajian yang diadakan di wilayah-wilayah korban, iapun berseru kepada masyarakat agar tegar hadapi bencana. Cak Nun siap bersama rakyat melawan bila ada pihak-pihak yang mengail di air keruh berbisnis penderitaan manusia.

Wujud optimisme Cak Nun: “Kendati Indonesia terus-menerus dihantam bencana (kaya bencana), bangsa inipun memiliki berkah turah kekayaan alam melimpah ruah. Semuanya ada di bumi pertiwi ini. Tak ada bangsa di dunia yang kewajiban rasa syukurnya kepada Tuhan melebihi bangsa Indonesia.” Hal itu tentu tak lepas, sebab rahmat, kasih sayang, perhatian, dan berkah Tuhanlah yang menganugerahkan kepada bangsa Indonesia jauh melebihi bangsa-bangsa manapun di dunia. Tapi untuk saat ini, kekayaan Indonesia dihabisi oleh persekongkolan elite politik dan birokrasi bangsa untuk kepentingan pribadi.

Ironi, bangsa (Indonesia) bergelimang kekayaan, namun rakyat masih didera kemiskinan kritis. Manusia Indonesia sudah miskin, ditambah lagi tak henti-henti digilas oleh bencana dahsyat. Sungguh kompleks derita rakyat Indonesia bila hingga kini masih belum mampu melepaskan kerangkeng tragika hidup miskin yang padat bencana. Ditengarai kesigapan pemerintah dalam penanganan bencana, bila status bencana dinaikkan menjadi bencana nasional. Bukankah meski satu korban pun, perlu kita bantu selekas mungkin?

Peluang harap datang, saat kita dapat memaknai aforisma ‘Jasagen’ Nietzsche --filsuf yang membuka pintu gerbang posmodernisme itu--, “Meski hidup bisa menjadi sangat sulit, mengecewakan dan bikin gila, satu-satunya jalan adalah terus mengatakan “ya” kepada apa yang menggerakkan jiwa”. Nietzsche hendak menampik sejarah kegagalan yang membikin manusia bertekuk lutut menyerah pada nasib.

Guna mendapat empati masyarakat luas atas kondisi masyarakat miskin tabah bencana, Cak Nun lewat bukunya ini berseru mirip Rabindranat Tagore: “Bukalah mata tuan dan lihatlah. Di mana petani meluku tanah yang keras. Di mana pembuat jalan memecah batu. Disitulah Tuhan. Tuhan bersama petani dan kuli berpanas dan berhujan. Turunlah ke tanah berdebu itu, seperti Dia. Beranjaklah dari samadi dan hentikan nyala setanggi. Meski pakaian tuan usang dan kotor. Cari dan tolonglah dia dalam bekerja, dengan keringat di kening tuan”.

Buku ini berbasis menggugah ruh filantropi (filos ‘cinta’, antropos ‘kemanusiaan’), berwujud cinta kasih akan kemanusian. Membacanya, membikin nurani terketuk hendak lekas berbuat sesuatu terhadap kaum miskin tabah bencana. Tak cukup hanya meratap sedih bila mendapati kaum miskin tabah tuna daya digempur bencana.

Sajak-Sajak Mashuri

Khidr 1

: perburuan

Seperti musa, aku pun tertumbuk hal ihwal indera: kulit yang masih sakit ketika dicambuk, mata yang perih ketika disiram lendir jeruk, juga bibir yang tak bisa diam ketika ada sinyal yang merajam lubuk kalbu; kaki hatiku masih saja berlari dari nyeri ke nyeri; tapi aku ingin bertemu dirimu, menjadi tamu dalam tabir yang selalu mengundang para fakir untuk mengalir, di ruang tamumu, Khidr…

Dengan bekal peta yang terwarta dari ayat-ayat tua, aku memburumu di ruang-simpang sekaligus temu; ruang antara kali dan laut, antara api dan maut; tapi awamku selalu batu; batu yang tak bisa diam saat ritus rajam melabuh: aku pun bergemuruh.

Kita bertemu…

Tapi isyarat yang kau humbalangkan ke indera, kembali aku maknai sebagai manusia; aku pun terjungkal dan terus saja melipat angan dan akal; perburuanku padamu hanyalah sekat yang membuat kita tak pernah bersua di satu meja, dalam sebuah perjamuan yang kau janjikan di ujung altar: “Kau pasti tak bisa bersabar, kau pasti ingkar”

Seperti musa, aku pun tersia di ujung rahasia; aku terbakar!

Surabaya, 2007



Khidr 2

: amputasi kepala

Akulah murid yang telah menancapkan lidi ke mata, lalu memenggal kepala dan menyerahkan kepadamu; tapi kepercayaanku pada dunia masih juga penuh, kesangsianku pada jalan-jalan kesunyian pun semakin menubuh; lalu apa yang bisa aku pasu dari diri yang palsu, apa yang bisa aku timba dari usia yang tersia dalam waktu

Aku ingat kalijaga, orang tua itu, ketika ia menunggu di tepi alir berharap dirimu nan hadir; ia ‘lah dermakan hidup dan diri di jalan sunyi tanpa riak dan geletar, sedangkan aku masih saja berkisar antara liang penuh onak dan pusar; haruskah aku menyapih diri lalu menyulut kemenyan, wangi, sebagai sesaji dari hati yang tertambat di alir yang kau naungi

Dari penggalan kepalaku, aku masih juga sempat mendengar bibirku bernyanyi, bahkan pinggulku memutar memintak ombak dan gelombang; lalu apa yang bisa aku harapkan dari diri yang tak pernah sampai di lubuk sepi, yang tak pernah bisa mengecup inti api yang telah kau semai di jejak-jejakku, yang selalu gusar dalam sunyi…

Surabaya, 2007



Patigeni

pada hari ketiga pengasinganku dari cahya, dinding-dinding kamar begitu cepat melebar dan menyempit; aku seperti roti panggang yang dibolak-balik: diperlonggar dan dihimpit; kulitku seakan dilepas dari urat-dagingku, nyali dan hatiku berantakan, tersekat di ruang-ruang di luar diriku

uap arak tua menyeruak paru-paru, kerongkonganku dicekik tangan-tangan raksasa; aku merasa mataku berloncatan ke lantai, ke dinding, ranjang, juga atap-atap, juga ke sebalik bulu dan rambut yang tumbuh dengan lebat; aku mencuri pandang di kegelapan ---aku saksikan dadaku bergetar, tanganku melambai dalam kulai, bibirku mencipta tebing yang tersungging dari senyum tak pasti, karena aku pun tak bisa memilah: “sungguhkan aku berduka atau bersuka… ,“ kerna maut telah jelma pisau terbang mencari mangsa; maut yang membuatku karib sekaligus takut, maut yang entah di mana hulu dan muaranya yang kelepaknya bak sayap-sayap kelelawar menggetarkan malam

aku saksikan berpuluh kanak-kanak dirantai, lalu dibantai; kepalanya menggelinding memenuhi ruang heningku; aku melihat berjuta pria dikebiri; jeritnya membuat kaktus, hatiku hangus; aku melihat beratus wanita ditusuk bawuknya; getar tertahannya menderakan bilur biru di dada; aku juga menyaksikan berjuta-juta manusia berkulit lebam di panggang di bawah terik, tapi terus dihardik sebagai budak…

aku saksikan begitu banyak terngkorak berjejalan di goa bawah tanah, aku saksikan… telingaku pun mendengar suara pekik, seperti gemuruh, seperti aum, seperti suara cicak, seperti suara angin, seperti suara gobang yang ditebaskan ke leher, aku mendengar seperti suaraku sendiri yang tiba-tiba lantang, berteriak: ‘cukup!”

setelah itu, mataku terbuka; tak ada damar di kamar; senja sepertinya begitu lekas berguling ke malam

begitu aku ke luar kamar, aku saksikan bintang-bintang bersinar; ternyata malam masih gelap, ternyata dunia demikian senyap

Surabaya, 2008

Rabu, 03 September 2008

TAMBUR TAFFAKUR

KRT. Suryanto Sastroatmodjo

Demikianlah pada mulanya, bahwa tatapan mata yang mengurai kesemestaan adalah telah lebih jauh melewati rimba larangan, dan selanjutnya tanpa dihantui siapapun, meneruskan perlintasan ke arah barat. Kita mengunci bisik-dingin sang bayu, di kala ketukan-ketukan yang menghampir sudah teramat berderap dan kemudian menderu, semirip dengan taufan pada kemarau garang.

Spada! Aku uluk-salam kepada para leluhur, kepada para karuhun, kepada sang hambaureksa, yang senantiasa perkasa dan menindih keletihan diri sendiri, untuk sampai kepada nirwanaloka. Aku intai lubang-lubang kunci dari langkah yang keduapuluhsatu dari regol pertama, dan baru kutahu: tiada seorang pun menunggu pisowanku. Wahai, kalau tiada keliru, bukankah aku menuju ke Seri Manganti?, tempat para priyagung menunggu sinewaka Daulat Gusti Maharaja? Bukankah aku layak buat mengacungkan tangan untuk meminta para dhayoh seba puri, agar menyusun sembahan jemari, menghaturkan suatu persembahan?

Surat ini kutulis, mbakyu Wardhani – tepat pada harijadimu, selikur April tahun tujuh-tujuh, dan baru kali ini, rasanya segar-bugar sekali ingatanku buat melayangkan warkah yang memplak bertengadah. Kukira mbakyu Wardhani akan sangat bersyukur, jika teringat, betapa dunia ikut bertempik-sorak bersama parak siang yang memangku bangunmu dari tidur sekarang. Ya, mbakyu, sesungguhnya kita tak pernah meninggalkan kubu yang sama. Belum sepuluh tahun terbisikkan kehendak bersimpang-jalan. Sudut kanan dan sudut kiri yang mengawali kunjungan kangen yang menghentak-hentak, memanglah kudu ditempuh karena pada hakekatnya kita takkan rela kehilangan matahari, yang memiliki kadar ‘sembur-sinar’ begitu cerah. Hingga kalau tangan merangkai gubahan, belum pernah tilas tumingalnya Sang Bagaskara itu meninggalkan daku seorang diri. Aku dilingkungi kelonggaran dan kesantaian di kala memperkatakan tentang guyub yang dirindukan. Aku diterangi kelangutan tatkala bersanding dengan kaca-kaca-benggala yang tiada hentinya melukiskan kridha-yudha dari mancanegara, dan alangkah dahsyatnya itu!

Mbakyu Wardhani, sudah pantaskah jika layang kusampaikan ke haribaanmu, lamin dirimu ditangsuli oleh seribusatu permohonan-bantuan dari orang-orang yang kehilangan masadepan? Pada tanganmu, lengkaplah pagut-kasih dari pribadi-pribadi yang berdegup-damba. Bocah yang kehilangan rangkulan sayang dan kaum sepuh yang telah dilemparkan dari dunia-damai, menuju ladang sepetak. Biarlah titik embun yang mengalir dari matamu, dan kuyup-hujan yang tercurah dari jemarimu sanggup mendinginkan unggun dan bara di pedalaman jantung. Moga dirimu mampu menanggulangi serbuan jelus dan dendam-kesumat yang mungkin terlahir dari berbagai sosok yang mempertanyakan saham-juangmu semasa pergolakan.

Mbakyu, Revolusi tak bisa berjalan sendiri, dan tak bisa dipacu oleh limpah-goyahnya si sebatangkara. Ia hanya sanggup meledak karena picu-picunya ditarik oleh beberapa kekuatan yang saling berhadapan. Kau jangan tersaruk, jangan terantuk gundukan semacam ini. Pabila musik-sumber-hayatmu masih berdawai tulus, kuharapkan gesekan dari tanganmu menyelenggarakan simfoni termerdu. Dengarlah!

Sedemikian lebar jangkah-jumangkah bisa ditentukan oleh pengawal maslahat yang menjalani lebuh-raya yang nampak di sana. Namun sedemikian lebar pula mbakyu Wardhani mesti memasang pasak demi pasak, agar supaya Irama Zaman mengikuti, mentaati, mengimbangi. Seandai dalam tugasnya nanti, mbakyu merasakan kesebalan dan perih tiada terkira, cobalah menimang gatra-gatra Mawas-diri. Di perbincangan penuh nuansa itu, niscaya tertinggal sepercik ampunan jua!

Mbakyu Wardhani nan penyabar.
Kemudian, kuingatkan kembali kepada ujar bekas Komandan Pasukan Pelajar di Kota M., Pak Wahyudi, yang mengatakan begini: “Suatu saat nanti, keadaan akan aman-tentram, kendatipun sekarang belum dapat diramalkan, kapan banjir darah ini berhenti. Yang kuharapkan, bahwa anakbuahku memiliki sikap hidup yang genah, prinsip yang takkan goyah selamanya.” Waktu itu, kaumencoba mempertegas ucapan itu dengan kalimat-kalimat begini: “Pak, sepenuhnya aku setuju. Namun demikian, bukan satu-satunya jalan kita tempuh lewat perang, penyembelihan, kemiliteran. Kalau keadaan aman, kita justru mendandani ekonomi masyarakat.”

Sejenak mataku melayang ke sekeliling. Tiang-tiang rumahpanggung yang terbuat dari kayu jati yang utuh, dan berwarna coklat-kehitaman. Di sana-sini mulai nampak keropos dimakan rayap. Juga genting yang tanpa langit-langit satupun, sehingga bagian-bagiannya yang pecah mengantarkan sinar-putih panas dari atas. Sedangkan dinding dan lantainya terbikin dari kayu sonokeling yang direkat dengan damar, sebagian dicat murahan (yang sana-sini mulai lecet), sedang rekatan-sambung lainnya diberi ter pekat yang sangat jelaga warnanya. Karena retakan-sambung satu sama lain tak lagi kuat, maka sedikit pemandangan di luar melintas masuk. Misalnya, beberapa warga laskar yang masih muda dan berpakaian kain blacu yang diwenter tak-rata, lisat-lisut tak bersetrika. Nyaris kesemuanya hanya bersenjatakan keris, golok, pedang, dan tombak, seperti pasukan abad silam. Penyandang pistol hanya komandan dan Mbak Wardhani, itu saja. Lagipula pistol pithi yang digayutkan ke sabuk kehijauan itu nampak seperti pistol mainan bocah layaknya. Aku hela nafasku, seraya merasakan kesiur angin di daun-daun trembesi yang tumbuh lekat samping barat rumah tinggal yang jadi markas darurat ini. Nampaknya pohon ini lengket dengan tiang sebelah kulon yang agak rapuh itu. Bayangan suram jatuh pada kening Warga Pasukan yang berbaring malas-malasan di beranda.

“Lantas kaitannya dengan prinsip yang musti dipegang itu…?” demikian aku yang masih tergolong kurcaci, mengajukan timpalan tanya. Maka segera dihincit oleh Wahyudi: “Begini, nak. Prinsip yang mandiri, tak kenal owah gingsir selamanya. Prajurit bisa berlaga di palagan kisruh. Tekadnya, mempertahankan keutuhan wilayah dan kemerdekaan jiwa bangsa. Tapi manakala perangpun berakhir, prajurit bukan lagi memanggul senapan, bukan berkelewang, melainkan menjamah cangkul untuk menggarap tanah. Atau, giat membenahi pendidikan rakyat, membangun sekolah-sekolah, menulis buku-buku pencerdas lingkungan. Kuyakin, di antara kita masih menyoalkan babak-pungkasan-juang, yang samar-samar…”

“Waduuuuh, Pak Wahyudi terlampau cepat berang, nih!” komentar Wardhani sengit. Sebermula, saya sendiri agak kikuk juga berada di garis depan. Lama kelamaan segalanya terbiasa, dan semangat terbangkitkan oleh bau mesiu, bau darah amis. Pada detik-detik menegangkan, syarafku sering terguncang.

“Kepingin buka warung, barangkali?” ucapku bergumam. “Kalau peperangan purna, anak-anak kembali ke dusun, ketrampilan Mbakyu Wardhani akan sangat bermanfaat buat pembangunan desa-desa yang hancur oleh perang ini…”

“Tak jauh dari gagasanku sendiri,” sambutnya kalem, seraya mengenakan selendang pelangi yang pernah disampaikan Letnan Wahyudi sebulan sebelumnya. “Aku ingin mendirikan warung besar, yang dapat menyediakan berbagai kebutuhan wargadusun, terutama obat-obatan, beras, bumbu dapur, dan lain-lain. Kalau mungkin, toko serba ada. Itu yang pertama. Seterusnya, sebuah Koperasi Simpan-Pinjam yang mampu menyumberi dana kepada para pedagang kecil di pedalaman. Sesudah sukses yang kedua, menyusul kubentuk yayasan penampung para bocah yatim-piatu dan mereka yang lahir di luar nikah, atau yang sering dilecehkan sebagai ‘anak haram jadah’ itu. Lalu, Panti Jompo yang memadai, dik.”

“Mulia sekali, Mbakyu,” bisikku terharu. Kulihat Letnan Wahyudi memandang lembut kepada Srikandi muda yang selama setahun lebih menjadi anggota laskar-putri nan gigih. Ia ternyata berhasil membentuk jaringan-jaringan citanya yang khas, yang hanya mungkin lahir dari kematangan jiwa. Tahun-tahun penuh pergolakan yang bersimbah darah, bermandikan airmata, telah dipupusnya dengan bayangan perdamaian yang luhur, yang dibeberkan secara manis sekali.

Mbakyu Wardhani, adakah hari ini kau lagi mengenangkan kembali kancah yang begitu menegangkan, serta mengajak anak-anak manusia membenam di lumpur panas, dengan kehendak sendiri ataupun tidak. Aku hanya heran, mengapa hingga usia meninggalkan puluhan yang kelima, dirimu masih betah menyendiri. Agaknya tak seorang pun perwira medan-juang yang berhasil membakar asmaramu.
Mbakyu Wardhani, jika pena ini kugoreskan, aku masih juga belum menemukan jawaban, kenapa ‘masa bertapa’ masih merimbun merungkut langut.
---
*) Tanggung jawab penulisan pada PuJa

Selasa, 02 September 2008

DAYA DAN DINAYA

KRT. Suryanto Sastroatmodjo

Saudari Sarwendah!
Tiba sudah waktunya untuk mengemasi barang-barang yang tertinggal di koperasi kampung, petang ini. Alangkah sumuknya hawa di ruangan yang kemarin menjadi arena silat-lidah kita, bukan? Sungguh, saya tak mengira samasekali bahwa saudari ternyata mampu membelalakkan mata pada saat musti menghentak mengorak kelopak, pada waktu harus berjelempak. Maka tiada lain yang kudu diucapkan, selain pengakuan atas kesungguhan diri mengolah watak, membina kecermatan, meraut-raut kalimat yang menikamkan.

Saudari Sarwendah yang telaten.
“Apakah orang-orang di sini dengan sukarela melibatkan diri di tengah percaturan kancah ekonomi, memperhatikan lalulintas barang dan jasa secara lebih teliti dibandingkan tahun silam. Atau bahkan sepuluh tahunan lewat, tatkala mereka masih memandang tabu kepada perikatan semacam ini?” Aku tak mengira, persoalan baku singgah di kalbumu. “Niscaya dapat dikatakan, zaman bertambah menyeret jauh derajat masyarakat,” demikian jawabmu.

“Karena di sini kita berbicara tentang kalangan kampung, dengan kebersahajaan yang menyerungkup. Pola pikir juga bisa ditebak. Sungguh terang, jika pun orang-orang belum menyadarinya, maka ada para pemikir dan pelaksana koperasi, yang sanggup mengejawantahkan hasrat bernaung di bawah perserikatan berlatar perekonomian. Juga suatu dorongan terkuat, di mana warga desa mulai menyadari perlunya menjadi bagian serba-usaha yang majemuk, dari nol terendah bisa mengumpulkan modal untuk diputar. Dalam hal begini, kiranya orang-orang yang handal di daerah ini bisa memberikan ajakan…” Aku terdiam, sementara mendengar suaramu yang lirih: “Walaupun bukan hanya untuk melihat keuntungan yang besar, sebagaimana selama ini terbit di permukaan. Sedang kerja yang terjalin, terkepal pepal.”

“Adakah dirimu akan mengorbankan sekolahmu, masa depanmu, dan waktu-waktu terindah di kawasan sepi begini?” tanyaku melenggang. Kau ternyata bisa berkilah. Jadwal-jadwal tugas pengembangan bidang-usaha dan yayasan yang menyita seluruh waktunya, takkan dapat begitu saja tergomplang. Masalahnya, dia telah jatuh cinta kepada kampung, yang pada tahun-tahun revolusi pernah melahirkan kedua orangtuanya, membesarkan mereka dalam kesulitan ekonomi yang parah. Tiba gilirannya seorang gadis dewasa yang giat menyiapkan suatu ‘balas budi kepada dunia’ secara terpadu. Ia merasa, lewat layar racikan pengabdian, deru-debur kemiskinan bakal terjawab.

“Lagi pula, kedua orangtuaku tak kutemukan kuburnya kini, setelah barisan pemberontak merah menyapu-rata kampung Sawatan sana. Aku dibesarkan nenek di desa seberang yang aman. Wetonku kebetulan sama dengan ibunda, sebagai satu sarana tradisi lokal, aku diungsikan hingga masa balita…” Memang, nasib bicara lain. Keselamatan memberikan berkah-sempana-Nya karena usianya sanggup mendera bukit-bukit kekikiran, gemunung nestapa dan mudlarat umat.

Saudari Sarwendah!
Kukira dirimu telah larut di tengah halimun. Tentunya bukan bagianku membentangkan hal ini padamu. Sekalipun seorang yatim piatu sebagaimana dirimu, yang memiliki kecakapan setumpuk, dan lepasan suatu akademi, tinggal di daerah terpencil dapat dianggap sebagai kemandegan. Namun dikau mengatasi anggapan yang naif, meneteskan keringat bagi kalangan nan jarang disebut. Wadah yang kau garap sebagai perwujudan sumbangsihmu, gadis!

Saudari Sarwendah yang telaten.
Aku senang berbincang, kala pengunjung koperasi menipis di rembang petang. Semoga dikau selalu punya bahan untuk disulut dalam kehangatan diskusi. Semoga tiap ucap dan ungkapan bisa membantu degup-jantung yang sehat. Semoga tiap pijak kaki yang mantap memberikan semboyan kepastian. Masihkah dapat kukatakan, betapa orang-orang memberikan senyum syukur itu…? Saudariku, saudariku! Tiada pekikan yang mengaduh, jika larutmu adalah lautmu. Dan sedenyar rahmat melekaskan gema menjadi gelinggam nikmat.
---
*) Tanggung jawab penulisan pada PuJa

Senin, 01 September 2008

SASTRA PERLAWANAN TERHADAP LUPA

Kajian atas DAZEDLOVE karya Rodli TL.
Haris del Hakim*

Pengantar
Saya tidak mungkin menjelaskan atau menafsirkan bagaimana isi novel Dazedlove secara keseluruhan. Saya tidak ingin menciptakan satu asumsi tertentu sebelum pembaca membaca novel ini. Karena itu, saya hanya memberikan catatan-catatan yang saya anggap perlu dan menarik bagi saya. Anda pasti memiliki rasa tertarik yang berbeda dari saya dan tidak mungkin saya memaksakan ketertarikan saya kepada Anda, kecuali saya hanya merekomendasikan novel ini sangat penting yang mana nilai pentingnya akan saya jelaskan kemudian.

Belajar Logika
Novel dikenal sebagai salah satu dari karya fiksi di samping puisi, cerpen, naskah drama, dan karya seni lain. Karya fiksi dianggap berlawanan dengan non-fiksi yang diartikan sebagai fakta atau realitas, di antaranya matematika, fisika, biologi, dll. Kedua istilah tersebut beserta pengertiannya masih perlu dipertanyakan, karena dalam perkembangannya kemudian pengetahuan non-fiksi ternyata tidak benar dalam menjelaskan realitas, dalam artian hanya kesimpulan (dalam bidang fiksi biasa disebut sebagai anggapan) sementara. Sebagai contoh, pada zaman dahulu bumi dianggap datar seperti talam, tetapi zaman kemudian merevisinya menjadi bulat. Karena itu, definisi pengkotakan antara fiksi dan non-fiksi sangat kabur. Kedua istilah itu dapat muncul dari seseorang yang kemudian dibenarkan oleh orang-orang setelahnya dan tentu sangat naif apabila kita juga mengamininya.

Sebagai alternatif kita mengakui keduanya sama-sama sebagai penafsir dari realitas yang tidak enggan mengakui kekeliruan dan kebenaran yang datang kemudian. Sebab, akibat dari pengkotakan itu adalah klaim kebenaran dari salah satu pihak.

Seorang ahli fisika dianggap lebih cerdas, bermasa depan cerah, dan selalu berkata benar, padahal tidak menolak kemungkinan di kemudian hari seorang yang pintar fisika harus mangkrak sekolahnya karena tidak ada biaya dan terjerembab sebagai kuli tambak saja. Logika lurus yang terbangun di benak kita adalah bidang non-fiksi lebih mapan, seperti runtutan angka-angka beserta perhitungannya. Dalam logika matematika menyebutkan rangkaian angka 1-2-3-4-5-6-7-8-9, dst, atau a-b-c-d-e-f-g-h-i-j dst, atau 2x2=4, 2x1=2, dst. Ditilik dari sejarah, angka dan abjad itu tidak lain hasil simpulan orang-orang terdahulu untuk memahami sesuatu yang kemudian dikuatkan dengan argumentasi dan pendapat orang-orang setelahnya. Secara tidak langsung, secara turun temurun manusia mendukung satu kesepakatan tertentu. Bukankah bila orang dahulu mengatakan 3-2-1-9-8-7-4-5-6, atau 2x2=6 dan 2+1=5, kemudian orang-orang menguatkannya, pasti terjadi rangkaian alfabetis dan angka yang berbeda dengan yang kita ketahui sekarang?

Sementara itu, seorang yang menggeluti dunia fiksi dianggap semrawut dan tidak beraturan. Logika yang dibangun pun tidak sistematis dan ngawur. Pertama kali yang muncul dalam benak kita ketika disebutkan kata seniman adalah sosok yang awut-awutan dan tidak terawat. Mereka sangat tidak mapan.

Dalam novel Dazedlove hal ini dijelaskan dalam narasi sebagai berikut:
“Kamu orang Lamongan dan aku orang Probolinggo. Tentunya tahu nama kereta api Logawa jurusan Surabaya-Jember. Begini soalnya; Kereta Logawa berangkat dari stasiun Jember jam 05.00 WIB. Kebetulan di pagi itu hanya membawa 25 penumpang. Kereta api berangkat tooot jek jek jek jek. Itulah suaranya, dan sampai pada stasiun Rambipuji kereta api berhenti. 13 penumpang telah siap dengan karcis dan langsung naik ke gerbong kereta api. Ingat-ingat Hima, dan analisa dengan cermat. Kereta api berangkat jam 05.20 jek jek jek jek……tooooooot jek jek jek….tepat pukul 06.00 sampai stasiun Klaka. Di stasiun Klaka penumpang turun 3 dan naik 11. Berangkat lagi jek jek jek…. toooot jek berhenti di stasiun Probolinggo penumpang turun 10 dan naik 7. Berhenti sekitar 15 menit karena menunggu kereta executive lewat. Jek jek jek……berangkat dengan berjalan agak lamban karena jalan menuju stasiun Bangil agak naik. Di stasiun Bangil tidak ada penumpang yang naik dan yang turun sebanyak 5 penumpang. Akan tetapi kelompok pengamen yang berjumlah 5 orang naik dengan membawa beberapa alat musik, diantaranya 2 guitar, 1 ketimpung, 1 bungo, 1 harmonika dan satu kecrek. jek… jek.. tooooot jek… berangkat dengan kecepatan bertambah. 17 menit sudah sampai stasiun Sidoarjo. Penumpang tidak ada yang turun dan tidak ada yang naik. Kereta langsung berangkat dan tepat pukul 09.00 sudah sampai stasiun Gubeng.”
“Sudah aku perkirakan pertanyannya. Yang akan kamu tanyakan adalah berapa jumlah jek jek jek..yang kamu bilang, betul kan?”
“Tentu tidak. Salah weeee…! Pertanyaanya adalah berapa penjual salak di stasiun Klaka yang naik dan berapa kali mereka bilang “laaaak sallaak manieees! laak sallaaak, salaknya maniees lek!” Ayo berapa jumlahnya, bisa menjawab? Pasti tidak bisa. Jadi kesimpulannya benar bahwa kamu tidak pandai dalam ilmu matematika.

Dari sini kita dapat memahami logika seorang fisika adalah berapa jarak yang mereka tempuh, tetapi ternyata pertanyaannya jauh dari itu. Bahkan, usulan yang nyeleneh,
“Sudah aku perkirakan pertanyannya. Yang akan kamu tanyakan adalah berapa jumlah jek jek jek..yang kamu bilang, betul kan?”
pun tidak tepat. Penjual salak yang tidak disebutkan justru menjadi fokus pertanyaan. Ternyata, masing-masing orang mempunyai logika sendiri-sendiri yang tidak cukup tepat bila dipaksakan dalam dua kotak fiksi dan non-fiksi.

Tentang Dazedlove
Novel Dazedlove karya M.Rodli merupakan sepenggal kisah seorang Ibrahima yang lahir dan besar di Lamongan kemudian menjalani masa perkembangan dan kematangan inteletualnya di Jember. Hampir 90% novel ini mengangkat pengalaman dan pergulatan seorang mahasiswi mulai masa perkenalan kampus hingga menjelang semester akhir.

Setting waktu menempati tahun 1998 di mana pada saat itu adalah puncak reformasi. Secara rinci penulis mengungkapkan bagaimana peristiwa reformasi berlangsung di salah satu kawasan yang mungkin tidak terekspos oleh media massa nasional, karena sibuk meliput peristiwa Semanggi dan aksi demonstrasi di ibukota-ibukota provinsi, seperti Jakarta, Yogyakarta, Bandung, Surabaya, dll. Ibrahima yang digambarkan sebagai gadis cantik itu pun tidak lepas dari realitas itu, bahkan dia terlibat langsung dalam aksi-aksi yang mendebarkan. Trik dan intrik dijalaninya hingga kemudian “Sang Musuh” bersama lengser yang menandai kemenangan reformasi.

Tentu saja, bumbu-bumbu cinta ikut mewarnai novel ini. Akan tetapi, perannya tidak signifikan sehingga kita tidak perlu kecewa bila tidak menemukan bagaimana ending kisah cinta Ibrahima. Siapa pasangan mahasiswi cantik yang memikat itu tidaklah penting untuk dijawab, meskipun tidak menolak adanya tebakan siapa yang mendampingi wisudanya.

Secara bahasa kita diajak untuk lebih dekat dengan bahasa ala Jawa. Novel ini mungkin dimasukkan dalam novel teenlit atau seventeen literatur yang berbau gue-gue banget. Tetapi, gaya bahasa teenlit yang dikuasai oleh orang-orang Jakarta itu tidak berlaku dan berubah menjadi Jawa. Bahkan, tidak kalah keren sebab kita temui beberapa paragraf bahasa Inggris yang biasanya dibanggakan oleh orang-orang pusat kompeni Belanda tempo dulu itu. Penulis lokal dan jauh dari pusat kekuasaan secara geografis tidak kalah dengan orang-orang yang hidup di kawasan pusat (baca: Jakarta).

Momentum kehadiran Dazedlove pada sewindu reformasi merupakan catatan tersendiri. Dunia buku setelah lahirnya reformasi dipenuhi dengan buku yang mengutuk kebobrokan Orde-Baru dan Soeharto sebagai ikon tunggalnya. Penguasa yang dipuja selama tigapuluh tahun itu benar-benar habis dan harus berkali-kali masuk rumah sakit untuk menghindar dari besarnya gelombang reformasi. Hampir semua buku yang mengisi kejayaan Orde Baru masuk dalam loakan berganti dengan sanjungan pada Bung Karno sebagai ikon kemerdekaan bangsa. Akan tetapi, sewindu kemudian arah dunia buku mulai berubah. Pada saat ini mulai bermunculan kembali buku-buku yang hendak mengkultuskan Soeharto beserta keluarganya. Buku-buku yang mengulas kehidupan mereka termasuk buku best-seller.

Fenomena dunia perbukuan tersebut tidak bisa kita anggap keliru. Reformasi yang digembor-gemborkan dapat mencutat bangsa Indonesia dari krisis ternyata nol dan kehidupan semakin sulit saja, sebagaimana yang dikatakan oleh orang-orang, sehingga romantisme masa senang yang semu di masa Orde Baru dicari-cari untuk diangkat sebagai dewa kembali. Kita tidak perlu terjebak untuk membahas mengapa pasca-reformasi menjadi seperti ini yang ujung-ujungnya menyalahkan reformasi itu sendiri.

Dazedlove seakan melontarkan kita kembali ke masa-masa lahirnya reformasi. Pada saat itu tidak ada seorang pun yang berani melawan kebijakan Soeharto yang didukung oleh segenap perangkat hingga ke desa-desa disertai dengan aparat-aparat yang menyelundup ke mana-mana. Para pegawai negara merasa bingung harus berpihak pada Orde Baru yang menghidupinya atau reformasi yang semakin menetas di seluruh nusantara itu. Aparat yang diwakili dengan tentara tentu saja dibawa komando Orde Baru yang masih berkuasa dan bertindak brutal terhadap segala aksi pendukung reformasi. Kebrutalan itu tidak hanya secara fisikal, tetapi juga mental terhadap aktor-aktor pembela rakyat. Karena itu, pada saat itu tidak ada yang paling dibenci oleh bangsa Indonesia selain tentara dan pegawai negeri. Bahkan, di beberapa tempat dikabarkan tentang masyarakat yang berbaris di pinggir jalan setiap pagi agar dapat melemparkan telur busuk kepada pegawai negeri yang berangkat ke kantor. Dazedlove menggambarkan peristiwa reformasi secara apik.

Karena itu, terbitnya Dazedlove adalah pengingat bagi kita agar tidak melupakan sedetik peristiwa yang pernah dialami oleh bangsa yang tidak henti dirundung bencana ini. Kita tidak gampang melupakan dan berubah menjadi pendukung tanpa koreksi pada pihak-pihak yang pernah menghalangi kita untuk menghancurkan kelaliman Orde Baru. Ibaratnya, novel ini seperti rem di atas jalan yang menurun dan mulus. Kita harus mempunyai catatan tentang reformasi sebelum bangsa Indonesia berbalik memuja kembali Orde Baru yang menindas secara sistematis itu. Kita harus jujur tentang kondisi ketika reformasi sebelum reformasi dikutuk dan tidak menemukan pembela, agar kita tidak ikut-ikutan menjadi bebek yang dungu terhadap sejarah kita sendiri.

Penutup
Catatan ini mungkin tidak memuaskan, tetapi saya telah berupaya untuk memotret Dazedlove sebagai novel di tengah arus perbukuan dan kondisi bangsa. Pembacaan yang lebih intens dan matang baru bisa terjadi bila kita sama-sama telah membacanya.

Surabaya, 11 september 2006
*)Dewan redaksi Jurnal Kebudayaan The Sandour

A Musthafa A Rodhi Murtadho A Wahyu Kristianto A. Mustofa Bisri A. Qorib Hidayatullah A. Zakky Zulhazmi A.J. Susmana A.S. Laksana Aang Fatihul Islam Abdul Azis Sukarno Abdul Aziz Rasjid Abdul Hadi W. M. Abdul Kadir Ibrahim Abdul Malik Abdul Wachid BS Abdullah al-Mustofa Abdullah Khusairi Abdurrahman Wahid Abidah El Khalieqy Abimanyu Abimardha Kurniawan Abroorza A. Yusra Acep Iwan Saidi Acep Zamzam Noor Achmad Maulani Adek Alwi Adhi Pandoyo Adrian Ramdani Ady Amar Afrizal Malna Agnes Rita Sulistyawati Aguk Irawan Mn Agus R. Sarjono Agus Riadi Agus Subiyakto Agus Sulton Aguslia Hidayah Ahda Imran Ahm Soleh Ahmad Farid Tuasikal Ahmad Farid Yahya Ahmad Fatoni Ahmad Kekal Hamdani Ahmad Luthfi Ahmad Muchlish Amrin Ahmad Nurhasim Ahmad Sahidah Ahmad Syauqi Sumbawi Ahmad Yulden Erwin Ahmad Zaini Ahmadie Thaha Ahmadun Yosi Herfanda Ainur Rasyid AJ Susmana Ajip Rosidi Akhiriyati Sundari Akhmad Muhaimin Azzet Akhmad Sekhu Alan Woods Alex R. Nainggolan Alexander Aur Alexander G.B. Alfian Dippahatang Ali Audah Ali Rif’an Aliela Alimuddin Alit S. Rini Alunk Estohank Ami Herman Amich Alhumami Amien Wangsitalaja Aming Aminoedhin Aminudin TH Siregar Ammilya Rostika Sari An. Ismanto Anaz Andaru Ratnasari Andhi Setyo Wibowo Andhika Prayoga Andong Buku #3 Andrenaline Katarsis Andri Cahyadi Angela Anies Baswedan Anindita S Thayf Anjrah Lelono Broto Anton Kurnia Anton Sudibyo Anton Wahyudi Anwar Holid Anwar Siswadi Aprinus Salam Arie MP Tamba Arif Hidayat Arif Zulkifli Arti Bumi Intaran Asarpin Asep Sambodja Asvi Warman Adam Awalludin GD Mualif Ayu Utami Azyumardi Azra Babe Derwan Bagja Hidayat Balada Bandung Mawardi Bayu Agustari Adha Beni Setia Benni Setiawan Benny Benke Bentara Budaya Yogyakarta Berita Bernadette Lilia Nova Bernando J. Sujibto Berthold Damshäuser Bhakti Hariani Binhad Nurrohmat Bokor Hutasuhut Bonari Nabonenar Brunel University London Budaya Budhi Setyawan Budi Darma Budi Hutasuhut Budi P. Hatees Budi Winarto Buku Kritik Sastra Buldanul Khuri Bustan Basir Maras Camelia Mafaza Capres dan Cawapres 2019 Catatan Cecep Syamsul Hari Cerpen Chairil Anwar Chamim Kohari Choirul Rikzqa D. Dudu A.R D. Dudu AR D. Zawawi Imron Dahono Fitrianto Dahta Gautama Damanhuri Damar Juniarto Damhuri Muhammad Damiri Mahmud Dantje S Moeis Darju Prasetya Darma Putra Darman Moenir Darmanto Jatman Dedy Tri Riyadi Delvi Yandra Denny JA Denny Mizhar Dewi Anggraeni Dian Basuki Dian Hartati Dian Sukarno Dian Yanuardy Diana AV Sasa Dinar Rahayu Djenar Maesa Ayu Djoko Pitono Djoko Saryono Doddi Ahmad Fauji Dody Kristianto Donny Anggoro Donny Syofyan Dorothea Rosa Herliany Dwi Cipta Dwi Fitria Dwi Pranoto Dwi S. Wibowo Dwicipta Edeng Syamsul Ma’arif Edi Warsidi Edy Firmansyah EH Kartanegara Eka Alam Sari Eka Budianta Eka Kurniawan Eko Darmoko Ellyn Novellin Elnisya Mahendra Emha Ainun Nadjib Emil Amir Engkos Kosnadi Esai Esha Tegar Putra Evan Ys F. Budi Hardiman Fadly Rahman Fahmi Fahrudin Nasrulloh Faisal Kamandobat Fani Ayudea Fariz al-Nizar Faruk HT Fatah Anshori Fatah Yasin Noor Fatkhul Anas Fatkhul Aziz Felix K. Nesi Film Fitri Yani Franditya Utomo Fuska Sani Evani Gabriel Garcia Marquez Gandra Gupta Garna Raditya Gde Artawan Geger Riyanto Gendhotwukir George Soedarsono Esthu Gerakan Surah Buku (GSB) Goenawan Mohamad Grathia Pitaloka Gunawan Budi Susanto Gunawan Tri Atmojo H. Supriono Muslich H.B. Jassin Hadi Napster Halim H.D. Hamberan Syahbana Hamidah Abdurrachman Han Gagas Hardi Hamzah Haris del Hakim Haris Priyatna Hasan Aspahani Hasan Gauk Hasan Junus Hasnan Bachtiar Helvy Tiana Rosa Helwatin Najwa Hendra Junaedi Hendra Makmur Hendriyo Widi Ismanto Hepi Andi Bastoni Heri Latief Heri Listianto Herry Firyansyah Heru Untung Leksono Hikmat Darmawan Hilal Ahmad Hilyatul Auliya Holy Adib Hudan Hidayat Hudan Nur Husnun N Djuraid I Nyoman Suaka Ibnu Rizal Ibnu Rusydi Ibnu Wahyudi IGK Tribana Ignas Kleden Ignatius Haryanto Iksan Basoeky Ilenk Rembulan Ilham khoiri Imam Jazuli Imam Nawawi Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Iman Budi Santosa Imelda Imron Arlado Imron Tohari Indiar Manggara Indira Margareta Indra Darmawan Indra Tjahyadi Indra Tranggono Indrian Koto Ingki Rinaldi Insaf Albert Tarigan Intan Hs Isbedy Stiawan ZS Ismail Amin Ismi Wahid Ivan Haris Iwan Gunadi Jacob Sumardjo Jafar Fakhrurozi Jajang R Kawentar Janual Aidi Javed Paul Syatha Jean-Marie Gustave Le Clezio JJ. Kusni Joko Pinurbo Joko Sandur Joko Widodo Joni Ariadinata Jual Buku Paket Hemat Julika Hasanah Julizar Kasiri Jumari HS Junaidi Jusuf AN Kadir Ruslan Kartika Candra Kasnadi Katrin Bandel Kenedi Nurhan Ketut Yuliarsa KH. Ma'ruf Amin Khaerudin Khalil Zuhdy Lawna Kholilul Rohman Ahmad Komunitas Deo Gratias Komunitas Teater Sekolah Kabupaten Gresik (KOTA SEGER) Korrie Layun Rampan Krisandi Dewi Kritik Sastra Kucing Oren Kuswinarto Langgeng Widodo Lathifa Akmaliyah Latief S. Nugraha Leila S. Chudori Lenah Susianty Leon Agusta Lina Kelana Linda Sarmili Liston P. Siregar Liza Wahyuninto M Shoim Anwar M. Arman A.Z. M. Fadjroel Rachman M. Faizi M. Harya Ramdhoni M. Kasim M. Latief M. Wildan Habibi M. Yoesoef M.D. Atmaja Mahdi Idris Mahmud Jauhari Ali Mahwi Air Tawar Malkan Junaidi Maman S. Mahayana Mardi Luhung Marhalim Zaini Maria hartiningsih Maria Serenada Sinurat Mario F. Lawi Maroeli Simbolon S. Sn Marsus Banjarbarat Marwanto Mas Ruscitadewi Masdharmadji Mashuri Masriadi Mawar Kusuma Wulan Max Arifin Melani Budianta Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia Mezra E. Pellondou Micky Hidayat Mihar Harahap Misbahus Surur Moh Samsul Arifin Moh. Syafari Firdaus Mohamad Asrori Mulky Mohammad Afifuddin Mohammad Fadlul Rahman Muh Kholid A.S. Muh. Muhlisin Muhajir Arifin Muhamad Sulhanudin Muhammad Al-Fayyadl Muhammad Amin Muhammad Azka Fahriza Muhammad Rain Muhammad Subhan Muhammad Yasir Muhammad Zuriat Fadil Muhammadun A.S Muhidin M. Dahlan Musa Ismail Musfi Efrizal Mustafa Ismail Nafi’ah Al-Ma’rab Naskah Teater Nezar Patria Nina Setyawati Nirwan Ahmad Arsuka Nirwan Dewanto Noor H. Dee Noval Maliki Nunuy Nurhayati Nur Haryanto Nurani Soyomukti Nurel Javissyarqi Nurhadi BW Nurudin Octavio Paz Oliviaks Orasi Budaya Akhir Tahun 2018 Pablo Neruda Pamusuk Eneste Panda MT Siallagan Pandu Jakasurya PDS H.B. Jassin Philipus Parera Pradewi Tri Chatami Pramoedya Ananta Toer Pramono Pranita Dewi Pringadi AS Prosa Puisi Puisi Menolak Korupsi PuJa Puji Santosa Puput Amiranti N Purnawan Andra PUstaka puJAngga Putri Utami Putu Fajar Arcana Putu Wijaya Qaris Tajudin R Sutandya Yudha Khaidar R. Sugiarti R. Timur Budi Raja R.N. Bayu Aji Rachmad Djoko Pradopo Radhar Panca Dahana Rahmadi Usman Rahmat Sudirman Rahmat Sularso Nh Rahmat Sutandya Yudhanto Raihul Fadjri Rainer Maria Rilke Raja Ali Haji Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Raudal Tanjung Banua Reiny Dwinanda Remy Sylado Resensi Revolusi Riadi Ngasiran Ribut Wijoto Ridha al Qadri Ridwan Munawwar Rikobidik Riri Riris K. Toha-Sarumpaet Risang Anom Pujayanto Rizky Andriati Pohan Robert Frost Robin Al Kautsar Robin Dos Santos Soares Rodli TL Rofiqi Hasan Rohman Budijanto Romi Febriyanto Saputro Rosihan Anwar RR Miranda Rudy Policarpus Rukardi S Yoga S. Jai S.I. Poeradisastra S.W. Teofani Sabam Siagian Sabrank Suparno Saiful Amin Ghofur Sainul Hermawan Sajak Sakinah Annisa Mariz Salamet Wahedi Salman Rusydie Anwar Samsudin Adlawi Sapardi Djoko Damono Sartika Dian Nuraini Sastra Sastra Gerilyawan Sastri Sunarti Satmoko Budi Santoso Saut Situmorang Sejarah Sekolah Literasi Gratis (SLG) SelaSastra SelaSastra ke #24 Selasih Seno Gumira Ajidarma Seno Joko Suyono Sergi Sutanto Shadiqin Sudirman Shiny.ane el’poesya Sidik Nugroho Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Simo Sungelebak Karanggeneng Lamongan Siti Sa’adah Sitok Srengenge Siwi Dwi Saputro Sjifa Amori Sofyan RH. Zaid Soni Farid Maulana Sony Prasetyotomo Sosiawan Leak Sri Wintala Achmad Sri Wulan Rujiati Mulyadi Subhan SD Suci Ayu Latifah Sulaiman Djaya Sulistiyo Suparno Sunaryo Broto Sunaryono Basuki Ks Sungatno Sunlie Thomas Alexander Sunudyantoro Suriali Andi Kustomo Suryadi Suryansyah Suryanto Sastroatmodjo Susi Ivvaty Susianna Susilowati Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Suwardi Endraswara Syaifuddin Gani Syaiful Bahri Syam Sdp Syarif Hidayatullah Tajuddin Noor Ganie Tammalele Tan Malaka Taufik Ikram Jamil Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat Teguh Trianton Tengsoe Tjahjono Th Pudjo Widijanto Thayeb Loh Angen Theresia Purbandini Tia Setiadi Tito Sianipar Tiya Hapitiawati Tjahjono Widarmanto Tjahjono Widijanto Toko Buku Murah PUstaka puJAngga Tosa Poetra Tri Joko Susilo Triyanto Triwikromo Tu-ngang Iskandar Udo Z. Karzi Uly Giznawati Umar Fauzi Umar Kayam Undri Uniawati Universitas Indonesia UU Hamidy Vyan Tashwirul Afkar W Haryanto W.S. Rendra Wahyudin Wannofri Samry Warung Boenga Ketjil Waskiti G Sasongko Wawan Eko Yulianto Wawancara Web Warouw Wijang Wharek Wiko Antoni Wina Bojonegoro Wira Apri Pratiwi Wiratmo Soekito Wishnubroto Widarso Wiwik Hastuti Wiwik Hidayati Wong Wing King WS Rendra Xu Xi (Sussy Komala) Y. Thendra BP Y. Wibowo Yani Arifin Sholikin Yesi Devisa Yohanes Sehandi Yona Primadesi Yosi M. Giri Yusi Avianto Pareanom Yusri Fajar Yusrizal KW Yuval Noah Harari Yuyu AN Krisna Zaki Zubaidi Zalfeni Wimra Zawawi Se Zehan Zareez Zen Hae Zhaenal Fanani Zuarman Ahmad Zulfikar Akbar Zulhasril Nasir