Rabu, 30 Juli 2008

SASTRA DAN PETA YANG (TAK) USAI TERBACA

Semacam Testimoni dalam Benderang Kenangan
Jurnal Kebudayaan The Sandour, edisi III
Y. Wibowo

“Ketimbang menemukan dunia, kita menciptakannya.”
(Nelson Goodman).
Karya sastra dapatlah diandaikan serupa peta penuh tanda dan penanda. Dalam membaca dan menikmati kita dapat menjadi turis, pelesiran disepanjang alur dan maknanya. Hanya saja di sisi lain, munculnya sebuah pemaknaan atau tafsir terhadap karya sastra juga biasanya muncul beriringan dalam menikmati karya sastra tersebut. Namun, sebagai awam --jika berkehendak, keinginan untuk terus membaca karya sastra (apapun namanya) hingga selesai, menikmati sentuhannya hingga tuntas, gigil-sunyi karena dicubit kenangan yang terpendam dalam karya yang terbaca, atau terus bernostalgia atas kampung halaman; tentang pacar lama, panorama alamnya, atau artefak-artefak tatanan sistem para penghuninya yang seiring waktu telah berubah menjadi angkuh dan kian purba.

Dan diantara kelindan tanda dan penanda karya sastra, diantara empirisme yang kasatmata, kenyataan hari ini, pandangan akan masa depan, atau mula sebiji kata yang teramu dalam beragam karya sastra, yang juga jauh-jauh hari diyakini berjalin ‘sesuatu’, yang boleh jadi hal itu merupakan ‘kegelisahan akan yang lain’, dan dapat menghantarkan ke semacam meruahnya perayaan atau perjalanan sebuah ziarah, atau ke sesuatu yang tak (akan) usai terbaca.

Pemaknaan-pemaknaan tersebut telah menjadi suatu hubungan yang niscaya dan merupakan dasar korespondensi yang intens, seperti para penyair dalam berkarya yang tidak harus terjebak dalam menyerap bahasa yang terpampang sebagai kenyataan sehari-hari, melainkan memilah untuk sublim pada entah estetikanya, pun menyusur dalam tukikan hakikat kenyataan sehari-hari itu. Namun, hubungan yang niscaya tersebut bahkan dapat berujung pada suatu analogi total tentang hal-ihwal. Hal-ihwal inilah yang (telah dan akan) selalu mengungkapkan dirinya melalui analogi-analogi yang saling bersahutan, seumpama sejak hari ketika Tuhan mengucap dunia sebagai totalitas yang kompleks dan tiada terpisahkan.
***

Dalam korespondensi yang intens, yang universal, proses penciptaan berarti sebuah upaya pencarian terus-menerus, atau sebuah metamorfosa abadi, dan empirisme personal dalam hidup yang kemudian lekat seumpama sejarah diri atau kenangan yang terus berjalan menjelma teks, dan tentu, hal ini sebuah konsekwensi dalam beragam karya sastra, karena proses penciptaan sebuah karya terkadang mesti mengalami semacam pertarungan-sublimitas-individual.

Maka teks yang menjelma dan bernama dalam sebuah dunia entah itu kenangan, kenyataan hari ini atau pandangan akan hari depan bukanlah satu, tapi banyak. Semisal keasyikan meramu kenangan yang meruah segar akan kampung halaman, Lampung, dalam mendedahkan dalam teks, setiap kata dari bait ke bait, dari halaman demi halamannya merupakan tafsir atau terjemahan dan metamorfosis dari halaman lain, dan proses penggandaan ini terus berulang, tanpa akhir. Dunia (kenangan) adalah metafor dari metafor. Dengan demikian, dunia (kenangan) bila tak terkendali dapat kehilangan realitasnya dan menjelma jadi gaya wicara (figure of space). Lalu, penggandaan teks mengandung implikasi bahwa tidak ada teks yang original. Realitas dunia dan makna bahasa meluncur bersama, lalu lenyap keruang hampa, kosong.

Semisal Octavio Paz melihat bahwa dengan mengatakan “Tuhan mengucap dunia” (bukan “menciptakan dunia”), dan Baudelaire yang sesungguhnya memandang dunia sebagai kata, telah memilih sebuah konsekwensi, tentu saja bahwa semesta adalah bahasa, sebuah skrip. Inilah bahasa yang bergerak dan berubah selamanya. Setiap kalimat melahirkan kalimat lain, dan masing-masing kalimat itu senantiasa mengatakan sesuatu yang berbeda, namun sekaligus sama.

Maka tinggallah kekosongan yang terbentang dalam jantung sebuah analogi, semacam sains yang hanya eksis dalam nikmat perbedaan; justru (bahwa) karena X (kenangan) dan Y (kenyataan), sebuah jembatan yang menghubungkan X dan Y menjadi mungkin. Dan perbedaan itu diterima dengan nalar persamaan, sekaligus yang tidak menghapus perbedaan; ia menebusnya dan menjadikan eksistensi tak tertanggungkan.

Dan mencapai realitas berarti mengakui (apa yang disebut Stanley Cavell) sebagai kemustahilan bahwa satu diantara tak terbilang deskripsi yang benar tentang saya menyatakan siapa saya. Menafsirkan kenangan dan memahami realitas hari ini atau mendatang menjadi sebuah pencarian bukan-hakekat atau hakekat kebenaran, dan hal ini harus terus dibongkar karena bisa jadi tak lebih daripada melakukan studi komparatif terhadap bermacam-macam deskripsi, cara bicara, wicara, dan wacana yang tercantum dalam katalog peradaban sebuah dunia.

Seperti dalam karya sastra yang berthema dirundung kenangan akan kampung halaman, sebagaimana dengan seseorang yang telah pergi sekian masa dan pulang kampung di Lampung. Dan disaat itu menemukan tanah kelahirannya sebagai sesuatu yang segar, meruah akan makna, dan seseorang itu terantuk-terserimpung tanda-tanda. Apakah itu tentang riak way sekampung, sebilah badik, gading yang patah, tapis yang terbebat di dada seorang gadis, bangkai jung, sebuah anjung? Dalam ruang bermain bagi proses penciptaan karya sastra, realitas akan menopang kenangan yang berupaya menafsir-menata-menangkap sejumlah keping (semesta) kampung halaman; sementara seni menyokong etika yang berjuang menangkap sebagian lain dari keping (semesta) kampung halaman yang sama. Dus, apappun yang terdedah (dalam karya sastra tersebut) dengan pilihan themanya, tak lebih dan tak kurang, hanyalah sebuah (genre) karya sastra.

Inilah sebuah “kritisisme budaya,” suatu ziarah dalam apa yang disebut Rorty sebagai “komedi-putar-sastra-sejarah-antropologi-politik.” Hal ini tentu lebih luas jika studi komparatif dengan sebuah tafsir atas sikap politik tertentu yang melulu bersoal pada aras “kekuasaan” dan “kemuliaan.” Dengan memahami kecenderungan “kekuasaan” sebagai terminologi politik yang telah dan akan dihasilkan dari relasi-relasi sosial, dan “kemuliaan” menjadi semacam opus spirituale yang tercermin dalam perilaku.

Melihat persamaan dan perbedaan, melihat bagaimana hal-ihwal saling berkaitan, terasa akrab dengan analogi. Filsafat Rorty adalah metafor puisi Boudelaire. Metafor dari metafor dari metafor, ad infinitum. Dibaliknya; kekosongan realitas dunia silam kian selesai, dan tempatnya digantikan ajang politik pemaknaan. Sebuah bukan –dunia—jika dunia adalah bangun, tata, anatomi, pusat, dan sejenisnya. Namun, tentu engkau tahu, politik bukan tanpa resiko.

Tanpa pretensi berfilsafat, tengoklah “warga kebudayaan post-filosofis,” mereka adalah yang dengan enak berbicara tentang apapun. Intelektual serba-bisa; dia yang bergerak dengan cepat dari Hemingway ke Proust ke Hitler ke Mark ke Foucault ke mary Douglas ke situasi Asia Tenggara mutakhir ke Gandhi ke sophocles. Seorang penetas nama-nama, ia yang memakai nama-nama ini untuk mengacu kepada perangkat-perangkat deskripsi, sistem simbol, cara pandang. Keahliannya adalah melihat persamaan dan perbedaan diantara gambar-gambar besar, diantara usaha-usaha untuk melihat bagaimana hal-ihwal saling berkaitan,” demikian Rorty.

Sedang kemungkinan untuk sampai diluar pemahaman yang melihat bagaimana hal-ihwal akan kenangan kampung halaman yang saling berkaitan adalah suara afirmatif, hal tersebut mungkin prospek kebudayaan yang (hanya) mau membuka matanya terhadap bagaimana segala macam kosakata dari seluruh khazanah zaman dan budaya yang saling terkait satu sama lain. Karena kebenaran telah menjadi nama-nama suatu properti yang terkandung dalam semua kalimat yang benar. Artinya, ia hanya berlangsung dalam bahasa, medan permainan makna-makna.

Bila kenangan akan dunia dan realitas dunia dibangun dalam bahasa dengan segala ambiguitasnya, tentu mustahil mendapati dunia tanpa mengacu pada seperangkat deskripsi yang dipilih ditengah lautan deskripsi yang lain. Tabik!
***

Y. Wibowo, Penyair gandrung bernostalgia, pernah mendirikan Komunitas Sastrawan Tugu Indonesia (KSTI) di Yogya 2000 bersama Nurel Javissyarqi. Antologi puisi tunggalnya Opera Kebun Lada (matakata 2005). Kini berdialektik di Sekolah Kebudayaan Lampung (SKL).

Letupan Hati Seorang Feminis

Hudan Hidayat

Cerpen “tradisional” bertaruh dengan plot yang mengusung watak dan konflik, suasana dan pastilah bahasa juga. Tapi cerpen “modern” apalagi “postmodern”, tidaklah terantai dengan semua unsur-unsur fiksi itu. Karena fiksi itu, seperti kerja lamunanmu itu sendiri: bisa mengimajinasikan sebuah bintang, yang kamu harapkan jatuh di depan kakimu.

Semangat yang berkobar ke dalam pilihan diksi dalam bahasa prosamu yang mengusung rakya jelata dengan konteks sebuah daerah (Kupang) yang kau kenal dan karena itu familiar, adalah kekuatan dari cerpen monologmu ini.

Sahkah?
Mengapa tidak?
Justru kekuatan cerpen seperti itu, adalah bagaimana dan bisakah dia menarik pembaca ke dalam renungannya – menariknya dari awal sampai akhir.

Saya tidak melihat kelelahan kamu bercerita di sana. Justru saya melihat banyak ruang kosong yang kamu masih bisa ekspose ke dalam keliaran imajinasi yang nampaknya akan menjadi kekuatanmu dalam menulis prosa.

Misalnya saat cerpen memasuki renungan:
“Seberapa jauhkah perjalanan sebelum menabrak atmosfir bolong bumi kami ini? Apakah memang ada kehidupan lainnya? Apakah nafas kehidupan di ‘ruang semesta’ sana persis beroksigen seperti kami, atau seperti apa?”

Alangkah asyiknya kalau kau bernakal-nakal di sini – memberikan sentuhan humor. Sehingga pembaca dibawa berayun, dari tegangnya nasib orang miskin ke sisi-sisi lucu dari manusia pada umumnya.

Ayunan seperti itu tentu membuat cerpenmu seolah kehilangan unsur “dramatik sprint” yang terbaca oleh saya.

Memang benar. Tetapi dengan begitu ia pastilah akan menjadi lebih kaya. Dan terutama: dengan mengangkatnya pada variasai alam, manusia, alam, maka akan nampaklah bahwa manusia dan alam itu adalah sebuah noktah kecil di tengah keluasan semesta.

Sehingga saya sebagai pembaca seolah berada di tengah rayuan daun-daun padi yang tertiup angin, merasakan ruap tanah dan matahari di Kupang karena ilustrasi yang kamu tuliskan. Atau saya bisa menyimak betapa bintang itu benar-benar jatuh dan kau menceritakan proses kejatuhannya dengan lucu dan dramatis.

Dengan kontras seperti itu, cerpenmu menjadi menerobos gejala (orang miskin) dan (bintang jatuh - alam). Sehingga cerpen mengalami metamorfosa. Sehingga kita bisa mengelus dada tentang nasib manusia tanpa rasa dendam (yang kau sebut kekecualian itu). Sehingga nampak makin besarlah status manusia itu sebagai mahluk berperadaban di bumi.

Tapi jangan salah mengerti: cerpenmu berhasil sekali menggelorakan pembacanya untuk bersimpati, untuk marah.

Tapi kan setelah simpati dan marah, lalu apa yang tersisa?
Pastilah kita harus memeluk sebuah nilai yang menjadi keyakinan untuk kita melanjutkan hidup.

Nah, nilai semacam itu akan datang dari sebuah cerita yang “diangkat”, ditransendir ke arah, tak perlu ketuhanan, tapi mungkin misteri alam atau misteri kehidupan itu sendiri.
Saya selaku pembaca menginginkan pernik-pernik cerita lucu tentang anakmu. Sebelas bulan pastilah sedang lucu-lucunya. Dengan sebuah cerita tentang gerak bibir atau matanya, atau kulitnya yang kemerahan, saya bisa membayangkan sebuah bayi montok.

Akan lebih sedap lagi kalau tokoh ‘aku” dalam cerita itu membiarkan anaknya menyusu pada ibunya. Pastilah akan menambah hempasan kesan betapa kekuasaan yang jalang mesti terjerembab di hadapan kefitrian kisah ibu dan anak semacam itu.

Begitu pula dengan lelaki yang kau sebutkan dengan “kekasihmu” itu, terbuka untuk diceritakan.

Tetapi dengan demikian cerpen menjadi, atau menempuh, arah lain yang panjang sekali.
Tak mengapa. Justru di situlah keindahan sebuah prosa: adalah saat kau memberi bentuk ke dalam cerita (bisa memakai plot bisa pula hanya renungan seperti ceritamu ini) pikiran dan perasaanmu sebagai mahluk yang terlempar ke bumi.

Seandainya bintang itu “benar-benar jatuh” di dalam ceritamu, wah, itulah saatnya kita mengalami dongeng modern yang dikisahkan oleh seorang feminis.

Satu hal yang akan selalu terekam setiap aku membaca ceritamu kelak: empatimu pada manusia dan kecepatanmu bercerita yang seolah senjata otomatis yang pelurunya menghujam tak henti-henti, ke ulu hatiku.

Sebuah cerita adalah saat “tokoh” hidup di hadapan kita. Tokoh ceritamu hidup di dalam “narator”, “Aku”, dan kamu mempunyai peluang menghidupkan tokoh itu sendiri. Membiarkan sang “Soe” itu, misalnya, menceritakan sendiri akan kepedihan hidupnya.

Bahwa dirinya sudah mirip budak dari keluarganya yang datang dari struktur partiarkal yang memang timpang. Tentu tidak ada salahnya cerita yang hidup dalam diri sang narator semata. Tapi tidak ada salahnya pula kalau sang pengarang membagi ceritanya kepada sang Aku – Soe, dalam ceritamu yang amat memikat ini.

Sehingga ia menjadi mirip alam yang berlapis-lapis ini. Menyuarakan banyak suara seperti soal-soal dalam hidup kita.
Aha aha.

HH, Jakarta, 27 April 2008

Selasa, 29 Juli 2008

Prosa Ahmad Syauqi Sumbawi

Jarak

Udara mereda di permulaan malam. Adalah rembulan dan bintang-gemintang yang membasuhnya. Mendinginkan di sela-sela dedaunan. Di bawah cahaya dari tiang-tiang lampu, jalanan lapang menerobos jarak tujuan, seperti mudahnya ketika mata mempelajarinya di lembar peta.
Di atas sepeda motor yang melaju pelan, seorang laki-laki bersiul dan bernyanyi. Terdengar samar dalam deru di malam yang datang menawarkan mimpi. Kebahagiaan yang tercipta dari kepergiannya menjumpai seorang perempuan yang akan menyambutnya dengan telunjuk yang mengarah ke surga.
Di depan, jalanan lapang dalam remang. Seperti pada kenyataannya, waktu berjalan dengan rahasia. Manusia tak pernah tahu persis apa yang pasti terjadi. Begitu juga ketika seekor kucing melintas di depan yang terlewatkan dari perhatian.
“Tuhan,” serunya menghindar dengan tiba-tiba yang membuatnya terhenyak, membuka kesadaran dan kehati-hatiannya.
Dalam diam menatap ke depan, muncul pengakuan pada dirinya. Masih ada jarak yang mesti ditempuh untuk menjumpai kekasihnya yang akan menyambutnya dengan telunjuk yang mengarah ke surga. (*)



Langkah dan Tali Kendali

Seekor kuda berketopak menarik sebuah dokar yang bergoyang-goyang dalam alunnya di atas aspal jalan di sebuah kota. Telunjuk senja mengarah pada rumah. Kepulangan selepas seharian mencari bekal; kehidupan.
Lihatlah. Laiknya kita, manusia, laki-laki ber-blangkon itu—si kusir— tak punya langkah pada perjalanan itu. Hanya di genggam tangannya, tersedia tali kendali untuk diarahkan. Ke mana tujuan. (*)



Bayang Diri

Sebuah gedung bertingkat empat. Di lantai paling atas, laki-laki itu seorang diri. Berdiri menyandarkan bagian depan tubuhnya pada tembok pembatas. Bagian atap yang menjorok ke depan di atasnya, melindungi dirinya dari sinar matahari yang menambahkan tajam menyilaukan mata bersama hari yang menanjak siang.
Cukup lama laki-laki itu berdiam diri. Seperti tengah menepikan diri, ia memperhatikan keseharian di bawahnya, di mana orang-orang bertebaran pada arahnya sendiri-sendiri. Langkah-langkah yang terburu, langkah-langkah yang seperti mau jatuh, langkah-langkah yang pelan tak berbeban. Dan sebagainya. Semuanya.
Benar. Itulah sisi yang jahat pada diri manusia, seperti bayang-bayang hitam yang menyertai setiap langkah mereka, gumamnya pelan lalu kembali terdiam.
Sejenak laki-laki itu mengangkat tubuhnya dari tembok pembatas, mengarahkan perhatiannya ke depan. Jauh pada pandangan matanya, beberapa ekor burung terlihat terbang dari hamparan padi yang hijau kekuningan di persawahan. (*)



Gerimis Tiba Membawa Jeda

Menanjak malam. Gerimis jatuh membiaskan mega, memerah jingga. Udara gerah. Di sebuah tempat parkir lokasi ziarah, air bergemerisik di atap seng pos penjaga. Di depannya, seorang penjaga bercengkerama bersama seorang kenalannya yang baru lewat di sana. Sebuah perjumpaan ketika gerimis tiba membawa jeda.
Sementara kami menepi di bangunan ini. Menunggu teman-teman yang tak juga-juga datang dari membaca doa. Entah gerimis, entah apa. Mengakrabi jenuh penantian kami, pada perjalanan selanjutnya.
Rupanya di saat seperti ini, menjadi jelas ayat-ayat yang terpampang, yang tak terhiraukan dalam keseharian. Seperti garis-garis gerimis yang jatuh di bawah lampu pelataran, yang memendekkan langkah dan menunda untuk sementara.
Sebentar dari masjid terdengar suara adzan. Mengumpul pada gerimis.
"Lho,… sudah Isya'. Jangan-jangan…," kata salah seorang kami tak dilanjutkan. Sungguh, waktu begitu cepat berlalu.
"Kita shalat di sini saja," kata salah seorang kami yang tiba-tiba datang untuk memberitahu. Tanpa kuasa, rencana pun mudah berubah. (*)

Kapak Berhala Namrud

Karya: Rodli TL

Nyanyian latar mengisi kesunyian ruang. Bergerak menyusup pada tiap gelap pada tiap mimpi.

Mimpi, Mimpikah aku, Aku punya mimpi, Mimpi
Seseorang yang sudah lanjut usianya tiduran di atas altar, diselimuti remang malam. Diantara patung-patung sesembahan yang hancur, Ia mendengkur, dan kadang mengigau. Ia seakan terjaga, lalu menemui orang-orang yang sedang menungguhinya.
Orang Tua

(tertawa) selamat malam. Welcome to my jungle. How are you? Lama aku merindukan kalian. Beberapa tahun yang lalu aku melihat kalian masih kanak-kanak. Bila purnama tiba, kalian berlarian bermain petak umpet. Kini kalian sudah dewasa. Yang perjaka sudah mulai tumbuh kumisnya, dan yang gadis sudah mulai senang berdandan, pakai lipstik dan aroma wewangian. Aku suka harum parfum kalian. Keadaan kalian baik kan?(Tertawa, lalu sedikit kaget)Apa, tidak happy? Don’t worry, aku akan menghibur kalian. Ayo kita bernyanyi bersama-sama!(mengajak bernyanyi).

“malam indah, yo kita berhappy ria/Seperti pangeran menemukan cintanya/Juga, gadis yang dipersunting kasihnya/Bulan bintang bergelak tawa Sambut kita yang bahagia”

(Mengamati orang-orang yang berada di sekitar masih terlihat sedih.)

Sudahlah tak perlu dirisaukan. Ini malam yang indah bukan. Jadilah diri kalian seperti Ibrahim yang sangat antusias ketika merlihat bulan bersinar, sampai beliau ingin menjadikannya Tuhan (tertawa ringan).

(Nyanyian latar muncul kembali, datang berlawanan dengan cahaya. Suara langkah, datang mengisi ruang. berjalan dengan kecepatan yang maksimal).

(Mendengkur dengan kerasnya. Lalu ia mulai igauannya dengan tertawa lebar.) Oh oh oh…. Aku hampir lupa. Jangan-jangan diantara kita sudah saling melupakan. Lebih baik bila aku memperkenalkan kembali diriku pada kalian. Dan kalian tak perlu repot-repot memperkenalkan diri kalian padaku. Aku sudah faham betul siapa diri kalian. Kitab suci yang memperkenalkan diri kalian padaku. Yang terpenting bagi aku bukan nama, namun pertentangan Malaikat dengan Tuhan, juga Iblis yang tak akan pernah mau hormat pada kalian. (tertawa memunculkan kesombongan Iblis).

Ok, back to the point, Ya ya….. aku adalah berhala. Satu-satunya berhala yang selamat dari amukan Ibrahim Aku yakin kalian bisa mengidentifikasi siapa aku sebenarnya, satu-satunya berhala yang ditanganku terdapat kapak. Aku pernah dikambing-hitamkan Ibrahim utusan sang Tuhan, atas hancurnya kawan-kawan kami. (marah dan bergerak berputar-putar) Sebenarnya ingin aku lempar kapak ini ke kepala Ibrahim itu, tapi aku tak kuasa. (merenung pristiwa lalu yang membuat raut wajahnya semakin sedih) Hatiku amat pedih mengingat peristiwa itu.(nyanyian latar mengiringi kesedihan).

(Ia berjalan dengan membawa kapak dan bola dunia) It is my way, perjalanan hidupku yang sudah kesekian abad. Aku mengembara dari bukit ke lembah-lembah. Nyawaku yang abadi ini adalah kesaktianku untuk mengetahui rahasia manusia. Juga titik-titik lemah kepengecutannya Mereka akan aku pertontonkan pada peradaban dunia yang biadab. Akan aku buktikan pada Tuhan, bahwa sumpah kami lebih setia dibandingkan sumpah para Nabi. Aku pun akan menghibur malaikat, bahwa apa yang dipertanyakannya pada rencana penciptaan manusia adalah benar. Manusia hanya bisa membuat kerusakan di daratan dan di lautan. Amat terang firmanMu Tuhan! (tertawa)

(Berjalan berkelililing menina-bubukkan orang-orang di sekitar) Hello, good night! Aku ucapkan selamat tidur pada kalian. mari menempuh perjalanan yang amat panjang. Menuju Tuhan barangkali. Tapi bukan dengan memuja kebesaraNya Cukup dengan sebuah kapak ini. Kapak Nabi besar yang telah beliau tinggalkan pada tanganku.

(berjalan slow motion seakan melayang)
Begini ceritanya, pada suatu malam, Raja Namrud bermimpi, bahwa ia melihat seorang anak kecil melompat masuk pada kamarnya, lalu merampas mahkota yang sedang dipakainya di atas kepalanya, dan bocah kecil itu menghancurkan mahkotanya.

Setelah ia terbangun, pikiranya berkecamuk memikirkan mimpinya yang luar biasa itu. Pada saat itulah aku masuk pada diri sang Raja. Aku pengaruhi ia memanggil para tukang untuk memecahkan misteri mimpi sang raja. Ketika para peramal berkumpul di istana, Raja membuka pertemuan dengan pidato. Dalam pidatonya, Sang Raja menceritakan kejadian dalam mimpi. Usai pidato para peramal berdiskusi, dengan analisia titen teniten, lan nondoi tondo. Para peramal menyimpulkan, bahwa suatu saat akan lahir seorang anak laki-laki yang akan mengkudeta kekuasaan Sang Raja.

Dan pada saat itulah aku menari dalam diri Raja, segala dirinya aku kuasai untuk mengambil keputusan.

Berdasarkan ta’bir-ta’bir mimpi yang telah diramalkan para tukang ramal, maka sang Raja memberikan ma’lumat akan membunuh semua bayi yang lahir, baik laki-laki maupun perempuan.
(memukul-mukul bendah seakan memberikan pengumuman)

Disaat hangat-hangatnya ma’lumat Raja. Ada seorang ibu yang melahirkan anak laki-laki. Ibu tersebut membawa lari jabang bayi itu ke gua untuk menyembunyikan dan menyelamatkannya. Anak itu bernama Ibrahim.

Sejak dilahirkan sampai masa kanak-kanak, ia dibesarkan dalam gua tersebut, di sanahlah ia diasuh dan dibesarkan, setelah agak besar, Ibrahim mulai bisa menggunakan fikirannya.

Dikala ditinggalkan ibunya pergi ke kota mencari bahan-bahan makanan, Ibrahim memberanikan diri untuk keluar gua. Ia tercengang karena di luar gua terang dengan alam yang luas. Langit terbentang, gunung-gunung menjulang tinggi, ombak lautan berkejaran. Sungguh alam di luar gua sangat hebat. Ibrahim semakin jauh memikirkan alam. Tidak hanya keindahan dan kehebatannya.

Namun ia berfikir sesuatu di balik kehebatan alam itu. Yaitu sesuatu yang menciptakannya. Ibrahim berfikir berusaha terus untuk menemukan jawabannya. Siang malam ia selalu memikirkannya. Awalnya ia berkesimpulan, bahwa bintang yang berkedap-kedip di atas langit yang indah itu adalah Tuhan. Beberapa hari berikutnya, ia menyaksikan sesuatu yang bersinar yang lebih indah dan lebih besar yang bernama bulan. Ia berkesimpulan bahwa Bulan yang patut dijadikan Tuhan, karena mampu mempercantik malam hari dan menerangi semesta. Paginya Bulan semakin tidak terlihat, lebih-lebih ketika cahaya dari ufuk timur muncul dan bergerak naik, dan bulan itu lenyap.

Matahari sinarnya yang tajam mampu menyapu kegelapan malam. Ibrahim berfikir tentang kekuatan dibalik semesta ini. Ia merasa menemukannya. Bahwa matahari adalah kekuatan segala-galanya. Pagi hari ketika matahari mulai menampakkan dirinya, burung-burung mulai berkicau dan bertebangan, hewan-hewan lain pun mulai nampak riang bangun dari tidurnya, pohon-pohon nampak hijau dengan daun-daunnya yang menari.

Matahari membuat kehidupan nampak nyata.
Ibrahim berkesimpulan, Tuhan Alam semesta adalah matahari.

(Bergerak seakan menyambut hormat terbitnya matahari).
Nabi Ibrahim adalah kekasih Pencipta sesungguhnya. Ia dikaruniai akal yang cerdas yang pada akhirnya ia mampu menemukan Tuhan yang sungguhnya, yaitu Cahaya di atas cahaya. Pencipta bintang, bulan dan matahari, pencipta alam semesta dan isinya.

(menyanyikan kebesaran Ibrahim)
“Ibrahim bertuhan lantaran dikaruniai akal yang cerdas.”
Beberapa tahun kemudian, Ibrahim diajak ibunya untuk kembali pulang ke rumah. Ia menyaksikan ayahnya bekerja sebagai pengrajin, membuat gambar dan patung-patung. Kemudian ia tahu bahwa patung-patung itu adalah untuk sesembahan. Mulai saat itulah aku tahu ada tanda-tanda yang mebahayakan bagi komunitas berhala. Mimpi Namrud nampak nyata. Ia mulai memberanikan diri untuk menegur ayahnya. Bahwa apa yang ayahnya lakukakan adalah nampak bodoh. Membuat patung, dan ia sembahnya sendiri.

Ingatlah ketika berkata kepada bapaknya. “Wahai bapakku, mengapa engkau menyembah sesuatu yang tidak mendengar, tidak melihat dan tidak dapat menolong sedikitpun?”

Wahai bapakku, sesungguhnya telah datang kepadaku ilmu pengetahuan yang tidak datang kepadamu, maka ikutlah aku, niscaya aku akan menunjukkan kepadamu jalan yang lurus. Wahai bapakku, janganlah kamu menyembah setan, sesungguhnya setan itu durhaka kepada Tuhan yang maha Pemurah. Wahai bapakku, sesungguhnya aku kawatir bahwa engkau akan ditimpa azab dari Tuhan Yang Maha Pemurah, maka engkau akan menjadi kawan bagi setan.

Bapaknya berkata;
“Bencikah kamu kepada Tuhan-Tuhanku wahai Ibrahim? Jika kamu tidak berhenti niscaya kamu akan ku rajam, dan tinggalkanlah aku dalam waktu yang lama.”

Ibrahim berkata;
“Semoga keselamatan dilimpahkan kepada engkau, aku akan memintakan ampun bagi engkau kepada Tuhanku. Sesungguhnya dia sangat baik kepadaku. Dan aku akan menjauhkan diri dari pada engkau dan dari pada apa yang engkau seru selain dari Allah, dan aku akan berdo’a kepada Tuhanku, mudah-mudahan aku tidak akan kecewa dengan berdo’a kepada Tuhanku.”

Do’a Ibrahim tak membuat ayahnya mengikuti ajarannya. Ayah Ibrahim tetap setia bersamaku untuk melanggengkan kesesatan di muka bumi.Usaha Ibrahim pertama untuk mengajak ke jalan lurus telah gagal.

Dengan hati yang teguh, jiwa yang tenang, dan keimanan yang mantap. Ibrahim terus berjuang untuk menyelamatkan manusia dari lupa ingatan dan tipu dayaku. Ibrahim mulai berani. Ia berniat menghancurkan berhala-berhala. Pada saat hari raya, semua penduduk Babilon terbiasa untuk ke luar kota berburu. Pada saat itulah kota sepi dan Ibrahim leluasa untuk menghancurkan patung-patung.

Ketika warga dan Raja Namrud kembali Namrud gerang, lantaran berhala-berhala yang selama ini disembahnya telah hancur. Namrud langsung memerintahkan pasukannya untuk menangkap Ibrahim (bergerak geram)

Ibrahim diadili
“Ibrahim, benarkah yang menghancurkan patung-patung itu adalah kamu?” Ibrahim menjawab “tidak”.
“Jangan mungkir Ibrahim, akui saja perbuatanmu itu”

“Sekali lagi tidak”, jawab Ibrahim, untuk memancing kemarahan Namrud. “Baiklah raja, saya punya fikiran dan aku yakin kamu pun berfikir, tanyakan ini semua pada Tuhanmu. Ada satu patung besar yang masih berdiri kokoh, coba tanyakan pada dia. Jangan-jangan justru dia yang menghancurkannya, lihat saja dia! Di tangannya terdapat kapak yang besar. Mungkin dia pelakunya.”

Mendengar ucapan Ibrahim itu, rupanya membuat Raja Namrud bertambah garang.
“Ibrahim, banyak akal kau. Aku dan rakyatku akan kau buat sebodoh itu, patung itu tidak akan bisa bicara untuk memberitahu siapa pelakunya, kau terlalu bodoh Ibrahim.”

“Raja Namrud, rupanya yang bodoh bukan aku, tapi engkau dan seluruh rakyatmu yang menyembah berhala itu yang bodoh. Buktinya patung yang tidak memiliki daya dan upaya itu, tidak bisa bicara apalagi menolong engkau sembah dan engaku puja. Kalau engkau dan rakyatmu sudah tahu bahwa patung-patung itu tidak bisa mendengar, melihat dan berbicara, mengapa dihadapannya kamu bermunajat, meminta kemaslahatan dan keselamatan. Dan patung-patung yang kamu sembah itu tidak bisa menyelamatkan dirinya dari penghancuran itu. Coba kau fakir dengan matang, pergunakanlah akal itu dengan sebaik-baiknya!”

Namrud dan para pengikutnya terpojok oleh ucapan Ibrahim. Seketika itu Namrud memerintah rakyatnya untuk mengumpulkan kayu bakar dan membakar Ibrahim hidup-hidup.

Karena pertolongan Tuhan, api yang menyentuh kulit Ibrahim tidak terasa panas. Maka selamatlah Ibrahim dari amukan Namrud. (nyanyian hening)

Akan tetapi Ibrahim lupa akan kapaknya. Kapak itu kini berada di tanganku. Maka kini aku akan mempergunakan sebagaimana keinginanku. (naik ke atas)

Sebagaimana ketika Aku bersumpah di hadapan Tuhan, ketika aku diperintah untuk menghormati Adam. Terang aku tidak mau lantaran aku lebih mulia darinya. Aku diciptakan dari api sedang ia diciptakan dari tanah liat yang busuk. Sebusuk beradaban yang kini manusia ciptakan.

Tak perlu tercengang atas pertemuan ini. Kalian kini dalam area kekuasaanku. Kalian tidak akan lepas dari cengkeraman tangan kananku. Dan tidak akan luput dari pengaruh kapak ini.

(bernyanyi dengan tempo cepat kemudian lama-lama lamban seperti nyanyian untuk meninabubukkan)

Ayo tidurlah, dan mari bermimpi mengarungi hidup dengan kapak ini. Bukan lagi menjadi milik Ibrahim yang menghancurkan berhala, membangun peradaban kitab suci untuk menyelamatkan manusia dari kehidupan jahil. Akan tetapi, dengan kapak berhala Namrud ini kita akan menghancurkan peradaban yang dibangun dari kitab-kitab suci. Kitab-kitab agama samawi. Aku hancurkan ajaranya dengan menciptakan skenario kebencian yang luar biasa diantara penganut-penganut agama kitab suci.

(bergerak menciptakan warnah putih pada seisi ruangan. Lamat-lamat cahaya biru merambat pada seluruh warnah putih. Sebagai usaha untuk meninabubukan para penonton).

Kawan, lihat semesta. Kehancurannya mulai menampakkan pada setiap sisi. Lautnya melempar gunung-gunung, gunungnya menerbangkan mendung gelap, sedang daratan tak kuat lagi menahan beban peradaban yang dibangun oleh makhluk pecundang yang bernama manusia.

Ada dua pilihan yang aku tawarkan pada kalian. silakan memilih salah satu. Menjadi materialis yang berlomba-lomba mencari tahta dan harta. Atau menjadi pengikutku. Yang mau manaburkan bunga sesajen pada laut dan gunung. Bila kalian tak cukup modal menjadi kapitalis maka ikutilah kami menjadi sufistik yang kelak kematianmu akan dimuliakan orang-orang, paling tidak pengikutmu.

Mereka bukan memandangmu sebagai makluk akan tetapi sebagai Sang Mulia yang mampu menggantikan Tuhan. Arwahmu tidak hanya untuk didoakan oleh orang-orang sesudahmu, akan tetapi akan dimintahi pertolongan untuk mendapatkan berkahmu. Kecintaanya kepada kamu akan melebihi kecintaanya pada Tuhan. Tinggal pilih. Harta atau kemuliaan untuk disembah. Atau keduanya barangkali. (tertawa)

Boleh boleh, kenapa tidak kalau kalian ingin memilih keduanya, tidak ada yang melarang. Aku justru bahagia kalau itu keinginanmu.

Caranya mudah, bila kalian punya sedikit modal, ikuti permaianan bisnis yang sedang berjalan. Money breeding money dalam istilah dunia bisnis. Profitable harus didapat dengan segala cara. Suap-menyuap adalah hal yang harus dilakukan untuk memenangkan tender. Jangan pedulikan kanan kiri apalagi berbicara tentang hak-hak kaum pemalas yang membuat dirinya miskin dan fakir. Itu kesalahan mereka, jangan terlalu dipedulikan. (tertawa)

Bila anda sedikit faham akan kitab suci, maka tirulah nenek-moyang kalian yang serba tahu segala hal hanya melihat dari tanda-tanda. Tidak perlu dibaca semua, apalagi menghafal. Itu pekerjaan yang amat melelahkan. Kalian akan ketinggalan kalau melulu mengaji kitab suci. Kini era postmo. Kita tak lagi hidup pada zamannya para nabi yang primitive.

Langgengkan tradisi yang ada. Jangan sesekali melakukan pembrontakan pada patron masyarakat. Jangan tiru para Nabi, mereka dapat wahyu Tuhan, sedang kalian? Sekali memberontak, kalian akan dikerdilkan orang-orang yang sedang melanggengkan tradisi. Kalian tidak akan diorangkan masyarakat sekeliling kalian. Ingat, pada setiap kaum pasti ada penguasa yang sampai kapanpun kebiasaanya dan kekuasaanya tidak akan mau otak-atik orang lain. Sampai dara penghabisan mereka mempertahankannya apabila Tuhanya tidak memberikan petunjuk. Tinggal pilih, menjadi pemberontak yang akan dianggap penghianat oleh suatu kaum, atau menjadi Sang Mulia yang kuburannya akan disembah-sembah orang-orang sepeninggal kalian. bahkan bisa jadi, sebelum kalian meninggal sudah ada yang merunduk-runduk pada kalian apabila kalian mengikuti dan membela tradisi yang berkembang tanpa harus berfikir baik atau tidak untuk kehidupan ke depan.

(melantunkan tembang-tembang yang membuat hatinya senang) Kini aku mulai berjalan untuk menyaksikan kehidupan Kehidupan yang telah lama aku rancang. Sekarang aku ajak kalian untuk mengikuti hasil kesepakatanku dengan Tuhan. Sejauh mana sumpahku berhasil untuk membuat manusia tersesesat. Untuk membuat manusia terlena. Untuk membuat manusia yang semakin jauh dari Tuhannya. Tapi ingat, mereka tak terasa. Karena mereka sombong dalam memperjuangkan agama Tuhan.

(memutar dan menerbangi bola dunia) Ayo kita terbang dari satu kaum ke kaum yang lain. Sekarang kita saksikan pulau Jawa, wilayah syi’ar para wali. Tempat terjadi persengkokolan kekuasaan yang luar biasa. Sehingga kini tak ada data sejarah yang kongkrit tentang kepahlawanan mereka. Ceritanya kini hanya menjadi mitos kesaktian belaka.

Kuburan mereka dijadikan ziarah wisata. Tempat-tempatnya dibangun dengan suasana yang sakral. Difasilitasi sarana untuk memuja Para penziarah kemudian lupa terhadap Tuhan yang sebenarnya.

Sejarah di utusnya Nabi Nuh oleh Tuhan terulang lagi. Nabi Nuh diutus lantaran adanya kecendrungan orang-orang yang suka menggambar dan membuat patung-patung para Wali, lalu kemudian disembahyanginya beramai-ramai.

(memutar bola dunia)Kini kita terbang jauh ke daratan Tanah Haram. Masyarakatnya banyak yang lengah. Mereka beramai-ramai berdagang. Mereka malas belajar kitab-kitab suci yang mengajarkan ilmu pengetahuan. Mereka berkeyakinan, bahwa tanah mereka adalah tanah yang dilindungi, tak akan pernah tertimpah adzab. Hari-hari mereka habiskan dengan menumpuk uang. Mereka lupa bahwa derajat seseorang diukur karena tingkat manfaat ilmunya. Bukan seperti teori Karl Max yang ia mengatakan, bahwa status sosial seseorang dipengaruhi harta yang dimilikinya.

Sekarang kini kita berziarah ke Mesir, negara yang memiliki peradaban sejarah yang paling tinggi. Banyak Para Nabi di lahirkan di kota tersebut. Hampir semua nabi pernah menapakkan kakinya di negri tersebut. Adam, Idris, Nuh, Ibrahim, Musa. Hampir memiliki kesejarahan yang kuat dengan tanah Mesir. Kini kalian bisa ,memyaksikan sendiri dengan alat ini. Lihat sistem pemerintahannya. Lihat kekuatan diplomasinya. Kerajaan Firaun yang telah ditaklukkan Musa itu sudah berada di genggaman orang-orang yang menjadi kepanjangan tanganku. Tidak percaya, fahami karya-karya sastra yang settingnya meceritakan konflik Sosial Mesir. Pasti akan kalian temukan keteledoran para pemimpinnya.

Apa, kembali lagi ke Jakarta. Sentral kebijakan yang memiliki beribu-ribu pulau, yang merupakan sentral pemerintahan. Tempat disahkannya undang-undang ketatanegaraan Ah tak perlu diceritakan. Para pejabatnya, baik yang sipil atau yang militer sudah malas membaca. Apalagi kitab suci.Kalaupun ada itupun buat gaya-gayaan. Lantaran mau dishooting. Disiarkan lewat televisi.

(tertawa meremehkan)Kekuasaan kekuasaan… orang-orang yang menyibukkan diri dengan kekuasaan adalah sahabat dekatku. Presiden, Gubernur, Bupati, Kades, Rektor, Kepala Dinas, Kepala Sekolah. Sembilan puluh sembilan persen, mereka sedang menjalankan misi kapak ini untuk menghacurkan kehidupan. Untuk membohongi mereka, orang-orang yang masih mempertahankan kejujuran. Apa, anggota legislatif?(tertawa) Tidak ada bedanya dengan makelar(tertawa).

Maaf, mau aku kasih tahu misi kami yang luar biasa? Sistem yang kami biat dengan kapak ini telah mencenkram para birokrat.. Ingin tahu? Ah jangan ini amat rahasia. (berjalan mondar-mandir sambil berfikir) Tapi tak apalah, karena aku tahu. Pertemuan ini hanyalah dalam mimpi, setelah terbangun pasti kalian lupa.

Di dunia birokrat ada tradisi yang amat mecekik orang-orang yang masih punya nurani, dan memerdekakan para pejabat yang berhati bejat. Kwintansi fiktif adalah tradisi yang amat mapan. Sosialaisasi hak-hak kesejahteraan rakyat tak perlu dilakukan. Realisasinya hanya ada pada kertas-kertas laporan. Konkritnya adalah masuk keperut para pengambil kebijakan. Tapi aku suka itu. Karena itu akan memperkuat sumpahku pada Tuhan sebagai makluk penyesat. Dan kemenaganku atas Adam dan Ibrahim di akhir zaman kelak. (berteriak dengan gerakan terbang)“Ya, aku suka birokrat keparat dan pejabat yang bejat”(berulang-ulang).

Kini mari kita terbang yang lebih tinggi. Menyaksikan kerusakan bumi yang sudah sampai pada puncaknya. Laut-laut bergelombang dasyat, bumi-bumi membelah dirinya, gunung-gunung memuntahkan halilintar dan mengirim angin gelap pada pemukiman-pemukiman. Siapa lagi yang bisa menolong. Menunggu aparat yang masih sibuk dengan surat tugas dan anggaran operasional? Para pejabat yang menunggu sidang pleno para wakil rakyat. Atau wakil rakyat yang pura-pura merakyat. Pada saat itulah aku tersenyum lebar melihat kepanikan semua masyarakat. Adalah waktu yang paling tepat menjadi Dewa Pahlawan. Bahkan aku bisa menjelma menjadi dajjal yang menawarkan surga semu pada manusia.

(Si Tua itu yang menjelma menjadi Berhala Namrud tertawa ngakak, ia bernyanyi dan menari merayakan kemenangannya) Stop, aku menyaksikan segerombolan makluk berseragam putih datang kemari. Apa kalian melihatnya? Mereka berdiri di belakang kalian. Mereka berteriak membesarkan nama Tuhan. Pedang, pedang, pedang!!! Bajingan, aku suka itu. Mereka menyebut Tuhannya dengan sebutan pedang. Ayo pasukan Tuhan, angkat pedang kalian! Lalu kita teriakkan dengan menyebut namaNya.

(Bergerak dan bernyanyi) “Tiada Perjuangan selain pedang!”
(Berdeklamasi)Kapakku menjelma menjadi pedang/Pedang-pedang seakan pasukan Tuhan.

Saksikan Ibrahim, dendamku kini terbalaskan. Dendam Namrud Bin Kan’an Bin Kusy. Sang Raja besar Kerajaan Babilon. Hambahku yang patuh kau rusak, kau provokasi untuk berani melawan.

Dulu kau sangat membenci pedang-pedangku yang aku gengggamkan pada tangan Namrud. Kau membenci Namrud yang suka mengacungkan pedangnya pada orang-orang yang tidak mau tunduk padanya untuk menyembahku. Kini, saksikan sendiri umatmu, mereka berbondong-bondong mengacungkan pedang dengan menyebut kesaksian atas nama Tuhan yang kau perjuangkan. Akan tetapi mereka tidak menyadari bahwa pedang yang mereka bawa adalah jelmaan dari kapak kamu yang kini sedang dalam kekuasaanku. Mereka bergerak adalah atas inisiatifku. Hanya saja seakan nama Tuhan kamu.

Ibrahim, kau yang dulu menghina Namrud dan rakyatnya bodoh lantaran menyembahku. Kini dengan kapak ini umatmu akan aku buat lebih bodoh. Umatmu akan aku buat seakan-akan. Ya seakan-kan pejuang Tuhanmu, namun sebenarnya adalah melanjutkan misi perjuanganku. Mereka akan aku buat mejadi orang-orang yang sombong, bahwa dirinya yang paling benar. Dan itulah yang aku suka. Orang-orang yang sombong yang seaakan-akan memiliki apa yang mereka miliki.

Padahal tai kucing!
Kapakku, kapak berhala namrud yang warnanya hitam kelam, kilaunya lebuh tajan dari kilatan halilintar. Kilatannya mampu memutuskan seluruh jaringan saraf manusia. Aku cukup bahagia. Lantaran kapak ini, manusia tak lagi sempurna dengan akalnya. Justru berbalik menjadi gila. Dan menjadi mahluk yang paling aniaya dan paling rendah.

Ibrahim, kapakmu kini dalam genggamanku
Aku jungkir-balikkan ajaranmu
Aku rusak sembahyangmu/
Aku hancurkan duniamu”

Mengajak orang-orang menyanyikan nyanyian perlawanan. Tertawa dan menari merayakan kemenangannya.

Lamongan, 7 Januari 2008

Dari Minder, Keblinger sampai Atos

(I) Bagian pertama ini pernah dikorankan secara dadakan sekali terbit dalam acara DKL 2007, berjudul Lamongan Menuju Kota Buku dan sedikit ditambahkan. Yang kering-kerontang terbakarlah, yang basah tetap melempem. Oya sebelum jauh maaf, kiranya siratan perbahasaan ini tidak nikmat dikunyah, sebab guratan pena saya belumlah teruji media massa. Tapi diri ini tak hawatir, karena keyakinan kata-kata merupakan dinaya, yang sanggup menggempur kalimat teratur cepat dilupa.

Lamongan kelahiran saya, berpamorkan ikan bandeng dan ikan lele melingkari sebilah keris. Tahun 1993 saya meninggalkannya menuju kota Jombang, lantas pertengahan 1995 berhijrah ke Jogja, dan balik lagi ke Lamongan di tahun 2002. Entah bagaimana, saya lebih percaya diri jika di luar kota. Mungkin dikarena membawa beban identitas yang hilang (Sebelum kasus Amrozi dkk, kata Lamongan belumlah tampak di mata Nasional, apalagi Internasional. Entah ini berkah atau kutukan, atau sang penagih; sebab tak diberi ruang maksimal sejarah, semisal makam Sunan Drajad dalam arsip-arsip lama seringkali tertulis wilayah Gresik). Dan pernah berlaku, orang-orang kelahiran tanah mbah Lamong, malu menyebut lemah-lempung tubuhnya. Baru-baru ini saja pada berbondong di belakang nama menyorongkan identitas aslinya.

Mungkin sebab dalam sejarah, tanah kelahiran saya hanya kota kabupaten saja. Berbeda Kediri, Mojokerto atau lainnya, yang kehadirannya ditandai peristiwa besar. Dan mungkin pula Amrozi mengangkatnya, dengan wajah sangar berlebihan dari sebelumnya. Bagi yang belum pantaslah mensejarah, untuk yang telah biarkan tertimbun usia, sebagaimana Singosari menjadi kota kecil saja.

Kedatangan saya dari kembaraan tahun 2002, mencium aroma kesusastraan telah dikumandangkan deretan sastrawan yang bercokol di tlatah kelahiran saya. Dengan mengharumkan pendiskusian Candrakirana. Meski kadang yang datang sedikit tak terlaksana, itulah realitas maju-mundurnya komunitas (entah kini kemana kabar Kostela?, semoga tetap bergairah nyastra).

Ketika di kediaman, saya makin malas mengirimkan tulisan untuk dipublikasikan di koran (mungkin sebab sering ditolak), yang sewaktu di Jogja sempat bercokol di Kedaulatan Rakyat, Minggu Pagi, Solo Pos, Pos Kita, Bernas, Kuntum &ll. Keengganan itu bukan berarti tak lantas melupakan segala. Saya memulai membuat semacam penerbitan; buku-buku dengan cover samblonan, kertas dalamnya fotocopian. Yang hampir menghasilkan satu lusin judul buku, seribu eksemplar lebih saya lem (jilid) sendiri dan alhamdulillah sudah tersebar di beberapa kota, seperti Malang, Surabaya, Madura, Ponorogo, Jogjakarta, Bojonegoro, Lampung, Jakarta dan Lamongan sendiri (saya dengar-dengar sampai ke Makasar pula). Pada lembar pengesahannya tertuliskan; hak cipta dilindungi akal budhi, bukannya undang-undang. ISBNnya pun saya terjemahnya menjelma; Insyaallah diridhoi allah SuBhaNahu wataallah.

Sempat saya bangga hasil payah tersebut ketika dimuat berupa catatan kaki di buku Bermain dengan Cerpen (Gramedia, Juli 2006, karya Kritikus Sastra, dosen Ilmu Pengetahuan Budaya UI, Maman S Mahayana, di halaman 56). Penerbitan saya bertitel PUstaka puJAngga, satu sebutan hasil tapak tilas langkah pujangga R.Ng. Ronggowarsito kepada Kyai Ageng Muhammad Hasan Besyari di Ponorogo, dan kilas balik seringnya diri ini ke makam beliau di Klaten, tepatnya desa Palar. Niatan tapak tilas beliau, setelah mendapati buku karangan Anjar Any sewaktu nyantri di Magelang. PUstaka puJAngga bersingkatan PuJa, dikarenakan emosionalitas jiwa Jawa saya kepada tlatah India, bencah kelahiran pujangga Rabindranat Tagore yang pernah mengampuh sungkem di tanah Dwipa.

Ketika kerja tekun berkelanjutan, tentu kelamaan penerbitan saya meningkat tak sekadar fotokopian, lantas memberanikan diri dalam percetakan. Buku saya yang sempat dicetak berjudul; Trilogi Kesadaran (Kajian budaya semi, anatomi kesadaran &ras pemberontak). Kajian Budaya Semi, sebelumnya fotokopian, sempat di bedah di UNTAG Surabaya dan IAIN Yogyakarta). Ketika menjelma sebuhul buku Trilogi Kesadaran, kebetulan dibedah di lingkungan Universitas Indonesia (langkah tak ternyana sebelumnya).

Lantas menyusul menerbitkan karya-karya kawan, tentu bersistem kerjasama karena dalam hal ini bermodalkan nekat. Karya kawan-kawan yang tercetak, semisal Kantring Genjer-genjer (karya Teguh Winarsho AS, novelis Jogja yang mengikuti langkah saya membuat penerbitan; Lafal Indonesia, sebagaimana penerbitan MataKata Lampung, direkturnya penyair Y. Wibowo). Dilanjutkan mencetak Sastra Perkelaminan (karya Binhad Nurrohmat, penyair kelahiran Lampung), antologi puisi Ngaceng (karya Mashuri, kelahiran Lamongan yang di tahun 2006 memenangkan lomba cipta Novel diadakan DKJ), Amuk Tun Teja (kumpulan cerpen Marhalim Zaini, kelahiran Riau), novel Dunia Kecil; Panggung &Omong Kosong (karya A. Syauqi Sumbawi, kelahiran Jotosanur, Lamongan). Lalu Nabi Tanpa Wahyu (kumpulan esai Hudan Hidayat), Kitab Para Malaikat (karya saya sendiri), Antologi Sastra Lamongan; Gemuruh Ruh, dan Jurnal Kebudayaan The Sandour (edisi III, 2008, PuJa &FSL).

Di samping PUstaka puJAngga, di Lamongan terdapat penerbitan berISBN, seperti SastraNesia, PustakaIlalang, LaRoss. Jadi pantaslah jikalau kami memimpikan Lamongan kota budaya nantinya, sebagaimana Jogja yang telah jauh melampaui Malang, Surabaya, oleh dunia penerbitan, namun ini tidaklah bermakna jikalau tak rajin membaca realita. Di bawah ini keterangan lebih rinci buku-buku terbitan PuJa, karya saya; Sarang Ruh (puisi, manuskrip 1999, stensilan 2004), Balada-balada Takdir Terlalu Dini (cetakan 2001), Ujaran-ujaran Hidup Sang Pujangga (stensilan 2004), Segenggam Debu Di Langit (stensilan 2004), Sayap-sayap Sembrani (stensilan 2004), Kulya dalam Relung Filsafat (stensilan 2004), Kumpulan Cahaya Rasa Ardhana (stensilan 2005), Batas Pasir Nadi (stensilan 2005), Ada Puisi Di Jogja (stensilan 2005), Tabula Rasa Kumuda (stensilan 2006), Tubuh Jiwa Semangat (stensilan 2006), Trilogi Kesadaran (cetakan 2006), Kekuasaan Rindu Sayang (stensilan 2007), Kitab Para Malaikat (cetakan 2007).

Dan buku-buku karya kawan, majalah serta jurnal-jurnal terbitan PuJa; Serasi Denyutan Puri (cetakan biasa), Wanita Kencing di Semak (cetakan biasa), Esensi Bayang-bayang (stensilan), Sembah Rindu Sang Kekasih (stensilan), Kidung Sang Kekasih (stensilan), Kantring Genjer-genjer (cetakan), Herbarium (cetakan), Sastra Perkelaminan (cetakan), Amuk Tun Teja (cetakan), Ngaceng (cetakan), Dunia Kecil; Panggung &Omong Kosong (cetakan), Nabi Tanpa Wahyu (cetakan), Gemuruh Ruh (cetakan), Majalah Gerbang Massa (cetakan), Jurnal Sastra Timur Jauh I (stensilan), Jurnal Sastra Timur Jauh II (stensilan), Jurnal The Sandour I (cetakan biasa), Jurnal The sandour II (cetakan biasa), Jurnal The Sandour III (cetakan) &ll.

(II) Kelahiran Jurnal Kebudayaan The Sandour, tidak lepas keberadaan PuJa yang dirintis sejak tahun 2004 bulan agustus. Sedangkan Sandour (kata Sandour atau sandor, sebuah kesenian tradisional yang ada di Lamongan, jikalau di Gunung Kidul Jogja seperti Jatilan atau sejenis Kuda Lumping), dan Jurnal Kebudayaan The Sandour sendiri diawali pada tahun 2006. Dasar pencetusannya, disamping rasa syukur kepada-Nya karena dikaruniai kesanggupan merangkakkan dengkul PUstaka puJAngga, meski berupa buku-buku fotokopian, cover sablonan. Pula dikarena kegagalan berulang sebelumnya, lumpuhnya terbitan selanjutnya majalah Gerbang Massa, Jurnal Sastra Timur Jauh untuk menampung ledakan kreatifitas belia di Lamongan, Gersik dst.

Kehendak The Sandour tak lebih mengangkat karya-karya yang sulit masuk ke koran-koran sebagaimana karya saya. Yang mana dalam jurnal tersebut, tersejajarkan dengan kawan-kawan yang lebih dulu masuk media. Sebab keyakinan saya; tulisan yang tak dimuat media, bukan berarti tidak layak. Saya lihat kurang daripada selera redaksi, atau menyedihkan lagi dikarena kedekatan emosi. Padahal setiap kata-kata yang matang memiliki ruh, untuk menafaskan kepada sesama. Maka bentuk kategorian yang tidak adil merupakan tindak aniaya. Apalagi jika yang didholomi sudah lama berproses, dengan mengangkat-tampilkan yang baru bergiat ria bersastra.

Usah ngedumel mari buktikan, kita juga memiliki daya. Yang sungguh-sungguh mendapati, yang bersenda ria tak banyak keringat lupakan saja. Sejarah tak lebih tumpukan naskah, teks-teks bernafas, maka tebarkan kalimat sanubani untuk dibaca mata masa depan. Jika mereka terbaik, kenapa kita tidak demikian? Ketika mereka mengajak bertukar dinaya, kenapa tak menyuhkan kadikjayaan? Dunia sebagai permainan, dan sebaik permainan ialah lihai melantunkan ujung pena sebagai mata baca dunia.

Berkali-kali saya kabarkan, di Lamongan tak banyak ditemui koran selain JP, maka informasi yang masuk dalam alam raya pemikiran seolah tak komplit. Usah gentar hal itu, apalagi pada tulisan yang dihasilkan dari pemotretan kurang fokus, tak suntuk dalam bidang dicitakannya. Padahal karya-karya mempuni, apalagi berupa buku, merupakan endapan pemikiran waktu lampau nan mendatang; membaca masa lalu sebagai pijakan, memandang masa nanti sebagai kejayaan pemikiran gilang-gemilang.

Mumpung berpena dan sebab tak rajin menulis buku harian seperti Fahrudin; tak dinyana kemarin, tanggal 10 juni 2008, saya diundang Universitas Paramadina untuk membacakan puisi dalam rangkaian acara pengekuhan guru besar bapak Abdul Hadi WM, bersama dedengkot sastrawan Ibukota. Undangan itu berita besar bagi saya, yang mana durung sanggup menjebol dinding media massa secara maksimal; maka sebelum mangkat dan ketika berangkat, merasa dek-dekan pula. Dan sepulang menaiki kereta api, saya banyak memetik kuncup-kuncup hikmah; ternyata dek-dekan saya tidak beralasan. Oleh terpenting ialah jiwa karya dari kesuntukan gemilang, bidang yang disanggupi terus tegak tak gentar, tiada keringat dindin bagi yang telah memeras asinnya perjuangan.

Saya bersyukur seolah Ibukota menerima diri ini sebagaimana di Jogya, padahal secara geografis, saya tinggal di Jawa Timur. Mungkin itulah jajaran genjang nasib; ketika ditolah di suatu tempat, maka kan diterima ditempat lain. Terasalah bagi yang genggam serutan (tali) takdir berketeguhan, bersanggup kuat mengayuh.

Kembali pada The Sandour. Karena keterbatasan jangkauan media massa ke daerah saya, diri ini memberanikan membuat media yang menampung karya-karya belum menerima nasib selayaknya. Dengan kaca mata cerdik saya tancapkan keyakinan; tak banyak warga yang suka membaca, apalagi sastra, maka ketika kita mencipta karya di daerah terpencil, barang tentu kitalah penghulunya.

Banyak ruang-ruang memungkinkan tumbuhnya jamur kuping kesusastraan, yang tak disentuh distributor-distributor buku. Kita bisa memasoknya, sebagaimana di pesantren-pesantren terpencil atau desa-desa yang banyak melahirkan anak yang minimnya jenjang pendidikan. Dalam percandaan saya waktu itu pada kawan-kawan; setelah Chairil Anwar tiada lagi penulis puisi selaian saya (hehe). Itu seolah dapat terjadi, ketika sanggup memasuki daerah-daerah terpencil dengan buku-buku karangan kita. Dengan mata jeli saya bilang; biarkan di atas meja mereka mendapati jatahnya, namun sejarah di bawah telapak meja, kita menguasainya. Mungkin itulah yang menginspirasikan Herry Lamongan dan Fahrudin Nasrulloh menyebut saya gerilyawan atau penulis pemberontak. Yang sebelumnya banyak kawan dekat menyangsikan gerak kesemangatan ini, yang seolah banteng telinganya tersumbat tanah. Setidaknya berkali-kali terbentur pastilah berdarah, dan muncratnya getih petanda benih kesadaran nyata.

Bagi saya, diolok-olok bodoh, keblinger, tak tahu aturan, serampangan &ll ialah jamu mujarab untuk tetap menjejakkan kaki di manapun berada. Yang mencibir kehabisan daya, sehingga tak banyak berkarya, yang terus melangkah semakin menggila berekspersi, sampai Maman S. Mahayana menyebut saya “dewa mabuk.” Dalam penulisan ini, tentu saya berhati-hati karena kebanggaan bisa mematikan daya kreatif. Saya tak lebih dari kemarin, orang bodoh tak pernah dianggap ada, tak tenang tempat duduknya meski di bangku kesunyian, sungguh sakit bercampur legit keterasingan ini.

Aduh kok belok ke persoalan sendiri lagi, padahal membahas The Sandour yang saya pimpin. Mungkin itulah kaca benggala tak terpisah, oleh kerja berkesenian saya tak banyak meminta perhitungan pada kawan (khususnya dalam kesuntukan mengolah manajemen). Ini bukan berarti tak mau kompromi, tapi lebih didasari pemotretan saya pada lembaga-lembaga yang dibilang mapan, semisal pemerintahan. Saya fikir banyak membuang waktu untuk rapat &ll, sedangkan ketika bergerak sendiri, resikonya pun kecil; paling-paling dianggap bodoh seorang diri, atau bangkrut dibopong sendiri. Sementara ketika bekerja sama, jika terjadi kepahilitan, yang timbul gontok-gontokan, melempar kesalahan kemana-mana. Saya rasa cukup dua sayap; pertama keyakinan, kedua kesunguhan. Dan kawan-kawan terbaik ialah yang faham bagaimana kelepakan sayap itu begitu payah.

Itu tak kurang dari takdir saya menuju tlatah awal, menerima diri ini berhijriyah menimba keilmuan, yakni Jombang. Tepatnya di tahun 1993 saya yakinkan diri ke kota santri tersebut, sebelum menginjakkan kaki di tanah budaya (Yogyakarta). Semua serba saya perhitungkan dalam tingkatan terbesar. Di batok kepada saya waktu itu, Jombang itu kota terdekat dari kelahiran saya, yang banyak menghasilkan bibit unggul, semisal Gus Dur, almarhum Cak Nur serta Cak Nun, yang dimasa itu tengah berkibar Lautan Jilbab. Jadi seolah keharusan sebelum melangkah ke Jogja, saya kudu menimba linuwih di bencah atmosfir nadzliyin.

Mengeruk keilmuan bagi saya tak sekadar membaca buku, pun pula mengakrapi realita; lingkungan dan tanahnya, watak tradisi serta kebutuhan penduduknya. Bertolak dari itu bisa mengandai; kenapa orang-orang yang saya kagumi bisa hadir dari tlatah semacam itu? Dan pertanyaan-pertanyaan serupa. Bagi sebagian orang, belajar dari kekaguman itu kurang tepat, namun untuk diri saya; tergantung menarik benangnya yang tak sampai melupakan yang hendak diharap-harapkan.

Masa itu Jombang, penduduknya terus-terusan berseberangan dengan orang-orang pendatang. Atau kerap terjadi tawuran antar warga dan santri. Dari Jombang pula saya sempat mengenyam kanuragan. Sungguh banyak yang terperoleh darinya bagi saya, yang suka merenung memikirkan hutang di warung-warung kopi dekat pesantren, sambil berhayal ingin jadi orang besar (hehe).

Jombang waktu itu saya ibaratkan kota Madinah, Yogyakarta saya andaikan Paris, Surabaya saya kira Inggris, dan Jakarta saya umpamakan Amerika. Inilah salah satu bentuk hayalah saya, keterbatasan orang pribumi yang kesulitan biaya menyenyam pendidikan di luar negeri, namun bukan berarti capaian karya saya menyerupai lamunan; Saya tetap merasakan denyutan nadi tropis, tarikan nafas katulistiwa, kehujanan-kepanasan nusantara, terhinakan-terkucilkan hiruk pikuk pergaulan. Inilah realitas menjangkai impian, serupa jarak pandang manusia menghadap kehadirat tuhan, Wallahuaklam.

17 juni 2008,
Nurel Javissyarqi, pengelana dari desa Kendal-Kemlagi, Karanggeneng, Lamongan. Lelembaran di atas sebagai bahan diskusi yang bertajuk “Jurnal Kebudayaan The Sandour: Menggagas Jurnalistik Alternatif dan Kekuatan Lokal” pada tanggal 18 Juni 2008, pukul 19.00 wib (malam kamis) di Padepokan Cak Kadar (Komunitas Kuda Lumping Turonggo Pudak Arum, desa Pandanwangi, Jombang). Dengan pembicara; Halim HD, Mardiluhung, Fahrudin Nasrulloh dan saya sendiri.

A Musthafa A Rodhi Murtadho A Wahyu Kristianto A. Mustofa Bisri A. Qorib Hidayatullah A. Zakky Zulhazmi A.J. Susmana A.S. Laksana Aang Fatihul Islam Abdul Azis Sukarno Abdul Aziz Rasjid Abdul Hadi W. M. Abdul Kadir Ibrahim Abdul Malik Abdul Wachid BS Abdullah al-Mustofa Abdullah Khusairi Abdurrahman Wahid Abidah El Khalieqy Abimanyu Abimardha Kurniawan Abroorza A. Yusra Acep Iwan Saidi Acep Zamzam Noor Achmad Maulani Adek Alwi Adhi Pandoyo Adrian Ramdani Ady Amar Afrizal Malna Agnes Rita Sulistyawati Aguk Irawan Mn Agus R. Sarjono Agus Riadi Agus Subiyakto Agus Sulton Aguslia Hidayah Ahda Imran Ahm Soleh Ahmad Farid Tuasikal Ahmad Farid Yahya Ahmad Fatoni Ahmad Kekal Hamdani Ahmad Luthfi Ahmad Muchlish Amrin Ahmad Nurhasim Ahmad Sahidah Ahmad Syauqi Sumbawi Ahmad Yulden Erwin Ahmad Zaini Ahmadie Thaha Ahmadun Yosi Herfanda Ainur Rasyid AJ Susmana Ajip Rosidi Akhiriyati Sundari Akhmad Muhaimin Azzet Akhmad Sekhu Alan Woods Alex R. Nainggolan Alexander Aur Alexander G.B. Alfian Dippahatang Ali Audah Ali Rif’an Aliela Alimuddin Alit S. Rini Alunk Estohank Ami Herman Amich Alhumami Amien Wangsitalaja Aming Aminoedhin Aminudin TH Siregar Ammilya Rostika Sari An. Ismanto Anaz Andaru Ratnasari Andhi Setyo Wibowo Andhika Prayoga Andong Buku #3 Andrenaline Katarsis Andri Cahyadi Angela Anies Baswedan Anindita S Thayf Anjrah Lelono Broto Anton Kurnia Anton Sudibyo Anton Wahyudi Anwar Holid Anwar Siswadi Aprinus Salam Arie MP Tamba Arif Hidayat Arif Zulkifli Arti Bumi Intaran Asarpin Asep Sambodja Asvi Warman Adam Awalludin GD Mualif Ayu Utami Azyumardi Azra Babe Derwan Bagja Hidayat Balada Bandung Mawardi Bayu Agustari Adha Beni Setia Benni Setiawan Benny Benke Bentara Budaya Yogyakarta Berita Bernadette Lilia Nova Bernando J. Sujibto Berthold Damshäuser Bhakti Hariani Binhad Nurrohmat Bokor Hutasuhut Bonari Nabonenar Brunel University London Budaya Budhi Setyawan Budi Darma Budi Hutasuhut Budi P. Hatees Budi Winarto Buku Kritik Sastra Buldanul Khuri Bustan Basir Maras Camelia Mafaza Capres dan Cawapres 2019 Catatan Cecep Syamsul Hari Cerpen Chairil Anwar Chamim Kohari Choirul Rikzqa D. Dudu A.R D. Dudu AR D. Zawawi Imron Dahono Fitrianto Dahta Gautama Damanhuri Damar Juniarto Damhuri Muhammad Damiri Mahmud Dantje S Moeis Darju Prasetya Darma Putra Darman Moenir Darmanto Jatman Dedy Tri Riyadi Delvi Yandra Denny JA Denny Mizhar Dewi Anggraeni Dian Basuki Dian Hartati Dian Sukarno Dian Yanuardy Diana AV Sasa Dinar Rahayu Djenar Maesa Ayu Djoko Pitono Djoko Saryono Doddi Ahmad Fauji Dody Kristianto Donny Anggoro Donny Syofyan Dorothea Rosa Herliany Dwi Cipta Dwi Fitria Dwi Pranoto Dwi S. Wibowo Dwicipta Edeng Syamsul Ma’arif Edi Warsidi Edy Firmansyah EH Kartanegara Eka Alam Sari Eka Budianta Eka Kurniawan Eko Darmoko Ellyn Novellin Elnisya Mahendra Emha Ainun Nadjib Emil Amir Engkos Kosnadi Esai Esha Tegar Putra Evan Ys F. Budi Hardiman Fadly Rahman Fahmi Fahrudin Nasrulloh Faisal Kamandobat Fani Ayudea Fariz al-Nizar Faruk HT Fatah Anshori Fatah Yasin Noor Fatkhul Anas Fatkhul Aziz Felix K. Nesi Film Fitri Yani Franditya Utomo Fuska Sani Evani Gabriel Garcia Marquez Gandra Gupta Garna Raditya Gde Artawan Geger Riyanto Gendhotwukir George Soedarsono Esthu Gerakan Surah Buku (GSB) Goenawan Mohamad Grathia Pitaloka Gunawan Budi Susanto Gunawan Tri Atmojo H. Supriono Muslich H.B. Jassin Hadi Napster Halim H.D. Hamberan Syahbana Hamidah Abdurrachman Han Gagas Hardi Hamzah Haris del Hakim Haris Priyatna Hasan Aspahani Hasan Gauk Hasan Junus Hasnan Bachtiar Helvy Tiana Rosa Helwatin Najwa Hendra Junaedi Hendra Makmur Hendriyo Widi Ismanto Hepi Andi Bastoni Heri Latief Heri Listianto Herry Firyansyah Heru Untung Leksono Hikmat Darmawan Hilal Ahmad Hilyatul Auliya Holy Adib Hudan Hidayat Hudan Nur Husnun N Djuraid I Nyoman Suaka Ibnu Rizal Ibnu Rusydi Ibnu Wahyudi IGK Tribana Ignas Kleden Ignatius Haryanto Iksan Basoeky Ilenk Rembulan Ilham khoiri Imam Jazuli Imam Nawawi Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Iman Budi Santosa Imelda Imron Arlado Imron Tohari Indiar Manggara Indira Margareta Indra Darmawan Indra Tjahyadi Indra Tranggono Indrian Koto Ingki Rinaldi Insaf Albert Tarigan Intan Hs Isbedy Stiawan ZS Ismail Amin Ismi Wahid Ivan Haris Iwan Gunadi Jacob Sumardjo Jafar Fakhrurozi Jajang R Kawentar Janual Aidi Javed Paul Syatha Jean-Marie Gustave Le Clezio JJ. Kusni Joko Pinurbo Joko Sandur Joko Widodo Joni Ariadinata Jual Buku Paket Hemat Julika Hasanah Julizar Kasiri Jumari HS Junaidi Jusuf AN Kadir Ruslan Kartika Candra Kasnadi Katrin Bandel Kenedi Nurhan Ketut Yuliarsa KH. Ma'ruf Amin Khaerudin Khalil Zuhdy Lawna Kholilul Rohman Ahmad Komunitas Deo Gratias Komunitas Teater Sekolah Kabupaten Gresik (KOTA SEGER) Korrie Layun Rampan Krisandi Dewi Kritik Sastra Kucing Oren Kuswinarto Langgeng Widodo Lathifa Akmaliyah Latief S. Nugraha Leila S. Chudori Lenah Susianty Leon Agusta Lina Kelana Linda Sarmili Liston P. Siregar Liza Wahyuninto M Shoim Anwar M. Arman A.Z. M. Fadjroel Rachman M. Faizi M. Harya Ramdhoni M. Kasim M. Latief M. Wildan Habibi M. Yoesoef M.D. Atmaja Mahdi Idris Mahmud Jauhari Ali Mahwi Air Tawar Malkan Junaidi Maman S. Mahayana Mardi Luhung Marhalim Zaini Maria hartiningsih Maria Serenada Sinurat Mario F. Lawi Maroeli Simbolon S. Sn Marsus Banjarbarat Marwanto Mas Ruscitadewi Masdharmadji Mashuri Masriadi Mawar Kusuma Wulan Max Arifin Melani Budianta Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia Mezra E. Pellondou Micky Hidayat Mihar Harahap Misbahus Surur Moh Samsul Arifin Moh. Syafari Firdaus Mohamad Asrori Mulky Mohammad Afifuddin Mohammad Fadlul Rahman Muh Kholid A.S. Muh. Muhlisin Muhajir Arifin Muhamad Sulhanudin Muhammad Al-Fayyadl Muhammad Amin Muhammad Azka Fahriza Muhammad Rain Muhammad Subhan Muhammad Yasir Muhammad Zuriat Fadil Muhammadun A.S Muhidin M. Dahlan Musa Ismail Musfi Efrizal Mustafa Ismail Nafi’ah Al-Ma’rab Naskah Teater Nezar Patria Nina Setyawati Nirwan Ahmad Arsuka Nirwan Dewanto Noor H. Dee Noval Maliki Nunuy Nurhayati Nur Haryanto Nurani Soyomukti Nurel Javissyarqi Nurhadi BW Nurudin Octavio Paz Oliviaks Orasi Budaya Akhir Tahun 2018 Pablo Neruda Pamusuk Eneste Panda MT Siallagan Pandu Jakasurya PDS H.B. Jassin Philipus Parera Pradewi Tri Chatami Pramoedya Ananta Toer Pramono Pranita Dewi Pringadi AS Prosa Puisi Puisi Menolak Korupsi PuJa Puji Santosa Puput Amiranti N Purnawan Andra PUstaka puJAngga Putri Utami Putu Fajar Arcana Putu Wijaya Qaris Tajudin R Sutandya Yudha Khaidar R. Sugiarti R. Timur Budi Raja R.N. Bayu Aji Rachmad Djoko Pradopo Radhar Panca Dahana Rahmadi Usman Rahmat Sudirman Rahmat Sularso Nh Rahmat Sutandya Yudhanto Raihul Fadjri Rainer Maria Rilke Raja Ali Haji Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Raudal Tanjung Banua Reiny Dwinanda Remy Sylado Resensi Revolusi Riadi Ngasiran Ribut Wijoto Ridha al Qadri Ridwan Munawwar Rikobidik Riri Riris K. Toha-Sarumpaet Risang Anom Pujayanto Rizky Andriati Pohan Robert Frost Robin Al Kautsar Robin Dos Santos Soares Rodli TL Rofiqi Hasan Rohman Budijanto Romi Febriyanto Saputro Rosihan Anwar RR Miranda Rudy Policarpus Rukardi S Yoga S. Jai S.I. Poeradisastra S.W. Teofani Sabam Siagian Sabrank Suparno Saiful Amin Ghofur Sainul Hermawan Sajak Sakinah Annisa Mariz Salamet Wahedi Salman Rusydie Anwar Samsudin Adlawi Sapardi Djoko Damono Sartika Dian Nuraini Sastra Sastra Gerilyawan Sastri Sunarti Satmoko Budi Santoso Saut Situmorang Sejarah Sekolah Literasi Gratis (SLG) SelaSastra SelaSastra ke #24 Selasih Seno Gumira Ajidarma Seno Joko Suyono Sergi Sutanto Shadiqin Sudirman Shiny.ane el’poesya Sidik Nugroho Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Simo Sungelebak Karanggeneng Lamongan Siti Sa’adah Sitok Srengenge Siwi Dwi Saputro Sjifa Amori Sofyan RH. Zaid Soni Farid Maulana Sony Prasetyotomo Sosiawan Leak Sri Wintala Achmad Sri Wulan Rujiati Mulyadi Subhan SD Suci Ayu Latifah Sulaiman Djaya Sulistiyo Suparno Sunaryo Broto Sunaryono Basuki Ks Sungatno Sunlie Thomas Alexander Sunudyantoro Suriali Andi Kustomo Suryadi Suryansyah Suryanto Sastroatmodjo Susi Ivvaty Susianna Susilowati Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Suwardi Endraswara Syaifuddin Gani Syaiful Bahri Syam Sdp Syarif Hidayatullah Tajuddin Noor Ganie Tammalele Tan Malaka Taufik Ikram Jamil Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat Teguh Trianton Tengsoe Tjahjono Th Pudjo Widijanto Thayeb Loh Angen Theresia Purbandini Tia Setiadi Tito Sianipar Tiya Hapitiawati Tjahjono Widarmanto Tjahjono Widijanto Toko Buku Murah PUstaka puJAngga Tosa Poetra Tri Joko Susilo Triyanto Triwikromo Tu-ngang Iskandar Udo Z. Karzi Uly Giznawati Umar Fauzi Umar Kayam Undri Uniawati Universitas Indonesia UU Hamidy Vyan Tashwirul Afkar W Haryanto W.S. Rendra Wahyudin Wannofri Samry Warung Boenga Ketjil Waskiti G Sasongko Wawan Eko Yulianto Wawancara Web Warouw Wijang Wharek Wiko Antoni Wina Bojonegoro Wira Apri Pratiwi Wiratmo Soekito Wishnubroto Widarso Wiwik Hastuti Wiwik Hidayati Wong Wing King WS Rendra Xu Xi (Sussy Komala) Y. Thendra BP Y. Wibowo Yani Arifin Sholikin Yesi Devisa Yohanes Sehandi Yona Primadesi Yosi M. Giri Yusi Avianto Pareanom Yusri Fajar Yusrizal KW Yuval Noah Harari Yuyu AN Krisna Zaki Zubaidi Zalfeni Wimra Zawawi Se Zehan Zareez Zen Hae Zhaenal Fanani Zuarman Ahmad Zulfikar Akbar Zulhasril Nasir